Bincang Bincang dengan Ketua Pokja Adat/ Ketua Dewan Adat Suku Sentani

Tanah dalam struktur Masyarakat Adat Papua, khusus Komunitas Suku Sentani di Kabupaten Jayapura merupakan lambang kehidupan, tanahpun kerap dimaknai sebagai susu ibu, susu Ondofolo, hingga semua orang dapat melakukan aktifitas apa saja di atas tanah adat dalam pengawasan Ondoafi Keret.Berikut bincang-bincang Ondofolo Besar Demas Tokoro.

Veni Mahuze, Bintang Papua
Tanah dalam komunitas masyarakat adat Sentani dikelola secara komunal, artinya tanah adat itu milik bersama, miliknya persekutuan masyarakat keret tertentu dalam suku sentani, pengaturannyapun diatur dalam struktur struktur adat mulai dari Kosee, Kepala suku, Ondoafi dan Ondofolo.

Masing masing kepala suku Sentani menguasai bidang bidang tanah tertentu dalam keretnya. Contohnya, Ondoafi bertugas menjaga tanah ulayat keretnya, menjaga tanah yang didiami kelompok masyarakatnya, termasuk tanah adat yang didiami komunitas lain di luar komunitas adat suku Sentani.

Pada saat tertentu ondoafi keret harus memberikan pertangung jawaban atas tanah ulayat yang jadi bidang pengawasannya ke orang yang dituakan seperti Ondoafi Sentani. “ Jadi kalau ada saudara- saudara dari luar yang mau beli tanah harus berhubungan dengan tua tua adat, salah satu tua adat akan berikan petunjuk.”katanya.

“Bila sudah ada persetujuan di Rumah Ebee, tanah bisa dilepas untuk dijual, pribadi jual itu masalah, ujar Ketua Pokja Adat MRP dan Ondofolo Besar Suku Sentani, Jumat( 15/3/2013).

Demikian ada sebuah mekanisme aturan adat yang dilalui dalam mengambil keputusan pelepasan tanah adat dalam suku sentani. Bila seorang pendatang luar mendatangi seatu kawasan dalam tanah adat suku sentani dan bertemu dengan sesorang yang kebetulan bikin kebun disitu, lantas terjadi tawar menawar,

“Bapa saya mau beli tanah ini, dia tidak berwenang jual tanah, kalau mau bertani bercocok tanam, bikin apa saja boleh karena tua tua adalah yang mengizinkan tanah digunakan untuk apa saja. Untuk jual tidak boleh”, sambungnya.

Ondofolo yang sering menyidangkan kasus kasus tanah adat suku sentani ini mengisahkan, “Sering dibelakang layar, tanah itu disepakati dua orang secara sepihak. Orang yang menempati tanah adat hanya untuk bikin kebun menerima pendatang dari luar, lantas dia mengantarkan pendatang itu kepada seorang Ondoafi, yang notabene bukan perwakilan represntatif dari seluruh ondoafi keret, tanpa musyawarah di Rumah Ebee, pelepasan terjadi, Ondo langsung menerima orang pendatang yang mendatanginya lengkap dengan amplop”.

“ Bawa ke Ondo, Ondo lihat amplop, langsung tandatangan, nah ini jadi masalah. Padahal masyarakat punya hak atas tanah ulayatnya, karena sistim komunal berlaku, yang terjadi kelompok kecil masyarakat yang bermukim dalam kawasan ulayat tidak berwenang atas tanah adat, mereka hanya boleh mendiami, bikin rumah disitu, bertani, bercocok tanam dan aktifitas lain, bukan menjadi penghubung sepihak untuk jual tanah”,

kisahnya lebih lanjut.

Ondofolo Tokoro menjelaskan, bila ia selalu berhubungan dengan masalah masalah ini bila, kasusnya dibawa ke Dewan Adat Sentani padahal bila ditelisik, Tanah itu Ibu atau Mama yang memberikan susu kepada ondoafi, ia memberikan kehidupan bagi orang sentani. Artinya Ondofolo/ Ondoafi itu harusnya melindungi, mengayomi masyarakat sedemikian rupa dalam sebuah kawasan tertentu, termasuk menjaga melindungi Tanah dan Air serta masyarakat disekitarnya.

Tanah dalam sistim Keondofoloan Suku Sentani melambangkan kekuasaan, otoritas Ondofolo, Semua yang hidup dan bergerak di ada dalam otoritas Ondofolo, jadi Ondofolo itu harus dihargai dalam seluruh keberadaannya sebagai pengayom dalam persekutuannya dengan tanah yang dibagikan kepada Ondoafi kerek dan Kosee. Kalau Kosee mau jual tanah harus koordinasi dengan Ondofolo terlebih dahulu. “ Bagaimana tanah ni, sa mau jual, harus ada persetujuan”, terangnya.

Realitas justru terbalik memicu timbulnya masalah dan konflik atas tanah saat ini, kerab tak dapat dihindari. Pengalaman jual beli tanah bersertifikat ganda, tanah dijual tanpa persetujuan oleh orang tertentu, terbitlah sertifikat dan dijual lagi tanah, munculah sertifikat, masalah atas masalah tanah. Sertifikat tanah itu tidak saha hingga secara adat Suku Sentani menyebutnya, “Sertifikat Tanah Rumput”. Analoginya, tanah tak punya mama, tak melalui prosedur sebenarnya.

Realitas ini menjadi pertanyaan bagi para Ondofolo komunitas masyarakat adat suku Sentani, atas dasar apakah BPN mengeluarkan sertifikat tanah yang kami sebuat ‘Tanah Tak Punya Mama”. Hal ini jadi pertanyaan tak habis habisnya dalam komunitas adat suku Sentani khususnya para Ondofolo. Padahal tak ada pelepasan terjadi bila musyawarah di rumah Ebee tak terjadi sebagai solusi melepaskan tanah adat ke pihak lain.(*/don/l03)

Sabtu, 16 Maret 2013 06:12, Sumber: Binpa

Enhanced by Zemanta

Warga Waris Tolak Proyek Kelapa Sawit Peninggalan Gubernur Lama

Sentani,16/3—Warga 6 kampung Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua menolak rencana pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten untuk menjalankan proyek penanaman kelapa sawit di wilayah itu. Sekalipun belum jelas proyek itu, warga Waris tidak ingin mengulangi pengalaman saudaranya di wilayah distrik Arso.

“Isu tentang kebun kelapa sawit, 6 kampung yang ada di Ditrik Waris telah menolak atau tidak menerima adanya perkebunan kelapa sawit,” ujar Pastor Timotius Safire OFM, kordinator Animasi Komunitas Karya-Karya Pastoral Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC), Fransiskan Papua pada awal bulan ini.

Proyek ini menurut Pastor Timotius, direncakan pemerintah Provinsi Papua pada masa gubernur Barnabas Suebu.

Pegalaman warga Arso menerima proyek Kelapa Sawit pada tahun 1980-an yang beralaskan janji pembangunan dan kesejahteraan, menurut warga Waris, tidak terbukti. Proyek itu hanya merugikan masyarakat adat. Kehidupan masyarakat adat malah semakin terpuruk. Hidup mereka semakin jauh dari harapan keadilan, pedamaian dan kesejahteraan.

“Alasan mereka karena belajar dari pengalaman trans di Arso. Kebun kelapa sawit merusak hutan, merugikan masyarakat,”

kata Pastor Timotius.

Lanjut Pastor, itu menjadi alasan utama umatnya menolak proyek Kelapa Sawit itu.

Proyek Kelapa Sawit ini diduga milik anak perusahaan PT. Rayawali yang beroperasi di Arso atau PT Sinar Mass yang beroperasi di Taja Lere, Kabupaten Jayapura. (Jubi/Mawel)

Penulis : Benny Mawel | March 16, 2013 | TabloidJubi

Enhanced by Zemanta

Di Yoka, Mayat Pria Tanpa Identitas Ditemukan

JAYAPURA– Seorang pria tanpa identitas dengan ciri – ciri berasal dari Pegunungan ditemukan tewas di Jalan Masuk Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kota Jayapura, Kampung Yoka, Distrik Heram, sekitar pukul 06.00 WIT, kemarin pagi Rabu (13/3).

Penemuan mayat tanpa identitas itu berdasarkan informasi dari masyarakat dan ditindaklanjuti langsung oleh Tim Penyidik Opsnal Reskrim dan Anggota Lantas Polsek Abepura untuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP).

Dari lokasi kejadian, jasad korban itu mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna putih, celana pendek levis warna biru dan mengalami luka lecet mata kaki sebelah kiri serta di sekitar lokasi kejadian ditemukan sebilah golok tanpa sarung, 1 Buah tas kecil warna hitam yang berisikan 1 buah botol minuman keras jenis saguer beserta sepeda Motor Yamaha Yupiter Warna Merah DS 3320 AT.

Berdasarkan hasil olah TKP tersebut, diduga korban meninggal akibat kecelakaan karena diduga kuat dipengaruhi miuman keras alias mabuk, dan selanjutnya jenazah korban dibawa ke kamar Mayat RSUD Abepura sambil menunggu pihak keluarga.

Menurut keterangan saksi, Fred Mebri yang juga seorang DPRD Kota Jayapura, awalnya ia hendak mengantarkan anaknya ke Sekolah dan tiba-tiba dilokasi kejadian melihat kerumunan orang, sehingga terpaksa berhenti.

Setelah melihat adanya sesosok mayat dalam keadaan terbaring di pinggir jalan langsung melaporkan ke Mapolsek Abepura. “Saya kaget melihat kejadian, sehingga saya langsung melaporkan ke Mapolsek Abepura untuk di evakuasi,” tukasnya.

Sementara itu, Kapolsek Abepura Kota, Kompol. Decky Hursepuny melalui Kanit Reskrim Polsek Abepura Kota, Ipda Jerry Koagouw, SH, ketika dikonfirmasi Bintang Papua melalui telepon selulernya, membenarkan adanya penemuan sosok mayat tanpa identitas tersebut. “Dari TKP kita tidak menemukan identitas korban, sehingga kita berusaha untuk mencari keluarganya dengan memajang foto di masing – masing asrama, yang kemungkinan ada yang mengetahui siapa keluarga korban tersebut,” ujarnya.

Ipda Jerry mengungkapkan, dari hasil olah TKP sementara, dugaan korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas kasus ini diserahkan pihak Lantas Polsek Abepura Kota sementara untuk mengetahui siapa keluarga korban, sedangkan dari Reskrim akan berusaha mencarinya. (mir/don/l03)

5 Pemimpin Tanah Tabi Cetuskan 7 Butir Deklarasi ‘Metu Debi’

Tabi, an indigenous community affected by clim...
Tabi, an indigenous community affected by climate change (Photo credit: Oxfam International)

JAYAPURA—Pertemuan kedua, 5 kepala daerah di Tanah Tabi akhirnya menghasilkan sebuah kesepakatan yang diberi nama “Deklarasi Metu Debi”.

Dalam pertemuan yang digelar di Para Para Adat Hamadi Kampung Tobati Sabtu (09/03) lalu, 4 kepala daerah hadir, yaitu Walikota Jayapura Drs. Benhur Tommy Mano, MM, Bupati Jayapura Mathius Awoitouw, SE, M.Si, Bupati Keerom Yusuf Walli, SE, MM, dan Bupati Sarmi Drs. Mesak Manibor, M.MT. sementara Bupati Membramo Raya berhalangan hadir karena alasan kesehatan dan diwakilkan oleh Ketua Sinode Papua Pdt. Fran Albert Yoku.

Sebelum menghasilkan kesepakatan seluruh kepala daerah yang juga turut membawa 15 orang delegasinya diberi kesempatan untuk menyampaikan pikirannya untuk kesatuan Tanah Tabi.

Yang menarik dari 5 kepala daerah tidak ada yang menyinggung wacana pemekaran Provinsi Tabi yang sebelumnya gencar dikabarkan akan menjadi isu utama yang akan dibicarakan dalam pertemuan ini, terkecuali Bupati Sarmi yang secara lantang mengatakan pembentukan Provinsi Tabi merupakan sebuah hal yang posisitif.

Manbor dalam kesempatannya berbicara mengatakan semua orang sepakat untuk mencari cara untuk bagaimana mensejahterahkan seluruh masyarakat yang tinggal di Tanah Tabi, bukan hanya orang asli Papua, dan wacana pemekaran Provinsi Tabi bukanlah hal yang negative dan harus terjadi.

Tetapi Bupati keerom Yusuf Walli, SE, MM, ketika diberi kesempatan berbicara menilai wacana pemekaran bukan hal yang paling penting, tetapi bagaimana menyelamatkan rumah yang mau runtuh (masyarakat di Tanah Tabi) adalah hal yang lebih krusial untuk dibahas.

Pertemuan yang dipandu oleh ketua Klasis GKI Jayapura Pdt. Wilem Itaar, S.Th akhirnya dilanjutkan dengan acara makan siang sebelum akhirnya dilanjutkan dengan pertemuan tetutup.

Pada akhirnya setelah pertemuan tertutup itu usai pada malam hari, tim perumus yang telah dibentuk sebelumnya bekerja untuk merangkum semua hal yang telah dibicarakan dan disepakati dengan hasilnya dibuatlah 7 butir kesepakatan yang bernama “Deklarasi Metu Debi”.

Deklasrasi ini sendiri dibacakan dan ditandatangani oleh seluruh kepala daerah di tanah Tabi pada saat perayaan pekabaran Injil di Tanah Tabi pada Minggu (10/03) di Kampung Enggros.

Berikut salinan dari Deklarasi Metu Debi.

Deklarasi Metu Debi

Pada hari ini, Minggu 10 Maret 2013 bertempat di Pulau Metu Debi. Kami bupati/Walikota dan seluruk komponen masyarakat Tabi, dengan ini menyatakan hal-hal sebagai berikut :

  • Pertama : Tuhanlah yang memilih dan menetapkan Metu Debi sebagai tempat dimulainya peradaban baru orang Tabi, oleh karena itu Pulau Metu Debi ditetapkan sebagai SITUS PEKABARAN INJIL di Tanah Tabi.
  • Kedua : Menjadikan kawasan Tanah Tabi sebagai kawasan pembangunan terpadu.
  • Ketiga : Dalam rangka menjaga dan melestarikan eksistensi Orang Tabi ditanah leluhurnya, maka perlu dlakukan tindakan protektif regulatif.
  • Keempat : Kami sepakat Bahwa Proses pembangunan di Tanah Tabi dilakukan melalui peran yang seimbang antara Adat, Agama dan Pemerintah, “Satu Tungku Tiga Pilar”.
  • Kelima : Kami menegaskan bahwa kawasan tanah Tabi adalah melingkupi Kabupaten Keerom sampai Kabupaten Membramo Raya termasuk Distrik ToweKabupaten Keerom dan Distrik Airu Kabupaten Jayapura.
  • Keenam : Kami sepakat untuk membentuk Forum Komunikasi Pembangunan Masyarakat Tabi.
  • Ketujuh : Hal-hal lain yang berkembangan dalam pertemuan akan dibahas pada pertemuan Forum Komunikasi Pembangunan Masyarakat Tabi diwaktu yang akan datang.

Demikian Deklarasi Metu Debi.

“Kami Dapat Memegang Kemudi, Tetapi Tidak Dapat Menentukan Arah Angin dan Arus”
Metu Debi, 10 Maret 2013

Selanjutnya deklarasi tersebut ditandatangani oleh seluruh kepala daerah yang hadir.

Pada acara pertemuan sehari seelumnya ada beberapa hal menarik yang tertangkap dilapangan, seperti terdapat beberapa spanduk dukungan pemekaran Provinsi Tabi yang dibawa rombongan asal Kampung Nafri. (ds/don/l03)

Sumber: Papos

Enhanced by Zemanta

BUDAYA OAP HARUS DIPERTAHANKAN

Tradisi makan bersama dalam acara Bakar Batu di Wamena (Jubi/Timo)
Tradisi makan bersama dalam acara Bakar Batu di Wamena (Jubi/Timo)

Jayapura Meski arus modernisasi perlahan masuk di Papua, sedianya budaya Orang Asli Papua (OAP) tetap dipertahankan. Arus modernisasi hendaknya menjadi pendorong untuk tetap menjaga aneka budaya Papua dari setiap suku.

Hal ini dikatakan Noak Nawipa, salah satu calon gubernur Papua, saat menemuitabloidjubi.com di Jayapura, Jumat (25/1) malam.

“Meskipun arus modernisasi masuk, jangan sampai merusak nilai-nilai budaya, seperti budaya perkawinan, dan lain-lain,”

kata dia Jumat malam.

Menurut dia, budaya Papua yang dimiliki ratusan suku hendaknya dipertahankan, sebab, orang Papua hidup di atas nilai-nilai budaya yang ada itu.

Calon gubernur dari pasangan Noakh Nawipa-Johannes Wob nomor urut satu ini berkomitmen, pihaknya akan tetap menjaga dan melestarikan budaya sesuai dengan kearifan lokal.

“Tradisi Papua berbeda dengan daerah di Indonesia yang lainnya. Sangat unik. Jika tidak dijaga, OAP dan budayanya perlahan akan punah seperti suku Aborigin di Australia dan suku Mauri di Selandia Baru,”

katanya lagi.

Dia mencontohkan, di Biak, pihaknya akan membangun rumah adat Biak sesuai arsitektur adat.

Selain itu, ia mengatakan, pihaknya akan memetakan tanah ulayat OAP sesuai dengan jumlah marga di Papua. Di Papua, kepemilikan tanah, misalnya, dimiliki secara bersama-sama. Selain itu, membuat silsilah yang jelas.

“Ini untuk mempermudah pembagian dana Otsus (Otonomi Khusus),”

ujar dosen pada Sekolah Tinggi Teologi (STT) Walter Post Sentani, Jayapura ini.(Jubi/Timoteus Marten)

 Saturday, January 26th, 2013 | 13:46:53, TJ

Titus Pekei: “Noken Papua Mengandung Banyak Nilai”

Direktur Ecology Papua Institute, Titus Christoforus Pekei (Jubi/Levi).
Direktur Ecology Papua Institute, Titus Christoforus Pekei (Jubi/Levi).

Nabire — Di tengah maraknya tokoh politik di bumi Papua, muncul seorang peneliti dan penggagas muda asal tanah Papua  yang peduli dengan budayanya. Dia adalah, Titus Christoforus Pekei, SH, Msi, yang berhasil mendaftarkan tas tradisional Papua yang dikenal dengan nama: Noken  ke tingkat internasional dalam sidang PBB di Paris, Prancis, beberapa waktu lalu.

“Tanah Papua sangat potensi dengan sumber daya alamnya dan juga ilmu-ilmu dasar, dalam hal ini adat tradisi yang mana mengasa kreatif atau berimajinasi melalui kerajinana tangan yang sangat kaya, salah satunya tas tradisional Papua bernama Noken,”

kata Titus yang juga Direktur Ecology Papua Institute (EPI), beberapa waktu lalu di Deiyai, Papua.

Sebagai ajakan bagi masyarakat tanah Papua, kata Titus, terutama para pengrajin dan juga yang paling utama pemangku kepentingan di tanah Papua, baik dari gubernur hingga tinggkat terendah, pemimpin agama hingga tingkat terendah dan lembaga swadaya masyarakat agar benar-benar melihat hal ini. Sebab sekarang Noken telah ditetapkan dan diakui sebagai warisan dunia.

“Kita harus kembali mendalami ilmu Noken ini. Sebab Noken mengajarkan kita tentang berbagi, demokrasi dan kebenaran,”

kata Titus, yang penulis buku Manusia MEE di Papua dan buku Cermin Noken Papua ini.

Menurut Titus, awalnya Noken yang  dianggap sebuah benda yang di mata orang mungkin tak bermanfaat. Namun sebenarnya di dalam Noken, tersimpan banyak makna atau nilai.

“Karena itu, kita harus mengedepankan nilai-nilai yang terkandung dalam arti Noken in. Sebab tanpa Noken, tidak ada kehidupan dan  tanpa noken tidak ada kebersamaan,”

kata lulusan Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta ini.

Titus mengatakan, bagi siapa saja yang nantinya terpilih menjadi pimpinan di suatu daerah, mestinya harus mengenakan atau menggunakan Noken sebagai simbol pelantikan wadah untuk menyimpan aspirasi masyarakat.

“Saya fikir jika kita mengenakan Noken, artinya bahwa ia (pemimpin), juga merupakan anak adat yang maju tanpil di provinsi maupun di daerah,”

katanya. (Jubi/Ones Madai)

 Monday, January 7th, 2013 | 15:40:21, TJ

Suku Yeinan Tolak Perusahaan Sawit

Jayapura (22/12) – Suku Yeinan di Kabupaten Merauke, Papua, menolak perusahaan kelapa sawit yang hendak berupaya untuk beroperasi di wilayahnya. Perusahaan sawit yang hendak beroperasi di Yeinan adalah PT. Wilmar Group.

David Dagijay, warga suku Yeinan kepada wartawan di Abepura, Jumat (21/12) mengatakan saat ini pihaknya sementara tarik ulur dengan PT. Wilmar Group yang sementara berupaya untuk membuka lahan kelapa sawit di Yeinan. “Kami masih tarik ulur untuk sepakati kehadiran perusahaan itu. Rata-rata masyarakat menolak perusahaan sawit,” katanya.

PT. Wilmar Group berencana membuka lahan sawit seluas 40 ribu hektare. Namun, hingga kini belum dibuka lantaran warga pemilik lahan belum sepakat melepas tanahnya. Menurut David, suku Yeinan memiliki enam kampung masing-masing kampung, Poo, Torai, Erambu, Kweel, Bupul dan Tanas. “Dari enam kampung ini dua diantaranya yang sudah sepakat lepas tanahnya untuk diolah oleh perusahaan. Dua kampung itu adalah Bupol dan Poo. Empat kampung lainnya belum,” ujarnya.

Warga tak mau dibohongi. Suku Malin belajar dari perusahaan sawit yang sudah beroperasi di wilayah warga Malind Anim di Merauke. Kini Mereka (warga malin anim), menderita akibat perusahaan sawit. Warga kehilangan mata pencaharian. Sulit berburu rusa dihutan karena sudah dibabat habis perusahaan. Warga juga tak bisa mengkosumsi air sungai disekitar karena terkontaminasi limbah perusahaan sawit.

David menuturkan, sudah ada satu perusahaan sudah beroperasi di Yeinan yakni PT. Hardayat. Perusahaan Hardayat menanam tebu. “Bagi kami, cukup satu perusahaan saja, jangan tambah lagi. Kalau perusahaan tebu ini kami ijinkan karena masa umur tebu tidak memakan waktu lama. Tapi, sawit membutuhkan waktu yang cukup lama. Kemudian, menguras tanah menjadi tandus dan tak berair,” tuturnya. (Jubi/Musa)

Enhanced by Zemanta

Wolas Krenak : Pemerintah Pusat Abaikan Hak Masyarakat Adat

MANOKWARI, Cahayapapua.com– Anggota Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), TH. Wolas Krenak menilai pemerintah pusat mengabaikan hak masyarakat adat dalam pengelolaan sumberdaya alam Papua.

“Selama ini kementerian kehutanan banyak memberikan izin HPH kepada investor dari Jakarta maupun dari luar negeri untuk mengelola hutan tanpa memperhatikan kepentingan dan hak masyarakat pemilik hak ulayat,” kata Wolas di kantor MRP PB di jalan Trikora, Taman Ria Manokwari, Selasa (11/12).

Mengutip temuan Wahana Lingkungan Hidup atau Walhi dan sejumlah LSM lingkungan hidup soal dugaan pelanggaran pengelolaan hutan produksi oleh sejumlah perusahaan pemegang Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), Wolas menegaskan agar pemerintah pusat menertibkan penerbitan izin IUPHHK.

Menurut Wolas pemerintah pusat tidak pernah melibatkan masyarakat terutama pemilik hak ulayat dalam penerbitan surat izin tersebut. MRPB yang merupakan representasi lembaga masyarakat adat selama ini juga menurutnya tak pernah dilibatkan.

“Pemerintah pusat tidak menghargai UU Otsus,” kata Wakil Ketua Panitia Musyawarah (PNMUS) MRPB ini. “Padahal Masyarakat Papua memiliki Undang-Undang adat sebagaimana diamanatkan UU Ostus. Seharusnya pemerintah pusat memperhatikan hal tersebut.”

Meski demikian ia mengatakan, salah satu faktor penyebab terjadinya kerusakan hutan di bumi Papua juga disebabkan oleh oknum orang Papua sendiri. Dikatakan selama ini banyak kepala suku yang begitu mudah untuk menyerahkan lahannya untuk dikelola para investor dengan imbalan uang yang sebenarnya menurut Wolas tidak seimbang dengan kerusakan yang bakal terjadi.

Terkait hal tersebut ia mengaku saat ini MRPB tengah berupaya melakukan pelurusan sejarah marga dan silsilah orang asli papua. Upaya ini dilakukan untuk memastikan sejumlah marga dan suku asli papua yang ada di Papua Barat. Itu juga untuk memastikan penguasaan lahan oleh suku-suku yang ada di Papua Barat. ”Saat ini kami tengah berdiskusi dengan suku-suku yang ada di Papua Barat untuk menjaring data,” ujarnya

Tak hanya itu MRP-PB menurutnya kini tengah berupaya merumuskan Rancangan Peraturan Daerah khusus (Raperdasus) tentang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam di Bumi Papua Barat. | Toyiban

December 13th, 2012 by admin CP

Enhanced by Zemanta

Semua Budaya Papua Harus Dijaga

English: Huli Wigman from the Southern Highlan...
English: Huli Wigman from the Southern Highlands of Papua New Guinea. Не ешьте его (Photo credit: Wikipedia)

JAYAPURA – Rasa bangga dan hormat ditunjukkan Ketua MRP Timotius Murib, ketika mengetahui salah satu kerajinan tangan orang asli Papua berupa noken diakui sebagai warisan dunia oleh Unesco yang merupakan salah satu badan dunia di PBB.

Bahkan, ia menekankan agar tidak hanya noken, semua hasil budaya orang asli Papua harus dilestarikan. Seperti alat-alat musik budaya yang merupakan kekayaan budaya Papua.

“Atas nama masyarakat asli Papua kami menyatakan rasa bangga dan penghormatan bila hasil kerajinan tangan noken khas Papua diambil oleh Unesco sebagai salah satu hasil budaya dunia dan kebanggaan khusus,”

ungkapnya, Rabu. Menurut Murib, noken yang tadinya dilihat tak berharga namun kini diakui Dunia melalui Unesco sebagai warisan budaya dunia, hal ini menujukan derajat orang Papua terangkat naik hingga dunia.

Ia mengakui, meski populasi manusia Papua kurang, namun budaya akan tetap ada sampai orang Papua lenyap dari muka bumipun, budayanya akan tetap ada. Salah satunya Noken, kerajinan tangan ini akan menjadi budaya dimana orang mengakui, pernah ada suku yang menggunakan alat ini sebagai kantong. (ven/aj/lo2)

 

Kamis, 13 Desember 2012 07:02, Ditulis oleh Redaksi Binpa

Enhanced by Zemanta

Pokja Agama dan Adat di MRP, Tolak Jhon Tabo

JAYAPURA – Majelis Rakyat Papua( MRP) sejak Senin( 10/12) mulai melakukan klarifikasi sehubungan dengan dua berkas bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua yang diserahkan langsung Ketua KPU Provinsi Papua Benny Sweny ke MRP. Dengan penyerahan berkas ke MRP, maka MRP langsung mengelar Sidang Pleno Senin Sore. Sidang lanjutan klarifikasi keaslian kedua bakal calon sebagai orang asli Papua, berlangsung sangat alot.

Ketua MRP, Timotius Murib menyatakan, sesuai jadwal KPU, sebenarnya hari Jumat kemarin KPU menyerahkan dokumen persyaratan yang telah diverifikasi oleh KPU untuk diklarifikasi MRP terkait keaslian calon sebagai orang asli Papua. Tetapi karena hampir semua anggota MRP berda di luar daerah maka berkas persyaratan bakal calon baru diserahkan pada Senin (10/12) dari KPU ke MRP. Setelah menerima berkas MRP langsung kerja maraton dari pimpinan MRP ke Pokja masing masing untuk dibahas empat calon, dua pasangan itu.

Dari keempat calon dua pasangan itu memang melalui pembahasan yang sangat sangat alot, tarik menarik, hingga pada tingkat tak bisa mengambil keputusan karena antara anggota MRP sendiri saling menahan argumen masing masing hingga klarifikasi berlanjut hingga jauh malam pukul 23.00 WITdalam pembahasan klarifikasi tingkat Pokja. “Setelah penyampaian pandangan masing masing Pokja dilanjutkan dalam pleno Selasa( 11/12),” ujar Murib kepada Bintang Papua, Selasa( 11/11) di ruang kerjanya. Dari pantauan Bintang Papua memang demikian pembahasan dalam tingkat pleno seluruh anggota MRP memang berjalan sangat alot, masing masing dengan argumennya sendiri.

Hingga Selasa( 11/11) pagi, MRP kembali melanjutkan klarifikasinya dengan agenda berikutnya yakni pengesahan empat bakal calon ini. Sebelum melakukan penetapan dan mengambil keputusan terkait pertimbangan dan persetujuan MRP. Dari masing masing Pokja itu masih terus berjalan alot, masing maisng Pokja saling mempertahankan argumen dengan pandangan masing masing. Pokja Adat MRP dalam pembahasan menolak bakal calon wakil Gubernur Jhon Tabo. Menurut pendapat anggota Pokja Adat, Jhon Tabo itu berdarah campuran, ayahnya seorang Suku Toraja dan Ibunya memang orang asli Papua bermarga Kogoya.

Sementara Pokja Agama juga demikian menolak calon wakil Gubernur Jhon Tabo terkait dengan berkas persyaratan riwayat hidup Jhon Tabo yang dianggap cacat karena berkasnya tidak dilegalisir oleh KPU. Berkas yang dianggap cacat itu adalah dokumen yang DP 10 KW KPU yang dikirim ke MRP berbeda dengan kandidat lain terutama Jhon Tabo dimana Jhon Tabo tertulis BB 10 KWK kemudian Bas dan pasangan lainnya itu juga sangat berbeda. Dengan fakta itu maka MRP Pokja Agama menolak pasangan Bas- Jhon untuk diberi pertimbangan dan persetujuan.

Sedangkan Pokja Adat lanjut Murib, juga menolak karena darah campuran Toraja ada pada diri Jhon Tabo. Namun dalam sidang pleno Klarifikasi keaslian kempat calon tersebut mendapat tanggapan mengabaikan oleh Pokja Perempuan MRP. Pokja Perempuan MRP bersih keras bahwa apapun dia calon gubernur dan wakil gubernur Papua bila dia lahir dari rahim perempuan Papua maka dia adalah orang asli Papua. Pendapat Pokja Perempuan yang mendapat pro juga dari MRP terkait Perdasus Nomor 6 Pasal 3 yakni yang menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur adalah orang asli Papua, ras melanesia dimana ayah dan ibunya harus orang asli Papua.

Tetapi Pokja Perempuan kata Murib, tidak tahu masuk angin apa sehingga mereka meloloskan Jhon Tabo, hal itu menujukkan bahwa di MRP sendiri itu belang belang, karena Pokja Adat sendiri bersifat menolak dengan orang yang memang dianggap berdarah campuran, bukan orang asli Papua. Sedangkan Pokja Agama seleksi berkas dokumen dokumen yang disampaikan KPU kepada MRP itu tidak sesuai dengan persyaratan yang tertera dalam undang undang 21 Perdasus No 6 itu.

Oleh karena itu lanjut Murib, hasil klarifikasi yang dilakukan MRP ada tiga versi terhadap putusan ini. Maka MRP akan kembalikan kepada KPU versi ini, nanti KPUlah yang akan melihat sendiri putusan MRP tersebut seperti apa sebab dalam hal ini, adat mewakili orang Papua dengan tegas menolak Jhin Tabo sebagai bakal Calon Wakil gubernur karena dia berdarah campuran, tegas Murib.

Lebih lanjut Murib menerangkan bahwa secara manusiawi MRP mencurigai ada indikasi indikasi apa hyang melatarbelakangi putusan dari Pokja masing masing, semnetara MRP telah memutuskan, salah satu produk yaitu Perdasus pasal 3 yang merupakan hasil produk MRP tetapi kami dari pihak Perempuan mengabaikan hal itu yakni menginjak injak apa yang telah di buat kami sendiri yang injak dan hal ini dilakukan oleh Pokja Perempuan.

Murib mengatakan, waktu yang diberikan KPU kepada MRP untuk melakukan klarifikasi itu sangat singkat dan tidak cukub hanya dua hari, itu sangat penting, bahkan tujuh hari juga tidak cukub untuk MRP lakukan klarifikasi sesuai dengan dokumen riwayat hidup dan dokumen yang disampikan juga dianggap keliru dan kami kembalikan, itu sikap dari Pokja Adat, namun Adat tegas dari empat calon, Jhon Tabo bkan Orang Asli Papua sehingga kami menolak, tegas Murib.( Ven/don/l03)

Rabu, 12 Desember 2012 08:20, Binpa

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny