Lambert PekikirJAYAPURA – Kongres Rakyat Papua III yang telah berakhir dan merekomendasikan Pembentukan ‘Negara Federasi Papua Barat’, ternyata tetap ditolak oleh Pimpinan TPN/OPM Wilayah Perbatasan, Lambert Pekikir. Dalam pernyatyaannya, Lembert menegaskan bahwa, hasil itu bukan aspirasi dari apa yang diharapkannya, dan itu bukanlah bagian dari aspirasi TPN/OPM. “Kami tetap menolak, apapun hasil kongres itu, karena bukan itu yang kami harapkan, itu aspirasi mereka, bukan aspirasi kami, aspirasi kami adalah merdeka, sekali lagi, kami menolak hasil itu, dan kami juga tidak menyetujui kongres itu,” ujar Lambert Pekikir saat dihubungi Bintang Papua, Rabu (19/10) malam kemarin. Kongres Rakyat Papua III yang berakhir kemarin, juga telah memilih Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden dan Edison Waromi sebagai Perdana Menteri, dan keputusan itupun tidak diakui dan ditolak oleh Lambert Pekikir. Dikatakannya, itu bukanlah yang dikehendaki oleh TPN/OPM, itu kehendak pihak lain, sehingga tidak diakui dan mereka menolak.
Lambert menegaskan bahwa, sebuah Negara yang memiliki Presiden atau Perdana Menteri adalah sebuah Negara yang sudah merdeka. “Kita ini masih berjuang, dan belum merdeka, tetapi kenapa sudah ada presiden dan perdana menteri, ada apa ini, jangan main-main dengan semua ini, jangan bohongi masyarakat,” tanya Lambert Pekikir.
“Kami juga dengar kalau ada yang mengundurkan diri dari kongres karena dibatasi dan tidak dikasih kesempatan untuk menyampaikan aspirasi atau pandangan politik, ini kan aneh, kenapa harus ada yang dibatasi dan tidak bisa sampaikan pandangan politik, saya harap itu tidak benar-benar terjadi, tetapi kalau itu terjadi, berarti ada yang sudah diseting dari kongres itu,” ujarnya lagi.
Lambert juga menegaskan bahwa, jangan membiarkan rakyat jadi korban dari keinginan pihak-pihak tertentu. “Kalau sudah kerusuhan dan terjadi penangkapan dengan terjadi tembak menembak begitu, mereka harus siap untuk bertanggung jawab, jangan lepas tangan, karena masyarakat akan menjadi korban, kita ini sudah menderita, jangan lagi tambah beban penderitaan, mereka harus bertanggung jawab, supaya rakyat tidak menjadi kambing hitam,” ujar Lambert Pekikir. (bom/don/l03)
Jika pada bagian pertama, saya mencoba menguraikan perjalanan hingga poin penting dari pernyataan sikap Panglima TPN/OPM Wilayah Perbatasan, Lambert Pekikir yang tegas menolak Kongres Rakyat Papua III, maka pada bagian akhir tulisan ini, saya akan menuangkan sedikit dari apa yang kami perbincangkan bersama sang tokoh Papua Merdeka itu di waktu rehat kami selama berada di markas Lambert Pekikir. Berikut laporannya.
Oleh : Bento Madubun
Setelah menyelesaikan upacara di siang hari itu, kami pun sepakat untuk kembali rehat sejenak sambil ngobrol santai dan sambil menikmati suasana yang asing dan sedikit menegangkan. B arisan prajurit diperintahkan untuk membubarkan diri, mereka yang tugas piket diminta kembali menjalankan tugasnya. “Kembali bergabung dengan petugas piket yang lain,” perintah sang panglima pada anak buahnya. Saya mengambil posisi duduk tepat di depan Lambert, dan saya mencoba untuk membuka pembicaraan santai dengan Pimpinan perang TPN/OPM Wilayah Perbatasan ini. “Ijin om, sudah berapa lama melakukan hal ini (menjadi pejuang Papua merdeka melalui gerilya),” tanya saya. Lambert Pekikir tidak langsung menjawab, sambil menatap mata saya, dia meletakkan sebatang rokok diantara kedua bibirnya, santai diambilnya sebuah korek dan menyalakan rokok,”Dua puluhan tahun, dulu pertama kali itu tidak masuk hutan, setelah itu baru saya masuk, dan sampai sekarang sudah dua puluh tahun saya hidup di hutan,” urainya sambil menarik dalam-dalam asap rokok.
“Sebagian masyarakat menganggap bahwa Papua sebenarnya sudah merdeka dengan otonomi khusus,” tanya saya lagi. Lambert langsung sigap menjawab pertanyaan itu,”Oh tidak, Merdeka buat kami adalah lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, terserah orang lain berpikir seperti apa, tetapi kami menginginkan merdeka,” ujarnya bersemangat. Saya melanjutkan pertanyaan yang lain,”Merdeka untuk apa ?”, Lambert merubah posisi duduknya, ia terlihat sedang memikirkan sesuatu,”Merdeka itu harga mati, hanya merdeka yang bisa jawab keinginan kami, merdeka akan menjawab tetes air mata yang menangis di atas Tanah sendiri, menangis karena lapar, menangis karena menderita, menangis karena tertindas, menangis karena diabaikan, dan menangis karena banyak kematian di atas Tanah Papua Barat ini,” ujarnya lirih, matanya sendu, Lambert terlihat sedikit sedih mengungkapkan kalimat tadi, saya tidak berani berbicara pada saat itu, saya khawatir apa yang saya bicakan akan semakin membuat keadaan menjadi buruk, situasi jadi hening, saya jadi semakin tegang dan mulai bingung harus berbuat apa, beberapa pengawalnya terus mengawasi sang panglima dan merapat kearah kami, sementara Lambert Pekikir belum juga berucap, ia sedikit tertunduk.
“Huuufth..”, situasi ini sangat buruk, saya seperti menyesal harus ungkapkan pertanyaan itu, beberapa menit lamanya kami tidak melakukan apa-apa, saya dan yang lainnya hanya menunggu apa yang akan disampaikan oleh Lambert, dan saya terus berharap agar Lambert tidak terus larut dalam suasana seperti ini. “Masih ada pertanyaan lagi ?”, Lambert mengangkat kepalanya dan melihat ke arah saya, Oooh sungguh sebuah timing yang luar biasa, Lambert seperti seorang ahli psikolog yang mampu memainkan emosi kami semua yang berada disitu pada saat itu,”Kalau Pak Lambert keberatan ada pertanyaan lagi, tidak apa apa, atau kita bicarakan barang lain saja,” saya coba mengalihkan topik yang menegangkan itu,”Aah santai saja, tidak usah panggol Pak, panggil om saja hehehee,” ujarnya sambil tertawa, kami semua menyambut tawa Lambert dengan ikut tertawa,”Oke kalau begitu, terima kasih Om,” saya kembali melanjutkan pertanyaan,”Siapa pelaku kejadian di Nafri dan Tanah Hitam om”. Lambert santai dan senyum sumringah,”Saya sudah pernah sampaikan ini di media, begini, akan jauh lebih indah kalau pertanyaannya adalah kenapa itu terjadi, jadi jangan tanya siapa yang lakukan itu, itu akan jauh lebih indah hehee,” jawabnya diplomatis.
Pembicaraan kami kemudian terhenti, karena salah seorang prajurit Lambert Pekikir yang bertugas sebagai pengintai datang dan memberikan laporan bahwa, ada pergerakan mencurigakan sekitar dua kilometer dari tempat kami duduk,”Siapkan tim penghadang, pasukan siaga, teman-teman wartawan jadi prioritas pengamanan, kita pindah ke lokasi lain,” perintah Lambert, saat itu juga kami bergeser ke lokasi yang lain, berjarak sekitar 80 meter dari lokasi sebelumnya.”Santai saja, disini aman mo,” ujar Lambert mencoba meredam rasa takut kami.”Ayo lanjutkan lagi, kalau masih ada pertanyaan, kalau tidak ada ya, kita akan siapkan proses untuk antar teman-teman ‘keluar’ dari sini,” tambahnya,”Masih ada om, satu lagi,” pinta saya,”Apakah om dan teman-teman merasa ada orang atau pihak lain yang sedang memanfaatkan perjuangan panjang yang sudah om lakukan selama puluhan tahun ini,” tanya saya. Lambert kemudian sedikit terdiam dan terlihat ia tersenyum sinis,”Saya tidak bisa secara ‘terang’ menjawab ini, tetapi asas manfaat itu memang diciptakan untuk dimanfaatkan, saya hanya berharap agar perjuangan ini jangan lagi dinodai, ini perjuangan untuk menentukan nasib sebuah bangsa, ingat bahwa, perjuangan ini bukan main-main,” harap Lambert, dari apa yang disampaikan, tersirat bahwa, apa yang diperjuangkannya bersama pejuang-pejuang sebelum dirinya adalah untuk sebuah tujuan yang jelas, yaitu, Merdeka,”Itu jelas, jadi tidak perlu ada lagi kongres-kongres, tidak perlu ada lagi negosiasi dan segala tawaran lain, itu hanya akan bikin panggung baru dari perjuangan panjang ini,” tegasnya.
Selama perjalanan kami pulang, saya terus tergiang dengan apa yang disampaikan oleh Lambert Pekikir tentang panggung baru dalam perjuangan mereka, saya jadi teringat dengan apa yang pernah disampaikan oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi West Papua, General TRWP Mathias Wenda, saat diwawancarai PM News, kira-kira seperti inilah kutipannya,”Generasi sekarang dan ke depan jangan sama dengan generasi saya. Generasi saya pantas. Bapak Nicolaas Jouwe dulu main politik lebih bagus, tidak sama dengan dia pu cucu-cucu sekarang. Sebuah acara yang diselenggarakan untuk nasib sebuah bangsa dan Tanah yang besar ini tidak bisa seorang anak tiba-tiba muncul di panggung politik lalu bicara, ‘Saya mau bikin kongress!’ Eh, eh, eh, ini bukan barang main-main. Ini nasib sebuah bangsa dan sebuah Tanah yang besar. Itu baru dari segi politik, saya tidak masuk ke aspek hukum, dari hukum revolusi. Kalau hukum revolusi, maka memang siapa saja boleh berbicara, tetapi semuanya harus diatur menurut alunan suara yang sedang berkembang, bukan mengeluarkan nada-nada sumbang di tengah-tengah paduan suara yang sedang bernyanyi. Artinya, jangan bikin panggung terlepas satu dengan lain, jangan juga bernyanyi di atas panggung orang lain, seolah-olah itu panggungmu, padahal tidak. Jangan juga membiarkan orang sembarangan datang naik panggungmu dan bernyanyi semaunya.
Apa yang sebenarnya dimaksudkan oleh Lambert Pekikir dan Gen. TRWP Mathias Wenda dari pernyataan mereka tersebut, apakah maksud mereka bahwa kongres rakyat Papua III adalah panggung lain dari perjuangan Papua Merdeka, bisa iya, bisa juga tidak, entahlah…! (Selesai)
Pemimpin TPN/OPM Wilayah Perbatasan, Lambert Pekikir, bersama sebagian kekuatan militernya, saat dikunjungi Bintang Papua, di Markas Besarnya, Kamis (13/10) kemarinPemimpin TPN/OPM Wilayah Perbatasan, Lambert Pekikir, bersama sebagian kekuatan militernya, saat dikunjungi Bintang Papua, di Markas Besarnya, Kamis (13/10) kemarin.
JAYAPURA – Meski rencana pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III tinggal menghitung hari, namun rencana itu masih terus menuai pro kontra. Kali ini Pemimpin Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) wilayah perbatasan, Lambert Pekikir dari Markas besarnya, menyatakan dengan tegas, menolak Kongres Rakyat Papua III yang rencananya akan dilaksanakan pada 16 Okteober 2011 nanti, Menurut Pekikir, Kongres tersebut bukanlah solusi bagi keinginan TPN/OPM yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara gamblang, Lambert Pekikir, juga berpendapat bahwa, apa yang sudah dilakukan pada kongres-kongres sebelumnya ternyata tidak memberikan hasil apa-apa,”Kongres pertama, tidak ada hasil, kongres kedua, juga tidak ada hasil, malah muncul otonomi khusus, sekarang mau bikin kongres ketiga lagi, untuk apa ? tidak ada gunanya,” tegas Lambert Pekikir kepada Bintang Papua, di Markas besarnya, Kamis (13/10) kemarin.
Lambert Pekikir yang saat didatangi Bintang Papua, sedang memimpin upacara dengan sekitar 50 bala tentara bersenjata, juga menyampaikan beberapa hal sebagai tuntutan dari TPN/OPM yang selama ini melakukan perjuangan tanpa lelah, bertumpah darah, hingga korban nyawa,”Inilah perjuangan Papua Barat, saya dan teman-teman memulai perjuangan dengan jalan seperti, dan akan tetap seperti ini, kami tidak akui kongres itu, karena itu adalah sebuah kekeliruan, rakyat yang ingin merdeka tetapi mengikuti kongres itu adalah sebuah kesalahan dan kekeliruan,” teriaknya.
Secara khusus, Lambert Pekikir menegaskan bahwa,”Merdeka adalah jawaban atas kematian, darah, tangis air mata yang berderai selama ini, kami sudah lama menderita, kami sudah lama susah, jangan lagi bodohi kami dengan trik-trik murahan, perjuangan ini adalah untuk mencapai kemerdekaan, dan kongres tidak bisa menjawab itu,” tegasnya lagi.
Selain penolakan tegas atas Kongres Papua III yang akan digelar, Lambert Pekikir juga, secara lantang menyampaikan bahwa,” Organisasi Papua Merdeka bersama kekuatan militernya, Tentara Pembebasan Nasional, Menolak segala bentuk tawaran Pemerintah Negara kesatuan Republik Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik politik yang terjadi di tanah Papua Barat !,” ujar pria brewok yang juga menjabat Koordinator umum TPN/OPM se Papua itu.
Selain Pimpinan TPN/OPM, penolakan kongres juga datang dari Presidium Pemuda Peduli Rakyat (Pepera).
Menurut Pepera dalam statemennya yang dibacakan Ketua Gerakan Mahasiswa dan Pemuda Indonesia (GMPI), Stev Waromi, penolakan terhadap penyelenggaraan Kongres tersebut adalah karena masalah kebangsaan di Papua sudah tuntas.
“Papua adalah wilayah yang sah dari NKRI, tidak perlu mengorbankan rakyat banyak,” ungkapnya dalam sebuah jumpa pers di Prima Garden, Kamis (13/10).
Selain itu, Kongres Papua III adalah sebuah kebohongan public. “Elite politik, WPNA/ILWP stop melakukan pembohongan public. Kita semua tahu bahwa sampai saat ini internasional tetap mendukung wilayah Papua sebagai bagian yang sah dari NKRI. Jadi tidak poerlu membongi rakyat, seolah-olah ada dukungan internasional,” tegasnya.
Sementara itu, Ketua Gerakan Merah Putih (GMP), Simion Ohee menyatakan bahwa Penentuan Pendapat Rakyat Tahun 1969 yang dikenal dengan Pepera, sudah diakui dunia internasional. “Itu adalah salah satu fakta sejarah yang sudah diakui oleh negara-negara di dunia, dan tidak bisa diganggu gugat,” ungkapnya.
Sehingga, menurutnya yang paling penting untuk dipikirkan bersama adalah bagaimana dapat membangun Papua dari berbagai aspek pembangunan, baik pembangunan manusia, pembangunan ekonomi, dan pembangunan lainnya. “Alangkah baiknya bicara soal Sumber Daya Manusia (SDM) kita orang Papua supaya lebih maju. Papua sudah sah dalam NKRI kok,” ungkapnya lagi.
Dikatakan juga terkait dengan puluhan triliun rupiah yang digelontorkan untuk Papua, Ia mempertanyakan arah dana tersebut. Karena ia menduga bahwa dana tersebut adalah banyak yang dikorupsi. Dan untuk menutupi korupsinya, dengan membayar orang-orang untuk mengalihkan dari issu korupsi ke issu referendum ataupun issu merdeka.
Karena itu, Ia menghimbau semua pihak untuk tetap menjaga rasa persatuan san kesatuan untuk membangun Papua. “Jangan terpengaruah issu merdeka. Karena kita sudah merdeka untuk membangun, merdeka kesehatan, merdeka di bidang ekonomi, itu yang perlu dipikirkan saat ini,” harapnya.(bom/aj/don/l03)
Maraknya pemberitaan soal rencana akan digelarnya Kongres Rakyat Papua III , rupanya juga ‘tercium’ sampai ke hutan belantara sana, tepatnya ke Markas TPN/OPM wilayah perbatasan. Terkait dengan itu, Pemimpin TPN/OPM Wilayah Perbatasan, Lambert Pekikir mengundang kami datang ke sana. Dengan dasar itu saya bersama dua rekan wartawan lainnya, berupaya menemui Lamber Pekikir guna mengetahui sikapnya terhadap kongres tersebut (mengenai sikapnya sudah dimuat dalam tulisan sebelumnya). Bagaimana lika-liku perjalanan menemuai mereka. Berikut laporannya
Oleh : Bento Madubun
Lambert Pekikir, saat diwawancarai Bintang Papua, Kamis (13/10) lalu.HARI itu Kamis, tanggal 13 Oktober 2011, pukul 03.00 WIT, saya bersama dua rekan wartawan dari TVone, dan Suara Pembaruan, berada dalam sebuah kendaraan yang sedang melaju ke suatu tempat yang sudah dijanjikan sebagai lokasi pertemuan antara kami bertiga dan penunjuk jalan yang akan mengantar kami ke tempat yang ingin kami tuju, yaitu, Markas Besar TPN/OPM Wilayah Perbatasan, yang dikomandani oleh, Lambert Pekikir
Ya, Lambert Pekikir, nama pria ini tidak lagi asing di kuping masyarakat Jayapura bahkan Papua, terutama para aparat keamanan disini, pria ini ditengarai bersama kekuatan militernya, Tentara Pembebasaan Nasional Papua Barat, melakukan serangkaian aksi di wilayah Jayapura dan sekitar perbatasan RI-PNG, Keerom, bahkan sampai ke wilayah Serui, walaupun Lambert Pekikir selalu membantah tuduhan tersebut. Sesuatu lantas terbersit dalam benak saya,”Seperti apa sosok pria ini,” rasa penasaran bergelayut kuat di alam pikiran saya.
“Dia baik dan ramah kok hehe,” timpal salah satu rekan wartawan,”Nantilah lihat sendiri saja,” tambahnya. Rekan saya ini, sebelumnya sudah pernah bertemu dengan Lambert,”Tapi itu sudah lama, beberapa tahun lalu, saya tidak tahu sekarang Lambert sudah seperti apa,” imbuhnya lagi.
Kami terus menyusuri perjalanan subuh itu, hari semakin terang, dan kami sudah mulai memasuki daerah yang belum pernah saya jelajahi, dua jam sudah perjalanan kami tempuh dengan kendaraan, akhirnya kami berhenti dan harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, babak baru perjalanan kami dimulai dengan menapaki rumput ilalang, bukit, dan pohon-pohon.
Empat orang pria yang tidak kami kenal berjalan di depan kami, mereka menuntun kami menyusuri belantara rimba yang rimbun, tiba-tiba di belakang kami muncul dua orang lain yang bersenjata lengkap dan mengawasi perjalanan tersebut,”Minta tolong untuk tidak bicara keras-keras,” ujar salah satu diantara empat orang yang berada di depan kami, perjalanan terus kami lanjutkan, lebih satu jam sudah kami menerobos kawasan ‘asing’ tersebut,”Sekitar satu kilo lagi,” gumam seorang penuntun jalan.
Berada ditengah hutan rimbun dengan enam orang yang tidak kami kenali dan dua diantaranya bersenjata lengkap, sedikit membuat saya kecut, namun, rasa takut itu segera hilang setelah muncul keinginan yang kuat untuk mendengarkan langsung apa yang ingin disampaikan oleh Lambert Pekikir selaku Koordinator TPN/OPM. Keinginan kami untuk menemui Lambert Pekikir tersebut adalah untuk memenuhi undangan Lambert Pekikir yang ingin menyampaikan sesuatu terkait akan dilangsungkannya Kongres Papua III pada tanggal 16 Oktober 2011 nanti.
Berselang beberapa waktu, kami sudah berada dihadapan seorang pria brewok, dengan menenteng sebuah senjata dipunggungnya. “Selamat datang teman-teman wartawan, semoga perjalanannya menyenangkan,” ujar pria tersebut, yang ternyata adalah, Lambert Pekikir. Kami pun bersalaman, terasa genggaman tangan yang sangat erat, badannya kekar berotot, sorot matanya tajam, dari mulutnya tergambar sebuah senyuman yang ramah,”Mari silahkan,” ujarnya sambil mempersilahkan kami untuk menyusuri sebuah jalan setapak di hadapannya, kami pun berjalan menyusuri jalan bersama Panglima Perang TPN/OPM wilayah Victoria, Lambert Pekikir.
“Bagaimana perjalanan tadi, cape juga ka,” tanyanya sambil tertawa lirih, seakan mengetahui kelelahan yang kami derita dalam perjalanan tadi, kami pun hanya bisa menjawab pertanyaan Lambert itu dengan tertawa,”Punya selera humor juga sang pejuang ini,” kata hati saya.
“Kami baru selesai apel, jadi teman-teman istirahat dulu sebentar baru setelah itu kami sampaikan pernyataan sikap,” minta Lambert sambil mengajak kami duduk,”Yah kita isap-isap rokok dulu e, capek skali jadi,” saya coba akrabkan diri dengan suasana pagi yang cerah di belantara rimba dengan seorang Panglima pejuang Papua Merdeka yang terkenal itu. ”Kita sering bicara di telepon, saya dari Bintang Papua, akhirnya hari ini saya bisa ketemu dengan om Lambert,” kata saya, Lambert membalas dengan senyum lebar dan anggukkan kepala,” ya ya”.
Berselang beberapa waktu, Sang Panglima Perang tiba-tiba mengeluarkan suara yang sepertinya menjadi kode-kode tertentu, dan seketika, dari balik pepohonan, batu dan rumpul ilalang, bermunculan puluhan pria-pria bersenjata, sontak, kami terkejut, karena sama sekali tidak mengetahui bahwa diantara tempat duduk kami itu ternyata ada puluhan prajurit bersenjata, sungguh sebuah penyamaran yang sangat sukses membuat kami kaget setengah mati, dua rekan saya pun menggeleng-gelengkan kepala pertanda kaget dan mengakui penyamaran yang dilakukan,”Mereka ini yang piket,” ujar Lambert.
Berkisar 50 orang prajurit itu berbaris menghadap Lambert Pekikir yang berdiri tegap dengan dua pengawal yang setia menjaga sang Panglima, diujung kanan barisan prajurit, seorang pria berdiri tegap, dialah sang komandan upacara, disamping kanan Lambert, berbaris sejajar tiga orang prajurit, dua prajurit di kiri dan kanan memegang senjata, sementara yang di tengah memegang bendera Bintang Kejora berukuran 2 X 3 meter, Bendera tersebut diikatkan pada sebuah bambu yang panjangnya sekitar 4 meter, seorang pria lainnya berdiri disamping kiri barisan prajurit, pria ini adalah pemandu upacara, dan kami bertiga berada di samping area upacara.
“Upacara dalam rangka pernyataan sikap Organisasi Papua Merdeka dengan kekuatan militernya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat, dibawah pimpinan Panglima Revolusi Papua Merdeka, segera dimulai, pembacaan doa !” teriak pemandu upacara, Lambert Pekikir selaku Pemimpin upacara, lantang membacakan doa bagi keberlangsungan kegiatan yang akan ikuti. Setelah itu, rangkaian upacara terus berlangsung, saya pun bergumam didalam hati,”Sungguh sebuah seremoni upacara yang rapih ditengah-tengah belantara hutan rimba”.
“Sebagai pejuang Papua Merdeka yang telah berjuang selama pulihan tahun, Kami Organisasi Papua Merdeka, dengan kekuatan militernya, Tentara Pembebasan Nansional Papua Barat, menyatakan bahwa, Satu, Dengan tegas menolak segala bentuk tawaran dari Pemerintah Negara Indonesia dalam upaya penyelesaian konflik politik di tanah Papua Barat. Kedua, Dengan tegas menolak dan tidak mengakui Kongres Papua III yang akan dilakukan pada tanggal 16 Oktober 2011,” Ujar Lambert Pekikir dalam membacakan pernyataan sikap TPN/OPM.
Beberapa hal kemudian disampaikan oleh Lambert Pekikir, diantaranya terkait aksi-aksi penembakan dan penyerangan di daerah Nafri dan Abe Pantai, bagaimana penuturan Lambert terkait hal tersebut ?, Ikuti selengkapnya pada edisi berikutnya. (bersambung/ don/l03)
JAYAPURA [PAPOS] – Kepolisian Daerah [Polda] Papua membantah secara tegas isu bahwa penyisiran gabungan TNI-Polri di kabupaten Paniai meresahkan masyarakat, Papua Pos edisi Rabu [7/9].
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat [Humas] Polda Papua, Komisari Besar Polisi, Wachyono ketika dikonfirmasi Papua Pos lewat telepon selularnya, Rabu [7/9].’’Isu penyisiran meresahkan masyarakat Paniai, itu tidak benar. Sebab TNI-Polri melakukan penyisiran adalah untuk mencari dua senjata yang dirampas oleh kelompok kriminalitas berapa minggu lalu,” ujar Kabid Humas.
Menurut Kabid Humas, apakah benar isu penyisiran meresahkan masyarakat harus di cek dulu ke lokasi kejadian, tidak bisa hanya menerima informasi sepihak. “Penyisiran yang dilakukan TNI-Polri ini bukan semata-mata untuk menakut-nakuti masyarakat atau membuat supaya mereka panik hingga mereka tidak melakukan aktifitas, tetapi penyisiran dilakukan untuk menangkap pelaku perampasan senjata anggota Polri, itu saja,” tegasnya.
Justru kata dia, keberadaan TNI-Polri di Paniai disambut hangat oleh masyarakat. Masyarakat malah senang dan merasa tenang ketika TNI-Polri bersama warga. Demikian juga saat dilakukan penyisiran situasi di Kabupaten Pania berjalan aman dan tidak ada kepanikan.
Jika memang kata Kabid Humas penyisiran meresahkan masyarakat seyogianya disampaikan ke Kapolres. ‘’Justru saya jadi bertanya keresahan masyarakat itu bagaimana dan seperti apa,’’ imbuhnya.
Untuk itu, dia menghimbau kepada seluruh masyarakat agar tetap tenang dan tidak mudah terprofokasi oleh adanya isu-isu yang tidak bertanggungjawab. Bila memang ada informasi yang dapat mengancam nyawa dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab agar segera disampaikan kepada petugas atau aparat kemanan untuk segera ditindaklanjuti.
Ketika disinggung apakah sudah ada titik terang pelaku perampasan senjata milik polri itu. Kabid Humas mengakui bahwa pelaku belum ditemukan. “ Pelaku akan tetap kita kejar dengan melakukan penyisiran guna menangkap pelaku, tetapi bukan untuk meresahkan masyarakat,” jelasnya. [loy]
Written by Loy/Papos
Thursday, 08 September 2011 00:00
JAYAPURA – Meski secara umum Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia di Provinsi Papua kali ini berjalan lancar, namun di beberapa daerah peringatan ini justru diganggu oleh kelompok orang tak dikenal (OTK).
Dari data yang berhasil dihimpun Cenderawasih Pos, seorang Prajurit TNI-AD bernama Prada Jamila dari kesatuan 753/AVT ditembak oleh sekelompok orang tak dikenal (OTK) saat melakukan pengamanan upacara HUT RI di Kampung Wandenggobak, Distrik Mulia Kabupaten Puncak Jaya, Rabu (17/8) pagi sekitar pukul 08.30 WIT.
Akibat tembakan itu, Prada Jamila mengalami luka tembak di kaki bagian paha kanan atas tembus ke bagian belakang.
Gangguan lainnya oleh OTK itu terjadi di Kabupaten Paniai. Tepatnya Rabu (17/8) sekitar pukul 09.30 WIT, OTK itu melakukan penembakan dari arah gunung ke lokasi pelaksanaan upacara HUT RI di Kota Enarotali, Kabupaten Paniai. Namun berkat penjagaan aparat, upacara pun berhasil dilaksanakan hingga tuntas.
Sementara sebelumnya, penembakan oleh kelompok OTK terjadi di Kampung Pagepota dan Uwibutu, dua kampung terdekat di Madi, ibu kota Kabupaten Paniai, Rabu (17/8) pukul 05.00 hingga pukul 07.00 WIT. Dalam kejadian ini tidak ada korban jiwa, hanya terjadi kontak senjata dengan aparat TNI dan polri yang bertugas di sana.
Tidak hanya itu, pada Selasa (16/8) kelompok OTK itu menyerang Polsek Komopa Kabupaten Paniai. Dalam penyerangan ini, dua 2 pucuk senjata api milik Polri masing-masing bernomor seri B 20022 dan B 101187 dan 10 butir amunisi berhasil dirampas oleh OTK itu. Pada kasus penembakan yang terjadi di Puncak Jaya itu, pihak TNI berupaya mengejar pelaku hingga terjadi kontak senjata. “Namun dari kontak senjata serta pengejaran itu, para pelaku tidak bisa ditangkap sebab melarikan diri ke hutan,” ujar sumber terpercaya kepada Cenderawasih Pos. Sedangkan korban penembakan kemudian dievakuasi ke Rumah Sakit Mulia Puncak Jaya dan akhirnya korban diterbangkan ke Jayapura untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut di RS Marthen Indey.
Panglima Kodam XVII/Cenderawasih, Mayjen TNI Erfi Triassunu saat dikonfirmasi melalui telepon selulernya membenarkan adanya penembakan tersebut. “Para pelaku penembakan tersebut merupakan sekelompok gerakan pengacau keamanan (GPK) yang berniat mengacaukan pelaksanaan upacara detik-detik proklamasi kemerdekaan,” katanya.
Dalam penembakan yang dilakukan GPK, Pangdam mengatakan bahwa aparat sempat melakukan pencegahan terhadap GPK itu. “Pecegahan yang dilakukan prajurit dengan cara melakukan perlawanan serta pengejaran terhadap mereka, demi terlaksananya upacara pengibaran bendera Merah Putih,” ungkapnya.
Kemudian terkait penembakan di Paniai, Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Wachyono saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos membenarkan adanya penembakan tersebut.
“Ya laporannya sudah saya terima, kini kami pihak kepolisian telah melakukan pengamanan di daerah wilayah hukum Polres Paniai itu,” jelasnya Pihaknya menjelaskan, aparat kepolisian berhasil melakukan penjagaan dan pengamanan dalam upacara bendera tersebut hingga sampai pada puncaknya. “Kami pihak kepolisian harus memberikan rasa keamanan dan kenyamanan kepada masyarakat supaya bendera merah putih harus tetap dinaikan dalam upacara pengibaran bendera tersebut,” terangnya.
Sedangkan pada Selasa (16/8) sekitar pukul 01.00 wit, sumber terpercaya Cenderawasih Pos menjelaskan bahwa sekelompok Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) yang berjumlah sekitar 30 orang dipimpin oleh Jhon Yogi melakukan penyerangan ke Polsek Komopa Kabupaten Paniai.
Dalam penyerangan tersebut, 2 pucuk senjata api masing-masing bernomor seri B 20022 dan B 101187 serta 10 butir amunisi milik Polri yang bertugas di Polsek Komopa berhasil dirampas. ‘Perampasan tersebut dilakukan dengan cara pelaku mendobrak dan menodongkan senjata kepada salah satu anggota Polsek Komopa bernama Briptu Hendrik,” terangnya.
Dijelaskan sumber tersebut, sebelum merampas dua pucuk senjata api itu, kelompok tersebut terlebih dahulu menyandera seorang istri anggota Polsek Kamofa yang pada saat itu berada di Polsek. Selanjutnya kelompok tersebut meminta supaya senjata diserahkan sehingga setelah diserahkan maka istri anggota polisi itu langsung dibebaskan.
“Informasi yang beredar bahwa terjadi penembakan ketika merampas dua pucuk senjata api itu adalah tidak benar. Kelompok itu tidak mengeluarkan tembakan tapi hanya menyandera kemudian membebaskannya setelah mendapatkan senjata dan langsung melarikan diri,” kata sumber itu.
Secara terpisah, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol. Wacyono ketika dikonfirmasi terkait kejadian tersebut mengaku belum mendapatkan laporan tersebut dan pihaknya masih melakukan kordinasi dengan Kapolres Paniai tentang kejadian tersebut.
Sementara penembakan oleh kelompok orang tak dikenal (OTK) terjadi di kampung Pagepota dan Uwibutu, Kabupaten Paniai, Rabu (17/8) pukul 05.00-07.00 WIT. Dalam kejadian ini tidak ada korban jiwa, hanya terjadi kontak senjata dengan aparat TNI dan Polri yang bertugas di sana.
Selain penembakan di dua kampung tersebut, penembakan juga kembali terjadi sekitar pukul 09.30 WIT di Kota Enarotali saat upacara 17 Agustus digelar.
Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen Erfi Triassunu saat dimintai keterangan di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua Dok II Jayapura, tadi malam membenarkan soal peristiwa tersebut.
Menurutnya setelah terdengar rentetan penembakan itu, aparat keamanan baik TNI dan Polri yang bertugas di dekat lokasi penembakan langsung melakukan pengejaran terhadap para pelaku, dan sempat terjadi kontak senjata dengan aparat keamanan, namun para pelaku lebih dulu menghilang ke dalam hutan, hanya menyisahkan satu buah pistol.
“Mereka ini kelompok yang berusaha mengacaukan peringatan HUT Proklamasi di Enarotali, hanya saja kami belum memastikan mereka ini berasal dari mana,” ungkapnya.
Pangdam menegaskan, meskipun ada pihak yang berusaha mengganggu jalannya peringatan HUT di Papua, namun secara keseluruhan peringatan HUT RI berjalan dengan aman dan lancar.
“Saya menghimbau kepada masyarakat Papua agar tidak terprovokasi. Marilah kita bersama-sama menjaga keamanan, dengan kondisi yang aman, maka pembangunan dan pekerjaanya kita semua bisa aman dan lancar,” tambahnya.
Sementara di Kabupaten Keerom beredar isu bahwa telah terjadi penembakan terhadap seorang anggota kepolisan dari Polres Keerom di di Arso 7, Kabupaten Keerom, Rabu (17/8) sore kemarin.
Namun informasi penembakan ini dibantah oleh Kapolres Keerom, AKBP Drs. Bedjo PS. “Ah itu cuman isu yang dibuat-buat oleh orang-orang tertentu dan tidak bertanggung jawab untuk sengaja memperkeruh situasi keamana dan keteribaan masyarakat di wilayah hukum Polres Keerom,” ungkapnya singkat saat dikonfirmasi Cenderawasih Pos, tadi malam.
AKBP Bedjo menegaskan bahwa isu tersebut tidak benar. “Secara keseluruhan Kamtibmas menjelang hingga usai upacara HUT RI dalam kondisi yang kondusif. Saya dan anggota telah mengecek langsung informasi tesebut ke lokasi kejadian, namun tidak terjadi penembakan terhadap anggota saya itu,” pungkas Kapolres. ((ro/nal/cak/ben/fud)
Tentara dan Polisi Kolonial Indonesia dalam posisi tiarap dan siaga menghadapi gerilyawan Papua MerdekaJUBI — Rabu (17/08), sekitar pukul 01.55 WIT, terdengar rentetan tembakan di Pagepota dan Uwibutu, dua kampung terdekat di Madi, ibukota kabupaten Paniai. Demikian dilaporkan oleh wartawan tabloidjubi.com di Paniai. Namun laporan wartawan tabloidjubi.com ini belum menyebutkan adanya korban jiwa dari peristiwa tersebut.
Sementara sumber lain tabloidjubi.com di Paniai menyebutkan bahwa sekitar jam 05.00 waktu Paniai (17/08), kelompok sipil bersenjata yang diduga sebagai TPN/OPM menggunakan dua lokasi di sekitar daerah Madi untuk menyerang TNI/POLRI yg bermarkas di sana. Dua tempat tersebut adalah sekitar kantor DPRD Paniai dan di mata jalan menuju Bibida. Disebutkan juga bahwa karena dua tempat yg di kuasai oleh kelompok sipil bersenjata itu, warga yang mendiami kota Madi tak bisa kemana-mana karena dua lokasi tersebut adalah akses keluar masuk orang dari Madi ke Enaro dan Bibida dan sebaliknya, selain lewat Ekaugi.
Dilaporkan juga bahwa tembak menembak sempat berhenti beberapa saat, namun kembali terjadi pada pukul 05.00 hingga 07.00 pagi. Selang dua jam kemudian, 09.30 WIT, tembakan kembali menyalak di kota Enarotali. Sampai saat laporan ini diberitakan, bunyi tembakan masih terdengar jelas.
Dua hari sebelumnya (15/08), pihak Gereja Kingmi Sinode Papua Koordinator Paniai dan Gereja Katolik Dekanat Paniai telah menyatakan sangat prihatin terhadap situasi keamanan sejak beberapa hari terakhir di wilayah Kabupaten Paniai. Sebab, beredarnya isu akan ada kontak senjata antara TPN/OPM dan aparat keamanan, meresahkan umat/masyarakat, bahkan sebagian orang sudah mengungsi ke tempat yang dianggap aman. (J/01)
Kapolresta Jayapura memperlihatkan kepada wartawan satu dari tiga bendera opm yang berhasil disita oleh aparat kepolisian. (Roy Purba/Cenderawasih Pos)JAYAPURA – Polres Jayapura Kota menyita dokumen yang diduga kuat milik Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang ditemukan di tengah Hutan daerah Abe-Arso saat melakukan penyisiran, beberapa hari yang lalu.
Kepada wartawan Kapolres Jayapura Kota, AKBP H Imam Setiawan,SIK, didampingi Kabag Ops, Kompol Junoto, Kasubag Humas, Ipda Heri Susanto,SH menjelaskan bahwa barang bukti tersebut ditemukan saat TNI-Polri melakukan penyelusuran ke tengah hutan selama dua hari. “Sayangnya saat itu kelompok tersebut mengetahui kedatangan kami, sehingga lebih awal pergi meninggalkan tempat tinggal mereka,” tuturnya, Senin (15/8).
Dalam penyusuran tersebut bahwa ditemukan markas yang diduga milik OPM yang cukup lengkap dengan Pos Patroli, markas utama, Gubug beserta tempat tinggal, dapur dan juga lapangan upacara . “Di mana bahwa dari dokumen yang disita, jumlah mereka ada sekitar 19 orang. Di mana tertera nama pimpinannya adalah Danny Kogoya di Nafri, yang juga merupakan pimpinan penyerangan Nafri 1 Agustus 2011 yang juga diduga salah satu pelaku nafri 1 tahun lalu,” terangnya.
“Dalam dokumen penyerangan Nafri 2, lengkap dengan nama-nama anggotanya sebanyak 19 orang, dan nama-nama ini akan dipertajam kembali dengan melibatkan semua komponen termasuk TNI untuk melakukan pengejaran terhadap ke 19 nama yang terlampir di dokumen dan didalam dokumen juga terdapat penyerangan 17 Agustus juga kami telah temukan, selain itu sejumlah barang bukti lain saat kami gerebek di Abe Gunung pada beberapa hari lalu,” ujarnya.
Selain dokumen, tim penyelusuran juga mendapatkan 3 bendera Bintang Kejora, dua di antaranya merupakan buatan manusia, sedangkan satu lagi buatan mesin yang dilabel dari Negeri Belanda. “Bendera yang bagus ini ada lambang kecil bendera Belanda dengan bertuliskan “Document Siagn Centrelo”, namun belum bisa dipastikan apakah bendera tersebut didatangkan dari Belanda atau dibuat di Belanda, namun kami akan menelitinya secara pasti,” ucapnya.
Tak hanya itu saja, tim juga menemukan beberapa amunisi dari berbagai jenis serta panah dan anak panahnya, handphone dan banyak lainnya, termasuk kain merah yang terdapat di anak panah saat kejadian di nafri. “Sayang penggerebekan ini bias diketahui mereka lebih awal, namun hal ini juga kami akan selidiki siapa yang membocorkan pengerebekan ini,” katanya.
“Yang jelas, hasil dari penggerebekan tersebut kami sudah bisa mengetahui rencana-rencana mereka, baik yang sudah dilakukan mau pun yang belum terlaksana serta menyangkut kepangkatan mereka. Dan satu lagi kami juga menemukan beberapa nama pejabat di lingkungan Papua yang menjadi target mereka, terlebih saya juga merupakan target mereka,” ungkap Kapolres.
Kapolres mengatakan bahwa Danny Kogoya kini telah dijadikan Daftar Pencarian Orang (DPO) beserta 18 orang lainnya. “Tapi terkait nama-nama yang lainnya saya belum bisa sebutkan, karena kita masih menyelidiki mereka secara intensif,” tuturnya.
Tak hanya itu Kapolres menyatakan bahwa ada salah satu dokumen beita penangkapan Lambertus, yang pernah ditangkap dengan kasus Nafri pertama. “Saat itu Lambertus dilepaskan terkait tidak adanya bukti-bukti kuat untuknya. Tapi mulai hari ini saya akan menangkapnya karena saya sudah bukti kuat terhadapnya,” tegasnya.
Saat ditanya terkait tanggal 17 Agustus yang mana hari kemerdekaan kita NKRI dari penjajahan, berapakah anggota yang akan dikerahkan untuk melakukan pengamanan? Kapolres menjawab bahwa pihaknya akan mengamankan Kota Jayapura dengan 800 personil. Di mana di antaranya bekerja sama dengan TNI-Polri.
Kapolres meminta kepada masyarakat untuk bisa tetap menciptakan suasana aman dan tentram. “Mari kita sama-sama menciptakan suasana aman, nyaman, tenteram dan damai dengan mengaktifkan kembali pos siskamling,” pintanya. (ro/fud)
JUBI — Pihak Gereja Kingmi Sinode Papua Koordinator Paniai dan Gereja Katolik Dekanat Paniai menyatakan sangat prihatin terhadap situasi keamanan sejak beberapa hari terakhir di wilayah Kabupaten Paniai. Sebab, beredarnya isu akan ada kontak senjata antara TPN/OPM dan aparat keamanan, meresahkan umat/masyarakat, bahkan sebagian orang sudah mengungsi ke tempat yang dianggap aman.
Sikap prihatin tersebut mengemuka dalam satu pertemuan di Aula SKB YPPK Iyaitaka, Enarotali, Senin (15/8) sore. Keprihatinan yang terungkap pada pertemuan menyikapi situasi keamanan di Kabupaten Paniai, tertuang pula dalam sebuah surat yang akan disampaikan kepada Bupati dan pihak terkait lainnya.
Salah seorang tokoh pemuda menegaskan, cara-cara kekerasan apalagi perang tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, pihak TPN/OPM harus bijak dan tidak gegabah karena tindakan sekecil apapun akan berdampak besar yang tentunya warga sipil korbannya.
Sedangkan pihak aparat keamanan diminta memberi rasa aman bagi warga masyarakat untuk tidak panik terhadap berkembangnya berbagai isu yang sangat meresahkan.
Sebab, sejarah mencacat beberapa kasus besar yang pernah terjadi di seluruh daerah Paniai, misalnya perang PEPERA tahun 1969, peristiwa Operasi Daerah Militer tahun 1980-1986 dan konflik lainnya. Dampak dari semua itu dirasakan warga jemaat di Kabupaten Paniai. Bukan hanya memakan korban jiwa, peristiwa-peristiwa itu juga telah menimbulkan rasa trauma dan ketakutan yang mendalam dalam diri umat Tuhan.
Lantaran masih trauma, demikian ditulis dalam surat keprihatinan, isu perang yang muncul belakangan ini antara TNI-Polri dan TPN/OPM mengingatkan kembali warga jemaat pada kasus-kasus sebelumnya. Sehingga saat ini orang ada dalam rasa ketakutan. Bahkan, terjadi pengungsian besar-besaran sejak empat hari lalu. Tidak hanya di Kabupaten Paniai, masyarakat Deiyai dan Dogiyai juga mengalami hal yang sama.
Selain ketakutan di kalangan umat/jemaat Gereja atau masyarakat setempat dan mengungsi ke kampung-kampung lain, isu perang juga berdampak pada tersendatnya proses belajar mengajar di beberapa sekolah di Kabupaten Paniai. Juga aktivitas ekonomi tersendat, kios-kios memilih untuk tutup sebelum waktunya.
Bahkan, selama empat hari belakangan warga tidak melakukan pekerjaan sehari-hari sebagai petani, peternak. Umat Gereja Katolik dan Kingmi di sekitar Madi, Kopo, Ipakiye, Awabutu, Enarotali, tidak mengikuti ibadah pada hari Minggu kemarin.
Mencermati perkembangan situasi yang dialami umat/jemaat, semua komponen bersama pimpinan Gereja dengan rasa prihatin menyampaikan himbauan: Pemerintah, TNI, Polri dan TPN/OPM tidak mengganggu umat Kristen Protestan, Katolik maupun Islam yang ada di wilayah Kabupaten Paniai. (J/04)
JAYAPURA—Ancaman siap perang melawan TNI/Polri yang dilancarkan Panglima Komando Revolusioner Nasional Papua Barat TPN/OPM ‘Jenderal’ (TPN) Goliat Tabuni dari markas di Tingginambut, Puncak Jaya melalui suratnya, ternyata ditanggapi sebagai hal biasa oleh Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu . Pangdam, bahkan menilai surat ancaman OPM itu hanya sebatas suatu isu dan bentuk propaganda Goliat Tabuini CS yang tidak perlu dirisaukan oleh TNI sebagai alat pertahanan dan keamanan negera. “Itu isu dan propaganda mereka. Kita hanya melaksanakan sesuai tupoksi TNI secara profesional saja. Masyarakat yang menilai,” tukas Pangdam dalam SMS (Short Message Service) menjawab Bintang Papua, Senin (8/8), kemarin. Saat itu Pangdam, dikonfirmasih terkait beredarnya surat ancaman milik OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang mengancam akan siap berperang melawan TNI-Polri jika tuntutan mereka tidak dipenuhi.
Secara lebih lanjut, ketika ditanyai himbauannya bagi masyarakat, Pangdam menuturkan bahwa masyarakat diharapkan tetap tenang dan dapat bekerja sama dengan aparat TNI dan waspada. “Saya harap kita dapat mempertahankan suasana yang kondusif. Kasih dan damai itu indah,” tandasnya dalam SMS Pangdam selanjutnya yang juga mengakhiri pembicaraan.
Soal pertanyaan apakah dengan ancaman ini, mungkin saatnya TNI melakukan operasi militer di sekitar lokasi yang dianggap Markas OPM, Pangdam tidak menjawabnya.
Sebelumnya, Panglima Komando Revolusioner Nasional Papua Barat (TPN/OPM) ‘Jend’ (TPN) Goliath Tabuni dari markasnya di Tingginambut Puncak Jaya dengan seorang perantara seorang kurirnya Jumat (07/08) mengirimkan surat terbuka dan pernyataan resminya ke email Redaksi Bintang Papua. Dalam suratnya itu, Goliat menebar ancaman siap angkat senjata melawan TNI/Polri jika sejumlah permintaan mereka tidak dipenuhi.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi A DPR Papua yang membidangi masalah politik dan HAM Ir Weynand B Watori menegaskan, ancaman dari Goliath Tabuni Cs tersebut adalah bagian dari akumulasi tidak terbukanya ruang dialog antara orang asli Papua dan pemerintah Indonesia.
“Jadi akhirnya orang kemudian merasa terancam ya dia juga melakukan ancaman karena ruang dialog itu tak ada,” katanya.
Karena itu, lanjutnya , ancaman siap angkat senjata melawan TNI/Polri jika sejumlah permintaan mereka tak dipenuhi bukan hanya dilakukan Goliath Tabuni Cs, tapi ada kelompok atau orang lain akan melakukan ancaman serupa, apabila dia merasa tak adanya ruang dialog untuk menyelesaikan suatu masalah.
Menurutnya, di era demokrasi ini setiap orang boleh menyampaikan pendapat termasuk Goliath Tabuni.
“Jadi bagi saya silahkan saja kalau beliau berpendapat seperti itu. Itu kan pandangan dan pikirannya bahwa beliau akan mengancam perang melawan TNI/Polri apabila tuntutan mereka tak dipenuhi,” katanya. Mathius Murib berpendapat munculnya ancaman Goliat Tabuni CS ini dilatari beberapa hal. Pertama, ia semakin berani mengkampanyekan niat dan rencana serta strateginya secara terbuka di media massa, setelah membisu puluhan tahun lalu. Di era demokrasi ini memang setiap orang bisa dan berhak menyampaikan pendapat, termasil aspirasi politiknya.
Kedua, perjuangan apapun seharusnya masuk dalam mekanisme hukum nasional dan internasional, secara bermartabat dan simpatik. Ketiga, keputusan angkat senjata dan perang tentu berpotensi melanggar HAM itu tentu ada mekanismenya, dan tak relevan dan tidak simpatik untuk saat ini.
Untuk itu ia menyarankan kepada TPN/OPM segera gencatan senjata lalu harus bisa berdialog atau gelar perundingan dengan pemerintah Indonesia secara damai. (dee/mdc/don/l03)