Indonesia tolak tuduhan pembunuhan massal di Papua

Indonesia mengatakan, tudingan pembunuhan massal di Papua oleh satuan anti teror “sama sekali bohong”.

Indonesia mengatakan, tuduhan dalam laporan ABC minggu lalu tentang pembunuhan massal di Papua oleh satuan anti teror “sama sekali bohong”.

Kedutaan Besar RI di Canberra mengatakan, menurut pihak berwenang di Papua, “rumor” seperti itu tidak benar.

“Berdasarkan penyelidikan kami, tidak ada kekerasan seperti itu terjadi,” kata KBRI dalam sebuah statement.

“Nampaknya rumor dan kebohongan itu disebarkan oleh individu dan kelompok tertentu dengan tujuan mendiskreditkan Pemerintah Indonesia dalam upayanya memastikan pembangunan yang berkesinambungan di provinsi-provinsi Papua.”

Laporan ABC itu memuat tuduhan bahwa satuan anti teror Indonesia melancarkan pembunuhan massal di sebuah desa di Papua.

Tuduhan itu dilontarkan oleh Jonah Wenda, jurubicara sayap militer Organisasi Papua Merdeka.

Menurut Wenda, 11 orang tewas dan 20 lainnya hilang setelah operasi gabungan tentara dan polisi terhadap para pendukung gerakan separatis Free Papua pada bulan April.

28 May 2013, 8:23, AEST

Markus Haluk : Puncak Jaya Di Bungkam

Markus Haluk (Ist)
Markus Haluk (Ist)

Jayapura, 24/5 (Jubi) –  Tekait kejadian yang menimpa Kabupaten Puncak Jaya, Papua, sejak April hingga Mei ini, Markus Haluk, Aktivis Hak Asasi Manusia di Jayapura, menilai pemerintah melalui pihak  kemanan membungkam suara demokrasi, suara kebebasan rakyat Puncak Jaya. Rakyat Puncak tidak bebas bergerak dari kampung ke dusun, dari dusun ke dusun, dari kampung ke kampung.

“Puncak Jaya dibungkam. Kebenaran di bungkam. Kebebasan dipacung,”tutur Markus Haluk ke tabloidjubi.com di Jayapura –  Pemacungan kebebasan itu melalui aktivitas keamanan di Puncak Jaya.

“Kemananan sedang melakukan intimidasi, penangkapan, pembunuhan sewenang-wenang,”

tuturnya. Tindakan itu jelas mengganggu psikologi masyarakat.

Markus menuturkan, tak bisa mengkalim kejadian terjadi sejak kapan hingga kapan. Markus hanya memastikan beberapa waktu terakhir ada pembungkaman suara warga yang mendiami Puncak Jaya. Informasi tindakan sewenang-wenang itu sulit di ketahui pihak luar. Menurut Markus, pihak keamanan membungkam suara kebenaran.

“Orang tidak bisa membawa kamera masuk ke Puncak Jaya,”

katanya. Markus mengaku, memperoleh infomasi tersebut dari warga Puncak Jaya.

“Saya baru saja mendapat laparoran bahwa kejadian-kejadian pembungkaman sedang terjadi,”

tuturnya.

Markus  enggan memastikan jumlah korban, penangkapan, penganiayaan  dan pembunuhan warga Puncak Jaya.

“Saya tidak mau memastikan jumlah  korban tetapi ada situasi itu di sana,”

tuturnya lagi.

Sebelumnya, Komite Nasional Papua Barat, dalam siaran persnya, pada 24 Mei lalu, memastikan jumlah korban kekerasan.

“Sejak 1 April hingga hari ini korban 41 orang . 11 dari 41 itu telah ditemukan keluarga dalam keadaan tidak bernyawan. Selanjutnya, 30 orang belum jelas kebenaradaannya,”

tutur Wim Medalama, juru bicara KNPB Pusat. (Jubi/Mawel)

May 24, 2013,20:00,TJ

Indonesia Dituduh Langgar HAM

Jayapura – Indonesia terus mendapat sorotan atas dugaan pelanggaran HAM dari Peninjauan Berkala Universal PBB (UN Universal Periodic Review). Pemerhati HAM dunia Amnesty Internasional kemudian menyurati Presiden RI SBY dan meminta meninjau undang-undang dan peraturan tertentu yang membatasi hak kebebasan berekspresi, berpikiran, berkeyakinan, dan beragama.

“Pasukan keamanan RI terus menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya serta penggunaan kekerasan dan senjata api yang berlebihan. Bahkan, setidaknya 76 tahanan nurani (prisoners of conscience) tetap berada di balik jeruji. Intimidasi dan serangan terhadap minoritas agama makin marak. Hukum, kebijakan, dan praktik yang diskriminatif menghalangi perempuan dan anak perempuan dalam menikmati haknya, terutama, hak kesehatan seksual, dan reproduksi. Tidak ada kemajuan dalam membawa pelaku kejahatan HAM masa lalu ke hadapan hukum.

Tidak ada eksekusi mati yang dilaporkan,”ungkap Pegiat Amnesty Internasional untuk kampanye di Indonesia Josef Benedic melalui pesan elektroniknya, Kamis 23 Mei.

Lanjutnya, Pemerintah Indonesia juga menolak beberapa rekomendasi kunci untuk meninjau undang-undang dan peraturan tertentu yang membatasi hak kebebasan berekspresi, berpikiran, berkeyakinan, dan beragama. “ Indonesia memaparkan laporannya pada Komite CEDAW (Komite untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan). Pada bulan November, Indonesia mengadopsi Deklarasi HAM ASEAN,terlepas kekhawatiran besar bahwa deklarasi tersebut jatuh di bawah standar internasional,”terangnya.

Kerangka kerja legislasi Indonesia tetap tidak memadai untuk bertindak atas tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya.” Hukuman cambuk tetap digunakan sebagai bentuk hukuman di Provinsi Aceh untuk pelanggaran Shari’a. Setidaknya 45 orang dicambuk sepanjang tahun karena berjudi dan karena berduaan dengan seseorang dari lawan jenis yang bukan pasangan perkawinan atau kerabat (khalwat),”jelasnya.

Polisi dan pasukan keamanan

Polisi berulangkali dituduh melakukan pelanggaran HAM, termasuk penggunaan kekerasan dan senjata api secara berlebihan, penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal polisi gagal untuk mengatasi kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh polisi, dan investigasi atas pelanggaran HAM jarang terjadi.

“17 pria dari Nusa Tenggara Timur ditahan secara sewenang-wenang atas tuduhan pembunuhan seorang polisi. Mereka diduga dilucuti pakaiannya, diborgol serta dipukuli selama 12 hari dalam tahanan oleh aparat Kepolisian Sektor (Polsek) Sabu Barat.Beberapa mengalami luka tusuk dan patah tulang. Beberapa dilaporkan dipaksa polisi untuk minum air seni mereka sendiri. Mereka dilepas tanpa dituntut pada akhir Juni karena kurangnya bukti”.

“Pasukan keamanan Indonesia, termasuk polisi dan militer, dituduh melakukan pelanggaran HAM di Papua. Penyiksaan serta perlakuan sewenang-wenang, penggunaan kekerasan dan senjata api berlebihan dan kemungkinan pembunuhan di luar proses hukum dilaporkan terjadi. Dalam banyak kasus, pelaku tidak dibawa ke hadapan hukum dan korban tidak menerima reparasi”.

Demikian juga sejumlah kasus yang terjadi di Papua, antara lain kasus Mako Tabuni, aktivis politik Papua dan wakil ketua gerakan pro-kemerdekaan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), ditembak mati oleh polisi di Waena, dekat Jayapura, Provinsi Papua. . Tidak ada investigasi imparsial atau independen atas pembunuhan ini. tentara menyerang sebuah desa di Wamena, Provinsi Papua, sebagai pembalasan atas meninggalnya dan lukanya dua aparat mereka. Mereka dilaporkan melepas tembakan secara membabi buta, menusuk puluhan orang dengan bayonet- mengakibatkan satu korban jiwa- dan membakar sejumlah rumah, bangunan, dan kendaraan.

Pada bulan Agustus, aparat polisi dan militer di Pulau Yapen, Provinsi Papua, membubarkan paksa demonstrasi damai peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Dunia. Pasukan keamanan melepas tembakan ke udara dan menangkap secara sewenang-wenang setidaknya enam demonstran. Beberapa dilaporkan dipukuli saat ditangkap.

aparat polisi dari Kabupaten Jayawijaya di Provinsi Papua secara sewenang-wenang menangkap dan diduga menampar, memukul, dan menendang lima pria dalam upaya mereka memaksa mengakui pembunuhan. Tidak ada investigasi yang berjalan atas pelanggaran ini,”paparnya.

Kebebasan berekspresi

Pihak berwenang terus menggunakan peraturan represif untuk memidanakan aktivis politik damai. Setidaknya 70 orang dari wilayah Papua dan Maluku dipenjara karena secara damai mengekspresikan pendapat mereka.

L”ima aktivis politik Papua dituntut dengan dakwaan “makar” berdasarkan Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijatuhi hukuman penjara tiga tahun karena keterlibatan mereka dalam Kongres Rakyat Papua III, sebuah pertemuan damai di Abepura pada Oktober 2011″.

Tahanan nurani Maluku, Johan Teterissa, yang menjalani 15 tahun penjara, ditendang, dan dipukuli dengan kabel listrik menyusul pemindahannya dari Penjara Madiun ke Penjara Batu di Pulau Nusakambangan, Jawa Tengah. Ia tidak menerima bantuan kesehatan setelah pemukulan itu.

Pembela HAM dan jurnalis terus mengalami intimidasi dan serangan akibat pekerjaan mereka. Pengamat internasional, termasuk LSM dan jurnalis, terus dihalangi atas akses bebas dan tidak terbatas atas wilayah Papua.

Tantowi Anwari, Aktivis dari Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) dipukuli dan ditendangi oleh anggota organisasi garis keras, Front Pembela Islam (FPI) di Bekasi, Jawa Barat. Tantowi melapor pada polisi, namun tidak ada perkembangan atas kasusnya hingga akhir tahun.

Pengacara HAM Papua, Olga Hamadi, diancam setelah menginvestigasi tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang polisi dalam sebuah kasus pembunuhan di Wamena, Provinsi Papua. Tidak ada investigasi atas ancaman tersebut, dan bahaya atas keamanannya tetap ada.

Kebebasan beragama dan berkeyakinan

Pihak berwenang menngunakan pasal soal penghasutan dan penodaan agama untuk mengkriminalkan kebebasan beragama, juga kebebasan berekspresi, berpikir dan berkeyakinan. Setidaknya enam tahanan nurani tetap berada dibalik jeruji karena tuntutan penghasutan dan penodaan agama.

Pada bulan Juni, Alexander Aan, seorang atheis, dijatuhi hukuman dua setengah tahun penjara dan denda 100 juta rupiah (US$10,600) untuk penghasutan setelah ia memasang pernyataan dan gambar yang oleh sebagian orang dianggap menghina Islam dan Nabi Muhammad.

Pada bulan Juli, Tajul Muluk, pemimpin agama Muslim Shi’a dari Jawa Timur, dijatuhi hukuman dua tahun penjara untuk penodaan agama berdasarkan pasal 156(a) KUHP oleh Pengadilan Negeri Sampang. Kelompok HAM lokal dan ahli hukum mengungkapkan kekhawatiran mereka atas masalah peradilan yang adil. Pada bulan September, hukumannya ditingkatkan hingga empat tahun pada pengadilan banding.

Minoritas keagamaan- termasuk Ahmadiyya, Shi’a dan Kristen- menghadapi diskriminasi, intimidasi dan serangan secara terus menerus. Dalam banyak kasus pihak berwenang gagal menyediakan perlindungan memadai bagi mereka atau membawa pelaku ke hadapan hukum.

Pada bulan Agustus, satu orang terbunuh dan puluhan terluka ketika sekelompok massa menyerang komunitas Shi’a di Sampang, Jawa Timur. Menurut Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) polisi tidak mengambil langkah pencegahan untuk melindungi komunitas tersebut.

Setidaknya 34 keluarga dari komunitas Ahmadiyya di Nusa Tenggara Barat, yang diserang dan tercerabut dari rumahnya pada 2006 karena kepercayaan mereka, terus hidup di penampungan sementara di Kota Lombok, Mataram. Tidak seorang pun dituntut untuk serangan tersebut.

Pihak berwenang menolak menjalankan keputusan Mahkamah Agung pada tahun 2010 dan 2011 untuk membuka Gereja Kristen Taman Yasmin di Bogor dan Gereja Kristen Batak Protestan Filadelfia di Kota Bekasi. Gereja tersebut masih disegel oleh aparat lokal sejak 2010. Kedua kongregasi tetap berisiko atas gangguan dan intimidasi dari kelompok garis keras karena terus beribadah di luar gedung mereka.

Hak-hak Perempuan

Perempuan dan anak perempuan terus menghadapi rintangan dalam menikmati hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi mereka. Pada bulan Juli, Komite CEDAW merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk mempromosikan pemahaman hak-hak dan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk kepada perempuan yang belum menikah dan perempuan pekerja rumah tangga (PRT). Komite itu juga merekomendasikan perempuan diberikan akses atas kontrasepsi tanpa perlu mendapatkan persetujuan suami mereka.

Pada tahun 2010 peraturan pemerintah yang membolehkan “sunat perempuan” tetap berlaku, melanggar kewajiban Indonesia berdasarkan hukum HAM internasional. Komite CEDAW meminta pemerintah Indonesia untuk mencabut peraturan tersebut dan mengadopsi undang-undang yang mengkriminalkan praktik tersebut.

Untuk ketiga tahun berturut-turut, parlemen gagal membahas dan mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, mengakibatkan pekerja rumah tangga, sebagian besar perempuan dan anak perempuan, rentan terhadap eksploitasi ekonomi dan peningkaran hak-hak mereka atas kondisi kerja, kesehatan dan pendidikan yang adil. Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional tahun 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Seluruh Buruh Migran dan Keluarganya pada bulan Mei, kurangnya perlindungan hukum memadai di negeri ini membuat pekerja rumah tangga migran, sebagian besar perempuan dan anak perempuan, terpapar pada praktik kerja paksa dan pelanggaran HAM lainnya di Indonesia dan luar negeri.

Impunitas

Ada sedikit kemajuan dalam menyediakan keadilan, kebenaran dan reparasi bagi pelanggaran HAM masa lalu, termasuk di Aceh, Papua dan Timor-Leste (dulunya Timor Timur). Penyintas kekerasan seksual belum menerima layanan kesehatan atau perawatan medis, psikologis, seksual, dan reproduksi dan kejiwaan yang memadai. Pada bulan September, pemerintah Indonesia mengumumkan dalam Dewan HAM PBB bahwa mereka sedang merampungkan Undang-Undang baru tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; namun, tidak ada perkembangan yang dilaporkan. Sebuah tim lintas institusi yang dibentuk Presiden pada tahun 2011 untuk menyusun rencana penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu belum juga mengumumkan rencana konkrit apa pun.

Pada bulan Juli, Komnas HAM mengirim laporan kepada Kejaksaan Agung atas kemungkinan terjadinya kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity) yang dilakukan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mereka yang diduga simpatisan komunis dalam konteks kudeta gagal tahun 1965. Komisi meminta Kejaksaan Agung untuk memulai investigasi resmi, membawa pelakunya ke hadapan Pengadilan HAM dan membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Tidak ada kemajuan yang dilaporkan.

Pada bulan September, Parlemen Provinsi Aceh mengumumkan penundaan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Ini membuat korban dan keluarga mereka tanpa mekanisme resmi untuk mengungkap kebenaran atas pelanggaran yang mereka alami pada masa konflik atau untuk menungkapkan nasib keberadaan mereka sayangi yang terbunuh atau hilang.

Presiden gagal menindaklanjuti rekomendasi parlemen tahun 2009 untuk membawa kehadapan pengadilan mereka yang terlibat dalam penghilangan paksa 13 aktivis pro-demokrasi pada tahun 1997 dan 1998, untuk secepatnya melakukan pencarian aktivis yang hilang dan menyediakan rehabilitasi dan kompensasi kepada keluarga mereka.

Pemerintah gagal mengimplementasikan rekomendasi yang dibuat oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor- Leste, terutama dalam membentuk komisi orang hilang yang bertugas mengidentifikasi keberadaan semua anak Timor-Leste yang terpisah dari keluarga mereka dan memberitahu keluarga mereka.

Hukuman mati

Untuk empat tahun berturut-turut tidak ada eksekusi hukuman mati yang dilaporkan. Namun, setidaknya 12 hukuman mati baru dijatuhkan sepanjang tahun dan setidaknya 130 orang berada dalam jeratan hukuman mati. Dalam sebuah langkah positif pada bulan Oktober, dilaporkan Mahkamah Agung mengubah hukuman mati seorang bandar narkotika dan obat-obatan terlarang lainya (narkoba) pada Agustus 2011, mengatakan hukuman mati sebagai pelanggaran terhadap HAM dan konstitusi. Lalu pada bulan Oktober, telah diumumkan Presiden telah mengubah 19 hukuman mati antara 2004 dan 2011.

Kunjungan dan laporan Amnesty International

Delegasi Amnesty International mengunjungi Indonesia di bulan April, Mei, dan Oktober menyimpulkan Reformasi terhambat: Impunitas, diskriminasi dan pelanggaran oleh pasukan keamanan di Indonesia. (jir/don/l03)

Sumber: Jum’at, 24 Mei 2013 06:39, Binpa

Kesaksian AI Tentang Akuntabilitas Dan Pelanggaran HAM Oleh Polisi Di Papua

T. Kumar, Direktur Adokasi Internasional Amnesty International AS (tlhrc.house.gov)
T. Kumar, Direktur Adokasi Internasional Amnesty International AS (tlhrc.house.gov)

Jayapura – Penyelidikan terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat langka, dan polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan pelecehan dalam pemeriksaan.

T. Kumar, Direktur Adokasi Internasional Amnesty International AS memberikan kesaksiannya tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM di Indonesia di hadapan Komisi HAM Parlemen AS. Sebagian kesaksiannya itu, tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polisi di Papua. Berikut bagian tentang Papua dari kesaksian yang disampaiakan kemarin (Kamis, 23/5) waktu Washington DC.

“Amnesty International terus menerima laporan yang dapat dipercaya mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi di Indonesia, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penganiayaan, penggunaan kekuatan dan senjata api yang tidak perlu dan berlebihan saat melakukan penangkapan dan selama demonstrasi, dan kegagalan untuk melindungi korban pelanggaran hak asasi manusia.

Penyelidikan terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat langka, dan polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan pelecehan dalam pemeriksaan. Mekanisme disiplin internal kepolisian saat ini tidak memadai untuk menangani pelanggaran pidana yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan sering tidak diketahui oleh masyarakat. Selanjutnya, badan pengawasan eksternal kepolisian tidak memiliki wewenang yang memadai untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan.

Tujuh orang dilaporkan disiksa di Provinsi Papua pada Februari 2013 saat mereka diinterogasi oleh polisi tentang keberadaan dua aktivis pro-kemerdekaan. Menurut sumber yang dapat dipercaya, polisi berpakaian sipil secara sewenang-wenang menangkap Daniel Gobay dan dua pria lainnya pada pagi hari, 15 Februari 2013 di Depapre, Provinsi Papua. Ketiga orang itu pertama kali dipaksa merangkak sejauh 30 meter ke kantor polisi sektor Depapre dan kemudian pindah ke kantor polisi distrik Jayapura satu jam kemudian. Di sana mereka kemudian dipaksa untuk push-up, ditendang di wajah, kepala dan punggung, dan dipukuli dengan tongkat rotan. Polisi diduga menodongkan senjata ke kepala mereka, mulut dan telinga. Mereka diinterogasi sampai larut malam dan berlanjut pagi hari berikutnya.

Matan Klembiap dan tiga pria lain secara sewenang-wenang ditangkap secara terpisah oleh polisi berpakaian preman pada pagi hari 15 Februari di Depapre dan dibawa ke kantor polisi Jayapura kabupaten. Keempat orang juga dipaksa untuk push-up dan ditendang dan dipukuli dengan tongkat rotan dan balok kayu oleh petugas polisi. Salah seorang pria telah bersaksi di video bahwa polisi memberinya kejutan listrik.

Pada 16 Februari, lima dari orang-orang itu dibebaskan tanpa dakwaan, tapi Daniel Gobay dan Matan Klembiap ditahan polisi. Mereka tahan dengan tuduhan
“kepemilikan senjata tajam”
berdasarkan Peraturan Darurat No 12/1951 dan saat ini sedang menunggu sidang.

Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi terhadap demonstran di Papua:

Pada tanggal 23 Oktober 2012, sekitar 300 orang berkumpul untuk sebuah demonstrasi pro-kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di depan Universitas Negeri Papua di Manokwari, Provinsi Papua Barat. Polisi Sektor Manokwari dan personil militer mencegah mereka untuk melanjutkan sepanjang jalan. Menanggapi batu yang dilemparkan oleh beberapa pengunjuk rasa, polisi melepaskan tembakan tanpa pandang bulu, melepaskan tembakan ke udara dan ke arah kerumunan. Beberapa demonstran melaporkan bahwa mereka dipukuli oleh polisi.

Setidaknya sebelas demonstran dilaporkan terluka, empat dari mereka menderita luka tembak. Seorang wartawan, Oktovianus Pogau, yang sedang meliput demonstrasi, menyatakan bahwa ia diserang oleh polisi. Salah satu dari polisi memegang tenggorokannya sementara yang lain meninju wajahnya saat ia mencoba untuk mengambil kartu pers untuk ditunjukan kepada mereka. Setidaknya lima polisi juga dilaporkan menderita luka-luka. Indonesia belum sepenuhnya memasukkan definisi penyiksaan dalam KUHP nya, sehingga gagal memenuhi kewajibannya sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UNCAT). Kurangnya ketentuan-ketentuan hukum yang memadai mengenai

“tindakan penyiksaan” menciptakan celah yang memiliki konsekuensi yang menghancurkan. Ini tidak memberikan dasar hukum yang memadai di mana agen-agen negara dapat dibawa ke pengadilan. Lebih lanjut hukum gagal untuk memberikan efek jera untuk mencegah agen negara melakukan tindakan tersebut.”

(Jubi/Benny Mawel)

May 24, 2013,11:21,TJ

Papua Tertinggi Dalam Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan

Ditulis oleh Ant/Ida/Papos

JAKARTA [PAPOS] – Papua merupakan provinsi dengan jumlah kasus tertinggi kekerasan terhadap perempuan yakni mencapai 1.360 kasus untuk setiap 10.000 perempuan, kata Wakil Ketua Bidang Program Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Dr Margaretha Hanita.

“Papua sebenarnya yang tertinggi meskipun berbagai data menyebut DKI Jakarta adalah yang tertinggi,”

kata Margaretha pada Simposium “Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak: Peran Perempuan dalam Pendidikan dan Pembentukan Karakter Bangsa” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka (Uhamka) di Jakarta, Selasa.

Komnas Perempuan mencatat pada 2012 ada 1.699 kasus kekerasan terhadap perempuan di DKI Jakarta yang merupakan angka tertinggi dibanding provinsi lain, seperti Jawa Timur 1.593 kasus dan Jawa Barat 1.352 kasus, demikian pula data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dengan 30 pengaduan.

“Angka itu karena di Jakarta banyak perempuan yang berani mengadu dan lebih luasnya akses untuk mengajukan pengaduan,”

katanya.

Kebanyakan (56 persen) merupakan kasus kekerasan dalam rumah tangga, 24 persen kekerasan seksual, 18 persen perdagangan perempuan dan kasus lainnya dua persen, ujarnya.

Sementara itu, Direktur Pembinaan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ella Yulaelawati mengatakan, Indonesia memang masih memprihatinkan dalam masalah gender dimana pada 2012 Indonesia berada di peringkat 108 dari 169 negara dalam Indeks Pembangunan Gender.

“Indonesia juga tercatat merupakan negara pemasok terbesar perdagangan anak perempuan, antara lain untuk prostitusi, pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan eksploatatif lainnya,”

kata Ella.

Sementara itu Rektor Uhamka Prof Dr Suyatno mengatakan pemahaman tentang gender dan pemberdayaan perempuan sangat penting karena di tangan seorang ibulah generasi penerus bangsa dibentuk.

“Jika rumah tangga tidak dijaga agar harmonis dan nyaman bagi anak-anak, maka mereka tak betah dan akan mencari di luar rumah, akibatnya adalah generasi yang tidak memiliki karakter. Remaja-remaja yang jadi anggota geng motor itu antara lain karena keluarganya berantakan,” katanya. [ant/ida]

Terakhir diperbarui pada Selasa, 21 Mei 2013 23:44

Sumber: Selasa, 21 Mei 2013 23:40, Papos

Enhanced by Zemanta

Papua Masih ” Setia ” Hadir Dalam Laporan Tentang HAM Di Papua

Ilustrasi
Ilustrasi

Jayapura – Laporan Tahunan Amnesty International 2013 telah dirilis, Kamis (23/05) pagi. Papua masih “setia” hadir dalam catatan lembaga HAM internasional ini.

Josef Benedict, juru kampanye Amnesti Internasional (AI), kepada Jubi mengatakan pihak AI telah merilis laporan tahunannya. Indonesia tercatat dalam laporan tersebut sebagai negara yang aparat keamanannya terus menghadapi tuduhan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya serta penggunaan kekerasan dan senjata api yang berlebihan.

“Setidaknya 76 tahanan nurani (prisoners of conscience) tetap berada di balik jeruji. Intimidasi dan serangan terhadap minoritas agama makin marak. Hukum, kebijakan, dan praktik yang diskriminatif menghalangi perempuan dan anak perempuan dalam menikmati haknya, terutama, hak kesehatan seksual, dan reproduksi. Tidak ada kemajuan dalam membawa pelaku kejahatan HAM masa lalu ke hadapan hukum. Tidak ada eksekusi mati yang dilaporkan”

terang Josef, Kamis (23/05).

Lanjut Josef, pada bulan Mei tahun lalu, catatan HAM Indonesia ditinjau dalam Peninjauan Berkala Universal PBB (UN Universal Periodic Review). Pemerintah menolak beberapa rekomendasi kunci untuk meninjau undang-undang dan peraturan tertentu yang membatasi hak kebebasan berekspresi, berpikiran, berkeyakinan, dan beragama. Pada bulan Juli, Indonesia memaparkan laporannya pada Komite CEDAW (Komite untuk Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan). Pada bulan November, Indonesia mengadopsi Deklarasi HAM ASEAN, terlepas kekhawatiran besar bahwa deklarasi tersebut jatuh di bawah standar internasional. Kerangka kerja legislasi Indonesia tetap tidak memadai untuk bertindak atas tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang lainnya. Hukuman cambuk tetap digunakan sebagai bentuk hukuman di Provinsi Aceh untuk pelanggaran Shari’a. Setidaknya 45 orang dicambuk sepanjang tahun karena berjudi dan karena berduaan dengan seseorang dari lawan jenis yang bukan pasangan perkawinan atau kerabat (khalwat).

Khusus Papua, AI mencatat psukan keamanan Indonesia, termasuk polisi dan militer, dituduh melakukan pelanggaran HAM di Papua. Penyiksaan serta perlakuan sewenang-wenang, penggunaan kekerasan dan senjata api berlebihan dan kemungkinan pembunuhan di luar proses hukum dilaporkan terjadi. Dalam banyak kasus, pelaku tidak dibawa ke hadapan hukum dan korban tidak menerima reparasi.Pada bulan Juni, Mako Tabuni, aktivis politik Papua dan wakil ketua gerakan pro-kemerdekaan Komite Nasional Papua Barat (KNPB), ditembak mati oleh polisi di Waena, dekat Jayapura, Provinsi Papua. Polisi menuduh ia menolak penahanan. Tidak ada investigasi imparsial atau independen atas pembunuhan ini.

Juga pada bulan Juni, tentara menyerang sebuah desa di Wamena, Provinsi Papua, sebagai pembalasan atas meninggalnya dan lukanya dua aparat mereka. Mereka dilaporkan melepas tembakan secara membabi buta, menusuk puluhan orang dengan bayonet- mengakibatkan satu korban jiwa- dan membakar sejumlah rumah, bangunan, dan kendaraan. Pada bulan Agustus, aparat polisi dan militer di Pulau Yapen, Provinsi Papua, membubarkan paksa demonstrasi damai peringatan Hari Internasional Masyarakat Adat Dunia. Pasukan keamanan melepas tembakan ke udara dan menangkap secara sewenang-wenang setidaknya enam demonstran. Beberapa dilaporkan dipukuli saat ditangkap. Di bulan Agustus, aparat polisi dari Kabupaten Jayawijaya di Provinsi Papua secara sewenang-wenang menangkap dan diduga menampar, memukul, dan menendang lima pria dalam upaya mereka memaksa mengakui pembunuhan. Namun tidak ada investigasi yang berjalan atas pelanggaran ini.

Josef menambahkan AI mencatat lima aktivis politik Papua dituntut dengan dakwaan “makar” berdasarkan Pasal 106 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dijatuhi hukuman penjara tiga tahun karena keterlibatan mereka dalam Kongres Rakyat Papua III, sebuah pertemuan damai di Abepura pada Oktober 2011.

“Pembela HAM dan jurnalis terus mengalami intimidasi dan serangan akibat pekerjaan mereka. Pengamat internasional, termasuk LSM dan jurnalis, terus dihalangi atas akses bebas dan tidak terbatas atas wilayah Papua. Pengacara HAM Papua, Olga Hamadi, diancam setelah menginvestigasi tuduhan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang polisi dalam sebuah kasus pembunuhan di Wamena, Provinsi Papua. Tidak ada investigasi atas ancaman tersebut, dan bahaya atas keamanannya tetap ada.”

lanjut Josef. (Jubi/Benny Mawel)

May 24, 2013,01:06,TJ

Laporan AS Tentang HAM Di Indonesia Soroti Papua

Kongres Rakyat Papua III, berakhir dengan penyiksaan dan kekerasan oleh aparat keamanan (Dok. Jubi)
Kongres Rakyat Papua III, berakhir dengan penyiksaan dan kekerasan oleh aparat keamanan (Dok. Jubi)

Jayapura – Amerika Serikat (AS) menerbitkan laporan situasi HAM Indonesia sepanjang tahun 2012.

Laporan berbahasa Indonesia yang dirilis di laman website Keduataan Besar AS untuk Indonesia ini, ditulis dalam tujuh bagian yakni : 1) Menghargai Integritas Seseorang; 2) Menghargai Kebebasan Sipil; 3) Menghargai Hak Berpolitik; 4) Korupsi dan Kurangnya Transparansi di Pemerintahan; 5) Sikap Pemerintah Terhadap Investigasi Internasional dan Non-Pemerintahan atas Dugaan Pelanggaran HAM; 6) Diskriminasi, Pelecehan Sosial, dan Perdagangan Manusia; 7) Hak-Hak Pekerja.

Khusus untuk Papua, laporan ini menyebutkan walaupun UU Otonomi Khusus Papua mengizinkan pengibaran bendera yang menyimbolkan identitas budaya Papua, peraturan pemerintah melarang diperlihatkannya bendera Bintang Kejora di Papua, bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Bulan Sabit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Tidak ada laporan penangkapan baru yang berkaitan dengan diperlihatkannya bendera RMS atau bendera GAM. Namun, polisi terus memenjarakan individu karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di Papua. Menurut LSM tepercaya, antara bulan Juni dan September, pihak berwenang menangkap lebih dari 60 orang di Papua yang berkaitan dengan pelanggaran pengibaran bendera ini. Polisi menahan sebagian besar mereka satu hingga tiga hari sebelum membebaskan mereka.

Pemerintah Indonesia, disebutkan juga oleh laporan ini, terus melarang media, LSM dan pejabat pemerintahan asing untuk melakukan perjalanan ke provinsi Papua dan Papua Barat dengan mewajibkan mereka untuk meminta izin perjalanan melalui Menteri Luar Negeri atau kedutaan Indonesia. Pemerintah menyetujui beberapa permintaan dan menolak permintaan lainnya dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu keselamatan pengunjung asing.

Meski laporan ini menyebutkan kelompok separatis di Papua telah membunuh anggota pasukan keamanan dan melukai yang lainnya dalam beberapa serangan dan juga membunuh sejumlah warga Indonesia non-Papua yang bermigrasi ke Papuam namun laporan ini juga menyinggung sekian banyak peristiwa kekerasan dan pembunuhan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak dikenal di Papua dan Papua Barat. Seperti penyerang misterius yang oleh pejabat pemerintahan dan kontak HAM di duga dilakukan oleh pihak separatis Papua, pembunuhan beberapa warga pendatang non-Papua. Pada 22 Mei, pengemudi Syaiful Bahri meninggal di tangan seorang pembunuh misterius. Polisi menemukan serpihan jasadnya yang hangus terbakar di dalam mobil sewaan di pemakaman di Jayapura, Papua. Otopsi mengungkapkan bahwa pendatang dari Jawa tersebut kemungkinan besar meninggal setelah ditusuk berulang kali. Laporan ini juga mempertanyakan tindakan semena-mena aparat keamanan terhadap warga sipil, seperti penangkapan, penembakan, pembunuhan kilat, pembakaran rumah hingga penyiksaan yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia sepanjang tahun 2012. (Jubi/Victor Mambor)

May 16, 2013,12:13,TJ
Download Laporan Hak Asasi Manusia di Indonesia tahun 2012

Kongres AS Akan Bahas Praktek HAM Di Papua

James P. McGovern, anggota Kongres AS (flickr.com)
James P. McGovern, anggota Kongres AS (flickr.com)

Jayapura – Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua.

Kongres AS, terkait perkembangan demokrasi di Indonesia, merasa perlu membahas situasi HAM di Indonesia belakangan ini. Anggota Kongres akan menyelenggarakan sidang dengar pendapat (hearing) publik, untuk meninjau situasi hak asasi manusia di Indonesia dan kebijakan luar negeri AS berkaitan dengan pemilihan presiden dan parlemen di Indonesia pada tahun 2014. Hearing ini, sebagaimana rilis Komisi HAM Kongres AS yang diterima Jubi (16/05) akan diselenggarakan pada Hari Kamis, 23 Mei 2013 di Washington.

James P. McGovern, anggota Kongres AS, dalam rilis Komisi HAM Kongres AS tersebut mengatakan sistem politik Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat besar, termasuk desentralisasi signifikan kekuasaan kepada pemerintah daerah dan berkurangnya peran militer dalam urusan dalam negeri dan keamanan dalam negeri. Dalam konteks ini, perlindungan hak asasi manusia umumnya telah meningkat, termasuk di daerah dengan sejarah gerakan separatis seperti Aceh. Organisasi non-pemerintah juga telah berkembang, dan banyak orang Indonesia sekarang melihat demokrasi sebagai bagian dari identitas nasional mereka.

Meskipun demikian, situasi hak asasi manusia di Indonesia membutuhkan lebih banyak kemajuan.

“Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua. Laporan tentang praktek HAM di Indonesia selama tahun 2012 menunjukkan adanya kasus pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan, penyiksaan antara Juli 2011 dan Juni 2012 dan pembatasan kebebasan berekspresi, masih terjadi di Papua.”

kata anggota Kongres AS ini.

John Sifton (Direktur Advokasi Asia, Human Rights Watch), T. Kumar (Direktur Advokasi Internasional, Amnesty International USA) Sri Suparyati (Wakil Koordinator KontraS) dan Octovianus Mote (Universitas Yale Law School Fellow) akan memberikan kesaksian dalam hearing ini.

Hearing yang terbuka untuk umum ini, juga akan membahas isu intoleransi agama yang terwujud dalam intimidasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok agama, seperti Komunitas Ahmadiyah dan masyarakat Kristen di Jawa Barat. (Jubi/Victor Mambor)

May 16, 2013,08:39,TJ

Aksi 13 Mei Murni Tuntut Keadilan Masalah HAM di Papua

Beberapa elemen yang tergabung dalam Solidariotas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, saat jumpa pers di Abepura (Jubi/Eveerth)
Beberapa elemen yang tergabung dalam Solidariotas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, saat jumpa pers di Abepura (Jubi/Eveerth)

Jayapura — Solidaritas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, menyatakan aksi Senin, t 13 Mei 2013 adalah murni menuntut keadilan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bumi Cenderawasih. Namun aksi ini dilarang oleh aparat Kepolisian.

Seperti diketahui sebelumnya, Aksi Peringatan 1 Mei 2013 yang oleh Rakyat Papua dikenang sebagai Hari Peringatan 50 Tahun Aneksasi Wilayah Papua Barat (New Guinea) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sempat diperingati secara berbeda di beberapa tempat.

Namun dalam aksi-aksi peringatan itu, pihak aparat keamanan Indonesia (TNI/Polisi) telah melakukan rangkaian tindakan represif dan brutal terhadap setiap aksi yang dilakukan di beberapa daerah seperti, Sorong, Fak-fak, Biak, Nabire dan Timika.

“Pihak keamanan RI seolah berpegang teguh pada landasan klasik yang terus menjadi kontroversi hingga saat ini bahwa pada 1 Mei 1963 silam, Papua telah bergabung kembali ke dalam pangkuan Ibu pertiwi. Karena itu, otoritas wilayah NKRI mutlak harga mati dan tidak bisa diganggu gugat,”

ujar Wim Rocky Medlama, selaku Juru Bicara KNPB, di Abepura, Rabu(15/5).

Dijelaskan, pada malam menjelang peringatan hari Aneksasi 1 Mei 2013 di Sorong misalnya, sempat terjadi peristiwa tragis yang memakam korban. Dimana pihak keamanan Indonesia (gabungan Polisi/TNI) pada Jumat malam, 30 April 2013, telah melakukan penyerangan membabi buta terhadap warga Papua di sebuah kompleks di Aimas Sorong.

“Dalam aksi penyerangan itu, sejumlah warga mengalami luka-luka, termasuk dua orang Papua berusia muda tewas di tempat kejadian. Mereka adalah Abner Malagawa (20 thn) dan Thomas Blesia (28 thn) yang tewas akibat timah panas yang menerjang tubuh mereka,”

jelasnya.

Sedangkan seorang perempuan bernama Salomina Klaibin (37 thn) yang juga tertembus peluru, akhirnya meninggal dunia setelah sempat kritis saat menjalani operasi mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya pada salah satu rumah sakit di Sorong.

“Menanggapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia di berbagai wilayah Papua pada peringatan 1 Mei 2013, terlebih peristiwa tragis di Aimas Sorong, sejumlah aktivis Papua di Jayapura yang terdiri dari para pemuda dan mahasiswa lalu melakukan pertemuan koordinasi secara berturut-turut di beberapa tempat di sekitar Abepura. Pertemuan koorrdinasi kemudian lebih dititik beratkan pada upaya menanggapi peristiwa berdarah yang terjadi di Aimas Sorong,”

paparnya.

Dari sekian pertemuan yang dihadiri para aktivis yang berasal dari sejumlah organ gerakan dan organisasi mahasiswa, dihasilkan kesepakatan agar perlu menyikapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia atas rakyat Papua di Sorong dan beberapa daerah lain melalui aksi solidaritas peduli HAM.

“Aksi solidaritas dimaksud rencananya dilakukan dalam bentuk pemberian pernyaatan pers bersama dengan mengundang wartawan kemudian nantinya akan dilanjutkan dengan aksi protes bersama (demonstrasi massa) ke kantor MRP, DPRP atau ke Kantor Gubernur Papua,”

katanya.

Setelah melewati berbagai tahapan koordinasi, katanya, guna memuluskan rencana aksi demo pada Senin 13 Mei 2013, tim solidaritas aksi lalu membuat surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan kepada pihak Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kepolisian Resort Kota Jayapura. Surat itu kemudian dimasukan pada Jumat 10 Mei.

Dalam surat yang dimasukan ke pihak kepolisian itu, di dalamnya tertera beberapa nama penanggung jawab aksi seperti; Yason Ngelia dan Septi Maidodga selaku perwakilan BEM-MPM Uncen, Bovit Bofra selaku ketua Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Victor Yeimo sebagai ketua Komite Nasional Papua Barat/KNPB) dan Marthen Manggaprouw dari perwakilan West Papua National Autority (WPNA).

Kemudian, pada sore harinya dilanjutkan dengan pertemuan koordinasi lanjutan antara para aktivis yang tergabung dalam rencana aksi solidaritas.

Satu hari selepas surat pemberitahuan pelaksaan aksi dimasukan, pihak Polda Papua melalui staf bidang Intelijen dan keamanan (Intelkam) lalu menghubungi via phone dan meminta perwakilan penanggung jawab aksi untuk dapat bertemu direktur Intelkam Polda perihal aksi yang bakal digelar.

Bovit Bofra dan Yason Ngelia selaku perwakilan penanggung jawab aksi lalu memenuhi panggilan Markas Polda Papua yang berada di jantung Kota Jayapura, Sabtu 11 Mei, jam 09 pagi. Mereka bertemu direktur Bidang Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki.

Dalam pertemuan kecil yang berlangsung cukup alot dan tegang di ruang Direktur Intelkam Polda, Kombes Yakobus Marzuki meminta mereka mengklarifikasi rencana aksi yang bakal digelar.

“Selain mempersoalkan keabsahan organ-organ yang tergabung dalam aksi solidaritas karena keberadaanya tidak terdaftar di Badan Kesbangpol. Pihak Polda juga mempersoalkan surat pemberitahuan rencana aksi yang dianggap terlalu mempolitisasi keadaan karena berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat (kantibmas),”

ucapnya.

Sebab dalam isi surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan ke Polda Papua dan Polresta Jayapura itu disebutkan bahwa kasus penyerbuaan yang dilakukan pihak aparat gabungan TNI-Polisi di Aimas Sorong sebagai sebuah “tragedi kemanusiaan” karena menyebabkan rakyat sipil Papua menjadi korban.

Istilah “tragedi’ dalam isi surat itu menurut direktur Intelkam Polda Kombes Yakobus Marzuki) sangat tidak mendasar dan tidak bisa diterima. Sebaliknya, menurut dia, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Menurut dia, kelompok yang menjadi sasaran penyergapan di Aimas Sorong itu terindikasi kuat bakal membahayakan stabilitas keamanan Negara Indonesia lewat peringatan 1 Mei 2013. Setelah menyampaikan statemen demikian, Direktur Intelkam Polda Papua kemudian mengeluarkan selembar surat penolakan pelaksanaan aksi yang berlangsung pada Senin 13 Mei 2013.

Cuma saja, dalam isi surat penolakan itu hanya disebutkan nama Victor Yeimo selaku ketua KNPB yang menjadi penanggung jawab aksi. Padahal sesuai surat pemberitahuan aksi sebelumnya, jelas tercamtum beberapa nama penanggung jawab aksi yang mewakili organisasi mereka masing-masing.

Selain itu, Direktur Intelkam juga menegaskan sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, yang mengatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hanya akan menghambat proses pembangunan di Papua. Menanggapi peryataan itu, Bovit dan Yason lalu mengklarifikasi isi surat penolakan dari Polda Papua itu dan maksud rencana aksi yang hendak dilakukan. Namun tetap terjadi tawar menawar dengan berbagai argumentasi selama kurang lebih 20 menit.

Karena tidak ada kesepakatan bersama, akhirnya Bovit Bofra dan Yason Ngelia dengan terpaksa menegaskan komitmen mereka bahwa sesuai kesepakatan, aksi tetap akan dilakukan pada Senin 13 Mei 2013.

Namun, Direktur Intelkam juga menanggapi dengan menegaskan bahwa pihaknya (Polda Papua) tetap tidak mengijinkan dan menghendaki aksi itu dilakukan. Bila aksi tetap dipaksakan, para penanggung jawab aksi beserta massa yang terlibat siap menghadapi segala resiko yang terjadi, termasuk konsekuensi hukumnya. (Jubi/Eveerth)

May 15, 2013,20:33,TJ

Ruben Magay : Larang Demo, Polisi Tidak Profesional

Jayapura – Tindakan aparat yang melarang rakyat Papua demo ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan berujung ditangkapnya beberapa aktivis, serta sejumlah lainnya luka-luka, Senin (14/5) direspon Komisi A DPR Papua yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM.

Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magay menilai aksi aparat kepolisian itu masih menggunakan cara lama dan menggambarkan ketidak profesionalan mereka.

“Ini citra lama yang terjadi. Polisi tidak profesional mendorong jalannya demokrasi di Papua. Saat peristiwa terjadi kan massa ingin minta tanggungjawab polisi terkait kasus di Sorong. Tapi polisi menghadang massa saat akan mengadu ke MRP. Padahal MRP ini lembaga persentatif orang asli Papua,”

kata Ruben Magay, Selasa (14/5).

Menurutnya, sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di Papua membuat orang Papua semakin trauma. Padahal tugas polisi seharusnya mengayomi dan melindungi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Motto melindungi dan mengayomi tak ada lagi. Untuk itu ia berharap Kapolda dan Wakapolda Papua segera membenahi hal ini.

“Tindakan persuasif tidak jalan, tapi sudah dengan dh pendekatan represif. Ini yang membuat rakyat semakin tidak percaya polisi. Bahkan kalau bisa Kapolda dan Wakapolda diganti, karena belakang ini penembakan terjadi dimana-mana. Beberapa aktivis ditembak dan ini menggambarkan mereka tidak bisa mengatasi masalah. Saya pikir jika terus ada korban, dua orang ini lebih baik dipindahkan. Tugaskan orang yang lebih mengedepankan kemanuasian,”

ujarnya.

Dikatakan, serangkain kejadian di Papua justru mengundang simpati dunia luar. Papua bukan lagi seperti tahun 60an dimana saat itu masyarakat selalu diintimidasi. Saat ini apapun yang terjadi di Papua diikuti dunia internasional.

“Binatang saja punya hak hidup apalagi manusia. Jangan aparat yang ada di Papua melakukan tindakan anarkasi, pembunuhan dan lain-lain, karena pemerintah pusat akan pusing saat dunia luar menekan Indonesia dari sudut HAM dan demokrasi. Jadi reformasi Polisi harus dievaluasi,”

ujar Ruben Magay. (Jubi/Arjuna)

May 14, 2013,16:35,TJ

 

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny