Pilkada di Papua Minta Dihentikan

TARI DEMO : Massa ketika memasuki kantor DPRP membawa aspirasi penolakan Pilkada Papua dan mengembalikan Otsus ke Pemerintah pusat
TARI DEMO : Massa ketika memasuki kantor DPRP membawa aspirasi penolakan Pilkada Papua dan mengembalikan Otsus ke Pemerintah pusat

Jayapura [PAPOS]- Ribuan warga Papua mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menghentikan proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di semua kabupaten/kota di wilayah provinsi ujung timur Indonesia itu.

“Kami mendesak agar proses Pilkada yang sementara berlangsung di sejumlah kabupaten/kota di Papua agar dihentikan,” demikian salah satu butir tuntutan warga Papua yang dibacakan Pdt John Baransano saat menggelar aksi demonstrasi di Kantor DPRP di Jayapura, Jumat [18/6].

Menurut Baransano, penolakan warga Papua terhadap proses Pilkada karena pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi telah menolak surat Keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) No 14 tahun 2009 tentang Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, Wakil wali Kota dan Sekretaris daerah harus orang asli Papua.

Penolakan pemerintah pusat terhadap SK MRP No 14/2009 itu, katanya, mengindikasikan bahwa pemerintah pusat sendiri mengingkari UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua yang justru mengakomodasi hal tersebut.

Selain itu, warga Papua juga menyatakan mengembalikan Otsus ke pemerintah pusat di Jakarta karena menilai kebijakan tersebut telah gagal.

Dalam aksi demonstrasi yang diikuti berbagai elemen rakyat Papua seperti anggota MRP, perwakilan unsur adat, unsur agama, unsur perempuan dan lain-lain, warga Papua menyampaikan delapan butir pernyataan sikap ke DPRP.

Warga Papua memberi batas waktu selama tiga minggu kepada DPRP untuk menindaklanjuti aspirasi atau tuntutan mereka ke pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Jika dalam jangka waktu tersebut DPRP tidak memberikan tanggapan, pendemo mengancam akan memobilisasi massa dalam jumlah yang lebih besar lagi.

Massa yang berjumlah ribuan orang tersebut berjalan kaki belasan kilometer dari Kantor MRP di Kota Raja Abepura menuju Kantor DPRP di Kota Jayapura.

Turut dalam rombongan massa antara lain Ketua MRP Agus Alue Alua dan Wakil Ketua II MRP Hanna Hikoyabi dan Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yoboi Sembut.

Aspirasi warga Papua diterima Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda dan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai.

Sementara KPU Pusat telah mengirimkan surat kepada KPU Provinsi Papua, KPU Provinsi Papua Barat, KPU Kabupaten/Kota se-Papua dan Papua Barat pada tanggal,9 Juni 2010 lalu yang isinya Segera melaksanakan dan /atau melanjutkan tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima surat KPU tersebut.

Dalam butir 3b disebutkan, berkenaan dengan tahapan pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat termasuk tahapan pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten /Kota di wilayah Papua dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat, ditegaskan;1).

Untuk pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berlaku ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam pasal 12 dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001; 2) Untuk pencalonan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota di kabupaten/kota seluruh Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 68 Tahun 2009.

Surat KPU Pusat yang ditandatangani Ketua Prof.DR. H.A Hafiz Anshary AZ,MA itu merupakan tindak lanjut hasil rapat koordinasi antara Komisi Pemilihan Umum, KPU Provinsi Papua, KPU Provinsi Papua Barat, MRP, DPR Papua, DPR Papua Barat, Kementerian Dalam Negeri dengan Kementrian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

Dalam tahun ini, ada 19 kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang menyelenggarakan kegiatan Pilkada.

Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto saat kegiatan rakor para Kapolres se-Papua beberapa waktu lalu di Timika telah menginstruksikan ke semua Polres yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada agar mempersiapkan diri secara baik menyambut pesta demokrasi rakyat tersebut. [ant/wilpret]

Ditulis oleh Ant/Wilpret/Papos
Sabtu, 19 Juni 2010 00:00

Otsus, No. Minta Referendum

kemarin mendatangi kantor DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi yang telah disimpulkan dalam Musyawarah Majelis Rakyat Papua [MRP] dan masyarakat asli Papua 9-10 Juni 2010 lalu.”]MASSA : Ribuan massa dari berbagai lapisan masyarakat Papua, Jumat [18/6] kemarin mendatangi kantor DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi yang telah disimpulkan dalam Musyawarah Majelis Rakyat Papua [MRP] dan masyarakat asli Papua 9-10 Juni 2010 lalu.JAYAPURA [PAPOS]- Ribuan massa dari berbagai lapisan masyarakat Papua, Jumat [18/6] kemarin mendatangi kantor DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi yang telah disimpulkan dalam Musyawarah Majelis Rakyat Papua [MRP] dan masyarakat asli Papua 9-10 Juni 2010 lalu.

Sebelum tiba di kantor DPR Papua sekitar pukul 14.30 WIT, ribuan massa melakukan long march dari kantor Majelis Rakyat Papua [MRP] menuju DPRP sambil membawa beberapa buah spanduk, poster-poster bertuliskan penolakan terhadap Pemilukada di Papua, Otsus gagal dan lain sebagainya.

Setibanya di halaman kantor DPRP, massa langsung melakukan beberapa aksi sambil meneriaki “Papua Merdeka”. Diawali dengan doa bersama yang dipimpin Pdt. Jhon Baransano, ribuan massa menuntut DPRP dapat mengakomodir hasil rekomendasi yang telah disepakati bersama antara MRP dan seluruh masyarakat asli Papua, tokoh masyarakat, tokoh adat dan tokoh agama lainnya saat menggelar Musyawarah di kantor MRP 9-10 Juni 2010 lalu.

Dalam aksi tersebut, bukan hanya masyarakat, mahasiswa saja yang ikut menyuarakkan aspirasi mereka terhadap DPRP, namun beberapa anggota MRP dan unsur pimpinan pun ikut turun dalam aksi itu.

Adapun rekomendasi yang dihasilkan dalam Musyawarah MRP dan masyarakat asli Papua antara lain, selama sembilan tahun Otonomi Khusus berjalan di tanah Papua didesak agar UU Nomor 21 tahun 2001 tersebut dikembalikan, rakyat Papua menuntut dialog yang dimediasi oleh pihak internasional, menuntut referendum, menuntut pemerintah Republik Indonesia untuk mengakui tentang kedaulatan bangsa Papua Barat, menolak dengan tegas seluruh proses Pemilukada di tanah Papua, hentikan program transmigrasi dan menuntut pemerintah pusat agar dapat membebaskan seluruh Tapol/Napol di seluruh Indonesia.

Sekitar satu jam lamanya menggelar berbagai orasi, akhirnya pendemo diterima oleh Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda didampingi beberapa anggota DPRP seperti Ketua Komisi A DPRP, Ruben Magai, Ketua Komisi C, Carolus Bolly, Yan Ayomi, Yance Kayame dan lainnya.

Usai diterima Wakil Ketua dan anggota DPRP, Ketua Majelis Rakyat Papua, Drs. Agus Alue Alua, M.Th dalam kata pengantarnya menegaskan, MRP sebagai lembaga kultur masyarakat Papua mempunyai kewajiban untuk menyampaikan aspirasi yang disampaikan masyarakat asli Papua, untuk selanjutnya ditindaklanjuti oleh dewan.

“MRP hanya memfasilitasi masyarakat asli Papua untuk menyampaikan aspirasi dari hasil Musyawarah kemarin untuk diserahkan ke dewan, aspirasi ini juga nantinya akan diserahkan ke Gubernur untuk ditindaklanjuti,” ujar Agus Alua dalam arahannya di depan pendemo.

Setelah itu, hasil rekomendasi pun dibacakan didepan ribuan massa dan seluruh masyarakat yang hadir, Ketua Forum Demokrasi Papua Bersatu [Fordem], Salmon Jumame membacakan hasil Musyawarah MRP dan masyarakat asli Papua. Dilanjutkan dengan penyerahan rekomendasi yang diserahkan Wakil Ketua MRP, Dra. Hanna Hikoyabi dan diterima Wakil Ketua DPRP, Yunus Wonda.

Usai diserahkannya hasil rekomendasi tersebut, masyarakat memberikan deadline kepada DPRP agar rekomendasi itu dapat ditindaklanjuti dalam waktu satu minggu. Namun setelah Yunus Wonda menegaskan bahwa hal ini tidak dapat dilakukan DPRP saja, dimana harus dikoordinasi terlebih dahulu dengan DPRD Provinsi Papua Barat.

Usai mengatakan hal itu, maka masyarakat meminta agar dalam jangka waktu tiga minggu DPRP harus menyelesaikan aspirasi yang disampaikan. Jika tidak, maka pada tanggal 8 Juli 2010 mendatang, masyarakat akan turun kembali dengan jumlah massa yang lebih banyak.

Yunus Wonda juga mengungkapkan, aspirasi atau hasil rekomendasi yang disampaikan itu akan ditindaklanjuti bersama Provinsi Papua Barat dan akan dilakukan dalam sidang paripurna.

Dalam aksi itu juga, selain menyerahkan hasil rekomendasi kepada DPRP, perwakilan masyarakat juga mengembalikan buku UU Otonomi Khusus bersamaan dengan Bendera Merah Putih secara simbolis kepada pimpinan dewan, untuk dikembalikan ke pemerintah pusat dengan tanda bahwa Otonomi Khusus di tanah Papua dinyatakan gagal.

Setelah bisa menerima usulan yang disampaikan pimpinan DPRP, maka berbagai element masyarakat bersepakat menandatangani perjanjian tentang rekomendasi yang dihasilkan akan segera ditindaklanjuti dengan batas waktu yang diberikan. Setelah itu, massa membubarkan diri sekitar pukul 18.00 WIT dengan tertib.

DPRP Mendukung

Ketua Komisi A Ruben Magai kepada wartawan di press room DPRP, usai aksi demo yang digelar masa mendukung MRP,Jumat [18/6] kemarin

“Tahun 2000 lalu, kongres II orang Papua sepakat minta merdeka, tapi keinginan besar itu dibalas pemerintah pusat dengan Otsus,” kata Ruben.

Pemerintah, kata Ruben, menyatakan bahwa Otsus tidak dilaksanakan dan ini sudah jelas menjadi komitmen Negara didalam UU Otsus tahun 21.

Tetapi komitmen Itu tidak diterjemahkan dengan baik oleh setiap alat kelengkapan Negara baik pusat mapun di daerah.

Dimana, lanjut Ruben, hal tersebut lantas dipandang masyarakat Papua sebagai kegagalan Otsus, yang berawal dari ketidak siapan pemerintah Papua membuat grand design dari pada Otsu situ sendri.

“Grand desain dipakai sebagai satu ukuran evaluasi otsus, tapi hari ini tidak ada grand desain itu,” kata dia.

Sehingga DPRP sebagai penampung aspirasi masyarakat Papua akan mendukung masyarakat Papua mengembalikan Otsus kepada pemerintah pusat, yang akan dilakukan melalui rapat Pansus DPRP dan tindak lanjut ke pusat.

“Nanti tergantung pemerintah pusat mau memberikan apalagi bagi orang Papua, apakah Otsus lagi atau Karena DPRP hantya penyambung aspirasi rakyat,” kata dia.

Ruben juga menilai, permintaan referendum yang disampaikan masa pendemo yang berorasi dihalaman kantor DPRP, Jumat kemarin merupakan kegagalan negara. [anyong/lina]

Ditulis oleh Anyong/Lina/Papos
Sabtu, 19 Juni 2010 00:00

Musa’ad : Otsus Kehilang Separuh Nyawa

dr-abud-musaad JAYAPURA [PAPOS]- Kepala Demokratic Center [DC] Uncen Dr. H Mohammad Abud Musa’ad, MSi mengungkapkan Otsus di Papua saat ini bagai kehilangan separuh nyawanya, mengapa tidak? Otsus yang tadinya disahkan dengan satu kepala pemerintahan kini sudah menjadi dua kepala Pemerintahan dengan jumlah dana Otsus yang sama kemudian dibagi dua pula.

Dengan dua kepala pemerintahan tersebut meski UU Otsus sebagai UU tertinggi dari Keputusan Depdagri namun ketika Perda dibuat dan dirancang pemerintah Papua belum tentu atau tidak dapat diterima pemerintah Papua Barat.

“Hal inilah yang menjadikan Otsus bagai kehilangan nyawanya,” kata Musa’ad ketika ditemui Papua Pos usai dialog publik yang berlangsung di Hotel Relat, Rabu [5/5] kemarin.

Selain Perda, kata Musa’ad keputusan MRP juga tidak dapat diterima Papua Barat, ironis memang, untuk itulah perlu diaktifkan kembali perjanjian Mansinam kedua kepala Pemerintahan yakni Gubenur Papua dan Gubernur Papua Barat tentang pernyataan dalam pelaksanaan otsus dua untuk satu dan satu untuk dua, sehingga Otsus bisa berjalan sebagaimana koridornya tanpa ada cacat di satu pihak.

Hari ini, jelas Musa’ad dinamika sosial Politik masyarakat di Papua jika dikoreasikan dengan materi muatan UU Otsus sudah tidak serasi, dimana perkembangan dinamika politik berkembang begitu cepat tetapi aturan hukum yang diarahkan untuk menyelenggarakan sistem pemerintahan masih bertahan di tempat atau tidak berjalan sesuai dengan koridor hukum yang ada.

Perdasus disusun tidak bisa dijalankan pada dua pemerintahan karena kenyataan Papua sekarang mempunyai dua pemerintahan yaitu Papua dan papua Barat sedangkan awal dibangunnya Otsus di Papua hanya satu pemerintahan yang tertera dalam UU 21 tersebut.

Untuk itu, kata Musa’ad pemerintah perlu membuat Perdasus agar bisa diakomodir di Papua dan Papua Barat serta membentuk UU lainnya yang belum ada dalam UU Otsus untuk dijalankan secara bersama-sama, jika hal itu tidak segera dilakukan maka Otsus seperti kata dia bagai kehilangan separuh nyawanya.[lina]

Sumber : Cepos

Demo Desak Perdasus SK MRP

demo21 DEMO : Forum Demokrasi Rakyat Papua (FDRP) menggelar aksi demo mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengakomodir Keputusan MRP No.14/MRP/2009
JAYAPURA [PAPOS] – Puluhan massa dari Forum Demokrasi Rakyat Papua (FDRP) menggelar aksi demo mendesak pemerintah pusat dan pemerintah daerah mengakomodir Keputusan MRP No.14/MRP/2009 tentang pejabat Bupati/Wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota harus orang asli Papua.

Aksi demi yang berlangsung di halaman Kantor Gubernur Provinsi Papua, Dok II Jayapura, Senin (3/5) kemarin sekitar pukul 10.00 WIT.

Pendemo yang dikoordinir Forum Demokrasi Rakyat Papua tiba di halaman kantor gubernur Papua, langsung menggelar orasi yang mendesak agar Gubernur Barnabas Suebu SH, secepatnya mengeluarkan Perdasus tentang SK MRP Nomor 14 Tahun 2009 tentang penetapan orang asli Papua sebagai syarat khusus dalam penentuan bakal calon Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di Tanah Papua.

Dalam aksi unjuk rasa tersebut, puluhan massa membawa beberapa spanduk berukuran besar dan beberapa poster yang bertuliskan, Bapak Bas segera buat Perdasus yang mengakomodir kepentingan rakyat, tegakkan harga diri Orang Asli Papua, mendesak Realisasi SK MRP No 14 Tahun 2009 secepatnya Pemilukada bagi orang asli Papua.

Para pendemo menuntut agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah mampu mengakomodasi keputusan MRP Nomor 14 Tahun 2009.

Bila Makar Bersalin Rupa

Demo penolakan Otsus. Kasus Makar punya sejarah panjang. (JUBI/Foto:Ist)
Demo penolakan Otsus. Kasus Makar punya sejarah panjang. (JUBI/Foto:Ist)

Sepanjang 2008 hingga 2009, tercatat sejumlah kasus hukum yang berujung pengenaan Pasal makar. Sebelumnya, 1 Desember 2007, aparat kepolisian Timika, Kabupaten Mimika menangkap 36 warga yang mengibarkan Bintang Kejora di Kelurahan Kwamki Lama, Distrik Mimika Baru. Tujuh dari 36 orang yang ditahan dijadikan tersangka dan diajukan ke Pengadilan dengan tuduhan makar.
Pada 3 Maret 2008, warga Manokwari yang terdiri dari unsur masyarakat, West Papua National Authority (WPNA) dan Badan Eksekutif Mahasiswa melakukan aksi demo menolak Peraturan Pemerintah No. 77 Tahun 2007 tentang Lambang Daerah. Aksi kembali terjadi pada 13 Maret 2008. Ujungnya: penangkapan sembilan peserta yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus makar. Salah satu dari terdakwa tergolong anak-anak.
Pada 19 Maret 2008 kepolisian Resort Manokwari mengubah status seorang warga yang, sedianya hendak dijadikan saksi, menjadi tersangka kasus makar.
Di pengujung 2008, terjadi penangkapan terhadap Buchtar Tabuni dan Sebby Sembom. Keduanya dikaitkan dengan kasus di gerbang Kampus Uncen dan depan Ekspo Waena, pada Kamis, 16 Oktober. Mereka diduga sebagai aktor di balik rencana aksi demo massa dalam rangka mendukung peresmian International Parliament of West Papua (IPWP) di London, Inggris, 15 Oktober 2008. Aksi itu dituding bermuatan makar dan dianggap melawan aparat keamanan sebagai aparat penegak yang sah di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Buchtar divonis 3 tahun penjara, dianggap terbukti melakukan penghasutan. Tuduhan makar yang dialamatkan kepadanya tidak bisa dibuktikan Jaksa Penuntut Umum.
Medio 2008, 49 orang ditangkap di Fakfak dengan dugaan mengibarkan Bintang Kejora di Gedung Pepera, pada 19 Juli. Dari 49 orang, 9 ditetapkan sebagai tersangka makar.
Lalu, pada 3 April, ratusan warga Nabire melangsungkan demo dukungan bagi pemunculan International Lawyers for West Papua (ILWP) di London.inggris Mereka membentangkan dua spanduk besar, sejumlah pamflet dan gambar-gambar bermuatan pelanggaran HAM di Papua. Lima belas orang ditangkap, 7 tertembak. Di pihak polisi, satu anggota terkena panah. Ke-lima belas orang yang ditangkap ini kemudian didakwa sebagai pelaku tindakan makar.
Sebagian besar wujud ekpresi masyarakat Papua berakhir di pengadilan dengan tuduhan makar. Pasal makar telah menjadi instrumen hukum utama aparatus negara untuk

??Janji?? Otsus Akan Pengaruhi Pemilu

JAYAPURA (PAPOS)- Kegagalan pelaksanaan Otsus Papua selama 8 tahun ini, yang belum menunjukan suatu perubahan yang signifikan bagi orang Papua, akan mempengaruhi tehadap partisipasi masyarakat Papua dalam pemilihan umum (Pemilu) legislatif yang akan berlangung bulan 9 April mendatang. Hal itu disampaikan Pembina Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Papua Peduli Kemanusian (PPK) Provinsi Papua, Murdiyono saat ditemui wartawan disela-sela acara seminar sehari pentingnya Pemilu 2009 ditanah Papua yang berlangsung di Hotel Muspagco, Rabu (25/2) kemarin.

Dana Otsus 2,609 Trilyun: Masyarakat Papua Menggugat

GUGAT : Kebangkitan masa rakyat pribumi Papua menggugat Otonomi khusus (Otsus) di gedung Majelis Rakyat Papua (MRP), beberapa waktu lalu
GUGAT : Kebangkitan masa rakyat pribumi Papua menggugat Otonomi khusus (Otsus) di gedung Majelis Rakyat Papua (MRP), beberapa waktu lalu

JAYAPURA (PAPOS) –Dana Otonomi Khusus (Otsus) tahun 2009 sebesar 2,609 Trilyun mengalami penurunan 27,3 persen dibanding tahun 2008 sebesar 3,950 Trilyun, atau Besarnya setara 2 persen DAU (Dana Alokasi Umum).

Demikian pidato Gubernur provinsi Papua dalam pidato pengantar Gubernur Papua yang disampaikan wakil Gubernur Papua Alex Hesegem SE tentang penyampaian nota keuangan dan rancangan pendapatan dan belanja daerah provinsi Papua tahun 2009 di ruang sidang DPRP, Jumat (12/12). Sedangkan kontribusi dana otsus menurut Gubernur terhadap total pendapatan daerah mencapai 49 persen. Adapun kata Gubernur dana otsus dialokasikan antara laian dana bantuan pemabngunan kampung (dana respek) sebesar Rp 320 Milyar. Bantuan program pembangunan daerah 8 kabupaten pemekaran baru Rp 101,914 milyar. Porsi kabupaten dan kota se-provinsi Papua sebesar Rp 1,32 trilyun atau 60 persen. Sedangkan untuk membiayai urusan pemerintah yang bersifat wajib dan pilihan sesuai amanat UU nomor 21 tahun 2001 tentang otsus bagi provinsi Papua sebesar Rp 875,152 milyar atau 40 persen.

Komponen pendapatan dari tambahan infrastruktur dalam rangka otsus mengalami peningkatan sebesar 142 persen, 2008 sebesar Rp 330 milyar, 2009 naik menjadi 800 milyar. Dana tambahan infrastruktur terhadap total pendapatan daerah mencapai 15 persen.

‘’Dana tambahan infratruktur ini dialokasikan untuk membiayai penyelenggaraan program pembangunan dan pemeliharaan sarana dan prasarana infrastruktur yang diharapkan mampu meningkatkan aksebilitas antar wilayah di provinsi Papua,’’ katanya.

Jumlah belanja daerah mengalami penurunan sebesar 5,63 persen, dari sebesar Rp 5,448 trilyun tahun 2008 menjadi sebesar Rp 5,14 trilyun tahun 2009. Komposisi belanja daerah dengan proporsi 61,3 persen atau sebesar Rp 3,152 trilyun dialokasikan untuk belanja tidak langsung dan 38,7 persen atau sebesar Rp 1,98 trilyun untuk belanja langsung.

Berdasarkan proyeksi pendapatan dan alokasi belanja daerah sebagaimana diuraikan di atas, maka APBD provinsi Papua tahun anggaran 2009 mengalami surplus sebesar Rp 180 milyar.

‘’Surplus ini selanjutnya dialokasikan untuk membiaya beban pembiayaan daerah berupaya pembentukan dana cadangan, penyertaan modal dan lain-lain investasi ,’’tukasnya.

Dikatakan, tahun anggaran 2009 ini pemerintah provinsi Papua tetap pada fokus pada rakyat yaitu perbaikan mutu hidup manusia Papua, khususnya mereka yang bermukim di kampung-kampung terpencil, dibalik gunung-gunung yang tinggi, dilembah-lembah, didaerah berawa dan pinggiran sungai, dipesisir pantai dan dipulau-pulau.

Pada tahun anggaran 2007 hingga 2008 pemprov sudah meyalurkan dana tunai yang kita sebut block grant dan dikelola oleh rakyat Papua di kampung-kampung, melalui suatu perencenaan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban oleh mereka sendiri dan dilakukan secara partisipatif.

‘’Program SKPD juga harus berorientasi dan lebih fokus pada pembangunan di kampung,’’ ujarnya. (bela)

Ditulis Oleh: Javaris/Papos
Sabtu, 13 Desember 2008
http://papuapos.com

BEDAH BUKU PAPUA MENGGUGAT: Berikan Hak Demokrasi Rakyat Papua!

YOGYAKARTA [WPNews] – “Walaupun dalam pengantarnya, Saudara Sem Karoba dan kawan-kawan (Tim Penulis, Red) menyatakan diri bahwa bukan politisi, tapi setelah saya membacanya ternyata buku ini sudah sangat jelas adalah sebuah manifesto politik. Karena hampir semua isi buku ini memuat pertanyaan-pertanyaan politik yang menggugat “proyek otonomisasi NKRI di Papua Barat”. Pernyataan-pertanyaan politik itu senantiasa didahului dengan paparan kasus untuk memperkuat pernyataan yang dikedepankan serta diakhiri dengan sederetan pertanyaan-pertanyaan tajam.”

Demikian AA. GN. Ari Dwipayana, SIP, MSi, dosen Fisipol UGM, ketika tampil membedah buku “Papua Menggugat II” (Politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat) karya Sem Karoba dkk yang digelar di Aula Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” Yogyakarta, hari Senin (30/8) tadi.

Buku ini diterbitkan dalam tiga jilid. Bagian Kesatu (Papua Mencatat) berisi catatan seputar politik Otonomisasi NKRI di Papua Barat, reaksi terhadapnya, disertai beberapa contoh kasus politik di dunia dan Asia Pasifik. Bagian Kedua (Papua Berteori) mengkaji arti kata Otonomi
(Khusus) yang dalam real politiknya disebut pembangunan, disertai arti, wujud, politisasi Otsus dan latarbelakangnya dalam perspektif HAM, Prinsip Demokrasi, Hukum serta Teori Pembangunan di Tiga Dunia dan Dunia Ketiga.

Sedangkan Bagian Ketiga (Papua Menggugat) dengan berdasarkan catatan retorika, realitas dan kajian teori Otus, serta kebijakannya di lapangan, maka Papua menyampaikan gugatan kepada Indonesia. Gugatan kali ini punya dua dalih utama. Bahwa, Otsus II (2002-2007) ini murni hasil konspirasi Internasional, tindak lanjut dari limbah politik Otsus I (1963-1988). Kemudian disimpulkan dalam ‘Pasal Kosong’, bahwa kebijakan ini tidak saja mengorbankan Bumi Cenderawasih dengan segala habitatnya, tetapi juga tidak menguntungkan NKRI karena nyatanya Indonesia telah lama diperalat habis-habisan.

Dalam bahasa Sem Karoba, “Politik Otonomisasi di Papua Barat telah memalangkan nasib, menjerumuskan bangsa Papua Barat dan bangsa Indonesia dari krisis yang satu kepada kemalangan yang lain; tanpa perikemanusiaan, tanpa menghargai HAM, dengan melanggar prinsip Demokrasi dan Hukum, untuk kepentingan mesin-mesin kapitalisme-imperialis yang mengutamakan growth, modernism, developmentalism, welferism, socialism, dengan menggadaikan dan melacurkan diri dalam retorika politik yang memalukan.”

Membaca isi buku-buku yang diterbitkan oleh WatchPapua ini, Ari Dwipayana menarik kesimpulan bahwa pertanyaan dan pernyataan penulis menjadi semacam “alat pemancing” yang cukup berhasil karena dengan pertanyaan tajam yang dibuatnya bisa merangsang naluri keingintahuan untuk terus mengikuti substansi-informasi yang dipaparkan halaman demi halaman dalam buku ini.

”Buku ini mengungkapkan yang sebenarnya. Karena paparannya tentang informasi subversi [alternatif] di tengah hegemoni informasi sepihak tentang Papua. Banyak yang tidak ‘sekaya’ Sem Karoba dalam memperoleh data-informasi tentang ‘apa yang sebenarnya terjadi di Papua’. Jadi, buku ini paling tidak menjawab kebutuhan publik dalam mewacanakan kebijakan Otsus itu. Isinya memang penuh analisis kritis yang didukung data kasus-fakta (induktif) dan argumen-pernyataan (deduktif), sehingga mempertajam wacana terhadap Otonomi Khusus itu sendiri,” kata pria asal Bali ini.

Karena, lanjutnya, Papua seperti juga daerah-daerah lain di luar Jakarta selalu menjadi “anak haram” dan menempati posisi pinggiran dalam lalu lintas informasi yang mendunia. “Informasi selalu penuh versi utama dan didominasi Jakarta,” kata dosen Fisipol UGM ini. Dia mengakui bahwa Sem Karoba dkk berhasil mengungkapkan pesan politik dengan cukup banyak perbendaharaan kata-kata yang cukup provokatif, seperti “Desentralisasi Kejahatan” [hal: 78], “Persundalan” [hal: 151], “Memabukkan dengan paha putih!” [hal: 309], dan seterusnya.

Lebih menariknya, kata Dwipayana, adanya studi komparasi perbandingan) praktik penerapan Otonomi Khusus di berbagai belahan dunia, baik Otsus untuk kalangan Indegenous People Saami di Skanavia, Otonomi untuk etnik Inuit di Kanada, Romas hingga Otsus untuk orang Gaelic dan Celtic di Irlandia [hal. 207-241] maupun format otonomisasi di Asia Pasifik, termasuk kasus Otsus di Bougainvilea di PNG [hal. 243-265]. “Studi komparasi tentang penerapan otonomi khusus bagi etnik minoritas ini sangat membantu memberikan bingkai yang lebih lengkap mengenai sejarah marginalisasi etnik minoritas dan pada saat bersamaan kita juga akan diajak mengeksplorasi perjuangan yang dilakukan oleh bangsa-bangsa (nations) termarginalkan dalam sebuah nation-state guna membangun sebuah format demokrasi yang menghargai minoritas,” paparnya.

Untuk Otsus bagi Provinsi Papua, Ari Dwipayana sepakat bahwa desain, konsep dan implementasi politik desentralisasi (otonomi) sangat tidak jelas, cacat substansi, kabur atau sengaja dibuat kabur. Kekaburan ini semakin jelas ketika Indonesia menerapkan dua desain politik yang sama sekali berbeda pada saat bersamaan, yakni UU NO. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Provinsi Irian Jaya (Barat, Tengah dan Timur) yang kemudian diperkuat oleh Inpres No. 1 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemekaran Provinsi Irja, serta produk kedua adalah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Papua.

“Inilah akar soal. Kedua produk politik Jakarta itu konsepnya (desain-basis pijakan teoritik dan alasan) berbeda. Jadi, akibat dari itu jelas rakyat Papua adalah korbannya,” ujarnya lagi.

Pada acara bedah buku peserta tampak antusias mengikutinya. Terutama ketika sesi tanya jawab tiba. Sejumlah ide pemikiran juga sempat disampaikan peserta yang hadir.

Acara diawali dengan sambutan dari Direktur Galang Press, yang menerbitkan buku ini. Pihaknya mengucapkan terimakasih atas kepercayaan untuk dicetak dan pada dasarnya mendukung setiap penulisan buku-buku Papua. “Ini buku yang kedua, sebelumnya kami terbitkan buku Papua Menggugat I tentang kematian Theys,“ jelasnya. Dan, rupanya pihak Galang Press sedang mempersiapkan sebuah unit usaha penerbitan khusus Papua.

Efendy Payokwa, Ketua Ikatan Pelajar-Mahasiwa Papua Yogyakarta mengatakan, pihaknya menerima kehadiran buku ini sebagai wujud ekspresi dan cerminan terciptanya iklim ilmiah di kalangan mahasiswa Papua. Sedangkan menurut Ketua AMP Yogyakarta, Jimmy Omy Erelak, “Menulis buku sangat berarti, karena sampai 50-100 tahun pun masih dibaca oleh generasi berikutnya. Jadi, semua pembicaraan kita itu akan berguna bila kita tulis dalam buku,” ujarnya sembari menjelaskan bahwa AMP-DeMMaK sudah menerbitkan 14 buku.

Sementara pembicara kedua, Yusuf Lakaseng, Ketua Umum KPP-PRD, berhalangan hadir karena sedang berada di Sulawesi. Wakil Ketua I KPP PRD, Ari Haryanto, menyebut, produk kebijakan Indonesia dengan pemberian Otsus itu bukanlah jawaban terhadap kebutuhan rakyat Papua, melainkan justru semakin menambah perihnya luka batin rakyat Papua. Karena, kata dia, kebijakan pemerintah itu tidak murni dan Otsus merupakan bagian dari memperkuat posisinya intuk memenuhi kepentingan ekonomi bagi negara Indonesia.

Dengan topik “Kepentingan ekonomi kapitalisme dan Neo-liberalisme global terhadap Otonomi Khusus di Papua”, Ari Haryanto mengatakan kebijakan Jakarta itu jelas bukan tanpa tujuan dan target tertentu yang hendak dicapai. Paket Otsus itu mau tidak mau harus dibuat Indonesia ketika sudah berada dalam posisi terjepit diantara aspirasi merde rakyat Papua dan kewajiban Indonesia sebagai bagian dari dunia dalam menjaga integritas, keutuhan dan kesinambungannya.

Itu sebabnya, Otsus dipaksakan kepada rakyat hanya karena nafsunya hendak menguasai alam Papua yang kaya raya, bukan karena Indonesia mencintai rakyat Papua. “Indonesia pegang Papua karena kekayaan alamnya. Kalau Papua lepas, Indonesia mau dapat sumber devisa negara dari mana lagi? Jadi, bagaimana pun Indonesia tetap ngotot mempertahankan Papua. Itu bukan karena mencintai sodara-sodari Papua, tetapi karena kepentingan ekonomi dunia. Sehingga jalan terakhir itu dikasih Otonomi Khsusus agar Papua tetap di NKRI,” jelas Ari Haryanto.

Suasana semakin hidup tatkala Demianus Tari Wanembo, Ketua Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua (KP AMP) tampil membawakan makalah berjudul “Papua dalam Sejarah Kekerasan”. Otonomi Khusus bagi Papua, kata Demianus, adalah salah satu bentuk kekerasan politik yang dilakukan Indonesia. Sebab, pemberlakuan Otsus itu bentuk rekolonialisasi yang dipaksakan dan menghasilkan berbagai bentuk kekerasan. “Setelah Otsus dipaksakan, menyusul kebijakan pemekaran wilayah itu merupakan stereotipe pemerintah Indonesia yang militeristik. Indonesia itu selalu saja: Tulis lain, Bicara lain, dan Kerja juga lain,” ungkapnya.

Menurutnya, perjuangan rakyat Papua Barat untuk mengembalikan hak kebangsaannya telah berlangsung kurang lebih 40 tahun. “Ironisnya, banyak diantara kaum intelektual, politisi dan birokrat Indonesia saat ini tidak mengetahui secara jelas atau sengaja melupakan apa pokok penyebab serta dasar hukum yang melandasi perjuangan tersebut,” ujar Demianus.

Ia kemudian membuka lembaran sejarah kekerasan Papua dalam dua bagian yakni kekerasan sejarah politik dan kekerasan struktural. Memang NKRI terbentuk karena sejarah penjajahan Belanda. Ungkapan penderitaan yang muncul akibat penindasan atas rakyat Indonesia telah melahirkan kesadaran bersama diantara semua etnis dari Sabang sampai Maluku untuk memperjuangkan keadilan dan hak-hak mereka.

“Tetapi melihat aspek sejarah politik, kami mau bilang status politik Papua Barat sebagai sebuah negara dan rakyat yang dianekasasi itu masih memiliki hak menentukan nasib sendiri,” serunya.

Sejak kehilangan hak kebangsaan melalui PEPERA 1969, berbagai bentuk kekerasan terus dialami rakyat Papua. Sejalan penyerahan status hukum wilayah Papua Barat secara sepihak oleh PBB kepada NKRI pada 1 Mei 1962, saat itulah Papua dengan seluruh keberadaannya memasuki masa-masa suram. Berbagai bentuk kekerasan secara struktural yang dilakukan NKRI itu, diantaranya mencakup kekerasan politik, ekonomi, kekerasan budaya, hukum, sosial serta kekerasan secara kejiwaan.

Sejak perebutan Papua oleh bangsa kolonialis hingga dekolonialisasi bangsa Indonesia, selama itu pula terjadi berbagai permasalah di Tanah Papua. Dan, itu justru memunculkan beragam pertikaian politik yang tanpa henti-hentinya hingga hari ini. Catatan sejarah Papua telah menyimpan bukti-bukti konspirasi politik atas Bangsa dan Tanah Papua selama ini. Pertikaian politik yang berdampak pada penderitaan berkepanjangan adalah awal dari fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang berdampak pada timbulnya konflik yang berkepanjangan pula hingga kini.

Pemberlakuan Otsus di Papua adalah kepanjangan tangan dari imperialisme kapital global guna menghancurkan sendi-sendi kehidupan rakyat Papua. Terbukti ketika paket Otsus tahap pertama tahun 1969 (PEPERA) untuk menjawab aspirasi rakyat Papua berdaulat sendiri berdampak pada korban harta, nyawa dan hak asasi manusia (HAM) dilecehkan. Skenario yang sama pula dilakukan Indonesia melalui paket Otsus tahun 2001, yang ujung-ujungnya muncul pro-kontra diantara rakyat Papua itu sendiri.

Kita masih ingat tahun 1998 dalam goresan sejarah Papua yakni gema tuntutan rakyat Papua atas hak-hak Demokrasi yang semula dikebiri, sehingga Indonesia meresponsnya dengan memberikan “gula-gula politik” –sekadar sebagai lips service– yang salah kaprah dan tidak sesuai keinginan rakyat Papua yaitu Paket OtSus yang pada dasarnya justru sangat kontraproduktif dengan dialektika sejarah Papua selama ini.

Sekalipun Otsus ditolak rakyat Papua tapi tetap mereka paksakan. Ironisnya, aspirasi rakyat Papua selalu dijawab dengan popor senjata, intimidasi dan terror melalui alat negara yaitu aparat Indonesia (militer). Padahal, paket Otsus itu sendiri bila dikaji secara ilmiah, sama sekali
tidak signifikan sebab dasar pemberlakuan Otsus itu karena rakyat Papua menuntut diberikannya hak demokrasi sebagai solusi penyelesaian konflik yang terus terjadi di Tanah Papua.

Dasar pijakan implementasi Otsus Papua adalah menjurus pada dua kepentingan belaka yakni kepentingan ekonomi dan politik semata. Rakyat Papua menilai pemerintah Indonesia tidak konsisten dalam pengambilan kebijakan penyelesaian permasalahan. Itu artinya Indonesia sama sekali tidak mau perduli dan hidup bersama rakyat Papua.

Menurut Demianus Tari Wanembo, untuk mengakhiri berbagai bentuk pelanggaran HAM di Papua, maka hendaknya Indonesia memberikan kesempatan kepada rakyat Papua untuk menentukan nasibnya melalui mekanisme Referendum. Sebab menghadapi tuntutan rakyat dengan menggunakan kekuatan militer dan kekerasan bukanlah jalan terbaik, melainkan justru posisi NKRI dimata dunia internasional semakin terpuruk.

“Bagi kami rakyat Papua, NKRI boleh saja mengklaim hasil PEPERA 1969 itu sah dan tidak dapat diganggu gugat, tetapi dengan berbagai kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Indonesia sejak penyerahan status wilayah hukum Papua itu sudah cukup untuk Papua lepas dari NKRI,” ujar Demianus.
***

Reportase: yamoye@westpapuanews.com

Last Updated ( Tuesday, 31 August 2004 )
Written by ambolom, Monday, 30 August 2004
http://web.archive.org/web/20040831113620/http://papuapost.com/Mambo/index.php?option=content&task=view&id=50

Megawati Diminta Datang Ke Papua

TEMPO Interaktif, Jakarta: Salah satu kepala suku di Papua, Negro Alpius Kogoya meminta Presiden Megawati Sukarnoputri bertemu langsung dengan masyarakat Papua untuk menjelaskan kebijakannya dalam surat instruksi presiden no.1 tahun 2003 dan Undang-Undang no.45 tahun 1999. Permintaan Kogoya disampaikan di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, Kamis (11/9) sore.

Kogoya yang mengaku mewakili sejumlah kepala suku Papua hari ini mendatangi kantor lembaga bantuan hukum itu untuk mengadukan ketidakjelasan nasib masyarakatnya pasca rencana pemekaran propinsi Papua.

Kogoya menjelaskan, walaupun saat ini kondisi di Timika sudah berangsur normal, namun potensi konflik horinsontal masih ada. Pasalnya, kata dia, perpecahan antara kubu pro dan kontra pemekaran saat ini masih terus berlangsung. Kondisi itu makin diperparah oleh perbedaan pandangan di dalam masing-masing suku itu sendiri.

Kogoya yang tidak mengenakan pakaian tradisional Papua ketika ditemui wartawan, mengaku datang ke Jakarta, untuk menemui Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Dalam Negeri Hari Sabarno. “Mereka harus tahu kondisi masyarakat di sana (Papua) saat ini,” katanya.

Kemarin, Kogoya sudah bertemu dengan anggota parlemen di Senayan. Menurutnya, anggota DPR berjanji akan membicarakan masalah Papua dengan pemerintah. Kogoya –yang datang ke Jakarta ditemani wakil Aliansi Mahasiswa Papua, Hans Ghebze– mengatakan sejak Februari silam sampai kini, masyarakat di desa-desa Papua sama sekali belum mengetahui keberadaan inpres percepatan pemekaran Papua itu. “Bupati mungkin tahu. Tapi, rakyat kecil, masyarakat adat, tidak tahu,” katanya.

Kogoya juga mengatakan bahwa Inpres pemerintah Jakarta itu, hanya memecah belah masyarakat Papua. “Masyarakatnya, adatnya, budayanya, ekonominya, dipecah belah. Sepertinya pemerintah punya niat jahat pada rakyat Papua,” kata Kogoya gusar. Ia menambahkan bahwa masyarakat Papua tidak akan bisa berdamai, sebelum inpres itu dicabut. “Bila tidak, darah akan terus mengalir di tanah Papua,” katanya.

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny