Seruan Kepada Masyarakat Adat Papua di Wilayah Mbadlima

Menanggapi kondisi HAM dan keamanan terakhir di West Papua, khususnya di Wilayah Mbadlima, maka disampaikan kepada seluruh Masyarakat Adat Melanesia khususnya di Pegunungan Tengah dan MADAT Papua pada umumnya bahwa:

  1. Masyarakat Adat Melanesia West Papua perlu menyadari bahwa dengan kekejaman Polisi Indonesia pada saat ini, mengulangi kekerasan-kekerasan sebelumnya semakin lama semakin meyakinkan kepada dunia semesta, khususnya para anggota Kongres di Amerika Serikat dan Anggota Parlemen di Kerajaan Inggris bahwa janji demokratisasi di West Papua di dalam NKRI dalam proses otonomisasi untuk Provinsi Papua, mengatakan, “Papua lebih bagus dan lebih aman di dalam Indonesia,”, “Papua sedang dibandung lebih baik dengan penghargaan HAM yang lebih baik,” dan berbagai janji manis lainnya itu ternyata dan terbukti “TIDAK BENAR!”, dan ketidak-benaran itu sudah berulang-kali disampaikan oleh orang Papua, tetapi sekarang Polisi Indonesia sendiri mengumumkannya kepada dunia bahwa “Pemerintah Indonesia telah menipu dunia.”
  2. Kleim Indonesia bahwa pelanggaran HAM hanya pernah terjadi di era Orde Baru dan saat ini pelanggaran HAM sudah tidak ada, terbukit TIDAK BENAR! Jadi, polisi dan politisi Indonesia sedang berbicara dalam dua bahasa yang berbeda, yang semakin membingungkan dunia, “Apakah Indonesia sanggup membangun West Papua, atau sebaiknya West Papua dikeluarkan dari Indonesia supaya membangun dirinya?”

Selanjutnya sikap yang perlu diambil MADAT Papua, khususnya di Mbadlima dan sekitarnya adalah;

  1. Memandang dan menyerahkan nyawa orang Papua yang telah dibunuh dengan keji itu sebagai bagian dari para pahlawan yang telah gugur di medan dalam memperjuangkan hargadiri, martabat dan aspirasi bangsa Papua;
  2. Memandang dan memperlakukan mereka yang ada di rumah sakit dan yang ditahan aparat NKRI sebagai para pejuang yang memperjuangkan hargadiri, martabat dan aspirasi bangsa dan tanah airnya;
  3. Dengan demikian, TIDAK PERLU dan TIDAK ADA HUBUNGAN melakukan pembicaraan-pembicaraan, entah dalam bentuk dialogue, tukar-pikiran, dan sebagainya yang diselenggarakan oleh Polisi Indonesia dengan tujuan mendamaikan orang Papua dengan NKRI.Alasannya karena kedua bangsa yang berbeda, berada di pulau yang berbeda itu akan melakukan pembicaraan pada SAATnya, bukan pada saat ini. Ada waktu dan tempat yang akan disediakan untuk melakukan pembicaraan sebagai dua bangsa dan dua wilayah yang berbeda, sederajad dan bermartabat. Oleh karena itu, melakukan pembicaraan-pembicaraan saat ini dengan alasan apapun merupakan tanda bahwa bangsa Papua tunduk kepada NKRI.
  4. KATAKAN kepada Polisi Indonesia bahwa para Kepala Suku Papua SANGGUP dan DAPAT dan oleh karena itu PASTI AKAN mengamankan MADAT Papua untuk menahan diri dan tidak melakukan tindakan anarkis yang mengganggu ketertiban umum TANPA, sekali lagi TANPA keterlibatan Polisi Indonesia, dan TANPA harus berdialogue dengan aparat NKRI.Biarkanlah para tokoh gereja atau pejabat pemerintah asal Papua melakukan pembicaraan-pembicaraan untuk kepentingan jabatan dan tugas negara mereka, tetapi Masyarakat Adat Papua tidak ada urusan dengan itu. Yang penting kami MADAT Papua mau hidup damai, dan hidup damai itu TIDAK KARENA DIAMANKAN Polisi Indonesia, tetapi karena adat dan norma adat kami mengharuskan kami untuk hidup demikian, baik di bawah pendudukan NKRI maupun terlebih setelah Papua Merdeka.
  5. Kunci dari kekerasan Polisi Indonesia ini adalah mementahkan wacana dan argumen mereka di pentas politik dunia bahwa sekarang ini sudah tidak ada pelanggaran HAM lagi di Tanah Papua. Ternyata wacana mereka itu dibuktikan tidak benar oleh perbuatan mereka sendiri. Biarkan perbuatan mereka sendiri membantah perkataan mereka.

Demikian seruan ini disampaikan untuk diperhatikan dan dilaksanakan di lapangan, khususnya oleh Para Tokoh Adat dan Kepala Suku Perang MADAT Papua di Pegunungan Tengah West Papua.

Hormat kami,

Amunggut Tabi

An. General TRWP Mathias Wenda

A.S. Prihatin atas Sikap Indonesia terhadap West Papua

Keprihatinan mendalam disampaikan Amerika Serikat tentang perlakuan atas orang West Papua dalam kekuasaan Indonesia.

Untuk pertama kalinya Kongress A.S. membuka sesi khusus mendengarkan isu-isu yang berpengaruh terhadap provinsi orang Melansia itu.

Para anggota perwakilan diberitahu tentang pelanggaran HAM yang sedang berlangsung dan tuduhan bahwa Indonesia gagal memberikan Otsus kepada West Papua yang telah ia janjikan 9 tahun lalu.

Yang memimpin penyampaikan ini ialah Anggota Kongress dari Samoa Amerika, Eni Faleomavaega, yang juga adalah Ketua Sub Komisi Parlemen Urusan Asia-Pasifik dan Lingkungan Global.

Presenter: Helene Hofman
Pembicara: Eni Faleomavaega, American Samoa’s Congressman

FALEOMAVAEGA: Setahu saya ini pertama kali Kongres A.S. menyelenggarakan sesi khusus untuk keseluruhan pertanyaan tentang West Papua, menyangkut segala hal, sejarahnya dan situasi sekarang, khususnya era penjajahan Belanda dan bagaimana diambil alih secara militer di bawah pemerintahan Sukarno dan Suharto.

HOFMAN: Jadi, A.S. punya dua keprihatinan utama, sebagaimana saya pahami, satunya mendesak untuk kemerdekaan dan lainnya pelanggaran HAM?

FALEOMAVAEGA: Tidak, isu kemerdekaan selalu menjadi bagian dari pemikiran sejumlah orang West Papua. Saya mengikuti isu ini sudah sepuluh tahun sekarang dan merasa bahwa mengigat tahun-tahun kami bekerjasama dengan Jakarta, khususnya saat Jakarta mengumumkan akan memberikan UU Otsus kepada orang West Papua sejak 2001 dan harapan bahwa orang West Papua akan diberikan otonomi yang lebih. Well, sembilan tahun kemudian, tidak ada kemajuan atau gerakan yang terjadi untuk memberikan otonomi yang lebih banyak itu kepada orang West Papua dan dalam hal ini kami sudah ikuti dalam beberapa tahun belakangan dan kami harap Jakarta cepat tanggap terhadap pertanyaan dan keprihatinan kami.

HOFMAN: Saya mengerti ada isu pelanggaran HAM juga. Saya tahu Anda juga sedang mengklasifikasikan apa yang terjadi di West Papua itu sebagai sebuah perbuatan “genosida” (ed-tindakan yang dimaksudkan untuk dan berakibat penghapusan etnik), yang mana tidak mendapatkan oposisi di Amerika Serikat?

FALEOMAVAEGA: Well, ini isu yang terus berlanjut. Sebelum Timor Leste diberikan kemerdekaan 200.000 orang disiksa dan dibantai. Militer Indonesia lakukan hal yang sama di West Papua, angka konservativ 1000.000 orang, yang dilakukan oleh militer Indonesia. Yang lain mengatakan 200.000 orang orang West Papua dibunuh dan disiksa, dibunuh tanpa belas kasihan oleh militer. Jadi, ya ada persoalan genosida di sana. Saya sangat, sangat prihatin bahwa isu ini terus berlanjut dan kami mau memastikan bahwa orang-orang di sana diperlakukan adil.

HOFMAN: Apa yang dapat dilakukan A.S. tentang ini? Sekarang ada penyampaian khusus tentang West Papua? Apa harapan Anda yang akan jadi sebagai hasil dari ini?

FALEOMAVAEGA: Well, sistem pemerintahan kami agar berbeda dari sistem parlementer dan dalam sistem kami cabang yang setara dengan pemerintahan dan kami bekerjasama. Kami semua tahu bahwa Indonesia itu negara Muslim terbesar di dunia. Baru-baru ini mulai muncul untuk menjadi demokratis dan kita semua mendukung itu. Tetapi pad waktu bersama ada legacy tentang apa yang ia telah lakukan kepada orang West Papua, pertama dalam kolonialisme Belanda, kini penjajah lain menjajah orang-orang ini yang tidak punya hubungan budaya, etnik, hubungan sejarah sama sekali dengan orang-orang Indonesia, atau bisa dikatakan orang-orang Jawa ini yang tinggal di tanah air Indonesia. Ini orang-orang Melanesia dan secara budaya ada keprihatinan yang sangat, amat bahwa orang-orang ini semakin lama semakin menjadi minoritas di tanah mereka sendiri dan di dunia mereka sendiri, dan memang ada keprihatinan mendalam tentang apa yang Jakarta lakukan terhadap isu ini.

HOFMAN: Jadi apa pesisnya yang dapat dilakukan A.S.? Kenapa orang Indonesia harus dengarkan A.S.?

FALEOMAVAEGA: Indonesia tidak harus dengarkan A.S. Tetapi saya yakin negara-negara lain di dunia akan lihat, Hey, kami bisa katakan hal yang sama dengan apartheid, isu Afrika Selatan, apa yang terjadi dengan mereka. Kalau dunia tidak menekan Afrika Selatan untuk merubah apa yang dilakukannya, mereka tidak buat apa-apa, tidak akan terjadi apa-apa terhadap kebijakan apartheid di sana, dan saya pikir cara yang sama kita berikan perhatian ke Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mengikuti jalan-jalan yang telah dilalui orang Timor Leste.

HOFMAN: Jadi, apa langkah berikutnya setelah sesi ini?

FALEOMAVAEGA: Well, penyampaian terbuka ini bagian dari proses itu. Ini cara operasi sistem pemerintahan kami. Kami lakukan dengar pendapat, dan Pemilu November mendatang mungkin akan terjadi perubahan dan kami menjembatani saat kami melewati proses itu, dan bila saya terpilih kembali saya jani kepada Anda bahwa saya akan angkat isu itu terus, tidak hanya dengan Jakarta, tetapi juga di Kongres dan juga dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kami perlu menaruh perhatian lebih kepada masalah-masalah yang dihadapi orang West Papua sekarang.

Klaim 101 Negara Dukung Referendum

Dari Aksi Demo di Makam Theys
Dari Aksi Demo di Makam Theys

Seribuan Massa yang memadati Makam Theys Minta Referendum Jadi Solusi Politik Papua

SENTANI—Tuntutan referendum untuk Papua terus disuarakan.

Pasalnya, ada kabar beredar di masyarakat di Papua, jika sejumlah negara telah membuka diri untuk mendukung referendum Papua. Bahkan Sebi Sambom, salah satu piplar KNPB yang selama ini menjadi tahanan politik karena tuduhan makar mengklaim dari 199 negara yang menjadi anggota PBB 101 diantaranya sudah siap memberikan dukungan terhadap referendum di Papua, dan nasib Papua akan devoting di PBB pada tahun 2011 mendatang, itu berarti kebebasan bangsa West Papua, dari penindasan oleh Indonesia semakin berpeluang terjadi. Hal itu menguat dalam aksi demo ribuan massa di Makam Theys, Kamis kemarin.

Ya, jika beberapa waktu lalu aspirasi politik Papua Merdeka sering dilontarkan tokoh-tokoh politik garis keras west Papua ke pemerintah Indonesia, baik melalui lembaga legeslatif maupun eksekutif di daerah dan pusat, namun saat ini mungkin bisa dikatakan tidak.

Mungkin saja masyarakat serta organisasi politik yang selalu mengkristal dengan aspirasi merdeka yang ditujukan ke Pemerintah itu tidak pernah ada kejelasan sama sekali, sehingga saat ini campur tangan Pemerintah Indonesia sama sekali tidak diharapkan dalam penanganan aspirasi Papua Merdeka.

Bukan itu saja, upaya masyarakat Papua melalui tim 100 untuk membuka dialog dengan Pemerintah Indonesia tidak pernah terwujud sehingga masyarakat dan tokoh politik Papua lebih memilih menyelesaikan status politik tanah Papua melalui jalur internasional.

Terbukti konsentarsi ratusan massa yang melakukan aksi demo damai di makam alm Theys Eluay Kamis (23/9) yang dumulai sekitar pukul 09.00 itu sama sekali tidak mendesak Pemerintah Indonesia untuk memperjuangkan aspirasi politik Papua Merdeka dari orasi-orasi yang mereka lakukan.

Hanya semangat perjuangan yang terlihat dari mereka dengan tarian waiatay (lari berputar) yang terus mereka lakukan dengan menyanyikan lagu-lagu kemerdekaan Papua Barat ciptaan Balck Brothers. Semangat itu semakin bergelora ketika sekitar pukul 13.00 ratusan masa menggunakan belasan truk dan motor bergabung dari arah Abepura ke Makam alm Theys Eluay.

Aksi ini sendiri mendapat pengawalan ketat dari 5 pleton anggota Polres Jayapura dibackup 3 pleton Brimobda Polda Papua. Sementara disisi lapangan makam alm Theys nampak pasukan baret biru penjaga tanah papua juga mensterilkan setiap sudut lapangan dari oknum-oknum yang dianggap tidak berkompoten dalam kegiatan tersebut.

Marko Tabuni yang mengawali orasi politik tersebut lebih banyak meyampaikan perjuangan politik Papua Barat yang kini telah ramai menjadi diskusi hangat di anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, akibat pelanggaran HAM yang terus terjadi dan meningkat di Papua yang dilakukan oleh militer Indonesia.

Bahkan Marko menyebutkan 12 Negara masing-masing Papua New Guniea, Fiji, Vanuatu, Korea Selatan, Jepang, Inggris, Afrika selatan, Saudi Arabia, New Zeland, Denmark, Amerika, dan Australia merupakan Negara-negara yang kini telah membuka diskusi referendum West Papua di PBB.

Seperti yang termuat pada perdebatan panjang pada 3 September 2010 pada sidang tahunan PBB yang tertuang pada copy-an selebaran setebal 13 halaman, yang sebarkan kepada ratusan masa itu. Guna memberikan penghargaan kepada keduabelas Negara tersebut sebanyak 12 bendera dari Negara-negara tersebut ditancapkan di depan panggung orasi yang berada di sisi utara makam Theys Eluay, dan mendapat sambutan tepuk tangan dan yel-yel dari ratusan masyarakat yang hadir pada saat itu.

Usai Marko menyampaikan orasi politiknya dilanjutkan oleh Sebi Sambom salah satu pilar KNPB yang selama ini menjadi tahan politik karena tuduhan makar.

Kepada ratusan masa itu Sebi mengatakan agar masyarakat tetap tenang dan memberikan informasi yang baik kepada sesamanya baik itu orang papua maupun pendatang termasuk TNI/POLRI, terkait perkembangan status politik tanah Papua saat ini yang sudah ramai menjadi perdebatan di PBB.

Karena menurutnya cepat atau lambat referendum akan segera dilakukan lagi atas desakkan Negara-negara yang peduli dengan status politik d tanah Papua guna mengulang referendum yang pernah dilakukan pada 1969 yang dinilai cacat hukum itu. Sehingga dengan jalan inilah bangsa West Papua akan mengakhiri kebersamaannya selama ini dengan Indonesia. Sebi juga meminta agar generasi muda yang aktif dalam perjuangan agar tidak takut dengan TNI/Polri karena ada hukum internasional yang memberikan jaminan kebebasan dan demokrasi bagi setiap makhluk hidup didunia.

Dalam aksi demo damai tersebut sosok si-jangkung Forkorus Yaboisembut yang adalah Ketua Dewan Adat Papua tidak berada dalam kegiatan tersebut. Ternyata usut-punya usut tokoh yang paling frontal dengan pelanggaran HAM di Papua itu kini telah berada di Amerika Serikat, hanya saja tidak dijelaskan apa tujuan perjalanannya ke sana.

Aksi demo damai yang dipelopolir oleh KNPB itu sendiri baru bubar sekitar pukul 17.30 WIT. (jim)

Masalah Papua Dibahas di Kongres AS

WASHINGTON—Amerika Serikat, Rabu (22/9) kemarin, menyerukan kepada Indonesia untuk terus maju dengan otonomi khusus di Papua dan mendesak agar tidak akan mengabaikan hak asasi manusia (HAM) di wilayah itu.

Sejumlah pejabat senior AS, yang bersaksi dalam sidang Kongres yang untuk pertama kalinya membahas konflik berkepanjangan di Papua, berjanji untuk menyelidiki tuduhan penyiksaan di Papua. Namun, mereka mengatakan, tidak ada bukti untuk mendukung tuduhan genosida di provinsi itu. Indonesia pada tahun 2001 telah memperkenalkan otonomi khusus di Papua, provinsi luas yang kaya mineral, tetapi para aktivis lokal mengatakan, undang-undang otonomi itu hanya berjalan setengah hati dan tidak meningkatkan hak-hak rakyat setempat.

Joseph Yun, Asisten Deputi Kementerian Luar Negeri AS untuk Urusan Asia Tenggara, mengatakan, AS menentang separatisme di Papua dan tetangganya Papua Barat, tetapi mendukung otonomi yang lebih menyeluruh. “Jika Undang-Undang Otonomi Khusus Tahun 2001 dapat sepenuhnya dilaksanakan, kami percaya bahwa banyak frustrasi yang dirasakan saat ini oleh orang-orang Papua akan turun,” kata Yun sebagaimana dilansir media online kompas.com, semalam.

“Meskipun secara keseluruhan kondisi hak asasi manusia di Indonesia telah membaik seiring dengan perkembangan demokrasi di negeri itu, kami prihatin dengan tuduhan pelanggaran HAM di Papua dan akan terus memantau situasi itu,” katanya.

Pemerintahan Presiden Barack Obama telah memasukkan Indonesia dalam prioritasnya, terutama karena perkembangan demokratisasi yang terjadi serta karakter Islamnya yang moderat yang menjadikan Indonesia mitra ideal bagi AS. Pada Juli lalu, AS juga kembali menjalin hubungan militer dengan Kopassus yang sempat putus karena pasukan elite itu, di masa lalu, dituduh banyak terlibat dalam sejumlah pelanggaran HAM.

Sidang Kongres itu digelar atas permintaan Eni Faleomavaega, yang mewakili Samoa-Amerika dan telah lama memberi perhatian pada masalah Papua. Dalam sebuah adegan yang tidak biasa di Capitol Hill, anggota Kongres itu mengundang orang-orang Papua memakai tutup kepala berbulu lalu melakukan tarian tradisional dengan diiringi tambur di awal sidang.

Faleomavaega mengatakan, ia menganggap Jakarta telah melakukan genosida terhadap orang Papua. “Ini adalah fakta tak terbantahkan bahwa Indonesia telah dengan sengaja dan sistematis melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan belum bertanggung jawab,” katanya.

Robert Scher, Asisten Deputi Kementerian Pertahanan AS untuk kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara, mengatakan, AS menganggap dugaan pelanggaran HAM di Papua sangat serius. “Namun, kami belum melihat bukti untuk mendukung bahwa insiden dalam kasus itu merupakan bagian dari kampanye yang disengaja atau sistematis oleh Indonesia,” kata Scher.

Faleomavaega mengatakan, dia tidak menyalahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono atas masalah Papua dan ia mendukung hubungan AS dengan Indonesia. “Saya sangat percaya bahwa Presiden Yudhoyono benar-benar ingin mengulurkan tangan dan membantu orang-orang Papua. Saya juga sepenuhnya mengerti bahwa ia berada di bawah kendala, banyak tekanan datang dari sektor lain dalam masyarakat Indonesia,” katanya.

Tampil juga di depan panel itu, aktivis Papua, Octovianus Mote, yang merupakan Presiden Papua Resource Center. Mote mengatakan, paket otonomi khusus itu ompong. “Masalah utamanya adalah bahwa pejabat sipil telah gagal untuk menetapkan kontrol yang berarti dan berwibawa atas angkatan bersenjata yang tegar tengkuk, yang terus beroperasi dengan impunitas,” katanya.

Koalisi Rakyat Papua Dukung Sikap Kongres Amerika

Sementara itu, Koalis Rakyat Papua memberikan dukungan atas pertemuan yang difasilitasi kongres Amerika Serikat dan pemimpin bangsa Papua yang dilaksanakan di Keduatan Amerika Serikat dan kantor PBB, pada tanggal 21 September 2010 lalu Dalam siaran Persnya yang diterima keredaksian Bintang Papua, Rabu (23/9) malam kemarin, coordinator aksi demo damai Koliasi Rakyat Papua di Jakarta, mengatakan aksi demo damai yang dilakukan depan gedung kedutaan Amerika Serikan di Jakarta, merupakan dukungan moril rakyat Papua dalam rangka mendorong penyelesaian masalah Papua melalui Mahkamah Internasional yang dimotori KOngres Amerika Serikat.

“Kami rakyat bangsa Papua Barat menegaskan kembali sejarah bangsa Papua bahwa pada 1 Desember 1961 bangsa Papua telah Merdeka sebagai suatu bangsa yang berdaulat diantara bangsa-bangsa lain di muka bumi.

Namun kamipun menyadari bahwa Pemerintah Indonesia secara sepihak menganeksasi tanah dan kedaulatan bangsa Papua melalui Tri Komando Rakyat (Trikora) yang dikumandangkan oleh Presiden RI, Ir. Soekarno 19 Desember 1961 di Yogyakarta. Sebagai bentuk perlawanan terhadap aneksasi kedaulatan bangsa Papua, maka telah berdiri sejak 1965 berbagai faksi dan komponen perlawanan yang secara terus menerus berjuang untuk membela dan mempertahankan identitas dan kedaulatan bangsa Papua,” jelas coordinator aksi demo damai Koliasi Rakyat Papua Agustinus Okama Kosay.

Kosay menyebutkan, Bangsa Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah NKRI, karena secara historis Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 24 Agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana, Pantai Selatan diproklamasikan kepemilikan Papua Barat oleh Komandan Pasukan Tentara Belanda atas Nama Sri Baginda Ratu Nederlands pada saat peresmian Benteng Fort du Bus.

Walaupun Papua Barat dan Indonesia merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah.

Juga Bangsa Papua Barat tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia pada tanggal 28 Oktober 1928. Hal lain dalam pertemuan antara wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon pada tanggal 12 Agustus 1945 Mohammad Hatta menegaskan bahwa Bangsa Papua adalah Ras Negroid, Rumpun Melanesia maka bangsa Papua meneruskan nasipnya sendiri. Sementara itu, sambungnya, Ir. Sokarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Papua Barat tidak termasuk didalam daerah-daerah yang diproklamirkan sebagai Wilayah NKRI pada 17 Agustus 1945. Dalam Konfrensi Meja Bundar 23 Agustus 1949-2 November 1949, status Papua Barat (Nederlands Niew Guinea), secara eksplisit dinyatakan Muhammad Hatta, ketua Delegasi Indonesia bahwa “…Masalah Papua Barat tidak perlu dipersoalkan karena…. Bangsa Papua berhak menjadi Bangsa yang Merdeka yang kemudian di pertegas dalam Manifest Komite Nasional Papua, 19 Oktober 1961.

Kehendak yang suci dan luhur Bangsa Papua Barat untuk memiliki negaranya sendiri ditanggapi dengan tindakan aneksasi pemerintah Indonesia melalui Trikora oleh Presiden Soekarno pada 19 Desember 1961 di Yogyakarta.

Perintah Presiden Indonesia untuk menggagalkan Pembentukan Negara Boneka Papua Barat Buatan Belanda Kolonial “…sudah merupakan pengakuan eksplisit pemerintah dan rakyat Indonesia tentang adanya Negara Papua Barat”. Trikora semakin memperuncing konflik antara Belanda dan Indonesia mengenai status politik bangsa Papua Barat. (hen/binpa)

Intervensi Papua New Guinea dalam Sidang Komisi Hak Asasi Manusia

Robert Guba Aisi; Permanent Representative aof Papua New Guinea to the United Nations

Papua New Guinea telah memajukan solusi damai di masa-masa lampau untuk menyelesaikan isu West Papua, tetapi kini PNG sangat terganggu dengan kekerasan yang dilakukan baru-baru ini oleh serangan militer terhadap penduduk sipil keturunan orang Melanesia. Kami punya hubungan bak dengan Indonesia karena mereka sedang membangun menuju demokrasi dan perlakuan baik terhadap orang West papua, tetapi intervensi ini akan mengganggu semuanya dan akan merusak negosiasi yang sudah berlangsung selama ini kalau tidak ada langkah yang diambil.

Intervensi militer hampir pasti terkait dengan ketegangan etnik antar kelompok dan harus diakhiri, untuk memberikan jalan kepada pemerintahan yang demokratis dan untuk sebuah referendum atau otonomi sebagaimana yang baru-baru ini diselenggarakan di Timor Timur.

Kami memohon kepada semua delegasi untuk mendukung upaya-upaya untuk kepada Dewan Hak Asasi Manusia (PBB) dan (kalau isu kehadiran militer ini menjadi isu mengganggu sekali lagi, maka) ke Dewan Keamanan.

Papua New Guinea melihat isu ini secara langsung penting sekali dan percaya bahwa sekarang perlu ada penyelesaian diplomatik sebelum perang sipil menyebar di West Papua.

————–
Papua New Guinea dengan hormat minta delegasi untuk memberhatikan secara khusus kepada dokumen-dokumen berikut :

1. Reports of Indonesion military operations;
2. Allegations of excessive use of force during police operations;
3. Alleged extrajudicial killings during previous Indonesian operations in West Papua

Tanggapan Indonesia:

The Republic of Indonesia mengakui pernyataan Papua New Guinea dan menghargai pendapat mereka.

Akan tetapi wilayah West Papua adalah bagian dari Republik Indonesia; dan Indonesia tidak menambah pasukan militer di provinsi itu;

Perang-perang yang terjadi di sana hanyalah perang-perang suku (Ed – perang di antara orang Papua sendiri karena orang Papua suka dengan perang suku).

Kami mau katakan hal ini sekarang,

“Pemerintah Indonesia tetap berpegang teguh kepada pendapat untuk bergabung dengan Indonesia lewat Referendum yang disebut Penentuan Pendapat Rakyat pada 1969.”

Banyak pembicaraan sedang berlangsung bagaimana menyelenggarakan referendum di dalam West Papua, dan untuk mencari penyelesaian yang demokratis.
———————
Tanggapan Balik PNG: Robert Guba Aisi; Permanent Representative of Papua New Guinea to the United Nations

Penentuan Pendapat Rakyat, sebagaimana telah ditunjukkan dokumentasi Amerika Serikat, tetapi legitimasinya sendiri sudah dipertanyakan berulang-kali, dan setelah berkonsultasi dengan Vanuatu tentang hal ini, ditambah lagi dengan intervensi militer ke West Papua baru-baru ini, membuat kami secara tegas mengadvokasi untuk penarikan pasukan miiter dari West Papua, mengakhiri peperangan dan melakukan suatu investigasi yang benar dan independen tentang status orang Papua di West Papua. Kami percaya bahwa investigasi sebagaimana diusulkan oleh Vanuatu merupakan langkah logis menuju penyelesaian yang legal dan secara politis atas isu West Papua.

Keputusan Internatioanl Court of Justice tentang legalitas Kemerdekaan Kosovi pada Juli 2010 menjadi satu presenden untuks secara angsung mempertimbangkan pengusulan kasus ini ke lembaga dimaksud.

Pembicaraan-pembicaraan tentang West Papua harus dilangsungkan dalam suatu forum yang terbuka, untuk mengizinkan sebuah negosiasi yang bebas dan adil yang akan menghindari kesalahan-kesalahan yang lalu terulang dalam menangani kasus ini. Penentuan Pendapat Rakyat dimaksud hanya melibatkan kurang dari 5% penduduk West Papua waktu itu, yang perlu dipertimbangkan saat ini, mengingat situasi di West Papua membutuhkan perhatian kemanusiaan yang segera.

————————
Tanggapan William Hague, Menlu Inggris:

Foreign Secretary

Saya setuju dengan delegasi Papua bahwa perlu ada investigasi dari PBB. Hak menentukan nasib sendiri harus menjadi presenden di sini, masyarakat West Papua harus diberikan peluang untuk menyampaikan pendapat.
————-
Tanggapan Selandia Baru: Murray McCully, New Zealand Minister of Foreign Affairs and Trade

Pemerintah Selandia Baru berpendapat sama dengan pemerintah Inggris bahwa perlu ada investigasi dari PBB untuk mengurangi ketengan di wilaya itu, dan menyerukankepada pemerintah Papua New Guinea dan pemerintah Indonesia untuk menghindari peningkatan krisis dimaksud.
——————————
Tanggapan Indonesia:
Indonesia akan menghadiri pembicaraan-pembicaraan seperti ini.

Akan tetapi, kami sekarang ini percaya bahwa West Papua harus tetap menjadi bagian dari Republik Indonesia. Saat ini Indonesia tidak akan menarik pasukan militer dari West Papua, karena kami perduli atas penduduk sipil yang tidak bersalah yang perlu perlindungan dari militer kami. Rali-rali kemerdekaan sekarang ini semakin dipenuhi kekerasan, dan keterlibatan militer perlu untuk menjaga keamanan memang berguna untuk sementara waktu dalam waktu singkat, hanya penyelesaian jangka panjang harus dicari sekarang ini.

Kami menghargai pendapat Inggris dan Selandia Baru, dan terimakasih untuk menyampaikan hal ini kepada kami. Kami akan menaati semua aturan PBB yang sudah ada tentang West papua, akan tetapi kami percaya bahwa provinsi ini harus tetap ada di dalam Indonesia. Kami rasa orang West Papua lebh aman (Ed- lebih selamat) kalau mereka tinggal di dalam Indonesia (Ed-artinya kalau mereka merdeka, mereka tidak selamat. Selamat dari apa, atau siapa?”).

——————–
Tanggapan Papua New Guinea: Robert Guba Aisi; Permanent Representative of Papua New Guinea to the United Nations

Intervensi militer di West Papua bukan sebuah solusi. Secara historis, kehadiran militer tidak membawa hasil apa-apa untuk memperbaiki krisis, resikonya justru membakar situasi berakibat kematian di pihak orang West Papua. Kehadiran militer juga penyebab utama krisis kemanusiaan bagi negara-negara tetangga seperti Australia dan Papua New Guinea, karena kami tidak punya sumberdaya untuk pelarian pengungsi berikutnya menyeberang perbatasan.

———————–
Tanggapan dari Fiji: Commodore Frank Bainimarama, CF, MSD, OStJ,
Prime Minister of the Republic of Fiji,
Commander of the Republic of Fiji Military Forces

Laporan berita begitu jelas bagi kami, campurtangan miiter dimulai sebagai tanggapan terhadap protes pro kemerdekaan yang semakin meningkat, jadi tidak secara langsung dilihat sebagai upaya untuk menghindari kemerdekaan. Ini harus dilihat sebagai upaya untuk menghindari kampanye yang semakin dipenuhi kekerasan, walaupun aksi-aksi yang dilakukan tidak direncanakan secara baik.

Fokus sekarang harus diarahkan kepada penanganan (isolasi) demonstrasi yang penuh kekerasan, sementara itu mengizinkan protes-protes secara damai. Ini dapat dilakukan dengan dua cara, pertama dengan mendorong dan melengkapi anggota polisi dan pejabat pemerintah yang berasal dari West Papua untuk bernegosiasi dengan para demonstran secara damai itu, sambil itu menarik pasukan dari wilayah itu untuk menghindari kleim kelompok yang memprotes itu mengatakan tindakan militeristik teradap penduduk sipil

Diskusi keseluruhan harus diarahkan diantara berbagai faksi, dan langkah-langkah normalisasi hukum dan lingkungan yang tertib hukum.
————————
Tanggapan dari Denmark:

Heir Apparent Crown Prince Frederik, elder son of the monarch

Saya berbicara dari perwakilan Denmark untuk PBB dalam diskusi ini. Walaupun saya setuju dengan Menlu Inggris William Hague, orang West Papua harus diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat, sebuah penyampaian suara dengan jalan damai, dan tidak dengan pertumpahan darah. Saya katakan bahwa referendum di dalam West Papua harus diselenggarakan.

Terjemahan: WPMNews Chief Editor

2 September 2010, Sumber: http://itake.se/spcoldwar/index.php?showtopic=19671

KNPB Biak Juga Tuntut Referendum

Ditulis oleh redaksi binpa

Puluhan warga KNPB di Biak dan Supiori melakukan unjuk rasa ke DPRD Biak NumforBIAK-Tidak saja di Kota Jayapura sebagai ibukota Provinsi Papua, di Biak, Kamis (2/9) kemarin puluhan warga yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) juga kembali menggelar aksi unjuk rasa di Halaman Kantor DPRD setempat.Mereka menuntut referendum untuk menyelesaikan status politik bangsa Papua Barat, serta menolak agenda dialog Jakarta—Papua.

Sebelum menggelar aksinya, massa berkumpul di dihalaman kantor Dewan Adat Biak (DAB) dan melakukan long marc dengan berjalan kaki ke kantor DPRD.

Walaupun sempat memacetkan arus lalu-lintas, namun massa berjalan cukup tertib menuju DPRD sambil meneriakan yel-yel ‘merdeka’ dan referendum solusi terbaik. Begitupula pada spanduk tertulis, ‘kami rakyat Papua tolak dialog Jakarta-Papua dan minta referendum’. Setelah tiba di halaman kantor DPRD setempat, beberapa orang wakil massa KNPB itu satu persatu menggelar orasi yang intinya menuntut referendum dan menolak dialog Jakarta —Papua. Kehadiran para pengunjuk rasa itu, disambut langsung oleh ketua DPRD, Nehemia Wospakrik dan sejumlah anggota dewan lainnya. Penyampaian aspirasi berlangsung aman dan lancar, hingga penyerahan dokumen aspirasi kepada DPRD.

Menurut ketua KNPB wilayah Biak dan Supiori, Adolof Baransano, pihaknya datang untuk menyampailkan aspirasi kepada DPRD antara lain menuntut referendum untuk menyelesaikan status politik Papua serta menolak adanya dialog Jakarta—Papua.

“ Kami minta DPRD tolong teruskan aspirasi kami, bahwa kami menolak dialog antara Jakarta-Papua, sebab yang dinginkan saat ini adalah referendum dan itu harga mati,” kata Adolof Baransano kepada Bintang Papua, Kamis (2/9).

Warga KNPB itu terdiri dari korban pelanggaran HAM di Papua, mantan Tapol Napol, Perempuan Papua, Dewan Adat Biak dan masyarakat adat di wilayah Biak dan Supiori.

Sedangkan ketua DPRD, Nehemia Wospakrik, setelah menerima dokumen aspirasi itu, menyampaikan bahwa pihaknya menerima aspirasi yang disampaikan warga KNPB itu, serta segera akan ditindak lanjuti ke Provinsi dan Pemerintah Pusat. “Tuntutan mereka akan kami tindak lanjuti tanpa mengurangi sedikitpun kepada pihak yang berwewenang,” katanya. (cr-6)

Tuntutan Referendum Diteruskan ke Pusat

DSERAHKAN ASPIRASI-Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni menye­rahkan aspirasi rakyat Papua Barat kepada Ketua DPRP Drs John Ibo MM saat aksi unjukrasa di Halaman Kantor DPRP, Rabu (1/9) kemarin.JAYAPURA—Setelah ‘jedah’ beberapa waktu, ratusan massa yang tergabung dalam Komite Nasional Pa­pua Barat (KNPB) kembali menggelar aksi unjukrasa di Halaman Kantor DPRP, Rabu (1/9) kemarin. Mere­ka menuntut referendum untuk menyelesaikan status politik bangsa Papua Barat, serta menolak agenda dialog Jakarta—Papua. Sebelum menggelar aksi unjukrasa di Halaman Gedung DPRP, Jaya­pura massa berkumpul di Depan Kantor Pos Abepura sejenak melakukan oras dan mengibarkan spanduk dan bendera KNPB. Selanjutnya massa bergerak menuju DPRP di Jayapura dengan menggunakan sekitar 7 truk.

Sejak dari Abepura massa berada dalam pengawalan aparat polisi. Walaupun sempat memacetkan arus lali lintas, namun massa berjalan cukup tertib menuju DPRP di Jayapura.
Saat massa tiba di Lapa­ngan Imbi Jayapura penga­walan makin diperketat. Massa akhirnya berhenti sejenak menunggu massa yang bergerak dari arah depan Polda Papua. Setelah bergabung massa pun menyeruak masuk ke Halaman Gedung DPRP sembari mene­riakan Hidup Bangsa Papua Barat Merdeka, Referendum Solusi Terbaik Penyelesaian Status Politik Bangsa Papua Barat dan lain lain.

Beberapa orang wakil massa satu persatu menggelar orasi yang intinya menuntut referendum dan menolak dialog Jakarta—Papua. Seorang delegasi massa naik ke lantai atas guna bertemu dan mengajak pimpinan dan anggota DPRP untuk segera menemui pengunjukrasa. Setelah menunggu beberapa jam akhirnya Ketua DPRP Drs John Ibo, Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai serta beberapa anggota DPRP antara lain Ahmad Saleh, Ignasius Mimin, Yohanes Sumarto serta Hagar Aksamina Magai turun untuk menemui pengunjukrasa.

Tindakan yang dilakukan pimpinan dan anggota DPRP mendapat pujian dari ma­ssa pengunjukrasa. Akhirnta pimpinan dan anggota DPRP didaulat untuk menyimak aspirasi yang disampaikan Juru Bicara KNPB Mako Tabuni.

Mako Tanuni menegaskan pihaknya datang untuk menyampailkan aspirasi kepada DPRP antara lain menuntut referendum untuk menyelesaikan status politik bangsa Papua Barat serta menolak agenda dialog Jakarta—Papua. Selanjutnya Mako Tabuni merengsek masuk dalam kerumunan massa untuk menyerahkan aspirasi kepada Ketua DPRP Drs John Ibo.

Usai menyerahkan aspirasi tersebut Mako Tabuni mengan­cam tak ia dan ribuan massa tak akan meninggalkan Halaman Gedung DPRP apabila pihak DPRP tak segera mengirimkan fax yang berisi aspirasi kepada DPR RI dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Ketua DPRP Drs John Ibo menyampaikan bahwa pihaknya menerima aspirasi yang disampaikan rakyat Pa­pua Barat, serta akan segera menyampaikannya kepada pemerintah pusat, serta menga­jak Mako Tabuni dan kawan kawan untuk naik ke lantai II Gedung DPRP untuk melihat langsung aspirasi yang mereka sampaikan akhir­nya dikirim melalui fax kepada pemerintah pusat. Massa kemudian dengan ter­tib dan tenang membubarkan diri dan meninggalkan Halaman Gedung DPRP dikawal aparat. (mdc)

DAP Anggap Indonesia Caplok Bangsa Papua Barat

Catatan WPMNews:

Yang akan terjadi mulai tanggal 3 Septembear ialah pertemuan rutin Masyarakat Adat sedunia dan Komisi lain yang biasanya menyelenggarakan “hearing” tentang berbagai persoalan di dunia pada “open sessions”, atau sesi-sesi terbuka, di mana tidak ada tempat untuk diskusi atau mengambil kesimpulan untuk jalan keluar, tetapi hanya menyampaikan gambaran situasi daerah, bangsa, kelompok, induvidu di berbagai tempat dan negara di muka Bumi. Laporan-laporan ini dapat, tidak harus, tetapi dapat diteliti lebih lanjut oleh Forum Permanen Masyarakat Adat atau sub-sub Komisi PBB, ang kemudian dapat diajukan sebagai CONTOH KASUS untuk menyelesaikan berbagai masalah di DUnia. Jadi tidak ada sorotan isu-isu khusus untuk wilayah, organisasi tertentu.

Sebagai tambahan, Open Sessions sudah berlangsung lebih dari 40 tahun lamanya, masalah-masalah yang masuk bertumpuk sedemikian tebalnya sehingga begitu sulit untuk mencarikan jalan keluar per kasus, kecuali per contoh kasus, di mana dicarikan modus operandi dan formulasi metode penyelesaian sebagai patokan untuk kasus-kasus di seluruh dunia.

Walaupun begitu, memang ada perkecualian, di mana kasus itu kalau dianggap ‘extra-ordinary’, maka dapat dibentuk Tim Ahli yang menangani dan menelaah kasus dimaksud secara mendalam, yang kemudian masih diajukan ke sub Komisi sebelum ke Komisi dan akhirnya ke Sidang Umum.

Secara teori dan praktek konvensional, Sidang Umum PBB hanya dihadiri oleh ANGGOTA PBB, tidak ada tempat bagi organisasi, apalagi organisasi pemberontak menentang negara, yang notabene adalah anggota dari PBB itu sendiri.

Yang dimaksud dalam artikel ini adalah kehadiran dan waktu bicara bagi ILWP dan IPWP dalam Open Sessions Permanent Forum on Indigenous Issues/ Populations atau mungkin dalam Minority Rights, yang merupakan bawahan dari Komisi HAM, di bawah Sub-Komisi ECOSOC dan SIPOL.

Mekanisme penyampaian masalah dan pengambilan keputusan tidak semudah itu. Tetapi itu tidak berarti tidak ada jalan. Jalan selalu dan pasti ada. Kiprah ILWP dan IPWP adalah langkah yang dirintis untuk menuju ke sana.


WPMNews chief Editor

===================

JAYAPURA – Ratusan masyarakat Papua yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) melakukan aksi demo damai di halaman Kantor DPRP, Rabu (1/9) kemarin.

Demo ini adalah salah satu langkah kesekian kalinya dari masyarakat Papua untuk menyatakan sikap, artinya ingin meluruskan sejarah pada agenda kongres Papua II.

Aksi demo damai yang banyak menyita perhatian masyarakat khususnya pengguna jalan raya ternyata membuat sedikit arus lalulintas macet dari sepanjang Skyland, pasalnya ratusan massa itu menggunakan sepeda motor dan 15 truk dari arah Abepura menuju DPRP.
Dalam aksi demo yang dikawal anggota Polresta Jayapura itu berlangsung tertib bahkan sesampainya di halaman Kantor DPRP, massa langsung menggelar berbagai orasi dari kelompok-kelompok masyarakat.

Dalam kesempatan usai memberikan orasinya, Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yaboisembut mengatakan, dari sudut hukum Internasional bahwa Indonesia telah menganeksasi bangsa Papua Barat. Artinya pencaplokan atau pengambilalihan suatu daerah jajahan dengan dalih sejarah dan kekeluargaan.

“Ini yang dilakukan untuk bangsa Papua bukan integrasi, meskipun memang berbeda tipis antara aneksasi dan integrasi. Pepera follow up dari aneksasi sehingga ini yang sekarang sedang diperjuangkan oleh Bangsa Papua dan kami tidak asal perjuangkan setengah-setengah,” ungkapnya kepada wartawan di sela-sela aksi demo damai KNPB di Halaman kantor DPRP, Rabu (1/9) kemarin.

“Kami datang untuk memberikan dukungan IPWP dan ILWP yang sudah mendapat sesi bicara di dalam sidang umum PBB tahun 2010 yang akan dimulai tanggal 3 September 2010. Kami datang menyampaikan itu secara sopan dan mempunyai etika sopan santun dan kami yakin bahwa Indonesia tidak akan menyetujui dan meneruskan ini. Kami adalah manusia dan suatu bangsa. Kami mengetahui mekanisme,” tegasnya.

Oleh karena itu, pihaknya membangun etika sopan santun untuk menyampai secara baik-baik lewat mekanisme lembaga-lembaga Indonesia yang ada di tanah Papua untuk menyampaikan bahwa ini bukan rahasia bahwa perjuangan rakyat Papua diluar negeri sudah berjalan. “Tidak ada yang membuat rahasia dan hanya orang-orang tertentu yang membuat rahasia. Sekarang dunia sudah tahu dan materi gugatan Aneksasi dan Pepera sudah siap,”tukasnya.

Menurut Forkorus, dulu mungkin orangtua Papua kurang pengetahuan tapi sekarang tidak, karena masyarakat Papua sudah tahu bahwa hak masyarakat Papua dilanggar sehingga harus membenarkan itu.

Menyoal sikap DPRP, lanjut Fokorus, DPRP, Gubernur dan para bupati serta walikota di dalam mekanisme NKRI sudah ada sumpah janji supaya setia kepada NKRI namun pihaknya tidak memaksa dan menghargai itu.

Sementara dalam orasi politik saat aksi demo berlangsung menyatakan sikap prinsip bangsa Papua untuk memisahkan diri dari NKRI, sebab ini nilai bobot politik dengan prinsip HAM dan demokrasi dengan prinsipnya dijamin. Selain itu, kemerdekaan bangsa Papua siap untuk memisahkan diri dari NKRI merupakan harga mati dan tidak perlu tawar menawar untuk kepentingan NKRI.

“Otsus adalah illegal dan tidak berlaku bagi Propince of West Papua. Soal kegagalan otsus tersebut maka harus dicabut dan memang gagal total,” koar salah satu orang yang berorasi.

Selain itu, suara bangsa Papua mendesak supaya segera mengakui tuntutan dan kedaulatan bangsa Papua untuk referendum atau penyerahan tanpa syarat. (nal/fud)

Ratusan Massa Padati Lapangan Sinapuk Wamena

WAMENA-Ratusan massa yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) memadati lapangan Sinapuk Wamena, Rabu (1/9). Massa yang dikoordinir oleh KNPB wilayah Pegunungan Tengah Papua ini tiba di Lapangan Sinapuk Wamena sekitar pukul 10.30 WIT.

Massa membawa sejumlah spanduk dan pamplet yang bertuliskan: Referendum adalah solusi terbaik untuk menyelesaikan status politik Papua, Kami bukan melayu kami Melanesia, Pepera 1969 cacat hukum dan moral, Kami Bangsa Papua Barat mendukung gugatan status politik Bangsa Papua Barat untuk menempuh jalur hukum Internasional dan tulisan lainnya.

Sebelum orasi, kegiatan tersebut diawali dengan ibadah syukur yang dipimpin pdt Philipus Soma, setelah ibadah dilanjutkan dengan orasi-orasi dari beberapa perwakilan lembaga.

Menurut Ketua KNPB Wilayah Pegunungan Tengah Papua, Simeon Dabi, kegiatan yang pihaknya gelar merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap upaya yang dilakukan oleh IPWP dan ILWP yang membawa persoalan Papua ke mahkamah international.

“Aksi ini adalah bagian dari dukungan rakyat Papua yang ada di Pegunungan Tengah untuk mendukung IPWP dan ILWP yang membawa masalah Papua ke PBB 3 September 2010, dimana kegiatan ini tidak hanya dilaksanakan di dalam negeri tetapi juga di luar negeri seperti Australia, Belanda dan Inggris,”jelasnya kepada wartawan seusai orasi.

Dengan aksi tersebut kata Simeon Dabi, pihaknya berharap semua persoalan Papua dapat diselesaikan melalui jalur hukum internasional, karena persoalan Papua tidak bisa diselesaikan secara nasional.

“Sampai sekarang masalah Papua jika dibicarakan secara nasional tidak ada selesainya, sehingga satu-satunya jalan adalah harus dibicarakan di tingkat international, dengan begitu persoalan Papua bisa diselesaikan secara bermartabat,”tandasnya.

Ditempat yang sama Koordinator Umum Warpo Wetipo mengungkapkan, aksi kali ini dihadiri sekitar 600 massa yang berasal dari berbagai komponen mulai dari kalangan pemuda, aktivis, mahasiswa dan masyarakat umum yang ingin berjuang mendapatkan kebenaran dan keadilan.
Setelah orasi massa meninggalkan tempat dengan mendapat pengawalan dari personil Polres Jayawijaya. (lmn/nan)

Persoalan Papua Harus Melalui Hukum Internasional

Ditulis oleh Iwan/Papos

WAMENA [PAPOS] – Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Pegunungan Tengah, Semen Dabi menegaskan agar banyaknya persoalan di Papua harus diselesaikan secara bermartabat melalui jalur hukum internasional, karena menurutnya hukum di Indonesia tidak dapat menyelesaikan persoalan yang menimpa rakyat Papua saat ini

Hal tersebut dijelaskannya ketika menggelar ibadah bersama yang dipimpin oleh Pdt.Philipus Sama dan dihadiri oleh sekitar seribuan masyarakat di lapangan Sinapuk Wamena, Rabu (1/9) ibadah itu menurutnya sebagai ucapan syukur dan mendukung atas adanya perwakilan rakyat asli Papua (IPWP) yang akan menyampaikan aspirasinya di sidang tahunan PBB pada tanggal 3 September nanti.

Dabi kembali menjelaskan bahwa aksi solidaritas semacam ini akan berentetan dilaksanakan dengan agenda yang sama tapi tentunya melalui intruksi bersama dari kawan-kawan yang ada di luar negeri, “Kiranya agar masyarakat Papua dapat menyatukan hati dan pikiran, karena suara rakyat adalah suara Tuhan, “ujarnya

Sementara koordinator lapangan KNPB, Warco Wetipo menuturkan bahwa ibadah syukuran ini juga sebagai bentuk solidaritas sebagai sesama masyarakat Papua yang juga kegiatan semacam ini menurutnya juga dlaksanakan bukan hanya di Wamena dan beberapa wilayah di Indonesia saja tapi bersifat internasional karena bahkan diadakan pula di beberapa negara seperti Ingggris, Belanda dan Australia.

Sebelumnya KNPB menurut rencana akan menggelar demo, tapi karena tidak adanya ijin dari pihak Polres Jayawijaya, sehingga hanya mengadakan ibadah akbar di lapangan Sinapuk, walaupun akhirnya kegiatan ini kadang pula diselingi oleh orasi dari beberapa pengurus KNPB itu sendiri serta digelarnya spanduk-spanduk yang dibawa oleh masyarakat diantaranya bertuliskan ‘referendum adalah solusi bagi raklyat Papua”, Pepera 1969 adalah cacat hukum”. [iwan].

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny