Tolak Otsus dan DOB di Papua, Rakyat Paupa Minta Merdeka

Rakyat Papua Dari dua Provinsi bersama Mahasiswa/i dan Generasi milenial Se-Tanah Papua Menolak dengan Tegas adanya Revisi UU OTSUS NO 21 Tahun 2021 dan DOB (Daerah Otonom Baru) di atas tanah papua.

Dari pertemuan para pejabat se-tanah papua di atas, menurut hemat pikir kami rakyat tertindas hanyalah keberpihakan kepentingan diri sendiri.

Dan untuk menambah devisa kekayaan pribadi mereka dgn jakarta bukan untuk kepentingan rakyat papua seutuhnya.

Sesuai dengan UU OTSUS NO 21 Tahun 2001 Pasal 77, dimana hak dan kewenangan penuh menentukan otsus berhasil atau tidak itu adalah hak dan kewenangan rakyat papua itu sendiri, tampa harus ada dari manapun yang menginterfensinya,

Maka apapun keputusan yang di ambil oleh rakyat memiliki keputusan mutlak yang harus dilaksanakan dan di jalankan oleh pemerintah tampa harus mengurangi atau menambah.
Sudah terlihat jelas kurang lebih 60 tahun semenjak operasi trikora 19 desember 1961 setelah papua mendeklarasi kemerdekaannya dari belanda 1 desember 1961, dan lahirnya otsus tahun 2000-2001 hingga saat ini tidak pernah membawa perubahan yang siknifikan yang membuat orang papua benar2 percaya jakarta.

Disini ada beberapa poin penting yang harus di lihat oleh jakarta dan pemerintah daerah bagaimana rakyat papua itu benar2 tidak lagi percaya terhadap pemerintah jakarta dan ingin mengurusi rumah tangganya sendiri tampa harus melibatkan jakarta dan pemerintah daerah perpanjangan tangan jakarta.

  1. Rakyat papua dengan suara tegas 100% menolak Revisi UU OTSUS NO 21 Tahun 2001 dan DOB (daerah otom baru) yang di lakukan oleh DAP bersama MRP dalam bentuk petisi rakyat papua tolak otsus dan DOB.
  2. Rakyat papua dengan suara tegas 100% menolak Revisi UU OTSUS NO 21 Tahun 2001 dan DOB (daerah otonom baru) di tanah papua yang di selenggarakan oleh MRP DAN DPRP dalam bentuk RDP (rapat dengar pendapat) rakyat papua di dua provinsi dan RDPU ( rapat dengar pendapat secara umum) rakyat papua di seluruh tanah papua.
  3. Mahasiswa/i dan generasi milenial seluruh Papua dengan suara tegas 100% menolak Revisi UU OTSUS NO 21 Tahun 2001 dan DOB (daerah otom baru di tanah papua dengan cara melakukan pesta demokrasi/mimbar bebas dll.

Di karenakan rakyat papua menilai Otsus dan DOM hanya sebagai kepentingan jakarta dan segelintir para penguasa kapitalisme dan neokolonialisme di tanah papua, tapi bukan untuk kesejahteraan rakyat papua yang sebagaimana di rindukan oleh rakyat papua itu sendiri.

Solusinya:

Berikan hak penentuan nasib sendiri bagi kami bangsa papua untuk dapat menentukan nasib kami sendiri dan kehidupan generasi kami di masa yang akan datang


Free West Papua

MAS IWAN – “HOMRATKU UNTUK TPNPB-OPM”

Hormat untuk kalian yang bertahan dihutan (TPNPB-OPM), digunung yang terus berjuang, aku menundukkan kepala dengan takjub. Kalian adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran tertinggi dalam berjuang..level sebuah kesadaran yang tidak kami daptkan disini.

Perjuangan kalian dalam membebaskan diri dari bentuk kolonialisasi yang di kemas lewat jargon kosong nasionalisme-NKRI, tak lebih dari kedzoliman kapitalisme/ imperialisme yang tengah dijalankan oleh rezim bonekanya di indonesia. Perjuangan yang membutuhkan militansi yang sangat tinggi, kesadaran yang melampaui intelektual di negri kami. Mengapa?. Karena disini kami masi dalam takaran memperdebatkan sebuah platform, sebuah isu anti imperialis/kapitalis & borjuasi reformis gadungan boneka dari imperialis. Tapi kau!, sudah melampaui kesadaran kami, sebuah tindakan nyata, kongkrit hasil dari kesimpulan dari literatur lusinan buku-buku progresif. meninggalkan semua akan subyektifisme.. Cita-cita yang cukup mulia dari takdir sejarah yang memang harus kau lakukan untuk mendapatkan tanah air merdeka Papua.

Disini hanya segelintir manusia sadar..sisanya gerakan sampah & kami masih terus belajar memahami literatur-literatur yang ada di buku untuk sebuah pembebasan.

Sedangkan sisa manusianya disini tidak pernah terbongkar kesadarannya dalam berjuang, asik dengan kemiskinannya kerja cari duit…kerja cari duit, itulah cerminan dari manusia disini yg Ahli dalam Menderita, keburu tunduk pada penindasan selama faedahnya belum dirampas. Karna itu rasa takjubku pada kalian yang mengangkat senjata dalam berjuang, menjadi catatan terpenting dalam sejarah yang terus bergerak maju.

Mereka yang bilang kalian frustasi, sebetulnya adalah mereka yang disini yang frustasi karna tak melakukan apa-apa dalam sistem penindasan selama ini, selain hanya berkonsultasi pada rumah akademiknya yang tak memberikan solusi apapun juga.

Hormatku sekali lagi buat kalian cukup dalam. Hidup Sosialisme, Hidup Perjuangan bagi rakyat tertindas. Salam Pembebasan!

Hidup Perjuangan Rimba Hutan, yakni Perang TPNPB-OPM yang selalu eksis melawan kekuasaan yang menindas. 😇🌻✊✊✊

Hormat

Camerad Iwan Penthol

Catatan Bung Iwan Penthol – “HOMRATKU UNTUK TPNPB-OPM”

Hormat untuk kalian yang bertahan dihutan (TPNPB-OPM), digunung yang terus berjuang, aku menundukkan kepala dengan takjub. Kalian adalah orang-orang yang mempunyai kesadaran tertinggi dalam berjuang..level sebuah kesadaran yang tidak kami daptkan disini.

Perjuangan kalian dalam membebaskan diri dari bentuk kolonialisasi yang di kemas lewat jargon kosong nasionalisme-NKRI, tak lebih dari kedzoliman kapitalisme/imperialisme yang tengah dijalankan oleh rezim bonekanya di indonesia. 

Perjuangan yang membutuhkan militansi yang sangat tinggi, kesadaran yang melampaui intelektual di negri kami. Mengapa?. Karena disini kami masi dalam takaran memperdebatkan sebuah platform, sebuah isu anti imperialis/kapitalis & borjuasi reformis gadungan boneka dari imperialis. Tapi kau!, sudah melampaui kesadaran kami, sebuah tindakan nyata, kongkrit hasil dari kesimpulan dari literatur lusinan buku-buku progresif. meninggalkan semua akan subyektifisme.

Cita-cita yang cukup mulia dari takdir sejarah yang memang harus kau lakukan untuk mendapatkan tanah air merdeka Papua.

Disini hanya segelintir manusia sadar..sisanya gerakan sampah & kami masih terus belajar memahami literatur-literatur yang ada di buku untuk sebuah pembebasan. Sedangkan sisa manusianya disini tidak pernah terbongkar kesadarannya dalam berjuang, asik dengan kemiskinannya kerja cari duit…kerja cari duit, itulah cerminan dari manusia disini yg Ahli dalam Menderita, keburu tunduk pada penindasan selama faedahnya belum dirampas. Karna itu rasa takjubku pada kalian yang mengangkat senjata dalam berjuang, menjadi catatan terpenting dalam sejarah yang terus bergerak maju.

Mereka yang bilang kalian frustasi, sebetulnya adalah mereka yang disini yang frustasi karna tak melakukan apa-apa dalam sistem penindasan selama ini, selain hanya berkonsultasi pada rumah akademiknya yang tak memberikan solusi apapun juga.

Hormatku sekali lagi buat kalian cukup dalam. Hidup Sosialisme, Hidup Perjuangan bagi rakyat tertindas. Salam Pembebasan! 

Hidup Perjuangan Rimba Hutan, yakni Perang TPNPB-OPM yang selalu eksis melawan kekuasaan yang menindas

FRI West Papua Indonesia Support for West Papua Self-Determination

Support the right to self-determination for West Papua!

Greetings of National Liberation of West Papua!

Amolongo, Nimo, Koyao, Koha, Kinaonak, Nare, Yepmum, Dormum, Tabea Mufa, Walak, Foi Moi, Wainambe, Nayaklak

Wa…wa…wa…wa…wa…wa..wa..wa..wa..wa!

“Independence is truly the right of all nations and thus colonialism in the world must be abolished since it contravenes the sense of humanity and justice”

Thus says the Preamble of the Indonesian Constitution of 1945. In reality, however, West Papua shows the opposite. The West Papuan people have experienced colonialisation of the Unitary State of the Republic of Indonesia.

Although the Indonesian people were subjects to the Dutch colonialisation, the Japanese fascism and the white supremacy, the memory of the past oppression is not able to turn the government of Indonesia to be more humane. Manipulation of history, discrimination, torture, imprisonment, and extermination – all have been done systematically for more than fifty years.

What is happening in Papua?

The majority of Indonesians believe that West Papua is Indonesia. It is not true! West Papua is not Indonesia. There is no happiness for the West Papuans as long as they become part of Indonesia. It is not possible for the West Papuans to live normally if manipulation and deceit of history persist, racial discrimination has been entrenched in every aspect of lives, genocide continues in a systematic way, and extortion of natural wealth destroys the livelihood and the culture of West Papuans.

1. Manipulation and deceit of history

On 27 December 1949 when the Netherlands transferred the sovereignty to Indonesia, West Papua was a non-governing territory as the United Nations and the Netherlands, which was then the colonial administrator, recognised.

The West Papuans declared its independence on 1 December 1961. It was then the West Papuans established its national parliament of New Guinea. The Government of Soekarno, however, did not recognise the declaration and claimed it as a puppet nation by the Dutch hands. Therefore, Soekarno launched its annexation over West Papua through Trikora (three peoples’ commands) program.

In 1963, when Indonesia took over the administration of West Papua, the territory remained under the status of a non-self-governing colony, which was entitled to exercise their right to self-determination under international law. Under the 1962 New York Agreement, Indonesia recognised this situation and thus confirmed the fact that Indonesia had no legal right over Papua. Indonesia’s presence in West Papua was a colonial administration that could continue only if the West Papuans had opted for integration in accordance with international standards.

The only exercise of the right to self-determination for West Papuans thorough PEPERA in1969 was invalid. It was invalid because only 1022 individuals (4 individuals did not take part) were involved in the plebiscite, which was less than 0.2% of the Papuan population. Moreover, they had been put under pressure in order to express their consent to integrate with Indonesia.

Since the annexation was invalid, West Papua never became legitimate part of Indonesia. It remains a non-self-governing territory under a colonial administration of Indonesia.

2. Racial discrimination

The West Papuan people have experienced racial discrimination inside and outside Papua such as the Papuan students in Manado and recently in the Papuan students’ dormitory in Kamasan, Yogyakarta. They also experience racial discrimination in workplace, government and business sectors.
The racist attitude towards the West Papuans was already expressed by Ali Moertopo in 1966 long before the PEPERA. “Indonesia doesn’t need Papuans. Indonesia only needs the land and natural resources of Papua. If Papuans want to be independent, go ahead to find a new island somewhere in the Pacific or ask the Americans to give them a space in the moon for them to live.”

When a senior Indonesian official makes a racist statement, such a statement will be implemented by its lower level officials. This is what happened to Obby Kogoya, a Papuan student who was studying in Yogyakarta, when the Indonesian police stomped him on his head while calling him ‘ape’.

3. Slow motion genocide

For more than 53 years, more than 500,000 Papuans have been executed. It started during the Trikora and continues with eradication of the Fery Awom’s movement in 1967.
In the highlands of Agimuga, the Indonesian army shot at the Papuans randomly and dropped bombs in 1977 since the people raised the Morning Star flag. The location was then blocked and isolated from any contacts with outsider that caused starvation to the people. Thousands of people died of starvation.

Similarly, extrajudicial killings continued in Enarotali, Obano, Moanemani, Wamena, Waropko and Mindiptana that caused some 10,000 refugees crossed the border to Papua New Guinea between 1977-1978 until early the 1980s.

Artist and activist Arnold C. Ap who promoted the Papuan culture was arrested in 1984 by Kopasandha. His body was found in the bush nearby Jayapura.

Papua was declared under martial law in 1978 that lasted until 5 October 1998. The status caused systematic killings and forced migration of West Papuans to Papua New Guinea.

Following the 2nd Papua Congress in 2000, the killing of Papuan leaders by the Indonesian state apparatus continued. Theys Eluay, for instance, was kidnapped and his body was thrown in the bush nearby Jayapura. Kelly Kwalik was assassinated in Timika even though he was unarmed. Petrus Ayamiseba was killed in Timika during the strike of Freeport workers in 2011. Mako Tabuni, the leader of KNPB, was shot dead by the Indonesian police after being framed to leave the KNPB secretariat. Robert Jitmau who criticised Jokowi for not meeting his promise in building a market for the Papuan women in Jayapura was run over by car until he died. The killing is being disguised in hit and run accidents and suicides.

The result of slow-motion genocide is reduction of the population of the indigenous Papuans to 48,7% of the total West Papuan population.

4. Arbitrary arrests, torture and imprisonment

During the period of 2016, more than 4,000 Papuans were arbitrarily arrested. In 1998, Dr Thomas Wanggai, the founder of the Papua Independence of the 14 Stars died in the Cipinang prison. Dozens of Papuan political prisoners were jailed in dire conditions. Filep Karma, who was jailed for more than a dozen years, testified, “I was hit, tortured and stripped naked”.

The Indonesian state authorities also commit torture and rape against the Papuans. Before a victim was killed, like Yawan Wayeni, his stomach was slit so that intestines were burst out. The leader of KNPB Sorong was killed and his body was wrapped into a gunny sack and thrown to the sea. A number of academic research have revealed that more than 431 cases of torture were committed by members of the Indonesian military and police.

5. Extortion of natural wealth

From the economy point of view, the extortion of natural wealth of Papua is enormous. For instance the forest of Wasior has been exploited illegally by the military and a number of logging companies so that the customary land of the locals has been confiscated. The complaint of the locals were met with shootings by the police that killed six people. The Wasior tragedy occurred during April-October 2001.

It also covers Freeport Indonesia whose the largest shares are under the possession of the US based Freeport McMoran since the 1960s. The gold and copper mine has contributed through their tax payment between USD 700-800 millions per year and even USD 1 billion. Let alone various ethnic groups of Papua who lost their land due to the MIFEE projects, such as Mahuze clan in Merauke.

West Papua is a nation

In the course of history of 1961, 1963, 1969 and post PEPERA’s oppression, we have to acknowledge: first, the presence of Indonesia in Papua is illegal; second, colonisation has been going in the last fifty years; third, West Papua is a nation.

A nation is constituted by a stable community which shares common languages, territory, livelihood, psychological change and is manifested in a common culture.

Deceit and manipulation of history, discrimination, imprisonment, extermination and genocide as well as lip service of the Special Autonomy will not deter the struggle and commitment to independence of the West Papuans. On the contrary, the West Papuans are united and their political strength are represented in the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

The experience of oppression and struggle that has been manifested in the form of ULMWP demonstrate that West Papua is a nation.

It is hypocrisy if we or the Government of Indonesia are committed to support the liberation of Palestine but remain silent to the ongoing colonisation inside the territory of Indonesia. Therefore, there is no other reason to argue that West Papua is part of Indonesia both international law and political argument.

Why is important to be in solidarity with West Papua?

First, the world will become a better and more beautiful place if every nation does not live under colonisation and could cooperate in democratic, fair and equal ways.

Second, what we see in West Papua is a systematic and inhumane oppression. When we talk about humanity but let colonisation continue in Papua, we are actually promoting inhumanity.

Third, our solidarity with the West Papuans to determine their own fate is part of democratization of the Indonesian people who struggle for the consciousness of civilized humanity of the people and nation of Indonesia.

Fourth, our solidarity with the West Papuans to determine their own fate is part of the fight against imperialism and international corporations that support colonisation of Indonesia over West Papua.

Fifth, our solidarity is part of the fight against racism towards anyone, including the West Papua nation.

Sixth, there is no other way to end the practice of colonisation and militarism in West Papua than supporting the right to self-determination.
Seventh, there is no other way to end slow motion genocide in West Papua than supporting the right to self-determination.

What should be promoted?

Taking into account of the reality of West Papua, we believe that the ways to liberate West Papua are as follows:

1. To support the West Papua nation to exercise their right to self-determination through a referendum. The participation to referendum will be decided by the West Papuans through their political representatives, ULMWP.2. To support the membership of ULMWP in the Melanesian Spearhead Group, Pacific Island Forum and struggle for a membership status to the United Nations.

3. As an inseparable condition, to withdraw organic and non-organic military from West Papua so that referendum can be held in a peaceful, fair and free from repression.

4. Freedom of information, expression, association and opinions of the West Papuans have to be guaranteed.

5. We oppose any imperialist intervention during the democratic struggle of West Papua.

6. We call on the international community to build solidarity with the struggle for the right to self-determination of West Papua.

7. We encourage the Indonesian people who live in West Papua to support the struggle of West Papuans in exercising their right to self-determination.

8. We oppose the racial politics endorsed by the Indonesian state and the Indonesian military and police in a systematic way against the West Papuans.

9. Free education, expansion of schools and universities, free health services, and cheap and mass transportation have to be provided for the West Papuans.

Finally, let us, the people of Indonesia, West Papua and the world, united to end the manipulation of history and suffering in West Papua.

Long live West Papua nations! 
Long live West Papuan people!

Jakarta, 29 November 2016

Surya Anta 
Spokesperson of FRI-West Papua

The Indonesian People’s Front for West Papua (Front Rakyat Indonesia for West Papua – FRI-West Papua) is made up of the People’s Liberation Party (PPR), the Indonesian People’s Center of Struggle (PPRI), the Student Struggle Center for National Liberation (Pembebasan), the Indonesian Cultural Society Union (SeBUMI), the Socialist Study Circle (LSS) and the Solidarity Net Association.

Mahasiswa Papua Tuntut Tambang Freeport Ditutup dan Referendum

KBR, Jakarta– Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua mendukung upaya tujuh Negara Pasifik yang bakal membawa berbagai macam masalah Papua ke Dewan HAM PBB. Koordinator aksi, Samsi Mahmud mengatakan, cara itu ialah satu-satunya jalan penyelesesaian berbagai macam masalah di Papua terutama masalah pelanggaran HAM.

Samsi juga mendesak Pemerintah Presiden Jokowi untuk memberikan hak penentuan nasib sendiri bagi bangsa Papua.

“Kita juga akan menyampaikan kepada rakyat Indonesia, kepada Pemerintah Indonesia terkait dengan kehendak rakyat Papua yaitu menentukan nasib sendiri adalah solusi demokratik untuk masa depan rakyat dan bangsa kita ini. Dan bagi kami terkait dengan persoalan-persoalan yang ada di Papua, solusinya adalah kehendak menentukan nasibnya sendiri bagi rakyat Papua,” ujarnya saat berorasi di depan Kantor Perwakilan PBB untuk  Indonesia, Jakarta, Jumat (03/03).

Koordinator aksi, Samsi Mahmud  juga mendesak Pemerintah Presiden Jokowi untuk menarik seluruh kekuatan militer termasuk kepolisian di seluruh wilayah Papua. Kata dia, keberadaan kekuatan militer   justru semakin membuat Papua rentan pelanggaran HAM.

“Kami meminta dan harus ditindak lanjuti soal penuntasan seluruh kasus pelanggaran hak asasi manusia di tanah Papua. Seluruhnya tanpa terkecuali termasuk yang terbaru soal konflik sengketa Pilkada di Intan Jaya,” ucapnya.

Dia menambahkan, penutupan PT Freeport juga menjadi harga mati. Pasalnya kata dia, keberadaan Freeport di Papua tidak  memberikan dampak apapun kepada warga Papua di sekitar perusahaan. Kemiskinan dan diskriminasi kata dia tidak mengalami penurunan di sana padahal daerah tersebut sangat kaya akan sumber daya alam.

“Saat Pemerintah Indonesia menerbitkan izin eksplorasi dan eksploitasi tambang Freeport melalui Kontrak Karya I yang diterbitkan pada 7 April 1967 itu, rakyat dan bangsa west Papua tidak dilibatkan. Padahal status West Papua belum secara resmi diakui Internasional sebagai bagian dari wilayah Indonesia,” tambahnya.

Editor: Rony Sitanggang

Bagikan berita ini :

FRI West Papua dan AMP aksi di 7 kota, dukung 7 negara Pasifik di Dewan HAM PBB

Jayapura, Jubi – Mendukung sikap tujuh negara Pasifik terhadap persoalan West Papua di Dewan HAM PBB, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI West Papua) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menggelar aksi di beberapa kota di Indonesia, Jumat (3/3/2017)

“Kami memberikan dukungan terhadap tujuh negara Pasifik. Kami berharap, masalah-masalah Papua di antaranya pelanggaran HAM harus dimasukkan dalam sidang PBB,” demikian ujar Samsi coordinator aksi FRI West Papua di Jakarta via teleponnya kepada Jubi, Kamis (2/3/2017).

Menurut Ketua AMP Kota Yogyakarta, Abbi Douw kepada Herman Degei yang melaporkan untuk Jubi dari Yogyakarta (3/3) aksi berlangsung di setidaknya di 7 Kota di Jawa dan Maluku Utara. “Selain di Yogyakarta, hari ini aksi di beberapa kota lain di Indonesia seperti Semarang, Malang, Jakarta, Bandung, Pulau Taliabu, dan Ternate. Kalau di Pulau Taliabu (Maluku Utara) kemarin juga mereka turun aksi dan hari ini,” ungkapnya.

Aksi solidaritas tersebut menyusul pidato Menteri Kehakiman dan Pembangunan Masyarakat Vanuatu, H.E. Hon Ronald Kay Warsal, mewakili 7 Negara Pasifik meminta perhatian PBB atas situasi keseluruhan West Papua di hadapan Sidang Dewan HAM PBB ke-34, Rabu (1/3).

“Tuan Presiden, mencermati berbagai pelanggaran (HAM) dan lambatnya tindakan pemerintah Indonesia, kami serukan kepada Dewan HAM PBB untuk meminta Komisioner Tinggi HAM membuat laporan terpadu atas situasi aktual di West Papua,” ujar Warsal.

Dalam pernyataan sikapnya, FRI West Papua dan AMP menyoroti beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang menjadi fondasi sejarah bagi berbagai masalah pelanggaran HAM di Papua selanjutnya. Peristiwa pelanggaran HAM tersebut seperti Trikora 1961, New York Agreement 1962, dan Pepera 1969.

Sejak saat itulah, tulis mereka, dominasi militer terus menguat di Papua dan pelanggaran HAM seperti pembunuhan Arnold Ap, Thomas Wanggai, Theys Eluway, Mako Tabuni, dan berbagai kebijakan operasi militer (DOM) penangkapan, penembakan kilat dan penyiksaan adalah konsekuensi dari dominasi tersebut.

Mereka juga menyebut Kontrak Karya PT. Freeport sebagai pelanggaran HAM karena dilakukan sebelum Pepera 1969 sehingga bersifat ilegal.

Aksi di Yogyakarta dan Semarang

Di Yogyakarta, menurut laporan Herman E. Degei kepada Jubi, Jumat (4/3), AMP Komite Yogyakarta bersama FRI-West Papua menggelar aksi Mimbar Bebas di Bundaran UGM Yogyakarta.

“Aksi mimbar bebas yang digelar mulai pukul 10.00-11.35 WIB itu dijaga ketat oleh ratusan gabungan Aparat Keamanan, Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat Paguyuban Seksi Keamanan Kraton (FKPM Paksi Katon), juga Ormas Pemuda Pancasila Yogyakarta,” tulis Herman dalam pantauannya.

Bahkan, lanjutnya, sekitar pukul 11.09 WIB, seorang Mahasiswa Papua, Decki Derek Degei, nyaris direpresi oleh beberapa Ormas saat sedang menyebar selebaran aksi ke setiap pelintas jalan raya. Namun, Degei dilepaskan setelah Emanuel Gobai, Kuasa Hukum LBH Jogja bernegosiasi dengan pihak keamanan.

Setelah itu sempat terjadi adu mulut antara massa aksi dengan pihak Ormas. “Namun tak ada kekerasan fisik,” tulis Herman.

Di Semarang, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Semarang-Salatiga yang melakukan aksinya dari Patung Kuda Universitas Diponegoro Kota Semarang meyoroti soal PT. FI tersebut.

Koordinator aksi Zan Magay, mengatakan, “PT. FI milik negara imprealis Amerika melakukan kontrak karya secara sepihak antara pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat pada tahun 1967, pada waktu Papua masih wilayah sengketa,” ujarnya.

AMP Semarang-Salatiga dalam aksinya menyatakan tidak menghendaki PT. FI diperpanjang kontraknya. “Mahasiswa Papua menuntut agar ditutup. Karena PT. Freeport pembawa malapetaka bagi rakyat Papua,” ujar Magay.

Enam santri ikut ‘kawal’ aksi di Malang

Di Malang, seperti dilansir Merdeka.com (3/3) puluhan massa Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan FRI West Papua sempat saling berhadapan dengan beberapa santri pondok pesantren di Balai Kota Malang berbendera merah putih, dengan pengawalan ketat pihak keamanan.

Massa AMP dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) membentangkan spanduk bertuliskan Aksi Bersama Mendukung Masalah Papua ke Dewan HAM PBB, Usir dan Tutup Freeport.

Juru bicara AMP dan FRI-West Papua, Wilson mengatakan, aksinya mewakili masyarakat Papua atas keresahan selama ini menyangkut eksploitasi SDA dan pelanggaran hak politik.

“Sumber daya alam milik masyarakat Papua, tapi sampai saat ini tidak dapat dinikmati masyarakat Papua,” kata Wilson dikutip merdeka.com, Jumat.


Sementara sebanyak enam orang yang menamakan diri santri Pondok Pesantren Yayasan Darul Hikmah Kebonsari Kota Malang bermaksud menghadang aksi AMP dan Fri West Papua tersebut. Mereka mengaku mengadang aksi yang dinilai mengancam disintegrasi bangsa itu.

Mereka mengawasi jalannya aksi dari awal hingga akhir. “Silakan kalau lebih jauh menghubungi pimpinan Pondok kami,” tegas Hadi Widiyanto, salah seorang santri tersebut. Dilansir Merdeka.com, para santri tersebut tampak membawa megaphone. Namun hingga aksi selesai tidak digunakan untuk berorasi.(*)

Perjuangan Papua Merdeka Setelah Dukungan FRI West Papua: 2016 Tahun Mujizat Papua Merdeka

Dukungan sangat terbuka dan lantang dari rakyat Indonesia lewat FRI West Papua untuk sebuah West Papua yang merdeka dan berdaulat di luar NKRI merupakan sebuah langkah maju diplomasi atas kerja-keras yang dilakukan oleh anak muda, generasi penerus bangsa Papua.

Dukungan yang datang dari Indonesia ini, selain sebagai hasil kerja-keras generasi muda, kita juga harus menyambutnya sebagai sebuah mujizat, karena mujizat ialah sesuatu yang terjadi di luar akal-sehat. Sulit dijelaskan, tetapi adalah sebuah fakta mutlak. Mujizat ini terjadi setelah bangsa Papua bersatu dalam ULMWP, yang disusul dengan mujizat berikut yaitu ULMWP diterima sebagai anggota MSG.

Mujizat tidak berhenti di situ, selanjutnya PIF juga mencantumkan masalah West Papua di dalam komunikenya. Tidaksampai di situ, sebuah koalisi dibentuk di kawasan Pasifik, Pacific Coalition for West Papua dipimpin PM Somon Islands.

Tidak lama kemudian, dukungan terhadap Papua Merdka membanjiri sidang Umum PBB yang baru saja berlangsung di New York.

Baru setelah itu, dukungan dari rakyat Indonesia disampaikan secara terbuka, dan wadah FRI West Papua dibentuk. Benar-benar, mujizat demi mujizat telah kita lalu. Maka tidak-lah salah, kalau Papua Merdeka News, sebagai media pemberita Papua Merdeka tertua menyebut Tahun 2016 sebagai Tahun Mujizat Papua Merdeka.

Komunikasi yang sudah dibangun, hubungan yang sudah ada, perlu dikembangkan dan dipelihara. Kita harus secara terus-menerus memberikan dukungan moril dan terutama dukungan doa dan dukungan finansial kepada para pejuang Papua Merdeka di pulau Jawa, dipimpin oleh FRI West Papua.

Kini FRI West Papua telah menajdi organ penting, sama persis dengan PNWP, KNPB, AMP, ULMWP, NRFPB, WPNA, dan sebagainya. Mereka telah berdiri secara sah sebagai wadah perjuangan Papua Merdeka. Mereka bukan sekedar simpatisan, bukan sekedar pendukung, tetapi mereka adalah bagian dari perjuangan ini, mereka pejuang Papua Merdeka, karena kami sama-sama ada di dalam wilayah Indonesia, dan sama-sama menentang hukum dan kedaulatan NKRI, dari dalam wilayah hukum Indonesia.

Para simpatisan dan pendukung adalah mereka yang ada di luar negeri, dan menyampaikan dukungan kepada yang berjuang di dalam dan berhadapan langsung dengan aparat, pemerintah dan hukum NKRI, dalam dalam negeri. Oleh karena itu FRI West Papua patut dijadikan sebagai wadah perjuangan Papua Merdeka, sejajar dengan organ perjuangan lain, dan didukung seperti organ perjuangan lain pula.

Yang jelas, kita semua harus setuju, sebuah fakta perjuangan bahwa dukungan dari Indonesia ini mengandung makna lebih daripada dukungan-dukungan yang ada dari negara-negara barat mana-pun selama ini. Oleh karena itu, jangan kita bermental budak sebagai bangsa jajahan, jangan kita tunjukkan mental budak dengan lebih mementingkan dukungan Inggris dan Amerikat Serikat. Dukungan dari rakyat Indonesia justru lebih penting, terpenting di atas dukungan lain dari manapun.

Oleh karena itu organ perjuangan Papua Merdeka di Tanah Papua dan di luar negeri, seharusnya melibatkan dan mendukung penuh FRI West Papua. Dan kami jamin, mujizat itu pasti berlanjut, kalau saja kita ikut petunjuk Tuhan dan alam sekitar.

Indonesian push for education about Papua history

RadioNZ – A Jakarta-based group says Indonesians need to learn more about the way West Papua was incorporated into the republic.

The newly-established Indonesian People’s Front for West Papua, or FRI West Papua, this week declared its support for West Papuan liberation from Indonesian rule.

Made up of non-Papuans, the group said that the universal right to self-determination was denied in the case of West Papua.

Surya Anta of FRI West Papua
Surya Anta of FRI West Papua Photo: supplied

Its spokesman Surya Anta says Indonesians are not well educated about what he calls the illegitimate takeover of Papua.

“Government never talks and ever teaches in schools or universities about the Act of Free Choice in 1969. Even though they aren’t talking about it, they say that the Act of Free Choice in 1969 is a democratic process.But in 1969 there was pressure on the people of Papua.”

Surya Anta said the Act of Free Choice was illegitimate because only 0.2 percent of the population participated and it did so under duress.

The Indonesian government however said the incorporation of Papua into the republic was UN-sanctioned and final.

It said since the democratisation of the country, inroads were being made on improving the living conditions and social services available in Papua.

But discontent among Papuans regarding Indonesian rule, and momentum for a review of the way Papua was subsumed into the republic, appear to be growing.

FRI West Papua is one of a number of civil society and student groups planning to demonstrate in Jakarta today to mark West Papua’s Flag Day, December 1st.

It’s 55 years since the Morning Star flag was first flown officially in West Papua, as the indigenous people of the former Dutch New Guinea declared independence.

However the 1961 declaration was soon eclipsed by a US-brokered agreement between the Dutch and Jakarta which paved the way for an Indonesian takeover.

The Morning Star was subsequently banned in Indonesia.

While to raise the flag in Papua still risks incurring a hefty jail term, many West Papuans and supporters abroad look to mark this anniversary by raising the Morning Star on this day.

Surya Anta: Kami, orang Indonesia, memberi hormat dan permintaan maaf terhadap kawan-kawan Papua …

https://papuapost.news.blog/wp-content/uploads/2016/12/e0d29-surya2banta.jpg
Surya Anta saat berorasi di hadapan massa aksi FRI-West Papua dan AMP, di lapangan Polda Metro Jaya, Jakarta (1/12)

PembebasanBandung, 4 Desember 2016 — Pada 1 Desember 2016, Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) hendak melakukan aksi menyuarakan Hak Menentukan Nasib Sendiri bagi Rakyat Papua di Bunderan Hotel Indonesia, Jakarta. Namun, baru tiba di perempatan Graha Mandiri, massa aksi yang berjumlah 200 lebih itu dihadang barisan polisi bersenjata lengkap, berpakaian sipil, dan jumlahnya berkali-kali lipat dari massa aksi. FRI-West Papua dan  AMP dilarang berunjuk rasa di Bunderan HI. Hanya karena mengenakan ikat kepala bintang kejora, polisi kemudian merangsek ke barisan massa aksi, mengambil atribut tersebut sembari memukul massa aksi. Dalam situasi chaos itu, sepuluh kawan kami diciduk, dipukuli, ditendang, lalu dibawa ke markas Polda Metro Jaya.

Menuntut 10 kawan kami dibebaskan, seluruh massa aksi menyerahkan diri. Di lapangan Sabhara Polda Metro Jaya, tempat massa aksi menunggu pembebasan 10 kawan yang ditangkap, akhirnya kawan kami dibebaskan. Di sana tampak kawan-kawan kami babak belur menghampiri massa aksi. Di sana pula, Surya Anta menyampaikan orasinya yang kemudian ditranskrip oleh salah satu anggota Pembebasan KK Bandung, Uga Kumito. Berikut transkrip orasi Surya Anta:

Wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa..

Kami, orang-orang Indonesia, memberi hormat dan permintaan maaf terhadap kawan-kawan Papua dan Rakyat dan bangsa Papua. Kami meminta maaf karena banyak tentara kami, polisi kami, telah membunuhi orang-orang hitam rambut keriting. Kami meminta maaf, tapi bukan berarti kami akan duduk dan diam saja. Kami akan tetap bersama kalian.

Kenapa? Karena dalam konstitusi kami, sudah termaktub bahwa kemerdekaan ialah? HAK SEGALA BANGSA. Kemerdekaan adalah? HAK SEGALA BANGSA. Dan sesungguhnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang lahir karena melawan kolonialisme, karena melawan fasisme Jepang, karena melawan rasisme kulit putih.

Kami sekarang sedang belajar lagi apa itu demokrasi. Kami sekarang sedang belajar lagi apa itu kemanusiaan. Kami sekarang sedang belajar lagi apa itu artinya militansi dan pengorbanan.

Hari ini kita dipukul, orang-orang Indonesia yang ada di sini. Tapi bagi kami, sumbangsih kami tidak lebih dari seujung kuku. Kenapa? Penderitaan orang-orang Papua sudah begitu dalam! Setiap hari dibunuhi, setiap hari diculik, setiap hari ditabrak lari, setiap hari ada yang dibuat gantung diri, ada yang diperkosa.

Masih ingat kawan Yawan Wayeni? Ususnya terburai tapi ia masih saja berlari dan tentara langsung menembaknya. Masih ingat kawan Yustinus Mulebu? Masih ingat kawan Kelik Kwalik? Ia diserahkan ke polisi tapi setelah itu [brimob] menembaknya.

Kami dipukul, saya dipukul. Tapi bagaimanapun, dipukuli, ditendang, tapi bagaimanapun, itu belum seujung kuku pengorbanan Rakyat Papua.

Orang-orang Indonesia harus belajar lagi demokrasi. Orang-orang Indonesia harus belajar lagi semangat melawan kolonialisasi. Orang-orang Indonesia harus belajar lagi bagaimana melawan situasi dalam ketakutan. Kami sedang belajar dari kawan-kawan Papua. Terima kasih atas pelajarannya.

Hormat!

Hidup Papua! Hidup Papua! Hidup bangsa Papua! Hidup bangsa West Papua! Terima kasih. Hormat diberi.

Wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa.. wa..

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny