Dilema Referendum Skotlandia

Logo “Yes” bagi kemerdekaan Skotlandia di Selkirk, Inggris.
Logo “Yes” bagi kemerdekaan Skotlandia di Selkirk, Inggris.

EDINBURGH – Pendukung kemerdekaan Skotlandia kesulitan meyakinkan rakyat bahwa negara mereka akan bernasib lebih baik jika lepas dari United Kingdom (UK).

Skotlandia akan menyelenggarakan referendum tanggal 18 September untuk menentukan kedaulatan negara itu. Warga yang belum memastikan pilihan tengah menimbang pro dan kontra soal lepasnya Skotlandia dari kerja sama jangka panjang dengan Inggris, Wales, dan Irlandia Utara. Salah satunya Calum Carruthers, 36 tahun, ayah dua anak dari Dunblane, kota katedral dekat Edinburgh.

“Secara emosional, insting saya mengatakan ini adalah hal yang baik,” kata Carruthers, yang bekerja di bank. Namun ia menambahkan ketidakpastian ekonomi adalah kecemasan utamanya, sebuah dilema yang dihadapi banyak warga Skotlandia. “Ada banyak pro, tapi ada satu kontra besar yang menatap langsung ke saya.”

Jelang referendum, pendukung persatuan dengan UK dan pendukung kemerdekaan telah berdebat soal siapa yang dapat memberi masa depan ekonomi cerah bagi Skotlandia. Jajak pendapat menunjukkan hanya sekitar sepertiga warga Skotlandia—dari total empat juta pemilih—mendukung kemerdekaan. Sementara sekitar setengahnya lebih memilih tetap bersatu bersama UK. Jumlah warga yang belum menentukan pilihan pun masih banyak.

Alex Salmond, pemimpin pemerintahan semi-otonomi Skotlandia, menilai kemerdekaan penuh akan membawa Skotlandia bergabung bersama klub negara-negara kecil yang bahagia dan kaya seperti Norwegia, Finlandia, dan Swedia. Mereka yang menentang kemerdekaan, termasuk tiga partai politik utama di London, memperingatkan Skotlandia akan rugi besar jika lepas dari Inggris.

Jajak pendapat mengindikasikan pendukung persatuan menang dalam argumen ekonomi. Survei bulan ini oleh ICM memperlihatkan hanya 34% warga Skotlandia meyakini kemerdekaan akan menguntungkan ekonomi Skotlandia.

Pendukung kemerdekaan dalam kamp “yes” menilai lepasnya Skotlandia dari Inggris bukan hanya masalah produk domestik bruto (PDB). Kelompok ini sering terlihat mengenakan lencana biru dan putih, warna bendera Skotlandia, dan termasuk selebriti seperti Sean Connery.

Pendukung kemerdekaan memandang pemerintahan Inggris di London mengasingkan warga Skotlandia dan mengabaikan permintaan pemilih. Bagi mereka, kemerdekaan berarti pajak yang naik di Skotlandia akan dipakai di Skotlandia untuk hal-hal yang kurang didukung pemilih di Inggris. Ini seperti jaringan keamanan sosial yang lebih baik bagi rakyat miskin.

Menurut Salmond, salah satu prospek ekonomi Skotlandia sebagai negara independen datang dari energi terbarukan. Sektor ini dipandangnya sebagai pengganti mesin pertumbuhan dari cadangan minyak yang hilang di Laut Utara. Industri teknologi tinggi juga akan menyediakan lapangan kerja baru dengan gaji layak. Angka dari pemerintah Skotlandia memperlihatkan bahwa Skotlandia, sebagai negara merdeka, akan memiliki situasi finansial lebih baik ketimbang UK secara keseluruhan. Defisit anggaran Skotlandia untuk 2017 diproyeksi antara 1,6%-2,4% dari PDB, lebih kecil ketimbang prediksi defisit 3,4% untuk UK secara keseluruhan.

Pendukung persatuan—dan banyak ekonom—mengatakan proyeksi ekonomi Salmond terlalu optimis.

Departemen Keuangan UK mengatakan setiap warga Skotlandia akan lebih kaya 1.400 poundsterling per tahun jika Skotlandia tetap bergabung. Pemerintah memprediksi pajak minyak dan gas akan turun dengan laju yang lebih cepat dari laju yang dipakai Salmond dalam rencana belanjanya. Ekonom memperingatkan Skotlandia yang independen harus membayar biaya pinjaman lebih besar ketimbang UK secara menyeluruh.

19. August 2014, 17:04:52 SGT, The Wallstreet Journal

Skotlandia Hendak Tinggalkan Inggris Raya

Tidak mau ikut mewarisi utang Inggris.

GLASGOW – Perdana Menteri Skotlandia, Alex Salmond mengungkapkan cetak biru kemerdekaan dari Inggris Raya. Pemisahan diri itu akan ditentukan lewat referendum 18 September 2014.

“Masa depan Skotlandia kini berada di tangan orang Skotlandia sendiri,” kata Salmond seraya memperlihatkan dokumen cetak biru setebal 670 halaman di Glasgow, Selasa (26/11).

Referendum akan menentukan apakah perserikatan dengan Inggris, yang sudah berumur 306 tahun, berakhir atau berlanjut. “Masa depan kami tidak akan ditentukan oleh saya, tidak akan ditentukan oleh lawan, tidak akan ditentukan oleh media, tapi akan ditentukan oleh rakyat,” ujarnya.

Dokumen itu menjabarkan secara terperinci berbagai hal terkait pemisahan diri, seperti mata uang, sistem perpajakan, perawatan anak, dan kesejahteraan rakyat. Salmond, yang juga mengetuai Partai Nasional Skotlandia (SNP), bertekad membangun “negara yang lebih makmur dan adil”, yang terbebas dari “warisan utang” Inggris.

Dia yakin tujuan itu bisa tercapai karena Skotlandia punya cadangan minyak dan gas yang melimpah. Sumber daya alam itu diyakini cukup untuk menghidupi rakyat Skotlandia hingga 50 tahun ke depan. Setelah masa itu, dia percaya Skotlandia sudah punya sumber daya energi terbarukan dan tidak lagi bergantung pada bahan bakar fosil.

Salmond mengatakan Skotlandia merdeka akan bertanggung jawab atas keuangannya sendiri, termasuk penentuan pajak dan pengelolaan pendapatan dari tambang minyak dan gas di Laut Utara. Namun, Skotlandia akan tetap menggunakan mata uang pound sterling dan mengakui monarki Inggris. Negara itu juga akan mempertahankan keanggotaannya di Uni Eropa dan NATO.

“Kami punya rakyat, kemampuan, dan sumber daya yang dapat menjadikan Skotlandia negara yang lebih berhasil,” kata Salmond. Pernyataan ini disampaikannya di Pusat Ilmu Pengetahuan Glasgow yang terletak di tepian Sungai Clyde. Kawasan itu pernah menjadi pendorong perekonomian Skotlandia lewat industri perkapalannya.

Buku putih kemerdekaan Skotlandia diungkapkan ke depan publik 10 bulan sebelum jadwal referendum. Penentuan pendapat rakyat nanti akan diikuti sekitar lima juta orang pemilih. Salmond berharap usulannya bisa diterima lebih banyak orang.

Dalam jajak pendapat yang digelar surat kabar Sunday Times, hanya 38 persen warga Skotlandia mendukung rencana kemerdekaan. Sebanyak 47 persen menolak dan 15 persen lainnya belum menentukan pendapat. Dengan banyaknya massa mengambang, masa depan Skotlandia belum bisa diprediksi.

Dorong Pertumbuhan

Salmond, yang partainya menguasai parlemen, menjadikan masalah ekonomi sebagai alasan utama merdeka. Jika dalam referendum nanti rakyat mendukungnya, kemandirian Skotlandia akan dimulai pada 24 Maret 2016, bertepatan dengan peringatan Akta Perserikatan 1707.

Dia berjanji memangkas pajak perusahaan hingga 3 persen untuk mendorong investasi dan pertumbuhan industri. Kebijakan itu diharapkan menciptakan lebih banyak lapangan kerja.

Kementerian Keuangan Inggris yang menyebutkan, kemerdekaan bakal membuat pembayar pajak Skotlandia keluar biaya tambahan hingga 1.000 pound per tahun hingga akhir dasawarsa ini. Salmond mematahkan laporan itu dengan janji rakyat akan membebani rakyat dengan kenaikan pajak.

Pemerintah Inggris mengatakan rencana SNP memerdekakan Skotlandia, tapi tetap menggunakan pound sebagai mata uang perserikatan dan tetap menggunakan layanan Bank of England untuk hubungan ekonomi dengan negara lain di Inggris Raya, tidak akan berjalan.

“Seperti yang selalu dikatakan pemerintah, terkait masalah kemerdekaan, ide mata uang perserikatan tidak mungkin diwujudkan,” kata juru bicara Perdana Menteri David Cameron.

Langkah Skotlandia menuju kemerdekaan dicermati secara internasional dan bisa menjadi contoh buat bangsa lain yang ingin berpisah dari negara induk. Salah satunya adalah Catalonia yang 80 persen rakyatnya menghendaki kemerdekaan dari Spanyol. (AFP/BBC)

Sumber : AFP/BBC

27 Nopember 2013 17:04 Henri Loedji Eropa  SINAR HARAPAN

Polda Papua “Putar Otak” Hadapi Kelompok Sipil Bersenjata

JAYAPURA—Polda Papua harus ‘putar otak’ untuk menghadapi dan menangkap kelompok sipil bersenjata yang bergerlya keluar masuk hutan di sejumlah daerah di Papua. Ini bukan pekerjaan gampang, pasalnya, kelompok sipil bersenjata ini tak bisa ditangkap sama seperti pelaku kriminal lainnya. Butuh cara dan penanganan sendiri.

“Seperti tersangka di Pirime. Kalau boleh kita panggil , supaya datang ke Polda atau ke Polres. Tetapi nggak mau hadir. Begitu kita mau tangkap mereka lawan bahkan menembak. Begitu kemudian anggota membalas dengan alasan membela diri dianggap pelanggaran HAM,” ujar Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, MA ketika menyampaikan Press Release Analisa dan Evaluasi Sitkamtibmas di Papua di Mapolda Papua, belum lama ini.

Saat ini kata Kapolda pihaknya hanya berupaya melakukan penebalan jumlah aparat keamanan, khusunya di beberapa wilayah yang dianggap rawan. Seperti di Pirime penebalan aparat dilakukan dengan menambah Brimob 120 personil didukung TNI 30 personil total 150 personil.

“Itu baru kawan-kawan yang diatas mikir. Mau nyerang bunuh diri,” tukasnya.

Langka berikutnya yang dilakukannya, lanjutnya, berupaya mememenuhi peralatan , seperti Polisi di Tiom dilengkapi pakaian anti peluru sebanyak 15 personil dan aktif melakukan penggalangan kepada kelompok-kelompok sipil bersenjata agar tak melakukan aktivitasnya.

“Sementara anggota kita perkuat disana. Kalau kita lepas, nanti mereka jadi korban. Ini langka-langka kita yang paling utama. Dari pihak kita berupaya untuk melakukan deteksi kira-kira dimana target serangan mereka dan kemudian kita melakukan penebalan, memberikan perlengkapan serta memberikan perbantuan kepada mereka,” tukas dia. Diutarakannya, pihaknya menghimbau kepada media massa untuk mewawancarai anggota Polri yang bertugas di sejumlah daerah terpencil seperti Tinginambut, Lanny Jaya, Tiom dan lain-lain, termasuk kesulitan-kesulitan yang mereka hadapi selama ini.

“Hal-hal human interest emacam ini perlku diangkat sehingga masyarakat bisa paham kesulitan mereka dan kemudian ada semacam tekanan dari publik kepada kelompok ini untuk tak menyerang. Polisi yang sudah berupaya memberikan pelayanan kepada masyarakat,” ungkap dia. (mdc/achi/l03)

Jumat, 04 Januari 2013 10:46, Binpa

Leut. Gen. Amunggut Tabi: “Dialogue NKRI – West Papua?”

Menanggapi berbagai isu dan fenomena yang berkembang di tanah Papua terkait “Dialogue” antara NKRI dan West Papua yang dimotori Jaringan Damai Papua dan simpatisannya, PMNews menyisihkan waktu sedikit bertanya kepada Tentara Revolusi West Papua (TRWP) tentang isu dan fenomena dimaksud.

Menurut Leut. Gen. TRWP Amunggut Tabi bahwa “dialogue” terjadi karena ada masalah, dan masalah yang di-dialogue-kan harus jelas dan tegas, kita bukan bangun para-para honai adat untuk bicara apa saja yang kita mau omong seperti diajukan Jaringan Damai Papua (JDP) dengan promotor Muridan dan Neles Tebay”, kata Tabi.

Berikut petikan wawancara per telepon seluler:

Papua Merdeka News (PMNEWS): Selamat pagi, Jenderal, kami dari Papua Merdeka News ada perlu tanya satu hal, menyangkut “dialogue NKRI – West Papua”

Tentera Revolusi West Papua – Leut. Gen. Amunggu Tabi (TRWP): Selamat pagi juga, Salam hormat, “Merdeka Harga Mati!”, silahkan, kami siap.

PMNews: Indonesia sekarang sudah mencari dukungan atas kedaulatannya atas tanah Papua dan sekarang ini melancarkan kampanye untuk merangkul semua pihak dalam sebuah dialogue inclusive, lewat sebuah wadah baru yang dibentuk menggantikan UU Otsus 2001 bernama UP4B, bagaimana pendapat TRWP?

TRWP: Adoo, jangan tanya tentang satu orang tanya kepada orang lain tentang dia punya diri sendiri. Misalnya, “Muka saya bagus ka?”. “Saya punya muka ganteng atau cantik ka?” begitu. Jangan tanya orang lain tentang diri kita sendiiri, karena yang tahu diri kita sendiri ialah diri kita sendiri. Pertanyaan tadi tentang NKRI tanya kepada negara asing jadi. Itu pertanyaan orang tidak tau diri, makanya dia harus tanya orang lain tentang diri dia sendiri.

PMNews: Ya, A.S. menolak Papua Merdeka, Australia tolak Papua Merdeka, Inggris tolak Papua Merdeka, itu yang dibilang media di Indoneisa tentang perjuangan Papua Merdeka.

TRWP: Media yang menyiarkan berita itu harus tanya kepada orang Papua: “Apakah kamu maru merdeka atau bergabung ke dalam NKRI?” Itu suara demokrasi, karena demokrasi artinya pemerintahan dari rakyat untuk rakyat. Jadi, bukan tanya kepada negara lain. tentang kemauan rakyat lain.

Kalau saya sebagai pejuang Papua Merdeka tanya kepada orang-orang yang ditanya sama Menlu dan Presiden NKRI, maka saya akan dilarang oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi saya. Alasannya jelas, yang mau merdeka bukan orang atau rakyat Amerika Serikat atau orang Aborigine atau orang Nasionalis Inggirs, tetapi yang mau merdeka itu orang Papua, jadi pertanyaannya ditujukan kepada orang Papua bukan kepada orang asing.

PMNews: Kami masih tetap kembali kepada pengakuan dan pengukuhan dari dunia luar. Bagaimana?

TRWP: Pengakuan dan pengukuhan dunia luar itu nomor dua, nomor satu ialah apakah orang Papua mau merdeka atau tidak? Yang harus diakui itu kan suara rakyat, bukan kemauan politik. Demokrasi menyatakan suara rakyat, jadi, rakyat mau apa itu yang dikonsultasikan, bukan kemauan negara lain terhadap negara lain.

PMNews: Tetapi selama ini semua pihak, baik NKRI maupun TRWP dan OPM hanya menggunakan angka-angka tidak pasti, tidak jelas dan tidak pernah dibuktikan secara ilmiah tentang berapa orang mau merdeka atau tidak?

TRWP: Kasih tahu NKRI, mereka mau jajak pendapat atau tidak? Itu kuncinya, kalau tidak, semua pihak pasti berspekulasi.

PMNews: Kalau banyak negara asing tidak mendukung Papua Merdeka?

TRWP: Biarkan mereka mendukung atau tidak mendukung. Itu hak mereka, kita tidak punya kuasa mengontrol mereka. Kita tidak tahu apakah mereka bicara mewakili opini rakyat mereka atau sebaliknya. Menurut prinsip demorkasi universal, suara rakat ialah suara Tuhan, dan suara Tuhan bukan suara politisi, tetapi suara rakyat jelata, yang terhina dan terjajah. Sekarang suara rakyat Papua ingin melepaskan diri dari NKRI, tetapi NKRI sendiri tidak mau memberikan peluang kepada bangsa Papua untuk menentukan nasibnya sendiri, jadi persoalannya bukan kepada orang asing mendukung atau menolak, tetapi kepada bangsa Papua sendiri yang tidak diberikan peluang untuk menentukan nasibnya sendiri.

PMNews: Ada orang Papua yang menerima Otsus sebagai solusi final.

TRWP: Itu bukan orang Papua, tetapi mereka kita sebut kaum Papindo, bangsa baru tercipta dalam hubungan NKRI-West Papua, yaitu orang Papua berhati Indonesia, atau orang Papua takut Indonesia, yang dalam jiwanya tidak punya percaya diri, yang dirinya tidak bermartabat, yang dipenuhi oleh rasa takut mati dan tidak tahu apa yang harus dia perbuat untuk bertahan hidup.

Orang Papua menerima Otsus bukan karena mau, tetapi karena terpaksa. Tanya kepada Fransalbert Joku dan Nicolaas Jouwe. Mereka tahu mengapa orang Papua terima Otsus atau membiarkan Otsus diberkalukan. Itu bukan karena orang Papua setuju dengan pendudukan NKRI, tetapi karena orang Papua mengharapkan ada peluang yang tercipta di dalam Otsus untuk akhirnya mencapai kemerdekaannya. Dengar apa kata-kata mereka, apa yang mereka ucapkan, dalam Pilkada Bupati ataupun dalam pernyataan pers, mereka masuk ke Tanah Papua karena ini tanah leluhur mereka, ini tanah yang mereka bela dan karena itu mereka harus pulang. Mereka bukan datang menyerah ke NKRI, tetapi datang ke kampung untuk membangun cara-cara di dalam Otsus untuk terus memuluskan jalan ke Papua Merdeka. Itu pasti!

PMNews: Dengan demikian Anda menyatakan Fransalbert Joku dan Nicolaas Jouwe bukannya menyerah, tetapi merubah strategi perjuangan Papua Merdeka?

TRWP: Tanya kepada mereka, dengar apa yang mereka katakan dalam berbagai kesempatan.

PMNews: Kita kembali ke soal dialogue, “Apakah orang Papua yang minta dialogue dengan NKRI sekarang termasuk ke dalam orang-orang yang tidak percaya diri?”

TRWP: Mereka itulah tidak percaya diri bahwa mereka sanggup merdeka dan berdaulat seperti NKRI. Tetapi soal pengusung dialogue Jakarta-NKRI kelihatannya  terlalu banyak membaca buku dan belajar, sehingga tidak paham atau lebih tepat tidak mau terima real-politik dari perjuangan Papua Merdeka. Mereka tidak salah, tetapi mereka terlalu jauh dari kenyataan lapangan. Ilmu yang ada dalam studi resolusi konflik harus disesuaikan dengan realitas konfilk, bukan sebaliknya kita paksakan konflik yang ada ke dalam ilmu resolusi konflik.

PMNews: Anda sudah menyurus ke “Dialogue NKRI – West Papua?”

TRWP: Ya, betul. Tetapi masalahnya “Dialogue NKRI – West Papua” punya sejumlah kekurangan. Pertama, dialogue ini didorong tanpa “Road-Map” yang jelas. saya tahu Muridan S. Widjojo melakukan beberapa pertemuan dan diskusi dengan pemuda dan tokoh dari West Papua lalu membuat kesimpulan-kesimpulan bahwa perlu ada sejumlah hal dibereskan dalam dialgoue Papua – NKRI, tetapi apakah kedudukan Muridan sebagai seorang akademisi LIPI murni ataukah ia bias sebagai seorang manusia Indonesia? Ini pertanyaan. Lalu Neles Tebay, ia seorang akademisi, calon Uskup Jayapura, tetapi dari ilmu resolusi konflik yang dia pelajari di Roma, Italia tidak diterapkan secara kontekstual dengan realitas dan dinamika politik NKRI-West Papua sehingga ia ngotot menuntut teori dia dipenuhi oleh orang Papua dan NKRI tanpa memperhatikan dimamika politik dan sosial yang ada di lapangan.

Dari “Road-Map” yang ada terlihat jelas, apa yang dibicarakan ialah apa saja yang dianggap sebagai penghalang dan penghambat. Ini sebuah pandangan “naif”, karena perancang sendiri sudah tahu apa penghalang dan penghambatnya. “Apakah NKRI percaya bahwa Neles Tebay berbicara jujur sebagai seorang manusia untuk berdialogue?” Pasti mereka percaya Neles Tebay bermaksud memuluskan jalan ke Papua Merdeka. “Apakah mereka percaya Muridan S. Widjojo itu seorang nasionalis Indonesia yang membela NKRI?” Ini juga menjadi pertanyaan kedua belah pihak yang hendak diajak berdialogue.

PMNews: Maksudnya dialogue yang diusung Jaringan Damai Papua percuma?

TRWP: Tidak percuma, tetapi tidak sesuai dengan reaalitas sosial-politik NKRI-West Papua.

PMNews: Lalu apa yang tepat?

TRWP: Yang tepat ialah Jaringan Damai Paupa (JDP) tidak membuka pintu kosong, tetapi pintu yang jelas, apakah JDP ingin NKRI membereskan sejarah aneksasi West Papua ke dalam NKRI ataukah JDP ingin berbicara tentang uneg-uneg kehidupan di dalam NKRI.

JDP harus mencaritahu dan memberitahukan secara gambang dan manusiawi tentang apa yang menyebabkan ada “dead-lock” dan apa yang dapat menjembatani “dead-lock” dimaksud. JDP tidak bisa melempar batu sembunyi tangan dengan mengatakan, “Apa yang terjadi dalam dialogue kita serahkan kepada mekanisme yang ada selanjuntnya”, karena semua pihak yang terlibat akan bertanya, “Apa untungnya buat saya terlibat?”

PMNews: Kalau begitu menurut TRWP, apakah dialogue NKRI-West Papua realistis?

TRWP: Tidak realistis karena road-map yang dibuat tidak jelas, dan peluang kemungkinan yang disediakan menurut road-map yang ada menurut Tebay dan Murindan S. Widjojo tidak tegas. Kita harus bertanya, “Apakah dialogue ini untuk memuluskan jalan kepada Papua Merdeka ataukah memuluskan jalan bagi NKRI untuk terus menjajah tanah dan bangsa Papua?”

PMNews: Maksudnya dalogue ini tidak akan menghasilkan sesuatu yang berarti buat Papua?

TRWP: Tidak! Sekali lagi TIDAK! Sebab yang pertama sudah disebutkan. Sebab kedua, karena pihak-pihak yang mau berdialogue sendiri sudah dihabisi NKRI. Simak saja berita penangkapan dan penyisiran di Tanah Papua. Itu bukti bahwa NKRI sedang menghabisi pihak dan organisasi yang dapat berdialogue dengan NKRI. Kedua karena NKRI sendiri tidak jelas dalam sikapnya, apakah mau berdialogue atau mau melakukan komunikasi konstruktiv.

TRWP tidak ada dalam kelompok itu. TRWP ialah sayap militer perjuangan Papua Merdeka, yang bekerjasama dengan OPM, yang sebentar lagi akan diumumkan Kantor Pusatnya dan fungionarisnya.

TRWP tidak pernah diajak, tidak pernah didekati. Apalgi TRWP tidak diakui oleh NKRI. Jadi biarlah NKRI berdialogue dengan orang-orang yang mereka akui dan mereka dekati, dan akan kita lihat apa hasilnya.

PMNews; Apakah Anda menolak berbagaiu paya tentang TPN/OPM menyerah dan mau berdialogue dengan NKRI?

TRWP: TPN/OPM itu buatan NKRI. Buatan orang Papua ialah OPM (Organisasi Papua Merdeka) dan sayap militer yang waktu silam terbagi dalam faksi PEMKA (Pembela Keadilan) versi Jacob Prai dan faksi Victoria dibawah komando Seth. J. Roemkorem kini telah tergabung menjadi Tentara Revolusi West apua.

Kedua basis telah disatukan ke dalam komando TPN/OPM GEN. TPN PB Mathias Wenda, yang kini membentuk sayap militer dengan nama TRWP dan sayap politik OPM. Oleh karena, itu, semua pihak agar tidak hilang jejak dalam Jalan Menuju Papua Merdeka.

“Dialogue” terjadi karena ada masalah, dan masalah yang di-dialogue-kan harus jelas dan tegas, kita bukan bangun para-para honai adat untuk bicara apa saja yang kita mau omong seperti diajukan Jaringan Damai Papua (JDP) dengan promotor Muridan dan Neles Tebay”

PMNews: Berarti sebenarnya Anda menolak Dialogue NKRI – West Papua yang digagas Jaringan Damai Papua?

TRWP: Kami tidak menolak dan kami tidak menerima. Yang harus menentukan sikap ialah Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang pada saat ini belum terbentuk fungsionaris dan organisasinya, yang sementara dalam proses persiapan.

PMNews:Berarti OPM tidak siap berdialogue?

TRWP: OPM siap berdialogue dengan setan ataupun malaikat, apalagi manusia. Yang penting dalam seuah dialogue ialah agenda dan antisipasi konsenkuensinya. Dan itu tidak ditunukkan dengan jelas oleh Jaringan Damai Papua.

Oleh karena itu Tentara Revolusi West Papua (TRWP) dari Markas pusat Pertanahan di bawah Komando Gen. TRWP Mathias Wenda MENOLAK DENGAN TEGAS segala upaya perdamaian NKRI-West Papua dalam rangka memuluskan Otsus NKRI bagi tanah Papua.

TRWP tidak bertugas mengurus politik. TRWP mengurus perlawanan bersenjata. Yang bicara dialogue itu organisasi politik, namanya OPM.

PMNews: Dialgue bukan jalan demkratis?

TRWP: Dialogue antara siapa dengan siapa? Demokrasi artinya apa? Kita harus bangun sebuah format dan peluang yang memperlakukan orang Pupua dan orang Indonesia sebagai manusia menyampaikan pendapatnya, bukan sebagai pelaku dan korban. Keduanya harus berbicara sebagai sesama manusia, tanpa embel-embel politk NKRI ataupun West Papua Merdeka. Dan itu yang tidak jelas dalam tawaran Jaringan Damai Papua.

PMNews: Kalau begitu TRWP menolak Jaringan Damai Papua dan segala upayanya?

TRWP: Jelas, itu pasti, dan jangan sampai Neles Tebay dan Muridan S. Widjojo tidak paham.

 

Catatan PMnews:

Dari pembicaraan dan wawancara ini kami tidak temukan titik temu, maka kami akhiri wawancara ini. Demikian dan harap maklum. Kami akan teruskan kali berikut kalau ada waktu dan kesempiatan.

Ideologi Papua Merdeka Darah Daging Orang Papua

Tuesday, 07-08-2012 14:09:30 Oleh MAJALAH SELANGKAH

Oleh Jekson Ikomou*)

Pemerintah Indonesia berusaha meredamkan Ideology Papua Merdeka melalui Otonomi Khusus (OTSUS) berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. Namun sayangnya Undang-Undang tersebut Gagal. Nasionalisme Papua terus tumbuh. Bukan Nasionalisme Indonesia. Orang Papua tidak percaya dengan Pemerintah Indonesia.

Hal subtansi permasalahan Papua adalah sejarah masa lalu, pelanggaran HAM, dan kondisi hidup bersama lebih dari 40-an tahun ini. Pelanggaran misalnya, Negara habiskan Ribuan Orang Papua yang tak berdosa melalui berbagai Operasi Militer Indonesia di Tanah Papua. Hal ini tidak mematikan gerakan merdeka.

Jika melihat sejarah, Papua merupakan sebuah Negara. Ia merdeka pada tanggal 1 Desember 1961. Namun, Pemerintah Indonesia secara paksa mengklaim Papua sebagai bagi dari Indonesia dengan kekuatan Militer yang disebut Tri Komando Rakyat (TRIKORA), sehinggah Amerika memanfaatkan peluang demi kepentingan ekonominya (salah satunya PT. FI).

Dan hinggah kini, Lembaga-Lembaga Peneliti kemukakan, PT. FI merupakan akar permasalahan di Papua. Bahkan, Rakyat pun mengatakan bawah Freeport merupakan salah satu perusahan yang memakan ribuan korban orang Papua. Ribuan orang Papua menuntut PT. Freeport harus ditutup melalui berbagai aksi damai. Namun, sayangnya pihak Pemerintah Indonesia menutup ruang Demokrasi bagi Orang Papua melalui kekuatan Militer Indonesia.

Keadaan ini membuktikakn bahawa Indonesia benar-benar gagal Indonesiakan orang Papua. Indonesia gagal di semua bidang pembangunan untuk orang asli Papua. Karena itu, orang Papua berpikir bawah Indonesia sedang menjajah kita. Jika dibilang orang Papua dijajah memang benar, karena mengingat permasalah yang terjadi selama ini.

Di Atas Luka Otsus Muncul UP4B
Otsus adalah peluang untuk sejahterakan Orang Papua. Namun Gagal. Lalu, muncul lagi sebuah yang sebut dengan Unit percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Program kerja yang disusun dalam Unit Percepatan Pembangunan Papua Barat (UP4B) ini seperti dengan Program kerja OTSUS.

UP4B masih bicara sebatas keadilan pembanguna di Papua. Ia bicara soal pendidikan, ekonomi, kesehatan, infrastruktur. Ia tidak bicara soal pelanggaran HAM, tidak bicara soal dialog, tidak bicara soal sejarah Papua. Orang Papua berpendapat apa bedanya OTSUS dengan UP4B?

Banyak Rakyat Papua mengatakan, “Unit Perepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) bukan solusi untuk perdamaian di Papua, Perdamaian di Papua adalah Referendum”. Rakyat Papua menilai janji-janji pembangunan yang mereka temui di Papua adalah operasi-operasi Militer, pembunuhan sana-sini, perusahaan-perusahaan raksasa yang mengancan keberadaan masyarakat adat, dan lainya. Semuanya merusak dan menguras.

Nah sekarang, jika Pemerintah Indonesia punya hati untuk membangun Papua tarik Militer dari Papua baik organik maupun non-organik. Lalu, adili semua pelaku pelanggaran HAM sejak tahun 1961, gelar dialog damai, Jakarta-Papua.

Tapi, Indonesia harus ingat bahwa Papua Merdeka itu telah menjadi darah daging orang Papua. Dengan cara dan pendekatan apapun tidak akan pernah dipatahkan. Otsus adalah luka. Di atas luka Otsus lahir luka baru, UP4B. Kemudian, selanjutnya apa? Tunggu hari untuk menuai Kemerdekaan bagi Bangsa Papua Barat.

*) Mahasiswa Papua, Kuliah di Bandung

Ideologi Papua merdeka tidak bakal mati

Merdeka.com, Satu hari pada Oktober 2011. Penasihat khusus Sekretearis Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Bidang Pencegahan Pemusnahan Etnis mengajak Pendeta Socrates Sofyan Yoman, tokoh agama di Papua, berbicara di ruang tertutup. Ia ingin tahu situasi terakhir di Bumi Cenderawasih itu.

“Saya ditanya bagaimana kalau referndum digelar di Papua, bagaimana dengan pendatang?” kata Socrates saat dihubungi merdeka.com melalui telepon selulernya, Senin lalu. Dengan yakin, ia menjawab sudah pasti Papua merdeka. Ia menyatakan hanya orang asli Papua berhak menentukan nasib mereka bukan kaum dari daerah lain.

Sayangnya, Socrates lupa nama pejabat PBB itu. Ia cuma menegaskan dilarang berbicara soal isi pertemuan karena sangat rahasia.

Persoalan Papua mulai kembali mendapat sorotan internasional setelah Mei lalu sidang Dewan Hak Asasi PBB di Jenewa, Swiss, menilai ada pelanggaran hak asasi di sana. Saat itu, ada 14 negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Kanada, Jepang, dan Meksiko, menyuarakan soal itu.

Menurut Socrates, pemerintah Amerika juga sudah menyerukan agar Jakarta segera menggelar dialog menyeluruh dengan tokoh-tokoh Papua.. Ia menyayangkan pemerintah pusat selama ini hanya mengedepankan pembangunan dan sisi ekonomi, namun tidak memperhatikan martabat rakyat Papua. “Bagaimana mau dialog kalau semua harus dalam kerangka NKRI (Negara kesatuan Republik Indonesia). Hanya orang bodoh saja mau percaya itu,” ia menegaskan.

Sebab itu, ia meminta Jakarta membahas seluruh agenda terkait Papua karena krisis di sana sangat rumit. Ia juga mensyaratkan Amerika bersama Belanda, dan PBB juga harus hadir. “Papua dari awal merupakan konspirasi internasional antara Amerika, belanda, dan PBB.”

Dihubungi secara terpisah kemarin, utusan khusus Presiden buat Papua, Farid Hussein, mengakui butuh waktu lama untuk menyelesaikan konflik Papua. “Di Aceh saja saya butuh dua tahun,” ujarnya. Untuk itu, ia menegaskan tidak boleh ada pihak asing terlibat dalam penyelesaian masalah Papua.

Sejauh ini, Farid dan Socrates membantah ada keterlibatan negara lain dalam konflik Papua. “Tidak ada LSM asing. Nggak mungkin berani, bisa habis mereka,” Farid menegaskan.

Kalau memang penyelesaian itu terjadi, Socrates mengisyaratkan rakyat Papua tetap ingin melepaskan diri dari Indonesia. “Ideologi itu sudah lama dan tidak bisa dihapus,” katanya. Namun ia menolak menyatakan dirinya menganut ideologi Papua merdeka. “Saya hanya penyambung lidah umat.”

Boleh jadi, pernyataan Socrates itu benar. Seorang sumber merdeka.com paham situasi di Papua menegaskan, “Kalau referendum digelar sekarang, 99 persen Papua merdeka.”

[fas]

Di Kota, Dinodai Pengibaran Bintang Kejora

Aparat kepolisian dan TNI usai berhasil menurunkan bendera Bintang Kejora di perbukitan belakang Kompleks BTN Puskopad, Kamkey, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Selasa (16/8) kemarin.
Aparat kepolisian dan TNI usai berhasil menurunkan bendera Bintang Kejora di perbukitan belakang Kompleks BTN Puskopad, Kamkey, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Selasa (16/8) kemarin.

JAYAPURA – Sementara itu, peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-66 di Kota Jayapura, Rabu (17/8) kemarin dinodai adanya pengibaran bendera yang diklaim sebagai bendera Bangsa Papua Barat yaitu Bintang Kejora, di perbukitan Tanah Hitam, tepatnya di RT 04/RW 03 Kelurahan Asano, Distrik Abepura, Kota Jayapura.

Sehari sebelumnya, tepatnya Selasa pagi (16/8), kelompok kriminal bersenjata itu juga menancapkan dua bendera Bintang Kejora di Perbukitan BTN Puskopad, Abepura. Aparat pun berhasil mengamankan bendera-bendera Bintang Kejora itu, meski harus mengeluarkan tembakan-tembakan agar kelompok sipil bersenjata itu tidak mengganggu saat aparat menurunkan bendera Bintang Kejora itu.

“Kami menduga kalau Bendera Bintang Kejora (di perbukitan Tanah Hitam,red) itu sudah dikibarkan sejak Subuh, tapi baru diketahui oleh sejumlah warga sekitar pukul 09.00 WIT. Itu pun kami langsung melaporkannya ke polisi,” ungkap salah seorang warga bernama Alan kepada Cenderawasih Pos, Rabu (17/8).

Setelah mengetahui adanya aksi pengibaran bendera itu, sekitar pukul 09.00 WIT aparat kepolisian yang dibackup Brimob langsung menuju lokasi dan sekitar pukul 11.00 WIT bendera tersebut berhasil diturunkan oleh Kasat Narkoba Polres Jayapura Kota, AKP. Agustinus, SH dengan cara memanjat pohon karena bendara itu dikibarkan tepat di atas pohon.

Dari pantauan Cenderawasih Pos di lapangan, aparat kepolisian ketika hendak menurunkan bendera tersebut mengeluarkan tembakan ke arah perbukitan tempat lokasi bendera dikibarkan.

Ketika dikonfirmasi wartawan di Mapolsek Abepura Kota, Kapolres Jayapura Kota, AKBP. H. Imam Setiawan, SIK mengakui, ada beberapa informasi yang berkaitan dengan penggagalan pelaksanaan upacara HUT Kemerdekaan RI wilayah di Kota Jayapura dan ternyata informasi tersebut tidak terbukti karena kesiagaan aparat keamanan yang bekerjasama dengan masyarakat.

“Saya memberikan apresiasi bahwa tidak terbuktinya dari kelompok tertentu yang ingin menggagalkan pelaksanaan upacara HUT Kemerdekaan RI kali ini. Saya tegaskan kalau upacara HUT Kemerdekaan RI berjalan aman, lancar, tertib dan tidak ditemukan adanya penggagalan sebagaimana informasi yang beredar,” tegasnya.

Menyoal pengibaran bendera di Tanah Hitam, menurut Kapolres bahwa hal itu tidak bermakna apa-apa, bahkan tidak mempengaruhi NKRI di Papua dan dianggap sebagai simbol-simbol kain yang tidak bermakna.

“Pengibaran bendera itu hanya memprovokasi, namun sayangnya masyarakat tidak terpengaruh tapi malah menganggap hal yang tidak perlu dikhawatirkan. Untuk itu, pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada masyarakat yang sudah kembali mengaktifkan pamswakarsa (siskamling) sehingga tercipta rasa aman,” imbuhnya.

Disinggung soal perkembangan kasus penembakan di Kampung Nafri, Kapolres menjelaskan, untuk kasus Nafri I dan II saat ini pihaknya sedang melakukan pengejaran karena pihaknya sudah bisa mengidentifikasi siapa pelakunya sehingga hanya tahap pengejaran. Ditambahkannya, dalam waktu dekat ini sketsa wajah pimpinan pelaku penembakan Danny Kogoya beserta 19 pengikutnya termasuk salah seorang pelaku bernama Lambert Siep yang diketahui sebagai Kepala Bagian Operasi di wilayah Kota Jayapura akan diterbitkan dalam bentuk Daftar Pencarian Orang (DPO) dan akan disebar ke seluruh penjuru.

Sementara itu Selasa (16/8) pagi, kelompok sipil bersenjata itu menganiaya seorang warga di Kompleks BTN Puskopad Lama, Kamkey, Distrik Abepura, Kota Jayapura. Akibatnya korban terkena panah di bagian punggung sebelah kanan tembus ke bagian depan, namun beruntung, korban berhasil diselamatkan kemudian langsung dilarikan ke rumah sakit guna mendapatkan perawatan medis.

Setelah memanah korban, para pelaku langsung melarikan diri ke arah perbukitan di belakang komplek tersebut. Selanjutnya para pelaku begerak menuju perbukitan sambil menancapkan dua buah Bendera Bintang Kejora ukuran 180 x 140 cm dan 100 x 50 cm di tempat yang tidak berjauhan antara pepohonan.

Aparat keamanan gabungan baik itu dari TNI dan Polri dipimpin Kapolres Jayapura Kota, AKBP. H. Imam Setiawan, SIK dan Dandim 1701/JPR, Letkol ARM. Ihutma Sihombing yang mengetahui kejadian tersebut kemudian langsung melakukan pengejaran terhadap pelaku namun sayangnya para pelaku sudah lebih dulu melarikan diri sehingga aparat hanya berusaha menurunkan dua buah bendera tersebut.

Cenderawasih Pos yang saat itu ikut dalam proses pengejaran dan penurunan dua buah bendera tersebut melihat upaya yang dilakukan aparat keamanan cukup gigih, meskipun saat itu Kota Jayapura dilanda hujan. Bahkan masyarakat yang di sekitar lokasi sangat takut dikarenakan adanya isu yang dilontarkan orang tidak bertanggungjawab soal adanya suara tembakan, kemudian ironisnya lagi bahwa sejumlah sekolah mulai dari TK sampai SMA/SMK terpaksa memulangkan siswanya karena ketakutan mendengar suara tembakan.
Sekitar pukul 07.00 WIT, aparat gabungan berhasil menurunkan sebuah bendera Bintang Kejora kemudian sekitar pukul 09.00 WIT satu bendera lagi berhasil diturunkan, namun dalam proses penurunan bendera tersebut aparat gabungan terlihat mengeluarkan tembakan ke udara guna memberikan perlawanan kepada kelompok tersebut.

Kapolres Jayapura Kota mengatakan, kelompok sipil bersenjata ini sudah menunjukkan eksistensinya.

“Dokumen-dokumen yang sudah kita temukan, ternyata mereka ini adalah kelompok TPN/OPM pimpinan Danny Kogoya yang selama ini mengganggu ketertiban umum yang akibatnya banyak korban,” ungkapnya kepada wartawan usai turun dari perbukitan.

Kapolres juga mengakui bahwa kelompok TPN/OPM pimpinan Danny Kogoya ini telah mengibarkan dua buah bendera Bintang Kejora di dua perbukitan belakang Komplek BTN Puskopad Lama. Sehingga setelah berkoordinasi dengan pihak TNI maka aparat gabungan langsung melakukan pengejaran di sekitar lokasi pengibaran bendera tersebut.

Untuk memberikan ketenangan kepada masyarakat Kota Jayapura khususnya di sekitar lokasi maka pihaknya bersama aparat TNI akan menyiagakan dan menempatkan sejumlah anggota sampai dengan situasi aman. Oleh karena itu, Kapolres menghimbau kepada masyarakat supaya tetap tenang dan bekerjasama dengan aparat keamanan untuk memberikan informasi yang berkaitan dengan gerakan kelompok tersebut. Bukan hanya itu, Kapolres juga menghimbau kepada masyarakat supaya meningkatkan keamanan masing-masing termasuk lingkungan dan keluarga bahkan masyarakat harus menghidupkan kembali pamswakarsa (siskamling).

“Masalah keamanan adalah tanggungjawab kita bersama meskipun inti dari kamtibmas itu adalah tugas aparat keamanan namun perlu adanya kerjasama masyarakat untuk mewujudkan rasa aman dengan memberikan informasi, kemudian peka terhadap situasi dan hidupkan kembali siskamling. Saya berjanji akan berupaya semaksimal mungkin dengan segala keterbatasan yang ada untuk memberikan kenyamanan kepada masyarakat,” imbuhnya.

Kapolres menegaskan, pihaknya telah memberikan perintah tegas baik itu kepada anggota polisi maupun TNI untuk tidak ragu-ragu mengambil tindakan tembak di tempat apabila menemukan kelompok itu melakukan perlawanan. Hal ini dilakukan, kata Kapolres, karena masyarakat sudah banyak menjadi korban sehingga saat ini pihak pemerintah harus mengambil sikap tegas meskipun ada beberapa oknum-oknum dari masyarakat tertentu mengucilkan aparat keamanan dalam kasus ini, namun yang jelas untuk kasus ini perlu tindakan tegas.

Sementara itu Wali Kota Jayapura Drs. Benhur Tommy Mano,MM saat ditemui Cenderawasih Pos usai malam resepsi HUT RI di Gedung Serba Guna Kantor Wali Kota Jayapura tadi malam mengaku cukup prihatin dengan berbagai kasus penembakan yang terjadi belakangan ini di Kota Jayapura tercinta ini, karena banyak warga kota menjadi tidak aman dalam melakukan berbagai aktivitasnya, baik itu berkebun, berdagang, nelayan dan sebagainya.

Oleh sebab itu pihaknya mendorong aparat keamanan untuk menuntaskan masalah ini dan mencari akar masalahnya. “Sebagai umat Tuhan kita harus banyak berdoa, agar Tuhan memberikan jalan dan menghindarkan dari masalah-masalah ini, sehingga kita dapat bekerja dengan aman dan damai,” harapnya.

Pihaknya juga bekerjasama dengan aparat keamanan untuk membangun pos polisi di Nafri dan sesuai rencana Kamis (18/7) pagi ini, pihaknya akan melakukan coffee morning bersama para tokoh adat, tokoh agama, para pemimpin paguyuban dan aparat untuk mencari solusi yang baik supaya kota ini menjadi aman.

Wali Kota Jayapura ini mengajak masyarakat untuk menjaga kesatuan dan persatuan, karena dengan persatuan ini maka bisa dilakukan pembangunan. “Kami juga menghimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dengan hal-hal yang memperkeruh suasana, karena aparat juga sudah siap untuk mengawal situasi keamanan di kota ini,” himbaunya. (nal/fud)

Kamis, 18 Agustus 2011 , 05:15:00

Papua Kenapa Terus Membara

Bagong Suyanto Konflik yang masih terus membara di Papua sesungguhnya berakar dari berbagai macam persoalan. Namun, inti sejumlah pertikaian dan bara yang meletup di Bumi Cenderawasih, menurut Tamrin Amal Tamagola (Kompas, 9/8), sesungguhnya berakar pada persoalan kewenangan Majelis Rakyat Papua yang berhadapan dengan kekhawatiran pemerintah tentang kemungkinan Papua memerdekakan diri jika MRP diberi wewenang dalam bidang politik. Benarkah demikian?

Pembagian dan perbedaan interpretasi tentang batas kewenangan masyarakat lokal merupakan salah satu penyebab munculnya konflik di Papua, tetapi, dari aspek sosiologis, faktor yang menyebabkan aksi kekerasan dan resistensi masyarakat lokal terus bergolak tak bisa direduksi hanya pada persoalan di ranah politik. Diakui atau tidak, konflik yang terus membara di Papua sebenarnya konsekuensi kekeliruan negara merancang skenario perubahan dan pembangunan yang cenderung menafikan kepentingan dan eksistensi masyarakat setempat.

Banyak kajian membuktikan, di balik kemajuan pembangunan yang berhasil dicapai di Papua, ternyata di saat yang sama juga lahir berbagai problem sosial-budaya di kalangan penduduk lokal serta tuntutan untuk melakukan berbagai penyesuaian menyikapi kehadiran situasi dan kondisi baru yang terus berubah karena dihela industrialisasi, modernisasi, dan kehadiran para pendatang dengan segala perbedaan dan kepentingannya (FISIP Unair, 2004; Rathgeber (ed), 2006).

Proses perubahan sosial yang terjadi begitu cepat terbukti telah menimbulkan implikasi dan proses adaptasi yang tak selalu mudah bagi suku-suku dan penduduk lokal di Papua untuk menyesuaikan diri dengan akselerasi perubahan sosial-budaya dan tuntutan situasi baru yang berlangsung di sekitar mereka. Bukan tak mungkin, penduduk lokal yang tak kuat dan kurang bisa beradaptasi terhadap perubahan yang berlangsung cepat di wilayahnya akan mengalami proses marjinalisasi, bahkan gegar budaya.

Polarisasi

Di Papua, dengan mudah siapa pun bisa melihat bahwa tekanan dan tuntutan pembangunan serta perubahan baru yang terlalu mementingkan kepentingan politik dan ekonomi terbukti menyebabkan terjadinya polarisasi dalam masyarakat, dan warga lokal yang seharusnya menjadi subyek pembangunan justru acap kali terpinggirkan oleh derap modernisasi. Apa yang bisa dipelajari dari kasus Papua adalah perencanaan dan pembangunan proyek yang hanya mencakup aspek-aspek teknis dan finansial—tanpa memperhitungkan biaya sosial yang harus ditanggung penduduk lokal, terutama eksistensi adat istiadat dan hak-hak adat masyarakat setempat—terbukti hanya melahirkan problem sosial-budaya.

Seperti juga terjadi di berbagai komunitas, kegagalan masyarakat lokal menyesuaikan diri (readjustment) terhadap perubahan yang cepat menyebabkan mereka mudah terpicu untuk melakukan gerakan-gerakan radikal atau tetap diam dengan memendam suatu persoalan. Studi yang dilakukan Ngadisah (2003) menyimpulkan, hakikat gerakan sosial di Papua intinya adalah penolakan terhadap kebijakan pembangunan yang mengabaikan keberadaan masyarakat lokal.

Pembangunan yang bersifat sentralistis dan dipaksakan dari atas tidak hanya melahirkan perubahan pada tradisi, tercabiknya nilai-nilai spiritual, dan perubahan pada pola mata pencaharian penduduk, tetapi juga menyebabkan terjadinya kesenjangan sosial dan perampasan hak-hak adat masyarakat lokal. Dalam rangka menuntut kembali hak-hak mereka itu, akhirnya di kalangan masyarakat Papua tidak hanya terjadi protes sosial, tetapi juga lahir gerakan sosial berkepanjangan.

Di bumi Papua, banyak kajian telah membuktikan, dalam proses pembangunan dan industrialisasi yang mengalienasikan, penduduk pedalaman umumnya cenderung menjadi korban persekutuan antara modal dan kekuasaan politik. Studi yang dilakukan FISIP Unair (2004 dan 2010) menemukan adanya indikasi bahwa investasi di sektor ekstraktif yang bertujuan mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam (hutan, tambang, dan laut) demi akumulasi modal tidak saja telah melahirkan proses perubahan sosial-budaya dan kesenjangan sosial, tetapi juga menyebabkan munculnya keresahan, bahkan resistensi sosial penduduk lokal yang teralienasi dari proses pembangunan yang sedang berlangsung di wilayahnya.

Revitalisasi budaya lokal

Untuk mengembangkan kembali identitas budaya masyarakat Papua sekaligus mengeliminasi kesenjangan sosial yang timbul, salah satu upaya yang perlu dilakukan ke depan adalah bagaimana mengembangkan proses revitalisasi unsur budaya lokal. Secara garis besar, arti penting dilakukan revitalisasi budaya di kalangan masyarakat Papua adalah, pertama, budaya pada hakikatnya merupakan media yang memungkinkan pembangunan dapat berlangsung tanpa menimbulkan efek samping berupa terjadinya kesenjangan sosial dan alienasi.

Kedua, unsur-unsur budaya mempunyai legitimasi tradisional di mata orang-orang yang jadi sasaran program pembangunan. Ketiga, unsur-unsur budaya punya aneka ragam fungsi—baik yang terwujud maupun yang terpendam—yang sering menjadikannya sarana paling berharga untuk perubahan dibandingkan dengan yang tampak di permukaan jika hanya dilihat dalam kaitan dengan fungsinya yang terwujud.

Desakan agar segera dilakukan proses revitalisasi budaya masyarakat Papua belakangan ini kian mengedepan, bukan saja dengan tujuan agar berbagai unsur budaya yang ada tidak musnah, tetapi juga supaya setiap anak Papua tak mengalami krisis identitas dan bisa tegak di atas harkat budaya leluhurnya. Anak bangsa yang kehilangan jati diri sekaligus mengalami proses marjinalisasi niscaya suatu saat akan benar-benar eksplosif jika kebijakan dan penanganan yang benar-benar arif serta empatif tak segera dikembangkan.

Bagong Suyanto Dosen Departemen Sosiologi FISIP Unair, Melakukan Studi Perubahan Sosial dan Industrialisasi di Papua 2004 dan 2010

Kompas.com, Jumat, 12 Agustus 2011 | 02:18 WIB

Referendum Diberikan, Papua Dipastikan Lepas

Gerakan Papua Merdeka
Gerakan Papua Merdeka

Jakarta – Masyarakat asli Papua merasa tidak mendapat banyak manfaat dengan bergabung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sudah setengah abad lebih bergabung, kehidupan mereka tetap tertinggal.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) Papua pada 2010, menyebutkan, sekitar 80 persen penduduk asli Papua hidup dalam keterbelakangan, miskin, dan sangat tertinggal dalam pendidikan. Rumah tangga miskin mencapai 83,04 persen atau 482.184 rumah tangga.

Padahal lebih Rp 30 triliun dana dari pemerintah telah dikucurkan untuk otonomi khusus (otsus) di Papua. Dana Otsus dikucurkan dengan tujuan untuk mendorong pembangunan infrastruktur dan sosial ekonomi masyarakat setempat, yang relatif tertinggal dibanding daerah lainnya. Tapi kondisi Papua membuktikan dana Otsus tidak mengenai sasaran atau menyimpang.

Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Maco Tabuni menilai UU Otsus Papua sudah tidak tepat sejak awal. UU Otsus Papua dianggap sebagai upaya pemerintah RI untuk memaksakan kehendaknya terhadap rakyat Papua. Dana otsus Papua, bagi Maco, hanya upaya win-win solution antara Organisasi Papua Merdeka (OPM) dengan pemerintah.

“Jadi bukan bagian penyelesaian masalah Papua. Sebab sampai saat ini banyak masyarakat Papua merasa sebagai masyarakat yang terjajah oleh RI sejak tahun 1961,” kata Tabuni kepada detik+.

Karena dana otsus itu hanya bersifat win-win solution jangan heran kalau uang triliunan tersebut digunakan tidak dengan semestinya. Dana Otsus itu hanya dijadikan bancakan oleh elit-elit di Papua untuk kepentingan ekonomi belaka. Sementara untuk kesejahteraan rakyat sama sekali tidak menyentuh.

Tabuni bahkan mengatakan pernyataan pejabat Pemda yang menyatakan orang asli Papua sudah minum susu, merupakan kebohongan besar. Sebab kenyataanya, masyarakat Papua masih menderita.

Karena alasan itu, Tabuni dan sejumlah aktivis yang tergabung dengan KNPB mendesak diadakannya referendum bagi masyarakat Papua. Pada 2 Agustus 2011 lalu, KNPB menggelar demo yang diikuti ribuan orang Papua asli di sejumlah kota untuk menyuarakan tuntutan referendum ini.

Referendum dinilai merupakan jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan di Papua yang sudah terjadi sejak 1961. Dengan cara itu bisa diketahui apa keinginan masyarakat Papua sebenarnya, mau gabung dengan pemerintah RI atau Merdeka

“Tidak ada jalan lain,” gugat Tabuni yang sempat kuliah di Manado tapi berhenti di tengah jalan.

Meski demikian saat ditanya soal seberapa banyak masyarakat Papua menginginkan referendum, Tabuni menyatakan justru dengan referendum bisa diketahui masyarakat Papua ingin bergabung dengan RI atau berdiri sendiri alias merdeka.

Sementara pengamat sosial Thamrin Amal Tamagola menyatakan, saat ini sebagian besar masyarakat Papua memang menginginkan referendum. Peta masyarakat yang menginginkan referendum ini berasal dari masyarakat Papua yang melek pendidikan dan kepala-kepala suku atau adat. Sementara untuk tokoh agama terpecah. Sebab sebagian kecil tokoh agama merasa khawatir jika diterapkan referendum di Papua. Sedangkan tokoh masyarakat yang ada di birokrasi tentu saja akan menentang referendum.

“Kalau dikalkulasi saat ini sepertinya sebagian besar masyarakat memang menginginkan referendum. Sebab sebagian besar masyarakat Papua menganggap Otsus Papua telah gagal. Petanya, referendum bakal menang,” kata Thamrin.

Kondisi ini tentu saja harus diwaspadai pemerintah pusat. Bila setuju digelar referendum, sudah hamper dipastikan Papua akan lepas seperti yang terjadi dengan Timor Leste. Untuk mengatasi desakan referendum ini, Thamrin menyarankan adanya dialog antara tokoh-tokoh Papua dan pemerintah yang dimediasi pihak ketiga.

Tapi kalau pihak ketiganya dari asing tentu saja pemerintah akan menolak. Jadi pemerintah sebaiknya meminta LIPI menjadi pihak ketiga untuk memediasi dialog tersebut. Sebab lembaga kajian ini dianggap netral, baik oleh masyarakat Papua maupun pemerintah. Apalagi LIPI memiliki roadmap soal Papua.

Bagi Thamrin, sikap masyarakat Papua yang menganggap Otsus gagal disebabkan banyaknya tindakan korup yang dilakukan elit Papua atau pejabat Pemda. Akibatnya masyarakat Papua merasa kesal dan menganggap pejabat Pemda hanya kaki tangan pemerintah pusat. Kekecewaan masyarakat Papua terhadap Pemda kemudian menimbulkan kekesalan masyarakat terhadap pemerintah pusat.

“Jadi solusinya menghilangkan dulu keengganan atau sikap apriori masyarakat Papua terhadap Otsus,” kata Thamrin.

Selain itu, Thamrin kemudian memberikan saran solusi yang diusung Frans Seda. Solusi itu berupa memberikan pendidikan kepada masyarakat Papua untuk menjadi guru atau perawat. Sebab dari penelitian yang dilakukan Frans Seda, masyarakat Papua sangat bangga bisa berkiprah langsung di masyarakat misalnya dengan berprofesi sebagai guru atau perawat.

Tapi sayangnya, gagasan yang diusung Frans Seda sama sekali tidak dipakai. Yang ada dana Otsus Papua yang digelontorkan pemerintah yang mencapai puluhan triliun rupiah lebih banyak dikorup oleh elit politik di Papua maupun pemerintah pusat. Untuk itu pemerintah diminta mereformasi pejabat-pejabat pemda Papua.

“Jangan sampai masyarakat Papua saat ini merasa dirinya terjajah. Mereka mendapat perlakuan diskriminatif dari pemerintah, baik dari segi hukum, pendidikan, sosial, dan ekonomi,” ujar Thamrin.

(ddg/nrl)
DetikNews.com

Gerakan Baru Papua Merdeka Tenang-tenang Hadapi Gugatan Pepera

Gerakan Papua Merdeka
Gerakan Papua Merdeka

Jakarta – Keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 kembali digugat. Asal muasal landasan bersatunya Papua dengan Indonesia itu dianggap cacat dan tidak sah berdasarkan hukum internasional.

Gugatan dilakukan ribuan masyarakat asli Papua saat menggelar demo di sejumlah kota pada 2 Agustus 2011. Soal tidak sahnya Pepera juga dibahas dalam konferensi International Lawyers for West Papua (ILWP) di Universitas Oxford, London, pada hari yang sama.

Kelompok yang menuntut referendum ini menilai Pepera dilakukan secara sepihak oleh Indonesia. “Bukti-bukti sejarah Pepera 1969 dari dokumen PBB benar-benar mencoreng wajah PBB,” kata Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Maco Tabuni.

Seperti apa sebenarnya Pepera 1969? Pepera sendiri digelar dari 24 Juli sampai dengan Agustus 1969. Pepera ini digelar di bawah pengawasan PBB. Sekjen PBB adalah Dubes Bolivia, Fernando Ortiz Sanz bersama-sama 16 orang pengawas PBB lainnya mengawasi Pepera ini.

Pada 23 Agustus 1968, Ortiz Sanz tiba di Papua. Ditemani 8 Pejabat resmi Indonesia yang dipimpin oleh Sudjarwo Tjondronegoro, perwakilan Jakarta untuk Papua itu, Ortiz San berkeliling Papua selama 10 hari.

Usai pengawasan ke Papua, Ortiz membuat laporan untuk Sekjen PBB U Thant, yang isinya memuji Indonesia atas usaha yang dilakukan untuk memajukan Papua. Ia juga melaporkan prinsip “satu orang satu suara” dalam referendum tidak dapat dilaksanakan di semua daerah Papua, karena kurangnya pengalaman luar dari penduduk asli Papua.

Pepera akhirnya dilaksanakan di 8 Kabupaten, yaitu Merauke, Jayawijaya, Paniai, Fakfak, Sorong, Manokwari, Biak dan Jayapura. Peserta Pepera adalah 1.026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili jumlah penduduk Papua yang berjumlah 809.327 jiwa.

Hasil dari Pepera semua peserta memilih dan menandatangani dengan suara bulat Papua merupakan bagian mutlak dari Indonesia.

Keabsahan Pepera juga diakui dunia dengan keluarnya Resolusi PBB nomor 2504 pada Sidang Umum PBB 19 November 1969. Dalam sidang itu, 82 negara setuju, 30 negara abstain dan tidak ada yang tidak setuju menyatakan tidak setuju atas keabsahan Pepera Papua.

“Hasil Pepera itu sah sesuai New York Agreement 1962 dan Pepera ini pun sudah disahkan oleh Sidang Majelis Umum PBB melalui Resolusi 2505,” tegas Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq.

Bila kini masalah Pepera kembali dipersoalkan, bangsa di Indonesia semestinya bersikap tenang dan tidak perlu bersikap terlalu reaktif. Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Juwono Sudarsono mengungkapkan Papua hanya merupakan salah satu dari puluhan masalah demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) di dunia yang kerap dipermasalahkan dalam diskusi ataupun seminar.

Selain Papua juga yang selalu disorot adalah masalah suku Amazon di Brasil, Kashmir di India yang digugat Pakistan sejak tahun 1947, konflik Palestina dan Israel dan soal Tibet di Republik Rakyat Tiongkok ata China (RRT).

“Papua itu selalu menjadi masalah aktual dari waktu ke waktu, mulai tahun 1960-an dari Soekarno sampai dengan sekarang. Akan terus terjadi gejolak sewaktu-waktu, betapapun bagusnya kebijakan pemerintah pusat dan daerah,” kata Juwono.

TB Silalahi yang pernah menangani Papua di masa Soeharto selama lima tahun mengungkapkan internasionalisasi masalah Papua dilakukan segelintir orang saja. Pelakunya adalah orang Papua di luar negeri, baik secara sendiri atau melalui Melanesian Brotherhood, suatu kelompok yang menghimpun etnis Melanesia di Pasisfik Selatan, seperti PNG, Fiji, Vanuatu dan Kepulauan Samoa atau Samoa Amerika.

“Mereka ini sebenarnya kecil kelompoknya, tapi selalu lobbying di kongres AS, Inggris dan negara Eropa lainnya. Tapi memang dulu sampai sekarang sebatas wacana, gitu-gitu aja,” kata TB Silalahi yang kini menjadi staf khusus SBY untuk Timur Tengah dan Negara Pasifik Selatan itu.

Pemerintah sendiri mengutamakan prinsip tidak mau NKRI terpecah dalam menghadapi tuntutan referendum Papua. “Jadi kita ingatkan kepada siapa saja jangan sekali-kali ingin mengubah NKRI,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.

Purnomo menyatakan, proses hukum tetap menjadi acuan utama dalam menyelesaikan masalah Papua. Yang terbukti makar akan ditindak.

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti mengingatkan pemerintah agar melakukan langkah antisipasi yang tepat terhadap gerakan prokemerdekaan Papua.

Gerakan prokemerdekaan Papua saat ini mulai bermain cantik. Mereka tidak lagi menggunakan cara kekerasan, tapi sudah menggunakan cara politik dan diplomasi internasional.

Pemerintah pusat hendaknya tidak menganggap sepele persoalan gerakan separatisme di Papua dengan anggapan bisa diselesaikan dengan pendekatan hubungan antarnegara, seperti Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Amerika Serikat, atau dengan Pemerintah Inggris dan Pemerintah Australia.

“Politik internasional itu tidak hanya ditentukan oleh hubungan antara pemerintah dengan pemerintah, tapi juga oleh aktor-aktor nonnegara yang turut berperan,” kritik Ikrar.

(iy/nrl)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny