Tapol Papua : Terima Kasih Moana

FILEP KARMA (JUBI/APRILA)

Jayapura, 8/3 (Jubi) – Salah satu tahanan politik (tapol) Papua, Filep Karma dan mantan tapol Papua, Yusak Pakage, mengucapkan terima kasih kepada Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Moana Carcasse Kalosil atas pidatonya yang luar biasa tentang situasi HAM di Papua dalam Sidang HAM PBB yang baru saja berlangsung, 5 Maret 2014 lalu.

“Puji Tuhan untuk apa yang sudah dilakukan Moana bagi rakyat Papua,”

kata Filep saat ditemui tabloidjubi.com di Lembaga Permasyarakatan (Lapas) Klas IIA Abepura, Kota Jayapura, Papua, Jumat (7/3) siang.

Menurut Filep, bagaimanapun usaha dilakukan menutupi kebenaran, tetap saja kebenaran tak dapat dikalahkan.

“Sudah saatnya dunia tahu tentang penderitaan bangsa dan rakyat Papua. Saya berharap  negara-negara demokratis di dunia harus segera merespons apa yang disampaikan PM Vanuatu itu,”

katanya.

Masih terkait Sidang HAM PBB, Yusak Pakage, salah satu mantan tapol Papua yang mana namanya disebut bersama-sama dengan Filep Karma dalam pidato HAM tersebut mengatakan, dirinya sangat berterima kasih pada apa yang telah dilakukan Moana.

“Terima kasih yang sangat dalam untuk Moana, atas nama seluruh orang Papua yang menjadi korban dan telah menderita di atas tanah Papua. Mereka yang menderita di dalam penjara, di tengah rimba, di tempat pengungsian ataupun tempat pelarian. Tuhan telah membuka mata hatinya atas penderitaan rakyat Papua,”

jelas Yusak kepada tabloidjubi.com di Padangbulan, Kota Jayapura, Sabtu (8/3) sore.

Menurut Yusak, PM Vanuatu adalah malaikat Tuhan yang memperhatikan dan mendengar jeritan hati nurani orang Papua selama ini.

“Sudah cukup banyak orang Papua yang dibunuh, disiksa , dipenjara, dikejar-kejar, diteror. Selama itu pula, negara-negara maju bersikap seolah-olah tak tahu pada apa yang dialami bangsa Papua. Padahal, Papua adalah dapur negara-negara maju ini, terutama Amerika dengan Freeport-nya dan Inggris dengan British Protelium-nya. Mereka seolah-olah tidak melihat penderitaan rakyat Papua karena mereka memang hanya ingin menguras kekayaan alam Papua,”

Yusak menegaskan. (Jubi/Aprila)

  on March 8, 2014 at 20:30:29 WP,TJ

Pidato PM Vanuatu Dihadapan Sidang HAM PBB 25 :

Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25 (IST)

Jayapura, 5/3 (Jubi) – Selasa, 4 Maret 2014, pukul 12.15 waktu Jenewa, Perdana Mentri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25. Dihadapan para pemimpin negara-negara anggota PBB ini, Moana menyampaikan keprihatinan tentang situasi yang dialami rakyat Melanesia di Papua. Moana juga mempertanyakan komitmen dalam sidang HAM PBB yang dari tahun ke tahun seakan buta dan tuli terhadap masalah Orang Asli Papua. Di akhir pidatonya, Moana menegaskan komitmen pemerintahannya untuk terus memperjuangkan hak-hak dasar bangsa Papua di atas tanahnya sendiri.

Pidato PM Vanuatu ini bisa disaksikan di laman UN Web TV.

Berikut transkrip pidato PM Vanuatu yang diterjemahkan oleh Jubi. Transkrip berbahasa Inggris bisa diakses di laman West Papua Daily

———-

REPUBLIK VANUATU

Pidato oleh

YANG MULIA MOANA CARCASSES KATOKAI KALOSIL
PERDANA MENTERI REPUBLIK VANUATU

DI HADAPAN SIDANG TINGKAT TINGGI DEWAN HAK ASASI MANUSIA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA YANG KEDUA PULUH LIMA

JENEWA, SWISS

4 MARET 2014

Tuan Ketua Sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB
Tuan Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon
Delegasi-delegasi yang terhormat
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,

Republik Vanuatu amat bersyukur untuk dapat menyampaikan pidato pada pertemuan hari ini.

Saya datang kemari untuk bergabung dengan para pemimpin dunia guna membahas dan mengangkat keprihatinan mengenai tantangan hak asasi manusia yang berbeda-beda yang melanda jutaan warganegara tak berdosa di seluruh penjuru dunia, mulai dari negara-negara kepulauan dan di dalam negara-negara di semua benua.

Tuan Ketua, fokus dari pidato saya di sini dan hari ini terdiri dari dua hal penting tapi menyangkut masalah-masalah yang amat penting bagi seluruh penduduk negara saya. Pertama, saya hendak memusatkan perhatian atas hak masyarakat adat untuk memraktikan ritual adat dan spiritual mereka di dua pulau kami di Provinsi Tafea, Selatan Vanuatu. Dan kedua, saya akan memaparkan kepada sidang sebagian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang telah mencapai tingkat yang sangat meresahkan bagi masyarakat demokratis di seluruh dunia.

Tuan Ketua, perjuangan negara saya untuk meraih kemerdekaan politis di tahun 1980 ditandai dengan berbagai aksi protes sosial dan munculnya berbagai gerakan politis di negara kami. Kami bangsa Melanesia diperintah oleh Inggris dan Perancis di tanah kami sendiri. Sebelum tahun 1980 kami tidak memiliki status negara di negeri kami dan kami juga bukan warganegara Perancis atau Inggris. Selama 3 empat dasawarsa, kami dibenturkan dengan aturan asing. Dengan demikian kami harus berjuang untuk membentuk identitas sebagai bangsa merdeka yang hidup di negeri kami secara bermartabat. Kemerdekaan adalah tujuan kami. Ini adalah dorongan kuat yang menggerakan para pemimpin kami untuk meraih sesuatu yang tidak lebih kurang dari kemerdekaan politis. Kami tidak berjuang untuk kemerdekaan karena secara keuangan dan ekonomi kami sudah siap. Kami tidak berjuang untuk kemerdekaan karena tuan-tuan penjajah membunuh bangsa kami. Tidak. Kami berjuang untuk kemerdekaan politis karena Tuhan kami telah memberikan hak untuk bebas. Kebebasan adalah hak yang tidak tergadaikan. Itu adalah hak asasi manusia. Dan Vanuatu dinyatakan merdeka pada 30 Juli 1980.

Tiga puluh tiga tahun sesudah kami merdeka, saya senang untuk menyatakan bahwa Perancis telah mulai menunjukkan niat baiknya kepada masyarakat adat kami yang pergi mengunjungi dua dari pulau-pulau yang amat sakral, Umaepnune (Matthew) dan Leka (Hunter) di bagian Selatan negeri kami guna memenuhi kewajiban adat dan spiritual mereka. Ritual dan upacara-upacara adat terus dilangsungkan di pulau-pulau lain di Provinsi Tafea setiap tahunnya meski sebelumnya ada pelarangan yang diterapkan oleh Pemerintah Perancis terhadap masyarakat adat kami untuk bepergian ke Pulau-pulau suci Umaepnune dan Leka guna memenuhi kewajiban adat dan kultural mereka.

Tuan Ketua, sekarang saya ingin membahas tantangan-tantangan hak asasi manusia yang sudah bersifat kronis dan telah berdampak serius bagi masyarakat adat Melanesia di Tanah Papua sejak 1969. Dan saya berbuat ini dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati.

Negara saya dalam forum ini hendak menggemakan apa yang menjadi keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Kami sangat prihatin tentang cara dan sikap komunitas internasional yang mengabaikan suara orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan secara keras ditekan sejak tahun 1969.

Tuan Ketua, Anda memimpin sidang dalam organ PBB yang paling mulia: Dewan HAM PBB. Tetapi apa yang kita buat saat hak-hak bangsa Melanesia di Tanah Papua ditindas oleh campur tangan dan kehadiran militer? Sejak Pepera tahun 1969 yang bersifat kontroversial itu, Bangsa Melanesia di Papua telah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia. Dunia telah menyaksikan litani penyiksaan, pembunuhan, perampasan, perkosaan, penyerbuan militer, penangkapan sewenang-wenang dan perpecahan masyarakat sipil akibat operasi intelijen. Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan tersebut tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan menurut UU no. 26/2000 (KOMNAS HAM 2001, 2004).

Dalam suasana ketakutan dan penindasan protes politik, dan pengabaian masyarakat internasional secara terang-terangan termasuk PBB dan negara-negara berkuasa sejak 1969, senyatanya ras yang terlupakan ini masih berani mendambakan persamaan dan keadilan. Namun demikian negara-negara demokratis tetap bungkam seribu bahasa.

Tuan Ketua, sebagai warga Melanesia, saya datang kemari untuk menyerukan adanya tindakan segera. Ketidakadilan di Tanah Papua adalah ancaman atas prinsip keadilan dimanapun di dunia. Saya tidak tidur ketika saya tahu bahwa di tahun 2010 Yawan Wayeni, yang dikenal sebagai seorang pemberontak direkam oleh aparat keamanan saat rebah di pinggir kolam bersimbah darah dengan usus memburai dari perutnya. Saya prihatin ketika di tahun 2010 Telengga Gire dan Anggen Pugu Kiwo diikat oleh TNI dan secara keji disiksa. Sungguh-sungguh memprihatikan saat saya melihat tayangan video saat sekelompok laki-laki Papua diikat dan ditendang oleh para prajurit TNI tak berseragam yang seharusnya melindungi mereka. Saya gelisah karena antara Maret 2011 dan Oktober 2013, 25 orang Papua telah dibunuh dan tidak ada tindakan untuk membawa pelaku ke meja hijau. Sungguh memalukan bagi saya, warga Melanesia, saat mengetahui bahwa sekitar 10% dari populasi Papua telah dibunuh oleh tentara Indonesia sejak 1963. Meski 15 tahun proses reformasi Indonesia telah berlangsung, saya juga cemas bahwa bangsa Melanesia akan segera menjadi kaum minoritas di tanah mereka sendiri.

Tuan Ketua, dalam dunia yang kini begitu erat terhubung dengan teknologi baru, seharusnya tidak ada lagi dalih mengenai kurangnya informasi mengenai situasi hak asasi manusia yang menimpa orang Papua selama lebih dari 45 tahun. Carilah internet dan riset kalangan akademisi dan LSM-LSM internasional, dan Anda akan menemukan fakta-fakta dasar yang menggambarkan pelanggaran hak-hak orang Melanesia di Papua secara brutal. Tetapi mengapa kita tidak membahasnya dalam Sidang ini? Mengapa kita memalingkan muka dari mereka dan menutup telinga kita terhadap suara-suara sepi orang Papua, yang banyak di antaranya telah menumpahkan darah demi keadilan dan kebebasan yang mereka dambakan. Banyak yang menjadi martir yang telah dianiaya dan dibunuh secara keji karena mereka menyuarakan suara-suara yang tak terucapkan dari jutaan manusia yang kini hidup dalam ketakutan di lembah-lembah dan puncak-puncak gunung di Papua. Mereka menuntut pengakuan dan persamaan hak serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia mereka dan hak untuk hidup secara damai. Akankah sidang Agustus nanti mendengarkan rintihan mereka dan ambil langkah untuk melindungi hak-hak asasi mereka dan mengakhiri segala kesalahan masa lalu itu?

Saya telah mendengarkan dengan seksama suara seorang mantan PNS Tuan Filep Karma dan mahasiswa Yusak Pakage yang masing-masing divonis penjara 15 dan 10 tahun. Mereka berseru dari balik terali besi dan menyerukan agar negara-negara di Pasifik bersuara menentang ketidakadilan yang menimpa mereka. Kami ini anak-anak pejuang yang gigih berjuang selama Perang Dunia II di Pasifik dan yang telah berhasil membawa damai dan keamanan di belahan bumi Pasifik. Kini saatnya kami berkewajiban untuk membawa damai bagi kampung-kampung dan masyarakat-masyarakat adat Papua dengan memperjuangkan hak-hak dasar mereka yang bagi sebagian terbesar dari kita di sini telah kita terima begitu saja secara cuma-cuma.

Saya sungguh merasa bersemangat karena perkara ini sekarang telah sampai di meja Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa dan kami berharap ada tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia bagi saudara dan saudari kami di Papua. Selanjutnya saya menyerukan kepada pemerintah negara-negara maju, khususnya negara-negara Afrika dan negara kepulauan Karibia dan Pasifik agar mengutuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini. Saya ingin menyuarakan kembali kata-kata Martin Luther King Jr., yang mengatakan dalam pidatonya di tahun 1963 bahwa,

“tidak ada hal di dunia ini yang lebih berbahaya daripada sikap pengabaian yang polos dan ketololan yang disengaja.”

Kita negara-negara demokratis tidak boleh mengabaikan erang kesakitan bangsa Papua.

Tuan Ketua, keprihatinan yang kami angkat ini lebih daripada sekedar perkara menjaga 70% kekayaan minyak dan gas di Papua. Ini adalah perkara status politis. Keprihatinan kami di sini lebih daripada sekedar perkara ekonomis dimana 80% kekayaan hutan, laut dan tambang tetap menjadi milik Papua. Ini adalah perkara penghormatan atas hak asasi dan eksistensi bangsa Melanesia. Perhatian kami tidak menyangkut berapa banyak mereka disuap dengan sendok emas, melainkan seberapa jauh mereka dihargai hak-haknya sebagai sesama warganegara. Dan sejauh mana masyarakat sipil diberi hak untuk menyampaikan pendapat mengenai mutu pemerintahan di tanah mereka sendiri karena inilah yang menjadi ukuran suatu demokrasi yang hidup dan berkembang.

Tuan Ketua, akses harus diberikan kepada ahli-ahli hak asasi manusia PBB, wartawan internasional and LSM internasional untuk mengunjungi Papua.

Dari berbagai sumber sejarah telah nyatalah bahwa bangsa Melanesia di Papua adalah kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera akan kekayaan sumber alam yang dimiliki Papua. Tuan Ketua, jika Utusan Sekjen PBB waktu itu, Tuan Ortiz Sanz telah mengibaratkan Papua sebagai kanker “dalam tubuh PBB dan tugas beliau adalah menghilangkannya,” maka dari apa yang telah kita saksikan ini amat jelaslah sekarang bahwa kanker ini tidak pernah dihilangkan tetapi sekedar ditutup-tutupi. Suatu hari, kanker ini akan didiagnosa. Kita tidak boleh takut jika PBB telah membuat kesalahan di masa lalu. Kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya.

Tuan Ketua, sebagai penutup, pemerintahan saya berkeyakinan bahwa tantangan hak asasi manusia di Papua harus dibawa kembali ke dalam agenda PBB. Saya menyerukan agar Dewan HAM PBB mempertimbangkan untuk mensahkan resolusi mengenai keadaan hak asasi manusia di Papua. Mandat sebaiknya mencakup penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan memberikan saran bagi penyelesaian politik secara damai di Papua. Hal sedemikian akan membantu upaya Presiden Yudhoyono dalam mengupayakan dialog untuk Papua.

Terimakasih sekali lagi atas kesempatan untuk menyampaikan pendapat saya dalam forum ini.

Long God Yumi Stanap. Dalam Tuhan kami berpijak. Terimakasih.

———-
(Jubi/Admin)

 on March 5, 2014 at 21:52:23 WP,TJ

4 Maret, PM Vanuatu Akan Pidato Soal HAM Papua di Sidang Dewan HAM PBB

Ilustrasi, Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil saat berpidato di Sidang PBB. Foto: pacific.scoop.co.nz

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH — Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil dipastikan berpidato soal kondisi Hak Asasi Manusia (HAM) Papua pada Sidang Tahunan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UN Human Rights Council, di Jenewa, Swiss, Selasa, 4 Maret 2014 mendatang.

Dalam jadwal resmi yang diterima majalahselangkah.com malam ini, Sabtu, (01/03/14), Moana Carcasses Kalosil akan berpidato dalam High Level Segmen selama kurang lebih 10 menit, 12.00:12.10 waktu setempat.

Sidang Tahunan Dewan HAM PBB akan dibuka secara resmi, Senin (03/03/14) oleh Sekretaris Jenderal PBB, Mr. Ban Ki-Moon; President of Human Rights Council, Mr. Baudelaire Ndong Ella; President of General Assembly, Mr. John W. Ashe;  High Commissioner, Ms. Navi Pillay;  Host Country,  Mr. Didier Burkhalter, President of the Swiss Confederation. Sidang berakhir 6 Maret 2014.

Dalam High Level Segmen tanggal 4 Maret 2014 itu, selain Perdana Menteri (PM) Vanuatu Moana Carcasses Kalosil yang akan bicara soal kondisi HAM Papua, 19 negara lain akan menyampaikan pandangan mereka tentang kondisi HAM di seluruh dunia.

Negara-negara yang akan berpidato pada High Level Segmen4 Maret 2014 adalah Equatorial Guinea, Greece, Estonia, Malaysia, South Africa, El Salvador, Saudi Arabia, Czech Republic, Venezuela (Bolivarian Republic of), Dominican Republic, Angola, International Committee of the Red Cross, Romania, Monaco, Hungary, United Arab Emirates, Denmark, Serbia, Community of Portuguese Speaking Countries.

Koordinator Juru Runding Bangsa Papua Barat, Octovianus Mote dalam wawancara elektronik bersama majalahselangkah.com malam ini mengatakan, PM Vanuatu akan melanjutkan apa yang ia sudah bicarakan dalam Sidang Umum PBB di New York tahun lalu.

“Ini pertama kali seorang kepala negara membawa masalah pelanggaran HAM Papua melalui mekanisme tertinggi dalam PBB. Selama ini yang terjadi adalah hanya memberi kesaksian. Sedangkan yang terjadi sekarang ini masalah Papua dimasukkan dalam agenda resmi PBB,”

kata Mote dari Amerika Serikat.

“Ini langkah awal untuk mendorang sebuah resolusi,”

kata mantan Wartawan Kompas itu.

Octovianus Mote adalah satu di antara lima pejuang Papua Merdeka di luar negeri yang dipilih sebagai juru runding penyelesaian masalah Papua oleh seluruh dewan adat se-tanah Papua dan seluruh komponen perjuangan lainnya dalam sidang Papua Tanah Damai yang dibuka Menteri Koordinator Polhukham Juli 2011silam. Empat juru runding lainnya adalah Dr. John Otto Onawame di Vanuatu, Rex Rumakiek di Australia, Benny Wenda di Inggris, dan Leoni Tanggahma di Belanda.

Ketika ditanya soal keikutsertaan Indonesia pada Sidang Tahunan Dewan HAM PBB ini, kata Mote,

“Indonesia anggota UN Human Rights Council jadi pasti hadir dan pasti akan memberikan komentar sesudah PM Vanuatu bicara. Dalam jadwal, Indonesia belum mengajukan diri sebagai pembicara utama. Tetapi dalam mekanisme, sesudah pidato masing-masing negara, Indonesia punya hak bicara 1 sampai 2 menit untuk memberikan reaksi terhadap apa yang disampaikan. Waktu itu Indonesia akan pakai haknya.”

Kata Mote, Moana Carcasses Kalosil akan mengungkapkan apa yang terjadi di Papua.

“Terpenting juga PM Moana kemungkinan mengungkapkan soal kesalahan yang terjadi pada Pepera Tahun 1969, Act of Free Choice pada rakyat Papua Barat.”

Dikutip voaindonesia.com, edisi, Sabtu, 01 Maret 2014, Departemen Luar Negeri Amerika Kamis, 28 Februari 2014 lalu di Washington DC telah mengeluarkan Laporan Hak Asasi Manusia. Dalam laporan itu disoroti berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia, di antaranya penyerbuan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta, masih terjadinya aksi kekerasan di Papua, serta kegagalan melindungi hak kelompok minoritas dan agama.

Diketahui, Sidang Tahun PBB di Geneva digelar tiap tahun tiga kali Maret, Juli dan September. (Yermias Degei/MS)

Sabtu, 01 Maret 2014 23:35,MS

Batu Sandungan Utama Dukungan MSG ialah Orang Papua dan Cara Main Politik Papua Merdeka Sendiri

Sejak dari dulu sampai hari ini, kami harap besok tidak begitu, yang menjadi penghalang utama, penghambat sangat berarti dan batu sandungan bagi kemerdekaan bangsa Papua ialah orang Papua sendiri. Hal ini mengingatkan saya tentang ucapan Kepala Suku Amungme: Thom Beanal waktu Kongres Rakyat Papua II, 2000: “Musuh terbesar dan terutama orang Papua dalam menyuarakan dan menggolkan aspirasi bangsa Papua ialah orang Papua sendiri, bukan Indonesia.”

Berikut petikan Wawancara PMNews dengan Sekretaris-Jenderal Tentara Revolusi West Papua Lt. Gen. Amunggu Tabi yang menanggpi secara serius terhadap kegagalan untuk ke sekian kalinya menggalang dukungan di kalangan masyarakat Melaensia.

Wawancara dilakukan per telepon.

PMNews: Selamat Sore Bapak.

TRWP: Selamat Sore dan selamat bertemu kembali.

PMNews: Kami mau lanjutkan percakapan kami yang lalu terputus, terkait dengan kedatangan para utusan dari negara-negara Melanesia ke Tanah Papua pertengahan bulan ini.

Pada pembicaraan lalu, Bapak katakan “Let Us do it in Melanesian Way!” dan bukan “Let us Do it because We Are Melanesians” saja. Bisa secara singkat mereview kembali maksud ini?

TRWP: Baik. Maksudnya jangan kita punya diplomasi didasarkan kepada pemikiran bahwa mereka orang Melanesia, dan kita juga orang Melanesia, jadi kita lobi ke orang-orang kita sendiri di Melanesia dan karena sama-sama Melanesia, mereka akan lebih paham masalah kita dan akan membela diri mereka sendiri dengan membela tanah air mereka sendiri, West Papua. Pemikiran ini boleh, tetapi ini merupakan pemikiran sampingan saja, pendukung saja. Pemikiran utama kita harus tahu bahwa diplomasi dan politik yang kita mainkan di sini antar engara dan di antara negara-negara yang ada di dunia ini sudah ada aturan mainnya dan sudah ada lembaga-lembaga yang dibentuk untuk memelihara dan memainkan aturan-aturan dimaksud. Kita bangsa Papua bukan bagian dari pemain atau anggota dari permainan dan aturan-aturan itu, justru NKRI dan negara-negara Melanesia adalah satu barisan dalam hubungan itu, Jadi cara kita bermain harus lebih memfokuskan diri kepada diplomasi ala Melanesia, untuk mengimbangi dan menerobos batas dan bingkai yang telah dibangun masyarakat internasional.

PMNews: Kami tegaskan kembali, itu berarti kami harus memahami hukum-hukum internasional dan pendekatan hukum, bukan hanya politik untuk menggalang dukungan ini, begitu?

TRWP: Salah satunya ya, begitu. Salah duanya pendekatan perjuangan kita haruslah memahami mentalitas dan budaya politik orang Melanesia. Indonesia justru kesulitan memahaminya dan selalu saja salah. Kita orang Melanesia sendiri malah salah main padahal itu mentalitas dan budaya politik dan diplomasi kita sendiri. Kita coba-coba pendekatan politik modern, berdasarkan pendidikan politik Indonesia, jadi kita main salah.

PMNews: Bisa diberitahu kepada rakyat West Papua apa maksud dari “Politik dan diplomasi ala Melanesia?”

TRWP: Wah. Ini media yang malaikat baca, ibilis-pun baca, jadi saya jelas tidak bisa menyebutkan bagaimana caranya. Dengan judul itu saja semua orang Melanesia seharusnya tahu apa yang saya maksudkan. Pertama sekali, kita orang Melanesia harus buang jauh-jauh buku-buku diplomasi dan politik modern, baru kita ke honai adat, dan belajar dari orang tua, bagaimana mereka dulu berdiplomasi dan berpolitik.

PMNews: Kami mohon lanjutkan lagi penjelasannya.

TRWP: Begini. Kita sebagai orang Melanesia tahu bagaimana caranya kita menghadapi masalah dan selesaikan masalah, bagaimana caranya kita ke honai adat teman, saudara, paman, kerabat kita minta untuk bantu kerja kebun, atau bahkan untuk bantu berperang. Jangan lupa, orang Melanesia masih orang Melanesia. Ke-Melanesia-an kita bukan ada di kulit atau rambut, dia ada di arah dan daging. Semua orang tahu dan selalu mempraktekkan diplomasi dan poltik Melanesia sampai hari ini. Di Tanah Papua masih berlaku sampai detik ini. Hanya pertanyaannya, “Kenapa ini tidak dibawa ke dalam diplomasi dan politik Melanesia?”

PMNews: Bagaimana kalau seandainya ralyat West Papua menganggap apa yang dikatakan di sini hanyalah idealisme yang tidak realistis?

TRWP: Tanyakan kepada rakyat West Papua semuanya, apakah mereka paham ini, apakah mereka mempraktekkan politik dan diplomasi ala Melanesia? TRWP sudah buktikan itu di kawasan Melanesia. Mulai sejak tahun 2004 – 2013, selama sepuluh tahun ini sudah ada bukti-bukti yang terlihat. Sekarang ada politisi PNG yang bicara terbuka tentang Papua Merdeka, bahkan sampai Bendera Bintang Kejora bisa berkibar di Kantor Gubernur DKI Port Moresby. Ini pekerjaan siapa: PDP, DAP, MRP? Coba Anda ke lapangan, anggota TRWP ada di mana saat ini? Di perbatasan jaga nyamuk sama dengan yang dibuat prajurit TNI?

Kami tidak usah bicara terlalu mendalam, tetapi tanyakan kepada Dr. Otto Ondawame dan Mr. Andy Ayamiseba sebagai senior dalam tubuh OPM. Apa yang telah TRWP lakukan tahun 2004 di Vanuatu? Tanyakan kepada mereka bagaimana dukungan sampai hari ini telah tertanam dan berakar mendalam di dalam jiwa-raga orang Melanesia di sana sampai siapapun yang jadi Perdana Menteri di Vanuatu tetapi isunya mendukung Papua Merdeka? Isu Papua Merdeka di Vanuatu bukan lagi isu partai politik dan tokoh politik seperti dulu. Ini sudah jadi isu rakyat Vanuatu, isu Kepala Suku, isu Gereja-Gereja di Vanuatu. Itu yang harus kita buat di Papua New Guinea. Dan itu yang TRWP sedang lakukan di Vanuatu.

PMNews; Kalau apa yang dilakukan TRWP di Melanesia sudah sekian lama dan sudah sekian jauh, kenapa tidak diberitakan di media-media di Tanah Papua saja?

TRWP: Kami buat sesuatu bukan untuk disiarkan di media-media di Indonesia. Kami lakukan semua untuk kemerdekaan West Papua, bukan untuk disiarkan.

PMNews: Sekarang berkat perjuangan dari WPNCL, dan dukungan dari TRWP dan OPM para utusan MSG telah datang ke Tanah Papua di Bagian Barat, tetapi kami baca berita hari kemarian dan hari ini bahwa kemungkinan WPNCL diterima menjadi peninjau dan kemudian anggota MSG terhambat atau bakalan ditolak. Bagaimana pendapat Anda?

TRWP: Itu ulah negara Republik Federasi yang diproklamirkan dalam Kongres Rakyat Papua III, yang mengangkat Kepala Suku Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden. Ada politisi dan diplomat Papua sampai hari ini yang bertindak dan berkata-kata terutama untuk mencari nama dan cari makan. Itu masih ada sampai hari ini.

Lihat saja, pada saat MSG sedang bertemu dan bangsa Papua sedang berdemo besar-besaran mendukung WPNCL, di tempa sidang sana masih ada yang menentang WPNCL.

Ini konyol, kesalahan Fatal. Presiden mereka, Mr. Yaboisembut seharusnya menegur bawahannya atau menterinya. Pak Yaboisembut itu Kepala Suku, dari Sabron Samon, jadi dia tahu tatakeramah orang Melanesia dalam berpolitik. Kenapa dia tunjuk diplomat yang tidak sopan seperti ini, yang tidak berbudaya Melanesia seperti ini? Itu konyol. Politisi dan diplomat yang mendatangkan malapetaka bagi bangsa yang sudah dirundung malang ini.

PMNews: Yang simaksud siapa?

TRWP: Saya tidak perlu menyebutnya. Anda tahu siapa. Itu pertanyaan salah itu.

PMNews: Minta maaf.

TRWP: Tidak apa-apa, itu biasa di dunia pemberitaan.

PMNews: Semua orang Papua menuduh Indonesia sebagai biang keladi kegagalan diplomasi bangsa Papua di Melanesia. Tetapi kelihatannya di sini pihak orang Papua sendiri yang dituduh?

TRWP: Sejak dari dulu sampai hari ini, kami harap besok tidak begitu, yang menjadi penghalang utama, penghambat sangat berarti dan batu sandungan bagi kemerdekaan bangsa Papua ialah orang Papua sendiri. Hal ini mengingatkan saya tentang ucapan Kepala Suku Amungme: Thom Beanal waktu Kongres Rakyat Papua II, 2000: “Musuh terbesar dan terutama orang Papua dalam menyuarakan dan menggolkan aspirasi bangsa Papua ialah orang Papua sendiri, bukan Indonesia.”

Presiden Terima Tiga Menlu Negara Rumpun Melanesia

JAKARTA — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menerima kunjungan kehormatan para menteri luar negeri negara-negara Pasifik rumpun Melanesia (Melanesian Sparhead Groups/MSG), di Kantor Presiden, Rabu (15/1).

Tiga menlu MSG yang datang, yakni Menlu Papua Nugini (PNG) Rimbink Pato, Menlu Fiji, Ratu Inoke Kubuabola dan Menlu Kepulauan Solomon, Soalagi Clay Forau. Para menlu datang ke Indonesia, bersama kepala delegasi negara MSG, sejak 11 Januari lalu.

“Mereka berada di Indonesia atas undangan pemerintah untuk meningkatkan hubungan bilateral Indonesia dan negara-negara Pasifik, khususnya MSG, di bidang ekonomi dan pembangunan,” kata Menlu RI Marty Natalegawa dalam keterangan pers seusai mendampingi Presiden dalam pertemuan itu.

Ketiga menlu telah berkunjung ke Jayapura (Papua) dan Ambon (Maluku) untuk melihat perkembangan dan pembangunan di sana. Menurut Menlu Marty, kunjungan tersebut untuk meningkatkan pemahaman tentang perkembangan di dua provinsi tersebut.

“Meningkatkan pemahaman tentang perkembangan di Papua dan Papua Barat karena para menlu pada waktunya nanti diharapkan memberikan rekomendasi pada pemimpin negara masing-masing,” sambungnya.

Dalam pertemuan dengan Presiden SBY tadi, ketiganya menginformasikan apa yang mereka lihat dalam kunjungan ke Indonesia. Presiden sendiri, lanjut Marty, menekankan pentingnya hubungan bilateral dengan masing-masing negara, juga kepentingan antara kawasan Pasifik dan Asia Tenggara.

Menlu PNG Rimbink Pato, yang memberi keterangan pers sesudah Marty membenarkan bahwa kunjungannya ke Papua dan Maluku untuk melakukan hubungan dengan masyarakat Indonesia. “Terdapat sekitar 11 juta bangsa Melanesia di kedua provinsi tersebut. Kami ingin melihat apa saja yang terjadi di Papua dan Maluku, serta Maluku Utara. Kami sekaligus melihat hubungan antara MSG Grup dan Indonesia,” ujar Pato.

Pato menyampaikan bahwa dalam pertemuan tadi, Presiden SBY berbagi pandangan tentang perkembangan di provinsi-provinsi tersebut serta visi konektivitas Indonesia. Pato menyambut baik visi tersebut dan berharap Indonesia juga mengembangkan konektivitas dengan negara-negara Melanesia, begitu pun sebaliknya.

Menurut Pato, dalam pembicaraan dengan Presiden SBY tadi juga dibahas peningkatan kerja sama pendidikan, ekonomi, kebudayaan, dan teknologi.

Mendampingi Presiden ketika menerima ketiga menlu MSG ini, antara lain, Menko Polhukam Djoko Suyanto, Mensesneg Sudi Silalahi, Menlu Marty Natalegawa, Menteri Kelautan dan Perikanan Sharif Cicip Sutardjo, dan Seskab Dipo Alam. (flo/dom/jpnn)

Ditulis oleh Redaktur Sumeks, Rabu, 15 Januari 2014 20:17

Enhanced by Zemanta

Gubernur: Lupakan Masa Lalu

Wamena Airport, Papua Province, Indonesia
Wamena Airport, Papua Province, Indonesia (Photo credit: Wikipedia)

JAYAPURA — Usai menerima kedatangan delegasi yaitu para Menlu Melanesian Spearhead Group (MSG), Gubernur Papua Lukas Enembe meminta semua pihak untuk melupakan masa lalu. “Kalau ada pelanggaran HAM dan kini kita tata kembali demi masa depan dan kemajuan rakyat Papua,” tegasnya.

Hal ini dikatakan Gubernur didampingi Sekda Papua Hery Dosinaen dan Asisten III Recky D Ambrauw siang lalu Senin (13/1) usai melakukan pertemuan tertutup selama dua jam dengan delegasi MSG yang diantaranya dari Papua Nugini diwakili Hon Rimbink Pato, Kemudian dari Fiji HE Ratu Noke Kubuabola, serta Solomon Hon Soalaoi Clay Forau.

Diakui oleh Gubernur semasa orde baru banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, akan tetapi sejarah sudah mencatat dan reformasi telah bergulir.

“Dimana kita ada pada jalur reformasi. Indonesia lebih terbuka dari sebelumnya dan kepada siapa saja. Dengan demikian, reformasi membawa dampak yang membuat lahirnya UU No.21 Thn 2001, yang membawa dampak bagi rakyat Papua. Itu yang saya katakan kepada delegasi MSG,”

aku Gubernur.

Dengan demikian sebagai Gubernur dirinya mendorong untuk lebih membangun rakyat Papua.

“Semua potensi yang ada di Papua akan digunakan untuk rakyat Papua. Ini yang saat ini saya sedang berjuang sebelum Presiden SBY datang ke Papua. Saya juga meminta agar pajak yang dikirimkan ke Jakarta dikembalikan ke Papua. Ini baru penyelesaian menyeluruh bagi rakyat Papua,”

jelasnya panjang lebar.

Kunjungan dari delegasi MSG ini, terangnya, lebih mendekatkan kepada kelanjutan dari MSG atas permintaan orang Papua yang berada di sana, untuk melihat Papua. Mereka ini baru pertama kali datang ke Papua, dan nantinya perwakilan dari Papua akan melakukan kunjungan balasan.

“Ini pertemuan lebih terbuka. Sehingga semua orang bisa melihat perubahan yang terjadi di Papua. Tidak ada lagi tekanan politik, pelanggaran HAM, Ini lebih terbuka. Nantinya hubungan ini akan lebih dibangun lewat kerjasama budaya, ekonomi dan juga kita akan saling melakukan kunjungan,”’

ujar Gubernur.

Gubernur Papua bersama Delegasi MSK (TabloidJubi.com)
Gubernur Papua bersama Delegasi MSK (TabloidJubi.com)

Pada pertemuan ini juga dibahas mengenai Otonomi Khusus Plus. Dimana Pemerintah Pusat saat ini berusaha mencari solusi untuk kemajuan rakyat Papua.

“Itu yang kita sudah jelaskan dan kita lupakan masa lalu kalau ada pelanggaran HAM dan ini kita tata kembali demi masa depan dan kemajuan rakyat Papua, ” harapnya.
Sementara itu pimpinan delegasi MSG dari Papua Nugini Hon Rimbink Pato usai pertemuan kepada wartawan mengatakan, hasil pertemuan tertutup dengan Gubernur Papua banyak hal yang dibicarakan. Dimana menurutnya menjadi bahan diskusi yang sangat menarik.

Dalam pertemuan itu juga Negara-Negara Kepulauan Pasifik yang tergabung MSG ini, merasa ada kesamaan Provinsi Papua dari segi budaya.

“Kami membahas semuanya secara detail. Termasuk juga kesepakatan pembangunan ekonomi, regulasi Papua dan program di Indonesia, serta dibidang perdagangan Joint venture,” jelasnya yang menggunakan bahasa Inggris.

Delegasi MSG ini juga mengakui penerapan otonomi khusus di Papua yang diberikan oleh Pemerintah Indonesia berjalan dengan sangat bagus.

Rimbink Pato juga mengakui dua Negara lainnya yakni Vanuatu dan New Kaledonia memutuskan mengundurkan diri berkunjung ke Papua disaat-saat terakhir keberangkatan. “Kami tidak tahu alasannya,”tambahnya.

Sementara itu kedatangan delegasi tiga Negara anggota MSG ini diwarnai dengan aksi pemalangan Kampus Universitas Cenderawasih dari Gerakan Mahasiswa Peduli Rakyat (Gempar). Para mahasiswa ini melakukan orasi didalam kampus dengan pengawalan aparat keamanan.

Sepanjang jalan dari arah Sentani – Jayapura, situasi aman dan kondusif. Usai melakukan Pemprov Papua delegasi MSG juga akan melakukan pertemuan dengan Kodam XVII Cenderawasih.

Gunakan Heli ke Bandara Sentani, Massa Gempar Anggap Itu Pecundang
Kedatangan kelima Menteri Luar Negeri Anggota Foreign Ministers Mission (FMM) Melanesian Spearhead Group (MSG) Papua disambut dengan demo para mahasiswa yang tergabung dalam organisasi Gempar di depan Gapura Uncen Abepura.

Hal yang menarik, bahwa ada sejumlah turis dari negara luar yang melakukan kunjungan ke Museum Uncen Waena, dan mengira itu kelompok delegasi MSG, sehingga sempat menyampaikan orasinya.

Sambil berdemo, para mahasiswa membakar ban dan menyampaikan orasi politiknya secara bergantian oleh perwakilan mahasiswa. Demo yang dilakukan sejak pagi hingga siang pukul 13.30 Wit terpaksa bubar dengan sendirinya, karena harapan bertemu dengan delegasi MSG di depan Gapura Uncen Abepura tidak kesampaian, karena delegasi MSG menggunakan Helikopter milik TNI ke Bandara Sentani, tidak menggunakan kendaraan mobil.

Para pendemo ketika melihat Helikopter, spontan berteriak bahwa Pemerintah Indonesia penakut dan pecundang.

Sementara itu, salah satu Orator, yakni, Alfaris Kapisa, menandaskan, pada dasarnya delegasi MSG sudah tahu pelanggaran HAM dan ketidakadilan yang dialami oleh rakyat Papua, meskipun kenyataan ada upaya dari Pemerintah Indonesia untuk mengalangi delegasi MSG melihat langsung kondisi pelanggaran HAM di lapangan.

Dalam orasinya itu juga meminta kepada para mahasiswa dan rakyat Papua untuk memboikot pelaksanaan Pemilu 2014 dan seterusnya, dan para mahasiswa diminta mengawal pelaksanaan pencoblosan untuk melihat siapa yang coblos, dan jika ada orang asli Papua yang mencoblos, itu berarti dia itu adalah Yudas yang mengkhianati perjuangan luhur kemerdekaan rakyat Papua yang sedang berjuang saat ini. Spontan saja orasinya itu disambut setuju oleh massa pendemo.

“Kita sepakat untuk boikot pemilu dan tidak usah bayar SPP, karena dari uang itu digunakan untuk bayar polisi untuk datang memukul kita,” ungkapnya dalam orasinya di depan masa pendemo di Gapura Uncen Abepura, Senin, (13/1).

Dirinya menyerukan kepada seluruh komponen rakyat Papua untuk menyaturkan barusan untuk berjuang, karena perjuangan ini berat, dimana yang dibelakang Negara Indonesia itu Amerika Serikat dan Negara-Negara luar yang mempunyai kepentingan ekonomi di Tanah Papua. Dan kasus Biak berdarah dan Wamena Berdarah Tahun 1977 itu pada dasarnya didalangi oleh Amerika dan Australia.

Sedangkan orator lainnya yang tidak menyebutkan namanya, menghimbau kepada para mahasiswa untuk berhati-hati dengan BEM, karena ada sejumlah BEM, seperti BEM Uncen melakukan MoU dengan pemerintah dengan hanya memanfaatkan perjuangan para mahasiswa untuk mencari kepentingannya semata, bukan kepentingan para mahasiswa dan rakyat Papua.

Ditempat terpisah, Salah satu Badan Pengurus Komite Nasional Papua Barat (NRPB), Tony Kobak, mengatakan, sangat kecewa atas kehadiran MSG yang secara tersembunyi. Apalagi, kesepakatan awalnya bertemu dengan rakyat Papua itu tidak terlaksana. Itu akibat dari dibungkamnya ruang demokrasi di Papua.

“Indonesia mengaku diri sebagai negara demokrasi itu sangat tidak benar, kalau negara demokrasi, maka berikan ruang untuk rakyat Papua sampaikan aspirasi,” bebernya. Menurutnya, kehadiran MSG di Tanah Papua, bukan berarti Papua langsung merdeka, jadi seharusnya Pemerintah Indonesia berikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk sampaikan aspirasinya, bukan dihalang-halangi.

“Kami mau sampaikan aspirasi ke MSG bahwa kami adalah bagian dari Melanesia, bukan orang Indonesia, dan kami mau sampaikan bahwa rakyat Papua banyak terjadi pelanggaran HAM. Janji di sidang Nomea harusnya dipenuhi, bukan datang ke Papua tapi tidak penuhi janji. Jadi kami kecewa,”

tukasnya lagi.

Dirinya juga menilai bahwa penangkapan terhadap aktivis HAM dan aktivis Papua merdeka merupakan penangkapan sewenang-wenang tanpa ada pelanggaran yang dibuat, bahkan rakyat Papua diintimidasi dan diteror. Dan tentunya disini dirinya mempertanyakan undang-undang Indonesia yang menyatakan menyampaikan pendapat dimuka umum yang tidak dilaksanakan sendiri oleh aparat keamanan.

“Kami mempertanyakan undang-undang itu, dimanakah keadilan bagi rakyat Papua. Kami harusnya dihormati, karena untuk sementara kami ada di Indonesia, tapi selama ini kami tidak dihormati dan malah diinjak-injak. Demokrasi hanya diatas kertas. Jangan alamatkan kami rakyat Papua Barat sebagai teroris, karena kami sampaikan kebenaran,”

tandasnya.(ds/Nls/don/l03)

Rabu, 15 Januari 2014 03:36, BinPa

Enhanced by Zemanta

Awas! Gubernur Papua terindikasi Mengidap Penyakit “Lupa!”

Gubernur Papua Lukas Enembe bersama Isteri didampingi Delegasi MSP (BintangPapua.com)
Gubernur Papua Lukas Enembe bersama Isteri didampingi Delegasi MSP (BintangPapua.com)

Menanggapi ajakan Gubernur Papua, Lukas Enembe sebagaimana dilansir TabloidJubi.com 13, Januari 2014, “TERKAIT KEDATANGAN MSG, GUBERNUR AJAK SEMUA PIHAK LUPAKAN MASA LALU“, dan BintangPapua.com dengan berita yang sama, Tentara Revolusi West Papua menyatakan situasi Papua “Darurat!” karena gubernurnya mengidap Penyakit Sosial -Budaya yang paling dihindari manusia beradab di seluruh muka Bumi, yang telah menelan banyak korban: lelaki, perempuan, kecil, besar, tua, muda: Penyakit Lupa.

Lewat telepon langsung yang diterima PMNews, TRWP menyatakan, “Gubernur Papua harus dibedah di Gereja atau di Rumah Adat karena sekarang di Indonesia tidak ada rumah sakit seperti ini. Karena kalau lama-lama, ia bisa meningkat ke kategori “penyakit jiwa”.

Menurut pesan langsung ini, TRWP menyatakan bahwa penyakit mematikan yang diderita Gubernur selama ini sudah kelihatan gejalanya tetapi kami belum berani mengambil kesimpulan, “penyakitnya apa?” Nah, sekarang ini sudah dengan terbuka diakui oleh sang Gubernur sendiri.

Masih menurut pesan langsung ini,

“Sekarang orang Papua sementara tidur dan bangun pikir baik-baik, apa akibat dari kepemimpinan seorang Gubernur yang mengidap penyakit sosial-budaya seperti ini? Ini penyakit turunan dari gubernur-gubernur sebelumnya, penyakit yang melahat dalam denyut jantung gubernur Papua. Orang Papua bersama Lukas Enembe tidak akan bangkit untuk Mandiri dan Sejahtera, kalau sudah terkena virus ini”,

katanya.

Selanjutnya dikatakan bahwa yang pernah melupakan masa lalu ialah manusia-manusia yang terganggu jiwanya dan rohnya terbelenggu di dalam cengkeraman penganiaya dan penjajah.

“Gubernur lupa bahwa bangsa yang besar ialah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Dan sekarang ini dia menjabat sebagai Gubernur Papua dan dia kedatangan tamu-tamu dari negara-negara Melanesia semuanya merupakan lanjutan dari sejarah masa lalu, bukan bagian dari rencana masa depan. Kalau tidak ada sejarah kelam di masa lalu, tidak mungkin orang-orang Melanesia ini datang berkunjung ke Tanah Papua.”

Menurut TRWP, akibat dari penyakit sosial-budaya ini ialah jenis kebangkitan Papua dalam motto gubernur “Papua Bangkit” dan bentuk kemandirian dan kesejahteraan yang dimaksudkan Gubernur akan menjadi duri dan sekam di dalam dagingnya sendiri. Menurut SekJend TRWP,

“Gubernur seharusnya tidak bicara masalah-masalah politik dan HAM. Gubernur punya tugas melayani para tamu, berterimakasih kepada mereka dan memberikan pernyataan-pernyataan terkait dengan mottonya Papua Bangkit untuk Mandiri dan Sejahtera, bukan bicara tentang HAM dan sejarah Papua. Ia jelas terintimidasi, penyakit turunan masih mengidap setiap gubernur yang diangkat dan bertahta di Dok 2 Jayapura. Atau apakah yang dia maksudkan Papua Bangkit untuk Mandiri dan Sejahtera dengan cara melupakan sejarah? Kalau begitu, Gubernur harus masuk ruang Gawat-Darurat Penyakit Sosial-Budaya.”

kata Sekjend TRWP, Lt. Gen. Amunggut Tabi. Menurut Tabi bangsa yang memenuhi syarat untuk dijajah ialah bangsa yang selalu melupakan masa lalunya. Bangsa yang selalu melupakan masa lalunya ialah bangsa yang terus-menerus dijajah. Tidak pernah ada bangsa tertindas dan terjajah di dunia ini yang melupakan masa lalunya lalu pernah bangkit untuk mandiri dan sejahtera.

“Bagaimana orang yang terjajah bangkit? Bagaimana sejahtera dan mandiri? dalam kondisi tertindas dan terjajah?” Ini kalimat orang pengidap penyakit lupa daratan.” Gubernur Lukas Enembe lupa juga bahwa Otsus dan Otsus Pluas, sampai dia sebagai orang pegunungan bisa menjadi Gubernur bukan karena reformasi NKRI, tetapi karena orang Papua menuntut hak menentukan nasib sendiri, yaitu karena sebagian besar orang Papua tidak mengidap penyakit sosial-budaya: Lupa Masa Lalu ini,”

kata Amunggut Tabi dan telepon tiba-tiba terputus. PMNews berharap pesan-pesan dari TRWP akan dilanjutkan.

 

Enhanced by Zemanta

Babak Baru Nasib Papua Paska Menlu MSG

English: Coat of arms of Republic of West Papu...
English: Coat of arms of Republic of West Papua Bahasa Indonesia: Lambang Republik Papua Barat Русский: Герб Республики Западное Папуа (Photo credit: Wikipedia)

Usai berkunjung ke Papua Barat 13 Januari 2014, pertemuan singkat empat menteri luar negeri negara-negara pasifik yang juga bagian dari Melanesian Spearhead Groub (MSG), Lukas Enembe selaku Gubernur Papua menerima kunjungan tersebut. Misi yang digagas Indonesia dengan menuangkannya dalam bentuk kerjasama ekonomi (join statemen ekonomi), salah satunya adalah tidak mengganggu wilayah kedaulatan masing-masing.

Menanggapi hal itu, seluruh rakyat Papua dan Papua Barat menolaknya. Bagi mereka, seharusnya, MSG berkunjung ke Papua terkait resolusi KTT-MSG yang mana menegasikan penentuan nasib sendiri West Papua. Bahkan, ketemu dengan mereka yang punya aplikasi ke MSG. Hal serupa juga dinyatakan oleh negara Vanuatu yang merupakan corong kemerdekaan Papua Barat saat ini, sehingga menarik diri dari misi tersebut.

Walau kehadiran menlu MSG seolah-olah pro-Pemerintah pusat dan daerah, tetapi, mereka (pejuang Papua) masih punya amunisi politik yang mendapat dukungan penuh dari jajaran negara Vanuatu.

Perlu diketahui, delegasi MSG selama berkunjung, seluruh biaya ditanggung negara Indonesia. Sehingga apa yang mereka lakukan selama di Papua dan Indonesia, sesuai dengan pemberi dana. Kecuali, kedatangan mereka didukung oleh suatu badan independen. Bagaimanapun juga, empat menlu MSG yang hadir ke Papua, seluruh pembiayaan perjalanan ditanggung Indonesia sebagai negara pengundang. Sehingga, ketika ruang dialog yang di inginkan orang Papua agar delegasi bertemu dengan komponen yang bersebrangan dengan Indonesia, tak realisasi. Ya, kemauan Jakarta (pusat) tak mau memakai dana negara bagi kepentingan menyambungkan persoalan Papua. Mereka fokus pada upaya kerjasama ekonomi saja.

Sampai saat ini, kementerian politik, hukum dan keamanan, sebagai pihak yang menjalankan misi ini, belum membuka berapa nilai uang negara yang digunakan.

Sebenarnya, dikatakan empat menteri luar negeri tidak benar. Karena Kanaky Sosialis masih menunggu referendum pada September tahun ini. Sehingga, yang berstatus menlu pada misi ini hanyalah tiga menlu (PNG, FIJI dan Salomon). Namun, konteks Melanesian Spearhead Groub, seluruh anggota dalam groub ini disebut menteri luar negeri negara-negara MSG termasuk Sosialis Kanaky. Inilah pengartian sesungguhnya dari delegasi tersebut.

Dan pada akhirnya, kedepannya setelah status Papua Barat masuk sebagai keanggotan MSG, giliran berikutnya, daerah Melanesian seperti Maluku, NTT, NTB terikut didalmnya. Sebab, zona dagang dan politik semacam ini sudah marak berdiri dibelahan dunia. Sebut saja, ALBA di Amerika Latin maupun UNI Afrika.

Tuntutan Papua medeka sekarang harus berhadapan dengan regulasi ekonomi internasional yang menjadi barometer dunia. Adanya APEC, G-77, AFTA, TPPA dan MSG. Asia-Pasifik pun dipersiapkan bahkan mempersiapkan diri menyambut berlakunya pasar bebas Asian-Pasifik. Sudah nampak polemik tersebut. Geliat yang terjadi di Papua juga merupakan ekses dunia pula. Pertarungan hegemoni ideologi kapitalis versus sosialis, tak luput dari oriestasi masa kini, termasuk bumi Papua Barat. Adanya perlombaan menancapkan kepentingan ekonomi, memicu eskalasi politik regional dan internasional.

Sampai proses ini, pada akhirnya, pertarungan ekonomi dan perjuangan Papua Merdeka, terus bertolak belakang. Dimana perjuangan mewujudkan negara Papua Barat sebagai satu wilayah politik yang sejajar dengan negara-negara dunia. Apa yang terjadi dengan kehadiran delegasi menteri luar negeri melanesia, merupakan pola lama yang terus dipakai dalam mengatasi masalah Papua. Cara kasi uang sebagai bentuk suap, kerjasama ekonomi demi mengalihkan tuntutan demokrasi dan hak asasi Manusia, budaya dan politik kedaulatan.

Pemerintah Indonesia tentu mengangap bahwa babak baru Papua paska kunjungan empat menlu MSG adalah bagaimana pemerintah Indonesia mengatasi persoalan tuntutan kemerdekaan dalam zona dagang dunia. Sebab, dunia saat ini bergaining pada konteks market. Sementara gerakan Papua Merdeka menilai bahwa aplikasi kemerdekaan dilaihkan kedalam bentuk kerjasama ekonomi, bentuk pelecehan nyata bagi cita-cita pemenuhan hak, yang terus dilakukan oleh penguasa Indonesia yang notabene menjunjung tinggi mukadimah konstitus Republik Indonesia “Kemerdekaan Adalah Hak Segala Bangsa, Maka dari itu Penjajahan harus di hapuskan”.

OPINI | 14 January 2014 | 21:30, Kompasiana, Oleh Arkilaus Baho

Enhanced by Zemanta

Delegasi Negara – Negara Melanesia Tiba Pukul 05:20 WP, Dengan Pesawat Non Reguler

Pesawat Fokker 100, PK-TWN milik PT. Transwisata Prima Aviation (IST)

Jayapura, 13/1 (Jubi) – Delegasi negara-negara Melanesia yang direncanakan mengunjungi Papua tiba di Jayapura hari ini (13/1) sekitar pukul 05.20 WIT, menggunakan pesawat milik PT. Transwisata Prima Aviation.

seperti yang diagendakan, Menlu Fiji H.E. Ratu Inoke Kubuabola, Menlu Papua New Guinea Mr. Hon Rimbink Pato dn Menlu Kepulauan Solomon Mr. Hon Soalaoi Clay Forau dan perwakilan FLNKS tiba di Bandara sentani, Jayapura hari ini, Senin (13/1). Kedatangan delegasi negara-negara Melanesia ini disambut oleh Pangdam XVII/cenderawasih, Kapolda Papua, Danlanud Jayapura, Bupati Jayapura dan para Muspida Kabupaten Jayapura serta tamu undangan lainnya. Namun tak tampak dalam delegasi ini Joe Natuman, Utusan Khusus Vanuatu untuk Dekolonisasi, seperti yang diberitakan sebelumnya oleh media ini.

Dari informasi yang dikumpulkan Jubi, delegasi ini terbang ke Jayapura menggunakan pesawat yang tidak dischedulekan untuk terbang secara reguler ke Papua. Delegasi ini tiba dengan menggunakan pesawat Fokker-100 milik PT. Transwisata Prima Aviation. Pesawat beregister PK-TWN ini diterbangkan melalui bandara Halim Perdana Kusuma melalui Ambon, sebelum tiba di Jayapura dengan membawa 33 orang dengan 9 orang crew.

Setibanya di bandara, Delegasi bersama Muspida langsung menuju Swiss Bell Hotel, tempat para menteri luar negeri negara-negara Melanesia ini direncanakan menginap selama 2 hari kunjungan mereka di Papua. Selama dua hari, delegasi ini akan bertemu Gubernur Papua dan DPRP dalam rangka promosi ekonomi dan pembangunan. (Jubi/Victor Mambor)

January 13, 2014 at 09:42:57 WP,TJ

Diplomasi dengan Negara-Negara Melanesia: Let us Do it In Melanesian Way

Bendera Negara-Negara Melanesia yang Sudah Merdeka Saat ini (dari tabloidjubi.com)
Bendera Negara-Negara Melanesia yang Sudah Merdeka Saat ini (dari tabloidjubi.com)

Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Gen. TRP Mathias Wenda lewat Secretary-General Lt. Gen. Amunggu Tabi mengirimkan pesan-pesan singkat ke Crew PMNews dengan pesan berjudul: Menindaklanjuti Kunjungan para Menlu MSG Hari ini, Diplomasi di Melanesia perlu diteruskan dengan motto: “Let us Do It in Melanesian Way” bukan hanya diwarnai oleh motto: “Let us Do It Because We are Melanesians.”

Mendapatkan pesan itu, PMNews menelepon MPP TRWP dan menanyakan penjelasan lebih lanjut. Dalam penjelasan per telepon Gen. Tabi menyatakan

karena identitas, hargadiri dan martabat kita sebagai orang Melanesia hanya terorientasi kembali saat kita berdiplomasi lewat koridor, mekanisme dan jalur-jalur diplomasi ke-Melanesia-an” Kalau tidak begitu, diplomasi bangsa Papua pasti gagal, karena NKRI lebih duluan berjuang melawan penjajah, lebih duluan merdeka serta punya negara dan di atas semua ini, dia lebih duluan tahu menjajah pula. Jadi kekuatan Indonesia jangan kita anggap remeh.

Berikut petikan wawancara.

Papua Merdeka News (PMNews): Selamat pagi. Masih terlalu pagi, tetapi kami mendapat SMS tadi malam menyangkut kedatangan para Menlu MSG hari ini. Kami mau minta penjelasan lebih lanjut. Apakah bisa?

Tentara Revolusi West Papua (TRWP): Kami sangat harapkan untuk mendapat telepon ini supaya bisa kami jelaslah lebih lanjut.

PMNews: Pertama minta penjelasan tentang dua kalimat dalam bahasa Inggris tadi supaya kami umum bisa paham maknanya.

TRWP: Oh ya. Pertama, “Let us Do it in Melanesian Way” artinya kita jangan lupa diri bahwa kita ini orang Melanesia, dan bahwa orang tua kita sudah tahu berdiplomasi dari sejak nenek-moyang kita dan kita sebagai satu keluarga Besar Melanesia masih memiliki budaya diplomasi Melanesia itu masih hidup dan merakyat secara baik di seluruh kawasan Melanesia sampai hari ini, bahkan sampai besok-pun. Jadi, selain diplomasi yang telah berhasil dengan melamar West Papua ke MSG dan ditindak-lanjuti dengan kunjungan ini, kita perlu topang keberhasilan ini dengan pendekatan-pendekatan ke-Melanesia-an.

Artinya yang kedua ialah bahwa jangan kita terbatas melihat mereka yang datang semua orang Melanesia jadi kita sama-sama orang Melanesia menentang NKRI.

Kita perlu ingat bahwa mereka yang datang itu sama-sama dengan NKRI mereka adalah anggota berbagai lembaga internasoinal, termasuk resmi di dalam MSG, APEC, mungkin juga ASEAN dan mereka semua sama-sama sesama anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Mereka dalam konteks hubungan internasional adalah sahabat, negara tetangga, negara berkembang, negara-negara nob-blok. Sedangkan kita orang Papua bukan anggota dari semua ini. Secara rumpun kita sama, tetapi secara hukum internasional mereka sama-sama satu barisan. Jadi kita jangan terlalu berat menginjak kaki diplomasi kita di bingkai “Melanesia” saja tetapi kita harus perluas bingkai itu ke ruang “ke-Melanesia-an” sehingga komunikasi politik dan diplomasi dapat menembus ke alam sadar dan alam bawah sadar, alam logika dan alam darah, daging dan nafas.

PMNews: Seperti biasanya dalam wawancara sebelumnya. Kami semakin tidak mengerti maksudnya. Bisa dijelaskan lebih praktis?

TRWP: OK, to the point untuk kasus kunjungan yang sedang berlangsung sekarang, ya. Pertama, kita harus sambut mereka yang datang dengan menaikkan Upcakan Syukur kepada Tuhan, dan menyampaikan terimakasih kepada Papua New Guinea, PNG, Solomon Islands, Vanuatu dan Kanaky.

Kalau para menteri yang datang itu melanggar atau tidak sesuai dengan keputusan rapat MSG baru-baru lalu di Noumea, dan kalau Vanuatu melakukan protes dan tidak mengirimkan Menlu-nya, dan setelah mereka datang dan NKRI sendiri mengatakan kedatangan mereka untuk melakukan hubungan bisnis antara West Papua dengan negara-negara Melanesia, maka jangan kita kebakaran jenggot.

Kita harus mengiyakan dan menyatakan,

“Ya betul. Indonesia betul, orang-orang Melanesia ini datang untuk bisnis dengan kita. Mereka tidak datang untuk bicara atau dukung Papua Merdeka. Jadi biarkan mereka datang sekarang. Kali ini NKRI silahkan undang, tetapi setelah kami bangun hubungan, besoknya NKRI tidak perlu undang karena mereka datang ke orang-orang mereka sendiri, ke kampung asal-usul mereka sendiri, ke penjaga dusun mereka sendiri yang mereka tinggalkan 50.000 tahun lebih waktu itu. Jadi, NKRi tidak perlu mengundang mereka lagi.

Itu yang dimaksud oleh Rt. Hon Powes Parkop, MP, Gubernur DIK Port Moresby, bahwa jangan kita orang Papua di pulau New Guinea lihat pendekatan pemerintah PNG saat ini dengan kacamata negativ terus. Politik sekarang ialah “politics of engangement”, politik untuk memulai melihatkan pihak lain dalam suatu kegiatan (bisnis, dialog, politik, apa saja.)

Sasarannya ialah menyambung kembali hubungan antar orang Papua atau antar orang Melanesia yang telah begitu lama terputus karena isolasi geografis, karena penjajahan, karena dekolonisasi dan karena neo-kolonialisme. Saat ini West Papua dikunjungi sebagai salah satu dari Negara-negara Melanesia yang masih diduduki dan dijajah pihak asing, dalam hal ini NKRI. Komunikasi lintas Melanesia terputus.

Selama itu pula komunikasi antara negara-negara Melanesia dengan negara Indonesia tidak pernah terjadi dalam kaitannya dengan orang Melanesia di Tanah Papua bagian Barat. Topik yang umumnya dibahas hanyalah basa-basi dan demi “gentlemen’s agreement” seperti perdagangan bebas, penanaman modal dan kerjsama bisnis. Karena itu menang harus ada komunikasi, ada kunjungan timbal-balik, ada saling menyapa dan saling menegur, saling bertanya tentang isu-isu dan soal-soal apa saja antara NKRI dan negara-negara Melanesia. Selama ini NKRI dan negara-negara Melanesia hadir di forum-forum regional dan internasional membicarakan hal-hal yang tidak prinsipil, tidak dari hati ke hati. Jangankan menyebut soal HAM, menyebut nama “West Papua”-pun tidak pernah, hukumnya jadi “haram” dalam politik di kawasan Pasifik Selatan.

Itulah sebabnya  Rt. Hon Powes Parkop, MP menyerukan agar kita (maksudnya negara-negara Melanesia) jangan berlama-lama berlaku seperti anjing dan kucing atau kucing dan tikus. Kita ini manusia beradab, kita harus “enganged” dalam berbagai kesempatan dan tempat, di berbagai peristiwa di semua lapisan berkomunikasi dan bertukar pendapat dan aspirasi. Untuk itu kita harus mulai di satu titik.

Untuk memnjelaskan maksud beliau, dan saya sebagai orang Melanesia, saya carita satu mob tahun 80-an, yang berjudul: “Bisa makan cicak ka?” Mob ini berisi cerita tentang dua pemuda Papua: gadis dan remaja Papua yang selama sekolah di SMP mereka berkirim surat, dan suratnya penuh dengan kata-kata mutiara yang dikutip dari buku-buku kata mutiara yang mereka beli di toko-buku. Mereka tidak pernah bertatap-muka, mereka hanya saling memandang dari jauh. Setelah sampai masuk ke SMA yang sama, mereka punya kesempatan saling bertemu. Pada pertemuan pertama, mereka berdua sama-sama bingung mau bicara tentang apa, siapa yang mulai bicara dan bagaimana caranya memulai pembicaraan tentang cinta. Mungkin sekitar 5 menit berlalu, tidak ada yang berani memulai cerita “cinta”. Tiba-tiba dua ekor “cecak” jantan dan betina berkelahi di langit-langit kelas di mana mereka duduk, dan jatuh “Buuup!” tepat di tengah-tengah meja di mana mereka dua duduk membisu. Keduanya kaget, tetapi si pemuda lebih duluan curi kesempatan. Belum satu detik setelah cecak jatuh, dia langsung tanya si gadis, “Bisa makan cicak ka?” Lalu si gadis membalas, Baru ko?

Jadi, pertanyaan ini tidak punya makna apa-apa. Dan kalau ditanyakan kepada si pemuda ini, dia tidak bisa menjelaskan kenapa ini pertanyaan keluar dari mulutnya. Tetapi satu hal yang pasti dia akan jawab, “Ini pemicunya, sehingga kami menjadi ‘engaged’ dalam percakapan lanjutan tentang cinta …” Kejatuhan cecak inilah yang Rt. Hon Powes Parkop, MP katakan sebagai  “politics of engagement”. Harus ada sesuatu dimulai, mesti ada pemicu yang menggiring (men-engage) NKRI dan orang Papua (penghuni pulau New Guinea) untuk mulai berkomunikasi sebagaimana manusia beradab dan negara demokratis. Pemicu itu tidak harus yang terpenting dan yang dipuji oleh semua pihak. Ia mungkin yang dihujat oleh orang Papua di Timur dan Barat pulau New Guinea, tetapi Indonesia harus di-“enganged” dalam hubungan antar kedua bangsa “bangsa Papua dan bangsa Indonesia”. “Bangsa Papua” atau “orang Papua” di sini semua orang penghuni pulau terbesar kedua di dunia: New Guinea.

Itu maksud pertama dengan pernyataan tadi. Kemudian…

PMNews: Mohon maaf. Sekali lagi, minta maaf! Kami harus hentikan di sini. Waktu sudah pagi dan para tamu sudah pasti mendarat. Kami akan lanjutkan wawancara sebentar siang atau malam atau sore.

TRWP: OK Baik, nanti hubungi lagi. Terimakasih.

Enhanced by Zemanta

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny