Imam SetiawanJayapura- Kapolresta Jayapura AKBP Imam Setiawan mengaku sangat menghargai kelompok masyarakat yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat KNPB, pasalnya selama dirinya menjabat sebagai Kapolresta Jayapura, massa KNPB selama melakukan aksi demo belum pernah melakukan tindakan –tindakan yang anarkis.
“ Selama hampir 2 tahun saya menjabat Kapolresta Jayapura KNPB belum pernah melakukan tindakan anarkis dalam aksi unjuk rasa,” tegas AKBP Imam Setiawan saat diwawancarai wartawan di Jayapura, Rabu (10/8), kemarin. Terakhir kata Kapolres, saat aksi demo 2 Agustus, tiga hari sebelumnya dirinya sudah menghimbau agar massa tidak membawa senjata tajam dan tidak miras, dan itu terbukti terlihat mereka sangat tertib dalam melakukan aksi demo damai. “Saat kami batasi hanya di bundaran taman Imbi mereka pun tertib menggelar aksi di Taman Imbi dan bergerak ke arah Abe pun dengan tertib sampai selesai pun dengan tertib ,”kata Kapolres memberikan apresiasi.
Di singgung masalah aksi demo damai KNPB (2/8) yang dinodai adanya aksi penikaman , Kapolresta Imam Setiawan mengatakan “kalau sampai sekarang kami belum bisa ungkap siapa pelaku penikaman, oleh sebab itu kami meminta kerja sama dengan MakoTabuni Cs untuk dapat membantu mengusut kasus ini bersama sama dan dalam waktu dekat akan kami panggil pihak korban untuk bertemu lansung dengan Mako Tabuni,” tegas Imam Setiawan. (cr-32/don/l03)
Jayapura – Kendati sampai saat ini belum ada laporan hasil resmi dari penyelenggara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) International Lawyer West Papua (ILWP) yang digelar di Oxford 2 Agustus lalu, terkait rencana menggugat pelaksanaan Pepera 1969 ke Mahkamah Internasional, namun menurut Imparsial Jakarta, upaya untuk menggugat Pepera ke Mahkamah Internasional tidak akan berhasil bila dilakukan oleh ILWP. Alasannya karena syarat untuk menggungat ke Mahkamah Internasional adalah sebuah negara, sementara ILWP sendiri bukanlah suatu negara. “Pertama, ILWP itu bukanlah sebuah negara, karena yang bisa mengajukan gugatan tersebut ke Mahkamah Internasional harus sebuah Negara. Kedua, Pepera sudah disahkan oleh PBB, dan hampir semua negara mengakui bahwa Papua berada dalam NKRI, jadi saya rasa apa yang di perjuangkan oleh ILWP hanyalah “janji kosong,” karena ILWP tidak bisa melakukan itu,” kata Poengky Indarti, Direktur Eksekutif Imparsial Jakarta yang juga getol menyoroti sepak terjang militer di Papua maupun sejumlah persoalan HAM di Papua via telepon Rabu (10/8) semalam.
Menurutnya, apa yang dilakukan oleh Benny Wenda melalui ILWP maupun IPWP sebenarnya merupakan sebuah upaya untuk mencari dukungan dari negara – negara yang merasa berkepentingan dengan lepasnya Papua dari NKRI, tapi rasanya hal tersebut sulit, karena semua negara kecuali Vanuatu setahu saya sudah bulat mendukung kedaulatan Papua ke dalam NKRI.
“Aksi mereka kemarin tidak lebih upaya mencari dukungan dari beberapa negara yang diharapkan simpatik, kalau sekiranya Pemerintah sudah merasa yakin, bahwa keputusan PBB itu sudah sah, saya pikir tidak perlu terlalu bereaksi yang berlebihan terhadap Konferensi ILWP itu, jadi pemerintah harus fokus bagaimana menjawab apa yang menjadi akar masalah di Papua selama ini”, tandasnya lagi.
Sedangkan Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Yan Christian Warinussy, SH mengatakan bahwa bicara “Legal standing” atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan yang menentukan adalah aturan hukum dan penafsiran Hakim yang akan menangani perkara dimaksud.
“Dalam kaitannya dengan upaya menggugat PEPERA yang tengah di upayakan oleh ILWP, atau siapa saja, apalagi masyarakat Papua bisa mengajukan gugatan, karena terkait dengan hak-hak mereka sebagai rakyat Papua, jadi Hakim yang akan memutuskan nantinya, kalau menurut Hakim yang menangani perkara yang akan di gugat, ILWP mendapat kuasa dari rakyat Papua, bisa saja diterima”, katanya via telepon Rabu (10/8) semalam
Ia menambahkan, namun jauh lebih strategis kalau gugatan dilakukan di tingkat nasional terlebih dahulu, karena Indonesia punya sistem hukum sendiri, karena belum tentu keputusan Hakim di tingkat Mahkamah Internasional bisa serta merta di terapkan ke dalam negara berdaulat seperti Indonesia.
“Jadi saya lebih mendorong untuk dilakukan gugatan ke dalam sistem peradilan Indonesia dahulu, yang ajukan bisa saja Dewan Adat Papua, atau lembaga yang mendapat kuasa hukum dari rakyat Papua, itu prosedur yang jauh lebih tepat”, kata Advokat yang pernah meraih Penghargaan Internasional Jhon Humphrey Award dari Canada di tahun 2005 dalam bidang HAM.
Masih menurut Direktur Imparsial Jakarta, ia berharap semua stakeholder yang ada di Papua mengedepankan upaya – upaya damai dan dialog untuk mencari “jalan tengah”, kalau masing – masing pihak bersikukuh pada pendirian masing – masing, nantinya yang akan di rugikan adalah rakyat Papua yang tidak terlalu memahami masalah politik.
Sementara itu, sehubungan dengan masih berlarut – larutnya masalah di Papua, mulai dari impelementasi Otsus yang tidak berjalan sesuai keinginan rakyat banyak, maraknya aksi kekerasan yang merenggut nyawa warga sipil, serta semakin meningkatnya eskalasi politik dan aspirasi “M”, di nilai sebagai buah dari ketidak seriusan Pemerintah pusat maupun daerah untuk menuntaskan masalah di Papua.
Hal itu disampaikan oleh Direktur Imparsial Jakarta, Poengky Indarti selaku Direktur Eksekutif kepada Bintang Papua via telepon Rabu (10/8) kemarin, menurutnya Pemerintah masih “setengah hati menuntaskan masalah Papua, bahkan terkesan memang ada upaya pembiaran agar situasi di Papua tetap dalam kondisi saat ini, kisruh.
“ya, kita berharap ada kesungguhan Pemerintah baik pusat maupun daerah untuk merangkul dan menggandeng semua pihak, khususnya mereka yang selama ini menyerukan aspirasi “M” baik secara terang – terangan “menantang” negara, maupun secara halus menggunakan isu – isu lainnya untuk duduk bersama, ada kepentingan yang lebih besar yang harus di utamakan, rakyat Papua”, ujarnya
Ia juga menegaskan bahwa selama ini Pemerintah terkesan sengaja memelihara konflik di Papua, dimana tidak ada kesungguhan untuk menegakkan aturan dan hukum, jadi pertentangan demi pertentangan kebijakan terus di buat oleh Pemerintah, sehingga acap kali pendekatan represif yang di kedepankan, meski pihak mliter sudah menegaskan bahwa mereka telah melakukan perubahan yang drastis dalam menangani masalah Papua, namun kenyataan masyarakat masih merasakan suasana yang tidak berbeda dengan masa – masa sebelumnya.
“Dalam banyak kasus kekerasan, tugas polisi harusnya mengungkap siapa dalang di balik peristiwa tersebut, tapi selama ini tidak ada hasil – hasil yang nyata, jadi masyarakat bertanya – tanya, apakah benar ulah OPM, ataukah OPM gadungan yang tidak bisa di pungkiri ada OPM yang memang di pelihara oleh alat negara untuk tujuan tertentu”, tandasnya.
Untuk itu, semua berpulang ke Pemerintah baik di tingkat pusat maupun di daerah untuk memberikan pemahaman, menggandeng dan menuntaskan masalah di Papua, karena saat ini bisa di bilang belum tuntasnya masalah di Papua karena Pemerintah tidak pernah serius menuntaskan, alias hanya setengah hati saja.
Contoh kongkrit tidak keseriusan Pemerintah, adalah terkait kegiatan Benny Wenda di Inggris, yang merupakan salah satu daftar buron Interpol, tapi yang bersangkutan bebas menggalang dukungan di luar negeri, dan diketahui, tapi tidak ada upaya hukum yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia.
“ini patut dipertanyakan, saya buka di daftar buruan Interpol, selain Nunun Nurbaety, Nazaruddin yang sudah tertangkap, ada nama Benny Wenda juga di dalamnya terkait sejumlah kasus di Papua, tapi pemerintah (Polisi) sama sekali tidak ada upaya penegakan hukum, ini menjadi satu contoh nyata, betapa Pemerintah tidak serius menuntaskan masalah Papua”, jelas Poengky di ujung telepon.
Pemerintah menurutnya sengaja menggantung masalah yang ada di Papua, mulai dari polemik seputar kegagalan Otsus, gangguan kamtibmas dan penembakan yang meresahkan warga sipil, sampai kampanye “M”, sampai hari ini Pemerintah tidak melihat itu sebagai sebuah masalah yang harus di carikan solusinya.(amr/don/l03)
Salah seorang pembicara pada konferensi konferensi “Jalan Menuju Kemerdekaan” diselenggarakan di Oxford, Inggris mengatakan West Papuau menjadi hambatan untuk hubungan baik di antara negara-bangsa dan kemajuan di wilayah kami.
Powes Parkop, Guberunur DKI Port Moresby, telah datang ke konferensi di Oxford University.
Penyelenggara konferensi dimaksud menyatakan kasus yang paling kuat sekarang ini ialah hak asasi orang Papua di Indonesia untuk menentukan nasibnya sendiri.
Mr. Parkop menyatakan isu-isu keamaann dan HAM di West Papua faktor yang mengacaukan keamanan di wilayah sekitarnya.
Dikatakannya, kalau tidak begitu, wilayah ini pasti penuh damai dan makmur.
“West Papua menjadi hambatan terhadap potensi ini. Untuk saya, sebagai pemimpin nasional PNG, ini yang saya mau sampaikan kepada pihak Indonesia, bahwa, anda genggam West Papua, itu yang menyebabkan kami tidak bisa maju secara ekonomi kalau tidak kami bisa menjadi pusat perekonomian dunia dan wilayah ini menjadi rawan terhadap keamanan.”
Jayapura [PAPOS] – Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Erfi Triassunu didampingi Kasdam XVII/Cendererawasih, Brigjen TNI, Osaka Meliala, Asintel Kasdam Kolonel Chb Victor Tobing dan Waaster Letkol Kav A.H Napoleon merima kunjungan Duta Besar New Zeland untuk Indonesia, M.R. Gerard How di kediaman Pangdam, Kamis [25/11] lalu.
Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu Duta Besar New Zeland membahas tentang pelanggaran HAM dan keadaan alam di Papua, untuk menanggapi pertanyaan tersebut Pangdam XVII/Cenderawasih menjelaskan bahwa kasus Video tersebut sudah diselesaikan dan pelaku kekerasan sudah diproses secara hukum yang berlaku di Militer.
Selain membahas tentang pelanggaran HAM di Papua, Duta Besar New Zeland sangat mendukung penuh Papua dan Papua Barat adalah bagaian dari integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ,Duta Besar New Zeland juga mendukung penolakan Pepera yang selama ini banyak di suarakan oleh sekelompok orang agar diterbitkan Pepera di Papua.
Kunjungan Duta Besar New Zeland ke Kodam XVII/Cenderawasih merupakan suatu bentuk kerjasama dan menjaga hubungan baik antar negara, diakhir kunjungannya Duta Besar New Zeland dan Pangdam XVII/Cenderawasih saling memberi cinderamata kepada sebagai kenang-kenangan. [loy]
Written by Loy/Papos
Saturday, 27 November 2010 00:00
Seorang mantan perdana menteri Vanuatu dan pemimpin Partai Progresif Melanesia, Barak Sope, telah meminta pemerintah untuk terus menerapkan tekanan politik, diplomatik dan hukum di Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Jakarta untuk memungkinkan Papua Barat untuk mengadakan referendum kemerdekaan dari Indonesia.
Mr Sope membuat panggilan melalui surat kabar harian Pos sebagai pemerintah Edward Natapei adalah mengurangi dari upaya lobi administrasi sebelumnya.
Dia mengatakan perdana menteri pertama Vanuatu, Pastor Walter Lini, selalu mempertahankan bahwa selama pulau-pulau lain dan daerah di Pasifik tetap koloni, Vanuatu tidak independen baik.
Menurut Tuan Sope, Pastor Lini mengatakan Papua Barat seharusnya menjadi negara pertama di Pasifik untuk menjadi mandiri dan mendesak rezim Natapei untuk mensponsori kasus di pengadilan Amerika untuk menyatakan tindakan Papua Barat dari pilihan bebas inkonstitusional.
Robert Guba Aisi; Permanent Representative aof Papua New Guinea to the United Nations
Papua New Guinea telah memajukan solusi damai di masa-masa lampau untuk menyelesaikan isu West Papua, tetapi kini PNG sangat terganggu dengan kekerasan yang dilakukan baru-baru ini oleh serangan militer terhadap penduduk sipil keturunan orang Melanesia. Kami punya hubungan bak dengan Indonesia karena mereka sedang membangun menuju demokrasi dan perlakuan baik terhadap orang West papua, tetapi intervensi ini akan mengganggu semuanya dan akan merusak negosiasi yang sudah berlangsung selama ini kalau tidak ada langkah yang diambil.
Intervensi militer hampir pasti terkait dengan ketegangan etnik antar kelompok dan harus diakhiri, untuk memberikan jalan kepada pemerintahan yang demokratis dan untuk sebuah referendum atau otonomi sebagaimana yang baru-baru ini diselenggarakan di Timor Timur.
Kami memohon kepada semua delegasi untuk mendukung upaya-upaya untuk kepada Dewan Hak Asasi Manusia (PBB) dan (kalau isu kehadiran militer ini menjadi isu mengganggu sekali lagi, maka) ke Dewan Keamanan.
Papua New Guinea melihat isu ini secara langsung penting sekali dan percaya bahwa sekarang perlu ada penyelesaian diplomatik sebelum perang sipil menyebar di West Papua.
————–
Papua New Guinea dengan hormat minta delegasi untuk memberhatikan secara khusus kepada dokumen-dokumen berikut :
1. Reports of Indonesion military operations;
2. Allegations of excessive use of force during police operations;
3. Alleged extrajudicial killings during previous Indonesian operations in West Papua
Tanggapan Indonesia:
The Republic of Indonesia mengakui pernyataan Papua New Guinea dan menghargai pendapat mereka.
Akan tetapi wilayah West Papua adalah bagian dari Republik Indonesia; dan Indonesia tidak menambah pasukan militer di provinsi itu;
Perang-perang yang terjadi di sana hanyalah perang-perang suku (Ed – perang di antara orang Papua sendiri karena orang Papua suka dengan perang suku).
Kami mau katakan hal ini sekarang,
“Pemerintah Indonesia tetap berpegang teguh kepada pendapat untuk bergabung dengan Indonesia lewat Referendum yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969.”
Banyak pembicaraan sedang berlangsung bagaimana menyelenggarakan referendum di dalam West Papua, dan untuk mencari penyelesaian yang demokratis.
——————— Tanggapan Balik PNG: Robert Guba Aisi; Permanent Representative of Papua New Guinea to the United Nations
Penentuan Pendapat Rakyat, sebagaimana telah ditunjukkan dokumentasi Amerika Serikat, tetapi legitimasinya sendiri sudah dipertanyakan berulang-kali, dan setelah berkonsultasi dengan Vanuatu tentang hal ini, ditambah lagi dengan intervensi militer ke West Papua baru-baru ini, membuat kami secara tegas mengadvokasi untuk penarikan pasukan miiter dari West Papua, mengakhiri peperangan dan melakukan suatu investigasi yang benar dan independen tentang status orang Papua di West Papua. Kami percaya bahwa investigasi sebagaimana diusulkan oleh Vanuatu merupakan langkah logis menuju penyelesaian yang legal dan secara politis atas isu West Papua.
Keputusan Internatioanl Court of Justice tentang legalitas Kemerdekaan Kosovi pada Juli 2010 menjadi satu presenden untuks secara angsung mempertimbangkan pengusulan kasus ini ke lembaga dimaksud.
Pembicaraan-pembicaraan tentang West Papua harus dilangsungkan dalam suatu forum yang terbuka, untuk mengizinkan sebuah negosiasi yang bebas dan adil yang akan menghindari kesalahan-kesalahan yang lalu terulang dalam menangani kasus ini. Penentuan Pendapat Rakyat dimaksud hanya melibatkan kurang dari 5% penduduk West Papua waktu itu, yang perlu dipertimbangkan saat ini, mengingat situasi di West Papua membutuhkan perhatian kemanusiaan yang segera.
———————— Tanggapan William Hague, Menlu Inggris:
Foreign Secretary
Saya setuju dengan delegasi Papua bahwa perlu ada investigasi dari PBB. Hak menentukan nasib sendiri harus menjadi presenden di sini, masyarakat West Papua harus diberikan peluang untuk menyampaikan pendapat.
————-
Tanggapan Selandia Baru: Murray McCully, New Zealand Minister of Foreign Affairs and Trade
Pemerintah Selandia Baru berpendapat sama dengan pemerintah Inggris bahwa perlu ada investigasi dari PBB untuk mengurangi ketengan di wilaya itu, dan menyerukankepada pemerintah Papua New Guinea dan pemerintah Indonesia untuk menghindari peningkatan krisis dimaksud.
—————————— Tanggapan Indonesia:
Indonesia akan menghadiri pembicaraan-pembicaraan seperti ini.
Akan tetapi, kami sekarang ini percaya bahwa West Papua harus tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia. Saat ini Indonesia tidak akan menarik pasukan militer dari West Papua, karena kami perduli atas penduduk sipil yang tidak bersalah yang perlu perlindungan dari militer kami. Rali-rali kemerdekaan sekarang ini semakin dipenuhi kekerasan, dan keterlibatan militer perlu untuk menjaga keamanan memang berguna untuk sementara waktu dalam waktu singkat, hanya penyelesaian jangka panjang harus dicari sekarang ini.
Kami menghargai pendapat Inggris dan Selandia Baru, dan terimakasih untuk menyampaikan hal ini kepada kami. Kami akan menaati semua aturan PBB yang sudah ada tentang West papua, akan tetapi kami percaya bahwa provinsi ini harus tetap ada di dalam Indonesia. Kami rasa orang West Papua lebh aman (Ed- lebih selamat) kalau mereka tinggal di dalam Indonesia (Ed-artinya kalau mereka merdeka, mereka tidak selamat. Selamat dari apa, atau siapa?”).
——————– Tanggapan Papua New Guinea: Robert Guba Aisi; Permanent Representative of Papua New Guinea to the United Nations
Intervensi militer di West Papua bukan sebuah solusi. Secara historis, kehadiran militer tidak membawa hasil apa-apa untuk memperbaiki krisis, resikonya justru membakar situasi berakibat kematian di pihak orang West Papua. Kehadiran militer juga penyebab utama krisis kemanusiaan bagi negara-negara tetangga seperti Australia dan Papua New Guinea, karena kami tidak punya sumberdaya untuk pelarian pengungsi berikutnya menyeberang perbatasan.
———————– Tanggapan dari Fiji: Commodore Frank Bainimarama, CF, MSD, OStJ,
Prime Minister of the Republic of Fiji,
Commander of the Republic of Fiji Military Forces
Laporan berita begitu jelas bagi kami, campurtangan miiter dimulai sebagai tanggapan terhadap protes pro kemerdekaan yang semakin meningkat, jadi tidak secara langsung dilihat sebagai upaya untuk menghindari kemerdekaan. Ini harus dilihat sebagai upaya untuk menghindari kampanye yang semakin dipenuhi kekerasan, walaupun aksi-aksi yang dilakukan tidak direncanakan secara baik.
Fokus sekarang harus diarahkan kepada penanganan (isolasi) demonstrasi yang penuh kekerasan, sementara itu mengizinkan protes-protes secara damai. Ini dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan mendorong dan melengkapi anggota polisi dan pejabat pemerintah yang berasal dari West Papua untuk bernegosiasi dengan para demonstran secara damai itu, sambil itu menarik pasukan dari wilayah itu untuk menghindari kleim kelompok yang memprotes itu mengatakan tindakan militeristik teradap penduduk sipil
Diskusi keseluruhan harus diarahkan diantara berbagai faksi, dan langkah-langkah normalisasi hukum dan lingkungan yang tertib hukum.
———————— Tanggapan dari Denmark:
Heir Apparent Crown Prince Frederik, elder son of the monarch
Saya berbicara dari perwakilan Denmark untuk PBB dalam diskusi ini. Walaupun saya setuju dengan Menlu Inggris William Hague, orang West Papua harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sebuah penyampaian suara dengan jalan damai, dan tidak dengan pertumpahan darah. Saya katakan bahwa referendum di dalam West Papua harus diselenggarakan.
Perdana Menteri Vanuatu, Edward Natapei, mengatakan pemerintahnya akan gagal jika memaksakan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia TANPA dukungan regional.
Organisasi Papua Merdeka, O-P-M, mempunyai kantor perwakilan di Vanuatu dan mengatakan kecewa bahwa Perdana Menteri Natapei tidak mengangkat isu tersebut dalam pertemuan antar Forum Kepulauan Pasifik di Port Vila minggu lalu.
Wartawan Radio Australia melaporkan bahwa dalam komunike Forum Pasifik tidak disebut-sebut soal Papua Barat walaupun parlemen Vanuatu baru-baru ini dengan suara bulat mengesahkan resolusi yang mendukung kemerdekaan Papua Barat.
Ketika ditanya mengapa ia tidak mengangkat isu tersebut dalam pembicaraan dengan para pemimpin Forum Pasifik lainnya, Perdana Menteri Natapei mengatakan bahwa ia terlebih dahulu ingin mendapat dukungan dari Kelompok Ujung Tombak Melanesia.
Bulan lalu ia menangguhkan pertemuan tahunan kelompok itu akibat masalah lain yakni tidak ingin mengikut-sertakan Komodor Frank Bainimarama, Perdana Menteri Fiji yang tidak dipilih rakyat, yang akan menggantikannya sebagai ketua kelompok.
Sekjen Koalisi Nasional Bagi Kemerdekaan Papua Barat mengatakan pihaknya merasa ditelantarkan.
Perdana Menteri Natapei mengakui, memang ada isu HAM bagi warga Melanesia di Papua Barat, namun ia tidak ingin melihat Vanuatu maju sendirian memperjuangkan masalah tersebut dan gagal total.
PORT VILA (PRLM).- Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Edward Natapei mengatakan, pemerintahnya akan gagal jika memaksakan kemerdekaan Papua Barat dari Indonesia tanpa dukungan regional. Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang mempunyai kantor perwakilan di Vanuatu merasa kecewa karena Perdana Menteri Natapei tidak mengangkat isu tersebut dalam pertemuan antar Forum Kepulauan Pasifik di Port Vila minggu lalu.
Seperti dikutip Radio Australia, Senin (9/8), dalam komunike Forum Pasifik tersebut tidak disebut-sebut soal Papua Barat walaupun parlemen Vanuatu baru-baru ini dengan suara bulat mengesahkan resolusi yang mendukung kemerdekaan Papua Barat.
Ketika ditanya mengapa ia tidak mengangkat isu tersebut dalam pembicaraan dengan para pemimpin Forum Pasifik lainnya, Perdana Menteri Natapei mengatakan bahwa ia terlebih dahulu ingin mendapat dukungan dari kelompok regional Melanesia.
Bulan lalu ia menangguhkan pertemuan tahunan kelompok itu akibat masalah lain yakni tidak ingin mengikutsertakan Komodor Frank Bainimarama, Perdana Menteri Fiji yang tidak dipilih rakyat, yang akan menggantikannya sebagai ketua kelompok.
Sekjen Koalisi Nasional Bagi Kemerdekaan Papua Barat mengatakan pihaknya merasa ditelantarkan.
Perdana Menteri Natapei mengakui, memang ada isu HAM bagi warga Melanesia di Papua Barat, tetapi ia tidak ingin melihat Vanuatu maju sendirian memperjuangkan masalah tersebut dan gagal total. (A-133/A-147)***
Hal : Undangan Halaman Duka PapuaPost.Com dan Pengisian Polling
Kepada YTH,
Elemen Prodemokrasi Indonesia
Di Tempat
Salam Demokrasi!!
Perjuangan penegakan HAM dan Demokrasi di Indonesia, nampaknya mulai kembali menuai represi dari TNI. Bangkit kembalinya peran politik TNI dipentas perpolitikan Indonesia hari ini, tidak lain dan tidak bukan, merupakan kemenangan mereka atas supremasi hukum, supremasi sipil dan demokrasi.
Reklame politik TNI yang telah berhasil menghegemoni setiap lini sosial kehidupan rakyat. Disatu sisi, TNI dengan segenap struktur teritorialnya menjalankan politik cuci tangan dari setiap bentuk pelanggaran HAM yang pernah mereka lakukan, disisi yang lain, seteleh mendapat simpati publik yang besar, TNI kembali mengeluarkan wajah angkara murkanya yang asli dengan mulai merepresi gerakan-gerakan prodemokrasi di Jakarta dan yang lebih parah terjadi kepada kelompok-kelompok pejuang HAM dan Demokrasi di daerah konflik seperti Papua dan Aceh.
Kematian Sdr. Munir, SH, bagi kami, Aliansi Mahasiswa Papua dan Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka, tidak lepas dari politik represi TNI yang dilakukan terhadap setiap aktivis HAM dan Demokrasi di Indonesia. Kematian Sdr. Munir merupakan misteri yang perlu terus diteliti. Ada banyak cara dipakai oleh regime yang anti demokrasi dan anti rakyat untuk menghabisi para pejuang keadilan. Apalagi Regime Megawati saat ini adalah regime yang berkolaborasi dengan TNI / Polri untuk menjaga kekuasaan sekaligus juga menghamba kepada kepentingan modal internasional. Sikap dualisme diperlihatkan oleh sebagian besar elit politisi sipil Indonesia, yang katanya "reformis" tetapi kenyataan mengatakan, sekarang justru merekalah yang menhianati reformasi.
Tidak ada kata lain, selain melawan. Ya, dengan persatuan perlawanan yang kuat-lah setiap bentuk tirani atas kemanusiaan dapat dikalhkan oleh kuasa rakyat, kuasa rakyat yang selama ini dikhianati oleh elit borjuasi yang berkolusi dengan TNI dan menghamba pada kapitalisme.
Militerisme adalah satu nilai dan sistem yang sedang menguat dan sangat berpengaruh bagi keterbukaan demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, kami mengundang seluruh elemen gerakan prodemokrasi di Indonesia, untuk bersama-sama membangun opini alternatif dan memberikan sebuah kampanye politik yang luas di massa-rakyat terhadap sistem dan nilai Militerisme yang tidak berpihak pada rakyat dan anti demokrasti itu.
Kami mengajak anda sekalian, untuk mengunjungi URL:
http://papuapost.com/phpBB/viewtopic.php?t=3
Adalah URL khusus yang disediakan oleh WPNews Group & Keluarga Besar PapuaPost.com Online untuk penyampaian Belasungkawa kepada Sdr. Munir SH, dan juga dibuka polling pendapat tentang hubungan kematiannya yang misterius dengan keterlibatan pihak-pihak tertentu (TNI / BIN). Masih terlalu dini untuk menjustifikasi lembaga atau orang, tetapi bagi kami, dari sekian banyak kasus penghilangan paksa oleh berbagai regiem otoriter didunia, kami dapat pula menduga, bahwa kematian Sdr. Munir SH, bukanlah kematian biasa, tetapi ada kaitan dengan aktivitas kemanusiaan yang selama ini dilakukan oleh Munir, baik di KontraS maupun dalam lembaga Imparsial yang baru dijalaninya dengan kawan-kawan seperjuangan.
Demikianlah ajakan pengisian halaman duka pada PapuaPost.Com, kami sampaikan kepada seluruh elemen prodemokrasi Indonesia.
Salam Solidaritas!
KP AMP
=========
Hans Gebze
Sekertaris Jendral
Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP AMP)
E-mail:[EMAIL PROTECTED] & [EMAIL PROTECTED]
Web Site:http://www.westpapua.net/ & http://www.melanesianews.org/