Insiden Wamena dan Manokwari, Perlu Intervensi PBB

Forkorus bersama pasukan Petapa berseragam uniform yang merupakan seragam yang diduga sebagai penyebab kericuan di Wamena 3 hari laluSENTANI—Ke­tua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd menegaskan, kasus penembakan di Wamena yang menewaskan 1 anggota Penajaga Tanah Papua (Petapa) yakni Ismail Lokobal, dan juga yang sebelumnya di Manokwari harus mendapat intervensi dunia internasional.

Bahkan atas nama Ketua Dewan Adat Papua Forkorus mengutuk keras 2 aksi penembakan tersebut. Menurut Forkorus, apa yang dikeluhkan kepada dunia saat ini terkait crime against humanity terhadap rakyat Papua benar-benar memang sedang terjadi, dan contoh kecil dua penembakan tersebut adalah bukti yang mengarah kepada slow motion genocide.

Karena menurut Forkorus hukum Negara Indonesia tidak akan mungkin mengungkapkan kasus penembakan tersebut karena buktinya Opinus Tabuni yang ditembak di depan mata kepala Forkorus beberapa waktu lalu saja tidak pernah terungkap sampai hari ini. Padahal dirinya sudah berulang kali memberikan kesaksian di Polda Papua, dan hal ini menjadi indicator bahwa hukum Indonesia tidak berpihak kepada rakyat Papua.

Oleh karena itu, Forkorus meminta secara tegas agar Amerika mengintervensi kasus penembakan tersebut. Forkorus mengaku sudah meminta perhatian kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta pasca penembakan tersebut, untuk secara serius mengintervensi kasus ini.

“Mana anda bilang tidak ada geniside, ini bukti, Serui, Manokwari dan Wamena 3 kasus beruntun yang terjadi secara berturut-turut belakangan ini,”

ujar Forkorus yang me­ngaku menyampaikan hal tersebut dihadapan Kedube AS untuk Indonesia.

Menyoal tentang modus penembakan tersebut yang berawal dari disitanya pakain uniform milik pasukan Petapa oleh Polisi saat tiba di bandara Wamena Forkorus menegaskan itu sebenanrnya merupakan kebebasan bangsa pribumi yang disahkan oleh PBB 13 September 2007 tetantang Deklarasi hak-hak bangsa pribumi jadi menurut Forkorus Indonesi jangan lagi main-main dengan hasil putusan deklarasi tersebut.

“Kami bebas menentukan nasib sendiri berdasarkan hak itu, bebas untuk berpolitik, berekonomi dan berbudaya, dan tidak boleh ada yang melarang, sebab jika dilarang itu sama halnya dengan telah melanggar hukum internasional,” ujarnya.

Menurutnya, tindakan Polisi itu sudah berlebihan, karena Indonesia merupakan salah satu anggota PBB yang harus mematuhi hukum internasional. Oleh sebab itu secara tegas lagi Forkorus mengatakan, harus ada intervensi PBB, karena hal ini merupakan perilaku dan system yang sudah tidak bisa dirubah, sejak 49 tahun yang lalu. (jim)

1 Orang Tewas Ditembak Polri, 5 Orang Terluka dan 4 Orang ditahan di Wamena, West Papua

[WAMENA – PMNews] – Dari Wamena Masyarat Adat Papua melaporkan telah terjadi kekerasan Polisi Republik Indonesia terhadap masyarakat Melanesia di West Papua pada pagi hari mulai dari sejak pukul 7:00 WPT (West Papua Time – Waktu West Papua) menyangkut kasus penembakan terhadap satu orang bernama Ismael Lokobal dan penembakan lima orang lainnya masing-masing atas nama:
1. Amos Wetipo;
2. Frans Lokobal
3. Petrus Asso
4. Artik Wetipo, dan
5. Piter Asso

Kelimanya dilarikan ke Rumah Sakit dan kini berada di Rumah Sakit Daearah Wamena.

Di samping itu, empat orang lainnya juga dilaporkan ditahan oleh Polisi Indonesia [nama-namanya belum diidentifikasi].

***

Peristiwa penembakan dan pembunuhan serta penahanan semena-mena oleh aparat kepolisian neo-kolonial Indonesia ini bermula dari pemeriksaan dan penahanan atribut PETAPA (Penjaga Tanah Papua) yang dilakukan oleh Petugas polisi Indonesia di Bandara Wamena saat Masyarakat Adat membawa atribut mereka dari Ibukota Port Numbay. Masyarakat menjelaskan bahwa barang-barang yang diangkut sejumlah dua karung plastik (bekas karung beras 50kg) itu hanyalah atribut Pertapa, sama dengan atribut kelompok massa lainnya di Indonesia seperti Satgas Ansor, Satgas Bendera, dan Satgas lainnya yang merajalela di Indonesia. Alasan Masyarkat Adat ditolak tegas petugas polisi Indonesia dan menahan kedua karung atribut Petapa dimaksud.

Menanggapi kegagalan bernegosiasi secara manusiawi yang ditolak polisi Indonesia, dan sebagai reaksi terhadap tindakan semena-mena dan diskriminativ dimaksud, Masyarakat Adat pulang ke basis masyarakat dan mengumpulkan masa serta melakukan tindakan pemaksaan untuk mengambil atribut mereka yang telah ditahan polisi Indonesia. Akan tetapi polisi Indonesia membalas dengan tembakan membabi-buta. Masyarakat-pun melarikan diri. Sementara itu terjadi, petugas yang dikhususkan untuk mengambil kedua karung atribut tadi berhasi melakukan tugas mereka membawa lari kedua karung dimaksud ke arah yang telah diperintahkan.

Begitu diketahui kedua karung yang ditahan telah dibawa lari, polisi Indonesia bertambah kejam dan bertindak brutal. Bukti kebrutalan Polisi Indonesia tersebut ialah penembakan yang mengakibatkan seorang meninggal dunia dan empat orang lainnya dirumah-sakitkan. Tidak sampai di situ empat orang lainnya ditahan semena-mena dan kini nasib dan kondisi mereka tidak diketahui. [Yang sudah diketahui selama pendudukan NKRI di Tanah Papua ialah mereka disiksa dengan berbagai cara seperti pencabutan kuku dengan tang, penyeteroman dengna listrik, pemotongan telinga, dan pemotongan dengan silet cukur atau pisau serta penendangan, pemukulan dan paludahan terhadap masyarakat adat Papua.]

Masyarakat Adatpun terus melakukan pembalasan, tetapi tidak dengan alat-alat tajam, atau alat perang masyarakat setempat, namun dengan melemparkan batu dan kayu. Akibatnya lemparan masyarakat mengenai Kapolres Wamena.

Pertikaian tidak seimbang, satu lengkap dengan aalt negara dan perangkat militer, satu pihak hanya masyarakat adat yang menuntut atribut adat mereka dikembalikan berakhir secara tidak seimbang.[at]

Anggota DPR Diaz Gwijangge: Hentikan Menembak Warga!

Kepada Yth.
Pimpinan Redaksi Media Cetak & Elektronik
di
Tempat

Hal : Media Release

Anggota DPR Diaz Gwijangge: Hentikan Menembak Warga!

Jakarta-Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik asal Papua Diaz Gwijangge meminta aparat keamanan baik polisi maupun tentara yang bertugas tanah Papua untuk segera berhenti menembak warga dalam merespon setiap aksi protes mereka.

“Saya heran, setiap bulan sepertinya ada saja warga masyarakat yang ditembak mati gara-gara melakukan aksi protes. Langkah itu justru akan semakin menguburkan kerja keras dan niat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama jajaran kabinet, dan rakyat untuk membangun Papua yang lebih, aman, damai, sejahtera, dan bermartabat,” ujar Diaz Gwijangge usai Rapat Dengar Pendapat Komisi X DPR dengan Wakil Menteri Pendidikan Nasional dan jajarannya di Gedung DPR/MPR Senayan, Jakarta, Senin, 4/10.

Menurut Diaz, informasi yang ia terima dari Wamena, Papua, menyebutkan, Senin, (4/10 2010) sekitar pukul 07.00 WIT, sejumlah orang mendatangi Markas Kepolisian Sektor KP3 Bandara Wamena setelah mendengar jika ada rekannya yang diduga anggota Dewan Adat Papua (sebelumnya disebut Penjaga Tanah Papua/Petapa) ditahan aparat Polsek KP3.

“Kabarnya ada keributan di Mapolsek KP3 Bandara Wamena. Mereka berunjuk rasa karena kesal dengan aparat polisi yang mengambil dan mengamankan paket dari pesawat Trigana PK YRK milik rekan mereka. Padahal, paket itu isinya baju seragam dan baret, serta dokumen DAP. Aksi itu berbuntut tewasnya Ismael Lokobal. Dua orang yakni Amos dan Wetipo Frans Lokobal terluka akibat terkena peluru aparat,” lanjut Diaz.
Lebih jauh dikatakan, pendekatan militer dalam penyelesaian berbagai aksi unjuk rasa hingga mengakibatkan rakyat jadi tumbal akan semakin menambah daftar panjang pelangaran HAM di tanah Papua oleh aparat keamanan.

Legislator ini menyayangkan insiden penembakan tersebut karena sepertinya aparat keamanan yang bertugas di Papua berlomba-lomba melakukan kejahatan kemanusiaan dengan menembaki warga sipil.
”Aparat keamanan baik polisi maupun TNI sejatinya harus memahami tugas pokok dan fungsi menurut Undang-Undang. Jika aparat keamanan tidak memahaminya secara benar maka rakyat yang akan menjadi korban kapan saja. Ini sangat berbahaya,” tegasnya.

Menurut Diaz, kasus penembakan warga sipil oleh aparat kepolisian bukan kali ini. Insiden yang merenggut nyawa Naftali Kwan dan Septinus Kwan di Manokwari belum lama belum diketahui penyelesaiannya.

”Sekarang terjadi di Wamena. Ini menjadi tanda tanya mengapa penembakan warga sipil yang dilakukan aparat keamanan terus beranak pinak. Saya minta warga mewaspadai hal ini,”

kata Diaz.

Pihaknya mengapresiasi langkah Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yoboisembut bersama masyarakat dan Dewan Adat Papua Jayawijaya duduk bersama guna mencari jalan dalmai terkait insiden tersebut. Meskipun, proses hukum tetap ditempuh.

Catatan: Untuk keterangan lebih lanjut hubungi Bapak Diaz Gwijangge di telp. (021) 5756354 atau hp. 0852-8636-0001)

DUA POSKO MASYARAKAT ADAT KOTEKA DI WAMENA DI BAKAR

Sekilas Info, 26 Agustus 2010.

Dua Posko masyarakat adat koteka milik Dewan Adat Wilayah Mbaliem di bakar oleh pihak Inteligant Indonesia. Posko adat tersebut adalah tempat masyarakat adat koteka melakukan rapat-rapat khusus guna membahas soal-soal masyakat adat koteka di Mbaliem Wamena.

Posko masyarakat adat koteka milik Dewan Adat yang di ketuai oleh Lemok Mabel ini ada dua masing-masing di dua lokasi, lokasi yang pertama di Woma arah timur dari pemukiman letak kota Mbaliem yang satunya di Pompa Bensin yaitu dekat jantung kota Wamena. Posko adat yang di bangun di Woma agak tua fisiknya dan yang baru di bangun di Pompa Bensin keduanya nyaris di bakar oleh inteligent Indonesia.

Menurut saksi mata seorang putri mengatakan bahwa hamper dua minggu belakangan ini ada beberapa motor yang di kendarai oleh beberapa orang pendantang (amber dalam kosa kata orang Papua) mereka selalu lalu lalang dan memantau keberadaan Posko tersebut dan mengambil gambar pembangunan fisik posko itu melalui Mobille Phone, dan kemarin sore ada dua mobil yang berkaca gelap parkir di depan jalan posko tesebut kurang lebih 10 menit lamanya.

Kemudian tidak lama pada jam 1:37 malam atau subuh pagi terdengar teriakan orang-orang di sekitar areal posko tersebut bahwa ada kebarakan posko namun pelakunya tidak di temukan, pembakan posko tersebut di lakukan bersamaan dengan pembakaran posko tua yang letaknya di Woma. Hingga detik ini kejadian tersebut membuat seluruh satuan tugas koteka (satgas koteka) melakukan konfoi jalan dan melakukan pengamanan di di wilayah Mbaliem dan kususnya di Woma dan Pompa bensin kama.

Lemok Mabel sebagai ketua dewan adat mengerahkan SATGAS koteka dengan maksud untuk mencari tau siapa pelaku dari pembakaran posko milik masyarakat adat tersebut dan juga memberikan pemahaman kepada seluruh masyarakat adat yang berada di wilayah Mbaliem agar tidak terpancing dengan situasi tersebut, karena hal demikian adalah karakter inteligent indonesia untuk menkreasikan persoalan dan untuk menghadirkan konflik sosial di tingkat masyarakt koteka. Kita sekalian mengetahui bahwa NKRI sudah kehilangan akal untuk mempertahankan krediblitasnya di West Papua karena akhir-akhir ini NKRI di sorot habis-habisan oleh kalangan international yang mendukung perjuangan kemerdekaan bagi West Papua.

Yang saat ini bisa NKRI lakukan adalah melakukan konflik-konflik horisontal di kalangan basis-basis perjuangan West Papua yang di anggap radikal seperti di wilayah Mbaliem Wamena, Puncak Jaya, dan wilayah-wilayah lain di seluruh West Papua, dengan satu maksud adalah membingungkan kesadaran dan vokus orang West Papua terhadap perjuangan kemerdekaan. Maka jika taktik NKRI ini bisa di halau oleh kekebalan mental orang West Papua untuk mengatasinya maka NKRI akan SELESAI dari BUMI CENDRAWASIH.

Singkatnya saat ini keberadaan dan kehidupan ROH NKRI di West Papua hanya berwnafas taktik kotor, NKRI hidup di West Papua bukan karena rakyat West Papua mencintai NKRI yang berdasarkan idiologi pancasila berbasis adat jawa yang berlambang burung garuda, padi dan kapas dll itu? Coba bayangkan negara yang tidak tau malu dengan nasionlisme yang sempit itu ingin mencoba merongrong sebuah bangsa yang memiliki kekebalan hukum-hukum adat yang sudah di tetapkan dahulu kala oleh sang Pencipta. Maka sudah pasti bahwa NKRI secara sejarah, idiologi dan Nasionalis tidak akan bertahan lama di West Papua, tetapi dia akan bertahan lama hanya dengan taktik-taktik kotor contohnya seperti pembakaran Posko, Penculikan, Pembunuhan, Pencurian, Pemerkosahan dll yang bersifat negatif namun dunia ini telah berubah wujudnya dari purba maka apapun yang terjadi pasti dapat di deteksi dan dapat di nilai secara jelas oleh bangsa-bangsa lain di dunia bahwa sebenarnya siapa NKRI dalam karakter bangsa dan siapa NKRI dalam tulisan diplomasih saat ini.

Demikian dan terimakasih.

18 Warga Suku Terasing Ditangkap

JAYAPURA — Aparat kepolisian Waropen menangkap 18 orang warga suku terasing di Kabupaten Waropen. Mereka ditangkap dengan dugaan terlibat dalam aksi pengrusakan Kantor KPU Waropen pada 2 Juli lalu. Mereka marah lantaran kecewa dengan sikap KPU Waropen yang dinilai tidak memenuhi tuntutan mereka agar mau menjelaskan alasan tidak lolosnya pasangan Drs. Ones J Ramandey dan Drs. Zet Tanati dalam proses verifikasi.

Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua saat ini turun tangan guna menelisik peyebab kisruh pemilukada Waropen ini, terutama berkaitan dugaan sejumlah tahanan sakit karena menerima perlakuan kasar. "Atas kewenangan yang diberikan undang-undang, maka Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua menindaklanjuti laporan pengaduan atas proses verifikasi calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen Tahun 2010 yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Waropen terhadap tujuh bakal calon Bupati dan Wakil Bupati yang diumumkan 1 Juli 2010 lalu," ungkap Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, Matius Murib dalam keterangan persnya di Kantor Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua, kemarin (13/7).

Dijelaskan Matius, dari informasi yang diperoleh dari warga yang ditangkap, sebenarnya mereka tidak mau melakukan pengrusakan. Tapi karena ketua dan anggota KPU Waropen terkesan menghindar dan tidak mau peduli atas permintaan warga agar KPU Waropen menjelaskan kenapa pasangan yang didukungnya itu tidak lolos dalam verifikasi, sehingga mereka kemudian melakukan pengrusakan.

Komnas HAM mempertanyakan penangkapan 18 warga suku pedalaman itu. "Mereka kan korban dari politik, bukan para pelaku politik murni. Seharusnya semua tahanan diperlakukan sama. Itu namanya sudah pelanggaran HAM, sebagaimana didalam UU 39 Tahun 199 pasal, 17, 18 dan pasal 43," tegasnya yang didampingi oleh dua anggota Komnas HAM lainnya, yakni Johari dan Adriana Wally.

Matisu membeberkan kronologis kejadian. Dijelaskan, kasus ini bermula dari pengumuman hasil pleno verifikasi bakal calon bupati dan wakil bupati Waropen Tahun 2010 1 Juli 2010 lalu yang membuat Tim Sukses dan partai pengusung Balon Bupati Drs. Ones J Ramandei dan Wakil Bupati Set Tanati, mengirim surat kepada Polres Waropen untuk melakukan aksi unjuk rasa sebagai tanda protes atas hasil verifikasi yang diumumkan oleh KPU Waropen. Oleh pihak Polres Waropen surat ijin/pemberitahuan tersebut dinilai tidak lengkap sebab tidak mencantumkan jumlah massa dan apa tuntutannya.

Pengumuman hasil verifikasi itu dikirim lewat surat kepada bakal calon. Atas pengumuman hasil verifikasi tersebut, terjadi aksi orasi secara spontanitas. Atas sikap reaktif kelompok masyarakat maka tanggal 1 Juli 2010, Polres Waropen melakukan evakuasi terhadap 5 orang Anggota KPU untuk diamankan di Kantor Polres Waropen. Kemudian 2 Juli 2010, patut diduga terjadi mobilisasi massa menggunakan kendaraan roda empat dengan membawa alat panah, parang dalam melakukan aksi yang ditujukan ke kantor KPU Kabupaten Waropen.

Aksi massa yang di tujukan ke Kantor KPU tidak dapat dihalangi oleh pihak Kepolisian. Kemudian massa Atas aksi penyerangan ke Kantor KPU mengakibatkan kerusakan kaca lover pecah dan dinding kantor mengalami kerusakan, dan sejumlah kursi rusak. Atas aksi brutal warga masyarakat sipil yang tidak mendapat keterangan dari KPU Waropen, maka pihak Polres mengeluarkan tembakan peringatan. Sebab ada perkelahian antara kelompok masyarakat sipil.

Setelah melakukan aksi di kantor KPU, warga masyarakat sempat berkumpul di Kantor Koramil Waropen dan berbincang dengan DANRAMIL Waropen, yang sempat memberikan arahan kepada masyarakat sipil. Namun datang seorang anggota TNI dan mengusir masyarakat keluar dari halaman kantor Koramil. Saat berada di jalan terjadi insiden perkelahian antara Ivan Imbiri dan Ferat Imbiri akibat perselisihan pendapat diantara mereka berdua, dan bukan perkelahian dengan kelompok masyarakat di luar. Saat itu polisi datang dan mengambil langkah pengamanan yang diduga represif kepada masyarakat sipil dalam kelompok aksi demonstrasi tersebut yang mengakibatkan sejumlah orang mengalami luka dan penganiayaan.

Berikutnya pada 3 Juli 2010, Kapolres melakukan dengar pendapat dengan DPRD, dan Kapolres menyampaikan kronologi kejadian. Dan melakukan koordinasi dengan KPU, Panwas tentang pencabutan nomor urut dan atas permintaan KPU dan Panwas agar pencabutan nomor urut dilakukan di Kantor Polres. Meski Kapolres mengusulkan agar pencabutan dilakukan di DPRD Waropen. Dengan pertimbangan situasi keamanan yang belum normal dan kewenangan diskresi kepolisian, maka dilakukan pencabutan nomor urut pada tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen yang diamankan oleh 3 pleton Dalmas.

Atas insiden tanggal 2 Juli 2010, Polisi mengamankan 18 warga dengan sejumlah barang bukti untuk diproses hukum. Dua orang diantaranya dikembalikan sebab tidak cukup bukti, sedangkan dua orang perempuan yang terlibat dalam aksi tersebut atas pertimbangan khusus maka dilepas, namun yang bersangkutan wajib lapor setiap hari kepada Polisi.

Diantara mereka yang diamankan memiliki Kartu Tanda Anggota Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN OPM). Terhadap permasalahan itu, kata Murib, bahwa, pihaknya menemukan sejumlah masalah, diantaranya, pertama, penyelengaraan pemerintahan dan pelayanan publik di Kabupaten Waropen tidak berjalan normal pasca pengumuman hasil verifikasi bakal calon Bupati dan Wakil Bupati oleh KPU Waropen pada 1 Juli 2010 itu.

Dikatkan juga, berdasarkan pantauan Komnas HAM, pengendalian situasi keamanan belum mengedepankan pola-pola komunikasi yang persuasif demi menghindari terjadinya gesekan antara kelompok yang mengakibatkan keterlibatan pihak kepolisian. Matius berharap, pihak Kepolisian Resort Waropen harus bisa memberikan rasa aman kepada KPU untuk bekerja di Kantor KPU bukan sebaliknya aktivitas, jadwal KPU dilakukan di Kantor Polres Waropen.

Disebutkan juga, terdapat beberapa tahanan yang mengalami sakit yang diduga akibat tindakan represif aparat kepolisian pada tanggal 2 Juli 2010. Kelima, kantor KPU dalam keadaan rusak dan beberapa kaca jendela, kursi serta ruangan berantakan, dan kini sedang dipasang tanda larangan Polisi, sehingga tidak ada aktivitas KPU.

Ditambahkannya, berdasarkan Keputusan Ketua Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Waropen, Nomor: 01/Kpts/KPU-KW/2010, tentang Perubahan tahapan program dan jadwal waktu penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah Kabupaten Waropen Tahun 2010, patut diduga KPU tidak memberikan kesempatan perbaikan kepada partai pengusung atau calon perseorangan untuk melakukan perbaikan atas hasil verifikasi yang dilakukan oleh KPU.

Selian itu disebutkan juga, parpol pengusung yang memiliki dua versi kepengurusan tidak dilibatkan dalam melakukan uji keabsahan kepengurusan sebagai mana ketentuan Pasal 7 Peraturan KPU Nomor 68 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa yang berhak mengusung pasangan calon adalah kepengurusan partai politik di tingkatan itu. Apakah kepengurusan itu absah/ legitimate? Berdasarkan Pasal 50 ayat 2 Peraturan KPU 68 Tahun 2009 dicek siapa yang berwenang mengesahkan kepengurusan di tingkat kabupaten, kemudian dicek apakah pengurus Provinsi sah atau tidak, dan kemudian mengecek keabsahan pengurus pusat dengan merujuk pada Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM yang terakhir.

"Komnas HAM Perwakilan Provinsi Papua telah mengeluarkan rekomendasi untuk disampaikan kepada pihak terkait, yang isinya pertama, mendesak KPU Provinsi Papua dan KPU Pusat di Jakarta untuk segera melakukan klarifikasi antara KPU Waropen dan Partai Pengusung PAN yang hak politik untuk mengusung kandidat bakal calon Bupati dan Wakil Bupati Waropen tahun 2010 dihilangkan oleh KPU Waropen," ujarnya.

Rekomendasi kedua, patut diduga KPU Waropen tidak melaksanakan verifikasi berdasarkan jadwal dan mekanisme yang di tetapkan oleh KPU Waropen sehingga berpotensi terjadi diskriminasi. Dan agar Polres Waropen memberikan jaminan hak-hak para tahanan dalam mendapat pengobatan.

"Patut diduga Polres Waropen melakukan tindakan intervensi dalam pelaksanaan tahapan pemilukada, pencabutan nomor urut Calon Bupati dan Wakil Bupati tanggal 3 Juli 2010, di Kantor Polres Waropen sehingga diminta kepada Kapolda Papua untuk memberikan arahan kepada Kapolres Waropen," ungkapnya.

Komnas HAM berharap Bupati dan Muspida Kabupaten Waropen untuk dapat berkoordinasi secara baik, demi tercipta situasi keamanan dan pelayanan publik yang kondusif bagi terpenuhinya hak-hak masyarakat di Kabupaten Waropen. Terhadap para tahanan yang diduga melakukan tindakan kriminal untuk diminta agar ditangani secara hukum dengan cara profesional dengan memperhatikan kondisi sosial budaya masyarakat Waropen. Terutama mereka yang mayoritas berasal dari masyarakat suku terasing (Demisa di Botawa).

Terakhir, Komnas HAM berharap, jika sengketa Pemilukada seharusnya dibawa saja ke ranah hukum, jangan dengan membuat gerakan massa yang pada akhirnya merugikan masyarakat sendiri. (nls/fud/sam/jpnn)

Rakyat Papua Jangan Pusing Dengan SK MRP

ASMAT [PAPOS]- Pengusulan PP untuk SK MRP kepada Mendagri yang hingga saat ini belum mendapat respon dari pemerintah pusat tidak perlu harus dipusingkan, yang berakibat terganggunya pelaksanaan Pemilukada di Tanah Papua.

Hal itu dikatakan Dewan Adat Wilayah (DAP) Wilayah V, Salmon Kadam kepada Papua Pos, Sabtu [5/6] menanggapi perjuangan Pansus Pilkada DPRP di Jakarta yang tidak ada hasilnya.

Dia berharap agar rakyat Papua jangan terjebak dalam permainan elit-elit politik, tetapi harus jeli melihat

perubahan politik global yang sedang terjadi.

Menurut Kadam, Otonomi khusus Papua selama 10 tahun tidak berjalan mulus karena dipaksakan, maka keluarnya SK MRP nomor 14 tahun 2009 yang merupakan penjabaran Otsus nomor 21 tahun 2001 tersebut jangan dipaksakan karena akan dipermainkan lagi di Jakarta.

“ Kami DAP membaca sikap pemerintah pusat saat Kongres di Jayapura awal tahun 2000 lalu atau saat pengusulan Otsus untuk Papua seolah-olah terpaksa dibrikan,” ucapnya.

Sehingga MRP seharusnya mengurusi hak-hak dasar orang Papua. “ Jangan tergiur oleh uang otsus dan isu perpecahaan karena alasan politik antar pejabat orang Papua,” tambahnya.

Ia menilai aturan tersebut bukan aspirasi rakyat Papua tetapi aspirasi pejabat gila uang Otsus. “Pejabat pro SK MRP  ingin mengkancing pejabat pro rakyat,” terangnya. Sehingga usulan ini bukan murni dari rakyat Papua.

Kadam juga mengatakan, jika aturan ini disahkan dan diberlakukan atau tidak dalam ajang Pemilukada sekarang tidak ada masalah, sebab urusan politik Papua bukan urusan Indonesia. Sehingga SK MRP dikaitkan dengan politik Papua merdeka, karena urusan politik Papua merdeka itu sejak 27 November 2009 sudah diserahkan kepada pihak Internasional.

“Para pejabat Papua jika mau berbicara berpihak pada orang asli Papua dalam rangka proteksi maka itu omong kosong. Kami (DAP) sudah serahkan agar urusan proteksi kepada orang Papua itu agar diurus oleh Badan Hukum Internasional,” tegasnya.

Menurutnya, salah satu Menteri Luar Negeri dari Negara Pasifik  ykni Inaury sudah menyerahkan kepada pihak

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Amerika Serikat.

Sementara itu Bupati Kabupaten Asma, Yuvensius A Biakai, BA, SH kepada media ini menyayangkan sikap MRP yang ngotot memperjuangkan SK No 14 tersebut. baginya apa yang diperbuat oleh MRP sungguh sangat tidak rasional. Sebab sikap yang ditunjukan dalam SK MRP itu berarti diskriminasi terhadap warga non Papua. Seharusnya MRP bisa masuk dalam koridor tugas dan fungsi mereka, bukannya mengurusi masalah politik.

“Lebih baik MRP mengurus masalah budaya orang Papua yang sudah mulai punah, bagaimana cara mengembalikan adat dan budaya yang sudah mulai punah agar generasi penerus bangsa bisa mengenali budaya asli Papua. Saya rasa ini cuma permainan politik orang MRP saja, kita lihat saja banyak orang Papua yang memimpin suatu kabupaten tetapi hasil akhirnya apa “bui”. Saya tidak mengerti jalan pikiran MRP,”ungkapnya.

Biakai yang merupakan orang asli Papua yang berasal dari Asmat mengingkan MRP melihat kehadiran pendatang di Papua membawa perubahan. Banyak sekali mengalami perubahan dan membantu orang asli Papua. “ Kadang kala orang non Papua mempunyai hati yang tulus untuk membangun Papua dari pada orang Papua asli. Itu yang harus diperhatikan oleh MRP, pintanya.[cr-57]

Ditulis oleh Cr-57/Papos  
Senin, 07 Juni 2010 00:00

Keputusan MRP Dituntut Diakomodir

Technorati Tags: ,,

Puluhan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Forum Lintas Nusantara, Kamis (25/3) kemarin mendatangi kantor DPR Papua

JAYAPURA [PAPOS]- Puluhan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Forum Lintas Nusantara, Kamis (25/3) kemarin mendatangi kantor DPR Papua dengan menggelar unjuk rasa.

Kedatangan puluhan orang dari Forum Lintas Nusantara yang didalamnya tergabung beberapa element organisasi kemasyarakatan mendatangi Gedung DPR Papua, menuntut agar keputusan maupun rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP) nomor 14 tahun 2009 dapat diakomodir DPRP, Gubernur, KPU maupun MRP sendiri.

Tiba dihalaman Gedung DPRP sekitar pukul 13.30 WIT, puluhan mahasiswa dan masyarakat langsung menggelar orasi yang meminta agar hak-hak dasar orang asli Papua dapat diperhatikan pemerintah, serta mengakomodir Keputusan MRP terkait dengan Kepala Daerah dalam Pemilukada mendatang.

Dengan membawa sejumlah spanduk yang mendesak Gubernur, DPRP, KPU dan MRP menyelesaikan Otsus dengan baik, mendesak seluruh partai politik di Papua dan Papua Barat untuk mengakomodir orang asli Papua sebagai syarat khusus perekrutan calon Bupati dan wakil Bupati maupun Walikota dan Wakil Walikota pada Pemilukada 2010, serta mendesak Presiden SBY untuk mengembalikan hak politik orang Papua.

Sekitar satu jam lamanya, akhirnya para demonstran diterima Sekretaris Komisi E DPRP Kenius Kogoya didampingi Cris Risamasu anggota Komisi D dan anggota Komisi A Harun.

Koordinator Aksi, Maulana mengatakan, Ketetapan MRP nomor 14 tahun 2009 merupakan dasar dari UU Otsus Nomor 21 tahun 2001, dan hal itu haruslah dihargai pemerintah maupun partai politik, guna memproteksi orang asli Papua.

Dewan Adat Biak Gelar Temu Raya

BIAK-Dewan Adat Biak menggelar acara temu raya selama tiga hari berturut-turut sejak Jumat (23/10) kemarin. Acara yang dihadiri 300 orang masyarakat adat Biak termasuk mereka yang dari luar Kabupaten Biak Numfor ini, pada dasarnya membahas dan mengevaluasi berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat, khususnya yang terkait dengan masalah sosial kemasyarakat dan adat.

Ketua Dewan Adat Biak Mananwir Beba Yan Piet Yarangga mengatakan, temu raya ini akan menghasilkan sejumlah kesepakatan dan rekomendasi program yang dapat bermanfaat bagi masyarakat adat Biak khususnya, serta semua masyarakat yang ada di Papua umumnya.

Suku Felle Ancam Palang Bandara

AKBP Mathius D Fakhiri, Kapolres
AKBP Mathius D Fakhiri, Kapolres

SENTANI-Ini suatu kabar tidak mengenakkan bagi warga yang akan bepergian hari ini dengan menggunakan pesawat udara. Soalnya, Bandar Udara (Bandara) Sentani, diancam bakal diduduki (dipalang) pagi ini pukul 07.00 WIT. Ancaman pemalangan ini datang dari masyarakat suku Felle yang mengaku sebagai salah satu pemilik hak ulayat di sebagian areal bandara. Suku Felle merasa ada hak-hak mereka yang terabaikan.

Ancaman palang ini disampaikan melalui sebuah surat pemberitahuan yang diberikan ke Kapolres Jayapura.

Mereka mengatakan, tidak akan membuka palang tersebut sebelum ada kejelasan terhadap hak-hak mereka yang terabaikan, sebagaimana tertuang dalam surat yang turut disetejui salah satu wanita bernama Yakomina Felle, yang mengaku sebagai Ondofolo.

Kapolres Jayapura AKBP Mathius Fakhiri SIK

saat dikonfirmasi di ruang kerjanya Rabu (21/10) menegaskan, sesuai janjinya yang pernah disampaikan bahwa dirinya tidak ada kompromi dengan siapapun yang mencoba-coba mengganggu aktivitas umum, apalagi di bandara yang merupakan wajah dari Papua, terlebih khusus Kabupaten dan Kota Jayapura.

Kelestarian Budaya Baliem Terancam Punah

WAMENA-Pimpinan Sanggar Seni Dani Baliem Wamena, Yoko Huby mengatakan, sejak berdiri pada 2002 lalu, hingga saat ini pihaknya belum mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayawijaya baik dalam bentuk bantuan maupun pembinaan.

“Kami sudah beberapa kali ajukan permohonan bantuan guna memajukan sanggar seni ini demi kelestarian budaya Baliem, tapi belum ada direspon dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayawijaya,”ungkapnya kepada wartawan saat ditemui di kediamannya, Rabu (3/6), kemarin.

Menurutnya, budaya asli Baliem sudah mulai punah karena terpengaruh dengan masuknya budaya dari daerah lain. Terkait dengan itu, pihaknya bersama anggota sanggar terus berupaya melestarikan budaya Baliem yang cukup diminati oleh wisatawan baik lokal maupun mancanegara. Salah satu hal yang dilakukannya, lanjut Yoko, yaitu melakukan pembinaan kepada grup-grup tari yang ada di kampung-kampung sehingga potensi yang ada di kampung tersebut dapat diangkat guna menambah kekayaan budaya Baliem.

“Salah satu yang kami lakukan untuk mengembalikan semangat budaya Baliem yaitu beberapa waktu lalu bermitra dengan LSM Peace Brigade Indonesia (PBI) menggelar kegiatan tarian perdamaian sehingga diharapkan melalui kegiatan itu dapat membantu melestarikan budaya Baliem agar semakin dikenal oleh masyarakat,”ujarnya.

Lebih lanjut diungkapkannya, karena banyaknya budaya Baliem yang belum tersentuh maka diharapkan semua pihak yang peduli termasuk pemerintah daerah dapat membantu untuk mengembangkan budaya Baliem tersebut sehingga upaya menjadikan Jayawijaya sebagai Kota DANI (damai, aman, nyaman dan indah) dapat terwujud.(nal)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny