DPRP Minta Pembayaran Tanah Ulayat Harus Transparan

JAYAPURA – Komisi I DPR Papua, membidangi pemerintahan, politik hukum dan HAM meminta kepada Pemerintah Daerah dan kepada masyarakat pemilik hak ulayat agar transparan atau terbuka lebar dalam pembayaran tanah.

Pasalnya, proses pembayaran tanah selama ini masih banyak ditemukan permasalahan hingga saling mengklaim hanya karena masalah pembayaran tanah akibat kurang transparansi antara Pemerintah dan masyarakat pemilik hak ulayat.

Hal itu disampaikan Ketua Komisi I DPR Papua, Elvis Tabuni usai melakukan pertemuan dengan sejumlah masyarakat Nafri terkait pembayaran lokasi RSUD Abepura dan masyarakat Namblong, Kabupaten Jayapura, pada Rabu (3/6/2015).

“Kami sudah melakukan pertemuan dan hasil meminta kepada masyarakat agar mengumpulkan semua dokumen yang sudah dibayar yang selanjutnya melakukan pertemuan dengan pihak eksekutif, legislatif serta masyarakat, khususnya bagi yang memiliki tanah untuk duduk secara bersma-sama,” kata Elvis didampingi Wakil Ketua, Orwan Tolly Wonne, anggota Tan Wie Long dan Kusmanto.

Menurutnya, mengenai lokasi RSUD Abepura dari hasil pertemuan terungkap jikalai DIPA sudah ada. Namun yang menjadi persoalan hanya karena anak dan bapak saling menggunggat sehingga kini belum ada penyelesaian hingga di pengadilan negeri.

“Dana dari Dipa untuk pembayaran lokasi RSUD tapi khawatir untuk pembayarannya karena konflik yang terjadi antara masyarakat adat itu sendiri belum selesai. Padahal, keluarga sendiri yang saling mengklaim,” katanya.

Untuk itu, pihaknya selaku perwakilan rakyat akan memfasilitas agar mereka bisa dihadirkan untuk diselesaikan dan pemerintah menyiapkan anggaran untuk diserahkan langsung. “Apakah melalui pemerintah langsung atau bagaimana sistim pembayarannya. Yang jelas permasalahan sudah harus selesai,” katanya.

Dikatakannya, Rumah Sakit yang berada di daerah Abepura yang juga sebagai rumah sakit rujukan, harus diselesaikan karena tempat itu merupakan tempat untuk bisa menyelamatkan orang dari berbagai penyakit yang dialami masyarakat. “Mereka harus duduk bersama untuk menyelesakan itu dan tidak ada satupun yang tidak hadir,” cetusnya.

Ditempat yang sama, Tan Wie Long menyatakan, bahwa Komisi telah melakukan dua agenda pertemuan. Dimana, pertama melakukan hearing yang berkaitan dengan tuntutan ganti rugi tanah adat suku Nafri yang mana, lokasi adalah RSUD Abepura.

Dalam pertemuan tersebut, kata Along, dalam pertemuan tersebut terungkap bahwa Kepala Suku Marhabia tidak melibatkan anak-anak terkait pembayaran lokasi RSUD Abepura tersebut, sehingga kini jadi persoalan untuk menerima ganti rugi tanah tersebut. “Dana dari pemerintah sudah ada, tapi Pemerintah bingung mau diserahkan ke siapa,” katanya.

Untuk itu dalam waktu dekat, Komisi I akan memanggil pihak-pihak kepala Suku bersama keluarga dan pihak terkait untuk membahas persoalan tersebut. “Kami ingin agar mereka bersatu, sepikiran sehingga ketika dilakukan pembayaran tidak ada keributan. Harus mengedepankan masalah adat,” ujarnya. (loy/don/l03)

Source: BinPA, Kamis, 04 Jun 2015 17:23

Warga Waris Tolak Proyek Kelapa Sawit Peninggalan Gubernur Lama

Sentani,16/3—Warga 6 kampung Distrik Waris, Kabupaten Keerom, Papua menolak rencana pemerintah Provinsi Papua dan Kabupaten untuk menjalankan proyek penanaman kelapa sawit di wilayah itu. Sekalipun belum jelas proyek itu, warga Waris tidak ingin mengulangi pengalaman saudaranya di wilayah distrik Arso.

“Isu tentang kebun kelapa sawit, 6 kampung yang ada di Ditrik Waris telah menolak atau tidak menerima adanya perkebunan kelapa sawit,” ujar Pastor Timotius Safire OFM, kordinator Animasi Komunitas Karya-Karya Pastoral Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC), Fransiskan Papua pada awal bulan ini.

Proyek ini menurut Pastor Timotius, direncakan pemerintah Provinsi Papua pada masa gubernur Barnabas Suebu.

Pegalaman warga Arso menerima proyek Kelapa Sawit pada tahun 1980-an yang beralaskan janji pembangunan dan kesejahteraan, menurut warga Waris, tidak terbukti. Proyek itu hanya merugikan masyarakat adat. Kehidupan masyarakat adat malah semakin terpuruk. Hidup mereka semakin jauh dari harapan keadilan, pedamaian dan kesejahteraan.

“Alasan mereka karena belajar dari pengalaman trans di Arso. Kebun kelapa sawit merusak hutan, merugikan masyarakat,”

kata Pastor Timotius.

Lanjut Pastor, itu menjadi alasan utama umatnya menolak proyek Kelapa Sawit itu.

Proyek Kelapa Sawit ini diduga milik anak perusahaan PT. Rayawali yang beroperasi di Arso atau PT Sinar Mass yang beroperasi di Taja Lere, Kabupaten Jayapura. (Jubi/Mawel)

Penulis : Benny Mawel | March 16, 2013 | TabloidJubi

Enhanced by Zemanta

Suku Yeinan Tolak Perusahaan Sawit

Jayapura (22/12) – Suku Yeinan di Kabupaten Merauke, Papua, menolak perusahaan kelapa sawit yang hendak berupaya untuk beroperasi di wilayahnya. Perusahaan sawit yang hendak beroperasi di Yeinan adalah PT. Wilmar Group.

David Dagijay, warga suku Yeinan kepada wartawan di Abepura, Jumat (21/12) mengatakan saat ini pihaknya sementara tarik ulur dengan PT. Wilmar Group yang sementara berupaya untuk membuka lahan kelapa sawit di Yeinan. “Kami masih tarik ulur untuk sepakati kehadiran perusahaan itu. Rata-rata masyarakat menolak perusahaan sawit,” katanya.

PT. Wilmar Group berencana membuka lahan sawit seluas 40 ribu hektare. Namun, hingga kini belum dibuka lantaran warga pemilik lahan belum sepakat melepas tanahnya. Menurut David, suku Yeinan memiliki enam kampung masing-masing kampung, Poo, Torai, Erambu, Kweel, Bupul dan Tanas. “Dari enam kampung ini dua diantaranya yang sudah sepakat lepas tanahnya untuk diolah oleh perusahaan. Dua kampung itu adalah Bupol dan Poo. Empat kampung lainnya belum,” ujarnya.

Warga tak mau dibohongi. Suku Malin belajar dari perusahaan sawit yang sudah beroperasi di wilayah warga Malind Anim di Merauke. Kini Mereka (warga malin anim), menderita akibat perusahaan sawit. Warga kehilangan mata pencaharian. Sulit berburu rusa dihutan karena sudah dibabat habis perusahaan. Warga juga tak bisa mengkosumsi air sungai disekitar karena terkontaminasi limbah perusahaan sawit.

David menuturkan, sudah ada satu perusahaan sudah beroperasi di Yeinan yakni PT. Hardayat. Perusahaan Hardayat menanam tebu. “Bagi kami, cukup satu perusahaan saja, jangan tambah lagi. Kalau perusahaan tebu ini kami ijinkan karena masa umur tebu tidak memakan waktu lama. Tapi, sawit membutuhkan waktu yang cukup lama. Kemudian, menguras tanah menjadi tandus dan tak berair,” tuturnya. (Jubi/Musa)

Enhanced by Zemanta

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny