DPRD Mimika Dukung Pansus Otsus Papua

TIMIKA [PAPOS]- Rencana Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengevaluasi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua mendapat dukungan positif dari warga Mimika.

Anggota Komisi B DPRD Mimika, Wilhelmus Pigai kepada ANTARA di Timika, Senin mengatakan rencana pembentukan pansus Otsus Papua oleh DPD sangat positif mengingat selama ini pelaksanaan kebijakan Otsus di Papua yang sudah berjalan selama sembilan tahun belum pernah dievaluasi. “Bagi kami, hal ini sangat penting karena selama ini masyarakat Papua memberi penilaian bahwa kebijakan Otsus gagal,” kata Pigai.

Wakil rakyat dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) itu menegaskan

kebijakan Otsus Papua tidak bisa serta-merta dinilai gagal tanpa melalui sebuah evaluasi yang menyeluruh. Meski begitu, menurut Pigai, kebijakan Otsus Papua dalam upaya pemberdayaan dan perlindungan orang asli Papua dalam penerapannya belum dilaksanakan sesuai amanat UU No 21 tahun 2001.

Sebagaimana informasi yang diterima, katanya, pansus Otsus yang dibentuk DPD akan menggelar forum diskusi terbatas masyarakat Papua di Jayapura untuk mengevaluasi Otsus. Menurut Pigai, evaluasi Otsus tidak bisa hanya sekedar dengan menggelar sebuah forum diskusi yang dihadiri oleh kalangan terbatas.

Agar hasil yang dicapai bisa maksimal, ia mengusulkan agar Pansus DPD mengundang seluruh komponen rakyat Papua dari 29 kabupaten/kota setempat termasuk dari Provinsi Papua Barat.

“Kami harapkan agar DPD mengundang semua unsur birokrat, DPRD, lembaga-lembaga adat, perguruan tinggi, tokoh gereja, pemuda, perempuan untuk terlibat dalam evaluasi Otsus sehingga hasil yang diperoleh bisa maksimal untuk kepentingan Papua ke depan,” pintanya.

Bila perlu, katanya, DPD mendesak Gubernur Papua Barnabas Suebu dan para bupati/walikota untuk turut memfasilitasi pertemuan dimaksud agar semua pihak bisa hadir. “Persoalan Otsus di Papua selama ini bukan pada tataran kebijakan, tetapi pada implementasinya. Selama sekian tahun uang yang mengalir ke Papua sudah belasan hingga puluhan triliun, rupiah tapi rakyat Papua tetap miskin,” jelas Pigai.

Tokoh masyarakat Mimika, Thomas Wanmang juga mendukung rencana melakukan evaluasi Otsus karena hingga saat ini rakyat di kampung-kampung di Papua belum sepenuhnya merasakan dampak dari kebijakan itu.”Kami tidak melihat ada perubahan yang berarti dalam kehidupan rakyat Papua selama era Otsus dan sebelum Otsus karena rakyat Papua tetap miskin dan tertinggal dalam berbagai aspek,” kata Thomas.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), John Ibo beberapa waktu lalu di Timika mengatakan lembaga yang dipimpinnya itu sangat mendukung rencana audit dana Otsus Papua yang sudah dikucurkan selama sembilan tahun sejak 2001.”Harus dilakukan. Seharusnya evaluasi dilakukan setiap tiga tahun, tapi kita sudah berjalan sembilan tahun belum pernah dievaluasi,” kata Ibo.

Ia menjelaskan, pada tahun 2005 Pemprov dan DPRP sudah merencanakan melakukan evaluasi Otsus namun urung terlaksana lantaran Pemerintah Pusat tidak hadir.Menurut Ibo, itu merupakan sebuah kerugian besar karena rakyat Papua tidak bisa mengetahui secara pasti apakah kebijakan itu benar-benar dilaksanakan secara baik atau tidak.[bel/ant]

Written by Bel/Ant/Papos
Tuesday, 14 December 2010 00:00

Warga Dukung Soal Evaluasi Otsus Papua

Timika [PAPOS] – Rencana Dewan Perwakilan Daerah (DPD) membentuk panitia khusus (pansus) untuk mengevaluasi kebijakan Otonomi Khusus (Otsus) Papua mendapat dukungan positif dari warga Mimika.

Anggota Komisi B DPRD Mimika, Wilhelmus Pigai kepada wartawan di Timika, Senin mengatakan rencana pembentukan pansus Otsus Papua oleh DPD sangat positif mengingat selama ini pelaksanaan kebijakan Otsus di Papua yang sudah berjalan selama sembilan tahun belum pernah dievaluasi.

“Bagi kami, hal ini sangat penting karena selama ini masyarakat Papua memberi penilaian bahwa kebijakan Otsus gagal,” kata Pigai.

Wakil rakyat dari Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) itu menegaskan kebijakan Otsus Papua tidak bisa serta-merta dinilai gagal tanpa melalui sebuah evaluasi yang menyeluruh.

Meski begitu, menurut Pigai, kebijakan Otsus Papua dalam upaya pemberdayaan dan perlindungan orang asli Papua dalam penerapannya belum dilaksanakan sesuai amanat UU No 21 tahun 2001.

Sebagaimana informasi yang diterima, katanya, pansus Otsus yang dibentuk DPD akan menggelar forum diskusi terbatas masyarakat Papua di Jayapura untuk mengevaluasi Otsus.

Menurut Pigai, evaluasi Otsus tidak bisa hanya sekedar dengan menggelar sebuah forum diskusi yang dihadiri oleh kalangan terbatas.

Agar hasil yang dicapai bisa maksimal, ia mengusulkan agar Pansus DPD mengundang seluruh komponen rakyat Papua dari 29 kabupaten/kota setempat termasuk dari Provinsi Papua Barat.

“Kami harapkan agar DPD mengundang semua unsur birokrat, DPRD, lembaga-lembaga adat, perguruan tinggi, tokoh gereja, pemuda, perempuan untuk terlibat dalam evaluasi Otsus sehingga hasil yang diperoleh bisa maksimal untuk kepentingan Papua ke depan,” pintanya.

Bila perlu, katanya, DPD mendesak Gubernur Papua Barnabas Suebu dan para bupati/walikota untuk turut memfasilitasi pertemuan dimaksud agar semua pihak bisa hadir.

“Persoalan Otsus di Papua selama ini bukan pada tataran kebijakan, tetapi pada implementasinya. Selama sekian tahun uang yang mengalir ke Papua sudah belasan hingga puluhan triliun, rupiah tapi rakyat Papua tetap miskin,” jelas Pigai.

Tokoh masyarakat Mimika, Thomas Wanmang juga mendukung rencana melakukan evaluasi Otsus karena hingga saat ini rakyat di kampung-kampung di Papua belum sepenuhnya merasakan dampak dari kebijakan itu.

“Kami tidak melihat ada perubahan yang berarti dalam kehidupan rakyat Papua selama era Otsus dan sebelum Otsus karena rakyat Papua tetap miskin dan tertinggal dalam berbagai aspek,” kata Thomas.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), John Ibo beberapa waktu lalu di Timika mengatakan lembaga yang dipimpinnya itu sangat mendukung rencana audit dana Otsus Papua yang sudah dikucurkan selama sembilan tahun sejak 2001.

“Harus dilakukan. Seharusnya evaluasi dilakukan setiap tiga tahun, tapi kita sudah berjalan sembilan tahun belum pernah dievaluasi,” kata Ibo.

Ia menjelaskan, pada tahun 2005 Pemprov dan DPRP sudah merencanakan melakukan evaluasi Otsus namun urung terlaksana lantaran Pemerintah Pusat tidak hadir.

Menurut Ibo, itu merupakan sebuah kerugian besar karena rakyat Papua tidak bisa mengetahui secara pasti apakah kebijakan itu benar-benar dilaksanakan secara baik atau tidak. [ant/agi]

Written by Ant/Agi/Papos
Tuesday, 14 December 2010 00:00

LMA Minta Bagian Dana Otsus Rp10 Triliun

Linus Kogoya,S.Th, M.Hum
JAYAPURA [PAPOS]- Lembaga Masyarakat Adat (LMA) meminta bagian dari dana Otsus sebesar Rp.10 Triliun. Permintaan ini sebagai dukungan LMA terhadap pelaksaan Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua lewat Undang-undang Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 yang tinggal waktu 16 tahun lagi.

Hal itu diungkapkan Linus Kogoya,S.Th, M.Hum selaku Ketua Lembaga Musyawarah Adat (LMA)Papua terpilih pada Musyawarah Daerah LMA yang di selenggarakan oleh Biro Pemerintahan Kampung Setda Provinsi Papua, di Balai Latihan Koperasi Jayapura, Rabu (9/12) kemarin.

Menurut Linus Kogoya, dalam proses perjalanannya Otonomi khusus Papua selama ini belum memberikan dampak yang berarti terhadap lembaga-lembaga adat yang ada di Tanah Papua. Lembaga adat di Papua tidak pernah dilibatkan dalam pelaksanaan pembangunan di Papua. Bahkan tua-tua adat, para pejuang PEPERA tidak pernah diperhatikan kesejahteraannya, sehingga mereka hidup dalam kesengsaraan. Keluhan tentang kesejahteraan mereka itu sampai dibayar dengan air mata, untuk itu Lembaga Masyarakat Adat akan memperjuangkan kesejahteraan mereka melalui pembagaina dana Otsus.

Lebih jauh Linus mengatakan, sejak Maret 2010 lalu dia telah memperjuangkan hak-hak tersebut dengan cara meminta Musda harus dilaksanakan, tujuannya agar dapat membangun dan meningkatkan Lembaga Adat dengan pemerintah serta berbagai pihak.

Sebelum Musda dilaksanakan, dia juga telah membuat program antara lain program jangka panjang, program jangka menengah dan program jangka pendek.

Dalam program jangka pendek di Tahun 2011 mendatang tambah Linus, dirinya telah membuat satu komitmen bahwa pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Provinsi harus memberikan fasilitas kepada para ketua LMA baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Fasilitas dimaksud yaitu penyediaan kendaraan roda empat serta pemberian gaji yang sama seperti gaji para anggota dewan perwakilan rakyat, tak hanya itu untuk peralatan kerja para pengurus LMA harus dilengkapi dengan komputer.

Selain fasilitas tersebut diatas, Linus Kogoya kembali menegaskan akan mengusulkan segera dibuat kesepakatan dengan PT.Freeport Indonesia untuk pembangunan jalan antar Kabupaten. ”Dalam waktu dekat ini penandatangan MOU harus segera dilaksanakan terkait pembangunan jalan antar Kabupaten di Papua,” tandasnya.

Dikatakan, Program LMA selanjutnya yaitu tentang usulan dana Otsus dari pemerintah pusat sebesar Rp10 triliun Rupiah kepada Lembaga-lembaga adat yang ada di Provinsi Papua dan Papua Barat, sebab LMA yang ada ini mau membangun daerah ini.

“ Permintaan dana Otsus ini, sesuai dengan tema Musda yaitu mandirilah bangsaku menuju Papua Baru, oleh sebab itu LMA meminta dana sebesar itu agar dapat membangun daerah ini menuju Papua Baru,” ujar Linus Kogoya.[cr-59]

Written by Cr-59/Papos
Thursday, 09 December 2010 00:00

Fordem Minta DPRP dan MRP Konsisten Tolak Otsus

Ketua Fordem Salmon Yumame,SE, MM saat menyampaikan keterangan pers
Ketua Fordem Salmon Yumame,SE, MM saat menyampaikan keterangan pers

JAYAPURA [PAPOS] – Forum Demokrasi Rakyat Papua Bersatu (FORDEM) menilai Otonomi Khusus Papua telah gagal total, sebab pemerintah pusat hanya melihat Otsus Papua sebatas uang, sedangkan kewenangan rakyat untuk menentukan kebijakan sesuai UU Otsus tidak diimplementasikan.

Hal itu disampaikan Ketua Fordem Salmon Yumame,SE, MM kepada wartawan Kamis (4/11) di Abepura.

Salmon Yumame menyampaikan, perlu diketahui bahwa Otsus Papua lahir karena rakyat Papua tuntut Merdeka, sehingga pemerintah pusat memberikan Otsus agar rakyat Papua bisa mengatur dirinya sendiri sesuai amanat UU Otsus Papua. Kenyataan yang terjadi selama 9 tahun perjalanan Otsus Papua jaug dari harapan masyarakat, ruang gerak orang Papua dibatasi oleh pemerintah pusat ketika menjalankan kebijakan Otsus Papua.

“ Pemerintah pusat mencurigai orang Papua, orang Papua mencurigai pemerintah pusat,” kata Salmon Yumame.

Lebih jauh Salmon mengatakan, Rakyat Papua melalui Mubes MRP beberapa waktu lalu telah menyatakan bahwa Otsus gagal, serta rakyat telah menyatakan sikap untuk mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat. Rakyat Papua telah konsisten dengan keputusan yang diambil untuk menolak Otsus.

“ Pemerintah Daerah, DPRP dan MRP harus konsisten bersama rakyat Papua menolak pemberlakukan Otsus di Papua,” kata Yumame.

Menurutnya, Rakyat Papua memahami kondisi kegagalan Otsus saat ini, harga diri orang Papua tidak bisa dipermainkan oleh pemerintah pusat sehingga rakyat konsisten menyatakan sikap tolak Otsus.

“Uang Otsus bukan indikator untuk mengukur Otsus karena tanpa uang Otsus rakyat Papua pun hidup dengan kesederhanaan dan kearifan lokal yang ada. Rakyat Papua butuh kewenangan dan kebijakan untuk mengatur dirinya sendiri sebagaimana yang tertera dalam amanat UU Otsus,” jelas Salmon Yumame.

Namun pemerintah terkesan tidak sejalan dengan rakyat sebab rakyat nyatakan sikap untuk menolak Otsus namun pemerintah daerah malahan mencari cela mendorong agenda-agenda untuk revisi Otsus. Otsus di revisi atau tidak, namun jika kewengan daerah di batasi sama saja bohong, sebab kewengan daerah itu yang diperlukan untuk membangun Papua.

Untuk itulah Fordem menyatakan sikap meminta agar DPR Papua dan DPR Papua Barat menghormati suara rakyat bahwa Otsus Gagal sehingga rakyat Papua menolaknya. “DPR Papua dan DPR Papua Barat jangan mempermainkan hak hidup rakyat Papua yang semaik terancam di tengah-tengah kekacauan Otsus Papua, untuk itu DPR Papua dan DPR Papua Barat segerah menindak lanjuti aspirasi rakyat Papua yang tertera pada hasil mubes MRP tanggal 8-9 Juni 2010,” tambahnya seraya mengatakan DPR Papua dan DPR Papua Barat mengambil langka-langkanyata dan segerah untuk mendiskusikan dengan pemerintah daerah di tanah Papua dan komponen rakyat papua guna mencari solusi politik yang baru dengan Jakarta. [eka]

Written by Eka/Papos
Friday, 05 November 2010 00:00

DPRP Tetap Ajukan Judicial Review UU Otsus

JAYAPURA—Ketua DPRP Drs John Ibo MM menegaskan pihaknya tetap mengajukan Judicial Review (Uji Material ) terhadap UU No 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua terutama pasal 7 huruf a yang menyebutkan Gubernur Provinsi Papua dipilih oleh DPRP. Tapi pasal ini kemudian dihapuskan ketika UU No 21 Tahun 2001 diubah menjadi UU No 35 Tahun 2008.

Demikian Ketua DPRP Drs John Ibo MM udai menerima kunjungan First Secretary Political Section Kedutaan Besar Amerika Serikat Melanie Higgins diruang kerjanya, Kamis (26/8) kemarin. Ia ditanya terkait rencana DPRP mengajukan Judicial Review terhadap UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

“Jika pemerintah pusat tak mengikuti kemauan orang Papua. Satu persatu kita kumpulkan masalah menjadi bukit. Dan sebukit masalah itu kalau pemerintah pusat tetap tak menaruh perhatian. Saya menganggap pemerintah pusat setengah hati urus Otsus,” katanya.

“Kalau tak serius berarti pula orang orang Papua tak sejahtera. Kalau sudah seperti itu orang Papua katakana lepas saja bukan Ketua DPRP yang katakan yang katakan orang Papua katakana kalau kita tak diurus dengan baik ya lepas saja.”

Karena itu, lanjutnya, Komisi A DPRP bekerjasama dengan pakar hukum yang dikoordinir Advokat Senior Bambang Widjojanto. Apabila seluruh bahan tekah rampung, maka segera dibawa sebagai suatu tuntutan ke Judicial Review (uji material) terhadap UU No 21 Tahun 2001 tentang terutama pasal 7 huruf a yang mengatakan Gubernur Provinsi Papua dipilih oleh DPRP yang telah dihilangkan setelah perubahab UU NO 21 Tahun 2001 menjadi UU No 35 Tahun 2008.

Perubahan UU Otsus Dinilai Inkonstitusional

JAYAPURA—Perubahan atas UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua menjadi UU No 35 Tahun 2008 terutama pada pasal 7 huruf a bahwa Gubernur Provinsi Papua dipilih oleh DPRP, namun demikian, setelah UU No 21 Tahun 2001 diubah menjadi UU No 35 Tahun 2008 pasal ini dihilangkan.  

Hal ini dinilai inkonstitusional atau melanggar aturan dalam sistim perubahan terhadap perundang- undangan atau terindikasi adanya inkonstitusional terhadap perubahan atas Perpu yang diperkuat UU No 35 Tahun 2008.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Badan Legislasi DPRP Albert Bolang SH MH kepada Bintang Papua diruang kerjanya, Rabu (25/8) kemarin terkait rencana DPRP mengajukan Judicial Review terhadap UU No 21 Tahun 20010 tentang Otsus Papua. Menurut dia, perubahan ini bukan merupakan suatu kesepakatan antara pemerintah daerah Provinsi Papua dengan pemerintah pusat untuk melakukan suatu perubahan.

Dia mengatakan, inkonstitusional karena perubahan terhadap hal hal mendasar terkait Otsus di Papua ini semestinya antara eksekutif dan legislatif bersama pemerintah pusat, terhadap UU ini harus ada semacam kesepakatan melakukan perubahan. “Tapi pada saat ini kan kita tahu dan sekarang sudah terbuka semua rakyat sudah tahu bahwa perubahan terhadap UU Otsus tanpa sepengetahuan dari rakyat dalam hal ini eksekutif dan legislatif sebagaimana pengakuan Gubernur Papua dan Ketua DPRP,” tukasnya.

“Ini betul betul inkonstitusional sehingga kalau itupun dilakukan Judicial Review akan dibuka secara hukum apakah memang perubahan ini betul betul didasari dengan misalnya adanya paripurna di DPRP kemudian itu didorong ke pemerintah pusat untuk dilakukan perubahan.”

Dia menambahkan, kalau itu tak ada bisa saja hakim akan menilai apa landasannya sehingga perubahan atas UU Otsus ini dilakukan secara serta merta tanpa ada pemberitahuan resmi.

Menurutnya, siapapun mempunya hak untuk melakukan pengujian terhadap peraturan perundang undangan ataupun dalam bentuk peraturan yang bertentangan dengan UUD 1945. Pengunjian ini materinya adalah lebih kepada bagaimana konsitensi daripada UU itu sendiri karena ada tata urutan perundang undangan dimana setiap produk hukum itu tak boleh bertentangan dengan UU lainnya atau roh yang ada didalam UU tersebut

Dijelaskannya, upaya Judicial Review ini adalah upaya selain pembelajaran hukum juga sebagai upaya upaya politik untuk kepentingan Papua terkait dengan konsitensi UU No 21 Tahun 2001. Pasalnya, kalau direkam jejak pelaksanaan UU No 21 Tahun 2001 sesungguhnya UU ini boleh dikatakan sebagai UU yang diterbitkan dengan tak begitu matang dalam artian karena memang lahirnya UU Otsus ini disaat gelombang tuntutan rakyat untuk keluar dari NKRI dan membentuk suatu negara merdeka dan berdaulat sehingga pemerintah pusat memberikan Otsus Papua.

Dituturkan, ada pembandingnya UU No 18 Tahun 2001 dan UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Nangroe Aceh Darusalam (NAD) pada tahun 2006 dilakukan perubahan tapi ada dasar atau legal standingnya jelas atau posisi dari kedua pihak ini jelas pemerintah NAD dan pemerintah pusat pada saat itu sepakat untuk melakukan suatu perubahan.

Tapi, katanya, pada UU Otsus tidak legal standing kedua pihak ini untuk melakukan perubahan terhadap UU tak ada apalagi setelah ditelusuri kedalam bersama Komisi A DPRP terhadap pelaksanaan perubahan itu sama sekali tak memiliki landasan hukum yang jelas.

“Sebagai hak dari rakyat Papua untuk melakukan Judicial Review saya pikir hukum menjamin itu soal nanti keputusan politik dan hukum seperti apa tapi sebagai upaya upaya hukum sebagai kita negara hukum ini kita harus secara terbuka melihat itu dan itu tak serta merta semua itu menjadi kepentingan tertentu dan kemudian didorong melakukan perubahan,” tuturnya. (mdc)

DPRP Akan Ajukan Judicial Review UU Otsus

JAYAPURA-Perubahan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Papua No. 21 Tahun 2001 menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008, tampaknya menjadi perhatian serius DPRP. Bahkan, DPRP akan melakukan judicial review (uji materi) ke Mahkmah Konstitusi (MK).

Untuk keperluan itu, DPRP juga telah menunjuk Tim Advokasi Hukum yang diketuai oleh Bambang Wijojanto, seorang advokat yang pernah merintis kariernya di Papua.

Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai, SIP mengatakan, judicial review terhadap UU Otsus No 35 Tahun 2008 ini sudah menjadi agenda yang akan diperjuangkan oleh DPRP kepada pemerintah pusat. "Itu sudah menjadi agenda kami. Dan tetap akan ke Jakarta, karena kontraknya sudah dibuat dengan Tim Advokasi, Bambang Wijojanto SH," tandas Ruben Magai saat ditemui di ruang Fraksi Demokrat DPRP, Selasa (24/8) kemarin.

Ditanya kapan rencana pengajuan judicial review itu? Ruben Magai mengatakan bahwa hal itu akan dilakukan setelah semua proses pembahasan RAPBD Tahun Anggaran 2011 berjalan hingga disahkan terlebih dahulu, karena itu merupakan agenda khusus yang akan disampaikan kepada pemerintah pusat.

Ruben mengatakan bahwa dalam pelaksanaan UU Otsus tersebut, mestinya dilaksanakan semua pihak dengan murni dan konsekuen. "Bagaimanapun caranya, jika kita konsekuen dalam pelaksanaan UU Otsus, maka pemerintah pusat harus responsif terhadap rencana DPRP untuk melakukan judicial review terhadap UU Otsus Papua tersebut," ujarnya.

Meski demikian, Ruben mengaku, rencana untuk mengajukan judicial review ini bukan wacana baru, tetapi sudah diwacanakan setelah ia menjabat Ketua Komisi A DPRP dan DPRP sudah 2 kali menghadap pemerintah pusat memberikan saran dan masukan terkait pasal 7 UU No 21 Tahun 2001 yang dihilangkan dalam perubahan menjadi UU No 35 Tahun 2008 tersebut.

Justru Ruben mempertanyakan siapa yang menghilangkan pasal 7 point a tentang pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRP tersebut dalam perubahan UU No 35 Tahun 2008 tersebut. "Dan, menjadi pertanyaan hari ini, siapa yang menghilangkan?, kepentingan apa sampai hari ini belum jelas," tandasnya.

Ruben mengatakan bahwa Komisi A DPRP telah menyampaikan ke Menkopolhukam, Depdagri dan Menteri Hukum dan HAM serta DPR RI, karena pintu masuknya pelaksanaan UU Otsus tersebut terletak pada pasal 7 point a UU No 21 Tahun 2001.

Menurutnya, ketika pemilihan gubernur dilakukan oleh DPRP, memberikan penguatan dalam rangka fungsi DPRP dalam pengawasan pembangunan di Papua dalam 1 tahun. Dan, dengan sendirinya, dalam pertanggungjawaban gubernur akan menjadi Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) sesuai dengan amanat UU Otsus, bukan lagi Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) gubernur, dimana selama 10 tahun berjalan APBD dilaporkan dalam bentuk LKPJ sehingga DPRP hanya menerima keterangan, sekalipun DPRP menemukan pesoalan di lapangan itu DPRP hanya memberikan catatan kepada gubernur dan gubernur juga menindaklanjuti ke SKPD yang bersangkutan, akhirnya dalam proses pengawasan hingga sampai pertanggungjawabkan proyek yang ditemukan ada kesalahan mengalami kelemahan.

"Gubernur mau tindak lanjuti atau tidak, tergantung gubernur, sehingga selama ini pandangan masyarakat menilai DPRP, karena dari sistem dan aturan lemah dalam pengawasan," tandasnya.
Untuk itu, tegas Ruben Magai, untuk mendorong pelaksanaan UU Otsus secara murni dan konsekuen di Papua, harus mulai merubah pemilihan gubernur melalui DPRP sehingga dengan sendirinya pasal 18 UU No 21 Tahun 2001 tentang LPJ akan berjalan, sehingga fungsi pengawasan dan kontrol DPR itu semakin kuat dan sejajar dengan eksekutif. "Selama ini, eksekutif seolah-olah menganggap kami seperti satu SKPD dan mereka bisa mengontrol kami dan sebenarnya itu terbalik," imbuhnya. (bat/fud)  

Rereferendum ‘Berakar’ Otsus

Demo damai berjalan kaki ke DPRP untuk mengembalikan UU Otsus. (Foto/Jubi : Saut Marpaung)

Otsus ada karena perjuangan bersama orang Asli Papua. Hasilnya hanya untuk segelintir orang. Siapa yang jadi pecundang?

JUBI — Pagi Rabu 8 Juli 2010. Cuaca Kota Jayapura dan sekitarnya terlihat cerah. Hari itu tidak seperti biasanya, para pekerja  telihat lebih cepat menuju kantor. Sementara, angkutan umum tampak tak terlalu sibuk memburu penumpang. Para sopir taksi   lebih memilih parkir di rumah, sehingga suasana ruas jalan yang hari-hari sebelumnya langganan macet, berubah menjadi lengang menjelang pukul 10.00 wit.

Pada tempo yang sama, di kawasan Waena, salah satu daerah di Jayapura bagian selatan, terlihat, satu per satu kaum muda menuju kampus baru Universitas Cendrawasi yang terletak di atas bukit. Dalam hitungan menit, kampus Uncen dipadati mahasiswa. Pengeras suara diletakkan dalam sebuah pick up. Berbagai sepanduk dibentangkan. Ada gambar Bendera Bintang Kejora, ada pula Bendera Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Beberapa orang  yang tergabung dalam Komite Nasional  Papua Barat (KNPB) rela bertelanjang dan melukiskan gambar Bendera Bintang Kejora pada sekujur tubuh mereka. Terikan  “Otonomi  no, Referendum yes” menggema sepanjang  ruas jalan dari  kampus itu. Mendadak macet total. Angkot yang nekat melayani penumpang terpaksa  berbalik arah.

Seorang terus orator  menguasai pengeras suara. Warga yang sedang duduk di pinggir jalan pun masuk dalam barisan. Semua berkulit hitam dan berambut keriting. Mereka  membentuk antrian panjang menuju Ekspo Waena.  Di tempat itu, ratusan massa sedang menanti, termasuk massa yang datang dari Kabupaten Jayapura.  Sesaat mereka melakukan orasi, tapi tak berapa lama massa begerak menuju kawasan Abepura menggunakan puluhan truk dan sekitar ratusan kendaraan roda dua.

Di Abepura, tepatnya di pertigaan ratusan massa menyambut massa dari waena dan Jayapura. Mereka bergabung, sehingga jumlahnya menjadi ribuan. Dari kawasan itu, massa lalu  menuju Kota Jayapura menggunakan puluhan dan ratusan kendaraan roda dua.  Sepanjang perjalan, pendemo meneriakan ‘pamit dari NKRI.’

Tolak otonomi khusus dan minta referendum. Itulah substansi tuntutan massa ketika itu. Tuntuntan itu sekaligus sebuah jawaban atas rekomendasi musyawara besar rakya Papua bersama Majelis Rakyat Papua (MRP) yang digelar pada  9-10 Juni, yang menghasilkan beberapa keputusan, diantaranya adalah mengembalikan undang-undang otonomi khusus kepada Pemerintah Indonesia, meminta dilakukan referendum, dan mendesak agar tambang emas PT. Freeport ditutup. Aspirasi ini dibawah ke DPRP pada medio 18 juni lalu. 

Desakan referendum tersebut setidaknya akumulasi dari kegagalan pemerintah provinsi Papua dan Papua Barat mensejaterakan rakyat Papua. Pada sektor pemberdayaan ekonomi kedua provinsi ini tidak mampu memberdayakan sektor ekonomi sirih pinang , sagu, gambir, ubi, ikan asar, keterampilan menganyam, seperti noken yang geluti orang asli Papua. Pemerintah hanya giat membangunan infrastruktur sekitar wilayah perkotaan dan mempromosi kekayaan Papua ke luar negeri dan sibuk memperkaya diri menggunakan uang otsus yang sejatinya uang tersebut adalah kekayaan bersama orang asli Papua.

Kekayaan pejabat dan kondisi ekonomi masyarakat asli Papua ibarat jarak langit dan bumi. Di ibu kota provinsi dan kabupaten, para pejabat memiliki harta melimpah. Mobil antri di garasi, rumah bak istana, memiliki rekening gendut di bank, anak sekolah di luar negeri, kesehatan terjamin dan kemudahan hidup lainnya. Sedangkan kondisi hidup masyarakat di kampung sangat miris.

Rumah tetap berlantaikan tanah dan beratapkan daun pohon, bahkan sebagian masih hidup di atas pohon. Tak hanya itu, anak-anak sebagaian besar tidak mengenyam pendidikan, gizi buruk mendera dari kampung ke kampung, makanan gizi masih mengandalkan sagu, layanan kesehatan tersendat, dan sederetan persolan ruwet lainnya.

Uang otonomi khusus yang diperjuangkan dengan darah dan air mata, dalam  pengalokasiannya lebih besar untuk belanja pegawai aparatur pemerintah ketimbang belanja publik. Sedangkan sebagian menghilang di proyek, seperti proyek fiktif pembangunan jalan raya di Sorong Selatan yang melibatkan pengusaha ‘palsu’ dan diduga melibatkan Achmad Hatari, Kepala Bidang Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Provinsi Papua, yang hingga kini kasus masih mandek di Polda Papua.

Selain persolan tersebut, masalah keamanan masih mewarnai kehidupan keseharian di Papua. Kontak senjanta antara aparat Kepolisi dengan kelompok sipil bersenjata masih terjadi. Misalnya di PT. Freeport, selalu ditemukan peluru tanpa tuan. Dari berbagai letupan sejanjata, OPM selalu jadi kambing hitam. Dalam konteks keamanan, Papua ibarat ‘Jalur Gaza’ yang tak pernah berdamai. 

Peneliti politik dari Lemba Ilmu Pengetahun Indonesi (LIPI), Muridan S. Widjojo, dalam diary of papua, dia menulis; “Para politisi Papua garis keras yang condong ke- NKRI-an masih melihat bahwa konflik Papua semata-mata masalah pencitraan yakni kegagalan Indonesia dalam kampanye dan propaganda keberhasilan pembangunan Indonesia di Papua. Bukan masalah kebijakan dan realitas politik yang diterapkannya di Papua. Pejabat penting di lingkungan Presiden dan wakil presiden, Depdagri, Polhukkam, bahkan di DPRRI masih banyak yang sejalan dengan cara berpikir ini.”

Menurut Muridan, orientasi berpikir nasionalis banal itu dilengkapi dengan pendekatan simbolis dan militeristik yang diyakini sebagai cara terbaik untuk mempertahankan Papua dan integritas nasional Indonesia. Coba perhatikan bagaimana seriusnya aparat keamanan merepresi demo orang Papua mengibarkan Bendera Bintang Kejora. Juga lihat bagaimana besarnya perhatian Jakarta  tentang pemberian kewarganegaraan RI pada bekas aktivis Papua Merdeka FransAlbert Joku dan Nick Messet, dan terakhir pemberian warga negara RI kepada Nicholas Jouwe, pendiri OPM. Contoh lain juga juga adalah pemerintah pusat menerbitkan PP 77/2007 yang intinya menghalang bendera bintang kejora sebagai lambang kesatuan kultur Orang Papua.  ”Kaum nasionalis banal ini, selain pendekatan simbolis militeristik seperti di atas, percaya bahwa dengan diplomasi dan lobi internasional citra Papua dan Indonesia dapat diperbaiki. Mereka berpuas diri dengan pernyataan dari negara sahabat bahwa negara-negara itu mengakui kedaulatan RI atas Papua. Mereka berpuas diri dengan mengatakan pada dunia bahwa Indonesia sudah demokratis,  sudah punya pengadilan HAM, sudah meratifikasi banyak aturan internasional, sudah ini sudah itu…untuk Papua, mereka selalu dengan bangga membeberkan bahwa pemerintah sudah meberikan otsus untuk Papua,” tulis Muridan dalam diarinya itu.

Walau demikian, tidak dapat disangkal bahwa diplomasi dan lobi itu penting, tapi apa artinya semua itu jika gagal menyelesaikan pelanggaran HAM, gagal melaksanakan UU Otsus, gagal membuat rekognisi atas hak-hak dasar orang asli Papua, dan gagal membangun relasi politik yang dialogis antara elemen-elemen strategis di Jakarta dan Papua.

“Sebagian besar kritik terhadap Indonesia atas masalah Papua justru terarah pada empat soal tersebut.” Menurutnya, citra yang otentik dari sebuah negara-bangsa itu dibangun oleh kualitas nyata dan keberhasilan kebijakan politik dan ekonominya bagi warga negaranya. Pengadilan ham dan rekonsiliasi yang berhasil, pelaksanaan Otsus yang optimal untuk kesejahteraan rakyat Papua, rekognisi yang konkrit atas hak-hak dasar orang asli Papua serta dialog-dialog yang bermutu dan substantif antara Jakarta dan Papua itulah yang akan menjadi humas yang otentik bagi Indonesia dan Papua. Kebijakan yang nyata itulah yang akan memperbaiki citra Indonesia tidak hanya di mata dunia internasional, tetapi yang terpenting, kepercayaan rakyat Papua pada pemerintah pusat di Jakarta.

“Seseorang yang sudah sakit parah tidak bisa ditutupi hanya dengan memberinya bedak dan kosmetik agar dia kelihatan sehat. Dia harus diobati dan kalau perlu dioperasi besar-besaran agar penyakit kronis di dalamnya dapat disembuhkan,” katanya. (JUBI/Lasarus Gon)

Apa Artinya Otsus Gagal? – Seri Ulasan Editorial WPMNews (1)

Orang Papua, terutama pemuda Papua selalu dan berulangkali melakukan demonstrasi di hadapan pemerintah dan masyarakat Indonesia dengan alasan-alasan yang bervariasi dan dalam berbagai bentuk. Dari berbagai kegiatan ini, ada tiga hal penting yang selalu saya amati. Contoh kasus, terjadi “perang suku” , maaf ini kata orang Indonesia, bukan kata saya, maka mahasiswa Papua melakukan aksi menuntut kekerasan dihentikan. Selang beberapa kata, kalimat, paragraph kemudian selalu muncul ungkapan atau tuntutan, “Papua Merdeka”. Itu hal pertama.

Hal kedua, dalam pada itu, ada yang memilih bahasa yang lebih sopan, tidak menuntut merdeka, mereka hanya bilang “menolak Otsus”. Mereka punya argumen Otsus telah gagal, dengan menunjukkan berbagai bukti kegagalan pemerintah neo-kolonial Indonesia dalam memberlakukan Otsus NKRI di West Papua.Termasuk “perang suku” di Timika dianggap sebagai bukti kegagagalan, atau Pemda yang sudah punya Otsus itu gagal mengamankan dan gagal menyelesaikan akar persoalan ‘perang suku’ dimaksud. Apa kaitan ‘perang suku” dengan Otsus?

Rupanya ada saja orang Papua yang pernah mengharapkan di awal-awal proses pemberian Otsus itu bahwa dengan pemberlakukan Otsus, maka nasib orang Papua akan lebih diperhatikan, kehidupan mereka akan lebih baik, pembunuhan berkurang, pelanggaran HAM hilang, orang Papua menjadi Gubernur, Bupati, Walikota, Ketua Dewan, Kepala Sekolah, Kepala Desa, Lurah, Kapolda, Pangdam, Kapolres, Pilot, Direktur Rumah Sakit, dst, dsb. Saya sudah sejak awal, tahun 2002 mengatakan dalam tiga buku Papua Menggugat: Prakek, Teori dan Politisasi Otsus NKRI untuk West Papua dan terbuka dan terus-terang menunjukkan, jauh sebelum semua ini terjadi, bahwa justru proses etnosida dan genosida akan terjadi lebih cepat, lebih meluas, lebih mendalam dan lebih canggih, serta lebih pasti.. Itulah yang sedang terjadi sekarang. Waktu itu ada elit politik Papua dalam bedah buku-buku itu mengatakan tulisan-tulisan dan ulasan saya bersifat provokativ, tetapi saya mau katakan bahwa itu bukan provokativ, tetapi proaktiv dan projective melihat apa yang pasti bakalan terjadi. Dan buktinya sekarang sudah terjadi. Buktinya itu sebabnya masih saja ada demo-demo menolak Otsus atau mengembalikan Otsus. Itulah sebabnya tuntutan awal bangsa Papua, “Papua Merdeka!” masih terdengar di Bumi Cenderawasih.

Dia antara kedua kubu ini ada hal ketiga yang saya catat saat ini, yaitu setelah menuntut Papua Merdeka, ada orang Papua menuntut referendum. Sama halnya pula, mereka yang menolak Otsus atau yang mengatakan Otsus gagal, juga pada saat yang sama menuntut referendum. Kita telah baca artikel terbaru Papua Pos, “Otsus No, Referendum Yes!”

Yang menuntut Papua Merdeka dan yang menyatakan Otsus gagal dan karena itu dikembalikan kepada NKRI bertemu pada titik ‘tuntutan referendum’. Keduanya mulai dari titik yang berbeda, tetapi, karena tujuan mereka sama saja, maka mereka bertemu di persimpangan ‘jalan referendum” atau lebih tepat “perempatan referendum”. Maka itulah saya katakan tadi bahwa yang satu memilih jalan yang terus-terang, yang sering di-bahasa-politik-kan menjadi “garis keras”, dan yang satunya kelompok “non-kekerasan” atau perjuangan damai. (Perlu diketahui bahwa wacana dan gerakan “Papua Tanah Damai” dan perjuangan “non-kekerasan” memiliki sejumlah perbedaan yang tidak saja berbeda tetapi bertolak-belakang satu sama lain, maka maksud kelompok “non-kekerasan” di sini bukan dirujuk kepada kelompok yang mengkampanyekan dan mendukung “Papua Zona Damai”).

Merujuk ke referendum tadi saya bilang ada ‘perempatan referendum’, maka pasti ada empat jalan yang menuju ke pertemuan mereka itu. Jalan pertama ‘jalan terus-terang’ atau blak-blakan, jalan kedua “diplomatis”, jalan ketiga “oportunis” dan jalan keempat “nogwe inok nawok, wogwe inok worawok” artinya “orang tak berpendirian, tetapi dapat dipengaruhi” oleh siapa saja. Saya tidak punya kepentingan dengan dua kelompok (1) Oportunis yang kebanyakan orang Papindo (Papua-Indonesia) dan (2) orang tratau diri tadi. Saya hidup dan punya kepentingan khusus dengan dua kelompok lainnya.

Oleh karena toh akhirnya dua jalan tadi: (1) terus terang dan (2) diplomatis bertemu di persimpangan yang sama, maka kita perlu bertanya, “Apa artinya Otsus gagal?” Tentu saja, maksud saya di sini, Apa artinya kalau orang Papua katakan “Otsus gagal?”

Tentu saja kaum oportunis Papindo akan menjawabnya lain. Jawaban saya dalam bentuk sebuah pertanyaan lagi, “Bukankah itu maksudnya, ‘menuntut Papua Merdeka?'”

Peranyaan ini beranjut dengan pertanyaan lagi:
1. Apa yang terjadi kalau Otsus ditolak?
2. Apakah NKRI akan menerima penolakan Otsus itu?
3. Kalau diterima, maka NKRI akan buat apa sebagai pengganti Otsus? Apakah dia akan minta maaf dan batalkan
semua Undang-Undang, semua dana dan tenaga yang dikeluarkan selama ini, HANYA oleh karena orang Papua
menyatakan “Otsus gagal”?
4. Kalau ditolak, apakah itu artinya Otsus tidak gagal alias berhasil?
5. Apa target orang Papua dengan menolak Otsus?

Apa artinya Otsus gagal?

Pertanyaan ini bukan pertanyaan politis, tetapi sebuah pertanyaan matematis. Pertanyaan ini sama artinya dengan kalimat matematika 1 + 1 = …. (satu tambah satu sama dengan?). Otsus gagal artinya….?

Matematika mengkalimatkan hal-yang yang pasti untuk mendapatkan jawaban yang pasti pula, tetapi politik mengkalimatkan hal-hal dengan berbagai kemungkinan dan jawabannya-pun dipenuhi dengan sejumlah kemungkinan pula.

Tinggal Anda dan saya memilih, apakah:
1. Otsus gagal artinya kalimat matematik, atau
2. Otsus gagal ialah sebuah kalimat politik

Di samping itu ada pertanyaan lanjutan
1. “Mengapa orang Papua menolak atau “Mengembalikan Otsus?”
2. Bisakah, atau kapankah kelompok blak-blakan dan yang non-kekerasan tadi bertemu?
3. Dapatkah keduanya bersatu dan berfokus kepada satu bidikan yang secara realistik menurut “real-politik” Indonesia
paling dapat menyebabkan NKRI memberikan tanggapan?
4. Untuk itu orang Papua perlu tahu, “Apa yang Indonesia mau dengar dari orang Papua: Otsus gagal atau tuntut
referendum?”

Politik penuh dengan sejuta kemungkinan yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja, kapan saja dan di mana saja, dan politik tidak mengenal negara itu besar dan raksasa atau kecil seperti semut. Politik dapat menyatakan satu tambah satu sama dengan lima, dan lima sama dengan dua tambah tiga. Semuanya penuh dengan kemungkinan.

Olehnya itu, dalam interaksi politik West Papua – NKRI perlu dipegang sebuah prinsip bahwa “kebenaran” yang merupakan sesuatu yang mutlak, kapanpun, dimanapun, bagaimanapun juga. Ia tidak akan, tidak dapat dan tidak pernah terkalahkan, malahan ia selalu dan pasti menang. Politik hanya dapat memanggil nama angka “2” dari 1+1 itu dengan nama “lima” tetapi ia tidak dapat merubah angka “2” menjadi angka “5”. Itu kebenaran mutlak. Keinginan dan aspirasi serta perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat serta hidup damai dan harmonis di tanah leluhurnya adalah angka “2” sebagai hasil penjumlahan dari angka 1+1 tadi. Walaupun Indonesia membacanya dengan nama “5” atau “500” sekalipun, ia hanya sebatas memanggilnya dengan nama itu, sedangkan angka “2” tidak dapat dan tidak akan pernah dirubahnya, baik oleh Indonesia atau Amerika Serikat sekalipun. Hukum Alam tentu tidak dapat, tidak pernah dan tidak akan pernah dikalahkan oleh Hukum Ekonomi, Hukum Politik, Hukum Negara manapun juga. Pejuang kemerdekaan West Papua patut bekerjasama dengan Hukum Alam itu karena Hukum Alam hanya berbahasa dan berkalimat matematis. Manusia dapat mempolitisasinya, tetapi karena manusia itu lahir, hidup dan mati menurut Hukum Alam, maka karya dan “imagined nationalism”-nya pasti tunduk kepada Hukum Alam.

Menurut Hukum Alam itu, maka orang Papua yang menolak Otsus atau menyatakan “Otsus gagal!” perlu memantapkan barisan dan membangun stategi bersama dengan kelompok blak-blakan tadi untuk tunduk dan taat kepada Hukum Alam. [Semoga bermanfaat]

DAP Wilayah V Gelar Demo ke DPRD Merauke

Nyatakan Dukung Hasil Mubes MRP

demo-lagi MERAUKE- Dewan Adat Papua Wilayah Lima Merauke menggelar aksi demo damai ke Kantor DPRD Merauke, Senin (21/6), kemarin. Demo damai yang digelar puluhan orang ini dipimpin oleh Ketua DAP Wilayah Lima Merauke Stanislaus Gebze dan Sekretarisnya Jhon Bob.

Aksi demo damai yang dilakukan DAP Wilayah V Merauke itu mendukung hasil Musyawarah Besar (Mubes) MRP yang menolak Otsus Papua dan meminta referendum. ‘’UU Nomor 21 tahun 2010 tentang Otonomi Khusus Papua dinyatakan gagal dan dikembalikan ke DPRP, Pemerintah Provinsi dan NKRI,’’demikian bunyi salah satu spanduk yang dibentangkan para pendemo.

Sebelum diterima anggota DPRD Merauke, aksi demo damai tersebut diawali orasi di depan Gedung DPRD Merauke yang disampaikan langsung oleh Ketua DAP Wilayah V Merauke Stanislaus Gebze, yang intinya mendukung hasil Mubes MRP karena menurutnya Otsus yang menjadi solusi bagi Papua selama ini dinilai gagal dan harus dikembalikan ke Pemerintah NKRI. Pihaknya berharap, DPRD Merauke sebagai wakil rakyat dapat meneruskan aspirasi yang disampaikan ke pihak-pihak terkait.

Para pendemo yang diwakili Ketua dan Sekretaris DAP diterima Ketua Komisi A DPRD Merauke Anton Omogio Kahol, Ketua Komisi C Hengky Ndiken dan Ketua Komisi B Drs Lukas Patrauw, SH serta sejumlah anggota DPRD Merauke di ruang sidang DPRD Merauke.

Dihadapan Anggota DPRD Merauke, Sekretaris DAP Jhon Bob membacakan kembali hasil Mubes MRP dan rekomendasi yang dihasilkan saat Mubes.

Setelah membacakan hasil Mubes MRP dan rekomendasinya itu, Sekretaris DAP John Bob kemudian menyerahkan dan diterima Ketua Komisi Anton Omogio Kahol.

Sementara itu, Pangkreasia Yam, menilai Otsus telah berjalan, namun sebagai perempuan Papua Otsus tersebut selama ini belum perpihak kepala kaum perempauan. ‘’Karena itu, kami tetap mendukung hasil musyawarah Adat Papua dan MRP untuk sama-sama kita kembalikan Otsus kepada Pemerintah daan Pemerintah sebagai bagian Papua untuk kita sama-sama pada hari ini sampaikan kepada bapak-bapak di dewan untuk melanjutkan aspirasi ini,’’ kata Pangresia.

Setelah menerima aspirasi itu, Anton Kahol menyatakan akan menyampaikan kepada pimpinan dewan untuk selanjutnya dibahas.(ulo/ary) (scorpions)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny