BPSDM Papua Rancang Draf Migrasi

JAYAPURA—Terkait adanya pertambahan penduduk di provinsi Papua yang setiap tahunnya kian menunjukan peningkatan signifikan, Badan Pengelola Sumber Daya Manusia Papua (BPSDM) Provinsi Papua merancang draf peraturan penduduk.

Draf tersebut yang mengatur perpindahan penduduk ke provinsi Papua, hal itu diungkapkan Kepala Badan SDM Papua Provinsi Papua, DR. Zakharias Giay,SKM,M.Kes,MM kepada sejumlah wartawan saat menggelar Rapat Koordinasi Teknis ( Rakornis ) di salah satu hotel di Jayapura, Rabu (27/11/2013)

“Kami telah merancang draft migrasi pertumbuhan penduduk di Papua, hal ini guna peningkatan SDM di Papua, mengingat SDM di Papua masih sangat minim,“

ujarnya.

Pembahasan draft ini tentunya bukan hanya menjadi tugas dan tanggung jawab BP SDM Papua Provinsi Papua saja, akan tetapi juga seluruh instansi yang ada dalam pemerintahan provinsi Papua.

Berbicara masalah kemajuan SDM Papua menurut Giay, tidak hanya dalam lingkup pendidikan, akan tetapi meluas hingga pada tingkat ekonomi, oleh karenanya migrasi di Papua juga perlu dibahas.

Draft yang disusun instansi yang dilahirkan pada era Gubernur Barnabas Suebu ini kedepannya akan dibuat suatu peraturan Gubernur yang harus dipatuhi oleh seluruh masyarakat Indonesia, mengingat Papua merupakan daerah otonom, dimana pemerintah pusat memberikan hak kepada Papua untuk mengurus rumah tangga pemerintahannya.

“Sebenarnya kami ingin merancang suatu perdasi terkait migrasi kependudukan di Papua, akan tetapi hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan undang undang lain, oleh karenanya kami merancangkan suatu peraturan gubernur“,

jelasnya.

Sementara itu rancangan draft migrasi saat ini sudah berjalan, dan pihaknya mentargetkan akhir tahun depan sudah dapat diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Papua.

“Dalam draft tersebut juga dituliskan orang yang boleh masuk dan tinggal Papua,”

pungkasnya.(fg/lmn/hpp)

Jumat, 29 November 2013 – 10:25:41 WIB, Diposting oleh : Administrator, HarianPagiPapua.com

Perlu Ada Sensus Orang Asli Papua

Socratez YomanJAYAPURA-Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis (PGGB) Papua, Socratez Yoman, menyatakan dalam waktu dekat ini akan melayangkan surat terbuka kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, yang sifatnya Urgent/mendesak.

Dijelaskan, dalam isi suratnya itu, dirinya menyatakan bahwa melihat belakangan ini terjadi pemekaran kabupaten/kota dan provinsi di Papua dan Papua Barat, yang kenyataannya terkesan liar dan miskin prosedur administrasi di Tanah Papua.

Sehingga disini perlu adanya sensus untuk mengetahui jumlah penduduk asli Papua. Tujuannya untuk membuktikan berapa jumlah penduduk orang asli Papua yang sebenarnya. Pemekaran yang tidak melalui mekanisme dan prosedur syarat-syarat pemerintahan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM) , sumber daya alam (SDA).

Karena kondisi yang terjadi selama ini, ternyata wilayah yang sama, rakyat yang sama, tapi ada hadir dua atau tiga bahkan empat kabupaten, yang notabenenya pemekaran itu merupakan bagian dari operasi militer, operasi transmigrasi, politik pecah belah orang asli.

Ditandaskannya, total jumlah penduduk Papua saat ini sebanyak 3.600.000 jiwa, yang terbagi dalam, orang asli Papua 1.700.000 jiwa, dan orang pendatang 1.980.000 jiwa (jumlah penduduk di Jawa Barat hanya 30 juta jiwa).

“Jumlah penduduk asli Papua 1,7 juta jiwa itu apakah jumlah yang benar dan apakah lebih banyak membutuhkan pemekaran kabupaten/kota dan provinsi?,” ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Sabtu, (5/10).

Dengan demikian, jika Papua di tambah lagi tiga provinsi lagi (Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya). Maka jika dengan kondisi 5 provinsi, tentunya tiap provinsi hanya 736 jiwadan ini membuktikan bahwa Papua benar-benar daerah pendudukan.

“Kalau dimekarkan ini jelas tidak memenuhi syarat-syarat administrasi pemerintahan seperti wilayah, penduduk, SDM, dan SDA. Untuk membuktikan jumlah yang sebenarnya jumlah penduduk asli Papua, maka harus adanya Sensus penduduk yang melibatkan gereja-gereja dan LSM-LSM,” pungkasnya.(Nls/don/l03)

Senin, 07 Oktober 2013 05:57, BintangPapua.com

Di Yoka, Mayat Pria Tanpa Identitas Ditemukan

JAYAPURA– Seorang pria tanpa identitas dengan ciri – ciri berasal dari Pegunungan ditemukan tewas di Jalan Masuk Kantor Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Kota Jayapura, Kampung Yoka, Distrik Heram, sekitar pukul 06.00 WIT, kemarin pagi Rabu (13/3).

Penemuan mayat tanpa identitas itu berdasarkan informasi dari masyarakat dan ditindaklanjuti langsung oleh Tim Penyidik Opsnal Reskrim dan Anggota Lantas Polsek Abepura untuk melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP).

Dari lokasi kejadian, jasad korban itu mengenakan baju kaos lengan pendek berwarna putih, celana pendek levis warna biru dan mengalami luka lecet mata kaki sebelah kiri serta di sekitar lokasi kejadian ditemukan sebilah golok tanpa sarung, 1 Buah tas kecil warna hitam yang berisikan 1 buah botol minuman keras jenis saguer beserta sepeda Motor Yamaha Yupiter Warna Merah DS 3320 AT.

Berdasarkan hasil olah TKP tersebut, diduga korban meninggal akibat kecelakaan karena diduga kuat dipengaruhi miuman keras alias mabuk, dan selanjutnya jenazah korban dibawa ke kamar Mayat RSUD Abepura sambil menunggu pihak keluarga.

Menurut keterangan saksi, Fred Mebri yang juga seorang DPRD Kota Jayapura, awalnya ia hendak mengantarkan anaknya ke Sekolah dan tiba-tiba dilokasi kejadian melihat kerumunan orang, sehingga terpaksa berhenti.

Setelah melihat adanya sesosok mayat dalam keadaan terbaring di pinggir jalan langsung melaporkan ke Mapolsek Abepura. “Saya kaget melihat kejadian, sehingga saya langsung melaporkan ke Mapolsek Abepura untuk di evakuasi,” tukasnya.

Sementara itu, Kapolsek Abepura Kota, Kompol. Decky Hursepuny melalui Kanit Reskrim Polsek Abepura Kota, Ipda Jerry Koagouw, SH, ketika dikonfirmasi Bintang Papua melalui telepon selulernya, membenarkan adanya penemuan sosok mayat tanpa identitas tersebut. “Dari TKP kita tidak menemukan identitas korban, sehingga kita berusaha untuk mencari keluarganya dengan memajang foto di masing – masing asrama, yang kemungkinan ada yang mengetahui siapa keluarga korban tersebut,” ujarnya.

Ipda Jerry mengungkapkan, dari hasil olah TKP sementara, dugaan korban meninggal karena kecelakaan lalu lintas kasus ini diserahkan pihak Lantas Polsek Abepura Kota sementara untuk mengetahui siapa keluarga korban, sedangkan dari Reskrim akan berusaha mencarinya. (mir/don/l03)

Mayat Wanita itu Mendapat 18 Tusukan

JAYAPURA— Mayat perempuan tak dikenal berusia 40-an tahun yang ditemukan warga di Jalan Pasifik Indah, Tanjung Ria, Distrik Jayapura Utara, Jayapura Kota, Jumat (19/10) sekitar pukul 09.00 WIT, ternyata mengalami 18 tusukan benda tajam.

Kapolsekta Jayapura Utara AKP Karlos Roy Sawaki, SE ketika dikonfirmasi, Minggu (21/10) mengatakan, pasca otopsi korban mengalami luka tusukan benda tajam di sekujur tubuhnya. Antara lain di rusuk kiri 8 tusukan, di bagian dada 4 tusukan, kepala 2 tusukan serta di bagian tubuh yang lain.

Pasca penemuan korban, dia mengatakan, pihaknya masih melakukan penyelidikan sekaligus memintai keterangan para saksi yang menemukan korban guna mengungkap siapa pelakunya. “Penyidikan awal luka-luka tusukan yang dialami korban menunjukkan pelaku dan korban memiliki hubungan dekat. Pelaku kecewa sekaligus menganiaya korban lalu dibuang untuk menghilangkan jejaknya,” katanya. Menurutnya, pihaknya telah mengamankan barang bukti pakaian yang dikenakan korban serta anting-anting emas di telinga korban.

Sejak ditemukannya, kata dia, hingga kini mayat korban masih disemayankan di RSUD Dok II Jayapura, karena pihak keluarga ataupun kenalan korban belum mengambil mayatnya. Tapi apabila tak ada yang datang mengambil hingga Senin (22/10), Polsekta Jayapura Selatan bekerjasama dengan Pemkot Jayapura untuk mengebumikan korban. (mdc/don/l03)

Senin, 22 Oktober 2012 07:19, BP.com

EKSISTENSI BANGSA PAPUA TERUS DIANCAM

No Hpku: 081248172042

Eksistensi Rakyat Papua memang menjadi manusia yang terlupakan atau terabaikan dalam segala aspek. Hal ini dialami bangsa Papua karena wilayah Papua dicaplok, diduduki dan diintegrasikan ke dalam wilayah Indonesia dengan tujuan kepentingan ekonomi, politik, keamanan dan pemusnahan etnis Melanesia dan digantikan dengan etnis Melayu dengan Program Transmigrasi yang massif. Wilayah Papua dicerna dengan pendekatan keamanan, ketidakadilan, kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang tidak pernah menghormati martabat dan kehormatan manusia Papua. Stigma separatis, makar dan OPM adalah alat pembenaran diri bagi pemerintah dan aparat keamanan Indonesia untuk menindas penduduk asli Papua. Papua menjadi daerah tertutup bagi media asing dan juga diplomat asing.

Wilayah ini menjadi perhatian utama oleh semua orang dan semua media dari dalam dan luar negeri apabila terjadi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat keamanan atas nama integritas NKRI maupun perlawanan karyawan PT Freeport Indonesia yang menuntut untuk peningkatan kesejahteraan mereka. Bahkan menjadi perhatian juga ketika rakyat dan bangsa Papua mempertanyakan status politik mereka dan melakukan perlawanan terhadap pendudukan dan penjajahan Indonesia di atas Tanah Papua. Dalam bagian ketiga ini, rakyat Papua memandang Indonesia sebagai kolonial baru di Papua.

Kita mengikuti dan membaca di berbagai media cetak dan elektronik tentang keprihatinan dan kepedulian terhadap situasi kekerasan dan kejahatan kemanusiaan yang disampaikan oleh perorangan maupun atas nama institusi dan lembaga. Isi pesan, komentar dan masalah yang dimengerti dan disampaikan itu sangat beragam. Dari keberagaman persepsi itu membuat para pembaca menjadi bingung dan kabur tentang substansi akar masalah sesungguhnya yang diperjuangkan oleh rakyat dan bangsa Papua Barat selama ini.

Misalnya Muhammad Yusuf Kalla, mantan wakil Presiden RI, pada acara peluncuran buku karangan dr. Farid Husein yang berjudul: Keeping The Trust For Peace, Kisah dan Kiat Menumbuhkembangkan Damai di Aceh, pada 8 November 2011 di Hotel Sahid Jakarta, Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah masalah kesejahteraan. Semuanya sudah dikasih jadi mereka menuntut dan meminta apa lagi”. Orang yang sama pada acara di TVOne, pada 8 November 2011 malam dihadapan ratusan orang dan di dalamnya tokoh-tokoh Papua yang hadir,Kalla menyatakan: “ masalah Papua adalah persoalan kesejahteraan”. Pemahaman yang sama disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiah, M. Din Syamsuddin dan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Said Agil Siroj menyatakan: “ akar persoalan di Papua adalah ketidakadilan, terurama dalam kesejahteraan ekonomi. Kekayaan alam di wilayah itu dikeruk dan hasilnya dinikmati perusahaan asing dan pemerintah pusat. Rakyat setempat justru miskin dan kurang pendidikan….” (Kompas, Jumat, 11 November 2011).

Pemikiran yang disampaikan oleh Yusuf Kalla, Din Syamsuddin, dan Said Agil Siroj, adalah representasi tentang apa yang dipahami oleh Pemerintah Indonesia selama ini sebagai akar masalah Papua. Tetapi, pemahaman pemerintah Indonesia seperti ini keliru, salah dan melenceng jauh dari akar masalah yang sesungguhnya di Tanah Papua.
Seorang Dokter dan Pasien

Sebelum disampaikan akar masalah Papua yang sebenarnya, saya mencoba membuat satu analogi dari perspektif medis. Kalau orang sakit datang kepada dokter, langkah-langkah yang dilakukan seorang dokter adalah bertanya kepada pasien: namamu siapa? berapa usia? pekerjaan apa? kapan sakit? berapa lama sakit? sakitnya bagaimana? apa sebabnya sakit? rasanya bagaimana? apakah sudah minum obat? apakah sudah makan? tinggal dimana? dan sejumlah pertanyaan yang ditanyakan kepada pasien. Setelah bertanya, dokter mengambil langkah berikut yaitu, memeriksa pasien, mendiagnosa penyakit dan dokter menemukan sebab-sebab timbulnya penyakit pada pasien dan penyakitnya. Selenjutnya, dokter mempersiapkan obat untuk suntik pasien maupun untuk obat yang harus diminum oleh pasien. Dosis suntikan dan obat yang diberikan dokter kepada pasien juga harus sesuai dengan tingkat kesakitan pasien. Dokter tidak biasa memberikan obat dan suntikan yang tidak sesuai dengan tingkat penyakit.

Analogi ini saya tempatkan pemerintah Jakarta adalah ibarat dokter. Rakyat asli Papua adalah ibarat pasien yang sedang sakit. Jadi, pemerintah Jakarta adalah dokter yang salah. Dokter yang keliru. Dokter yang tidak professional. Dokter yang tidak menanyakan pasien dengan baik. Dokter yang langsung mengambil alat suntik dan memasukan cairan suntik pada pasien tanpa mengetahui penyakit pasien apapun. Dokter ambil obat sembarang tanpa melakukan diagnosa yang tepat tentang penyakit dan juga tanpa memperhitungkan dosis dan langsung memaksa pasien meminum obat. Berbagai kesalahannya, dinyatakan oleh Indonesia dengan memberikan obat Otonomi Khusus No. 21 Tahun 2001, obat Inpres, obat Keppres, obat Perataruran Pemerintah (PP), obat Triliunan rupiah, obat kekerasan dan kejahatan aparat keamanan, dan dokter yang sama membuat kesalahan fatal yang terbaru adalah obat Keputusan Peraturan Presiden Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Obat terakhir yang namanya obat UP4B ini adalah obat yang sudah tidak relevan lagi. Otonomi Khusus, walaupun obat yang masih ada relevansi tentang kebutuhan orang asli Papua tapi sudah gagal mengobati dan menyembuhkan luku-luka lahir dan batin penduduk asli Papua dalam Bingkai NKRI. Apa yang menjadi akar masalah bagi rakyat asli Papua?

Status Politik dan Sejarah Integrasi adalah Akar Masalah Papua

Lembaga Ilmu Pengetahun Indonesia (LIPI) dalam bukunya: Papua Road Map telah menemukan empat akar masalah Papua, dan yang paling mendasar adalah status politik dan Sejarah diintegrasikan Papua ke dalam wilayah Indonesia adalah substansi akar masalah Papua. Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang ditanda tangani oleh Pemerintah Belanda dan Indonesia yang dimediasi Pemerintah Amerika tanpa melibatkan orang asli Papua. Penyerahan Pemerintahan Sementara dari UNTEA (United Nation Temporary Executive Administration) pada tanggal 1 Mei 1963 kepada Indonesia sebelum pelaksanaan PEPERA 1969. Pelaksanaan PEPERA 1969 yang tidak sesuai dengan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 tetapi sesuai dengan sistem lokal Indonesia yaitu, “musyawarah” yang bertentangan dengan standart hukum Internasional yaitu “one man one vote”.

Prof. J.P. Drooglever, sejarahwan Belanda, telah melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 yang telah dinyatakan bahwa PEPERA 1969 adalah peristiwa lelucon yang sangat memalukan. Dr. John Saltford, akademisi Inggris, telah melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 di Papua Barat dan hasil kesimpulannya menyatakan: “ pengkhianatan dan penghinaan hak-hak politik rakyat dan bangsa Papua Barat”. Dr. Hans Meijer sejarawan Belanda melakukan penelitian tentang hasil PEPERA 1969 dan dinyatakan: “hasil PEPERA 1969 adalah sangat memalukan Indonesia dan Belanda”.

Kongresman Amerika Serikat dari Samoa, Eni Faleomavaega menyatakan: hasil PEPERA 1969 di Papua Barat harus ditinjau kembali. Anggota Parlemen Inggris, Hon. Andrew Smith dan Hon. Lord Harries mempertanyakan status politik Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui proses PEPERA 1969 yang penuh kebohongan dan manipulatif. Intelektual dan cendikiawan yang ternama dimiliki Kristen Katolik, Dr. George Junus Aditjondro, pada kesempatan peluncuran bukunya Sokrates Sofyan Yoman yang berjudul: West Papua: “Persoalan Internasional” di kantor Kontras Jakarta, 3 November 2011, dia menyatakan: “ PEPERA 1969 di Papua Barat tidak benar dan itu dimenangkan oleh aparat keamanan Indonesia bukan pilihan rakyat Papua tinggal dalam Indonesia. Jadi, tak ada pilihan lain, Papua harus referendum. Karena hanya referendum yang dapat menentukan apakah orang Papua masih ingin menjadi bagian dari Indonesia atau tidak”.

Menurut rakyat dan bangsa Papua Barat, semua perjanjian Internasional dan pelaksanaan PEPERA 1969 telah menghancurkan kemerdekaan dan kedaulatan yang telah dimilikinya. Seperti 1 Desember 1961 adalah hari kemerdekaan rakyat dan bangsa Papua Barat lengkap dengan atribut Negara dan bangsanya: yaitu: lagu: Hai Tanahku Papua; Bendera Bintang Pajar; Mata Uang, Lambang Negara, Nama bangsa: Bangsa Papua. Kemerdekaan ini dianeksasi oleh pemerinth Indonesia melalui Maklumat Trikora, Ir. Sukarno, di Yogyakarta, 19 Desember 1961.

Uraian singkat ini menjadi jelas bagi Pemerintah, TNI, POLRI, seluruh rakyat Indonesia, bahwa akar masalah Papua bukan persoalan kesejahteraan. Tetapi, akar masalah Papua yang sebenarnya adalah sejarah dan status politik Papua ke dalam Indonesia yang belum jelas sampai hari ini. Oleh karena itu, demi nama baik dan kehormatan Indonesia di mata dunia internasional, maka status politik Papua ke dalam Indonesia ini harus diselesaikan dengan dialog yang jujur dan terbuka antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang dimediasi pihak ketiga yang netral. Dialog damai harus dilaksanakan diluar bingkai NKRI, OTSUS, UP4B dan Papua Merdeka supaya penyelesaian berprospek damai dan manusiawi ditemukan.

Lomba Jubi Warnai Peringatan 1 Mei di Perbatasan RI-PNG

 Ditulis oleh (aj/aj/acowar  

Para peserta lomba memanah sat berpose bersama panitia. JAYAPURA—Peringatan 1 Mei sebagai hari kembalinya wilayah Papua ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tampaknya diperingati hingga di wilayah Perbatasan RI-PNG.perayaan tersebut dilakukan dengan pelaksanaan lomba jubi (memanah) dan turnamen bola voley.

Dalam lomba yang melibatkan masyarakat di delapan kampong, ditutup oleh Kepala Distrik Muara Tami Robby Kepas Awi.  “Dengan memperingati moment 1 Mei, adalah sebagai salah satu upaya kita menghormati jasa para pahlawan,” ujarnya saat memberikan sambutan yang diikuti ratusan warga masyarakat di Perbatasan RI-PNG.

Sementara itu, Ketua Panitia Peringatan 1 Mei, Lettu Inf. Dony Fransisco yang menjabat sebagai Danpos Perbatasan, mengatakan bahwa peringatan 1 Mei tersebut dilaksanakan untuk menumbuhkan dan mempertebal jiwa nasionalisme di dalam kehidupan bermasyarakat.

Tentang lomba yang digelarnya, untuk lomba bola voly , diikuti oleh 12 tim. “Sedangkan lomba memanah menggunakan jubi, diikuti dengan antusias oleh masyarakat. Ada 264 peserta lomba jubi,” ungkapnya.

Keluar sebagai pemenang lomba jubi, Enos Mallo sebagai juara satu, Ismael Nally sebagai juara dua, Yakob samallo sebagai juara tiga. Sedangkan lomba bola voly, dimenangkan tim dari Kampung Holtekamp sebagai juara satu, dari Kampung Moso sebagai juara dua dan dari kampong Wutung sebagai juara tiga. (aj/aj)

Senin, 02 Mei 2011 23:29

Insiden Wamena dan Manokwari, Perlu Intervensi PBB

Forkorus bersama pasukan Petapa berseragam uniform yang merupakan seragam yang diduga sebagai penyebab kericuan di Wamena 3 hari laluSENTANI—Ke­tua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd menegaskan, kasus penembakan di Wamena yang menewaskan 1 anggota Penajaga Tanah Papua (Petapa) yakni Ismail Lokobal, dan juga yang sebelumnya di Manokwari harus mendapat intervensi dunia internasional.

Bahkan atas nama Ketua Dewan Adat Papua Forkorus mengutuk keras 2 aksi penembakan tersebut. Menurut Forkorus, apa yang dikeluhkan kepada dunia saat ini terkait crime against humanity terhadap rakyat Papua benar-benar memang sedang terjadi, dan contoh kecil dua penembakan tersebut adalah bukti yang mengarah kepada slow motion genocide.

Karena menurut Forkorus hukum Negara Indonesia tidak akan mungkin mengungkapkan kasus penembakan tersebut karena buktinya Opinus Tabuni yang ditembak di depan mata kepala Forkorus beberapa waktu lalu saja tidak pernah terungkap sampai hari ini. Padahal dirinya sudah berulang kali memberikan kesaksian di Polda Papua, dan hal ini menjadi indicator bahwa hukum Indonesia tidak berpihak kepada rakyat Papua.

Oleh karena itu, Forkorus meminta secara tegas agar Amerika mengintervensi kasus penembakan tersebut. Forkorus mengaku sudah meminta perhatian kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta pasca penembakan tersebut, untuk secara serius mengintervensi kasus ini.

“Mana anda bilang tidak ada geniside, ini bukti, Serui, Manokwari dan Wamena 3 kasus beruntun yang terjadi secara berturut-turut belakangan ini,”

ujar Forkorus yang me­ngaku menyampaikan hal tersebut dihadapan Kedube AS untuk Indonesia.

Menyoal tentang modus penembakan tersebut yang berawal dari disitanya pakain uniform milik pasukan Petapa oleh Polisi saat tiba di bandara Wamena Forkorus menegaskan itu sebenanrnya merupakan kebebasan bangsa pribumi yang disahkan oleh PBB 13 September 2007 tetantang Deklarasi hak-hak bangsa pribumi jadi menurut Forkorus Indonesi jangan lagi main-main dengan hasil putusan deklarasi tersebut.

“Kami bebas menentukan nasib sendiri berdasarkan hak itu, bebas untuk berpolitik, berekonomi dan berbudaya, dan tidak boleh ada yang melarang, sebab jika dilarang itu sama halnya dengan telah melanggar hukum internasional,” ujarnya.

Menurutnya, tindakan Polisi itu sudah berlebihan, karena Indonesia merupakan salah satu anggota PBB yang harus mematuhi hukum internasional. Oleh sebab itu secara tegas lagi Forkorus mengatakan, harus ada intervensi PBB, karena hal ini merupakan perilaku dan system yang sudah tidak bisa dirubah, sejak 49 tahun yang lalu. (jim)

Kasus Puncak Jaya, Polisi Belum Profesional

JUBI — Masih berlanjutnya kasus penembakan di Puncak Jaya, dinilai sebuah provokasi situasi yang diciptakan kelompok tertentu. Aparat keamanan (TNI dan Polri) diminta mengungkap pelaku sebenarnya, bukan sekedar menduga semata.

Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai saat ditemui JUBI di ruang kerjanya, Senin (9/8), mengatakan, profesionalime aparat keamanan dipertanyakan. “Sebab, sampai sekarang tidak pernah berhasil ungkap siapa pelaku dan jenis peluru yang ditemukan. Ini yang masih menjadi tanda tanya besar,” tuturnya.

Ruben minta pelaku harus ditangkap dan mesti diusut tuntas. “Itu baru profesionalitas polisi dijempol.”

Menyelesaikan kasus Puncak Jaya, kata dia, akan bermartabat karena menyangkut hajat hidup masyarakat setempat. “Sekali lagi, menuduh dan menuduh bukan cara profesional. Itu kuno. Justru akan memupuk situasi tegang dan dianggap rawan, sehingga menurukan banyak pasukan. Padahal, pola pendekatan dengan militeristik tidak akan menyelesaikan persoalan Papua,” tuturnya.

Ruben juga menyayangkan meningkatnya insiden penembakan. Hampir tiap hari ada saja penembakan. Pelakunya tidak diketahui. “Masyarakat sipil dan aparat keamanan selalu menjadi korban. Terakhir kemarin seorang pendeta juga tertembak. Siapa pelaku dan apa motifnya, sampai sekarang tidak jelas.”

Ia berharap, situasi di Puncak Jaya segera normal supaya masyarakat bisa beraktivitas dengan tenang. (Markus You)

Tingginya Migran ke Papua Tidak Perlu Ditakuti

JAYAPURA—Tingginya arus Migran ke Papua dalam beberapa tahun belakangan ini, sebagaimana diungkapkan Gubernur Provinsi Papua Barnabas Suebu SH, menarik perhatian seorang Ekonom Uncen, DR Arung Lamba SE,MM. DR Arung Lamba’ yang memang punya bidang spesialisasi masalah Migran ini, mengatakan tingginya arus migran ke suatu daerah, sebagai pertanda kemajuan suatu daerah atau kota. Begitu juga Migran yang terus meningkatkan ke Papua, merupakan suatu proses alami yang memang sulit dibatasi sebagai konsekuensi kemajuan Papua. Karena itu katanya, adanya keingin Pemerintah daerah, dalam hal ini gubernur membatasi atau menyeleksi migran ke Papua, dianggap sebagai suatu kekhawatiran yang berlebihan yang tidak perlu terjadi.

Sebab dimana-mana pun di dunia ini,arus Migran selalu ada dan tidak mungkin dibatasi, sebab ini sudah merupakan gejala dunia. Ia mencontohkan di kota-kota besar

  • di Indonesia misalnya Jakarta, jika melihat penduduk asli Jakarta yang berada di Ibu Kota Negara tidak sampai 10 persen sisanya pendatang (migran), demikian juga di Makassar, mencari orang asli Makassar
  • di sana tidak cukup 10 persen, selebihnya suku dari luar dan yang ada di sekitarnya. “Saya tertarik bicara masalah Migran, karena memang spasialisasi saya, Skrip untuk program S1, Tesis S2 dan Disertasi saya di S3, semuanya meneliti masalah Migran,”jelas Arung Lamba’ yang juga terpilih Sebagai Sekum IKT Provinsi Papua, kemarin.

    Namun yang terpenting disikapi pemerintah katanya bagaimana dengan tingginya Migran ke Papua tidak membuat penduduk asli tersingkir dalam berbagi sektor. Antara lain harus membekali mereka dengan keterampilan untuk bisa bersaing di sektor informal. Sebab pada umumnya migran ke Papua itu lebih banyak bergerak di sektor informal, dibanding sektor formal dan PNS.

    Misalnya, makin maraknya pedagang kaki lima, pasar-pasar tradisional dll. Diakui masalah Migran ini memberikan dua pilihan bagi pemerintah, kalau mau menyeleksi yang masuk ke Papua,maka itu juga ada baiknya, tidak ada lonjakan pertambahan penduduk sehingga memudahkan penataan kota-kota. Namun di sisi, lain sektor-sektor informal tidak banyak. Sebaliknya jika Migran dibiarkan berjalan secara alami, di satu sisi akan menambah jumlah penduduk di Papua, namun disisi lain bisa memberikan dampak positif yaitu akan cepat berkembangnya sektor-sektor informal. Dengan demikian akan ikut membantu kebutuhan masyarakat setempat yang ekonominya belum mapan. “Misalnya kalau diseleksi atau dibatasi Migran ke Papua, maka yang ada mal-mal banyak bertambah, padahal belum tentu masyarakat asli semua mampu berbelanja di mal atau supermarket,”katanya. Jadi masalah ini memang jadi dilema. Tinggal pilih mau kota tertata baik dengan membatasi Migran atau membiarkan migran demi berkembangnya sektor-sektor informal.(don)

    Up ↑

    Wantok COFFEE

    Organic Arabica - Papua Single Origins

    MAMA Minimart

    MAMA Stap, na Yumi Stap!

    PT Kimarek Aruwam Agorik

    Just another WordPress.com site

    Wantok Coffee News

    Melanesia Foods and Beverages News

    Perempuan Papua

    Melahirkan, Merawat dan Menyambut

    UUDS ULMWP

    for a Free and Independent West Papua

    UUDS ULMWP 2020

    Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

    Melanesia Spirit & Nature News

    Promoting the Melanesian Way Conservation

    Kotokay

    The Roof of the Melanesian Elders

    Eight Plus One Ministry

    To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

    Koteka

    This is My Origin and My Destiny