ULMWP SUDAH DIAKUI SEBAGAI BADAN POLITIK RESMI

Di mana pun di dunia ini, di wilayah-wilayah yang sedang berjuang untuk membebaskan diri dari kolonialisme, sudah pasti memiliki banyak organisasi perjuangan. Terkadang multi organisasi perjuangan itu bersatu dalam satu badan politik atau berjuang sendiri-sendiri. Namun demikian, di antara semua organ politik itu, hanya satu yang dapat diakui sebagai badan politik resmi. Karena organisasi itu sudah memenuhi 5 syarat pendirian negara. (1). Memiliki wilayah dengan batas-batas yang jelas (tanah dan kekayaan alam). (2). Memiliki rakyat. (3). Memiliki pemerintahan. (4). Pengakuan internasional. (4). Memiliki negara sponsor resmi.

Sebuah organisasi politik yang sudah memenuhi 5 syarat itu disebut sebagai organisasi politik resmi.

Bila kita kaitkan dengan perjuangan bangsa Papua, Pemerintah Sementara ULMWP sudah memenuhi 5 syarat tersebut. (1). Wilayah yang diperjuangkan adalah West Papua yang dulu disebut Niederland Neu Guinea dengan batas-batasnya secara jelas sudah dicantumkan dalam UUDS.

(2). Memiliki rakyat yaitu bangsa Papua yang mendiami di tanah Papua maupun di luar tanah Papua (ini juga sudah diatur dalam UUDS).

(3). Memiliki pemerintahan yang saat ini disebut Pemerintah Sementara yang dideklarasi 1 Desember 2020, lengkap dengan sistem dan strukturnya termasuk sayap militernya.

(4). Pengakuan internasional. Dimana ULMWP sebagai organisasi politik resmi telah didukung oleh 108 negara termasuk MSG, PIF, ACP, Uni-Eropa dan PBB sendiri, (meskipun pengakuan sebagai negara masih diperjuangkan karena Pemerintah Sementara belum proklamasikan Negara West Papua). Banyak pemimpin negara, anggota parlemen dan pemimpin organisasi dalam berbagai pertemuan resmi sebut tuan Benny Wenda sebagai Presiden.

(5). ULMWP sudah memiliki negara sponsor resmi yaitu Vanuatu dan beberapa hari lagi akan bertambah.

Bila sebuah organisasi yang memiliki 5 syarat ini dapat diakui dan didukung oleh satu atau beberapa negara resmi, maka nagara-negara lain otomatis mengikutinya, termasuk organisasi sub regional seperti MSG, regional seperti PIF, internasional seperti ACP, Uni-Eropa dan PBB sendiri akan mengakui organisasi tersebut sebagai organisasi politik resmi yang mewakili bangsa yang sedang memperjuangkan kemerdekaannya. Dalam konteks Papua, Pemerintahan Sementara-ULMWP sudah mencapai tingkat ini.

Dalam satu perjuangan TIDAK PERNAH dan TIDAK AKAN PERNAH mengakui lebih dari satu organisasi politik perjuangan oleh negara-negara resmi dan organisasi-organisasi resmi, baik sub regional, regional, dan internasional termasuk PBB. Hanya satu organisasi politik yang dapat diakui secara resmi dan ULMWP telah memperoleh status tersebut. Contoh lain: FALENTIN/FRETELIN di Timor-Timur, FLNKS di Kanaki, PLO di Palestina, dll.

Maka tidak benar bahwa ada yang mengatakan merekalah yang akan diakui atau miliknya sebagai organisasi resmi. Pandangan seperti ini tidak benar dan sedang membohongi rakyat dan bangsa Papua. Semua organisasi lain selain ULMWP adalah kekayaan bangsa Papua, eksistensi dan perjuangan mereka sudah diakui dalam Mukadimah UUDS, dan ULMWP sebagai representasi semua organ dan aspirasi bangsa Papua di fora internasional.

Saya sangat yakin bahwa jika tidak ada halangan, minggu depan akan terjadi perubahan yang signifikan bagi bangsa Papua melalui Pemerintah Sementara-ULMWP. Mari kita menanti.

102 Artikel di Indonesia tentang ULMWP vs NKRI

Ada 102 tulisan yang ditulis orang Indonesia sejak 2016-2021 yang saya kumpulkan dan baca, baik artikel di jurnal ilmiah, skripsi dan tesis di lingkungan akademik Indonesia tentang ULMWP. Ada beberapa kesimpulan dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan ini, antara lain:

  1. Sebagai lembaga perjuangan resmi dan representatif.
  2. Sebagai model perjuangan baru di dunia.
  3. Dapat dukungan kuat basis di Papua, dan Pasifik
  4. Dapat dukungan luas di dunia internasional.
  5. Pemerintah Indonesia gagal atasi diplomasi ULMWP.
  6. Pemerintah Indonesia gagal bangun hubungan diplomatik di Pasifik Selatan.
  7. Perjuangan Papua digunakan dua pendekatan: isu HAM dan damai. Pemerintah Indonesia tidak mampu hadapi dua pendekatan ini karena Indonesia menggunakan pendekatan militerisme.
  8. Perjuangan Papua mengutamakan diplomasi dan jaringan internasional yang luas maka pemerintah Indonesia kesulitan dalam menghadapi itu.
  9. Perjuangan Papua menguasai panggung jaringan media masa internasional dan media sosial, di mana pemerintah Indonesia tidak akan mampu atasi itu karena revolusi teknologi dan informasi.
  10. Pendekatan diplomasi, jaringan internasional, media internasional dan media sosial ini adalah model atau pendekatan baru dalam perjuangan kemerdekaan di dunia.
  11. Pendekatan militerisme yang digunakan Indonesia redam gerakan sayap gerilyawan pejuang Papua tidak berhasil. Indonesia justru menciptakan banyak musuh karena warga sipil Papua tidak suka dengan tindakan kejahatan militer dan polisi Indonesia.
  12. Pemerintah Indonesia gagal atasi kasus Papua maka Papua akan mengikuti langkah Timor Leste.
    Kesimpulan-kesimpulan ini datang dari masyarakat akademik Indonesia yang tertuang dalam 102 artikel ilmiah, skripsi dan tesis orang indonesia di berbagai universitas di Indonesia. Hal ini menunjukkan sikap generasi terdidik Indonesia, sadar dan kristis atas situasi di West Papua.
    Dengan ini kita bisa mengukur pemahaman dan pendapat orang Indonesia yang rasional, sebuah perubahan generasi Indonesia yang sadar, kritis dan rasional dalam menyikapi perjuangan bangsa Papua.

COP26 Dapat Belajar Dari Perlawanan Hijau West Papua

Kamis, 4 Nov 2021 | Oleh: Chris Saltmarsh

“Orang West Papua menggabungkan perjuangan mereka melawan pendudukan Indonesia dengan perjuangan melawan perusakan ekologis – dan menunjukkan jalan menuju masa depan hijau yang radikal.”

Benny Wenda, Interim President of the ULMWP

Negara Indonesia telah mendominasi West Papua dengan kekuatan militer sejak tahun 1962. West Papua adalah bagian barat pulau New Guinea, terletak tepat di utara Australia. Belanda menjajah wilayah tersebut selama abad kesembilan belas. Ketika Belanda mulai melakukan dekolonisasi selama tahun 1950-an, mereka mempersiapkan West Papua untuk kemerdekaan. Ini terjadi, sebentar, pada akhir tahun 1961. Tak lama setelah itu, Indonesia menginvasi pada tahun 1962. Ini memulai pendudukan abadi yang didasarkan pada represi politik, penghancuran budaya, dan genosida kolonial.

Ini juga mengakibatkan kerusakan lingkungan secara lokal dan global, tetapi orang West Papua melawan dengan visi baru untuk Negara Hijau yang bebas yang diluncurkan selama COP26.

Represi politik di West Papua sedemikian rupa sehingga dukungan untuk kemerdekaan dihukum secara brutal, termasuk 16 tahun penjara karena tindakan ‘pengkhianatan’ pengibaran bendera Bintang Kejora (simbol kemerdekaan West Papua). Pemimpin terkemuka dari gerakan pembebasan telah dipenjara, dan saat ini setidaknya ada 56 tahanan politik yang ditahan di seluruh wilayah. Pembunuhan di luar proses hukum sering terjadi dan media internasional serta kelompok pemantau dilarang.

Penghancuran budaya sudah termasuk kriminalisasi budaya West Papua seperti menumbuhkan rambut gimbal. Orang West Papua dipindahkan dari tanah mereka dan dipaksa masuk ke ‘desa’ yang dikendalikan pemerintah. Negara Indonesia telah menyebarkan rasisme anti-kulit hitam yang mendasarinya terhadap orang West Papua dengan protes yang meletus pada tahun 2019 sebagai tanggapan atas kekerasan rasial oleh polisi. Perlakuan terhadap orang West Papua telah dicap sebagai genosida oleh Kampanye West Papua Merdeka dan Gerakan Pembebasan Bersatu untuk West Papua (ULMWP), didukung oleh studi akademis termasuk salah satu dari Sekolah Hukum Yale pada tahun 2004. Pasukan keamanan Indonesia telah membantai desa-desa, digunakan penyiksaan terhadap penduduk asli, dan menggunakan pemerkosaan sebagai alat intimidasi.
Ketidakadilan Lingkungan

Apa tujuan dari kekerasan kolonial yang berlangsung lama ini? Fungsi utamanya adalah membuka West Papua untuk korporasi yang menjarah wilayah sumber daya alam. Penambangan, penggundulan hutan, dan ekstraksi minyak dan gas mendorong ketidakadilan bagi penduduk asli sambil berkontribusi pada kerusakan lingkungan global juga. Kapital internasional mendapat keuntungan dari kehancuran ini dan negara Indonesia menuai keuntungannya sendiri melalui penerimaan pajak.

Freeport adalah perusahaan milik AS yang mengoperasikan salah satu tambang emas terbesar di dunia dan cadangan tembaga terbesar ketiga di West Papua. Ini adalah salah satu pencemar limbah industri terbesar di dunia termasuk membuang sekitar 300.000 ton limbah ke sistem sungai setempat setiap hari. Deforestasi di West Papua terus meningkat dengan perkebunan kelapa sawit sebagai pendorong utama. Satu mega-perkebunan hampir dua kali ukuran London Raya.

Dalam hal minyak dan gas, nama rumah tangga dan penjahat iklim BP adalah pelaku utama. Perusahaan bahan bakar fosil ini mengoperasikan ladang gas di Teluk Bintuni yang sebelumnya merupakan kawasan terpencil hutan hujan dan hutan bakau. Saat ini, ini adalah situs industri yang mengekstraksi 14,4 triliun kaki kubik gas cairnya (yang mengandung metana yang sangat kuat).

Semua ekstraksi ini dilakukan tanpa persetujuan penduduk asli dan keuntungan modal difasilitasi oleh kekuatan paling kejam dari negara Indonesia. Pasukan militer dan keamanan menerima pembayaran langsung dari bahan bakar fosil dan perusahaan pertambangan untuk secara brutal menindas oposisi lokal.
Visi Negara Hijau
Seperti halnya contoh kekerasan, represi rasis terhadap kebebasan dan pencurian tanah yang dilakukan sepanjang sejarah, pendudukan kolonial West Papua menghadapi perlawanan yang kuat. Perjuangan untuk membebaskan West Papua kuat secara lokal dan didistribusikan secara global.

Pada tahun 2014, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dibentuk untuk menyatukan tiga gerakan kemerdekaan politik utama di wilayah tersebut. Pada 2017, Benny Wenda terpilih sebagai Ketua ULMWP. Dia saat ini tinggal bersama keluarganya di Oxford setelah diberikan suaka politik setelah melarikan diri dari penjara oleh pihak berwenang Indonesia pada tahun 2002. Pada tahun 2020, ULMWP mengumumkan pembentukan Pemerintahan Sementara, dengan Wenda sebagai presiden sementara, untuk mencapai tujuan referendum tentang kemerdekaan dan untuk mendirikan negara Republik West Papua masa depan.

Inti dari program politik ini adalah ambisi untuk West Papua yang bebas menjadi Negara Hijau pertama di dunia. Inti dari visi tersebut, yang diluncurkan pada COP26 di Glasgow, adalah prinsip bahwa ‘suku Melanesia di West Papua telah membuktikan [diri mereka sendiri] penjaga terbaik pulau New Guinea yang hijau dan kepulauan Melanesia biru ini.’ Deklarasi West Papua sebagai negara modern -negara dan Green State didasarkan pada filosofi hijau, ekonomi hijau, kebijakan pembangunan hijau, dan nilai-nilai kehidupan hijau.

Visi tersebut memiliki jangkauan yang luas, bertumpu pada definisi umum tentang keberlanjutan sebagai ‘memenuhi kebutuhan kita sendiri tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka’. Ini menghilangkan prioritas pertumbuhan ekonomi dan ‘pembangunan’ demi pemulihan dan perlindungan lingkungan sambil menjaga keseimbangan dan harmoni antara manusia dan lingkungan. Visi tersebut membuat upaya sentral untuk memerangi perubahan iklim, termasuk menargetkan gas, pertambangan, penebangan, dan perkebunan kelapa sawit sambil memberikan bantuan kepada negara-negara lain di Pasifik. Ia berencana untuk menjadikan Ecocide sebagai pelanggaran pidana dan berjanji untuk mendorong penuntutannya di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC).

Berlawanan dengan pemaksaan kekuasaan korporasi melalui pendudukan kolonial, visi Negara Hijau menyeimbangkan lembaga-lembaga demokrasi modern dengan pendekatan berbasis masyarakat untuk pengambilan keputusan yang menyerahkan perwalian tanah, hutan, perairan, dan lingkungan alam. Ini menegaskan pentingnya pengetahuan adat dan nilai-nilai adat dan norma-norma untuk mengelola alam. Secara signifikan, visi tersebut menarik hubungan penting antara pengelolaan ekologis dan keadilan sosial. Ini mencakup lembaga dan mekanisme independen untuk menjaga dari korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, termasuk oleh aparatur negara seperti polisi dan militer. Ini mencakup ketentuan untuk menjamin hak asasi manusia serta pendidikan dan kesehatan gratis.

Apa yang membuat visi ULMWP untuk Negara Hijau begitu menarik adalah bahwa itu bukan kemunduran total dari masyarakat modern atau pelukan ekonomi politik kapitalis yang telah menghasilkan begitu banyak ketidakadilan sosial dan ekologis di West Papua dan secara global. Ini menyeimbangkan kebutuhan akan institusi politik modern dengan ekonomi yang berfungsi selaras dengan lingkungan dan dikelola oleh penduduk asli. Bagi banyak orang di seluruh dunia, visi ini akan menawarkan inspirasi dalam perjuangan mereka sendiri untuk menentukan nasib sendiri, keadilan lingkungan, dan kemakmuran bersama.

Kiri Harus Mendukung Negara Hijau West Papua

Kita harus jelas bahwa penentuan nasib sendiri adalah prasyarat mutlak untuk visi ini. Negara Hijau hanya mungkin ketika West Papua mencapai kemerdekaan dari pendudukan Indonesia yang dengan sendirinya menerima dukungan politik dan material dari Inggris, AS dan negara-negara Barat lainnya. Inggris, misalnya, mendanai dan melatih pasukan khusus elit Indonesia. Perusahaan seperti BP yang berdomisili di Inggris dan diberi kebebasan untuk bertindak dengan impunitas secara internasional.
Ketika ULMWP meningkatkan perjuangannya untuk kemerdekaan, mengikatnya secara eksplisit pada perjuangan untuk keadilan lingkungan, kami di Kiri Inggris dan dalam gerakan iklim memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan solidaritas kami sendiri dengan orang West Papua. Skala deforestasi dan ekstraksi berarti bahwa kemerdekaan untuk West Papua harus menjadi prioritas utama bagi mereka yang berjuang untuk keadilan iklim.

Melalui kedekatan kami dengan pemerintah dan perusahaan kami, kami dapat memberikan pengaruh untuk menuntut diakhirinya dukungan militer untuk pendudukan serta keterlibatan BP. Kami dapat memberi dengan murah hati kepada Kampanye Papua Merdeka dan memasukkan suara West Papua di platform kami. Kita dapat berorganisasi untuk mendapatkan dukungan politik yang lebih besar. Manifesto Buruh 2019, misalnya, berjanji untuk ‘menjunjung tinggi hak asasi manusia rakyat West Papua’. Kita dapat mendorong untuk memantapkan prinsip ini dalam gerakan buruh kita dan mendorongnya lebih jauh.

Peluncuran visi Negara Hijau ini pasti akan semakin menginspirasi orang West Papua untuk terus berjuang demi kemerdekaan. Hal ini selanjutnya dapat menginspirasi banyak orang di seluruh dunia untuk mempertahankan perjuangan demi keadilan lingkungan dan adat. Di Kiri dan dalam gerakan iklim, kita juga harus mengambilnya sebagai inspirasi untuk melakukan solidaritas kita untuk perjuangan ini bersama dengan semua orang lain yang berdiri untuk kebebasan melawan kekerasan negara-negara kolonial dan perampasan modal internasional.


Tentang Penulis: Chris Saltmarsh adalah salah satu pendiri Partai Buruh untuk Kesepakatan Baru Hijau. Buku pertamanya adalah Burnt: Fighting for Climate Justice (Pluto Press, September 2021).
(https://tribunemag.co.uk/…/west-papua-indonesia…)

WestPapua #ProvisionalGovernment #GreenStateVision #ClimateJustice #COP26 #FreeWestPapua

OPM / ULMWP Final Declaration

“I as the founder of the Free West Papua Movement or Organisasi Papua Merdeka (OPM) want to acknowledge and support the United Liberation Movement of West Papua that it is a political organisation that carries the spirit of OPM that will continue the struggle and fulfill its final mission, which is establishing the full independence and sovereign Republic of West Papua.”

Faces of West Papua struggle from left to right: Andy Ayamiseba, Benny Wenda, Barak Sope, Rex Rumakiek, and Paula Makabory pose with final declarations
Faces of West Papua struggle from left to right: Andy Ayamiseba, Benny Wenda, Barak Sope, Rex Rumakiek, and Paula Makabory pose with final declarations

The statement has been sent by Jacob (Yakob) Prai from his home away from home in Sweden on December 28 of 2017, after meeting the Chairman of ULMWP, Benny Wenda.

The statement under official OPM letterhead states, “Therefore, in the name of God, this holy struggle, the ancestors of Papua, all our fallen heroes, the tears and suffering of the people of West Papua that continue to struggle from the jungles of New Guinea, mountains, valleys, islands, prisons, refugee camps as well as all those who live in exile in many parts of the world, that I as the leader of OPM and the founder of the struggle of free Papua, fully support and give full mandate to Mr. Benny Wenda as the leader of ULMWP and the political wing of OPM, to carry out the task as the leader of the nation of Papua.

“I thank the leaders and the people of West Papua, I hope that this recognition serves as a guideline to free the nation of Papua from Indonesian colonialism.”

His statement has received unanimous endorsement by the ULMWP Executive in the lobby of the Grand Hotel in Port Vila.

In a separate statement to support Jacob Prai’s historic confirmation of support for ULMWP, Executive members Andy Ayamiseba (for Legal CounseL) and Rex Rumakiek (for National Liberation Army of WP) declare, “We, the undersigned senior members of the independence movement of West Papua, the OPM recognise the importance of national unity in our struggle for independence.

“We also recognise the role undertaken by respected leaders of Vanuatu to bring about unity in the West Papuan struggle.

“Two national leaders in particular need commendation.

“They are the current Deputy Prime Minister, Honourable Joe Natuman and former Prime Minister Barak Maautamate Sope.”

The statement reminds the world about how West Papua’s first application to join MSG was deferred on the grounds that the movement lacked broad based support.

Deputy Prime Minister Natuman requested the formation of a West Papua Unification Committe that brought together West Papua leaders to Vanuatu where the Saralana Declaration of Unity was signed by all representatives of West Papua factions present.

Another historical leader, Barak Maautamate Sope has a long history of uniting different factions of the West Papua independence movement. In 1985 he invited two key leaders of OPM, Jacob Prai and (now deceased) Brigedier General Seth Rumkorem led by (now deceased) Theys Elluay, to Vanuatu where they signed a memorandum of understanding to work together. In 2000 he (then Prime Minister Barak Sope) included the two groups in his delegation to the United Nations Millennium Summit in New York. The Vanuatu Mission at the UN also facilitated an audience with the Decolonization Committee of 24.

The signing ceremony of the Port Vila Declaration was also witnessed by Andy Ayamiseba and Rex Rumakiek, who also signed the ‘Statement in support of Mr. Jacob Prai on his recognition and support for the United Liberation Movement for West Papua’.

Barak Sope also graced the signing ceremony at the Grand Hotel.

Asked to update the readers on what it was that prompted him and the late Father Walter Lini and other leaders of the Independence Struggle to take the stand that they took, he said the colonial history of all Pacific Islands were similar – cruel. “This is why Father Lini and all of us declared that Vanuatu would not be completely free until West Papua was free because today it is still colonised by Indonesia,” Sope says.

He criticizes Australia and Indonesia for alleged human rights abuse on West Papuans. “East Timor was the same and Vanuatu stood firmly for the freedom of the Timorese. Last year my wife and I were invited to Dili by the President of East Timor who awarded me the Order of East Timor for Vanuatu’s stand with its people for their freedom,” he says,

In addition he says Portugual had colonised East Timor and later Indonesia annexed it until under international outcry, it gave in to its freedom. Now Indonesia is doing exactly the same thing to West Papua.

When Sope was secretary general of the Vanua’aku Pati and Secretary of Foreign Affairs, he was mandated by Father Lini to unify FLNKS of New Caledonia and West Papua. “Now FLNKS is a member of MSG and yet, all the processes were done even before MSG was born. To get Prai and Rumkorem to come together, I had to travel to Europe to invite them to come to Vanuatu along with Brother Andy and Brother Rex,” he recalls.

He says Prai and Rumkorem were afraid of each other but at the end of it all, they agreed to unite and the Port Vila Declaration was signed at his family home on Ifira in 1985. “So today I am proud to know that Jacob Prai and the miltary arm of West Papua have agreed to become one with ULMWP,” Sope concludes.

ULMWP leaders say its endorsement signals their final declaration ending approximately 50 years of independence struggle as they prepare to attend the Melanesian Spearhead Group Meeting in Port Moresby next week, to hear the outcome of their application for full membership to join MSG. In fact they have already left and VCC representative Job Dalesa confirms the Chairman of ULMWP, Benny Wenda and Octavianus Mote have been allowed to attend the MSG meeting next week.

Meanwhile Minister of Foreign Affairs and International Cooperation, Ralph Regenvanu says as far as he was aware on Tuesday this week, West Papua was not on the MSG proposed agenda.

He has since written to the relevant authorities to make sure that West Papua is included, and promised to follow up on the issue with a phone call to his Papua New Guinea counterpart yesterday afternoon.

The Minister says after three o’clock yesterday afternoon that he was not able to get through to his PNG counterpart on the phone but that he has written to the MSG hosts to remind them to make sure that West Papua is on the agenda. “I am leaving for PNG tomorrow (today) and I will make sure that West Papua is included on the agenda”, he concludes.

KTT MSG Dijadwalkan Bahas Keanggotaan ULMWP 20 Desember

Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato, sedang berbincang-bincang. Papua Nugini diketahui sebagai salah satu negara yang mendukung sikap Indonesia di MSG (Foto: radionz.co.nz)
Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi dan Menteri Luar Negeri Papua Nugini, Rimbink Pato, sedang berbincang-bincang. Papua Nugini diketahui sebagai salah satu negara yang mendukung sikap Indonesia di MSG (Foto: radionz.co.nz)

PORT VILA, SATUHARAPAN.COM – Direktur Jenderal sekretariat Melanesian Spearhead Group (MSG), Amena Yauvoli, mengatakan pihaknya telah mengusulkan tanggal pertemuan para pemimpin MSG yang sudah beberapa kali tertunda.

Yauvoli mengatakan sekretariat MSG mengusulkan pertemuan dilangsungkan pada 20 Desember di Port Vila, Vanuatu.

Sekretariat MSG masih menunggu konsensus dari para anggota MSG atas usulan tersebut.

Lima anggota MSG adalah Papua Nugini, Fiji, Vanuatu, Solomon Islands dan FLKNS Kaledonia Baru.

Pertemuan tersebut telah ditunda untuk kedua kalinya pada awal Oktober lalu dan sejak itu gagal menyepakati pertemuan selanjutnya.

Dalam pertemuan yang dijadwalkan 20 Desember itu, MSG akan membahas permohonan keanggotaan penuh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang selama ini ditentang oleh Indonesia. ULMWP saat ini berstatus sebagai peninjau, sedangkan Indonesia berstatus sebagai associate member.

Keanggotaan ULMWP merupakan masalah sensitif, terutama karena penolakan dari Indonesia yang menganggapnya sebagai gerakan separatis.

Isu keanggotaan ULMWP telah menjadi agenda prioritas MSG beberapa tahun terakhir yang sulit mendapat konsensus dari anggota.

Juli lalu, pertemuan para pemimpin MSG diadakan di Honiara, Solomon Islands, setelah beberapa kali perubahan tempat dan tanggal.

Di Honiara, para pemimpin menangguhkan keputusan terhadap permohonan keanggotaan penuh ULMWP dengan alasan perlunya dirumuskan kriteria keanggotaan.

Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, kemudian menjelaskan bahwa sejak tahun lalu kriteria keanggotaan MSG telah dikembangkan dengan tidak mencerminkan prinsip-prinsip pendiri kelompok.

Vanuatu, Kepulauan Solomon dan FLNKS diketahui merupakan anggota MSG yang mendukung ULMWP menjadi anggota penuh. Sedangkan Papua Nugini dan Fiji condong mendukung pendirian Indonesia.

Di tengah frustrasi akan sulitnya menghadirkan seluruh anggota, muncul laporan yang mengatakan bahwa MSG bisa membuat keputusan tentang keanggotaan Papua jika setidaknya tiga dari lima anggota penuh hadir.

Yauvoli mengatakan selain membahas keanggotaan ULMWP, pemimpin MSG perlu untuk bertemu Desember nanti untuk menyetui anggaran sekretariat MSG untuk tahun 2017.

Sekretariat MSG pada tahun-tahun belakangan menghadapi masalah anggaran karena beberapa angggota penuh tidak membayar secara penuh iuran yang menjadi komitmennya. (radionz.co.nz)

Delegasi ULMWP Tiba di Kepulauan Solomon Jelang KTT MSG

Penulis: Melki Pangaribuan 17:01 WIB | Sabtu, 09 Juli 2016

HONIARA, SATUHARAPAN.COM – Anggota delegasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dikabarkan tiba di Honiara, Kepulauan Solomon pada akhir pekan ini, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesian Spearhead Group (MSG) yang akan dilaksanakan pada minggu depan.

Hal ini dibenarkan oleh Ben Didiomea, salah satu juru kampanye ULMWP di negara Kepulauan Solomon.

“Mereka tiba di Honiara dengan penerbangan terpisah,” kata Ben Didiomea sebagaimana dikutip solomonstarnews.com, hari Jumat (8/7).

KTT MSG awalnya dijadwalkan di Port Vila di Vanuatu pada awal Mei lalu, tapi kemudian dipindahkan ke Port Moresby, Papua Nugini, menjelang akhir Juni.

Namun, kemudian ditunda lagi karena para pemimpin tidak bisa menemukan waktu yang tepat untuk bertemu selama pertemuan Asia Caribbean Pacific (ACP) di Port Moresby.

KTT MSG sekarang akan diadakan kembali bersamaan dengan Pacific Islands Development Forum (PIDF) yang juga dijadwalkan akan diselenggarakan di Honiara, minggu depan juga.

Solomonstarnews.com melaporkan akan ada rencana demonstrasi damai selama KTT MSG minggu depan yang dilaksanakan oleh para pendukung Papua Barat untuk mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia terhadap orang Papua.

Sebuah konser musik juga akan dipentaskan untuk mendukung perjuangan ULMWP untuk menentukan nasib sendiri dari Indonesia.

Jaminan dari Ketua MSG

Seperti diberitkan sebelumnya, Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Hon Manasye Sogavare selaku Ketua MSG saat ini, memberikan jaminan peningkatan status keanggotaan ULMWP menjadi anggota penuh di MSG.

Hal itu disampaikan Sogavare ketika bertemu dengan delegasi pemimpin ULMWP di Port Vila, ibu kota negara Kepulauan Solomon, pada hari Kamis (12/5). Mereka meminta dia untuk mempertimbangkan dua isu utama untuk diputuskan oleh MSG.

Isu-isu itu di antaranya MSG memberikan keanggotaan penuh kepada ULMWP, yang saat ini memegang status peninjau (observer) dan mendesak MSG untuk meminta intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Papua untuk segera menetralisir apa yang mereka klaim sebagai genosida terhadap kemanusiaan di Papua.

Delegasi menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri Sogavare karena MSG memberikan Status Observer untuk ULMWP pada saat mengambil posisi kepemimpinan MSG pada bulan Juni 2015.

Namun mereka mengatakan sejak ULMWP diberikan status observer dari MSG, situasi di Papua Barat menjadi tegang, meninggalkan orang-orang pribumi yang sekarang di ambang kepunahan.

Dikatakan situasi ini telah mendorong mereka membawa dua poin petisi untuk dipertimbangkan oleh Perdana Menteri Sogavare sebagai Ketua MSG agar menjadi prioritas MSG untuk segera diatasi.

Perdana Menteri Sogavare mengatakan jumlah genosida yang semakin meningkat di Papua Barat disampaikan kepadanya oleh delegasi dalam pertemuan itu. Dia juga menegaskan sebagai Ketua MSG, ia akan mengizinkan rekannya PM Vanuatu, Menteri Charlot Salwai, untuk mengusulkan dinaikkannya status ULMWP menjadi anggota penuh dan Sogavare akan mendukungnya dalam KTT itu.

Perdana Menteri Vanuatu mengatakan kepada Perdana Menteri Sogavare bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Kaledonia Baru minggu depan untuk bertemu dengan Juru Bicara FLNKS, Victor Tutugoro, dalam upaya memperoleh dukungan menjadikan ULMWP sebagai anggota penuh MSG.

Dia mengatakan Indonesia mendapatkan keanggotaan Associate MSG untuk memungkinkan dialog antara Jakarta dan Pemimpin MSG membahas masalah Papua Barat. Namun penolakan Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap permintaan untuk bertemu dengan dia mengenai posisi MSG terhadap Papua Barat merupakan indikasi yang jelas bahwa itu memiliki alasan lain untuk bergabung dengan MSG.

Perdana Menteri Sogavare mengatakan penolakan Indonesia terhadap permintaannya untuk dialog memberinya semua alasan untuk membawa masalah ini kembali ke MSG. Dia menambahkan bahwa “Indonesia telah melewati batas sehingga kita perlu mengambil beberapa sikap keras.”

Delegasi pemimpin ULMWP yang bertemu dengan Perdana Menteri Sogavare termasuk Jacob Rumbiak, Andy Ayamiseba dan Edison Waromi, Mama Yosepha Alomang. Delegasi didampingi oleh anggota Asosiasi Free West Papua di Port Vila.

Indonesia Menolak

Di sisi lain, Indonesia dengan tegas menolak keinginan ULMWP dan menyebutnya sebagai kelompok separatis.Menurut Direktur Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya, tidak benar bahwa ULMWP akan mendapat peningkatan status menjadi anggota penuh.

“ULMWP adalah gerakan separatis di sebuah negara berdaulat. Gerakan itu tidak memiliki legitimasi dan tidak mewakili rakyat Papua,” kata dia pada pertemuan tingkat menteri MSG di Lautoka, Fiji, belum lama ini.

Oleh karena itu, menurut Desra Percaya, dalam pertemuan tingkat menteri di Fiji, MSG hanya mencatat permohonan ULMWP dan membetuk komite untuk membicarakan kriteria keanggotaan. Menurut dia, sejumlah anggota MSG lebih memilih Indonesia sebagai anggota penuh ketimbang ULMWP.

Editor : Eben E. Siadari

ULMWP Berpeluang Diterima Menjadi Anggota Penuh Grup Negara Melanesia

KBR, Jakarta- Organisasi Gerakan Bersatu Pembebasan Papua Barat (ULMWP) hari ini menyampaikan pandangan umum sekaligus permohonan keanggotaan tetap pada Pertemuan Menteri luar Negeri Melanesian Spearhead Group (MSG) yang berlangsung di Fuji pada 14-16 Juni 2016. Anggota Tim Kerja ULMWP, Markus Haluk mengungkap delegasi mereka hari ini menyampaikan pandangan umum di hadapan Menteri Luar Negeri anggota-anggota MSG untuk dapat menjadi anggota penuh. S

Kata Markus keputuisan akan diberikan pada pertemuan para pemimpin MSG pada pertengahan Juli 2016 di Solomon Island.

“Pertama disampaikan bahwa dari sisi kesiapan masyarakat Papua mendukung penuh ULMWP baik orang Papua yang berada di Papua, di dalam negeri, di rimba raya dan di luar negeri. Kedua, dukungan terus berdatangan dan di waktu yang sama pemerintah telah meningkatkan kekerasan yang meningkat di Papua. Jadi update situasi tapi juga menyampaikan kesiapan ULMWP menjadi full member. (Sudah ada tanggapan?) Keputusannya nanti diputuskan oleh para pemimpin di Solomon Island Juli 2016,” ungkap Markus kepada KBR, Rabu (15/6/2016).

Markus menambahkan, selain 2 orang delegasi ULMWP yang berangkat ke Fiji, aktivis Papua lain hari ini mendukung ULMWP dengan aksi damai yang dilakukan di 10 kota di Papua. Markus mengklaim dalam aksi ini sekira seribu orang ditangkap polisi.

Menurut Markus tak ada lagi alasan MSG menolak permohonan ULMWP menjadi anggota penuh setelah mereka diterima menjadi anggota pengawas atau observer sejak 2015.

“Bagian yang para pemimpin MSG minta (untuk bersatu) sejak 2013 kami sudah penuhi. Jadi saya kira tidak ada alasan untuk mereka menunda atau mengulur-ulur waktu untuk menerima kami sebagai full member,” pungkasnya.

Peluang

Penanggungjawab Lembaga Kemanusiaan Papua Honai Center, Basilius Triharyanto menilai Gerakan Bersatu Pembebasan Papua Barat (ULMWP) berpeluang diterima menjadi anggota Melanesia Spearhead Group (MSG). Meski begitu, menurut Basilius, tidak mudah karena ada upaya dari Pemerintah Indonesia untuk menghambat status mereka dinaikkan menjadi anggota tetap.

“Perkembangan beberapa bulan terakhir ini, mulai terlihat pemetaannya dan pemetaan antara negara-negara anggota MSG yang mendukung west Papua yang diwakili ULMWP. Posisinya saat ini ketua MSG sendiri, perdana menteri Solomon Island Manasseh Sogavare menegaskan sejak awal bahwa ia mendukung penuh kehadiran ULMWP dalam MSG. Komitmen ini dijelaskan dan ditegaskan sejak awal. Sementara Manasseh Sogavare sendiri akan memimpin pertemuan tingkat pimpinan negara-negara MSG pada Bulan Juli depan,” kata Basilius kepada KBR, Rabu (15/6/2016).

Basilius menambahkan, anggota MSG yakni Fiji dan PNG merupakan dua negara yang bersahabat dengan pemerintah Indonesia. Mereka beberapa kali diklaim mendukung Indonesia, di beberapa forum sidang, keberpihakan mereka kepada Indonesia lebih kuat. Sementara untuk negara anggota lain yang sejak awal mendukung West Papua untuk menjadi anggota MSG adalah Vanuatu, Salomon Island dan New Caledonia.

“Di dalam forum itu memang ada perdebatan, tapi kalau melihat komitmennya tidak berubah, diterimanya ULMWP dalam MSG sangat terbuka dan yang melatarbelakangi itu adalah memang yang diangkat hari-hari ini semakin terbukanya isu hak asasi manusia yang mendapatkan solidaritas di kalangan negara-negara Melanesia,” paparnya

Editor: Rony Sitanggang

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny