Buka Ruang Demokrasi Bagi Rakyat Papua

Selasa, 08 Oktober 2013 00:09, Ditulis oleh Frm/Papos

JAYAPuluhan mahasiswa yang menamakan diri Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Peduli Demokrasi (SPMPD) menggelar demo di gedung DPR Papua, Senin (7/10).PURA[PAPOS]-Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Peduli Demokrasi (SPMPD) menggelar demo damai di gedung DPR Papua, Senin (7/10). Dalam demo tersebut mereka mendesak pemerintah pusat dan provinsi untuk membuka ruang demokrasi bagi rakyat Papua.

“Selama ini ruang demokrasi untuk menyampaikan hak dan pendapat tak berjalan dengan baik. Saat ini pemerintah harus melihat hal ini,” ucap salah satu pendemo saat menyampaikan aspirasi di halaman gedung DPR Papua.

Menurutnya, selama ini masyarakat Papua, khususnya mahasiswa mau menyampaikan pendapatnya soal hal-hal yang prinsip tak bisa dilaksanakan.”Sejak Desember tahun 2012 lalu baru kali ini mahasiswa ke DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi. Ini menandakan demokrasi tak berjalan,” ujarnya.

Ia berharap DPR Papua sebagai penyambung aspirasi masyarakat bisa mengakomodir persoalan ini sehingga pemerintah provinsi Papua maupun Pusat tidak menutup mata melihat keadaan yang terjadi ini.

“Selama ini jika kami ingin melakukan aksi sulit mendapat ijin dari pihak yang berwenang,” tambah salah satu pendemo.

Selain meminta untuk dibukanya ruang demokrasi, mahasiswa juga meminta pemerintah pusat untuk tidak menangkap para aktivis. Membebaskan tapol dan napol tanpa syarat sebagai bentuk menjunjung tinggi demokrasi di Indonesia.

Membuka kesempatan kepada media internasional ke Papua. Dan menolak kebijakan Pemprov Papua dengan program otsus plus sebab itu merupakan copi paste dari undang-undang pemerintahan Aceh.

Setelah berorasi hampir satu jam, akhirnya puluhan mahasiswa itu diterima ketua Komisi E DPR Papua, Kenius Kogoya bersama anggotanya. Kenius Kogoya mengatakan pada prinsipnya pihaknya akan menerima aspirasi mahasiswa dan disampaikan kepada pimpinan DPR Papua.

Menurut Kenius, setiap orang maupun berhak untuk menyampaikan aspirasinya sebab itu dijamin oleh undang-undang sehingga tidak bisa dilarang.

Sementara Kapolresta Jayapura, AKBP Alfred Papare menegaskan, pihak kepolisian tidak melarang mahasiswa untuk menggelar demo. Hanya saja demo juga tidak mengorbankan kepentingan umum.

“Sepanjang demo untuk hal-hal yang positif kami tidak akan melarang. Surat ijin tetap akan diberikan,” imbuh Kapolresta Alfred.

Kapolres Afred juag membantah menahan mahasiswa yang hendak menggelar demo.”Mahasiswa yang sempat ditahan itu karena tidak memiliki SIM dan STNK saat akan ikut dalam aksi demo,” jelas Kapolresta Alfred.[frm]

Tuntut Akses Jurnalis Asing ke Papua, Tiga Warga Panjat Tembok Konsulat Australia

Rofinus Yanggam ( kiri ) , Yuvensius Goo ( tengah) dan Markus Jerewon (kanan ) (The Guardian / Marni Cordell)

Rofinus Yanggam ( kiri ) , Yuvensius Goo ( tengah) dan Markus Jerewon (kanan ) (The Guardian / Marni Cordell)
Rofinus Yanggam ( kiri ) , Yuvensius Goo ( tengah) dan Markus Jerewon (kanan ) (The Guardian / Marni Cordell)

Jayapura, 6/10 (JUBI) – “Kami membutuhkan bantuan Anda. Kami berlindung dan memohon untuk keselamatan kami. Kami tidak merasa aman di Papua.”

Tiga warga Papua yang menduduki konsulat Australia di Bali pada hari Minggu pagi, 6 Oktober 2013 (sekitar pukul 06.30 WIB) meminta pemerintah untuk menekan Abbott Indonesia untuk membebaskan semua tahanan politik Papua dan membuka akses kepada wartawan asing untuk memasuki provinsi Papua.

Ketiga warga Papua tersebut adalah Markus Jerewon, 29 , Yuvensius Goo, 22 dan Rofinus Yanggam, 30. Ketiganya memasuki konsulat Australia dengan memanjat pagar tembok kantor konsulat tersebut.

Dalam surat terbuka kepada rakyat Australia, yang diserahkan kepada staf konsulat, ketiganya menulis, “Kami menulis untuk memberitahu Anda bahwa kami memasuki konsulat Australia di Bali untuk mencari perlindungan dan untuk menyampaikan pesan kami kepada para pemimpin APEC di Bali termasuk Menteri Luar Negeri AS John Kerry dan perdana Menteri Australia Tony Abbott. Kami ingin para pemimpin ini membujuk pemerintah Indonesia untuk memperlakukan orang Papua dengan lebih baik.”

Ketiganya juga meminta, melalui surat tersebut agar semua tahanan politik Papua dibebaskan.

“Kami ingin orang asing, termasuk wartawan, diplomat, pengamat dan wisatawan untuk dapat berkunjung ke Papua Barat secara bebas tanpa meminta izin khusus.” tulis ketiganya.

Juru bicara kelompok itu , Rinto Kogoya , yang adalah Kordinator Aliansi Mahasiswa Papua, mengatakan bahwa sudah saatnya dunia mengerti apa yang terjadi di dalam provinsi , yang secara resmi dianeksasi oleh Indonesia pada tahun 1969 .

” Masyarakat internasional tidak mengetahui kenyataan di Papua . Militer menindas masyarakat sipil – kita tidak bebas untuk melakukan apa saja – dan saya pikir ini adalah saat untuk membuka demokrasi ke Papua,” kata Rinto Kogoya. (Jubi/Guardian/Victor Mambor)

Penulis : Victor Mambor on October 6, 2013, TabloidJubi.com

Tim Investigasi DPRP Rekomendasi Pelaku Penembakan Dipecat

JAYAPURA[PAPOS]-Ketua tim investigasi DPRP, Yafet Pigay didampingi Nason Utty saat berdialog dengan keluarga korban.Tim investigasi DPR Papua memberikan rekomendasi agar pelaku penembakan dalam bentrokan antar aparat keamanan dengan warga di Waghete Kabupaten Deiyai, dipecat dari keanggotaan POLRI.

Dalam bentrokan di lapangan sepak bola, Waghete Kabupaten Deiyai, 23 September lalu, Alpius Mote, siswa SMAN 1 Waghete tewas tertembak.

“Rekomendasi ini kami berikan setelah tim melakukan investigasi langsung di Waghete Kabupaten Deiyai ,” ucap ketua tim investigasi dari DPR Papua Yafet Pigay didampingin Nason Utty kepada Papua Pos, Sabtu (5/10).

Tim investigasi DPR Papua sendiri tiba di Waghete, ibu kota Kabupaten Deiyai, Kamis (3/10) lalu untuk melakukan investigasi dengan bertemu langsung pihak sekolah SMAN 1 Waghete yang menjadi tempat korban menuntut ilmu, keluarga korban, dan Polres Paniai.

Menurut Yafet, rekomendasi tersebut diberikan menyusul oknum anggota polisi tersebut telah melakukan penembakan yang menyebabkan orang lain kehilangan nyawa.”Ini sebagai bentuk pelanggaran HAM,” imbuh Yafet.

Yafet mengatakan setelah tim tiba di Jayapura, akan melakukan rapat lagi. Namun yang jelas rekomendasi yang dikeluarkan tetap mengarah pada pemecatan terhadap oknum polisi, pelaku penembakan.

Sementara anggota tim investigasi, Nason Utty mengatakan, rekomendasi ini nantinya akan diberikan kepada Kapolda Papua, Gubernur Papua, da KOMNAS HAM Papua.”Kami harap rekomendasi ini ditindaklanjuti oleh Polda Papua dengan menghukum pelaku atas perbuatannya dengan dipecat,” imbuh Nason.

Nason menuturkan berdasarkan pertemuan dengan keluarga korban dan keterangan beberapa orang saksi, kejadian itu berawal saat digelar razia oleh anggota polisi, Sabtu 21, September lalu. Saat razia itu seorang pengendara bersama seorang ibu diberhentikan lalu dijatuhkan.

Ayah korban, Daud Mote meminta pihak kepolisian mengungkap pelaku penembakan.”Anal saya sudah ditembak, saya minta pelakunya dihukum,” ucapnya.

Tidak terima dengan sikap oknum anggota itu, masyarakat langsung berkumpul di lapangan dengan melakukan waita. Namun tiba-tiba terdengar tembakan hingga terjadi bentrok dengan aparat keamanan.

Beberapa saat kemudian, salah satu siwa SMAN Waghete ditemukan tewas tertembak.”Kami juga minta anggota polisi yang menjadi pemicu hingga terjadi bentrokan itu ditangkap dan diproses,” ungkap Nason.

Soal data penyebab kejadian tim investigasi DPR Papua berbeda dengan Polres Paniai, Nason mengatakan silahkan saja.”Data yang kami dapatkan berdasarkan pengakuan dari keluarga, termasuk pengakuan dari masyarakat di Waghete sama dengan laporan yang kam terima di Jayapura, sedang polisi belum mendapatkan keterangan dari keluarga korban dan masyarakat yang melihat kejadian,” terang Nason.

Sementara itu, Kapolres Paniai, Ronny Abba mengatakan, apa yang disampaikan tim investigasi DPR Papau soal penyebab kejadian bentrokan baru didengarnya.”Kami akan tindaklanjuti informasi ini,” ucap Kapolres Ronny saat pertemuan dengan tim investigasi DPR Papua.

Menurut Kapolres, kejadian bentrokan hingga terjadinya penembakan berawal saat, anggota polisi melakukan razia lanjutan dan sosialisasi judi togel dan miras bersama Linmas, Senin pagi, 23 September. Namun apa yang dilakukan polisi ini mendapatkan perlawanan dari masyarakat hingga terjadi bentrokan.

Saat bentrokan terjadi anggota polisi sudah berusaha bertahan untuk menghindari bentrokan, namun masyarakat terus menyerang hingga ada tembakan yang menyebabkan salah satu siswa SMA meninggal.

Pasca bentrokan tersebut, sebanyak sepuluh orang anggota polisi sudah diperiksa Propam Polda Papua.[frm]

Terakhir diperbarui pada Senin, 07 Oktober 2013 00:24

Senin, 07 Oktober 2013 00:21, Ditulis oleh Frm/Papos

Perlu Ada Sensus Orang Asli Papua

Socratez YomanJAYAPURA-Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Baptis (PGGB) Papua, Socratez Yoman, menyatakan dalam waktu dekat ini akan melayangkan surat terbuka kepada Gubernur Papua dan Papua Barat, yang sifatnya Urgent/mendesak.

Dijelaskan, dalam isi suratnya itu, dirinya menyatakan bahwa melihat belakangan ini terjadi pemekaran kabupaten/kota dan provinsi di Papua dan Papua Barat, yang kenyataannya terkesan liar dan miskin prosedur administrasi di Tanah Papua.

Sehingga disini perlu adanya sensus untuk mengetahui jumlah penduduk asli Papua. Tujuannya untuk membuktikan berapa jumlah penduduk orang asli Papua yang sebenarnya. Pemekaran yang tidak melalui mekanisme dan prosedur syarat-syarat pemerintahan seperti luas wilayah, jumlah penduduk, sumber daya manusia (SDM) , sumber daya alam (SDA).

Karena kondisi yang terjadi selama ini, ternyata wilayah yang sama, rakyat yang sama, tapi ada hadir dua atau tiga bahkan empat kabupaten, yang notabenenya pemekaran itu merupakan bagian dari operasi militer, operasi transmigrasi, politik pecah belah orang asli.

Ditandaskannya, total jumlah penduduk Papua saat ini sebanyak 3.600.000 jiwa, yang terbagi dalam, orang asli Papua 1.700.000 jiwa, dan orang pendatang 1.980.000 jiwa (jumlah penduduk di Jawa Barat hanya 30 juta jiwa).

“Jumlah penduduk asli Papua 1,7 juta jiwa itu apakah jumlah yang benar dan apakah lebih banyak membutuhkan pemekaran kabupaten/kota dan provinsi?,” ungkapnya kepada Bintang Papua via ponselnya, Sabtu, (5/10).

Dengan demikian, jika Papua di tambah lagi tiga provinsi lagi (Papua Selatan, Papua Tengah, dan Papua Barat Daya). Maka jika dengan kondisi 5 provinsi, tentunya tiap provinsi hanya 736 jiwadan ini membuktikan bahwa Papua benar-benar daerah pendudukan.

“Kalau dimekarkan ini jelas tidak memenuhi syarat-syarat administrasi pemerintahan seperti wilayah, penduduk, SDM, dan SDA. Untuk membuktikan jumlah yang sebenarnya jumlah penduduk asli Papua, maka harus adanya Sensus penduduk yang melibatkan gereja-gereja dan LSM-LSM,” pungkasnya.(Nls/don/l03)

Senin, 07 Oktober 2013 05:57, BintangPapua.com

PERAN GEREJA DAN KEKERASAN NEGARA: REFLEKSI KEKERASAN NEGARA DARI PENEMBAKAN ARLINCE TABUNI DI KABUPATEN LANNY JAYA-PAPUA | tabloidjubi.com

PERAN GEREJA DAN KEKERASAN NEGARA: REFLEKSI KEKERASAN NEGARA DARI PENEMBAKAN ARLINCE TABUNI DI KABUPATEN LANNY JAYA-PAPUA | tabloidjubi.com.
Oleh: Pares L. Wenda

Jayapura, 22/07 (Jubi) – Kekerasan Negara berbanding terbalik dengan misi perdamaian, cinta kasih dan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dikampanyekan gereja baptis di Lanny Jaya, Papua.

Tanggal 28 Oktober 1956 adalah hari dan tahun pertama ABMS (Association Baptist Mission Society) di bawah pimpinan Norm Draper, Ian Gruber dan Melzer dan beberapa orang Pribumi Indonesia terutama dari Kalimantan menginjakan kaki di Tiom melalaui jalan darat setelah mereka mendarat dengan pesawat di Danau Ano’gom Yenggenak di Bokondini sekarang masuk kabupaten Mamberamo Tengah. Danau ini dalam berbagai tulisan expenditor maupun tulisan tentang misi pelayanan gereja (terutama gereja-gereja tua seperti Kingmi, Katolik, GKI di Tanah Papua dan Baptis yang melakukan explorasi pertama di wilayah pegunungan Papua) lebih dikenal dengan sebutan “Archbold lake=Danau Archbold) diambil dari nama seorang expenditor Ricard Archbold.

Sejak itu daerah Beam-Kwiyawagi khususnya wilayah Lanny Jaya menjadi wilayah Pelayanan Persekutuan Gereja-Gereja Baptis Papua hingga saat ini. Hanya ada satu gereja GKI di Kota Tiom. Tidak ada denominasi dan agama lain di wilayah ini. Meskipun daerah ini juga ada orang Muslim pendatang yang berdagang dan PNS/anggota TNI/POLRI tetapi jumlah mereka sangat terbatas. Sejak gereja, hadir, gereja tidak pernah melakukan kekerasan terhadap umat Tuhan di wilayah ini, apalagi memprofokasi orang untuk berperang, hal itu tidak pernah. Tetapi peristiwa bersejarah dimana gereja Baptis mencatat sebagai sejarah perjalanan 50 tahun gereja Baptis Papua di wilayah ini, orang mati karena mempertahankan Injil Yesus Kristus di Magi (sekarang Distrik Makki) pada tahun 1966 dan di Kampung Guneri tempat di mana Nona Arlince Tabuni (12) ditembak mati oleh aparat TNI yang diduga dilakukan Kopasus. Gereja Guneri disitulah tempat dimana ayah Arlince Tabuni melayani sebagai Gembala Sidang hingga sekarang. Cahaya Injil membuat orang Papua di wilayah ini ditobatkan, lantaran jauh sebelum Injil itu nenek moyang mereka sudah menubuatkan bahwa suatu saat orang kulit putih akan datang membawah kabar “NABELAN KABELAN=kabar hidup kekal” dan menurut nubuatan itulah mereka menerima Injil sebagai pembaharu hidup mereka yang sebelumnya mereka tinggal dalam suasana kelam (tidak ada harapan akan masa depan).

Setelah misi Baptis melalui ABMS sudah mulai membuka akses dan isolasi wilayah ini, kemudian Belanda membuka Pos Pelayanan Pemerintah pada awal tahun 1960-an di Tiom. Dalam Pelayanan Pos Pemerintah Belanda ini tidak pernah ada kekersan Negara terutama dari aparat pemerintahan Belanda yang bertugas waktu itu. Pemerintah Belanda atas nama keutuhan wilayah colonial Belanda tidak pernah membunuh atau melakukan kekerasan lainnya kepada penduduk setempat.

Kekerasan Negara baru terlihat pada era Pemerintah Indonesia di Lanny Jaya. Setelah Belanda pergi, otomatis pemerintah Indonesia masuk. Masyarakat Papua di Balim tidak menerima hasil Pepera 1969. Mereka mulai melakukan perlawanan bersenjata dengan aparat pemerintah Indonesia. Perang atau konfrontasi terbuka antara aparat pemerintah Indonesia (TNI/POLRI) dan masyarakat Papua di Pegunungan Tengah pecah. Puncaknya terjadi pada tahun 1977 dan 1978. Di Lanny Jaya menjadi pusat pelarian masyarakat Papua di lembah Baliem dan sekitarnya. Masyarakat Lanny Jaya pada waktu itu juga melakukan perlawanan melawan aparat Pemerintah Indonesia. Banyak orang Papua di wilayah ini yang terbunuh. Kisah tragis yang masih diceritakan oleh orang Lanny Jaya adalah peristiwa di mana orang Lanny Jaya dibariskan di satu deretan panjang sekitar 5 sampai 10 orang lalu menancapkan besi panas di dada mereka menembus setiap orang dan mematikan mereka. Dilapangan Bola Volly dibelakang Kantor Mendikbut Lama, di hadapan rumah Kios Bapak Solihin (asal Makasar). Jenaza mereka dikubur secara masal di samping kediaman kepala distrik lama tidak jauh dari tempat dimana mereka dieksekusi. Inilah cerita yang selalu diangkat kepada kami, anak-anak Lani ketika melewati daerah itu oleh orang-orang tua. Sayang saat ini Bupati Lanny Jaya sedang menimbun daerah itu. Dan hilang sudah tanda sejarah kelam kekerasan Negara di wilayah Lanny Jaya. Peristiwa yang sama banyak terjadi di beberapa kampung di Lanny Jaya bahkan di wilayah pegunungan tengah Papua pada tahun 1977.

Salah satu yang diceritakan orang tua penulis adalah pembunuhan terhadap dua keluarga kami oleh aparat Indonesia di Kwiyawage yaitu paman Yaliwakom Wenda dan saudara perempuannya Yaliwakwe Wenda. Mereka mengunjungi keluarga di Tiom sebelum pecah perang pada tahun 1977, setelah masa kunjungan habis dan Susana perang sudah mulai redah, kedua keluarag bersaudara, suami dari Yaliwakwe dan keluarga lainnya pulang ke Ilaga. Mereka melalui rute Kwiyawagi ke Ilaha, Karena mereka lahir dan besar di Ilaga (sekarang Ibu Kota Kabupaten Puncak Papua). Pada saat di daerah Kwiyawage, Yaliwakom Wenda ditembak mati. Posisi Yaliwakwe sudah lebih dulu agak jauh jaraknya bersama suaminya dan anaknya yang masih kecil bersama kelaurga lainnya. Tiba-tiba terdengar sebuah bunyi tembakan (dor-dor-dor). Ketika Yalikwakwe menoleh ke balakang, saudara laki-lakinya sambil berteriak saya ditembak dan terjatuh ke tanah. Yaliwakwe mengatakan kepada suaminya, saya tidak bisa pergi bersama kalian. Lihatlah saudaraku ditembak mati oleh mereka (Aparat TNI), saya tidak bisa meninggalkannya. Saya harus menyerahkan diri untuk ditembak juga oleh mereka. Setelah mengatakan itu, ia serahkan anaknya kepada suaminya dan mendesak mereka lari dan pulang ke kampung halaman di Ilaga. Yaliwakom segera mendatangi mayat saudara laki-lakinya, bersungkur dan merebahkan diri pada saudaranya yang bersimba darah sambil menangisinya. Sementara itu, satu peluruh yang ditembak oleh aparat Indonesia menembus dadanya dan ia pun jatuh ditubuh saudara yang sudah mati bersimba darah dan mati bersamanya. Hingga hari ini keluarga tidak pernah tahu dimana mayat mereka dimakamkan. Inilah kisah cerita yang disampaikan suami kepada keluarga, kisah yang terjadi 36 tahun yang lalu(1977-2013).

Kedua, keluarga penulis ini ditembak oleh aparat Indonesia yang diterjunkan waktu itu, menurut cerita orang tua adalah kesatuan Patimura dari Ambon dan kesatuan Hasanudin dari Makasar. Mereka ditembak tanpa asalan yang jelas. Mungkin hanya karena mereka dicurigai dan kebetulan mereka dalah orang Papua.

Pembunuhan tanpa alasan yang jelas, dalam suasana damai kembali terjadi pada 1 Juli 2013 di Guneri Kabupaten Lanny Jaya terhadap Nona Arlince Tabuni (12 tahun). Penembakan diduga dilakukan oleh satuan Maleo Kopasus. Pembunuhan ini tidak bisa dibenarkan. Mengapa? Pertama keadaan saat itu tidak dalam kondisi perang. Penembakan yang dilakukan adalah anak usia 12 Tahun. Ia ditembak tanpa alasan yang jelas.

UU TNI No.34 Thn 2004 Pasal 17 jelaskan mengamanatkan bahwa penggunaan kekuatan TNI berdasarkan perintah Presiden.Tanggungjawab penggunaan kekuatan TNI berada ditangan panglima TNI diatur pada pasal 19 UU TNI N0.34/2004. Menjadi pertanyaan bahwa apakah penembakan Arlince Tabuni adalah perintah Presiden atau Panglima TNI. Sementara situasi 1 Juli 2013 situasi Indonesia secara nasional tidak dalam bahaya, situasi Papua berada dalam susana perayaan hari Bayangkara. Kalau memang tidak ada lalu penembakan dilakukan atas perintah siapa? Kalau dalam situasi kontak senjata antara pihak TPN dan aparat TNI mungkin dibenarkan dalam melindungi diri, tetapi kondisi riil saat itu dari keterengan para saksi tidak ada musuh yang mengganggu rakyat ataupun TNI dan Polri yang bertugas.

Pelayanan Gerejawi yang membawah pesan perdamaian dinodai oleh kekerasan Negara secara sistematis terhadapat masyarakat sipil di Lanny Jaya mengindikasikan bahwa Negara tidak bisa dipercaya lagi, dan mampu memberikan kenyamanan kepada warga negaranya. Pada hal amanat UU 34/2004 TNI sebagai pertahanan Negara sekaligus melindungi warganya. Tetapi mungkinkan orang Papua di Lanny Jaya bukan dari warga Negara Indonesia. Klaim Indonesia terhadap Papua adalah bagian dari Indonesia, hari demi hari kepercayaannya sudah mulai luntur. Semoga gereja terus menyuarakan penderitaan orang Papua dan lebih khusus terhadapa pelayanan gereja di Lanny Jaya.*

Penulis adalah Sekretaris Baptist Voice of Papua

13 Tahun Kasus Wasior: SBY Diminta Bentuk Tim Mediator

Peneas Lokbere. Foto: tabloidjubi.com
Peneas Lokbere. Foto: tabloidjubi.com

Jayapura — Korban dan Keluarga Korban Kasus Wasior (13 Juni 2001 silam) meminta Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membentuk tim mediator untuk menyelesaikan polemik administratif berkas wasior antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk mendorong penyidikan Kasus Wasior.

Hal itu dikatakan Koordinator Umum Korban dan Keluarga Korban,Peneas Lokbere dalam  Pers Release yang dikirimkan kepadamajalahselangkah.com, peringati ulang tahun ke-13 kasus Wasior, Kamis 13 Juni 2013 di Jayapura, Papua.

Peneas meminta menyelesaikan polemik administratif berkas wasior secara profesional dan bertanggungjawab.

Karena kata dia, Komnas HAM RI menya

Peneas Lokbere. Foto: tabloidjubi.com

takan, Kasus Wasior 13 Juni 2001 sebagai Pelanggaran HAM Berat kategori Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Dimana hasil penyelidikannya sudah diserahkan kepada Kejaksaan Agung untuk meminta tindak lanjut terhadap proses penyidikan.

Namun, kata dia, berkas laporan penyelidikan yang diserahkan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung RI dianggap tidak lengkap. Meskipun Komnas HAM sudah berusaha melengkapi terutama secara administratif. Namun, Kejaksaan Agung RI menilai belum sesuai dengan kriteria penyidikan.

Atas kondisi ini, kata Peneas, adminstrasi peradilan  sudah menghambat penegakan HAM di Papua khusunya rasa keadilan bagi para korban.

“Negara tidak mampu menyelesaikan kasus-kasus Pelanggaran HAM Berat  secara adil dan bertanggungjawab,”

katanya.

Dalam Pers Release yang diketahui, Kuasa Hukum Korban, Gustaf Kawer itu diminta juga kepada komiunitas internasional untuk memonitoring penyelesaian hukum kasus-Kasus Pelanggaran HAM Berat yang macet di Kejaksaan Agung dan memberikan kebijakan-kebijakan diplomasi sesuai komitmen terhadap penegakan dan pemajuan HAM di Indonesia. (MS)

Tentang Kasus WasiorKLIK

Sabtu, 15 Juni 2013 23:52,MS

KontraS Tidak Melindungi Separatisme di Papua!

Jayapura, 12/6 (Jubi) – Ketua Asosiasi Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta (AMPTS) Se-Kota Jayapura Silvester Vinsensius Kudiai mendukung kerja Kontras (Komisi untuk

Statue erected to celebrate the inclusion of W...
Statue erected to celebrate the inclusion of West Papua into Indonesia (Photo credit: Wikipedia)

orang hilang dan tindak kekerasan) untuk menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua.

“Papua sebagai salah satu daerah dengan pelanggaran HAM tertinggi. Kontras sangat peduli terhadap kemanusiaan. Mereka (Kontras) tidak melindungi separatisme,” kata Silvester Vinsensius Kudiai ke tabloidjubi.com di Padangbulan, Kota Jayapura, Rabu (12/6) sore.

Menurut Silvester, panggilan dia, kehadiran Kontras yang berpusat di Jakarta, demi membicarakan hak-hak orang atau korban tindakan kekerasan. Di Papua, mereka justru ada untuk melindungi dan mengadvokasi orang Papua yang mengalami kekerasan.

Selasa (11/6) di Jakarta, sekelompok pemuda yang menamakan diri Front Pemuda Merah Putih bergerak dari Tugu Proklamasi menuju Kantor KontraS sekitar pukul 11.00. WIB dan berakhir pada pukul 13.30 WIB berdemo di hadapan kantor Kontras. Mereka menuding Kontras melindungi separatisme.

Selain itu, dalam tuntuan mereka, seperti dalam siaran pers yang diterima media ini dari Napas (National Papua Solidarity) di Jakarta, meminta dan menolak segala aktivitas LSM KontraS untuk tidak mendukung tindakan-tindaan separatis di dalam Negara dalam bentuk apapun

Mereka juga meminta aparat keamanan sebagai penegak hukum untuk menyelidiki semua indikasi dan menangkap apabila terbukti keterlibatan aktivis KontraS dalam kegiatan-kegiatan mendukung separatis.

Pengurus KontraS juga diminta mengevaluasi diri terhadap hal-hal yang cenderung merongrong kedaulatan NKRI. Selain itu, front ini meminta pemerintah pusat untuk menutup kantor KontraS di Jakarta yang dinilai cenderung tidak membela NKRI tetapi terindikasi membela kepentingan asing dalam wujud separatis atas nama HAM.

Selanjutnya, mereka meminta Pemerintah Pusat harus tegas dan tidak tunduk kepada tekanan-tekanan LSM semacam KontraS demi tegaknya NKRI dan menindak tegas terhadap semua tindakan separatisme karena dinilai merugikan kepentingan bangsa.

Kondinator KontraS Haris Azar dan Badan Pekerja KontraS Usman Hamid, seperti dalam siaran pers tersebut mengatakan, KontraS menghargai aspirasi itu. Kami bekerja untuk menjungjung tinggi martabat manusia dan menegakkan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi, sebagaimana terdapat dalam UUD 1945 dan Pancasila.

“Kami menolak kekerasan yang dilakukan oleh Kelompok separatis maupun Aparat Keamanan di Papua” dan tidak mendukung gerakan separatis serta berjuang penghormatan terhadap martabat manusia dan terciptanya kedamaian di Papua,” tegas Haris. (Jubi/Timoteus Marten)

Sumber: Penulis : Timoteus Marten | 12:53 } Editor :TabloidJubi.com,  CUNDING LEVI | June 13, 2013 |

Enhanced by Zemanta

Rp10 Miliar Buat Bangun Pasar Mama-Mama Papua

JAYAPURA [PAPO] – Komitmen pemerintah provinsi Papua buat memberdayakan pedagang asli Papua, teristimewa mama-mama Papua yang selama ini berjualan di pasar mama-mama Papua, siap diwujudkan.

Setidaknya pemerintah Papua lewat Lukas Enembe,SIP MH, Gubernur Papua sudah menganggarkan Rp.10 miliar guna pembangunan pasar mama-mama Papua yang representatif.

Selain telah menganggarkan pembangunan pasar mama-mama asli Papua, Pemprov Papua sedang merumuskan rencana penyertaan modal. Dimana akan dipikirkan secara baik.

Sebab menurut Gubernur Papua Lukas Enembe, pedagang mama – mama asli Papua ini harus berpikir bagaimana untuk menyekolahkan anak – anaknya.

“Kita harus rumuskan untuk juga memberikan modal usaha kepada mama. Mama yang terbiasa menjual di pasar dan dijalan,”ujarnya.

Mama pedagang asli Papua yang terbiasa bekerja di pasar ini akan di inventarisasi semuanya di seluruh kabupaten/kota di Papua.

Untuk itu master plan atau perencanaan dari bidang ekonomi itu juga sudah disampaikan untuk membuat akan hal ini. Karena itu sangat membantu untuk pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan orang Papua, terutama mama pedagang Papua.

“Saya punya pengalaman seperti itu saat masih di Puncak Jaya dan akan saya buat. Kemudian saya sudah buat dan saya bina mama – mama Papua penjual di Puncak Jaya sebanyak 50 orang,”tuturnya.

Diceritakannya lagi Pemkab Puncak Jaya, juga memberikan kepada para penjual tetap seperti penjual pinang yang setiap hari berjualan di pasar diberikan bantuan dana sebesar Rp. 5 juta. Dimana barang dagangan mereka ini di drop dari Kota Wamena.

Kemudian bantuan Rp. 2 juta diberikan kepada mama Papua yang biasanya menjual sayuran di pasar hanya seminggu sekali saja dan tidak setiap hari.

Kemudian bantuan diberikan sebesar Rp. 3 juta, diberikan kepada mama pedagan Papua yang hanya berjualan empat hari dalam seminggu.

Sedangkan yang setiap hari duduk itu kita berikan Rp. 5 juta. Dari 50 orang mama Papua yang dibina, ada yang sudah mempunyai tabungan/ rekening bank antara Rp. 30 juta, Rp. 15 juta dan Rp. 10 juta.

“Karena waktu itu, setelah jual kami dari pemerintah meminta untuk membuktikan juga bahwa mereka harus ada uang di bank,”katanya.

Rekening bank pedagang mama Papua ini dibuka oleh pemerintah kabupaten. “Ternyata kalau dia bisa menjual dalam sehari Rp. 500 ribu biasanya Rp. 200 ribu mereka menabung dan sisanya Rp. 300 ribu mereka untuk keperluan hidup sehari–hari,”katanya lagi.

Sumber: Minggu, 09 Jun 2013 23:06, Ditulis oleh Thoding/Papos

Menurutnya hal ini sangat membantu. Untuk itu jika ada kemauan dari pemerintah untuk memberikan modal. Nantinya pemerintah tinggal mengawasinya. “Jika kita memberika mereka modal Rp. 20 juta kemudian mengawasi. Maka hasilnya akan luar biasa dan saya yakin mereka akan berhasil. Sebab di kawasan – kawasan tertentu di Papua biasanya kaum wanitanya yang lebih bekerja keras,”tuturnya. [tho]

Terakhir diperbarui pada Minggu, 09 Jun 2013 23:10

Enhanced by Zemanta

Pelapor Khusus PBB Minta Kepastian Kunjungan Ke Indonesia, Juga Papua

Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (Foto: Ist)
Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (Foto: Ist)

Jayapura – Pemerintah Indonesia telah mengundang Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi yang dijadwalkan pada Januari 2013, namun ditunda dengan alasan yang tak diketahui dengan jelas. Kunjungan resmi ini adalah telah dijanjikan oleh pemerintah dalam sidang Universal Periodic Review/Periodik Berkala Universal, pada Maret 2012.

KontraS, The International Coalition Human Rights and Peace for Papua, Fransiscan International and TAPOL meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian khusus atas pernyataan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, Frank La Rue yang meminta Pemerintah untuk memberikan kepastian jadwal kunjungan resmi sebagaimana dinyatakan dalam Dewan HAM PBB ke-23 di Geneva, 3 Juni 2013.

Indria Fernida, aktivis KontraS kepada Jubi, Sabtu (08/06) mengatakan kunjungan resmi Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi mendesak dilakukan.

“Kami memandang bahwa kunjungan resmi Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi mendesak dilakukan mengingat situasi tentang kebebasan berekspresi di Indonesia cukup mengkhawatirkan. Rencana pengesahan RUU Ormas dan RUU Rahasia Negara yang mengancam kebebasan sipil, kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM yang terus berlangsung adalah potret ancaman terhadap kebebasan berekpsresi di Indonesia.”

kata Indria.

Selain hal-hal tersebut, lanjut Indria, hal lain yang juga paling mengkhawatirkan saat ini adalah situasi di Papua, dimana tampak peningkatan upaya untuk meredam kebebasan berekspresi pada 1 Mei 2013, saat peringatan Pemindahan Administrasi Papua ke Indonesia. Berdasarkan data Papuan Behind Bars, aparat keamanan menembak dua orang hingga tewas dan satu lagi tewas di rumah sakit, 36 orang ditangkap sewenang-wenang, dan 30 orang diantaranya masih ditahan dan beresiko mengalami penyiksaan. Hingga Mei 2013, sebanyak 76 orang tahanan politik berada di berbagai LP di Papua. Beberapa aktivis Maluku juga masih menjadi tahanan politik.

“Pemerintah masih menutup akses masyarakat internasional untuk melakukan pemantauan terhadap situasi HAM di Papua.”
ujar aktivis KontraS yang ikut hadir dalam Sidang HAM PBB di Jenewa, minggu ini.

“Kami kembali mengingatkan bahwa Papua adalah salah satu wilayah prioritas yang harus dikunjungi oleh Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi. Mekanisme ini adalah prosedur internasional yang harus dipatuhi pemerintah sebagai anggota PBB dan juga berlaku bagi negara anggota PBB lainnya.”

lanjut Indria.

Selain itu, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen Papua, Victor Mambor, keseriusan pemerintah untuk memberikan perhatian khusus atas pernyataan Pelapor Khusus PBB, Frank La Rue sangat penting untuk menunjukkan komitmen Pemerintahuntuk membangun dialog secara damai.

“Jika pemerintah Indonesia bersikap kooperatif atas pernyataan Pelapor Khusus PBB, Frank La Rue yang meminta Pemerintah untuk memberikan kepastian jadwal kunjungan resminya, ini menunjukkan komitmen Pemerintah dalam memenuhi hak-hak berekspresi dan berpendapat di Papua sekaligus merealisasikan inisiatif untuk membangun dialog secara damai. Membuka akses internasional di Papua dapat menjadi upaya positif dalam menunjukkan keseriusan sikap Pemerintah.”

kata Mambor.(Jubi/Musa Abubar)

June 8, 2013,18:34,TJ

Pemerintah Diminta Berikan Kepastian Kunjungan Frank La Rue ke Indonesia

Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (Foto: Ist)
Frank La Rue, Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat (Foto: Ist)

Jakarta KontraS, The International Coalition Human Rights and Peace for Papua, Fransiscan International dan TAPOL meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan perhatian khusus atas pernyataan Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, Frank La Rue.

Menurut sejumlah LSM ini, Frank La Rue pernah meminta Pemerintah Indonesia untuk memberikan kepastian jadwal kunjungan resmi sebagaimana dinyatakan dalam Dewan HAM PBB ke-23 di Geneva, 3 Juni 2013.

“Pemerintah Indonesia telah mengundang Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi yang dijadwalkan pada Januari 2013, namun ditunda dengan alasan yang tak diketahui dengan jelas,”

ujar Haris Azhar, Kordinator KontraS, dalam rilis yang diterima suarapapua.com,Jumat sore tadi.

Menurut Haris, kunjungan resmi tersebut telah dijanjikan oleh pemerintah dalam sidang Universal Periodic Review/Periodik Berkala Universal, pada Maret 2012.

“Kami memandang bahwa kunjungan resmi Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi mendesak dilakukan mengingat situasi tentang kebebasan berekspresi di Indonesia cukup mengkhawatirkan.”

“Rencana pengesahan RUU Ormas dan RUU Rahasia Negara yang mengancam kebebasan sipil, kriminalisasi terhadap pihak-pihak yang kritis terhadap kebijakan pemerintah, serta kekerasan terhadap jurnalis dan pembela HAM yang terus berlangsung adalah potret ancaman terhadap kebebasan berekpsresi di Indonesia,”

ujar Haris.

Selain hal-hal tersebut, lanjut Haris, hal lain yang juga paling mengkhawatirkan saat ini adalah situasi di Papua, dimana tampak peningkatan upaya untuk meredam kebebasan berekspresi pada 1 Mei 2013, saat peringatan Pemindahan Administrasi Papua ke Indonesia.

Berdasarkan data Papuan Behind Bars, aparat keamanan menembak dua orang hingga tewas dan satu lagi tewas di rumah sakit, 36 orang ditangkap sewenang-wenang, dan 30 orang diantaranya masih ditahan dan beresiko mengalami penyiksaan.

Hingga Mei 2013, sebanyak 76 orang tahanan politik berada di berbagai LP di Papua. Beberapa aktivis Maluku juga masih menjadi tahanan politik.

Selain itu, Pemerintah masih menutup akses masyarakat internasional untuk melakukan pemantauan terhadap situasi HAM di Papua.

“Kami kembali mengingatkan bahwa Papua adalah salah satu wilayah prioritas yang harus dikunjungi oleh Pelapor Khusus PBB tentang Kebebasan Berekspresi,” ujar Paul Barber, Kordinator TAPOL di London.

Menurut Barber, mekanisme tersebut merupakan prosedur internasional yang harus dipatuhi pemerintah sebagai anggota PBB dan juga berlaku bagi negara anggota PBB lainnya.

“Hal ini penting untuk menunjukkan komitmen Pemerintah dalam memenuhi hak-hak berekspresi dan berpendapat di Papua sekaligus merealisasikan inisiatif untuk membangun dialog secara damai,”

tambahnya.

“Membuka akses internasional di Papua dapat menjadi upaya positif dalam menunjukkan keseriusan sikap Pemerintah,”

tutupnya.

OKTOVIANUS POGAU

Friday, June 07, 2013,SP

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny