Noken Harus Jadi Ikon Papua

Catatan PMNews:
Dulu ada Operasi Koteka, di mana di jalan masuk kota Wamena didirikan Posko-Posko yang membagikan Pakaian Kain, alias Pakaian Modern. Setiap orang yang masuk ke kota dipaksa melepaskan pakaian Adatnya, bernama Koteka, lalu diharuskan mengenakan pakaian modern. Mereka juga diancam akan ditembak kalau kembali pakai Koteka. Banyak orang tua yang tidak sanggup akhirnya memilih untuk tidak pernah datang ke kota sejak itu.

  • Apakah Operasi Koteka WAJIB dilakukan NKRI, dan Noken Wajib dipelihara NKRI? Bukankah keduanya melekat kepada peri-kehidupan orang Koteka di pegunungan Tanah Papua?

  • Bukankah begini cara kerja kaum penjajah di seluruh dunia?

JAYAPURA [PAPOS] – Dinas Pariwisata Jayapura menilai bahwa Noken (tas anyaman multifungsi kerajinan tangan rakyat setempat) yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Bergerak harus menjadi ikon di bumi Cendrawasih itu.

Hal itu dikatakan oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Papua Eveerth Merauje di Jayapura, Rabu terkait keputusan UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation) atau Organisasi PBB untuk Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan menetapkan Noken sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Bergerak dalam Sidang UNESCO di Paris, Prancis, pada 4 Desember 2012.

“Noken harus diupayakan menjadi ikon dan ciri khas orang Papua,” katanya. Dikatakanya bahwa dengan diakuinya Noken itu maka secepatnya hal ini perlu diapresiasikan oleh semua pihak yang ada di wilayah tersebut.

“Noken melukiskan identitas dan jati diri pribadi dan suku di Papua,” katanya. Ia menilai bahwa menindaklanjuti keputusan salah satu badan khusus di PBB itu maka pemerintah daerah di provinsi itu harus memberikan perlindungan hukum, yakni Perda untuk upaya pelestarian Noken.

Ia juga mengatakan noken perlu dimasukan dalam pelajaran disekolah-sekolah yang ada didaerah tersebut sebagai suatu kearifan lokal, sehingga para generasi muda penerus bangsa tidak melupakan tentang noken. “Saya setuju jika noken dimasukan dalam pelajaran muatan lokal di sekolah,” katanya.

Sementara itu, Marshel Suebu dari Komunitas Noken Papua (Konopa) yang telah mematenkan merk daganganya di Kemenkumham RI dengan nama “konopa” mengatakan pihaknya terus berupaya untuk melestarikan noken sebagai bagian dari budaya orang Papua.

“Dan kami ingin lestarikan noken. Tentunya perlu kajian-kajian yang mendalam dari pihak-pihak yang berkompeten karena noken menurut kami mempunyai makna yang sangat mendalam,” katanya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Noken atau tas rajutan khas Papua akhirnya diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Bergerak dalam Sidang UNESCO di Paris, Prancis, pada 4 Desember 2012.

“Hari ini jam 10.30 waktu Paris Noken diakui oleh UNESCO. Delegasi Republik Indonesia termasuk dari Papua juga hadir dan kita semua patut bersyukur dan bangga pada Papua,” kata Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bidang Kebudayaan Wiendu Nuryanti dalam pesan singkat yang diterima di Pekanbaru, Riau, Selasa (4/12). [ant/ida]

Terakhir diperbarui pada Sabtu, 08 Desember 2012 00:54

Ini Alasan Noken Papua Masuk Warisan Budaya Dunia

Jayapura, (5/12) -– Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mengaku, alasan kuat noken Papua (tas tradisional) ini diterima dan diakui serta disahkan oleh UNESCO sebagai warisan dunia karena terancam globalisasi dunia. Selain itu, noken ini terancam punah dan mendesak untuk dilindungi.
Hal ini terkuak dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta bekerja sama dengan Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Hotel Horison Jayapura, Papua, Rabu (5/12). Dalam FGD itu, Anton Wibisono dari Direktorat Internalisasi Nilai dan Diplomasi Budaya Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta mengatakan, alasan noken Papua diajukan untuk disahkan sebagai warisan budaya dunia karena terancam globalisasi.

Globalisasi menimbulkan berbagai macam ancaman. Berbagai ancaman itu bisa saja dari Sumber Daya Alam (SDA) tapi juga dari Sumber Daya Manusia (SDM). Bertolak dari itu, noken perlu dilestarikan dan dijaga sebagai suatu budaya turun temurun dari leluhur orang Papua. Anton Wibisono menuturkan, noken Papua lulus nominasi warisan budaya tak benda yang sudah diakui dan disahkan oleh UNESCO sejak 4 Desember 2012 di Paris, Perancis.

Melalui kerangka acuan FGD yang diterima, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, globalisasi dunia saat ini disamping menciptakan transformasi sosial tapi juga hubungan baru antara masyarakat. Selain itu, menimbulkan fenomena dan ancaman-ancaman terhadap perusakan warisan budaya takbenda, khususnya kurangnya sumber daya untuk melindungi warisan tersebut.

Menyadari hal itu, pemerintah Indonesia berusaha untuk melindungi noken sebagai warisan budaya takbenda dengan mendaftarkannya warisan budaya Indonesia termasuk noken dalam daftar warisan budaya tak benda Unesco. Noken telah diusulkan pemerintah Indonesia melalui kemenrian pendidikan dan pariwisata pada 2011 untuk masuk dalam daftar warisan budaya tak benda Unesco. Tas tradisional asal Papua ini diusulkan karena membutuhkan perlindungan mendesak.
Kepala Kantor Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Jayapura, Apollo Marisan mengaku, FGD yang digelar merupakan implikasi dari penetapan noken sebagai warisan dunia yang telah ditetapkan oleh UNESCO di Paris, Perancis sejak Selasa, 4 Desember 2012.

Noken adalah aspek paling mendukung karena merupakan salah satu budaya orang Papua. Impilikasi dari penepatan itu, salah satunya adalah membangun diskusi. Diskusi bertujuan untuk memperoleh beberapa konsep yang diharapkan pemerintah pusat dalam hal ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan cq Direktorat Internalisasi Nilai dan Dipolomasi Budaya.

Dari konsep yang dihasilkan, kata Marisan, selain dibawa ke Jakarta, konsep itu juga akan dititipkan ke Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua agar kedepan bagaimana pemerintah mengambil langkah untuk dapat dapat mewujudkan noken sebagai warisan budaya khusus. “Mungkin ada perda (peraturan daerah) yang akan mengakomodir itu sebagai salah satu aksi dimana dalam rangka pelestarian noken ini. Dengan demikian akan berdampak luas, baik secara ekonomi bagi masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, masih banyak hal-hal yang terkandung dalam noken ini yang perlu diangkat ke permukaan dalam rangka pembinaan generasi muda guna pembinaan karakter sebagai jati diri bangsa. Marisan menambahkan, Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat mengajukan noken ke UNESCO untuk mendapat pengakuan internasional sejak tahun 2011.

Naga Biniluk, salah satu pengrajin noken asal Kabupaten Tolikara, Papua, yang hadir dalam FGD mengatakan rata-rata warga Tolikara membuat noken untuk dijual. Hasil dari penjualan, digunakan untuk membiayai sekolah dari anak-anaknya. “Kami di Tolikara itu buat noken untuk biaya sekolah dari anak-anak kami mulai dari sekolah taman kanak-kanak sampai ke perguruan tinggi,” ungkapnya. Naga menuturkan, bahan yang digunakan untuk membuat noken berasal dari kulit pohon hutan dan tali hutan. Salah satu jenis pohon yang biasanya diambil lalu digunakan kulitnya untuk noken adalah pohon genemo.
Sementara, pewarna noken, ia mengaku warga Tolikara biasanya menggunakan beberapa jenis buah hutan. Diakhir kesaksian Naga, ia berharap dengan lulusnya noken sebagai nominasi warisan budaya dunia, para pengrajin noken diperhatikan dan diberdayakan. Mereka (pengrajin noken) juga diharapkan agar difasilitasi. Generasi muda juga diharapkan menyukai dan dapat membuat noken.

Ketua Komunitas Noken Papua (Konopa), Marshel Suebu mengatakan, untuk melestarikan noken, pihaknya telah berupaya membentuk komunitas. Komunitas berhasil dibentuk dengan Komunitas Noken Papua (Konopa). Kemudian, komunitas ini berupaya untuk mendapatkan lebel penjualan noken untuk ditetapkan di hasil karya noken yang sudah dibuat untuk siap dipasarkan. “Nama lebelnya sudah didapatkan dari kementrian hukum dan HAM Republik Indonesia,” ujarnya.

Komunitas ini baru dibentuk tahun 2012 ini, bertepatan dengan upaya pemerintah pusat mendorong noken untuk menjadi warisan budaya dunia. Semenjak Konopa terbentuk, banyak noken yang sudah dibuat dan dipasarkan. Menurut Marshel, noken Papua perlu dijaga dan dilestarikan karena merupakan sejumlah simbol dan makna. Diantaranya, sebagai simbol kejujuran, simbol persatuan dan kedamaian. Selanjutnya, bermakna kesuburan bagi kaum wanita.

Tetapi, kata dia, sampai saat ini, banyak orang terutama generasi muda masih beranggapan bahwa noken adalah hal yang biasa tak bermakna dan memiliki symbol tertentu. “Sampai sekarang masih banyak orang anggap noken sebagai hal yang biasa. Tidak bermakna dan memiliki symbol tertentu,” tuturnya. Dia menambahkan, ketika nilai-nilai dan symbol-simbol serta nilai-nilai yang terkandung dalam noken diketahui, diharapkan disampaikan ke khayalak umum agar diketahui baik Indonesia maupun dunia luar tahu bahwa noken Papua sangat penting.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Jayapura, Everth Merauje mengatakan berbicara tentang noken berarti tidak terlepas dari harga diri orang Papua. “Bagi orang Papua, kalau harga dirinya diganggu, pasti dia mengamuk dan berontak,” cetusnya. Everth menilai, noken merupakan salah satu kearifan lokal. Untuk itu, noken perlu dijaga dan dilestarikan. Indentifikasi jenis-jenis noken juga penting untuk dilakukan. Everth berjanji, kedepan pihaknya akan mengupayakan noken sebagai satu item pariwisata.

Pantauan tabloidjubi.com, dalam Focus Group Discussion yang digelar oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta bekerja sama dengan Balai Nilai Budaya wilayah Papua dan Papua Barat di Hotel Horison Jayapura, dihadiri oleh pengrajin noken di kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura. Turut hadir dalam diskusi itu, sejumlah instansi terkait, akademisi dan mahasiswa. (Jubi/Musa)

Penulis : Musa Abubar | Wednesday, December 5th, 2012 | 19:53:28, Jubi

MRP Siap Berikan Pertimbangan Terhadap Pasangan Bas-John

Timotius Murib, Ketua MRP
Timotius Murib, Ketua MRP

JAYAPURA- Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Timotius Murib mengingatkan kembali, Provinsi Papua sampai saat ini belum memiliki Gubernur definitif hingga hampir delapan bulan ini. Namun demikian amar putusan MK yang menyatakan KPU tetap mengakomodir ke 7 pasangan Bakal calon gubernur yang telah melalui tahap verifikasi di DPRP maupun MRP, dan KPU diberikan wewenang membuka kembali pendaftaran calon gubernur tahap II.

Dengan dibukanya kembali pendaftaran calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua periode II ini, maka setelah melalui verifikasi di KPU selanjutnya untuk memberikan pertimbangan sehubungan dengan keaslian calon sebagai orang Papua sesuai amat undang undang Otsus dan Perdasus, maka MRP akan memberikan pertimbangan. “ Untuk itu MRP sudah siap untuk bekerja memberikan pertimbangan itu,” ungkap Murib di Kantor MRP, Senin( 12/11/2012) sore kemarin.

Menurutnya, MRP menghargai dan mengakui seluruh proses pendaftaran calon Gubernur dan Wakil Gubernur tahap II yang sementara dilakukan KPU. Namun ia mengingatkan dalam melakukan klarifikasi terkait keaslian calon, MRP menolak segala intervensi Partai Politik dan melakukan klarifikasi secara independen dan akan memutuskan siapa bakal calon yang asli Papua maupun yang bukan asli Papua sesuai kriteria yang berlaku sebagaimana tupoksi MRP dimana klarifiksi sama juga dilakukan pada tahapan klarifikasi calon sebelumnya. Murib menegaskan, selain tidak menerima intervensi dari luar, MRP berpedoman bahwa klarifikasi yang dilakukan tetap mengarah pada keaslian orang Papua, yakni, garis turunan ayah maupun ibunya adalah orang asli Papua, sekalipun ada nenek moyangnya, ayahnya tidak berdarah asli Papua, maka hal itu ditolak karena merupakan komitmen MRP.

Ketika Murib ditanya, apakah MRP akan memberikan klarifikasi dan pertimbangannya kepada pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur Basnabas Suebu dan John Tabo (Bas-John), ia menegaskan, klarifikasi terhadap pasangan ini tetap dilakukan, termasuk mencari tahu siapa ayah dan ibu kandung dari Bakal Calon Wakil Gubernur Jhon Tabo sesungguhnya. “Untuk melacak itu MRP punya cara sendiri yang tak bisa diintervensi pihak manapun untuk memberikan pertimbangan soal keaslian calon,” tegas Murib kepada Wartawan. (Ven/don/l03)

Rabu, 14 November 2012 08:17, Binpa

Ironis, Bahasa Daerah Engros Terancam Punah

Jayapura (30/10) — Minimnya kesadaran generasi muda melestarikan bahas daerahnya menjadi salah satu problem yang cukup serius. Di kampung Enggros, Distrik Abepura, Kota Jayapura pemuda dan anak-anak tak lagi dapat berbahasa ibu atau bahasa daerah setempat.

Ondoafi Kampung Enggros, Nico Meraudje mengatakan, saat ini yang masih fasih menggunakan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari hanya mereka yang berusia 40 tahun keatas.

“Itupun tak lebih dari 20 orang. Pemuda dan anak-anak kebanyakan pakai bahasa Indonesia. Masyarakat yang usia 40 tahun saja yang masih bicara dengan bahasa daerah. Sedangkan yang usia 25 tahun sampai ke 10 tahun sudah tidak bisa,” kata Nico Meraudje, Selasa (30/10).

Menurutnya, mereka yang berusia 25 tahun ke bawah jika mendengar bahasa daerah Enggros mengerti maksudnya. Namun, untuk mengucapkan mereka agak sulit. “Saat mereka dengar kita bicara dengan bahasa derah, mereka mengerti apa yang dimaksud. Tapi untuk mengucapkan itu agak berat. Ya itu mungkin juga karena lingkungan sehingga mereka lupa. Namun sebenarnya itu tergantung dari kita,” ujarnya.

Untuk itu kedepannya lanjut dia, pihaknya akan terus berusaha agar bahasa daerah Enggros tidak punah. Salah satu cara yang akan diambil tetua adat setempat adalah mendirikan PAUD yang materi pelajarannya bahasa daerah Enggros.

“Ini akan kita lakukan agar bahasa Enggros dilestarikan kembali. Selain untuk tetap melestarikan penggunaan bahasa daerah di kampung tertua di Kota Jayapura ini, tetua adat setempat melakukan pertemuan rutin dua kali seminggu di para-para adat. Dalam pertemuan itu, semua pemuda dan anak-anak diharuskan menggunakan bahasa ibu atau bahasa daerah,” tandas Nico Meraudje.

Sebelumnya Balai Bahasa Jayapura mengklaim saat ini penggunaan bahasa ibu di Papua dan Papua Barat hampir punah. Dari lebih 250-an bahasa daerah setempat, pemuda Papua yang masih menggunakan bahasa ibu tidak lebih mencapai ratusan orang. (Jubi/Arjuna)

 

Sumber: JUBI

Kehadiran RI di Tanah Papua Mengancam Eksistensi OAP

Tuesday, 07-08-2012 13:07:03 Oleh MAJALAH SELANGKAH

Oleh Sdr. Antekos *)

Latar Belakang

Papua diintegrasikan secara sepihak ke dalam Republik Indonesia (RI), yaitu melalui penyerahan kedaulatan dari pemerintah Negara Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia pada tanggal 1 Mei 1963 melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bernama: United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) hingga saat ini; pembangunan yang diselenggarakan di Papua dihadapkan kepada berbagai permasalahan.

Salah satu permasalahan yang terjadi di Papua adalah adanya pemahaman masyarakat Papua bahwa Integrasi merupakan pengambilalihan tanah Papua menjadi wilayah NKRI bagi mereka Papua bukan integrasi ke NKRI. Karena sampai saat ini Bangsa Papua tidak pernah mengakui integrasi Papua ke dalam Negara Indonesia.

Bentuk konkret orang Papua tidak mengakui intgrasi itu terwujud melalui pemberontakkan Organisasi Papua Merdeka ( OPM ), yang dimulai pada tanggal 26 Juli 1965 di Manokwari dan sampai saat ini, kelompok pro-Merdeka masih menutut keadilan, karena Bangsa Papua telah Merdeka tahun 1961, yang diberikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Namun dengan kepentingan Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB, Negara Papua yang telah merdeka itu, dimasukan kedalam Negara Indonesia secara paksa. Motifnya kepentingan ekonomi. Dengan maksud kekayaan alam Papua diambil oleh mereka misalnya adalah PT. F Reeport, minyak bumi di Sorang , Gas alam, kekayaan laut dan penembangan hutan oleh pengusaha asing.

Selain itu banyak imigran yang di datangkan dari luar Papua, transmigrasi dan pemekaran provinsi, pemekaran kabupaten, distrik dan kampung yang membuat orang Papua semakin termarginal. Akhirnya orang asli Papua mengalami ketidakadilan, penindasan, kekerasan, perampasan hak dan kepadatan penduduk. Berbagai persoalan tersebut Organisasi Papua Merdeka (OPM), berjuang bersama masyarakat sipil di pedalaman Papua, untuk bangkit bersama menutut haknya, yakni MERDEKA.

Pemberontakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan satu kebenaran sehingga sampai sekarang mereka tetap menuntut harga dirinya sebagai Bangsa Pribumi dan mau MERDEKA. Untuk menutup mata perjuangan tersebut pemerintah Indonesia memberikan otsus dan UP4B. Indonesia tidak perlu membodohi mereka dengan OTSUS, UP4B dan pemekaran Provinsi, Kabupaten dan lain-lain. Karena perjuangan yang dibuat oleh bangsa Papua untuk memperoleh Kemerdekaan.

Menurut hemat saya Indonesia harus mengerti persoalan, karena rakyat Papua tidak minta OTSUS,UP4B atau pemekaran yang menghabiskan tenaga, pikiran dan uang bermiliaran rupiah. Orang Papua masih merasa bahwa kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua mengancam eksistensi orang asli Papua. Karena kehadiran Indonesia merupakan sebuah ancaman, maka orang Papua mau merdeka agar dapat mengatur dirinya sendiri.

Pokok Permasalahan

Sesuai dengan latar belakang permasalahan di atas, terlebih bahwa secara fisik TPN atau militer OPM tidak memiliki kekuatan yang berarti bila dibandingkan dengan Tentara Nasional Indoesia atau ABRI, namun dalam arti “ ideologi masih kuat. Karena soal ideologi tidak bisa dipadamkan dengan kekuatan militer Indonesia. Ideology tidak bisa dipadamkan dengan kehadiran OTSUS –UP4B, karena ideologi selalu diwariskan dalam generasi ke generasi sehingga sulit dipadamkan. Dengan demikian Papua merdeka sulit dipadamkan dengan pembangunan, pemekaran, uang Respek dan kekuatan militer.

Jadi sampai kapan pun idealisme Papua Merdeka dari Negara Indonesia tidak akan pernah memadamkan ideology ini. Kata lain bahwa ideologi merupakan satu prinsip hidup atau satu sikap yang dibangun oleh masyarakat Papua sendiri di dalam budaya dan diwariskan dari turun-temurun sesuai dengan permasalahan, masih tetap berkembang dalam setiap suku yang ada di Papua. Kalau ideology ini telah berhasil pasti rakyat Papua merasa bahagia selama-lamanya karena ideologinya dapat terwujud. Sebelum dicapai mereka terus berjuang dan sampai kapanpun. Ideologi bagaikan seorang ibu kehilangan anaknya ia terus mencari, walaupun ada tantangan dan hambatan hidup ia terus mencari sampai dapat, demikian juga ideologi Papua Merdeka sama prinsipnya.

Papua Kaya dengan Kekayaan Alam

Dengan latar bekang di atas Bangsa Papua samapai saat ini pemerintah Indonesia kurang memperhatikan yaitu, keadilan dan perlindungan. Karena negara merasa yang lebih penting adalah sumer daya alam ( SDA ) dari pada manusianya. Hal demikian Papaua yang dahulu damai mejadi tidak damai menjadi. Sehingga negara datangkan militer dan imigran tidak sesuai dengan aturan hukum Internasionla,yaitu masyarakat pri bumi yang harus dibei salvation tidak dibuat, yang terjadi adalah ketidakadilan, penindasan dan kekerasa militer di seluruh tanah Papua.

Tetapi hanya demi kepentingan ekonomi mereka selalu membuat teror, pembunuhan secara misterius ( OTK), sebenarnya dibalik semuanya tujuan utama adalah menguasai wilayah seluruh tanah Papua, mengkuras kekayaan alam dan popularitas semata. Kalau kita melihat kaca mata Tuhan merupakan tindakan kejahatan yang tidak manusiawi,yaitu menlangar hukum 10 perintah Allah, yaitu “jangan membunuh dan jangan mencuri ( Kel. 20: 1-17), tetapi sekarang negara Indonesia tidak peduli lagi dengan hukum Tuhan,maka setiap militer, non militer dan pemimpin Negara yang pernah terlibat dengan masalah Papua akan diadilih oleh Tuhan sesauai dengan perbuatannya. Karena ia tidak mampu memberikan jaminan kehidupan bagi bangsa Papua.

Berangkat dari ini bangsa Papua tidak ada kepercayaan kepada pemerintah Indonesia, karena sistem yang dipake oleh pemerintah Indonesia terhadap bangsa Papua tidak sesuai dengan budaya sehingga inti persoalan tidak pernah selesaikan dengan tuntas. Maka bangsa Papua semakin mengalami kepunahan secara perlahan-lahan, dan Negara Indonesia tidak pernah mengakui bahwa kami salah.

Dengan kurangnya kepedulian negara bangsa Papua masih tetap menuntut haknya yaitu kemerdekaan yang pernah ada. Pada hal dalam UUD 45 alinea pertama berbunyi “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu ,maka penjajah an di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan”.

Namun kemerdekaan itu telah dipaksakan ke dalam Negara Indonesia oleh Amerika, Belanda dan PBB, hanya demi kepentingan ekoomi ( sumber daya alam ), maka sampai sekarang bangsa Papua masih memperjuangkan haknya agar hak yang diambil itu bisa dikembalikan. Pada hal dalam UUD-45 di atas sudah ada kebenaran, dan pada tahun 1961 Papua telah merdeka. Namun hanya demi kepentingan ekonomi, tidak diberikan peluang untuk membas menentukan nasib sendiri, memang tahun 1969 telah diadakan Refreedom,namun tidak sesuai dengan hukum Internasional, yaitu terjadi ketidakadilan dalam refreedom, karena rakya Papua ditodong dengan senjata sehingga tidak semua orang memilih dan kenyataan adalah perwakilan saja memilih hak suara.

Oleh karena itu, dari tahun 1961 sampai sekarang bangsa Papua masih tetap dijajah dan sekarang mereka berjuang untuk merdeka dengan diplomasi Internasional. Sebab perjuangan bangsa Papua sudah mendunia dan kemungkinan suatu saat kebenarannya akan dinyatakan melalui kuasa Tuhan. Biarlah sekarang bangsa Papua mengalami ketidakadilan, penindasan, kekerasan dan pembunuhan tetapi hatiku mengalami ketengan, sebab hanya dekat Allah saja aku tenang, dari pada-Nyalah keselamatanku. Hanya Dialah gunung batuku dan keselamatanku, kota bentengku,aku tidak akan goyah” (Mzm 62), dan aku terus berjuang di dalam Tuhan agar Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) dapat memperoleh pengkuan. Atas kekuatan Mazmur ini, saya percaya Papua pasti merdeka.

Orang lain datang mengambil kekayaan dan dijajah kita jangan takut,melainkan berani dan setia berjuang bersama Tuhan. Sebab di dalam Dia ada kemenangan dan kemenangan itu akan terjadi dan jangan kecil hati. Walaupun orang Papua sekarang menjadi penonton di atas kekayaannya yang berlimpa-limpa. Kita juga sadar bahwa penderitaan ini merupakan Salib Tuhan dan harus tetap sabar menerima itu sebagai penderitaan Kristus. Karena kita minta merdeka negara Indonesia tidak mau lepas, dengan mengatakan Papua bagian dari NKR. Dengan demikian pemerintah telah memberikan OTSUS, kemudian UP4B secara paksa, pada hal rakya Papua mengatakan tidak.

Tujuannya adalah agar rakyat bangsa Papua jangan lagi bicara Merdeka sehingga Indonesia matian-matian menyakini Dunia dengan mengatakan Papua bagian dari NKRI tetapi NKRI bukanlah harga mati. Karena Negara ini suatu saat akan lepas bertubi-tubi,yaitu Papua lepas, Ambon lepas, Kalimatan lepas, Sulawesi lepas, Bali lepas dan Ace pun akan lepas, dan yang masih tinggal hanya jawa sendiri. Karena rakyat lebih pintar untuk menilai kebenaran dan keadilan,bila ke dua hal ini tidak sesuai dengan hati mereka pasti akan mengatakan merdeka, tetapi bangsa Papua tidak seperti itu, karena Papua sudah pernah punya Negara sendiri,tetapi dicapblok ke dalam Indonesia demi kepentingan ekonomi semata.

Penderitaan bangsa Papua tidak bisa dihapus dengan uang, OTSUS, UP4B, dan pemekaran provinsi, kabupaten, desa dan keca mata. Bangsa Papua meminta adalah keadilan karena harga dirinya telah dirampas oleh penjajah Indonesia. Karena Negara Indonesia kurang peduli dengan rakyat yang sementara menderita. Di lebih banyak mengkritisi Negara lain daripada melihat diri sendiri,misalnya masalah Israel dan Palestinan Indonesia campur tangan. Pada hal terhadap bangsanya sendiri juga mengalami penindasan, kekerasan dan ketidakadilan. Menurut hemat saya lebih baik kita mengurus rakyat saya yang menderita.

Dalam kaitan dengan Papua Negara tidak pedulih dengan orang Papua, namun lebih mencintai kekayaan alam dari pada orang Papua yang sementara mengalami kepunahan di atas kekayaan alamnya sendiri ( Genosida), kalau Negara tidak pedulih,maka tidak sampai 2020 orang Papua akan habis dari tanah Papua, yang ada hanya tinggal nama.

Jadi, saya harapkan orang-orang Papua harus menyadarinya dan jangan tinggal ikut-ikutan dengan orang lain, dan buanglah sikap minum -mabuk, korupsi dan seks bebas. Karena tidak lama lagi orang Papua akan habis, bila ditawarkan kepentingan Indonesia harap jangan terima,mislanya pemekaran dan pertambangan tanpa melalui dewan adat. Karena saya melihat Negara ini, tidak menghargai manusia Papua, tetapi ia melihat diri kita seperti babi rusa di hutan, sehingga dia selalu membantai tanpa takut nilai kemanusiaan.

Menurut hemat saya sebenarnya orang Papua juga adalah manusia bukan babi rusa yang ditembang setiap hari. Karena orang Papua dan orang Jawa, orang Makasar, orang Sumatra, orang Ambon dan semua merupakan ciptaan Allah yang harus diberikan hak yang sama lalu dilindunginya. Karena itu, bukan membantai dan menindas tetapi menyelamatkan mereka dengan memberikan hidup yang layak seperti dirinya sendiri, bukan sikap otoriter dan mileteristik terhadap mereka yang ditindas.

Dengan kondisi ini saya sebagai anak negeri; hari ke hari dan tahun ke tahun air mata mengalir terus menerus dengan melihat orang-orangku menderita. Selain manusia Papua, alam Papua juga ikut hancur demi kepentingan kolonial Indonesia dan Amerika. Aduh saya kasihan tidak punya tempat tinggal lagi untuk meletakan kaki, karena semua kekayaan diambil orang dan hutan hancur, ke mana saya harus pergi?.

Saya dahuluh merasa menikmati dengan kekayaan alamku, tetapi kini ternyata menjadi miskin di atas tanah yang kaya raya. Saya hanya menjadi penonton seperti pendatang jawa tinggal jauh-jauh. Aduh sedih hatiku. Akan ke manakah anak cucuku ke depan? Karena kekayaan alam Papua telah dirampas semuanya, dari kolonial Indonesia. Pada hal saya belum pernah menikmati satu pun kekayaan alam yang telah diwariskan oleh Allah leluhurku.

Apa alasannya mereka bisa datang merampas hak saya?. Sebenarnya semua bangsa di dunia ini, Allah telah memberikan haknya masing –masing sesuai dengan kebutuhannya. Karena saya kekayaan yang sama juga kolonial Indonesia, Allah telah berikan segala kekayaan alam, yaitu kekayaan yang sama Tuhan telah memberikan,yaitu tanah, hutan, air, batu dan segala isinya, tetapi ia masih merampas juga hak saya, sangat memalukan dan tidak adil. Saya sekarang semakin disingkirkan dan tidak dihargai sebagai hak miliknya. Di manakah hak saya Pak SBY ? Aduh, pak di mana keadilanmu?, saya tidak membutuhkan uang, OTSUS, UP4B dan Pemekaran. Sedangkan yang saya butuhkan dari pak adalah mengembalikan kedaulatan kami. Bukan mendatangkan TNI-POLRI di tanah Papua. Karena orang Papua semakin dibunuh oleh TNI-POLRI.

Solusi

Dengan konteks demikian saya mau katakana bahwa “ Kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang Asli Papua semakin mengancam”. Oleh karena itu, solusi dari saya bagi rakyat bangsa Papua adalah mengembalikan kedaulatannya yang telah dirampas tahun 1961. Kalau memang Negara ini punya hati nurani lebih baik memberikan tuntutan rakyat Papua.

Walaupun Negara Indonesia hati berat untuk memberikan haknya, tetapi bangsa Papua pasti terus berjuang sampai akhir hayat karena ideologi tidak mungkin mati bersama manusia karena ia selalu berkembang dalam perkembangan zaman. Sebenarnya yang dituntut oleh orang Papua adalah kemerdekaan tahun 1961 , yaitu Pengakuan. Walaupun Negara Indonesia masih keras kepala,tetapi keputusan sudah di depan pintu, Indonesia tidak bisa buat apa-apa dan secara paksa harus diberikan pengakuan. Karena dalam Kongres ketiga di Lapangan Sakeus, Jayapura, 19 Oktober 2011, kita sudah mendeklarasikan Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB). Kongres selama tiga hari sejak 17 Oktober itu sudah membentuk Dewan Nasional Papua Barat yang sudah memilih Presiden Republik Federal Papua Barat Forkorus Yaboisembut dan Perdana Menteri Edison Warumi.

Deklarasi itu didukung oleh tujuh wilayah adat di Papua. Kongres tersebut sah dan tidak illegal, karena yang diselenggarakan adalah rakyat Papua yang punya negeri ini. Kongres menurut hemat saya Kongres merupakan solusi terbaik bagi rakyat Papua untuk mau mengakhiri penderitaan mereka. Sehingga sekarang rakyat Papua sedang mendorong di Makah Umum PBB agar Negara baru tersebut dapat diakui oleh masyarakat Internaonal, Amerika, Belanda, Indonesia, PBB, dan Negara-negara dunia lain sebagai sahabat dengan Negara Republik Federal Papua Barat ( NRFPB). Walaupun Negara Indonesia tidak mau pusing, lalu memberikan pembangunan kepada rakyat Papua dengan anggaran miliran rupiah , tetapi menurut saya itu bukan solusinya.

Sesuai dengan pendapat Menteri luar negeri Negara Republik Federal Papua Barat (NRFPB) bapak Jacob Rumbiak sesumbar mengatakan bahwa mereka bisa merdeka dan berdaulat paling lambat dua tahun lagi. Karena menurut beliau ada 111 Negara telah mendapat dukungan, misalnya dari 111 Negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, dan Jepang.
dan akan kemungkinan mereka juga akan memberikan pengakuan. Jadi sekarang bagaiman Negara Indonesia memberikan pengakuan sebelum negara lain memberikan pengakuan terhadap Negara Papua, karena Indonesia adalah colonial terhadap Bangsa Papua.

Kalau air sudah meluap dia tidak bisa mempertahankan. Karena politik Papua sudah mendunia dan bahkan Negara-negara sahabat Papua mendukung untuk Papua lepas dari NKRI. Sudah terjadi pengakuan; Indonesia tidak punya hak lagi mengambil kekayaan alam Papua dan otomatis angkat kaki dari tanah Papua. Kami duluh dipandang sebagai orang tidak mampu dan budaya primitive, tetapi kami sekarang lebih pintar berpolitik Internasional dari pada Indonesia, karena buktinya adalah masalah Papua menjadi masalah Internasional, sehingga kita jangan menutup diri terhadap penderitaan bangsa Papua. Sebab Dunia luar lebih peduli masalah Papua.

Menurut saya NKRI TIDAK selamanya harus jadi satu dan kalau selalu sebut NKRI harga mati saya kira tidak tepat. Karena Bangsa Papua punya harapan diberikan pengakuan dan kita tungguh hari saja. Indonesia jangan merasa remeh perjuangan bangsa Papua dan sekarang bangaiman engkau memberikan pengakuan kepada Negara Papua secepatnya, sebelum air ombak dibatang lehermu.

Penutup

Orang Papua merupakan bangsa negoroid dan ras Melanesia. Mereka memilihki kemampuan untuk mengenali situasi perkembangan politik di Papua dan jangan diam seperti ibu hamil, tetapi bangkit dan bersatu semua elemen masyarakat, pemuda, mahasiswa dan organ. Karena kehadiran Negara Indonesia di tanah Papua Eksistensi orang aslih Papua semakin diancama, dan hari ke hari dibunuh secara misterius oleh oknum tertentu (orang tak dikenal), sampai sekarang TNI-POLRI tidak mampu mengungkapkan pelaku,maka kita harus tahu bahwa negara ini tidak punya kemanusiaan dan kebenaran hukum untuk ditegakan. Sehingga dengan situasi seperti ini, jalas-jelas eksistensi kita sedang diancam,jadi kita harus bersatu mendorong Negara Republik Federal Papua Barat ( NRFPB) dapat diberi pengakuan. Jadi saya harapan pengakuan menjadi solusi untuk mengakhiri penderitaan rakyat kita.

Oleh karena itu, kita jangan terus tidur tetapi mari kita bangkit bersama memperjuangkan harga diri kita lebih cepat lebih baik. Agar Negara colonial Indonesia jangan membuat kita dijajah terus. Harta kekayaan kita semakin habis, orang Papua juga semakin hari mati ditembak oleh TNI-POLRI, karena mereka tidak memperhitungkan nilai kita sebagai manusia yang sama di hadapan Tuhan.

Apakah saya sadar Saudara saya sedang dibunuh? Ataukah saya tidak mau pusing dengan penderitaan sesama saya, karena saya juga mendukung kolonial Indonesia untuk membunuh dan merampas harga diri orang Papua? “Marilah kita mulai lagi karena kita belum buat apa-apa”, dengan bergandengan tangan bersama. Karena perjuangan kita ini, berjalan tanpa persatuan dan kesatuan,apa yang kita perjauangkan menjadi sia-sia.

Demkian juga alam perjuangan jangan mengatasnamakan organ, karena yang mau Merdeka bukan organ atau kelompok,melainkan Bangsa Papua,jadi kita harus bersatu teguh , demi Papua merdeka. Kalau lambat Bangsa Papua yang sedikit ini, akan habis dan tinggal nama saja,lalu orang lain merampas kekayaan kita dan tanah leluhur nenekmoyang kita akan dikuasai oleh orang lain, jika kalau kita terlambat langkah pasti habis total yang tinggal hanya kenangan saja.

*) Mahasiswa Sekolah Tinggih Filsafat Teologi- Fajar Timur (STFT- F T )

EKSISTENSI BANGSA PAPUA TERUS DIANCAM

No Hpku: 081248172042

Eksistensi Rakyat Papua memang menjadi manusia yang terlupakan atau terabaikan dalam segala aspek. Hal ini dialami bangsa Papua karena wilayah Papua dicaplok, diduduki dan diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia dengan tujuan kepentingan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia dan digantikan dengan etnis Melayu dengan Program Transmigrasi yang massif. Wilayah Papua dicerna dengan pendekatan keamanan, ketidakadilan, kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang tidak pernah menghormati martabat dan kehormatan manusia Papua. Stigma separatis, makar dan OPM adalah alat pembenaran diri bagi pemerintah dan aparat keamanan Indonesia untuk menindas penduduk asli Papua. Papua menjadi daerah tertutup bagi media asing dan juga diplomat asing.

Wilayah ini menjadi perhatian utama oleh semua orang dan semua media dari dalam dan luar negeri apabila terjadi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat keamanan atas nama integritas NKRI maupun perlawanan karyawan PT Freeport Indonesia yang menuntut untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Bahkan menjadi perhatian juga ketika rakyat dan bangsa Papua mempertanyakan status politik mereka dan melakukan perlawanan terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia di atas Tanah Papua. Dalam bagian ketiga ini, rakyat Papua memandang Indonesia sebagai kolonial baru di Papua.

Kita mengikuti dan membaca di berbagai media cetak dan elektronik tentang keprihatinan dan kepedulian terhadap situasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang disampaikan oleh perorangan maupun atas nama institusi dan lembaga. Isi pesan, komentar dan masalah yang dimengerti dan disampaikan itu sangat beragam. Dari keberagaman persepsi itu membuat para pembaca menjadi bingung dan kabur tentang substansi akar masalah sesungguhnya yang diperjuangkan oleh rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini.

Misalnya Muhammad Yusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI, pada acara peluncuran buku karangan dr. Farid Husein yang berjudul: Keeping The Trust For Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, pada 8 November 2011 di Hotel Sahid Jakarta, Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah masalah kesejahteraan. Semuanya sudah dikasih jadi mereka menuntut dan meminta apa lagi”. Orang yang sama pada acara di TVOne, pada 8 November 2011 malam dihadapan ratusan orang dan di dalamnya tokoh-tokoh Papua yang hadir,Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah persoalan kesejahteraan”. Pemahaman yang sama disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah, M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siroj menyatakan: “ akar persoalan di Papua adalah ketidakadilan, terurama dalam kesejahteraan ekonomi. Kekayaan alam di wilayah itu dikeruk dan hasilnya dinikmati perusahaan asing dan pemerintah pusat. Rakyat setempat justru miskin dan kurang pendidikan….” (Kompas, Jumat, 11 November 2011).

Pemikiran yang disampaikan oleh Yusuf Kalla, Din Syamsuddin, dan Said Agil Siroj, adalah representasi tentang apa yang dipahami oleh Pemerintah Indonesia selama ini sebagai akar masalah Papua. Tetapi, pemahaman pemerintah Indonesia seperti ini keliru, salah dan melenceng jauh dari akar masalah yang sesungguhnya di Tanah Papua.
Seorang Dokter dan Pasien

Sebelum disampaikan akar masalah Papua yang sebenarnya, saya mencoba membuat satu analogi dari perspektif medis. Kalau orang sakit datang kepada dokter, langkah-langkah yang dilakukan seorang dokter adalah bertanya kepada pasien: namamu siapa? berapa usia? pekerjaan apa? kapan sakit? berapa lama sakit? sakitnya bagaimana? apa sebabnya sakit? rasanya bagaimana? apakah sudah minum obat? apakah sudah makan? tinggal dimana? dan sejumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada pasien. Setelah bertanya, dokter mengambil langkah berikut yaitu, memeriksa pasien, mendiagnosa penyakit dan dokter menemukan sebab-sebab timbulnya penyakit pada pasien dan penyakitnya. Selenjutnya, dokter mempersiapkan obat untuk suntik pasien maupun untuk obat yang harus diminum oleh pasien. Dosis suntikan dan obat yang diberikan dokter kepada pasien juga harus sesuai dengan tingkat kesakitan pasien. Dokter tidak biasa memberikan obat dan suntikan yang tidak sesuai dengan tingkat penyakit.

Analogi ini saya tempatkan pemerintah Jakarta adalah ibarat dokter. Rakyat asli Papua adalah ibarat pasien yang sedang sakit. Jadi, pemerintah Jakarta adalah dokter yang salah. Dokter yang keliru. Dokter yang tidak professional. Dokter yang tidak menanyakan pasien dengan baik. Dokter yang langsung mengambil alat suntik dan memasukan cairan suntik pada pasien tanpa mengetahui penyakit pasien apapun. Dokter ambil obat sembarang tanpa melakukan diagnosa yang tepat tentang penyakit dan juga tanpa memperhitungkan dosis dan langsung memaksa pasien meminum obat. Berbagai kesalahannya, dinyatakan oleh Indonesia dengan memberikan obat Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001, obat Inpres, obat Keppres, obat Perataruran Pemerintah (PP), obat Triliunan rupiah, obat kekerasan dan kejahatan aparat keamanan, dan dokter yang sama membuat kesalahan fatal yang terbaru adalah obat Keputusan Peraturan Presiden Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Obat terakhir yang namanya obat UP4B ini adalah obat yang sudah tidak relevan lagi. Otonomi Khusus, walaupun obat yang masih ada relevansi tentang kebutuhan orang asli Papua tapi sudah gagal mengobati dan menyembuhkan luku-luka lahir dan batin penduduk asli Papua dalam Bingkai NKRI. Apa yang menjadi akar masalah bagi rakyat asli Papua?

Status Politik dan Sejarah Integrasi adalah Akar Masalah Papua

Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) dalam bukunya: Papua Road Map telah menemukan empat akar masalah Papua, dan yang paling mendasar adalah status politik dan Sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah substansi akar masalah Papua. Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh Pemerintah Belanda dan Indonesia yang dimediasi Pemerintah Amerika tanpa melibatkan orang asli Papua. Penyerahan Pemerintahan Sementara dari UNTEA (United Nation Temporary Executive Administration) pada tanggal 1 Mei 1963 kepada Indonesia sebelum pelaksanaan PEPERA 1969. Pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tetapi sesuai dengan sistem lokal Indonesia yaitu, “musyawarah” yang bertentangan dengan standart hukum Internasional yaitu “one man one vote”.

Prof. J.P. Drooglever, sejarahwan Belanda, telah melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 yang telah dinyatakan bahwa PEPERA 1969 adalah peristiwa lelucon yang sangat memalukan. Dr. John Saltford, akademisi Inggris, telah melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 di Papua Barat dan hasil kesimpulannya menyatakan: “ pengkhianatan dan penghinaan hak-hak politik rakyat dan bangsa Papua Barat”. Dr. Hans Meijer sejarawan Belanda melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 dan dinyatakan: “hasil PEPERA 1969 adalah sangat memalukan Indonesia dan Belanda”.

Kongresman Amerika Serikat dari Samoa, Eni Faleomavaega menyatakan: hasil PEPERA 1969 di Papua Barat harus ditinjau kembali. Anggota Parlemen Inggris, Hon. Andrew Smith dan Hon. Lord Harries mempertanyakan status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses PEPERA 1969 yang penuh kebohongan dan manipulatif. Intelektual dan cendikiawan yang ternama dimiliki Kristen Katolik, Dr. George Junus Aditjondro, pada kesempatan peluncuran bukunya Sokrates Sofyan Yoman yang berjudul: West Papua: “Persoalan Internasional” di kantor Kontras Jakarta, 3 November 2011, dia menyatakan: “ PEPERA 1969 di Papua Barat tidak benar dan itu dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia bukan pilihan rakyat Papua tinggal dalam Indonesia. Jadi, tak ada pilihan lain, Papua harus referendum. Karena hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak”.

Menurut rakyat dan bangsa Papua Barat, semua perjanjian Internasional dan pelaksanaan PEPERA 1969 telah menghancurkan kemerdekaan dan kedaulatan yang telah dimilikinya. Seperti 1 Desember 1961 adalah hari kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat lengkap dengan atribut Negara dan bangsanya: yaitu: lagu: Hai Tanahku Papua; Bendera Bintang Pajar; Mata Uang, Lambang Negara, Nama bangsa: Bangsa Papua. Kemerdekaan ini dianeksasi oleh pemerinth Indonesia melalui Maklumat Trikora, Ir. Sukarno, di Yogyakarta, 19 Desember 1961.

Uraian singkat ini menjadi jelas bagi Pemerintah, TNI, POLRI, seluruh rakyat Indonesia, bahwa akar masalah Papua bukan persoalan kesejahteraan. Tetapi, akar masalah Papua yang sebenarnya adalah sejarah dan status politik Papua ke dalam Indonesia yang belum jelas sampai hari ini. Oleh karena itu, demi nama baik dan kehormatan Indonesia di mata dunia internasional, maka status politik Papua ke dalam Indonesia ini harus diselesaikan dengan dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Dialog damai harus dilaksanakan diluar bingkai NKRI, OTSUS, UP4B dan Papua Merdeka supaya penyelesaian berprospek damai dan manusiawi ditemukan.

HIV-AIDS di Papua Tembus 10.522 Kasus

JAYAPURA — Penyebaran virus HIV-AIDS di Papua semakin memprihatinkan. Dari jumlah penduduk Papua yang hanya 2,8 juta jiwa (hasil data BPS), ternyata kasus HIV-AIDS di Papua kini telah menembus angka 10.522 kasus.

“Lonjakan kasus yang begitu cepat dan mengkhawatirkan, sebab data September 2010 lalu, kasus HIV-AIDS di Papua baru mencapai 7000 kasus, tapi kini mencapai 10.522 kasus,” ungkap Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Papua drg. Josef Rinta Rachdyatmaka,M.Kes kepada Cenderawasih Pos di Hotel Aston Jayapura, Rabu (12/10).

Pihaknya menjelaskan bahwa data tersebut diperoleh Dinas Kesehatan Provinsi Papua setelah pihaknya turun langsung ke kabupaten dan kota se-Provinsi Papua, dan atas kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kabupaten dan Kota se-Provinsi Papua itu akhirnya diperoleh data yang mencapai angka memprihatinkan tersebut.

“Berarti ada selisih data sebesar 3000 orang (bila dibanding tahun 2010), dan saya yakin data tersebut sudah terekap di unit-unit pelayanan kesehatan di kabupaten dan kota, namun selama ini kurang terdata dengan baik, sehingga kami turun langsung untuk mengambil data dan hasilnya seperti itu,” katanya.

Kadinas Kesehatan ini mengatakan bahwa angka 10.522 kasus itu merupakan angka yang bisa terdata, sementara HIV-AIDS merupakan fenomena gunung es. “10.522 kasus di Papua itu merupakan angka yang terdata, namun dilihat dari pendapat sejumlah ahli yang aktif memantau perkembangan HIV/AIDS di Papua ternyata kasus HIV-AIDS di Papua itu diduga mencapai 24.300 yang belum terpantau. Ini menandakan bahwa kita harus lebih serius bekerja dalam penanggulangan kasus ini,” ujarnya.

Bahkan mantan Sekda Kabupaten Merauke ini bahwa kasus HIV-AIDS di Papua saat ini bukan saja berada di kota-kota saja, namun saat ini penderitanya juga sudah tersebar di kampung-kampung. “Ini terjadi karena mudahnya akses transportasi ke kota, sehingga warga kampung dengan cepat ke kota, dan selanjutnya berhubungan dengan lawan main yang bukan istrinya di kota tanpa menggunakan kondom. Selanjutnya kembali ke kampung dan menularkan kepada istrinya,” paparnya.

“Kasus HIV-AIDS sudah ada di kampung, dan itu yang sangat berbahanya karena mereka sangat terbatas dengan informasi soal HIV-AIDS,” sambungnya.

Josef juga mengatakan, jika diurutkan jumlah kasus HIV-AIDS tertinggi per kabupaten dan kota se-Provinsi Papua, maka Kota Jayapura dan Jayawijaya tertinggi, sebab di Kota Jayapura sudah mencapai 2012 kasus, sementara Jayawijaya mencapai 1600.

“Dari 10.522 kasus ini, usia rentang masih di usia priduktif yakni 15-40 tahun, bahkan saat ini juga sudah ada remaja yang sudah terinfeksi,” tambahnya.

Dengan melihat kondisi tersebut, pihaknya sangat berharap agar ada perhatian semua pihak dan pihaknya mendorong agar di Papua bisa diterapkan sunat atau sirkumsisi, untuk mencegah lajunya HIV/AIDS di Papua. “Meskipun harus diakui sirkumsisi tidak menjamin seseorang tidak terserang virus mematikan tersebut, namun setidaknya bisa mencegah,” tandasnya.

Sementara untuk stok ARV (antiretroviral) di Papua masih cukup. “Bahkan kita sudah salurkan ke daerah-daerah, dan dari raker dengan dinas kesehatan se-kabupaten dan kota selama tiga hari ini di Hotel Aston, semua sudah sepakat untuk serius dalam penanganan HIV-AIDS di Papua,” pungkasnya.(cak/fud)
[stickyright]
GRAFIS:
ANGKA HIV-AIDS DI PAPUA
– September 2010 : 7000 Kasus
– September 2011 : 10.522 Kasus
– Yang belum terpantau : 24.300 Kasus
– Rentang Usia Penderita: 15-40 tahun
[/stickyright]

KUTIPAN:
“Ini terjadi karena mudahnya akses transportasi ke kota, sehingga warga kampung dengan cepat ke kota, dan selanjutnya berhubungan dengan lawan main yang bukan istrinya di kota tanpa menggunakan kondom. Selanjutnya kembali ke kampung dan menularkan kepada istrinya,” ujar drg. Josef Rinta Rachdyatmaka,M.Kes

UN Minta Indonesia Pertimbangkan Kedatangan Pelapor Khusus PBB

FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi dan Sorpatom menyampaikan keterangan soal mega proyek MIFFE di Merauke di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)
FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi dan Sorpatom menyampaikan keterangan soal mega proyek MIFFE di Merauke di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)
FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi dan Sorpatom menyampaikan keterangan soal mega proyek MIFFE di Merauke di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)

JAYAPURA—Proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) telah mendapatkan tanggapan dari Komite Penghapusan Diskriminasi Rasial PBB melalui surat yang dikirim Chairperson of the Committee on the Elimination of Racial Discrimination Anwar Kemal kepada Duta Besar Untusan Tetap dan Misi Tetap Indonesia di Genewa H.E.M Dian Triansyah Djani dimana salah satu komisi PBB ini meminta kepada pemerintah Indonesia tentang beberapa hal. Pertama, mempertimbangkan mengundang Pelapor Khusus PBB tentang situasi HAM dan kebebasan dasar masyarakat adat. Kedua, bertemu dengan Komite CERD guna membicarakan masalah masalah ini, dalam sidang Komite mendatang di Genewa dari tanggal 13 Pebruari sampai 13 Maret 2012. Ketiga, menyampaikan informasi tentang semua isu dan masalah yang dijabarkan dalam surat tersebut, sebelum tanggal 31 Januari.

Hal ini disampaikan Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antara lain FOKER LSM Papua, Sawit Watch, Greenpeace, SKP Jayapura dan Walhi serta Sorpatom ketika menggelar jumpa pers di Swissbelt Hotel, Jayapura, Rabu (12/10)

Koalisi LSM mengatakan, menanggapi respons PBB terhadap proyek MIFEE, Koalisi LSM mendesak pemerintah Indonesia agar menghentikan secara total setiap aktivitas yang berkaitan dengan proyek MIFEE dan mengundang pelapor khusus PBB tentang situasi HAM dan kebebasan dasar masyarakat adat untuk meninjau proyek tersebut sebelum 31 Januari 2012.

MIFEE untuk Estat Pangan dan Energi Terpadu Merauke disebut sebut bermakna sangat strategis bagi keamanan persediaan pangan dan cadangan energi Indonesia.

Proyek yang menelan 1,6 juta hektar itu diharapkan akan menghasilkan jutaan ton beras, jagung, kacang kacangan, daging sapi, gula dan seterusnya. Cita cita yang begitu muluk itu ternyata membuat orang tutup mata terhadap masalah besar yang sekarang sudah dihadapi oleh warga Merauke yang tanah mereka tertelan proyek MIFEE.

MIFEE bisa dikatakan mega proyek ambisius pemerintah Indonesia. Slogannya adalah bagaimana Indonesia bisa memberikan makan dunia. Proyek ambisius ini mencakup lahan seluas 1,6 juta hektar yang ingin disulap menjadi sebuah wilayah agribisnis. Harapannya bisa menghasilkan pangan yang bisa diekspor keluar negeri. Dengan kata lain MIFEE berorientasi ekspor.

Dalam proyek MIFEE dikabarkan sudah ada 36 investor yang tertarik untuk menanamkan modal senilai Rp 18,9 triliun. Sementara yang lainnya merupakan pemodal dalam negeri.

Riset dan pengamatan berbagai pihak, terutama NGO terhadap proyek MIFEE telah mengindentifikasi beberapa masalah sebagai berikut. Pertama, proyek yang mencapai 2 juta ha tanah tanah masyarakat adat ini telah berdampak dan akan terus mengancam keberadaan hak hak masyarakat adat.

Kedua, selain yang dilaporkan juga ekspansi tersebut akan merambah dan menggusur tanah tanah masyarakat adat untuk mendukung kelapa sawit, pembalakan kayu akan menyebabkan membludaknya para pekerja dari luar bukan penduduk dari luar, dan semakin mempertaruhkan masa depan mereka, menghilangkan berbagai pilihan sumber penghidupan dan penghancuran ekonomi tradisional mereka. Kenyataan ini akan membuat masyarakat adat Marind (khususnya) dan masyarakat adat Papua secara umum akan terdesak dan menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri.

Ketiga, aktivitas aktivitas perambahan di lahan yang direncanakan didukung oleh negara pihak dan menikmati perlindungan dari TNI.

Keempat, pengambilan keputusan mengenai eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) masih sangat tergantung pada pemerintah pusat dan dikontrol oleh UU Nasional yang mengabaikan masyarakat adat, kendati sudah ada UU Otsus Papua tahin 2001 yang dimaksudkan untuk desentralisasi pengambilan kebijakan atas berbagai permasalahan yang dijabarkan kepada tingkat provinsi dan yang belum dilaksanakan karena peraturan turunan tak ada.

Kelima, diduga sebagian besar wilayah MIFEE diklasifikasikan sebagai “hutan” dan dibawah Kementerian Kehutanan yang diduga menafsirkan UU Kehutanan tahun 1999 semakin membatasi hak hak masyarakat adat.

Keenam, telah terjadi manipulasi atas masyarakat oleh investor da pejabag pejabat negara untuk mendapatkan tanda tangan yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan persyaratan hukum membuktikan sertifikat hak atas tanah adat. (mdc/don/l03)

Besok, DAP Peringati Hari Pribumi

JUBI — Dewan Adat Papua (DAP), Selasa (9/8) akan memperingati hari pribumi internasional. Rencananya peringatan hari pribumi ini akan diikuti masyarakat Papua di kota Jayapura.

“Besok DAP akan peringati hari pribumi internasional. Peringatan ini direncakan akan berlangsung di Desa Dosay, Distrik Sentani Barat, Kabupaten Jayapura, Papua,” kata Dominikus Sorabut sari DAP Papua kepada tabloidjubi.com di Abepura, Senin (8/8).

Dominikus mengaku, peringatan akan dilakukan dalam bentuk doa syukur. “Besok semua orang Papua diharapkan hadir. Karena hari itu merupakan hak bagi semua,” tandasnya.

Peringatan hari pribumi ini juga ternyata didukung oleh elemen intelektual muda pribumi Papua, diantaranya Asosiasi Mahasiswa Pengunungan Tengah Papua se Indonesia (AMPTPI).

“Besok ada peringatan hari Pribumi internasional. Ada doa dari bangsa Papua untuk memperingati hari ini. Doa bersama ini difasilitasi DAP,” kata Ketua AMPTPI, Markus Haluk saat dikonfirmasi via ponselnya.

Hari pribumi internasional lahir dari Deklarasi PBB 13 September 2007 tentang Perlindungan Bangsa Pribumi Internasional (United Nations Declaration on the Rights Indigenous Peoples). (J/06)

TABLOID JUBI:

http://tabloidjubi.com/daily-news/jayapura/13581-besok-dap-peringati-hari-pribumi-.html

MK Kabulkan Judical Reviuw Sama Saja Merobek Otsus

JAYAPURA [PAPOS]- Kaukus Papua di Parlemen Republik Indonesia [RI] dan Dewan Pimpinan Rakyat Papua [DPRP] secara tegas menolak pengajuan judical review [JR] pasal 12 a UU Nomor 21/2001 tentang otonomi khusus [Otsus] Papua yang diajukan Kamaruddin Watubun, SH.

Penolakan itu disampaikan Koordinator Kaukus Papua di Parlemen RI, Paskalis Kosay, MM lewat telepon selularnya kepada Papua Pos, Rabu [6/7] pagi. ‘’Kami dari kaukus Papua parlemen RI menolak pengajuan yudical reviuw yang diajukan oleh saudara Kamaraddin Watubun,’’ kata Paskalis.

Sebab mantan wakil ketua DPRP ini menilai jika Mahkamah Konstitusi [MK] mengabulkan gugatan Kamaruddin Watubun, makna kekhususan Otsus Papua akan hilang, pada akhirnya orang Papua akan mengembalikan UU Nomor 21 tahun 2001 tersebut kepada pemerintah pusat. ‘’Jadi kalau sampai MK mengabulkan judical reviuw yang diajukan, karena UU Otsus tidak ada lagi kekhususannya, maka kita kembalikan saja Otsus tersebut,’’ tegasnya.

Ketika disinggung bahwa Kamaruddin Watubun telah mendapat pengakuan sebagai anak adat. Mantan calon wakil Gubernur Papua periode 2005-2010 ini mengatakan pengakuan terhadap Kamaruddin Watubun hanya untuk mendapatkan hak sebagai orang, bukan hak sebagai orang asli Papua.

Sedangkan jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, itu haknya orang asli Papua. Jika sampai hak jabatan tertinggi ini dirampas oleh orang yang bukan orang asli Papua, maka Otsus dianggap gagal. ‘’Otsus harus kita pahami secara menyeluruh. Otsus jangan diartikan secara sepenggal-sepenggal. Apa jadinya Papua ini, jika semua orang yang bukan asli Papua menjadi anak adat kemudian menjadi Gubernur dan wakil Gubernur. Kekhususan dalam Otsus tidak ada artinya, sama saja Otsus gagal,’’ katanya.

Untuk itu, ia meminta kepada semua unsure masyarakat yang tinggal di Papua agar lebih menghormati dan memberikan kesempatan kepada para putra-putri asli Papua terbaik di tanah Papua untuk bersaing secara sehat menjadi Gubernur dan wakil Gubernur dalam membangun tanah Papua menuju masyarakat yang lebih sejahtera. ‘’Mengapa sih kita ini tidak bisa melihat orang asli Papua berkarya membangun negerinya ditanah leluhurnya sendiri. Kalau bukan di tanah Papua. Mari kita hargai hak-hak asli orang Papua sebagai anak negeri membangun tanah sendiri,’’ tukasnya.

Bukan Asli Papua

Sementara ditempat terpisah ketua komisi A DPRP, Ruben Magai, S.IP saat jumpa pers meminta agar orang yang bukan asli Papua tidak melakukan judicial review tentang ke asliaan orang Papua ke Mahkamah Konstitusi [MK].

Dikatakannya, roh Undang- undang Nomor 21 tahun 2001 ada 2 hal penting tercantum didalamnya. Pertama adalah MRP, bagaimana MRP mengakomodir hak-hak asli masyarakat adat. Sedangkan yang ke-2 adalah pengakuan tentang bagaimana ke asliaan orang Papua. ‘’Dua itu saja inti dari UU Otsus,”ujar Ruben kepada wartawan di ruang rapat komisi A DPRP, Rabu [6/7] siang.

Oleh karena itu, sangat aneh jika ada oknum-oknum tertentu yang bukan orang asli Papua melakukan judicial review tentang keaslian orang Papua dalam undang-undang Otsus pasal 1 pada huruf T yang mengatakan tentang orang asli Papua.

Sedangkan pasal lain adalah kewajiban Pemerintah dalam membangun masa depan orang Papua ada 5 bidang penting, diantaranya, Pendidikan, Kesehatan, Infrasuktur, peningkatan kesejahteraan dan penegakan Hukum dan Ham.’’ ‘’Itu semua adalah kewajiban Negara untuk orang asli Papua yang pada masa lalu tidak dilakukan. Atas dasar itu UU otsus diberikan untuk mempercepat menanggulangi dari ketertinggalan masa lalu oleh Pemerintah terhadap Orang Papua,’’ tandasnya.

Tetapi kata politisi ulung partai Demokrat ini, yang paling penting dari semua itu adalah MRP dan pengakuan orang asli Papua yang dinilai mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua. Didalam kewajiban Pemerintahlah membangun orang Papua dibutuhkan perhatian khusus dari Negara dan di dalam Motto ”Walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.

Untuk itu, Ruben Magai berpesan kepada Komarudin Watubun agar tidak merobek-robek UU ke asliaan orang Papua, dimana telah jelas-jelas bahwa yang bersangkutan bukan orang asli Papua. Apabila ternyata apa yang diajukan Komaruddin Watubun dikabulkan MK, berarti ia ikut merobek-robek UU tentang ke aslian orang Papua. Orang seperti itulah yang dapat mengembangkan isu-isu kegagalan Otsus di Papua yang memberikan legitimasi memprovokasi ketidak percayaan Pemerintah Pusat terhadap Provinsi Papua.

‘’Jadi saya minta bagi saudara-saudara pendatang diperlukan pemahamannya terhadap persoalan ini, berfilosofi di Papua juga harus benar-benar terarah untuk masyarakat Papua. Sejarah masa lalu orang Papua sudah berlalu. Jangan lagi ada oknum –oknum yang tidak bertanggung di atas Tanah Papua ini yang dapat memperkeruh suasana politik di Papua. Ada baiknya oknum tersebut ikut membangun Papua lebih baik dan maju menuju masyarakat yang lebih sejahtera,’’ ujarnya.

‘’Sekaligi kami tegaskan Mahkamah Konstitusi bahwa yang bukan orang asli Papua tidak bisa melakukan revisi judicial review Ke MK. Sebab dalam UU Otsus secara jelas telah memuat antara asli dan tidak asli orang Papua berbeda sekali. Otsus lahir karena adanya tuntunan Merdeka,”tukasnya.[cr -62].

Written by Cr-62/Papos
Thursday, 07 July 2011 00:00

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny