Banyak Dugaan Pelanggaran HAM Tak Tersentuh, Butuh Misi Pencari Fakta

Jayapura, Jubi – Tiga tahun belakangan ini Lembaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua mencatat sedikitnya tiga kasus besar pelanggaran HAM yang terjadi di beberapa wilayah Provinsi Papua dan beberapa pelanggaran yang belum mendapat penanganan secara tuntas.

Direktur Elsham Papua, Ferdinand Marisan kepada wartawan di Kantor Elsham Papua, Rabu (4/5/2016) mengatakan bahwa pelanggaran HAM tersebut cenderung disebabkan pembatasan terhadap hak kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum.

“Apa yang dilakukan pihak keamanan terhadap sejumlah aktivis yang melakukan aksi demo termasuk pelanggaran HAM,” katanya.

Marisan mengatakan, tiga kasus terbesar dalam tiga tahun tersebut diantaranya, kasus penangkapan massal oleh aparat gabungan TNI/POLRI yang terjadi sejak 25 April hingga 3 Mei 2016 dalam kaitan dengan aksi demo damai yang dikoordinir oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang menyebabkan 1.888 orang ditangkap pada berbagai kota di tanah Papua dan di luar Papua.

“Kasus yang kedua adalah penembakan pada saat ibadah 1 Desember 2015 terhadap masyarakat Papua di Kampung Wanampompi, Distrik Yapen Timur, Kabupaten Kepulauan Yapen. Dalam kasus ini empat orang meninggal dunia, dua orang diantaranya terindikasi mengalami penyiksaan hebat oleh aparat kepolisian. Selain itu ada delapan orang mengalami luka berat, 306 orang mahasiswa ditangkap di Jakarta dan 32 orang ditangkap di Nabire,”

ujarnya.

Dirinya menambahkan, untuk kasus ketiga pada 2 Mei 2015 lalu dimana sedikitnya 264 orang aktivis KNPB ditangkap oleh aparat kepolisian karena para aktivis tersebut melakukan aksi demo damai menolak peringatan hari integrasi Papua ke dalam NKRI.

“Sumber resmi yang kami dapatkan dari pihak KNPB bahwa antara 30 April hingga 1 Juni 2015, pihak aparat dalam hal ini pihak kepolisian telah menangkap dan menahan 479 anggota mereka yang terlibat dalam aksi demo damai,” katanya.

Dirinya menambahkan bahwa selain tiga kasus tersebut ada beberapa kasus lain yang belum mendapat penanganan secara tuntas adalah konflik antar kelompok yang terjadi di Pasar Youtefa pada 2 Juli 2014 lalu. Berdasarkan investigasi pihak Elsham Papua dan Bidang Keadilan, Perdamaian Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode Gereja Kristen Injili di Tanah Papua, diketahui ada empat orang korban tewas, salah satunya adalah anggota Polres Jayapura.

“Sementara itu ada dua orang dalam kasus tersebut harus menjalani perawatan medis di RS Bhayangkara dan proses interogasi di Polres Jayapura. Kami sudah menyampaikan pengaduan atas kasus tersebut ke Komnas HAM RI, Kompolnas RI dan Bareskrim Polri namun hingga kini penanganan baru sampai pada tingkat verifikasi,”

ujarnya.

Ditempat yang sama, Koordinator Divisi Monitoring dan investigasi Elsham Papua, Daniel Randongkir menambahkan, beberapa kasus yang terjadi diatas sama sekali tidak mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan berbagai persoalan HAM di Papua.

“Banyak kasus yang didiamkan. Kami sudah berupaya melaporkan hal ini ke Komnas HAM Papua namun sampai saat ini penanganan pihak Komnas HAM Papua juga belum terlihat, padahal kasus-kasus tersebut perlu dengan segera ditindaklanjuti agar saksi-saksi ahli atau saksi kunci tidak hilang. Itu yang ingin dilakukan oleh negara terhadap rakyat Papua,”

katanya.

Untuk itu, pihaknya mewakili aspirasi korban pelanggaran HAM yang sampai saat ini belum mendapatkan keadilan merekomendasikan beberapa poin kepada pemerintah Indonesia yaitu meminta Pacific Islands Forum (PIF) segera mengirimkan Tim Pencari Fakta ke Tanah Papua agar bertemu dengan korban pelanggaran HAM yang terjadi sejak 1 Mei 1963 hingga kini.

“Kami juga meminta agar Negara-negara anggota PBB, Organisasi HAM Internasional dan seluruh jaringan pendukung penegakan HAM agar menyerukan dibentuknya suatu Misi Pencari Fakta agar berkunjung ke Papua sebelum pelaksanaan Universal Periodic Review di Dewan HAM PBB pada 2017 mendatang,”

ujarnya.

Selanjutnya Elsham Papua juga meminta pemerintah Indonesia harus membuka diri dan mau bekerjasama dengan pihak ketiga yang lebih netral dalam melakukan penyelidikan pelanggaran HAM tanpa melibatkan unsur TNI dan POLRI sebagai institusi yang kerap melakukan tindakan pelanggaran HAM di tanah Papua termasuk individu-individu yang tidak memiliki kualifikasi di bidang HAM. (*)

Petugas Lapas Abepura Persoalkan Kamera ELSHAM

FILEP KARMA (JUBI/APRILA)
FILEP KARMA (JUBI/APRILA)

Jayapura – Pengacara empat Tahanan Politik yaitu Nikodemus Sosomar dan kawan-kawan mendapat kendala saat hendak membesuk kliennya. Matius Rumbrapuk dari Lambaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua yang membawa kamera dipersoalkan Arif, petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Abepura.

“Saya merasa, itu adalah aturan yang dibuat-buat untuk mencegah agar persoalan yang dilakukan di dalam Lapas tidak keluar ke publik,”

kata Matius Rumbrapuk kepada tabloidjubi.com di Kantor Elsham Papua, Padangbulan, Jayapura (21/5).

Menurut Rumbrapuk, ini adalah bentuk halus dari intimidasi dan diskriminasi melalui aturan ini. Tidak ada peraturannya tetapi mereka sendiri yang membuat aturan tersebut, ini pelecehan. Ini artinya pengacara tidak dihargai. Menurutnya, hal ini juga terjadi di Lapas Manokwari, Sorong dan Merauke. Bukan hanya pada Tahanan Politik (Tapol) tapi pada semua tahanan di Lapas.

“Kalau senjata, memang dilarang dan kami tidak memiliki dan tidak juga membawa peralatan yang dimaksud,” demikian kata Rumbrapuk lagi. Dirinya sempat meminta Arif, petugas Lapas tersebut untuk menunjukan aturan mana yang tidak memperbolehkan pengacara membawa kamera saat membesuk kliennya tetapi Arif tidak menunjukkan aturan tersebut.

Keempat Tapol yang dikunjungi yaitu Nikodemus Sosomar, Alex Makabori, Benny Teno dan Petrus Nerotouw. Keempat Tapol dalam keadaan sehat tanpa kekurangan apapun. Mereka masih menunggu proses persidangan minggu depan.

Mamfred Naa, pengacara dari Elsham Papua yang mendampingi Nikodemus dan kawan-kawan kepada tabloidjubi.com di Padangbulan membenarkan penahanan kamera Elsham di Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, Selasa (21/5).

“Secara aturan, dalam aturan baku secara hukum sebenarnya tidak melarang pengacara kamera. Itu kebijakan internal Lapas yang melarang hal tersebut,”

kata Naa.

Menurut Naa, pengambilan gambar ditujukan untuk pelaporan administrasi saja di Kantor Elsham bahwa barang-barang kebutuhan sehari-hari yang diberikan lembaga kepada Tapol yang menjadi klien sudah sampai ke tangan kliennya dengan baik. (Jubi/Aprila Wayar)

May 21, 2013,16:26,TJ

Elsham Catat Kekerasan di Papua Meningkat

JAYAPURA – Elsham melihat bahwa intensitas konflik dan kekerasan di Tanah Papua sejak Agustus 2011 hingga Desember 2012 menunjukan peningkatan yang cukup signifikan. ELSHAM Papua mencatat beberapa peristiwa yang menimbulkan korban luar biasa, namun tidak mendapat respon dari pemerintah. Peristiwa-peristiwa tersebut seperti Operasi Aman Matoa I 2011, Aksi-aksi teror dan penembakan oleh “Orang Tak Dikenal” (OTK), Pengungsian Internal, serta penambahan kilat oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil. Demikian Sekretaris Elsham di Tanah Papua, Paul Mambrasar dalam keterangan persnya di Kantor Elsham Papua, Padang Bulan Abepura, Rabu, (19/12).

Dikakan, dimana-mana terdengar slogan ‘Natal Membawa Damai ‘, juga hampir seantero Papua dan seluruh dunia beramai-ramai memasang pondok Natal. Namun sayangnya, ‘kata damai itu indah’ itu seakan hanya slogan belaka dan tidak berarti apa-apa.

Pasalnya, hingga kini kasus pembunuhan, intimidasi, operasi gabungan militer TNI/Polri masih saja terus terjadi hingga detik ini. Belum lagi berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga masih terjadi, sejumlah kasus pelanggaran HAM pun tak kunjung diselesaikan. “Rakyat Papua masih dibunuh dan diintimidasi, ada tindakan menakuti-nakuti rakyat oleh aparat keamanan,” ungkapnya.

DIkatakan, operasi Aman Matoa I 2011 merupakan operasi penanggulangan tindakan kriminal bersenjata di wilayah Puncak Jaya dan Paniai. Operasi ini secara langsung dibawah perintah Kapolri, dan dijalankan oleh Satuan Tugas Operasi (Satgas Ops) melalui Surat Telegram Kapolri Nomor: STR/687/VIII/2011 tanggal 27 Agustus 2011. Satgas Ops Aman Matoa I 2011 dipimpin oleh Komisaris Besar Polisi (Kombes Pol) Drs. Leo Bona Lubis.

Selama pelaksanaan Operasi Aman Matoa I 2011 di Kabupaten Paniai, terjadi sejumlah kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang meliputi: (a). Korban tewas akibat konflik bersenjata sebanyak 2 orang, atas nama Salmon Yogi (20) dan Yustinus Agapa (30); (b). Korban luka akibat konflik bersenjata sebanyak 4 orang, atas nama Yulian Kudiai (22), Melkias Yeimo (35), Yohanis Yogi (25) dan Paskalis Kudiai (21); (c). Kerugian material akibat konflik bersenjata di distrik Eduda meliputi 78 rumah dibakar oleh Satgas Ops; aktivitas pendidikan pada 8 Sekolah Dasar (SD) dan 2 Sekolah Menengah Pertama (SMP) tidak berjalan; kegiatan ibadah pada 8 gereja Katolik, 7 gereja Kingmi dan 4 gereja GKII tidak dapat dilakukan; ratusan parang, pisau, gergaji, martil, anak panah dan busur disita; (d). Korban meninggal selama menjalani pengungsian sebanyak 37 orang, teridiri dari balita sebanyak 13 orang, anak-anak sebanyak 5 orang, dewasa sebanyak 17 orang dan usia lanjut sebanyak 2 orang; (e). Masyarakat Distrik Komopa, Keneugida, Bibida, Paniai Timur dan Kebo mengalami kerugian material akibat pengungsian. Kebun-kebun tidak terawat dengan baik, karena Satgas Ops melarang masyarakat pergi ke kebun. Sebelum mengungsi, aparat terpaksa menyembelih hewan ternak sedikitnya 1581 ekor, meliputi Babi sebanyak 478 ekor, Sapi sebanyak 3 ekor, kambing sebanyak 11 ekor, Kelinci sebanyak 132 ekor, bebek sebanyak 381 ekor, dan ayam sebanyak 576 ekor. Usai mengungsi dan kembali ke kampung, warga kekurangan pasokan bahan makanan. Satgas Ops merusak pagar milik warga untuk dijadikan sebagai kayu bakar.

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan baik TNI maupun Polri, masih sering terjadi dan telah melangkahi prinsip-prinsip humaniter internasional. Beberapa kasus yang kami catat seperti, (a) penyerangan oleh polisi terhadap suporter Persipura di Stadion Mandala pada 13 Mei 2012, yang menyebabkan 18 orang mengalami gangguan pernapasan akibat tembakan gas air mata, serta menahan 6 orang lainnya dengan sewenang-wenang. (b) Penembakan oleh polisi terhadap 4 warga di Degeuwo pada 15 Mei 2012, yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 3 lainnya menderita luka-luka.

(c). Penyerangan oleh anggota TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili terhadap warga di Honai Lama Wamena pada 6 Juni 2012, yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 14 lainnya mengalami luka serius. (d). Penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan oleh aparat polisi terhadap 10 orang warga di kota Serui, ketika memperingati Hari Internasional bagi Penduduk Pribumi, pada 9 Agustus 2012. (e). Pembubaran paksa aksi demonstrasi KNPB di depan kampus Universitas Negeri Papua, Manokwari pada 23 Oktober 2012. Sebanyak 15 orang ditahan oleh polisi, 9 orang diantaranya mengalami penyiksaan, dan 2 orang lainnya mengalami luka tembak.

Beberapa tindakan penembakan kilat oleh Polisi terhadap aktivis pro demokrasi yang tergabung di dalam wadah Komite Nasional Papua Barat (KNPB) masih terus berlanjut. Aksi penembakan terhadap Ketua I KNPB, Mako Tabuni (34) pada 14 Juni 2012, merupakan bukti nyata dari brutalitas aparat terhadap warga sipil. Aksi serupa masih kembali terulang di Wamena pada 16 Desember 2012, ketika aparat kepolisian menembak mati Ketua Militan KNPB Baliem, Hubertus Mabel (30).

Tindakan kekerasan lain berupa aksi-aksi teror dan penembakan oleh OTK semakin meningkat, baik di tahun 2011 maupun 2012. Antara 5 Juli – 6 September 2011, telah terjadi 28 aksi penembakan yang menewaskan 13 orang dan melukai sedikitnya 32 orang. Sedangkan sepanjang tahun 2012, telah terjadi 45 aksi penyerangan oleh OTK, telah menewaskan 34 orang, melukai 35 orang dan menimbulkan trauma terhadap 2 orang.

Pengungsian internal yang terjadi di Keerom sejak Juli – November 2012, merupakan salah satu peristiwa yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Atas kerjasama ELSHAM Papua dan Gereja Katolik Keerom, 38 orang pengungsi yang telah menetap di hutan akhirnya dapat difasilitasi kembali ke kampung halaman mereka.

Berbagai kasus kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua luput dari perhatian pemerintah pusat maupun lokal Papua. Kondisi seperti ini memberikan indikasi bahwa Status Papua sebagai Daerah Otonomi Khusus telah berubah menjadi “Daerah Operasi Khusus”, sebagaimana yang pernah terjadi ketika kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan antara dekade 1970 – 2000. Impunitas hukum terhadap para pelaku kekerasan nampak dengan tidak adanya pelaku kekerasan yang diadili dan menerima vonis pengadilan.

“Wilayah Papua yang tertutup dari akses lembaga kemanusiaan internasional, jurnalis internasional maupun para peneliti asing, memberikan justifikasi terhadap meningkatnya tindak kekerasan oleh aparat keamanan di Papua. Satuan-satuan elit seperti Detasemen 88 Anti Teror, justru menjadi momok yang menciptakan teror terhadap aktivis gerakan demokrasi di Papua,” katanya.

Mencermati kondisi sosial-politik yang dihadapi oleh orang Papua dewasa ini, ELSHAM Papua menyerukan agar, pertama, Pemerintah Indonesia membuka akses terhadap lembaga kemanusiaan internasional, jurnalis internasional maupun para peneliti asing untuk mengunjungi Papua dan memantau kondisi HAM.

Kedua, pihak kepolisian Republik Indonesia segera mengungkap kepada publik, pelaku penyerangan dan penembakan misterius yang selama ini kerap terjadi di Tanah Papua. Ketiga, Pemerintah Indonesia dan kelompok-kelompok anti pemerintah agar menempuh dialog sebagai cara untuk mengakhiri konflik dan kekerasan yang terus berlangsung di Tanah Papua. Keempat, TNI dan Polri menghormati prinsip-prisip HAM Universal yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia.(nls/ven/don/l03)

Kamis, 20 Desember 2012 11:40, Binpa

Enhanced by Zemanta

Inilah Kasus Kekerasan di Papua Sepanjang 2012

hamJayapura — Sejumlah kasus kekerasan yang masuk pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) sepanjang tahun 2012. Berikut sejumlah kasus kekerasan yang berhasil dicatat Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua di Jayapura.

Dari media reales ELSHAM yang dibacakan Koordinator Advokasi ELSHAM Papua, Sem Rumbrar kepada wartawan di Abepura, Rabu (19/12) menyebut, aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan baik TNI maupun Polri, yang berhasil didata sepanjang tahun 2012 adalah penyerangan oleh polisi terhadap suporter Persipura di Stadion Mandala pada 13 Mei 2012, yang menyebabkan 18 orang mengalami gangguan pernapasan akibat tembakan gas air mata, serta menahan 6 orang lainnya dengan sewenang-wenang.

Penembakan oleh polisi terhadap 4 warga di Degeuwo pada 15 Mei 2012, yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 3 lainnya menderita luka-luka. Penyerangan oleh anggota TNI dari Batalyon 756 Wimane Sili terhadap warga di Honai Lama Wamena pada 6 Juni 2012, yang mengakibatkan 1 orang meninggal dunia dan 14 lainnya mengalami luka serius. Penangkapan sewenang-wenang dan penyiksaan oleh aparat polisi terhadap 10 orang warga di kota Serui, ketika memperingati Hari Internasional bagi Penduduk Pribumi, pada 9 Agustus 2012.

Pembubaran paksa aksi demonstrasi KNPB di depan kampus Universitas Negeri Papua, Manokwari pada 23 Oktober 2012. Sebanyak 15 orang ditahan oleh polisi, 9 orang diantaranya mengalami penyiksaan, dan 2 orang lainnya mengalami luka tembak.Beberapa tindakan penembakan kilat oleh Polisi terhadap aktivis pro demokrasi yang tergabung didalam wadah Komite Nasional Papua Barat (KNPB) masih terus berlanjut. Aksi penembakan terhadap Ketua I KNPB, Mako Tabuni (34) pada 14 Juni 2012.

Aksi serupa kembali terulang di Wamena pada 16 Desember 2012, ketika aparat kepolisian menembak mati Ketua Militan KNPB Baliem, Hubertus Mabel (30 tahun). Masih dalam catatan itu tertera, tindakan kekerasan lain berupa aksi-aksi teror dan penembakan oleh OTK (Orang Tidak Dikenal) semakin meningkat, baik di tahun 2011 maupun 2012. Antara 5 Juli sampai 6 September 2011, telah terjadi 28 aksi penembakan yang menewaskan 13 orang dan melukai sedikitnya 32 orang. Sedangkan sepanjang tahun 2012, telah terjadi 45 aksi penyerangan oleh OTK, telah menewaskan 34 orang, melukai 35 orang dan menimbulkan trauma terhadap 2 orang.

Pengungsian internal yang terjadi di Keerom sejak Juli – November 2012, merupakan salah satu peristiwa yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Atas kerjasama ELSHAM Papua dan Gereja Katolik Keerom, 38 orang pengungsi yang telah menetap di hutan akhirnya dapat difasilitasi kembali ke kampung halaman mereka.

Sem Rumbrar mengatakan, mencermati kondisi sosial-politik yang dihadapi oleh orang Papua dewasa ini, ELSHAM Papua menyerukan agar pemerintah Indonesia membuka akses terhadap lembaga kemanusiaan internasional, jurnalis internasional maupun para peneliti asing untuk mengunjungi Papua dan memantau kondisi HAM. Pihak kepolisian Republik Indonesia segera mengungkap kepada publik, pelaku penyerangan dan penembakan misterius yang selama ini kerap terjadi di Tanah Papua.

Pemerintah Indonesia beserta kelompok-kelompok anti pemerintah diminta agar menempuh dialog sebagai cara untuk mengakhiri konflik dan kekerasan yang terus berlangsung di Tanah Papua. TNI dan Polri menghormati prinsip-prisip HAM Universal yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia. (Jubi/Musa)

December 19th, 2012 | 18:30:12,TJ

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny