Yamin Kogoya: Capturing the mind – Anatomy of a Papuan Genocide

YAMIN KOGOYA

CANBERRA – The colonial notion of ‘civilising primitive Papuans’ has distorted Papuan perceptions of the world and themselves.

This distortion began with how New Guinea and its people were described in early colonial literature: unintelligent pygmies, cannibals and pagan savages – people devoid of value.

Not only did this depiction foster a racist outlook but it misrepresented reality as it was experienced and understood by Papuans for thousands of years.

Colonial literature says almost nothing of the value or the virtue of the people of New Guinea. Indeed it was the first attack against the humanity of Papuans.

Papuans have been dislocated from the centre of their cultural worldview and placed on the fringes of the grand colonial narrative.

They remain at the margins of the civilisational project – trapped by colonial symbols, images and vocabularies.

Only now have we come to understand that there is nothing grand about such projects.

The colonisers, however, continue the myth of their grand narrative of ‘civilising the world’.

It remains in their religious doctrines and legends, in their cultural and racial ideologies and is ultimately enforced by their weaponry.

This pernicious colonial cultural lens has been used to launch a program of the dehumanisation and re-humanisation of Papuans.

‘Papua-phobia’ is the cultural lens. It is conveniently used as a Procrustean Bed, an arbitrary and ruthless coercion of fitting people into an unnatural configuration.

Under this scheme, the allegedly ‘primitive’ Original Papuans will be destroyed and reconstructed in another image.

Our father, Bernard Narokobi (1943-2010) – the eminent Melanesian philosopher and jurist who was a central figure in Papua New Guinea’s transition from territory to independent nation – was conscious of this problem.

In his seminal work, The Melanesian Way, Narokobi asked, “Will we see ourselves in the long shadows of the dwindling light and the advanced darkness of the evening dusk, or will we see ourselves in the long and radiant rays of the rising sun? We can choose, if we will.”

But the Papuan people have been given no choice.

Indonesia attempted to answer Narokobi’s question by forcing Papuans to view themselves through the lenses of Pembangunan (development) and Kemajuaan (progress).

Indonesians frame these concepts as good news to assure Papuans of their salvation.

But, under their guise, Jakarta poisons Papuans with unhealthy food, alcohol, drugs, pornography, gambling and the ammunition used against them.

The rest of the world idly watches this genocide while exploiting West Papua’s resources for themselves.

These tragic circumstances have led to the destruction of Papuan clans and tribes, languages and cultural information – handed down orally – about their original world.

Papuans are facing the same fate as the Indigenous populations of Australia, Canada, America,and New Zealand if they remain in Indonesia.

Colonisers of the West and East are conditioning Papuans to feel guilty of their identity and existence, and they have institutionalised this guilt as a virtue.

Colonisers market guilt and virtue as a means of legitimising their deep psychological control over the colonised and oppressed.

The colonisers act as narcissistic sociopaths: they promise development, happiness or even heaven, while they commit genocidal and homicidal acts against Papuans.

They portray themselves as the ‘civilised’ and the oppressed as the ‘uncivilised’ – a psychological manipulation that allows them to avoid accountability for the cultural destruction they wreak.

Indonesia’s labelling of Papuans as criminals has its roots in this pathological colonial mindset.

Jakarta makes Papuans sick, then it diagnoses, prescribes and provides medication to cure the same illness it caused.

Jakarta exterminates Papuans by controlling both poison and antidote.

And so Papuans are cut off from their roots and float like waterlilies on the surface of Indonesia’s settler colony – they appear free and vibrant, but in reality their roots have been severed.

Growing up in my village, I had no idea I was black and Papuan, or that being black and Papuan was bad, until I moved to the colonial towns and cities.

From that moment on, I knew I was living in a system designed to oppress and alienate people like me.

On both the Eastern and Western sides of this illegal colonial border, Papuans still live in a state of an induced coma.

Papuans in West Papua are being reprogrammed to think of themselves as Asians, while Papuans in Papua New Guinea are being reprogrammed to think of themselves as Australians.

As a result, Papuans have been physically, unnaturally, linguistically and philosophically dislocated from the centre of their own stories and forced to live in the stories of others.

We are being held captive within this imaginary, illegal colonial border.

As long as we remain in this colonial induced coma, we will forever be beggars on our streets, while thieves from the West and East continue to drain the blood of our ancient lands, seas and forests.

One of the martyred great sons of Africa, Steve Biko, warned us: “The most potent weapon in the hands of the oppressor is the mind of the oppressed.”

Article- https://www.pngattitude.com/2022/01/anatomy-of-the-papuan-genocide-capturing-the-mind.html?fbclid=IwAR1UTw4bHLCgkLl_fyMMHggxMFHj-2Ct0BJO5R8rO-VA6DoE3bNUI16raEg

Pola hidup OAP Telah Tercemar oleh Gaya dan tradisi Orang Pendatang

Ya, benar, ini sebuah tragedi kemanusiaan yang telah menimpa salah satu kelompok manusia di muka Bumi, bernama bangsa Papua, ras Melanesia, yaitu bahwa “Pola hidup OAP Telah Tercemar oleh Gaya dan tradisi Orang Pendatang Melayo-Endo”

Pertama, kita lihat dan kita alami setiap hari, dari apa yang kita makan,semua orang Papua hari ini makan nasi, IndoMie dan makanan Malayo-Endos. Pada acara kenegaraan maupun acara keluarga, semua orang Papua hari ini lebih suka merayakan hari-hari penting dan hari-hari biasa dengan memakan nasi dan sayur ala orang Melayu. Sudah lupa dan bahkan sudah menganggap ketinggalan zaman kalau makan Ubi (erom) dan Sagu/ Papeda.

Yang ada di dalam perut sendiri sudah makanan non-Papua, jangan harap apa yang keluar dari dalam tubuh yang diisi dengan makanan asing itu adalah asli Papua. Iti bohong.

Terlihat dari pola makan OAP. Dan kedua gaya bahasa OAP yang sudah jauh melenceng jauh dari gaya hidup dan budaya OAP.

Kedua, sampai hari ini, dalam setiap acara-acara besar yang digelar di pesisir maupun gunung Tanah Papua tidak ada nuansa asli yang menonjol yang menceritrakan gaya hidup manusia pibumi Papua.

Ini merupakan suatu ancaman kepunahan sistem kebudayaan di Papua . Nilai budaya bukan barang hiasan untuk dipampang pada saat tertentu, namun harus mewarnai kehidupan setiap hari. Jika nilai benda budaya orang Papua dipakai hanya untuk momen-momen tertentu, berarti kita sedang terpenjara dalam sistem kebudayaan Bangsa Lain

Pola hidup orang Asli Papua telah tercemar dengan gaya dan tradisi orang Pendatang (Indo-Melayu). Terlihat dari pola makan dan gaya bahasa yang sangat melenceng jauh dari gaya hidup kebudayaan OAP. Sampai hari ini, dalam setiap acara-acara besar yang di gelar di pesisir pantai maupun gunung

Salam Perlawanan OAP….alam Perlawanan OAP….

Uskup-uskup Katolik Minta Maaf Akan Genosida di Rwanda

voaindonesia – PIhak Gereja Katolik di Rwanda hari Minggu meminta maaf akan perannya dalam genosida tahun 1994, dan menyesali aksi mereka yang terlibat dalam pembantaian itu.

Gereja Katolik di Rwanda hari Minggu meminta maaf akan peran gereja itu dalam genosida tahun 1994, dan menyesali aksi mereka yang terlibat dalam pembantaian itu.

“Kami meminta maaf atas segala kesalahan gereja. Kami meminta maaf atas nama seluruh umat Kristiani atas segala bentuk kesalahan yang kami lakukan. Kami menyesal karena para anggota gereja melanggar sumpah setia mereka atas perintah-perintah Tuhan,” kata pernyataan Konferensi Uskup Katolik, yang dibacakan di paroki-paroki di seluruh negeri.

Pernyataan itu mengakui bahwa para anggota gereja merencanakan, membantu dan mengeksekusi genosida, dimana lebih dari 800,000 etnis Tutsi dan Hutu moderat dibunuh oleh ekstremis Hutu.

Banyak korban tewas di tangah pastor, biarawan dan biarawati, menurut penuturan saksi mata. Dan pemerintah Rwanda mengatakan banyak korban tewas di gereja-gereja dimana mereka mencari perlindungan.

Pernyataan uskup-uskup itu dianggap sebagai perkembangan positif dalam upaya rekonsiliasi di Rwanda. [vm]

Laporan PBB: ISIS Lakukan Genosida pada Yazidi

Penulis: Sabar Subekti 15:26 WIB | Jumat, 17 Juni 2016

SATUHARAPAN.COM – Sebuah laporan PBB mengungkapkan bahwa kelompok militan Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS atau ISIS) melakukan genosida terhadap kelompok minoritas Yazidi di Suriah dan Irak. Mereka melanggar hukum kemanusiaan dan hukum perang.

Hal itu diungkapkan oleh peneliti Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang disampaikan hari Kamis (16/6). Laporan itu menyebutkan ISIS menghancurkan komunitas agama itu dengan membunuh, melakukan perbudakan seks dan kejahatan lain terhadap sekitar 400.000 orang Yazidi.

Disebutkan bahwa militan ISIS (atau Daesh dalam bahasa Arab) secara sistematis mengumpulkan Yazidi di Irak dan Suriah sejak Agustus 2014. Mereka berusaha “menghapus identitas mereka” dalam serangan mereka dan hal itu memenuhi definisi tentang kejahatan genosida sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Genosida 1948.

“Genosida terhadap Yazidi sedang berlangsung,” kata laporan setebal 40 halaman yang berjudul “Mereka Datang untuk Menghancurkan: Kejahatan ISIS terhadap Yazidi.” Laporan itu didasarkan pada wawancara dengan korban, pemimpin agama, penyelundup, aktivis, pengacara, tenaga medis, dan wartawan, serta bahan dokumen yang luas.

Berniat Memusnahkan Yazidi

“ISIS telah menangkap perempuan, anak-anak atau pria Yazidi dengan cara yang paling mengerikan dari kekejaman,” kata Paulo Pinheiro, Ktua Komisi Penyelidikan, pada keterangan pers yang dikeluarkan oleh Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR).

Analisis mereka menetapkan bahwa ISIS berniat, dan bertindak dengan perilaku yang bertujuan untuk memusnahkan kelompok berbahasa Kurdi itu, yang oleh militan dari kelompok Muslim Arab Sunni itu dilihat sebagai kafir dan “penyembah setan”.

The Yazidi adalah sekte keagamaan yang keyakinannya menggabungkan unsur-unsur dari beberapa agama Timur Tengah kuno. ISIS menganggap Yazidi kafir yang harus ditolak oleh Muslim. ISIS juga menyatakan bahwa perempuan Yazidi boleh diperbudak sebagai rampasan perang.

Tersedia Data Pelaku

“Temuan genosida harus memicu tindakan lebih tegas pada tingkat politik, termasuk di Dewan Keamanan (PBB),” kata Paulo Pinheiro. Laporan itu menyebutkan terkumpul informasi dan dokumen sebagai niat dan tanggung jawab pidana pada komandan militer ISIS, para jihadis, pemimpin agama dan ideologi, di mana pun mereka berada.

Anggota Komisi lainnya, Vitit Muntarbhorn, mengatakan telah memberikan informasi rinci tentang tempat, pelanggaran dan nama-nama pelaku, dan mulai berbagi informasi dengan beberapa otoritas nasional berusaha untuk mengadili para jihadis itu.

Keempat komisaris independen dalam penelitian itu mendesak negara-negara besar untuk menyelamatkan setidaknya 3.200 perempuan dan anak-anak masih ditahan ISIS dan membawa kasus tersebut ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

“ISIS tidak menutup-nutupi dan merahasiakan niatnya menghancurkan Yazidi dari Sinjar, dan itu adalah salah satu unsur yang memungkinkan kita untuk menyimpulkan tindakan mereka dalam skala genosida,” kata penyidik ​​lain, Carla del Ponte.

“Tentu saja, kami menganggap itu sebagai peta jalan untuk penuntutan, untuk penuntutan masa depan. Saya berharap bahwa Dewan Keamanan akan melakukannya, karena sekarang waktunya untuk memulai mendapatkan keadilan bagi para korban,”

kata del Ponte yang juga mantan penuntut kejahatan perang untuk PBB.

Bocah Yazidi yang muka dan rambutnya penuh debu setelah perjalanan dari melarikan diri dari ISIS edi Suriah hingga masuk ke Irak di Peshkhabour, Dohuk. (Foto: dari un.org)

30 Kuburan Massal

ISIS menyatakan sebagai khalifah, negara teokratis berdasarkan Islam Sunni menurut interpretasi mereka yang radikal. Mereka menyatakan kekhalifahan itu untuk daerah Irak dan Suriah. Daesh diketahui melakukan pembunuhan secara sistematis, menangkap dan memperbudak ribuan Yazidi, terutama perempuan dijadikan budak seks. Itu terutama dilakukan ketika mereka menyerbu kota Sinjar di Irak utara pada Agustus 2014.

Setidaknya ada 30 kuburan massal para korban ISIS yang telah ditemukan, kata laporan itu, dan menyerukan penyelidikan lebih lanjut.

Cara ISSI menghapus identitas Yazidi adalah dengan memaksa mereka memilih antara konversi (pindah agama) ke Islam dan akan dihukum mati. ISIS juga memperkosa gadis-gadis, bahkan anak berusia sembilan tahun, menjual perempuan di pasar budak, dan menyuruh anak laki-laki untuk berperang, kata laporan PBB itu.

Dijual di Pasar Budak

Laporan juga menyebutkan bahwa perempuan Yazidi diperlakukan sebagai “budak” dan dijual di pasar budak di Raqqa, Homs dan lokasi lainnya. Beberapa di antara mereka dijual kembali ke keluarga dengan tuntutan tebusan antara 10.000 dolas AS sampai 40.000 dolar AS, setelah mereka ditawan dan beberapa perkosaan.

ISIS juga membuka “lelang budak secara online,” menggunakan aplikasi Telegraph terenkripsi yang memuat foto perempuan dan anak perempuan Yazidi yang ditahan, bahkan lengkap “dengan rincian usia mereka, status perkawinan, lokasi saat ini dan harganya.”

“Korban yang melarikan diri dari ISIS di Suriah menggambarkan bagaimana mereka diperkosa secara brutal, sering dialami setiap hari, dan dihukum jika mereka mencoba melarikan diri dengan dipukul keras, dan kadang-kadang pemerkosaan dilakukan oleh kelompok,”

kata Komisaris Vitit Muntarbhorn.

“Tidak ada kelompok agama lain di daerah yang dikuasai ISIS di Suriah dan Irak yang telah mengalami kehancuran berat, terutama kaum Yazidi yang paling menderita,” kata laporan itu.

Pinheiro menekankan bahwa tidak boleh ada impunitas atas kejahatan ini, mengingat kewajiban Negara berdasarkan Konvensi Genosida untuk mencegah dan menghukum pelaku genosida.

Komisi itu juga mendesak pengakuan internasional tentang genosida oleh ISIS, dan mengatakan perlunya perlindungan lebih bagi minoritas agama Yazidi di Timur Tengah.

Bangsa Papua Sedang Melawan Slow Motion Genocide

YOGYAKARTA, SUARAPAPUA.Com — Melalui Radio New Zealand (RNZ), dilansir RNZ (15/5/2016), Pdt. Socratez Sofyan Yoman menegaskan, bangsa Papua hari ini sedang mengalami ‘slow motion genocide’, genosida yang terjadi perlahan-lahan.

Menurut Yoman, bangsa Papua tidak tinggal diam. Bangsa Papua sudah, sedang, dan akan terus berusaha berupaya dan berjuang untuk tetap eksis dan hidup di atas tanah airnya.

Pendeta Zocratez yang adalah pimpinan Persekutuan Gereja-gereja Baptis di Tanah Papua ini dikabarkan bertemu dengan beberapa anggota perlemen dan dengan petinggi-petinggi agama di kawasan Melanesia dan Pasifik.

Dalam kesempatan wawancara dengan RNZ, Yoman juga mengaku kecewa terhadap sikap Ramos Horta, pejuang kemerdekaan Timor Leste yang datang ke Papua beberapa waktu lalu. Menurut Yoman, Horta, komentarnya usai mengunjungi Papua tidak menunjukkan kapasitasnya sebagai seorang pejuang yang pernah memimpin sebuah bangsa menuju kemerdekaan.

Yoman tidak sendiri bicara soal genosida di Papua Barat. Sebelumnya, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Agung Brisbane, Australia, pada 1 Mei 2016, telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul We Will Lose Everything.

Dokumen ini berisi catatan pelanggaran atas hak asasi manusia Papua di atas tanah airnya. Kesimpulan dari dokumen ini, adalah adanya genosida yang berjalan lambat, sedang terjadi di Papua, dan bangsa Papua terancam punah.

“Sistim hukum dan politik Indonesia tidak mau dan tidak mampu menangani pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia di Papua Barat,” kata laporan tersebut seperti dikutip suarapapua.com, Rabu (18/5/2016).

“Mereka (bangsa Papua) selalu hidup dalam ketakukan akan kekerasan dan merasa putus asa dengan jumlah mereka yang berkurang sangat cepat serta terus terpinggirkannya mereka secara ekonomi dan sosial,”

lanjut laporan ini.

Sebelumnya, Jim Elmslie, seorang akademisi dari Universitas Sidney, Australia, pernah melakukan penelitian di Papua dan mengeluarkan sebuah laporan dugaan pelanggaran HAM berat di Papua, berupa kepunahan bangsa Papua secara berlahan-lahan. Kesimpulan penelitiannya ini didukung oleh data statistik tentang komposisi kuantitas penduduk asli Papua dan non Papua.

Analisis statistik Elmslie dengan kuat memperlihatkan kesenjangan dari komposisi dari perkiraan total penduduk Papua tahun 2020: pendatang di Papua berjumlah 5.174.782 (71,1%) dan orang asli Papua di Papua hanya 2.112. 681 (28,99%). Elmslie menyebutnya, sebuah bencana demografis terparah, yang mengindikasikan adanya ‘slow motion genocide’.

Pemerintah Indonesia dalam berbagai kesempatan menegaskan bahwa pemerintahannya telah melakukan pendekatan kesejahteraan dalam menangani Papua. Misalnya, menanggapi soal laporan berjudul We Will Lose Everything, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan RI, Luhut Binsar Panjaitan, menanggapi dingin.

“Bila ada bukti awal, akan kita proses secara terbuka,” katanya singkat, dilansir rappler.com edisi 3 Mei 2016.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo terus menolak Tim Pencari Fakta dari Pasific Islands Forum (PIF) untuk datang ke Papua memantau langsung pelanggaran HAM. Bahkan ketua Melanesian Spearhead Group (MSG), Manasseh Sogavare. Indonesia beralasan, soal Papua adalah persoalan internalnya.

Untuk diketahui, genosida adalah sebuah pembantaian besar-besaran secara sistematis terhadap satu suku bangsa atau kelompok dengan maksud memusnahkan (membuat punah) bangsa tersebut. Kata ini pertama kali digunakan oleh seorang ahli hukum Polandia, Raphael Lemkin, pada tahun 1944. Kata ini diambil dari bahasa Yunani, genos (‘ras’, ‘bangsa’ atau ‘rakyat’) dan bahasa Latin caedere (‘pembunuhan’).

Genosida merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.

Genosida adalah istilah yang menggambarkan perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok mengakibatkan penderitaan fisikatau mental yang berat terhadap anggota kelompok, menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya, melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain

Ada pula istilah genosida budaya yang berarti pembunuhan peradaban dengan melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau menghancurkan simbol-simbol peradabannya.

Pewarta: Bastian Tebai

Editor: Arnold Belau

Sekjen PBB Terima Laporan Genosida di Papua

ISTANBUL, SATUHARAPAN.COM – Laporan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua yang menggambarkannya sebagai ‘genosida gerak lambat’ telah sampai ke tangan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) kemarin (25/5).

Laporan itu diberikan oleh Direktur Eksekutif  Pacific Islands Association for Non-Governmental Organisations (PIANGO),  Emele Duiturage, pada hari kedua Konferensi Kemanusiaan Dunia (World Humanitarian Summit/WHS) di Istanbul, Turki. Laporan itu diterimakan kepada asisten Sekjen PBB.

Menurut PACNEWS, Duituturaga menyerahkan laporan tersebut kepada Ban Ki-moon pada siang hari. Duituturaga mengatakan dirinya senang sempat melakukan percakapan singkat dengan Ban pada akhir KTT.

Penyerahan ini dilakukan setelah Duituturaga menyampaikan paparannya pada pleno WHS hari pertama, dimana ia menyerukan intervensi PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua.

“PIANGO adalah pendukung kuat pendekatan berbasis HAM dan kami berkomitmen untuk menegakkan norma-norma yang melindungi umat manusia, khususnya dalam kaitannya dengan berbicara tentang pelanggaran hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia internasional,”

kata dia.

“Di Pasifik, kami menghadapi konflik yang disebabkan tantangan kemanusiaan. Kami memuji penutupan kamp pengungsi di Papua Nugini, kami prihatin atas konflik di pusat penahanan Nauru dan kami meminta intervensi PBB untuk pelanggaran HAM di Papua,” kata dia.

Laporan ini pelanggaran HAM ini merupakan temuan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, yang dilansir secara resmi  pada hari Minggu (1/5) di Brisbane. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua  itu, mencuat rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Dalam laporan setebal 24 halaman itu,  salah satu rekomendasi mereka adalah “Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua.”

Laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar “negara-negara di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.”

Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

Misi pencarian fakta ini  mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga  mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. “Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja,” kata laporan itu.

“Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” demikian bunyi laporan tersebut.

“Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat,” kata laporan itu.

Selain menyampaikan keprihatianan tentang Papua dalam forum ini Duiturage juga menegaskan bahwa sebagai organisasi masyarakat sipil terkemuka, PIANGO mewakili LSM di 21 negara dan wilayah Kepulauan Pasifik, berkomitmen terhadap Agenda Kemanusiaan.

“Di Pasifik di mana 80 persen dari populasi berbasis di pedesaan, respon yang pertama dan  terakhir selalu respon lokal, karena itu kita perlu memperkuat kepemimpinan lokal, memperkuat ketahanan masyarakat dan memprioritaskan ulang lokalisasi bantuan.”

“PIANGO berkomitmen untuk memfasilitasi koordinasi yang efektif dari organisasi masyarakat sipil lokal dan nasional dengan peran pelengkap LSM internasional.”

KTT dihadiri oleh 9.000 peserta dari 173 negara, termasuk 55 kepala negara, ratusan perwakilan sektor swasta dan ribuan orang dari masyarakat sipil dan organisasi non-pemerintah. Konferensi berakhir pada hari Rabu (25/5).

Editor : Eben E. Siadari

Gereja Katolik Minta PBB Investigasi Pelanggaran HAM Papua

Penulis: Eben E. Siadari 13:21 WIB | Selasa, 03 Mei 2016

Rekomendasi penyelidikan terhadap pelanggaran HAM di Papua datang dari Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia.

Foto anak-anak Suku Dani di Papua, yang menjadi salah satu gambar ilustrasi dalam laporan Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Brisbane (Foto: Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Brisbane)

BRISBANE, SATUHARAPAN.COM – Setelah sebagian hasil temuan mereka ke Papua sempat jadi berita ramai di media massa bulan lalu, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, Australia, akhirnya melansir secara lengkap hasil temuan tersebut pada hari Minggu (1/5) di Brisbane dan hari ini di Jakarta. Dalam laporan yang diberi judul We Will Lose Everything, A Report of Human Right Fact Findings to West Papua itu, laporan ini menerbitkan rekomendasi yang cukup progresif, termasuk mendesak adanya campur tangan PBB terhadap pelanggaran HAM di Papua dan bagi upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.

Dalam laporan setebal 24 halaman itu, salah satu rekomendasi mereka adalah “Mendesak pemerintah-pemerintah di Pasifik, termasuk Australia, untuk mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen terhadap pelanggaran HAM di Papua.”

Selanjutnya, laporan yang merupakan hasil pencarian fakta yang dilakukan oleh Executive Officer Komisi, Peter Arndt dan Suster dari St Joseph Sydney, Susan Connelly, juga merekomendasikan agar “negara-negra di Pasifik, termasuk Australia, menekan pemerintah Indonesia secara langsung dan mengupayakan intervensi PBB untuk menyelenggarakan dialog antara Indonesia dengan para pemimpin rakyat Papua, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), untuk mengidentifikasi jalur yang kredibel bagi penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.”

Laporan ini dibuat setelah delegasi Komisi mengunjungi Merauke, Jayapura, Timika dan Sorong. Mereka berbicara dan mengorek keterangan dari penduduk Papua, termasuk saksi sejarah kecurangan pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969. Sebagian dari laporan ini telah beredar awal Maret lalu yang dilaporkan oleh catholicleader.com.au.

Misi pencarian fakta ini mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong. Bukan hanya soal HAM, laporan itu juga mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.

Laporan tersebut mengungkap secara rinci bagaimana tim pencari fakta mengunjungi sejumlah tempat dan orang di Papua, hingga tiba pada rekomendasi tersebut. Pelanggaran HAM di masa lalu yang terus berlanjut hingga kini diutarakan dalam bentuk narasi maupun angka.

Sebagai contoh, disebutkan bahwa pada tahun 1977 terjadi pengeboman dan kelaparan selama tiga bulan di dataran tinggi Papua, yang diperkirakan menewaskan 25.000 orang. Pengeboman juga terjadi pada tahun 1997 yang merusak ladang dan ternak, yang menyebabkan kelaparan dan kematian ribuan penduduk desa.

Pada 1998 dilaporkan terjadi pembunuhan terhadap pria dan wanita yang sedang berdoa untuk kemerdekaan. Selain itu, dicatat pula pembunuhan terhadap tokoh Papua seperti Arnold Ap (1984), Dr. Thomas Wainggai (1996) dan Theys Eluay (2001) dan Kelly Kwalik (2009).

Lebih lanjut, disebutkan bahwa dalam dekade belakangan ini terjadi pelecehan dan intimidasi terhadap sejumlah lembaga-lembaga kemanusiaan internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah, lembaga Cordaid dari Belanda dan Peace Brigades International. “Organisasi-organisasi ini diusir dari Papua karena mereka membela HAM di wilayah mereka bekerja,” kata laporan itu.

“Delegasi Komisi yang berkunjung ke Papua pada bulan Februari 2016 menemukan tidak ada perbaikan dalam situasi HAM. Laporan pelanggaran HAM oleh anggota pasukan keamanan Indonesia tidak berkurang dan status ekonomi dan sosial rakyat Papua tidak meningkat. Sistem politik dan hukum Indonesia tidak mau dan tidak mampu mengatasi pelanggaran HAM di Papua,” demikian bunyi laporan tersebut.

“Banyak yang berbicara tentang adanya genosida dalam gerak lambat,” kata laporan itu.

Diakui, laporan ini bermula dari kedatangan delegasi ULMWP ke Australia dan melakukan presentasi tentang yang terjadi di Papua. Seminggu setelah pertemuan, Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane mengirimkan tim ke Papua.

Sebetulnya, demikian laporan ini memberi alasan, pada tahun 2015 pemimpin negara-negara Pasifik Selatan yang tergabung Pacific Islands Forum (PIF) Leader Summit di Port Moresby telah merekomendasikan pencarian fakta ke Papua. Tetapi pemerintah Indonesia tidak mengizinkan. Padahal, salah satu tujuan Komisi mengirimkan delegasi ke Papua adalah untuk membangun hubungan dengan gereja di Papua untuk berkolaborasi di masa mendatang di sekitar isu HAM dan lingkungan.

Karena RI tidak bersedia menerima misi PIF, maka dapat dikatakan Komisi ini menjadi salah satu misi pencari fakta tidak resmi dari Pasifik yang mengunjungi Papua.

Lebih jauh laporan itu mengatakan gereja dan organisasi masyarakat sipil di Pasifik harus melanjutkan membangun jejaring solidaritas dengan mitra mereka di Papua untuk mendukung advokasi dan aksi terhadap pelanggaran HAM serta mengupayakan penentuan nasib sendiri bagi rakyat dan pemimpin Papua, ULMWP.

Di Indonesia, laporan tersebut diluncurkan secara resmi di Jakarta pada Selasa, 3 Mei, oleh VIVAT International Indonesia, sebuah lembaga advokasi international.

Selengkapnya laporan ini, dapat dilihat di link ini: We Will Lose Everything.

Editor : Eben E. Siadari

Perdasus Mengatur Pelarangan Miras, Bukan Pembatasan

Jayapura, Jubi – Pihak DPR Papua menyatakan, Paraturan Daerah Khusus (Perdasus) pengaturan Minuman Keras (Miras) yang disahkan dalam sidang paripurna tahun lalu mengatur mengenai pelarangan peredaran Miras, bukan membatasi.

Wakil Ketua I DPR Papua, Yunus Wonda mengatakan, meski Kementerian Dalam Negeri meminta DPR Papua dan Pemerintah Provinsi Papua agar Perdasus pelarang Miras itu lebih kepada pembatasan, namun parlemen Papua tetap akan memperjuangkan agar tak ada lagi Miras di tanah Papua.

“Perdasus itu melarang, bukan membatasi. DPR Papua tetap pada keputusannya, melarang Miras di Papua. Sudah banyak generasi Papua yang meninggal akibat Miras,” kata Yunus Wonda, Selasa (14/10).

Menurutnya, generasi muda Papua terus terpuruk karena Miras. Sehingga ada desakan dari semua pihak baik tokoh agama, maupun tokoh masyarkat yang meminta DPR Papua agar Perdasus Miras adalah pelarangan. Bukan pembatasan.

“Akhirnya DPR Papua putuskan agar pelarang dan mengesahkan Perdasusnya. Hanya, saja konsultasi ke Kementerian Dalam Negeri, pihaknya diminta untuk pembatasan. Pertanyaan kami, apakah harus tunduk pada aturan, sementara banyak anak Papua yang jadi korban akibat Miras juga,” ucapnya.

Kata Yunus, jika Aceh bisa menerapkan pelarangan Miras, kenapa Papua tidak. DPR Papua tak ingin generasi Papua jadi korban Miras. Apalagi jumlah orang Papua sudah sedikit.

“Kalau Aceh bisa, kami Papua juga harus bisa. Jangan ada diskriminasi di atas negara ini. Segala sesuatu bisa dilakukan di Aceh lalu kenapa Papua tidak,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Ketua II DPR Papua, Komarudin Watubun mengatakan, pelarang peredaran Miras di Papua memang bukan hal yang gampang.

“Meski ada regulasi melarang Miras masuk ke Papua, tidak ada jaminan orang untuk tidak menjual Miras di Papua. Ini yang harus diingat. Jika peredaran Miras di Papua harus dihentikan, harus ada perangkat yang mengawasi agar jangan ada Miras masuk Papua,” kata Komarudin kala itu. (Arjuna Pademme)

Penulis : Arjuna Pademme on October 14, 2014 at 23:49:24 WP, TJ

Rekonstruksi Pembunuhan Bigpol Levianus Ayomi DIduga Hanya Rekayasa

Merauke, Jubi (15/4)— Prarekonstruksi terhadap pembunuhan anggota polisi di Pospol Trikora, Brigadir Polisi (Brigpol) Levianus Ayomi beberapa waktu lalu oleh Polres Merauke, diduga hanya suatu rekayasa semata yang dilakukan Polres Merauke. Akasannya, banyak kejanggalan yang terjadi saat para pelaku memerankan adegan penikaman.

Dugaan itu dikatakan Uskup Agung Merauke, Mgr Nicolaus Adi Seputra, MSC, saat ditemui tabloidjubi.com di Sekretariat Keuskupan Selasa (15/4).

Menurutnya, berdasarkan keterangan beberapa saksi mata saat pelaksanaan rekonstruksi, pelaku atas nama TK, sepertinya masih mencari-cari sasaran penikaman. Begitu juga pemadaman stop contact. Para pelaku, masih mencari-cari tempat lagi. Juga beberapa kejanggalan lain.

Berdasarkan sejumlah kejanggalan itu, kata Uskup, pada tanggal 8 April 2014 lalu,dirinya bersama Aloysius Dumatubun datang ke Polres sekaligus meminta izin kepada Kapolres Merauke, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Sri Satyatama agar bertemu mereka yang katanya sebagai pelaku pembunuhan Brigpol Ayomi.

“Saya menyampaikan kepada Kapolres bahwa saya ingin membantu polisi mengungkap kebenaran siapa pelaku pembunuhan anggota polisi itu. Kami ingin mendengar secara langsung dari mulut mereka sendiri. Jadi, perlu didengar apakah benar mereka pelakunya atau bukan. Akhirnya, saya diizinkan bertemu mereka,”

ujar Uskup.

Awalnya, lanjut Uskup, pertemuan dilakukan bersama FP. Saat ditanya, dia mengaku bahwa dirinya termasuk pelaku dalam kasus pembunuhan Ayomi.

“Saya tanya kembali sampai tiga kali dan meminta untuk menjawab dengan sesungguhnya sesuai hati nurani. Dari situ, dengan polos mengaku, tidak tahu apa-apa dan dirinya hanya menyerahkan diri karena kasus percobaan pemerkosaan,”

tandasnya.

Berikutnya, jelas Uskup, AB yang ditanya. AB mengaku tidak tahu-menahu kasus pembunuhan tersebut. Saat kejadian, ia sedang mengikuti acara 40 malam di Jalan Natuna. “Saat itu, saya ditangkap dan pertanyaan yang mengarah kepada pembunuhan korban Ayomi. Bahkan, saya ditempeleng serta ditendang di salah satu rusuk serta kaki diinjak sampai luka,” kata Uskup menirukan pengakuan AB.

Lebih lanjut Uskup mengaku, setelah dua orang itu didengar keterangan, dia pun bertanya kepada TK dengan pertanyaan yang sama. TK mengaku tidak melakukan tindakan tersebut. TK mengaku memang pada tahun 2004 lalu dia pernah membunuh orang juga. Sejak itu, setiap ada kasus baru, namanya selalu dibawa-bawa, termasuk dalam kasus tewasnya Brigpol Ayomi. TK pun mengalami nasib serupa dengan dianiaya oknum anggota Polres Merauke.

Begitu juga dengan beberapa pelaku lain yang sudah ditangkap dan diamankan. Misalnya YT yang saat kejadian, sesuai pengakuan keluarga, sedang berada di Onggaya bersama salah seorang kakaknya mengambil pasir. Sehingga saat kejadian tidak berada di tempat.

Intinya, lanjut Uskup, saat kejadian para pelaku yang telah ditangkap dan diamankan Polres Merauke, berada di rumah masing-masing dan ada yang di tempat lain. Dengan demikian, mereka tidak terlibat secara langsung. “Saya tidak hanya mendengar keterangan dari mereka yang diduga pelaku. Tetapi bertemu secara langsung bersama isteri maupun keluarga mereka di rumah ,” tegasnya.

Uskup kembali menegaskan, dirinya juga kurang sependapat dengan tindakan yang dilakukan oknum anggota Polri yang melakukan penganiayaan terhadap para pelaku. Seharusnya, mereka diperlakukan secara manusiawi. Jadi, ketika mereka diperiksa pun, dengan ketakutan dan stres. Sehingga terpaksa mengakui telah melakukan pembunuhan terhadap korban. Padahal, tidak seperti demikian.

Secara terpisah Kapolres Merauke, AKBP Sri Satyatama yang ditemui di ruang kerjanya mengatakan, dalam bertindak dengan menangkap para pelaku, atas dasar hukum sesuai keterangan para saksi maupun alat bukti lain. “Ya, silakan saja para tersangka menyangkal. Kebenaran akan kita lihat saat putusan di pengadilan nanti,” ujarnya.

Kapolres mengayakan, kewajiban polisi adalah mengumpulkan alat bukti lain agar bisa membawa kasus dimaksud ke kejaksaan hingga pengadilan. “Jadi, kalau ada anggapan bahwa kami merekayasa kasus itu, sangatlah naif. Lagi pula, jumlah pelaku yang ditangkap, sudah empat orang,” tegasnya.

Kapolres membantah adanya enganiayaan selama proses pemeriksaan terjadap para tersangka. Namun, Kapolres mengakui setelah penangkapan memang ada pelaku yang sempat dipukul anak buahnya. “Karena mereka berusaha melarikan diri. Proses pemeriksaan juga tidak dipaksakan,” katanya sambil menambahkan, para pelaku didampingi pengacara, Efrem Fangohoy, S.H. (Jubi/Frans L Kobun)

Sidang MPL Desak Pemerintah Pusat Hentikan Proyek MIFE di Merauke

Kegiatan pembukaan MPL di Gereja Petra Merauke (Jubi/Ans)
Kegiatan pembukaan MPL di Gereja Petra Merauke (Jubi/Ans)

Merauke, Jubi (20/1)—Salah satu agenda sidang Majelis Pekerja Lengkap (MPL) yang dijalankan dan atau dilaksanakan dari tanggal 16-20 Januari 2014 di Gereja Petra Merauke dengan dihadiri utusan semua sinode di seluruh Indonesia adalah tidak lain mendesak kepada pemerintah pusat agar menghentikan proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang sedang dijalankan di Kabupaten Merauke.

Hal itu disampaikan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom saat memberikan keterangan pers kepada sejumlah wartawan media cetak dan elektronik di Sekretariat Gereja Petra Senin (20/1). “Atas desakan dari GKI dan GPI di Papua, maka persidangan meminta agar proyek MIFE di wilayah paling Timur Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini harus dihentikan,” tegasnya.

Diakui jika dalam persidangan berlangsung, ada input jika harus ditinjau kembali. Kalaupun tetap dipaksakan untuk dijalankan dan atau dilaksanakan, maka harus berbasis kepada masyarakat lokal dengan mengedepankan hak-hak orang Marind serta memperhatikan keseimbangan.

Dalam kesempatan tersebut, dibicarakan serta dibahas juga dengan perkembangan penduduk asli Papua yang disinyalir sangat tidak proporsional jika dibandingkan Negara PNG. “Kita sangat prihatin dengan perkembangan jumlah penduduk asli Papua yang tak proporsional itu. Belum diketahui apa penyebabnya dan sedang didalami serta dipelajari lagi,” tuturnya.

Persoalan lain yang dibeberkan dalam sidang, menurut Gultom, kemiskinan yang mendera kehidupan masyarakat orang asli Papua. Padahal, mereka memiliki alam sangat kaya dan sudah harus lebih maju jika dibandingkan dengan orang dari luar.

Sidang telah bersepakat untuk meminta kepada semua gereja di Indonesia agar secara bersama-sama dengan gereja di Papua meningkatkan kemajuan orang asli.
“Sebetulnya belum semua isu yang dijadwalkan dalam sidang MPL selesai dibahas. Baru beberapa agenda yang dibahas. Sisanya akan disampaikan setelah persidangan berlangsung malam ini,” tandasnya.

Dikatakan, ada beberapa agenda yang sudah disimpulkan bersama diantaranya, kesiapan panitia untuk sidang raya yang akan berlangsung di Nias pada tanggal 10-18 November 2014 mendatang. Selain itu, katanya, ucapan terimakasih sebesar-besarnya dari para peserta kepada paanitia MPL. Karena mulai dari proses penjemputan hingga pembukaan sidang beberapa hari lalu, berlangsung sangat baik. Dan, tidak hanya melibatkan yang beragama Kristen, tetapi juga non Kristen.

Bupati Merauke, Drs. Romanus Mbaraka, MT dalam sambutannya beberapa waktu lalu mengatakan, salah saru daerah yang paling aman dan memiliki toleransi sangat tinggi antar umat beragama adalah di Merauke. Banyak kegiatan yang telah dijalankan dan atau dilaksanakan, berjalan aman serta lancar. Tidak ada gangguan yang terjadi. (Jubi/Ans)

Author : Ans K on January 21, 2014 at 00:28:42 WP, BinPa, Editor : Victor Mambor

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny