PT. Freeport di West Papua

[1] Pada 1623, Kapten Johan Carstensz, seorang pelaut Eropa pernah berlayar ke Papua dan ‘menemukan salju untuk pertama kalinya’ di daerah pegunungan, tepatnya di tengah daratan Papua. Hasil temuan itu kemudian diberi nama Puncak Carstensz Pyramide. Ratusan tahun setelah itu tepatnya pada Tahun 1936, dalam rangka pembuktian atas temuan Carstensz tersebut, Antonie Hendrikus Colijn, Jean Jacques Dozy dan Frits Julius Wissel melakukan ekspedisi ke Puncak Carstensz Pyramid.

Dalam eskpedisi tersebut, mereka juga menemukan gunung tembaga lalu menulisnya ke dalam sebuah laporan yang pada akhirnya menarik minat banyak pihak. Worbes Wilson, seorang geolog dari perusahaan tambang Amerika yang bernama Freeport menanggapi laporan Dozy tersebut. Wilson melakukan ekspedisi ke Papua pada 1959-1960 (setelah perang dunia kedua berakhir). Setibanya di sana, ia terpukau melihat tumpukan ‘harta karun’ bijih besi, tembaga, perak serta emas di atas puncak dengan ketinggian 2000 meter di atas permukaan laut itu.

Dari hasil analisis atas sejumlah batu dari Ertsberg yang dibawa Wilson ke Amerika setelah ekspedisi tersebut, para analis Freeport menyatakan bahwa penambangan gunung tersebut bakal membawa keuntungan yang besar dan modal awal akan kembali dalam tiga tahun setelah proses tambang dilakukan.

Silahkan baca Selanjutnya di blog: TRANSISI.ORG

PAP : Hanya Dua Solusi, Rekonstruksi UU Otsus Atau Negosiasi Otsus Plus

Sentani, Jubi – Puluhan Pemuda Adat Papua (PAP) dari Jayapura, pekan lalu bertolak ke Jakarta dengan tujuan melakukan aksi demo damai di Istana Presiden, Jakarta.

Tuntutan utama mereka adalah meminta Pemerintah Pusat untuk menutup aktivitas pertambangan yang dilakukan oleh PT.Freeport Indonesia di Timika Papua, dan merekontruksi ulang Undang-Undang Otonomi Khusus (UU Otsus) Tahun 2001 yang telah berjalan selama lima belas tahun di Papua.

Decky Ovide, Ketua PAP mengatakan salah satu point penting dalam aspirasi yang disampaikan kepada Pemerintah Pusat adalah segera merekontruksi ulang UU Otsus Tahun 2001 di Papua.
“Setelah melalui perenungan yang panjang, kita memahami bahwa UU Otsus yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada masyarakat Papua tahun 2001 sama sekali tidak berdampak bagi kesejahteraan masyarakat di papua,” ujar Decky yang dihubungi melalui telepon selularnya, Sabtu (5/3/2016)

Decky menegaskan, UU Otsus Papua perlu direkontruksi ulang secara keseluruhan, karena menurutnya otonomi yang diberikan secara khusus kepada masyarakat Papua dalam undang-undang tersebut sama sekali tidak berfungsi. Dirinya bahkan mengklaim penerapan Otsus belum sempurna.

“Yang jelas hanya uangnya, tetapi kemana?” tanyanya.

UU Otsue, lanjutnya, harus ditinjau kembali setiap pasal dan ayat yang termuat didalamnya. Pendidikan, kesehatan yang dijanjikan secara gratis belum terlaksana sampai saat ini. Belum lagi ekonomi, infrastruktur pembangunan. Semuanya tidak berjalan dengan baik sampai saat ini,” tegasnya.

Lanjutnya, aksi yang dilakukan pihaknya ini membuat Pemerintah Pusat berjanji melakukan evaluasi terhadap penerapan UU Otsus di Papua termasuk penggunaan dana yang telah diberikan.

“Evaluasi terhadap UU Otsus oleh pemerintah pusat, diberikan waktu selama tiga bulan. Dalam evaluasi tersebut harus melibatkan pemerintah Provinsi Papua dan seluruh tokoh masyarakat Papua. Untuk Papua hanya dua solusinya, rekonstruksi ulang UU Otsus atau negoisasi Otsus Plus,” ujarnya.

Tuntutan PAP yang nyaris sama dengan pernyataan Gubernur Papua beberapa waktu lalu ingin mengembalikan Otsus ke Pemerintah Pusat, membuat beberapa pihak menuding Gubernur Papua terlibat dalam aksi demo PAP ini.

“Saya tidak ada kaitannya dengan aksi demo tutup Freeport atau kembalikan Otsus itu. Itu bukan urusan saya sebagai gubernur,” kata Gubernur Papua, Lukas Enembe singkat. (Engel Wally)

Layaknya Permainan Catur, Amerika Gunakan Papua Untuk Happy Ending

HarianPapua.com – PT Freeport Indonesia merupakan salah satu penyumbang persenan terbesar bagi dunia perekonomian Amerika Serikat yaitu sebesar 30 persen sehingga gonjang-ganjing kontrak karya baru salah satu perusahaan tambang terbesar di dunia tersebut turut membawa Duta Besar (Dubes) Amerika Serikat untuk Indonesia, Robert O Blake, untuk terjun langsung ke Papua beberapa waktu lalu.

Menurut Marinus Yaung, salah satu Akademisi dari Kampus Universitas Cenderawasih (Uncen), Papua saat ini menjadi salah satu prioritas terpenting bagi pihak Amerika karena mereka menginginkan kontrak karya yang baru agar PT Freeport bisa terus beroperasi di Papua.

“Sehingga berbagai saran dan masukan terkait Freeport sangat diperlukan oleh negara tersebut (Amerika). Termasuk daya tawar agar orang Papua menjadi presiden direktur Freeport, termasuk sahamnya”

kata Marinus Yaung dikutip via Antara, Senin (15/2/2016).

Yaung juga menilai bahwa Amerika terus bermain dengan kekuasaannya agar dapat mengamankan kontrak karya yang baru karena mereka (Amerika) paham betul bagaimana suara dari pemilik hak ulayat terkait keberlangsungan PT Freeport di Indonesia.

“Kita tahu bahwa orang Papua punya daya tawar, ini yang coba dimainkan oleh Duta Besar Amerika Serikat Roberth Blake, yang langsung datang ke Papua, meski Jakarta tahu bahwa diplomasi yang dimainkan itu telah melanggar etika, itu karena Freeport,”

katanya.

Anwar Nasution

Di Mana Akal Sehat? Freeport Dapat 121 Triliun, Negara Hanya Rp.40 Triliun

Admin Jubi Dec 20, 2015

PPI Jepang rekomendasikan Pemerintah kuasai minimal 51 persen saham Preeport – reuters.com

Jayapura, Jubi – Tahukah anda bahwa tambang emas terbesar di dunia itu adalah di Grasberg Papua – Indonesia dengan produksi 40.9 ton per tahun? Jika 1 gram emas = 300 ribu. 1 kilogram = 300 juta. 1 ton = 300 M. 40.9 ton = 12.3 Triliun per tahun. Itulah produksi sampingan PT. Freeport Indonesia (FI).

Kenapa disebut produksi sampingan PT. Freeport Indonesia, karena produksi utama Freeport adalah tembaga yang besarnya 18 juta ton. Perak 3400 ton. Kandungan emas terbukti di tambang Grasberg Papua saja (belum termasuk area tambang freeport di area lain di Papua) = 1600 Ton. Dengan harga 300 ribu/ gram (harga pasar sudah di atas 400 ribu/gram) didapatkan total = 480 triliun. 50% saja kembali ke Papua, sudah kaya raya. Jika 480 triliun itu dibagi ke 2.8 juta penduduk Papua, rata-rata per orang punya kekayaaan = Rp. 171 juta, termasuk bayi yang baru lahir.

Itu baru dari emas di 1 (baca : satu) gunung emas di Papua dari belasan gunung emas yang dimiliki. Dan hanya baru dari emas saja. Belum lainnya. Dari hasil tembaga di Grasberg saja (tidak termasuk lainnya) Freeport Indonesia menghasilkan USD. 178 milyar atau Rp. 1.600 triliun. Jika 1.600 triliun tersebut dibagi rata ke 2.8 juta penduduk Papua, masing-masing per orang akan menerima = Rp. 5.715 juta. Hampir Rp. 6 milyar per orang. Ditambah produksi perak yang terdapat di area tambang Grasberg saja, total pendapatan Freeport adalah USD 298 Milyar atau Rp. 2.682 triliun.

2016, Fahri Hamzah Janjikan Sebagai Tahun Merebut Freeport

intelijen – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyambut baik usulan yang disampaikan Gerakan ‘Tambang Freeport untuk Rakyat’ untuk tegakan kedaulatan agar tambang kelola Freeport jatuh ke pangkuan ibu pertiwi.

Usulan itu disampaikan Gerakan ‘Tambang Freeport untuk Rakyat’ saat bertemu pimpinan DPR untuk mendesak adanya Pansus Freeport terkait masalah yang terjadi yakni masalah perpanjangan kontrak.

“Tambang Freeport harus dikuasai oleh negara melalui BUMN dan BUMD, maka itu kami memberikan petisi kepada DPR. Sudah saatnya kita tegakan kedaulatan agar tambang kelola Freeport jatuh ke pangkuan ibu pertiwi,” kata Marwan Batubara salah satu inisiator ‘Tambang Freeport untuk Rakyat’, Jumat (18/12) lalu.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menyambut baik, dan berjanji akan melakukan investigasi total terhadap keberadaan Freeport yang selama ini sudah membuat negara merugi.

Oleh karenanya, ia meminta kepada seluruh 560 anggota dewan yang ada untuk bergerak melakukan tandatangan menyetujui adanya Pansus Freeport untuk kepentingan bangsa.

“Saat ini baru 25 persen yang tandatangan, kita mau 50 persen. Saya ingin Pansus Freeport disosialisasikan kepada 560 anggota DPR tanpa terbelah. Sehingga tahun 2016 usai masa reses 11 Januari 2016, merupakan tahun merebut Freeport,” ungkapnya, lansir posmetro.

Saatnya Divestasi Saham Freepot Diberikan Bagi Tanah Papua

Anggota DPR RI Dari Partai Demokrat Dapil Papua, Willem Wandik S.Sos.JAYAPURA – Divestasi Saham memiliki makna yang cukup mendalam bagi keberlangsung hak-hak rakyat dan bangsa Papua untuk mengelola sumber daya alam di tanahnya sendiri, yang mana divestasi saham adalah menjadikan rakyat dan bangsa Papua sebagai pemilik sah umber daya pertambangan yang dikelola oleh Pt. Freeport Indonesia.

Namun jika elit-elit Jakarta berusaha menghalang-halangi keinginan luhur rakyat dan bangsa Papua untuk menjadi pemilik sebagian saham PT. Freeport Indonesia, maka sejatinya kita sedang berperang melawan para elit-elit Jakarta yang berusaha merampas hak-hak rakyat dan bangsa Papua untuk memperoleh kembali anugerah Tuhan yang telah diberikan kepada rakyat Papua yang mempunyai cirri khas tersendiri yakni berambut keriting dan berkulit hitam ini
Anggota DPR RI dari Demokrat Daerah Pemilihan (Dapil) Papua, Willem Wandik mengatakan, Divestasi saham (pengambilalihan sebagian saham) yang dimiliki PT. Freeport Indonesia yang telah dijadwalkan oleh Pemerintah Pusat pada, 14 Oktober 2015 mendatang dengan rencana pelepasan saham tahap pertama sebesar 10,64%) terlihat syarat dengan kepentingan elit-elit Jakarta.

“Pengambilalihan sebagian saham yang dimiliki PT. Freeport Indonesia merupakan momentum pengambilalihan saham (divestasi saham) harus menjadi konsen serius seluruh generasi di Tanah Papua yang saat ini bertanggungjawab memegang otoritas kekuasaan, baik itu di birokrasi Pemerintahan Daerah (Gubenur, Bupati/ Walikota) maupun representasi rakyat di Tanah Papua (DPR RI, MRP, DPRP, dan DPRD),” kata Willem Wandik kepada Bintang Papua, pada Minggu (29/9/2015).

Menurutnya, dalam negosiasi yang berproses disepanjang Tahun 2015 ini, terlihat pembicaraan dilakukan secara sepihak oleh Pemerintah Pusat dalam menentukan langkah-langkah negosiasi kontrak, termasuk menentukan siapa pihak-pihak yang boleh ikut serta dalam skema besar renegosiasi yang dibahas secara eksklusif oleh para elit-elit Jakarta.
“Monopoli kepentingan negosiasi divestasi saham, benar-benar telah menunjukkan proses pengambilan kebijakan yang bertalian dengan kepentingan investasi besar pengelolaan sumber daya pertambangan di Tanah Papua, dikendalikan secara rapi oleh penguasa Jakarta,” katanya.

Dikatakannya, divestasi saham yang sedang diperjuangkan pada saat ini memiliki arti penting sebagai langkah awal merubah perjalanan sejarah pengelolaan pertambangan PT. Freeport Indonesia yang sebelumnya hanya menempatkan rakyat Papua yang berkulit hitam dan berambut keriting diwilayah penambangan kaya emas, hanya sebatas “kelas pekerja kasar” yang diberi upah murah, tanpa hak kepemilikan langsung terhadap kekayaan “resources” yang melimpah di tanahnya sendiri.

Oleh karena itu, momentum pengambilalihan saham (divestasi saham) harus menjadi konsen serius seluruh generasi di Tanah Papua yang saat ini bertanggung jawab memegang otoritas kekuasaan, baik itu di birokrasi Pemerintahan Daerah (Gubenur, Bupati/ Walikota) maupun representasi rakyat di Tanah Papua (DPR RI, MRP, DPRP, dan DPRD).

“Saat ini merupakan momentum yang tepat untuk bekerja serius untuk mengembalikan hak rakyat Papua, sebagai pemilik sah pengelolaan sumber daya pertambangan, melalui perjuangan untuk memiliki sebagian saham di PT. Freeport Indonesia,” tegas dia.

Menurutnya, dari generasi ke generasi, kaum intelektual dan pemerhati persoalan di Tanah Papua, yang telah berlangsung beberapa decade selama ini telah menyaksikan monopoli kepentingan Jakarta atas pengelolaan sumber daya pertambangan yang dikuasai oleh PT. Freeport Indonesia.

Dimana hak kepemilikan saham bukanlah hak yang hanya boleh dimonopoli oleh elit-elit Jakarta atau Pemerintah yang bernama Pusat (Jakarta). “Tanah Papua juga merupakan bagian dari republik ini karena kesuksesan pembangunan nasional turut serta dipengaruhi oleh keberhasilan daerah membangun kawasannya masing-masing,” ucapnya.

Lanjut dia, di tanah Papua terdapat Gubernur, Bupati, Walikota sebagai wakil Pemerintah Pusat yang wajib diperkuat dengan pemberian otonomi dalam pengelolaan sumber daya strategis bagi daerahnya masing-masing.

Namun kehadiran mareka bukan malah dimonopoli pengelolaan sumber daya strategis yang dimiliki daerah oleh Pusat, sehingga menjadikan daerah seperti Tanah Papua mengalami ketergantungan fiskal (keuangan) terhadap Pemerintah Pusat secara terus menerus.

Politisi Partai Demokrat itu, menegaskan bahwa dalam pengelolaan fiskal (keuangan) daerah telah diamanatkan oleh Undang- Undang Desentralisasi, skema pemberian otonomi kepada daerah otonom yang dibagi kedalam dua kepentingan utama yaitu pertama pemberian kewenangan kepada daerah otonom untuk mengelola sumber-sumber pendapatan daerah untuk memperkuat pembangunan di daerah, dan kedua penguatan kapasitas fiskal (keuangan) daerah agar tidak tergantung secara terus menerus terhadap sumber pendanaan yang berasal dari APBN Pusat.

Untuk itu, Willem Wandik berharap agar penguatan kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola sumber pendapatan asli bisa dapat membangun kemandirian daerah untuk mengelola secara mandiri terhadap sumber pendapatannya sendiri dan dapat mendanai secara mandiri agenda pembangunan di daerahnya masing-masing. “Ketidakberdayaan pelaksanaan otonomi daerah di Tanah Papua lebih disebabkan monopoli penguasaan aset-aset strategis yang dikendalikan sepenuhnya oleh Pemerintah Pusat,” katanya.

Lebih jauh disampaikan Willem Wandik bahwa desentralisasi tidak akan berjalan baik, apabila sumber pendapatan daerah di Tanah Papua turut dibajak oleh mekanisme yang masih mempertahankan sentralisasi pengelolaan sumber daya alam.
Namun menjadi pertanyaan siapa yang disebut sebagai Pemerintah di negeri ini? Pemerintah di Jakarta atau Pemerintah di Tanah Papua dan siapa sasaran tujuan pengelolaan sumber daya pertambangan yang menguras habis resources yang terdapat di daerah?. “Apakah rakyat yang ada di pusat atau rakyat yang ada di negeri-negeri terpencil di Tanah Papua,” tanyanya.

Ia menandaskan, Gubernur Papua, Para Bupati, Walikota, MRP, DPRP, DPRD, adalah simbol negara kesatuan Republik yang berada di Tanah Papua. “Mereka adalah penyelenggara negara di daerah yang menjalankan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara,” katanya.

Sambung Willem, jika Gubernur Papua, Para Bupati, Walikota, MRP, DPRP, DPRD seabgai representasi negara yang diakui oleh sistem ketatanegaraan nasional, mengapa negosiasi divestasi saham PT. Freeport Indonesia, hanya melibatkan segelintir elit-elit Jakarta sebagai penentu kebijakan pengambil-alihan saham milik PT. Freeport Indonesia.
Padahal, kata dia, melalui Pemerintah Daerah di Tanah Papua (simbol negara kesatuan Republik di daerah) telah berulang kali meminta kepada Pemerintah Pusat terkait kepentingan rakyat di Tanah Papua untuk memiliki sebagian saham di PT. Freeport Indonesia.

Kata dia, Pemerintah Daerah di Tanah Papua selalu dijadikan sebagai simbol negara kesatuan Republik di daerah, sehingga kali sudah saatnya meminta kepada Pemerintah Pusat terkait kepentingan rakyat di Tanah Papua untuk memiliki sebagian saham di PT. Freeport Indonesia.

“Rakyat di Tanah Papua tidak lagi ingin secara terus menerus dijadikan sebagai buruh pekerja di wilayah penambangan PT. Freeport Indonesia. Kini sudah saatnya diberikan kepada rakyat Papua selaku kepemilikan lahan, kawasan hutan, gunung, lembah,” tukas Willem.

Willem kembali menegaskan, bahwa jika elit-elit jakarta berusaha menghalang-halangi keinginan luhur rakyat dan bangsa Papua untuk menjadi pemilik sebagian saham PT. Freeport Indonesia, maka sejatinya kita sedang berperang melawan para elit-elit Jakarta yang berusaha merampas hak-hak rakyat dan bangsa Papua untuk memperoleh kembali anugerah Tuhan yang telah diberikan kepada rakyat Papua. “Hak Tanah Papua untuk memiliki saham PT. Freeport Indonesia adalah hak yang juga diakui oleh konstitusi sehingga tidak ada yang salah dengan konstitusi negara ini,” tutupnya. (Loy/don/l03/par

Sumber: Senin, 28 September 2015 06:31, BintangPapua.com

Jika Tak Bangun Smelter, Silakan Freeport Angkat Kaki

JAYAPURA – Persoalan pembangunan Smelter (pabrik pemurnian logam) yang disampaikan oleh Gubernur Papua, Lukas Enembe, S.IP., M.H., turut menjadi perhatian serius para pemuda Papua, yang tergabung dalam OKP-OKP dan pemuda KNPI Provinsi Papua.

Wakil Ketua Bidang Energi Sumber Daya Mineral DPD KNPI Provinsi Papua, Lukman Rusdiansyah, mengatakan, pemuda Papua sangat mendukung penuh apa yang diperjuangkan oleh Pemerintah Provinsi Papua, yang dalam hal ini Gubernur Lukas Enembe, karena siap dibangun Smelter, maka PT. Freeport Indonesia (FI) harus membangun Smelter di Papua, jangan lagi mengantung.

“Berdirinya PT. FI adalah di Papua, maka wajib membangun Smelter di Papua, bukan di tempat lain, sehingga disini PT. FI harus punya budaya malu, karena mengambil hasil pertambangan di Papua,” ungkapnya kepada wartawan di Sekretariat DPD KNPI Provinsi Papua, Jumat, (30/1).

Menurutnya, membangunan Smelter di luar Papua itu memakan waktu yang lama (tarik ulur antara pusat dan daerah serta PT. FI) dan turut memakan biaya yang besar, karena antara areal pertambangan dan Smelter berbeda tempat kegiatannya.

Berdasarkan UU Mineral dan Batubara (Minerba) No 4 Tahun 2009, yang mana menyatakan bahwa perusahaan tambang harus segera membangun Smelter. Hal itu harus dilakukan oleh PT. FI jika PT. FI tidak membangun Smelter sebaiknya angkat kaki dari Tanah Papua, dan mempersilakan perusahaan tambang lain menambang di areal PT. FI.

“Pemerintah Provinsi Papua harus tegas, apa yang menjadi permintaan PT. FI yang tidak menguntungkan masyarakat Papua, jangan dituruti, apalagi informasi bahwa PT. FI meminta kepada Pemerintah Pusat bahwa tidak membangun Smelter dan biarlah menambang saja, nanti membangun Smelter setelah memperjang kontrak pada Tahun 2021. Itu yang tidak boleh, karena merugikan rakyat Papua,” bebernya.

Ditempat yang sama, Wakil Ketua Bidang Teknologi dan Informasi DPD KNPI Papua, Irjid Matdoan, menandaskan, berkaitan dengan UU Minerba bahwa Smelter harus di bangun di Indonesia dimana tempat terjadi pertambangan. Ini sangat disayangkan, karena kontrak karya PT. FI sisa waktu 7 tahun lagi sementara pembangunan Smelter tidak ada.

Untuk itu, DPD KNPI Provinsi Papua turut mengambil langkah-langkah upaya penyelamatan pertambangan di Papua guna pertambangan ini bermanfaat bagi masyarakat, karena ini demi rakyat Papua yang hak-haknya selama ini terabaikan.

“Selama ini, kami melihat PT. FI tidak ada niat untuk membangun Smelter di Papua, sedangkan sudah selama 40 tahun ratusan triliun mengambil keuntungan pertambangan di areal Gresberg,” bebernya.

Baginya, kalau PT. FI tidak mampu dan tidak ada niat membangun Smelter di Papua, lebih baik kontrak karya PT.FI diputuskan dan membuat kontrak baru dengan perusahaan lain yang mau membangun Smelter di Papua, seperti perusahaan dari Kuba dan Qatar yang berniat berinvestasi di Papua, yang mau membagi hasil dengan Papua, dan ini bermanfaat sekali bagi pembangunan di Tanah Papua.

“Pertambangan di PT. FI kan bukan hanya emas saja, tapi juga, tembaga, uranium, gas dan lain sebagainya. Ini jelas merugikan rakyat Papua,” tukasnya lagi.

Sementara itu, Sekretaris DPD KNPI Papua, Sudin Rettob, menegaskan, dinamika yang selama ini PT. FI buat, diantaranya, penempatan kantor pusat di Jakarta hingga proses pembangunan Smelter yang tidak jelas. Ini menandaskan bahwa PT. FI tidak serius dalam membangun sumber daya manusia dan pembangunan di Tanah Papua.

Karena jika Smelter di bangun di luar Papua, maka secara otomatis menyerap tenaga kerja dari luar, sedangkan pengangguran cukup luar biasa terjadi di Tanah Papua ini, PT. FI terkesan menutup mata terhadap hal itu.

“PT. FI jelas tidak membangun Papua dengan hati. Contoh kecil saja, Kota Mimika saja wajah kotanya seperti sebuah kampung yang pembangunannya amburadul, sedangkan batas pertambangan khususnya di Kuala Kencana ibarat wajah kotanya seperti suatu negara yang berkembangnya cukup pesat/maju luar biasa,” tegasnya.

Untuk itu, dirinya sangat setuju dengan pernyataan rekan-rekannya, dimana Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Provinsi Papua harus membuka ruang sebesar-besarnya bagi perusahaan lain yang punya komitmen untuk membangun Papua, apalagi komitmen untuk membagi hasil keuntungan pertambangan.
“Kami pemuda Papua selalu mendukung kebijakan Gubernur Papua, dan kami pasti selalu membuat gerekan-gerakan memprotes tindakan PT. FI yang mau membangun Smelter di Papua,” pungkasnya.

Pemerintah Siapkan Infrastruktur Untuk Smelter di Papua
Sementara itu Pemerintah tengah menghitung kesiapan infrastruktur pendukung di wilayah Papua untuk pembangunan smelter atau pengolah bahan mineral di Papua.
”Memang diharapkan dibangun di Papua, saat ini sadang dihitung bagaimana kesiapan infrastruktur untuk mendukung ide itu,” kata Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis malam.

Terkait dengan masalah pembangunan di Papua, kata dia, Wakil Presiden Jusuf Kalla sudah memberikan tiga arahan besar, antara lain tentang bagi hasil, pembangunan industri hulu dan hilir di daerah itu, termasuk pembangunan smelter.

Sebelumnya, Gubernur Papua Lukas Enembe menyatakan bahwa masyarakat Papua akan menutup dan mengusir PT Freeport dari provinsi itu jika tidak membangun smelter atau pengolah bahan mineral di daerah itu juga.

”Seluruh masyarakat Papua menolak pembangunan smelter Freeport di Gresik, Jawa Timur, sementara bahan mentahnya dari Papua,” kata Lukas Enembe di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis malam.

Ia menyatakan bahwa Papua tidak akan mengalami kemajuan jika hanya dikeruk sumber daya alamnya tanpa ada pengolahan di lokasi yang sama.
”Kapan Papua akan maju, kami dan para bupati sepakat agar smelter dibangun di Papua. Kalau tidak, sekalian saja Freeport keluar dari Papua,” katanya.

Sementara itu, mengenai pertemuan Presiden RI Joko Widodo dengan Wakapolri Badrodin Haiti dan Kabareskrim Polri Budi Wasesa, Andi Wijayanto mengaku memang ada pertemuan tersebut pada Kamis malam ini.

“Pertemuan itu memang ada tadi, tetapi saya tidak tahu membahas apa. Saya tidak ikut jadi, tidak bisa memberi keterangan apa-apa,” kata Andi Wijayanto. (nls ant/don/l03)

Source: Sabtu, 31 Januari 2015 05:43, BinPa

FKP Freeport Minta Klarifikasi Moffet New – Era Agreement

Timika, Jubi – Forum Komunitas Peduli PT Freeport Indonesia (FKP-PTFI) meminta klarifikasi pimpinan Freeport, James Moffet tentang New – Era Agreement, demi menghindari terjadinya benturan dengan pekerja yang selama ini bekerja.

“Keputusan kami bahwa, pak Silas akan bicara lagi dengan pak Moffet, pertemukan kami dari forum ini untuk menindak-lanjuti surat (New-Era Agreement) yang dari grupnya SPSI. Itu kita lakukan sehingga ke depan kita tidak mau ada benturan-benturan fisik akibat masalah yang kemarin,” kata Ketua FKP PTFI, Arie Mandessy, di kediamannya, di Kampung Timika Jaya SP2, Selasa (25/11).

Menurut Arie, pihaknya menginginkan stetament atau perjanjian yang dikeluarkan James R Moffet dan ketiga ketua PUK SPSI betul-betul bijak dan bertanggungjawab. Hal ini dimaksud agar keputusan yang keluar tidak merugikan salah satu pihak dan mengandung dampak seperti intimidasi maupun sejenisnya antar pekerja yang bekerja dan tidak bekerja.
“Kami mau statement itu betul-betul bijak dan bertanggungjawab, karena kami kuatir dampaknya besok lusa ini pasti akan ada. Sehingga kami tidak mau sampai mungkin terjadi intimidasi atau hal-hal yang diluar aturan hukum. Kami tidak mau dampaknya sampai ke Timika sini,” terang Arie.

Sementara itu, perjanjian New-Era atau New-Era Agreement pada 20 November kemarin, yang disepakati oleh tiga ketua PUK SPSI bersama CEO Freeport MC Moran, James R Moffet telah ditolak oleh masyarakat dan karyawan yang mengatasnamakan tujuh suku beserta sejumlah karyawan non masyarakat tujuh suku lainnya. Kelompok ini menolak dan tidak menganggap sah serta menantang Moffet melihat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dan Perjanjian Hubungan Industrial (PHI) yang menjadi aturan dalam kerjasama industrial antara pekerja dan manajemen PT Freeport Indonesia.

Kegiatan orasi secara damai yang dilakukan karyawan masyarakat tujuh suku beserta karyawan lainnya didepan main office Tembagapura mile 68, diikuti sekitar 250 massa baik masyarakat Papua maupun non Papua. Setelah berkumpul di halaman main office, tim dari masyarakat tujuh suku yang terdiri dari Yonpis Tabuni, Demi Magai, Albert Janampa, Ham Korwa, Fredrik Magai dan Martina Natkime.

“Penolakan Surat Kesepakatan tersebut karena menurut kami tidak sesuai dengan aturan dan komitmen bersama yang telah disepakati dalam PKB-PHI PTFI 2013-2015 dan Interoffice Memo Manajemen PTFI yang dikeluarkan pada tanggal 13 November 2014.” kata Yonpis Tabuni, kordinator karyawan masyarakat tujuh suku. (Eveerrth Joumilena)

Penulis : Eveert Joumilena on November 27, 2014 at 12:16:53 WP, TJ

Sebulan Transaksi, Saham Freeport Capai Rp 166,16 T

Senin, 24 November 2014 03:50, bintangpapua.com

PT Freeport JAYAPURA – Anggota DPR RI, Willem Wandik, S.Sos, mengungkapkan, Rakyat Papua telah lama menjadi kuli/budak pekerja bagi kepentingan negeri asing. Fakta yang justru mengejutkan bahwa data transaksi saham PT Freeport yang bermarkas di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, justru menunjukkan perolehan keuntungan yang jumlahnya sangat fantastis.

Sumber daya alam yang melimpah dalam isi perut bumi Papua justru telah lama menjadi deposito bagi kepentingan negara asing. Dalam transaksi saham di Bursa Efek New York “New York Stock Exchange” menunjukkan pergerakan volume transaksi saham sepanjang 33 hari terakhir yang dimulai sejak transaksi tanggal 1 Oktober 2014 hingga tanggal 14 november 2014 mencetak volume perdagangan yang mencapai 459.88 Juta transaksi lembar saham.

Willem Wandik mengungkapkan, sepanjang 33 hari  mulai, 1 Oktober – 14 November 2014, transaksi saham PT Freeport mencetak margin keuntungan yang mencapai Rp166,16 Triliun. Angka transaksi yang tentunya sangat luar biasa bila mengingat cadangan emas dan tembaga PT Freeport di Tanah Papua juga mendulang keuntungan yang sangat besar dari produksi mineral mentahnya.

“Dalam laporan keuangan PT Freeport Indonesia yang terkonsolidasi pertanggal 1 Januari sampai 30 September 2014 menunjukkan total keuntungan bersih produksi mineral mentah “Tembaga dan Emas” mencapai Rp21,03 Triliun (gross income sebesar 27,66 Triliun/kurs Rp11.500/USD),”

katanya dalam release yang terima Bintang Papua, Minggu (23/11).

Jika sebelumnya perhitungan pembagian keuntungan yang diperoleh Pemerintah Daerah Provinsi Papua dengan alokasi kepemilikan saham sebesar 30% (dalam rencana divestasi saham yang diperjuangkan oleh rakyat di Tanah Papua), yang dibagi dari keuntungan bersih produksi mineral mentah “Tembaga dan Emas” yang mencapai Rp21,03 Triliun, dengan estimasi perolehan dividen bagi Provinsi Papua yang mencapai Rp6,31 Triliun.

Kata dia, apabila perhitungan transaksi saham PT Freeport sepanjang 33 hari tersebut dimasukkan ke dalam formula pembagian capital gain kepemilikan saham sebesar 30%, dengan memperhatikan komposisi aset reserves yang dimiliki PTb Freeport di beberapa negara termasuk pertimbangan aset reserves PT Freeport di Tanah Papua 26,98% cadangan Tembaga (dari total cadangan negara lain) dan 95,21% cadangan Emas (dari total cadangan negara lain), masing-masing sebesar 30 miliar pon cadangan Tembaga dan 29,8 juta ons cadangan Emas (Sumber: data reserves 12/31/2013).

Dengan tambahan Capital Gain, maka tentunya potensi pendapatan yang bisa diperoleh rakyat Papua melalui penyertaan Perusahaan Daerah “BUMD” yang nantinya di kelola dalam APBD Pemerintah Daerah Papua bisa mencapai angka yang lebih fantastis dengan kepemilikan 30% saham PT Freeport.

Laporan transaksi saham di Bursa Efek New York sepanjang 33 hari maupun dari hasil produksi mineral mentah “emas dan tembaga” sepanjang 9 bulan di Tahun 2014 ini, justru memberikan bukti betapa besarnya pengaruh cadangan emas dan tembaga yang dimiliki oleh Papua terhadap pendapatan PT Freeport dan sejumlah skenario pendapatan yang bisa diterima oleh rakyat di Tanah Papua dengan memiliki 30% saham PT Freeport Indonesia dimasa-masa mendatang.

Untuk itu, tegas dia, Pemerintah Pusat tidak perlu menciptakan ketergantungan pendanaan bagi Tanah Papua melalui dana otsus, karena Papua lebih dari mampu untuk menghidupi daerahnya sendiri, bahkan bersedia memberi jatah dana perimbangan “DAU-DAK” dan dana otsus bagi daerah-daerah lainnya yang tidak memiliki sumber daya alam yang memadai.

Pasalnya, emas dan tembaga yang dimiliki Papua, sejumlah persoalan sosial seperti kemiskinan, keterisolasian/keterbelakangan, defisit infrastruktur yang massif, masalah kesehatan masyarakat, program pendidikan bagi putra-putri asli Tanah Papua, tidaklah mustahil untuk segera diselesaikan. Willem Wandik mengungkapkan, setiap jengkal kehadiran mineral di Tanah Papua harus menjadi berkat bagi rakyat yang lahir di Papua, sumber kekayaan alam yang besar tersebut tidak boleh hanya menghadirkan konflik “militerisme dan pelanggaran HAM” dan bencana kemiskinan bagi rakyat di Tanah Papua,” tuturnya.

“Generasi pemuda yang lahir di pegunungan tengah, saya telah lama melihat begitu banyak pengorbanan nyawa dari saudara-saudaraku di Tanah Papua, yang terus berjuang untuk menegakkan keadilan bagi rakyat pribumi di Tanah ini,”

tukasnya.

Bahkan lanjutnya, tidak sedikit darah dan air mata yang tertumpah di Tanah Papua, sudah saatnya para stakeholder dan kaum cendekiawan yang lahir di Tanah Papua memikirkan nasib rakyat dan generasi Papua puluhan tahun hingga ratusan tahun dimasa mendatang.

“Generasi papua yang hadir dimasa kini, akan bertanggung-jawab terhadap nasib generasi berikutnya apabila kita semua gagal mempersatukan persepsi dan merebut kepentingan Freeport di tanah sendiri untuk pertama kalinya,”

sambungnya.

Untuk itu, saat ini merupakan kesempatan bagi rakyat di Tanah Papua untuk berpartisipasi mengelola sendiri aset kekayaan alam yang telah lama menghidupi asing dan negara Republik Indonesia telah hadir di depan mata. Jangan sia-siakan anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepada Tanah Papua, dengan hanya menjadi “kuli/budak pekerja” bagi kepentingan asing. (Loy/don/lo1)

Amerika Serikat Harus Jadi Solusi, Bagi Masa Depan Papua

Jayapura, Jubi-Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Fajar Timur(STFT) Dr Neles Tebay mengatakan semua masyarakat di Papua sudah mengetahui dalam sejarah integrasi Papua kalau Amerika Serikat termasuk salah satu bagian dari persoalan Papua.

“Okelah itu semua bagian dari masa lalu, tetapi saat ini dan bagi masa depan Papua pemerintah Amerika Serikat juga harus mencari atau pun menjadi solusi bagi penyelesaian masalah Papua,”

kata Pastor Neles kepada Jubi di ruang kerjanya di Kampus STFT, Padangbulan, Kota Jayapura, Kamis(9/10).

Dia mengatakan pemerintah Amerika Serikat tidak bisa meninggalkan masalah Papua dan hanya mengikuti semua aturan ataupun permintaan Jakarta karena Amerika Serikat juga termasuk bagian dari persoalan Papua sebelumnya.

Kalau saat ini peran AS sebagai solusi masalah, mereka juga harus bisa menerjemahkan bagaimana peran mereka untuk menyelesaikan masalah Papua,”katanya.

Menurut dia termasuk masalah PT Freeport saat ini sebab selama ini hampir sebagian besar kepentingan masyarakat Papua tak pernah ditanggapi.” Termasuk demo tujuh suku di lokasi tambang Freeport semua bisa terjadi karena perusahaan ini hanya mementingkan permintaan Jakarta saja,”katanya.

Sebelumnya dalam artikel Lisa Pease yang pernah dikutip Kompas berjudul, “Freeport McMoran Soekarno, dan Rakyat Irian” (Kompas, 24/9/2001). Tulisan ini menguraikan secara historis mengenai kaitan antara Freeport dengan kondisi politik di Indonesia dan Amerika Serikat yang mestinya menyadarkan semua pihak di Indonesia bahwa betapa dashsyatnya kekuasaan raksasa bisnis Internasional itu.

Menurut artikel Lisa, saat tambang Freeport hendak dimulai di Irian Barat hubungan Belanda dan Indonesia memasuki masa genting bahkan mendekati Perang. Presiden Soekarno mulai mendaratkan pasukannya di Irian Barat. Celakanya lagi, Presiden Amerika Serikat John F Kennedy malah lebih memihak Indonesia dan mengutus Ellsworth Bunker sebagai negosiator.

Untuk menekan Belanda, Amerika Serikat mengancam akan menghentikan semua bantuan Marshall Plan, dengan alasan khawatir digunakan membiayai perang. Belanda yang membutuhkan dana bagi pembangunan kembali negerinya dari reruntuhan Perang Dunia Kedua, terpaksa mengalah untuk mundur dari Irian Barat. (Dominggus A Mampioper)

tabloidjubi.com, Penulis : Dominggus Mampioper on October 9, 2014 at 23:17:49 WP

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny