Perdana Menteri Papua Nugini (PNG) Peter O’Neill mengatakan sejumlah warga Papua asal Indonesia yang dikirim ke PNG oleh Australia, tidak akan dipaksa untuk kembali ke Indonesia.
Sekelompok warga Papua tersebut berjumlah tujuh orang, mencoba masuk ke Australia melalui PNG, bulan lalu. Pihak Imigrasi Australia kemudian menerbangkan mereka ke Port Moresby.
PM Peter O’Neill mengatakan, mereka dideportasi karena melakukan perjalanan melalui PNG untuk mencapai Australia.
Aktivis pembela hak-hak pengungsi menyatakan khawatir ke-7 warga Papua ini akan diusir kembali ke Indonesia. Namun menurut O’Neill, hal itu tidak akan dilakukan oleh pemerintahannya.
“Jika mereka ingin kembali ke Papua Barat, kami akan menfasilitasinya. Jika mereka ingin tinggal di sini, kami akan lihat apa yang bisa kami lakukan untuk membuat mereka betah tinggal di sini,”
katanya.
Pemerintah PNG belum lama ini menghapus biaya administrasi bagi warga Papua Barat yang ingin mengajukan permohonan kewarganegaraan di Papua Nugini.
Perkuat Kerjasama
Sementara itu, Menlu Indonesia Marty Natalegawa dan Menlu PNG Rimbink Pato menandatangani dokumen rencana kerja yang disaksikan Presiden SBY dan PM Peter O’Neill di sela-sela KTT APEC di Bali, awal pekan ini. Dokumen itu dimaksukan untuk memuluskan pelaksanaan perjanjian kesepakatan kedua negara yang telah ditandatangani Juni 2013.
Perjanjian kedua negara mencakup 11 bidang, termasuk perjanjian kerjasama bidang ekstradisi, penerbangan, olahraga, pendidikan, energi, generasi muda dan bidang pariwisata. Sebagai implementasi kerjasama bidang penerbangan misalnya, untuk pertama kalinya maskapai penerbangan PNG, Air Nugini, melakukan penerbangan perdana ke Bali, Agustus 2013.
JAYAPURA – Masuknya isu Papua dalam Fotum Malanesian Spearhead Group (MSG) Summit di Nomea New Caledonia yang digerlar 18-21 Juni 2013 mendatang karena adanya proposal dari Liberation (WPNCL) pada Maret 2013 lalu yang didukung oleh Negara Vanuatu dan tuan rumah Kaladonia baru dan hampir semua pemimpin Negara baik Perdana Menteri maupun Menteri Luar Negeru Negara-negara yang tergabung dalam MSG di forum ini, hanya PNG yang tidak hadir.
“Perdana Menteri PNG, Piter O’Neil dan Menteri Luar Negeri PNG, Rumbink Pato, bersama rombongan delegasi memilih untuk melakukan kunjungan kenegaraan ke Indonesia untuk bertemu Presiden SBY. Inilah sikap politik bermuka dua atau politik standar ganda dalam isu Papua yang ditujukan PNG. Itulah sikap politik PNG saat ini terhadap Indonesia dan Papua Barat,”
ungkap Dosen Jurusan Hubungan Politik FISIP Uncen Jayapura ini kepada Bintang Papua di kediamannya, Kamis, (20/6) lalu.
Dirinya mengatakan dengan tidak hadirnya PNG di forum MSG ini, seakan-akan PNG ingin menunjukan kepada Pemerintah Indonesia bahwa PNG menolak masuknya Papua Barat dalam keanggotaan MSG. Negara Protektorat Inggris ini ingin meyakinkan Indonesia bahwa untuk soal isu Papua Merdeka, PNG tetap mengambil posisi yang sama dengan Indonesia.
“pada sisi yang lain, PNG telah hadir dalam MSG senior officiels and foreign miniters meeting pada minggu lalu, forum yang diadakan sebelum diadakannya forum MSG summit, dan PNG telah menentukan sikap politiknya,”
ujarnya.
Apa sikap politik PNG? sikapnya adalah bahwa dalam pidato di forum MSG senior officiels and foreign miniters, Menteri Luar Negeri Fiji, Ratu Inoke Kabuabola menyatakan, Fiji, PNG dan kepulauan Salomon memiliki posisi dan sikap yang sama untuk masalah Papua.
“Mereka (Fiji, PNG dan kepulauan Salomon) menyetujui perlu bagi masyarakat Papua untuk diberikan kesempatan melakukan slf determination bagi dirinya sendiri,”
ujarnya.
Keinginan WPNCL untuk terdaftar sebagai anggota MSG perlu mendapat perhatian serius dari semua peserta pertemuan. Dan politik standart ganda PNG dalam isu Papua di forum MSG perlu dibaca baik oleh pemerintah Indonesia.
Lanjutnya, PNG akan memanfaatkan isu Papua sebagai alat bargaining politik dengan Pemerintah Indonesia untuk mendapatkan keuntungan ekonomi sebesar-besarnya. Dalam kunjungan kali ini bertemu dengan Presiden SBY perlu ingat bahwa politik luar negeri PNG masih sepenuhnya dibawah kendali Ratu Elisabeth II dari Inggris sebagai Kepala Negara.
“Dengan demikian, soal isu Papua, Pemerintah PNG masih mengikuti Pemerintah Inggris yang hampir pasti mendukung WPNCL untuk di daftar sebagai anggota MSG. Inggris juga tidak mau kehilangan pengaruh dalam blok ekonomi dan perdagangan MSG yang sebagian besar Negara-negara anggota MSG adalah bagiaan dari Negara-negara persemakmuran Inggris,” ujarnya.
Meminta Dukungan PNG
Sementara pada pertemuan antara Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Perdana Menteri PNG Peter O’neill, Gubernur Papua, Lukas Enembe,SIP,MH, dan Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi, serta sejumlah delegasi PNG dan Menteri Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II, nampaknya ada hal yang menarik. Dimana, sesuai dengan keterangan dari Gubernur Papua, Lukas Enembe,SIP,MH, salah satu point yang turut disampaikan oleh Presiden SBY kepada Pemerintah PNG melalui Perdana Menteri PNG adalah meminta PNG senantiasa mendukung Papua tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKR).
“Presiden SBY menyampaikan bahwa lebih baik hidup berdampingan dengan saling menguntungkan dibanding hidup saling bermusuhan dan tidak saling menguntungkan,” ungkapnya kepada Bintang Papua, di Istana Negara Kepresidenan RI beberapa waktu lalu.
Dijelaskannya atas permintaan Presiden SBY tersebut, Perdana Menteri PNG Peter O’neill menyatakan bahwa tetap mendukung Papua dalam integrasi Indonesia. Apalagi di wilayah Pasifik, PNG menjadi Top Leader bagi Negara di kawasan Pasifik.
“Presiden menganggap kerjasama ini penting, sehingga para delegasi PNG diterima secara upacara kenegaraan,”
Noumea-Kaledonia Baru, 20/06 (Jubi) Jika Papua Barat akhirnya menjadi ‘anggota’ dari MSG, ini akan menjadi tempat bagi Indonesia dan Papua Barat untuk berdialog.
Michael Somare, salah satu pendiri Melanesia Spearhead Group mengatakan dalam memberikan keanggotaan MSG kepada Papua Barat, forum MSG harus inventif. Para pemimpin MSG harus lakukannya atas dasar Papua Barat adalah Komunitas dan Entitas Melanesia, bukan sebagai negara yang berdaulat.
“MSG harus inventif. Kita bisa temukan ini juga di Asia Pacific Economic Co-operation (APEC). Taiwan dan Hongkong diterima di APEC sebagai bagian dari China, yang berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi Asia Pasifik melalui negara yang berdaulat, yakni China.” kata Somare, Kamis (20/06) di sela-sela pertemuan para pemimpin negara MSG.
Somare, sebagaimana saat dirinya menjadi Perdana Menteri Papua new Guinea (PNG), tetap beranggapan bahwa Papua Barat adalah bagian internal Indonesia. Sehingga segala sesuatunya harus dibicarakan secara internal, antara rakyat Papua Barat dengan pemerintah Indonesia. Somare mengatakan, jika Papua Barat akhirnya menjadi ‘anggota’ dari MSG, ini akan menjadi tempat bagi Indonesia dan Papua Barat untuk berdialog. Dan di sisi lainnya, negara-negara MSG akan secara teratur mengetahui perkembangan di Papua Barat.
“Aktivis Papua perlu belajar untuk duduk dan berbicara tentang masalahnya dengan Indonesia. Pemimpin Papua dan aktivis harus membahas cara-cara untuk menemukan solusi untuk masalahnya. Masalah Papua adalah salah satu yang internal dan negara kita tidak punya hak untuk mencampuri isu-isu kedaulatan Indonesia. Masalah Papua tidak seharusnya dibawa kepada negara-negara Melanesia hanya lewat satu sisi saja, karena seperti juga PNG, negara-negara Melanesia memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan PNG berbagi perbatasan bersama.” tambah Somare.
Namun Perdana Menteri terlama di PNG ini mengatakan bahwa sekalipun Papua Barat, tidak atau belum diterima sebagai anggota MSG, Papua Barat seharusnya diundang oleh MSG untuk acara-acara kebudayaan, kegiatan olahraga dan pertukaran keterampilan teknis.
“Papua Barat adalah komunitas dan entitas Melanesia yang signifikan.” aku Somare.
Menanggapi pernyataan Somare ini, Presiden West Papua National Coalition Liberation (WPNCL), John Otto Ondowame menyebutkan masalahnya ada di Indonesia, bukan orang Papua. Karena sejak tahun 2011, orang Papua telah meminta untuk berdialog secara damai dengan Indonesia. Namun hingga hari ini, Indonesia belum menunjukkan minatnya untuk berdialog.
“Kami sudah mencoba pada tahun 2011 untuk berbicara dengan Indonesia, kami menulis surat untuk memulai dialog damai. Tapi sampai hari ini, Indonesia belum menunjukkan respon untuk dialog secara damai yang disebutkan oleh Somare sebagai dialog yang bermartabat itu. Jadi, masalahnya bukan di pihak kita, tetapi dengan pemerintah dan militer Indonesia,” kata Dr Ondawame.
Ia menambahkan bahwa sebuah dialog damai, semestinya difasilitasi oleh pihak ketiga, bukan antara dua pihak saja.
Mengenai undangan kunjungan MSG ke Indonesia, Ondowame mengatakan itu sudah menunjukkan bahwa masalah Papua, bukan masalah internal antara Papua dan Indonesia saja. Tapi sudah menjadi masalah regional. Agar masalah Papua jadi jelas buat negara-negara MSG sebelum, saat dan setelah kunjungan, MSG bisa meminta Indonesia membuka akses internasional seluas-luasnya terlebih dulu.
“Sebelum MSG melakukan kunjungan nanti, MSG bisa meminta Indonesia membuka akses internasional, seperti media dan organisasi kemanusiaan ke Papua seluas-luasnya. Ini akan menunjukkan kepada MSG dan negara-negara Melanesia, apa dan bagaimana yang sudah, sedang dan akan terjadi di Papua Barat.” ujar Ondowame.
Sedangkan perwakilan Delegasi Indonesia, Michael Manufandu, mengatakan orang Papua harus hidup di Papua untuk melawan dari dalam. Selama ini, pemerintah dan pemerintah provinsi yang terdiri dari penduduk asli Papua Barat telah mencoba untuk mengembangkan Tanah Papua. Informasi tentang Papua yang beredar selama ini, disebutkan oleh Manufandu sebagai kesalahan informasi yang terjadi karena perkembangan media sosial.
Keputusan tentang proposal Papua Barat menjadi anggota MSG, akan dibahas besok, Jumat (21/06).(Jubi/Adm)
untuk terus menerus menginternasionalisasikan isu Papua Merdeka di luar negeri dengan pendekatan politik melalui pembukaan Kantor Perwakilan OPM di luar negeri seperti di Kota Oxford-Inggris, tidak selalu mudah. Pasalnya, aturan hukum masing-masing Negara berbeda satu dengan yang lainnya.
Dengan mengikuti perkembangan berita beberapa hari belakangan ini tentang rencana pendirian Kantor OPM di Port Moresby–PNG, dikatakan baginya Pemerintah PNG akan menolak dengan resmi segala upaya diplomasi OPM untuk mendirikan kantor OPM tersebut. Tetapi bukan berarti pemerintah PNG tidak mendukung dan tidak memberikan ruang bagi gerakan-gerakan perjuangan Papua Merdeka di PNG.
Satu pernyataan ini yang penting ‘tanpa harus mendirikan Kantor Perwakilan OPM di PNG pun, secara politik dan berdasarkan espirite de corp atau semangat Corsa dari seluruh 53 negara (Termasuk di dalamnya Negara PNG) yang tergabung dalam Negara-Negara Pesemakmuran Inggris atau Negara-Negara Commonwealth telah mengakui pendirian Kantor OPM di Kota Oxford Inggris. Dengan kata lain sudah ada pengakuan politik dan diplomasi dari 53 Negara-Negara Pesemakmuran tersebut terhadap perjuangan Papua Merdeka.
“Jadi 53 negara persemakmuran tersebut (termasuk PNG) sudah mengakui secara diplomasi dan politik perjuangan Papua Merdeka. Ini semangat Corsa dari Negara-negara persemakuran,” jelasnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Senin, (10/6).
Lanjutnya, satu peristiwa politik yang terjadi dalam satu Negara persemakmuran tersebut adalah bahwa itu masalah bersama seluruh Negara-negara anggota persemakmuran.
Dengan demikian, jelas disini bahwa sikap penolakan pemerintah PNG hanyalah bagian dari permainan politik dan diplomasi internasional dalam hubungan bilateral Indonesia-PNG untuk tidak mengganggu kepentingan nasional masing-masing Negara.
Untuk itulah, dirinya berharap supaya Pemerintah Indonesia mengintensifkan diplomasi dan lobi-lobi internasional yang lebih progresif lagi ke Negara-negara persemakmuran Inggris karena kemenangan politik dan diplomasi sedang berpihak ke kelompok OPM di luar negeri.
Tetapi pekerjaan rumah di Papua harus segera diselesaikan karena sumber masalahnya ada di Papua. Kalau tidak ada lagi orang Papua dibunuh, ditangkap, disiksa, dipenjarakan tanpa prosedur hukum yang jelas, diperlakukan tidak manusiawi, dan lebih dari pada itu, kalau pemerintah pusat akhirnya harus setuju bahwa dialog damai dan bermartabat antara Jakarta-Papua segera dilaksanakan, maka dampak politiknya akan segera dirasakan pemerintah dalam menghentikan gerakan perjuangan Papua Merdeka di luar negeri.
“Semua kembali pada political will pemerintah pusat kalau tidak mau melihat Papua merdeka dan emnjadi Negara berdaulat menyusul Timor LEste yang sudah lebih dulu merdeka,” pungkasnya.
Ditambahkannya, perlu juga pemerintah Indonesia sadari bahwa pemerintah PNG tidak terlalu tertarik dengan diplomasi OPM untuk membuka kantor perwakilannya di Port Moresby, karena Pemerintah PNG lebih mendukung Papua masuk menjadi anggota Blok kerja ekonomi dan perdagangan Melanesia Spearhead Groups(MSG) karena secara ekonomi akan sangat menguntungkan masyarakat Papua. Papua akan lebih banyak memetik keuntungan ekonomi daripada keuntungan politik apabila Papua masuk menjadi anggota MSG nantinya.(nls/don/l03)
JAYAPURA—Peresmian Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG) yang direncanakan digelar Selasa (18/6), sebagaimana disampaikan Ketua Komisariat Diplomasi Komite Nasioanl Papua Barat (KNPB) Pusat Warpo Wetipo, ternyata ditolak pemerintah negara tetangga tersebut.
Demikian disampaikan Consul atau Kepala Perwakilan di Konsulat Republik Indonesia Vanimo, PNG Jahar Gultom melalui surat elektronik yang dikirim kepada wartawan di Jayapura, Jumat (7/6). Dikatakan Jahar Gultom, sehubungan dengan isu pembukaan Kantor OPM di Port Moresby disampaikan. Pertama, Pemerintah PNG mengakui bahwa Papua adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menghargai hubungannya dengan Indonesia.
Kedua, Duta Besar RI di Port Moresby telah menyampaikan concern Pemerintah RI tentang hal ini melalui saluran diplomatik dan meminta agar Pemerintah PNG untuk tidak mengizinkan pembukaan Kantor Perwakilan OPM tersebut.
Ketiga, Pemerintah RI ini telah mendapat perhatian dari Pemerintah PNG dan berjanji akan mendalami masalahnya dan tak akan menolerir hal-hal yang dapat mengganggu stabilitas PNG.
Keempat, Sekjen Departemen Luar Negeri PNG bahwa ada pihak di PNG yang memiliki afinitas atau persamaan kepentingan antara PNG dan RI.
Kelima, saat ini adalah masa terbaik yang ada dalam hubungan bilateral RI-PNG, dimana kedua Pemerintah sedang giat- giatnya meningkatkan kerjasama di berbagai bidang dan dalam waktu dekat Perdana Menteri PNG Piter O’Neill akan berkunjung ke Indonesia dengan delegasi yang besar.
Sementara itu, Kabid Humas Polda Papua Kombes (Pol) I Gede Sumerta Jaya, SIK ketika dikonfirmasi diruang kerjanya, Jumat (7/6) mengatakan pihaknya pada Rabu (5/6) telah menerima surat pemberitahuan aksi demo damai pada Senin (18/6) dari Badan Pengurus Pusat (BPP-KNPB) yang ditandatangani Ketuanya Buchtar Tabuni, guna mendaftarkan Papua Barat bergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). Namun demikian, tandas Kabid Humas, pihak Polda tak memberikan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP).
Karenanya, kata Kabid Humas, pihaknya tak memiliki kewajiban memberikan pengamanan kepada aksi demo KNPB tersebut. Tapi bila aksi demo ini ternyata dilakukan, maka pihaknya akan melakukan upaya-upaya persuasif. Bila massa tetap memaksa akan dilakukan pembubaran. Dan bila ini terjadi tentunya kita akan menerapkan tindakan pidana makar yang diancam hukum penjara 20 tahun.
“Karena selama ini materi-materi yang selalu disuarakan KNPB adalah kemerdekaan Papua Barat dan menentang pemerintahan yang sah,” pungkasnya.
Alasan tak diberikan STTP, I Gede mengatakan, aksi demo tersebut mendukung atau menyuarakan kemerdekaan Papua Barat, karena didalam UU No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. Pasal 6 menyatakan warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggungjawab untuk menghormati hak-hak orang lain, menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum dan menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa. Selanjutnya, UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua Pasal 2 menyatakan Provinsi Papua sebagai bagian dari NKRI.(mdc/don/l03)
JAYAPURA – Setelah di Oxford Inggris telah diresmikan Kantor perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM), kini giliran kantor Perwakilan OPM akan didirikan di Negara Tetangga Papua New Guinea (PNG) yakni di Port Moresby. Kabar adanya kantor Perwakilan OPM ini diungkapkan Ketua Komisariat Diplomasi KNPB Pusat, Warpo Wetipo.
Ia mengatakan bahwa pada tanggal 18 Juni 2013 ini akan diresmikan Kantor Perwakilan OPM di Negara tetangga Republik Indonesia (RI), yakni Papua New Guinea (PNG), atau tepatnya di Port Moresby. “Jadi, pada tanggal 18 Juni mendatang akan diadakan peresmian terhadap Kantor Perwakilan Organisasi Papua Merdeka (OPM), di Port Moresby,” kata Warpo Wetipo didampingi Assa Asso dan Ketua KNPB Wilayah Asmat, Donny ketika menggelar jumpa pers, di Café Prima Garden Abepura, Rabu lalu (5/6) sekira pukul 13.00 WIT.
Dengan didirikannya Kantor Perwakilan OPM, di Por Moresby tersebut, maka KNPB berencana melakukan demo pada 10 Juni pekan depan guna mendaftarkan Papua Barat bergabung dalam Melanesian Spearhead Group (MSG). “Pekan depan atau tepatnya tanggal 10 Juni, kami mengadakan aksi demo guna meminta dukungan untuk mendaftarkan Papua Barat ke MSG sebagai suatu bangsa yang berdaulat asal ras Melanesia, aksi ini akan di mediasi oleh KNPB tapi penanggung jawabnya dari Parlemen Nasional West Papua (PNWP), yakni Ketua PNWP Buchtar Tabuni,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua KNPB Wilayah Asmat Donnie mengatakan, aksi yang dilakukan ini terbuka bagi siapa saja untuk bisa mengambil bagian di dalamnya, bahkan dirinya menegaskan lagi bahwa ada penolakan dari aksi tersebut KNPB bersama PNWP akan melakukannya. “Mau dan tidak mau, kami dari KNPB di siapkan untuk ini, jadi kita akan tetap lakukan ini, entah suka tidak suka, entah kasar atau halus bagaimanapun situasi tetap kita lakukan hal ini, karena itu mandat rakyat yang dipercayakan kepada kami,” ujarnya.
Menurut dia, pihak KNPB sudah mengatur manajemen aksi, bahkan tidakn pernah ada dalam setingan mereka untuk melakukan tidankan – tidakan yang anarkis.
“Cuman kita harus waspada ada pihak ke tiga di lapangan itu yang harus kami waspada, oleh karena itu kami meminta kepada aparat tidak boleh ada yang bikin situasi dan lain – lain seperti yang kemarin kita lihat di lapangan itukan ada banyak aparat yang kejar, pukul kawan – kawan kami,” Pungkas Donny. (mir/don/l03)
Jayapura – Sejak berlakunya Perjanjian Canberra 1947 bagi wilayah-wilayah di Pasifik Selatan, banyak pemuda dari Papua New Guinea(PNG) datang ke Hollandia, ibukota Nederlands Nieuw Guinea untuk belajar navigasi di Sekolah Pelayaran di Hamadi. Sebaliknya enam orang pemuda dari Nederlands Nieuw Guinea studi kedokteran di Universitas National di Port Moresby. Beberapa pemuda belajar telekomunikasi di Sekolah Teknik Telekom di Lae, kota kedua terbesar di Papua New Guinea.
Sayangnya dokter-dokter asal Papua Barat tidak pernah kembali dan menjadi warga negara Papua New Guinea. Ke enam dokter itu sukses menjalankan tugas dan sangat berhasil di Port Moresby. Kini mereka sudah pensiun, bahkan ada yang sudah meninggal. Dokter Danowira yang meninggal di PNG belum lama ini, dikirim pulang ke Papua dan akhirnya dimakamkan di Nabire tempat asalnya.
Dosen FISIP Universitas Indonesia, Zulkifli Hamid dalam bukunya berjudul,Politik di Melanesia menyebutkan kontak-kontak yang bersifat budaya juga terjalin lama terutama antara penduduk di Papua Barat dengan negara tetangga Papua New Guinea. Sejak ratusan tahun, kedua penduduk ini telah menjalin komunikasi diantara mereka, baik dalam berdagang, perkawinan, maupun kegiatan upacara tradisional.
Kontak antara orang Papua di Nederlands Nieuw Guinea dengan PNG semakin meluas antara 1947 sampai 1962. “Hal ini terjadi karena dibentuknya South Pasific Commision(SPC) oleh pemerintah kolonial di wilayah Pasifik Selatan antara lain Inggris, Belanda, Amerika Serikat,Perancis, Australia dan Selandia Baru.
Irian Jaya atau Provinsi Papua dan Papua Barat yang dulunya disebut Nederlands Nieuw Guinea dimasukan sebagai wilayah yang mendapatkan bantuan teknik dan ekonomi dari komisi yang dibentuk. Disamping itu tokoh-tokoh Papua juga ikut dalam South Pasific Confrence(SPC) Di dalam pertemuan terdapat berbagai kegiatan antar masyarakat di Pasifik Selatan terutama tukar menukar informasi sampai presentase kebudayaan.
“Dengan demikian selama 15 tahun penduduk di Irian Jaya mempunyai hubungan yang lebih intensif, tidak hanya dengan penduduk PNG, dengan penduduk di Melanesia. Bahkan di wilayah Pasifik Selatan.”tulis dosen yang pernah mendalami studi Pasifik Selatan di Universitas Victoria, Selandia Baru.
Akibatnya tulis Zulkifli Hamid munculnya rasa identifikasi budaya yang sama dengan masyarakat di wilayah Melanesia dan Pasifik Selatan. Kontak-kontak intensif semakin berkurang saat irian Jaya masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia , 1 Mei 1963.
Adalah antorpolog asal Inggris, Adolf Bastian yang pertama kali membagi wilayah-wilayah di Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Bastian membagi wilayah-wilayah itu menjadi Indonesia, Melanesia, Polynesia dan Mikronesia. Hanya kemudian Indonesia yang semakin populer menjadi Republik Indonesia.
Di dalam wilayah kebudayaan Melanesia terdapat empat negara merdeka masing-masing Fiji merdeka pada 10 Oktober 1970 dari Inggris, Papua New Guinea, 16 September 1975,Kepulauan Solomon, 7 Juli 1978 dan Vanuatu 30 Juli 1980.
Negara-negara Melanesia ini sangat memegang peranan penting dalam percaturan politik di Pasifik Selatan. Semangat Persaudaraan Melanesia di PNG, Vanuatu, Kepulauan Solomon berusaha untuk memperjuangkan kemerdekaan bagi bangsa Melanesia yang masih terjajah.
Pada 1986, ketiga negara Melanesia ini menyatukan perjuangan mereka di dalam kelompok ujung tombak Melanesia dengan nama Melanesian Spearhead Group(MSG), yang berfungsi sebagai kelompok lobby di dalam badan-badan regional, seperti South Pasific Forum(SPF).
Pertemuan 14 Maret 1988 di Port Villa, Vanuatu ketiga negara ujung tombak Melanesia ini meresmikan ikatannya melalui prinsip-prinsip kerja sama di dalam Manifesto negara-negara ujung tombak Melanesia. Manifesto ini ditanda tangani oleh PM Paias Wingti dari PNG, PM Ezekel Alebua dari Solomon Island, dan PM Walter Lini dari Vanuatu. Ketiga negara Melanesia ini bersepakat untuk mengikatkan diri pada prinsip-prinsip saling menghargai dan untuk memajukan kebudayaan dan nilai-nilai tradisi Melanesia. Ketiga pemimpin negara-negara ujung tombak Melanesia ini menegaskan bahwa kemerdekaan adalah hak yang tidak bisa dipisahkan dari rakyat yang masih berada di dalam negara-negara penjajah.
Walaupun aktifitas politik MSG untuk kemerdekaan rakyat Kanak di Kaledonia Baru, namun bagi Zulkifli Hamid dosen politik dari FISIP Universitas Indonesia ini dikatakan pengembangan issue Persudaraan Melanesia jelas akan memberikan dampak negatif terutama masalah integrasi di wilayah Timur Indonesia.(Jubi/Dominggus A Mampioper)
Jayapura – Pemimpin Papua Nugini dan negara Melanesia lainnya menunjukkan dukungan mereka untuk pembebasan Papua Barat. Bob Carr bergerak melawan arus regional, tulis Airileke Ingram dan Jason MacLeod
Dukungan Melanesia untuk Pembebasan Papua Barat selalu tinggi. Berjalan di seluruh Papua Nugini Anda akan sering mendengar orang berkata bahwa Papua Barat dan Papua Nugini adalah “Wanpela Graun” – satu tanah – dan bahwa Papua Barat di sisi lain perbatasan adalah keluarga dan kerabat.
Di Kepulauan Solomon, Kanaky, Vanuatu dan Fiji orang akan memberitahu Anda bahwa “Melanesia belum bebas sampai Papua Barat bebas”. Masyarakat di bagian Pasifik ini sangat menyadari bahwa orang Papua Barat terus hidup di bawah ancaman senjata.
Kemungkinan Perubahan.
Rabu terakhir 6 Maret 2013, Powes Parkop, Gubernur Distrik Ibu Kota Nasional, Papua Nugini menancapkan “warna” nya tegas ke “tiang”. Di depan kerumunan 3000 orang Gubernur Parkop menegaskan bahwa “tidak ada pembenaran, sejarah hukum, agama, atau moral bagi pendudukan Indonesia di Papua Barat”.
Menyambut pemimpin Papua, Benny Wenda, yang berada di Papua New Guinea sebagai bagian dari tur global, Gubernur mengatakan bahwa saat Wenda berada di Papua New Guinea, “tidak ada yang akan menangkapnya, tidak ada yang akan menghentikannya, dan ia dapat merasa bebas untuk mengatakan apa yang ingin ia katakan. ” Ini merupakan hak dasar yang ditolak di Papua Barat, yang terus menerus ditangkap, disiksa dan dibunuh hanya karena warna kulit mereka.
Gubernur Parkop, yang merupakan anggota dari Parlemen Internasional untuk Papua Barat, yang kini memiliki perwakilan di 56 negara, melanjutkan kegiatannya dengan meluncurkan kampanye Pembebasan Papua Barat. Dia berjanji untuk membuka kantor, mengibarkan bendera Bintang Kejora dari City Hall dan menjanjikan dukungannya untuk tur musisi Melanesia untuk Pembebasan Papua Barat.
Gubernur Parkop Tak Lagi Sendirian di Melanesia Menyerukan Perubahan.
Tahun lalu Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O’Neil “merusak” tradisi hubungan dengan Indonesia setelah mengingatkan publik dengan memberikan respon terhadap Pemerintah Indonesia atas kekerasan negara yang sedang berlangsung, pelanggaran hak asasi manusia dan kegagalan pemerintahan. Tergerak oleh 4000 perempuan dari Gereja Lutheran, O’Neill mengatakan kekhawatirannya tentang HAM terhadap pemerintah Indonesia.
Sekarang Gubernur Parkop ingin menemani Perdana Menteri dalam kunjungan ke Indonesia untuk mempresentasikan gagasannya kepada Indonesia tentang cara memecahkan konflik Papua Barat sekali dan untuk semua.
Komentator terkenal PNG, Emmanuel Narakobi berkomentar di blog-nya tentang usulan pendekatan multi-cabang dari Parkop, bagaimana memobilisasi opini publik di PNG tentang Papua Barat. “Mungkin adalah pertama kalinya saya mendengar rencana yang sebenarnya tentang bagaimana mengatasi masalah ini (Papua Barat)”. Melalui radio Gubernur Parkop menuduh Menteri Luar Negeri Australia Bob Carr tidak serius menangani isu Papua Barat, melainkan “membersihkannya di bawah karpet.”
Di Vanuatu, partai-partai oposisi, Malvatumari Nasional Dewan Chiefs dan uskup Anglikan dari Vanuatu serta Pendeta James Ligo mendesak pemerintah Vanuatu untuk mengubah posisi mereka terhadap isu Papua Barat. Ligo baru-baru ini berada di Sidang Dewan Gereja Pasifik di Honiara, Kepulauan Solomon, yang mengeluarkan sebuah resolusi mendesak Dewan Gereja Dunia untuk menekan PBB untuk mengirim tim pemantau ke wilayah Papua Indonesia.
“Kita tahu bahwa Vanuatu telah mengambil sisi-langkah itu (masalah Papua Barat) dan kita tahu bahwa pemerintah kita mendukung status pengamat di Indonesia pada MSG (Melanesian Spearhead Group), kita tahu itu. Tapi sekali lagi, kami juga percaya bahwa sebagai gereja kami memiliki hak untuk mengadvokasi dan terus mengingatkan negara-negara dan para pemimpin kita untuk khawatir tentang saudara-saudara Papua Barat kami yang menderita setiap hari.” kata Ligo.
Masyarakat Papua Barat juga mengorganisir diri mereka, bukan hanya di dalam negeri di mana kemarahan moral terhadap kekerasan negara Indonesia yang sedang berlangsung, tetapi juga di regional. Sebelum kunjungan Benny Wenda ke Papua Nugini, perwakilan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Kemerdekaan yang berbasis di Vanuatu resmi diajukan untuk mendapatkan status pengamat di MSG dalam pertemuan MSG tahun ini yang dijadwalkan akan digelar di New Kaledonia pada bulan Juni. New Caledonia, tentu saja, adalah rumah lain dari perjalanan panjang perjuangan penentuan nasib sendiri bangsa-bangsa Melanesia. Di Vanuatu Benny Wenda menambahkan dukungan untuk langkah tersebut, dengan menyerukan pada organisasi perlawanan Papua yang berbeda untuk mendukung “agenda bersama untuk kebebasan”. Sebuah keputusan tentang apakah Papua Barat akan diberikan status pengamat pada pertemuan MSG tahun ini akan dilakukan secepatnya.
Di Australia Bob Carr mungkin mencoba untuk meredam semakin besarnya dukungan publik untuk Pembebasan Papua Barat tapi di Melanesia arus bergerak ke arah yang berlawanan.*
Foto Bersama Benny Wenda dan pengungsi Papua Barat di PNG
Vanimo – Pemimpin diplomat Papua Barat di Internasioal, tuan Benny Wenda dalam agenda “Freedom Tour” telah menempatkan waktu untuk mengunjungi rakyat Papua Barat yang berada di pengungsian Papua New Guinea (PNG) selama hampir seminggu sejak 27 Februari hingga 1 Maret 2013 lalu.
Menurut pantauan crew KNPBnews, dalam kunjungan resmi itu Benny Wenda didampingi pembuat film dari Inggris Dominic Brown tinggal bersama di rumah pengungsi West Papua, mendengar penderitaan pengungsi, menyampaikan pesan-pesan perjuangan serta membahas agenda-agenda perjuangan bangsa Papua.
Pada hari Sabtu (1/3), tuan Benny Wenda mengundang pengungsi serta kelompok-kelompok perjuangan yang berada di pengungsian serta dari dalam negeri Papua Barat. Dalam pertemuan tersebut, ratusan rakyat Papua Barat hadir mendengarkan pidato terbuka dari tuan Benny Wenda.
Self-Determination: Agenda Fokus Perjuangan Rakyat West Papua
Tuan Benny Wenda, dalam pidatonya menyatakan bahwa saatnya perjuangan rakyat Papua Barat baik di dalam negeri maupun di luar negeri menyatukan agenda perlawanan dengan satu tuntutan yaitu Self Determination atau menuntut hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.
“Sekarang bukan waktunya rakyat Papua berjuang untuk organisasi atau faksi masing-masing, saya melakukan perjalanan ini untuk menyatukan agenda perlawanan bersama dengan tuntutan yang tunggal yaitu self determination, sehingga semua organisasi dan rakyat mari satukan energi dalam satu tuntutan bersama”,
tutur Benny Wenda.
Benny Wenda menyatakan bahwa West Papua dalam kanca diplomasi internasional sudah pada tingkatan yang tidak main-main.
“Diplomasi West Papua di Internasional sudah pada tahap perang terbuka dengan negara kolonial Indonesia, kami sudah tidak main-main dengan agenda rakyat West Papua dan Indonesia tidak akan menang karena rakyat West Papua sedang berjuang diatas kebenaran sejarah secara terbuka dan legal dalam sistem negara-negara di dunia”
kata pria ini yang baru lepas dari jerat interpol (DPO Internasional) sejak 2012 lalu.
Dalam pidato itu juga, Benny Wenda melakukan sharing terbuka dimana dirinya menyapa dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar perjuangan yang diajukan oleh rakyat yang mendengar pidatonya. Ia juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada rakyat PNG yang memberikan tanah bagi rakyat pengungsi Papua Barat di PNG.
Benny Wenda, dalam perjalanan diplomasi terbuka ini telah berkunjung ke Senator AS, Parlemen New Zealand, Australia dan kini dalam beberapa waktu kedepan akan berkunjung di Parlemen PNG di Port Moresby. Aktivitas perjalanannya dapat diikuti pada situs freewestpapua.org.
JAYAPURA [PAPOS] – Untuk mempererat hubungan bilateral RI-PNG khususnya di Provinsi Papua dengan Provinsi Sandaun-PNG, dan juga menjajaki kemungkinan kerjasama antarkedua provinsi, Gubernur Sandaun-Papua New Guinea [PNG] melakukan pertemuan dengan Kapolda bersama jajaran Polda Papua.
Kerjasama yang dimaksud adalah di bidang perdagangan, olahraga, budaya, kesehatan, keamanan, pendidikan dan bidang lainnya.
Usai pertemuan dengan Kapolda Papua, Irjen Pol Tito Karnavian di ruang Cenderawasih, Kamis (17/1) Gubernur Sandaun, Hon Amkat Mai didampingi Konsulat RI-PNG, Jahar Gultom kepada wartawan mengemukan, Negara PNG dengan Negara RI, dalam hal ini Kepolisian Polda Papua dipercayakan untuk melakukan tindakan hukum terhadap pelaku-pelaku yang telah dianggap melanggar hukum yang bersinergis sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Agenda dalam pertemuan itu adalah, Sister City Vanimo-Jayapura, peningkatan perdagangan antara Provinsi RI-PNG, pembangunan tugu batas Skouw-Wutung yang prasastinya telah ditandatangani oleh Presiden RI SBY dengan Perdana Menteri Michael Samore, pada bulan Maret 2010 di Port Moresby, menjajaki peningkatan kerjasama di bidang olah raga, budaya ,pendidikan dan kesehatan antara Provinsi Sandaun-PNG dengan Provinsi Papua-Indonesia.
Disinggung mengenai keberadaan pimpinan TPN/OPM wilayah Wutung, RI-PNG, Lambert Pekikir, Amkat Mai mengemukakan, nama itu belum pernah didengar sebab sebelumnya ia merupakan tenaga pengajar di Provinsi Sandaun. Ia kemudian terjun ke dunia politik dan terpilih menjadi Gubernur Provinsi Sandaun. Namun bila Polda Papua menemukan pelaku kejahatan lari dan bersembunyi di Provinsi Sandaun, maka ia minta Kepolisian Polda Papua menangkapnya sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Provinsi Sandaun dengan Provinsi Papua sepakat untuk menindak pelaku kejahatan yang diketahui bersembunyi di Provinsi Sandaun lalu menghukumnya sesuai dengan hokum yang berlaku. “Jangan karena persoalan ini hubungan yang disepakati menjadi renggang. Provinsi Sandaun-PNG mendukung Polda Papua untuk bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku terhadap pelaku kejahatan yang diketahui bersembunyi di Provinsi Sandaun,” kata Amkat Mai.
Dia menambahkan, mengingat penting dan strategisnya Provinsi Sandaun karena berbatasan langsung dengan Provinsi Papua, memungkinkan perdagangan antara kedua belah pihak baik melalui Pasar Skouw maupun laut di mana dengan dilakukannya pertemuan itu bisa menjadi jembatan untuk memperkecil berbagai perbedaan persepsi tentang isu-isu perbatasan termasuk Isu-isu keamanan untuk kepentingan bersama.
Senada juga disampaikan Kapolda Papua, Tito Karnavian. Inti dari pertemuan adalah membangun hubungan kerja sama yang baik antara Provinsi Sandaun dengan Provinsi Papua mengingat masih banyak potensi-potensi yang digali antara Provinsi Papua dengan Provinsi Sandaun. Nantinya melibatkan elemen dari pemerintahan.
Namun yang paling utama adalah penempatan anggota polisi dari masing-masing provinsi baik Sandaun maupun Papua, yang berguna untuk memudahkan bila sewaktu-waktu ada warga Provinsi Papua bersembunyi di Provinsi Sandaun bisa dikembalikan kepada kepolisian Polda Papua guna menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Sebaliknya juga bila warga Provinsi Sandaun lari ke Provinsi Papua maka polisi dari Polda Papua akan mengembalikan kepada Kepolisian Sandaun. Jadi sama hal seperti pelaku tindak kriminal bersenjata, sepanjang kelompok tersebut murni melakukan tindakan kriminal maka Gubernur Provinsi Sandaun, akan mendukung langkah kepolisian Polda Papua melakukan tindakan hukum yang akan dituangkan dalam kesepakatan atau MoU.
Lebih jauh dikatakan Kapolda Papua, mengenai transaksi peredaran narkotika jenis ganja, kedua pihak harus sepakat dan serius menanganinya sampai menangkap para pelakunya. [tom]
Terakhir diperbarui pada Jum’at, 18 Januari 2013 20:42
Jum’at, 18 Januari 2013 20:38, Binpa