Pemerintah Terkesan Lindungi Pelanggar HAM di Papua

JAYAPURA – Sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Tanah Papua, dinilai oleh Kontras Papua dan para korban Abepura Berdarah yang tergabung dalam Bersatu Untuk Kebenaran (BUK) adalah tidak ada tanggungjawab dan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikannya. Malah pemerintah terkesan berupaya melindungi para pelaku dan institusi yang melakukan pelanggaran HAM. Salah satunya kasus pelanggaran berat Abepura berdarah yang terjadi 7 Desember 2000 silam.

Pelaksana Harian BUK Papua, Nehemia Yarinap, mengatakan, kasus pelanggaran HAM di Papua dari tahun 1969 sampai saat ini, begitu banyak tertumpuk tanpa diproses hukum, yang hanya ada di hati korban dan orang Papua secara umum adalah rasa ketidakadilan, trauma dan luka yang sangat mendalam.
Dari sekian banyak kasus, hanya 3 kasus yang dikategorikan sebagai Kasus Pelanggaran HAM berat, yakni Kasus Abepura 2000, Kasus Wasior 2001 dan kasus Wamena 2003. Dari 3 (tiga) kasus tersebut, hanya 1 (satu) kasus yang dibawa ke proses pengadilan HAM permanen di Makassar, pada tahun 2005, namun penyelesaiannya tidak memberikan kedamaian bagi para korban pelanggaan HAM, malah para pelaku dibebaskan murni dari segala tuntutan..

Sebagai mana diketahui, kasus Abepura terjadi pada 7 Desember 2000, dimana, yaitu penyerangan pukul 01.30 Wit pada malam hari terhadap Mapolsekta Abepura dengan pembakaran Ruko Abepura karena tindakan Orang Tak Dikenal (OTK), mengakibatkan 1 (satu) anggota polisi meninggal dunia (Bribka Petrus Eppa), dan 3 orang lainnya mengalami luka-luka, disertai pembakaran ruko yang berjarak 100 meter dari Mapolsek Abepura. Terjadi juga penyerangan dan pembunuhan Satpam Kantor Dinas Otonom Kotaraja. Pada hari yang sama sekitar pukul 02.30 Wit pasca penyerangan ke Mapolsek Abepura, AKBP Drs. Daud Sihombing, SH setelah menelpon Kapolda Brigjen Pol Drs. Moersoertidarno Moerhadi . Untuk langsung melaksanakan perintah operasi. Dalam pengejarannya diarahkan ke tiga asrama mahasiswa, yakni di Asrama Ninmin, Asrama Yapen Waropen, dan Asrama IMI (Mahasiswa Ilaga) dan tiga pemukiman penduduk sipil.

Dalam operasi dimaksud, anggota Brimob melakukan pengrusakan, pemindahan paksa (Involuntary displace persons), ancaman, makian, pemukulan dan pengambilan hak milik (right to property) mahasiswa. Mahasiswa digiring ke dalam truk dan di bawa ke Mapolsek. Pemukulan, penangkapan dan penyiksaan (Persecution) berulang-ulang kali terhadap masyarakat yag tidak tahu menahu di pemukiman penduduk sipil Kampung Wamena di Abe Pantai, Suku Lani asal Mamberamo di Kotaraja dan Suku Yali di Skyline. Dalam penyerangan di Skylane, terjadi pembunuhan kilat oleh anggota Brimob terhadap Elkius Suhuniap. Sedangkan 2 mahasiswa dari asrama Ninmin meninggal akibat penyiksaan dalam tahanan Polores Jayapura yakni Jhoni Karunggu dan Orry Dronggi.

Pada tahun 2001, Komnas HAM membentuk KPP HAM Abepura dan dan berdasarkan fakta, peristiwa pengejaran dan penangkapan itu telah dinyatakan sebagai pelanggaran kejahatan kemanusiaan. Namun dalam proses penyelidikan, dari 25 pelaku, Jaksa Agung MA Rachman dengan komisi II DPR, hanya menetapkan dua pelaku yaitu Komisaris Besar Polisi Drs, Johny Wainal Usman sebagai Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya (waktu itu) dan Ajun Komisaris Besar Polisi Drs. Daud Sihombing Sebagai pengendali dan pelaksana perintah operasi.

“Namun dalam proses mendorong kasus tersebut dalam sidang perdana HAM Pertama, dalam berkas perkara sama sekali tidak mencantumkan secara detail bagaimana kondisi para korban dan bagaimana kerugian-kerugian para korban,” tandasnya dalam keterangan persnya di Kantor Kontras Papua, Jumat, (7/12).

Akibatnya berkas perkaranya persis pada berkas pidana, tanpa ada soal rehabilitasi, restitusi dan keadilan bagi korban. Korban tidak mendapakan hak yang sangat substansi karena berkas pengadilan yang diajukan oleh Jaksa, Hakim tidak bisa diambil dari kiri dan kanan (dari konteks budaya, mental, dan situasi para korban) tetapi hanya berdasarkas berkas murni yang diajukan oleh Jaksa.

Selain itu mengulurnya waktu adalah ketidakadilan, padahal KPP HAM telah menyelesaikan berkasnya dengan cepat, tetapi bolak balik berkas perkaranya terjadi, pada hal tidak substansial namun hanya dalam hal administrasi; dan yang kedua proses penyidikan yang dilakukan oleh Kejaksaan, selain mengulur-ulur waktu juga proses politik bonsite (meperkecil perkasa) yakni peristiwanya ada banyak namun dikurang hingga tiga sampai satu, pelakunya ada 25 namun dikurang menjadi 2, kemudian korbannya 105 hanya dijadikan 17 korban yang dijadikan sebagai saksi.

Dengan latar belakang dan cara berpikir para Hakim masih mengunakan jaman Kolonial Belanda yakni pertama, Masih menggunakan kiriminal bukan pelanggaran HAM, dan kedua Kejaksaan tidak independen dan tidak berdasarkan nilai-nilai Universal (pelanggaran HAM) tetapi lebih mementingkan kepentingan Negara. Hari ini kita bisa simpulkan bahwa ada lobi-lobi yang menghasilkan berkas perkara itu tidak sebagaimana yang terjadi terhadap para korban (mengkorbankan korban). Kasus Abepura dalam proses peradilan, ada terjadi banyak catat hukum. Peradilan HAM hanya menjadi kuburan dan tidak mengakui harga diri dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh para korban dan rakyat Papua.

Para korban Kasus Abepura justru tidak diakui sebagai Korban dan kondisi korban saat ini mengalami trauma yang masih membekas dan mendalam. Sampai saat ini, enam (6) korban kekerasan Kasus Abepura telah meninggal akibat penyiksaan yang menimpa mereka saat Kasus Abepura terjadi. Para korban sama sekali tidak percaya dengan Hukum dan Sistim Peradilan Indonesia. Karena merasa tidak ada keadilan bagi orang Papua. Yang ada hanya kekerasan tanpa keadilan, dan kekerasan yang terjadi saat ini hanya menyusuk luka-luka lama yang tidak pernah disembuhkan.

Kemudian, pada 8 dan 9 Sebtember 2005, Majelis Ad Hoc HAM kasus Abepura di Makassar memvonis bebas Brigadir Jenderal (Bridjen) Polisi Johny Wainal Usman dan Kombes Polisi Drs. Daud Sihombing, SH dengan mengatakan bahwa tidak terbukti secara sah bersalah melakukan pelanggaran HAM Berat di Abepura, Papua. Pertimbangan yang dipakai dalam keputusan hakim menunjukkan bahwa pemahaman dan pengetahuan Hakim terkesan mengunakan prinsip klonial yang jauh dari rasa keadilan korban.

Para korban dan orang Papua telah melakukan upaya Hukum dan berjuang membuktikan secara serius kepada pemerintah Indonesia dan juga bangsa-bangsa di dunia bahwa nilai dan martabat orang Papua juga sama dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Dan sampai ini karena hukum di Indonesia sangat tidak percaya sehingga tindakan orang Papua selalu dijerumuskan ke dalam makar, kekerasan, pembungkaman, penangkapan dan sebagainya.

Untuk itu, pihaknya dan KontraS Papua mendesak kepada pemerintah Indonesia, pertama, Presiden RI dan Komnas HAM RI segera tindak lanjuti kasus pelanggaran HAM berat Wasior dan Wamena, karena proses hukum masih tidak jelas di kejaksaan Agung dan Komnas Ham Jakarta, dan menjelaskan kepada Kedua, mendesak kepada gubernur papua, dprp dan mrp untuk mendorong evalusi resmi atas kebijakan keamanan di papua dan menolak pasukan organik dan nonorganik serta rasionalisasi jumlah tni/polri di tanah papua yang akan mengakibatkan korban-korban baru di tanah Papua. Ketiga, segera hentikan segala macam upaya dan bentuk kekerasan, baik penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang, pembungkaman demokrasi dan lainya.

Di tempat yang sama, Koordinator KontraS, Olga Hamadi SH, M.Sc mengatakan, pelanggarna HAM di Papua tidak hanya seperti yang dipaparkan, akan tetapi masih banyak kasus lainnya kini masih ditutup oleh Aparat Kepolisian, bahkan pelaku di Papua sekan-akan dipelihara. “Terbukti, pelaku pelanggaran HAM tidak dihukum berat, hanya hukuman ringan. Anehnya lagi, ketika dibebaskan langsung naik pangkat setelah dipindahkan dari jabatannya,” tegasnya.

Olga menilai, ketika pelangaran HAM di tanah Papua tidak ditindaklanjuti sampai ke proses hukum, maka ditakutkan akan semakin banyak kasus pelanggaran HAM lainnya di tahun-tahuna yang akan datang.

Untuk itu, pihak tidak akan pernah berhenti untuk menyampaikan hal ini kepada Pemerintah, karena masyarakat menginginkan keadilan. “Jangan hanya sudah melakukan pelanggaran HAM lalu tidak di proses, itu yang tidak kita inginkan. Ini lemah penegakan hukum, ini hanya mengingatkan pemerintah megenai kasus HAM yang tidak dituntaskan ,” bebernya.(nls/don/l03)

Sabtu, 08 Desember 2012 09:12, Binpa

Fadel: Pelaku Pelanggaran HAM Tak Tersentuh Hukum

JAYAPURA – Masih banyak kasus kasus pelanggaran HAM di Papua yang dilakukan aparat negara hingga kini tidak tersentuh hukum, mengakibatkan tak terputusnya impunitas , bahkan impunitas terus terjadi, karena para pelanggar HAM sama sekali tak tersentuh hukum.

Hal itu diungkapkan Fadel Al Hamid, Sekertaris Dewan Adat Papua, Kamis( 6/12).

Menurut Fadel, tak terselesaikannya kasus kasus pelanggaran HAM di Papua seperti Kasus Biak Berdarah, Kasus Wasior, Abepura 2000, Wamena berdarah, penembakan di Paniai menujukkan impunitas terus terjadi.

“ Saya pikir meningkatnya kasus pelanggaran HAM di Papua membuat kita semakin disadarkan bahwa, memang Pemerintah Indonesia belum sepenuhnya atau kurang ataupun tidak semasekali menujukkan itikat baik menyelsaikan masalah HAM di Papua,”

ujarnya.

Jika berbicara kasus HAM dalam konteks Papua seiring bergantinya tahun demi tahun dilihat bukan semakin membaik atau ada penurunan kasus, justru semakin meningkat. Menurut Fadel, Impunitas tak akan terjadi di negeri ini bila hukum ditegakkan.

Ia melihat, setiap pihak yang melakukan pelanggaran, diperiksa, dilakukan penyelidikan, penyidikan kemudian dibawah ke pengadilan untuk mempertanggung jawabkan perbuatan mereka, tetapi juga dilihat dalam seluruh proses pengadilan sebenarnya harus benar benar menjunjung rasa keadilan masyarakat. Belajar dari kasus Abepura Tahun 2000 yang kemudian disidangkan di Makassar justru bukan memberikan rasa keadilan bagi korban namun semakin melukai hati orang Papua karena dari sidang yang dilakukan itu tak ada satupun pelaku dikenakan sanksi, melainkan pelaku bebas sementara realitas menunjukkan ada korban, ada orang yang dipukul dan kemudian tewas.

Ia melihat persidangan kasus Abepura berdarah di Makassar sangat jelas menunjukkan negara sedang memperlihatkan kesombongannya kepada rakyat di Papua, termasuk juga menujukkan kebebalannya terhadap rakyat sipil.

Ia justru melihat keadaan berbalik, rakyat yang tak bersalah yang justru diadili secara sewenang wenang, mereka orang orang yang kemudian menyampaikan aspirasinya secara damai dan bermartabat. Kita lihat kasus Filep Karma yang dipenjarakan sampai hari ini, kemudian mereka yang terlibat dalam kongres III. Mereka itu menyampaikan aspirasi mereka tapi kemudian merekah yang diadili, padahal mereka tak membunuh siapa siapa ataupun melukai siapa siapa, atau sedang mempersiapkan sesuatu yang kemudian mengancam keselamatan negara ini, sambungnya.

“ Mereka itu hanya menyamapikan aspirasi dan pandangannya secara damai dan pandangan itu memenuhi hakikat Hak Asasi Manusia. Namun mereka yang kemudian disolimi”. Menurut Fadel kasusnya sama seperti kasus penembakan dan kasus kasus pelanggaran HAM lainnya, sampai saat inipun kita tak melihat adanya suatu kemajuan atau upaya Pemerintah pusat membangun HAM di Papua dengan membawa pelakunya. Contoh lain yang menujukkan tak terselesaikannya kasus HAM diranah Politik adalah kasus Mako Tabuni. Penembakan Mako Tabuni itu sekan akan dengan pernyataan yang diklaim sebagai suatu pembuktian hingga Mako ditembak. “Ini sesuatu yang aneh,”

katanya.

Padahal nyawa seorang manusia itu harusnya dipertanggung jawabkan, sekalipun ia seorang pejabat negara atau teroris sekalipun, akan diproses hukum sesuai hukum yang berlaku apakah dia dihukum mati atau ada konsekuensi hukum lainnya. Ia melihat kondisi berbeda dengan Mako Tabuni yang langsung dihilangkan. “ Realitas lain yang saya lihat ada semacam kejenuhan dari para pekerja HAM di Papua yang kehilangan cara bagaimana menuntut Keadilan di Negeri ini,”katanya.

Berbagai kasus yang ditangani para pekerja HAM yang diadvokasi, diajukan dengan segala macam cara namun pada akhirnya menemui sebuah fakta bahwa, mereka tak mendapatkan Keadilan di negeri ini. Tapi para pekerja HAM ini dengan sisa tenaga yang dimiliki masih tetap tegar, konsisten dalam meriakan ketidakadilan di Tanah Papua.

Dalam seluruh kasus HAM Papua itu, ia melihat dari sisi posisi Presiden SBY termasuk peran UP4B yang dinilainya masih banyak ditemui problematika dan pro kontra di kalangan masyarakat yang menilai kebijakan UP4B tak akan menolong dan memperbaiki situasi HAM di Papua selama kasus kasus HAM masa lalu tak terselesaikan, justru membuka lapangan baru yang kemudian membuka jendela peluang terhamburnya uang.

“ Saya mau soroti suatu aspek atau langkah yang seharusnya sudah bisa dilakukan UP4B terhadap pelanggaran HAM. Termasuk kasus sama dipertanyakan kembali kepada Presiden SBY soal komitmennya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM melalui UP4B selanjutnya diproses lewat Kejaksaan hingga KOMNAS HAM terkait dengan Wasior yang sementara ini masih dalam proses dan mengantung. Ia bertanya mengapa dari kasus kasus lampau ini belum ada suatu langkah yang diambil segera dari Negara ini, kemudian Oke Pemerintah mulai menujukan keseriusannya untuk selesaikan khususnya menyelesaikan kasus Wasior yang sudah mendapatkan rekomendasi untuk ditindaklanjuti”

Seharusnya Pemerintah SBY sudah berpikir untuk mulai melakukan pembangunan penegakan HAM di Papua dalam sebuah kebijakan pembangunan HAM di Papua yang jelas apalgi diakhir masa jabatannya. Presiden diminta mengambil suatu kebijakan yang berani, kalau kemudian presiden masih berpikir soal popularitas, sengsi dan harga dirinya untuk tak diserang lawan lawan politiknya, saya pikir dalam konteks ini, Presiden tak perlu kuatir karena bagaimana mungkin ia berusaha untuk menegakan HAM, mengobati luka hati orang Papua, bukan menjadi bumerang politk atau hal ynag mengada ada.

Fadel berpilir tak ada alasan mendasar bagi Presdien SBY untuk tak melakukan sesuatu, sebab ia harus bisa melakukan sesuatu apalgi diakhir masa jabtannya yang kedua karena untuk periode berikut ia tak akan maju lagi, pikir Fadel.

Sebagai Kepala negara, Presiden bertanggung jawab penuh terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kita tak bisa andalkan keberadaan Perwakilan KOMNAS HAM Papua dengan keterbatasannya saat ini. Komnas HAM Papua juga dilihat menampakan kelelahan dengan kondisi yang memprihatinkan ini, karena KOMNAS HAM Papua sendiri tak dapat bebuat banyak hidup enggan matipun tak mau, ia tak mendapatkan perhatian dari Pemerintah, meski dengan dana trilyunan dalam APBD, ia hanya mendapatkan nol koma sekian persen saja.

Menurut Fadel kondisi demikian mengakibatkan kemudian kita tak punya harapan dan berharap sesuatu pada KOMNAS HAM, Namun toh kemudian ada amanat dalam Undang undang Otsus sebuah harapan s kalau kita masih mau berharap agar Presiden masu dikenang oleh orang orang Papua diakhir masa jabatannya ini, setidaknya memberikan harapan pada rakyat Papua bahwa didalam negara ini masih ada keadilan untuk orang Papua, bahwa di negara ini Hak Asasi Manusia masih mendapat tempat untuk dihargai.

“Saya pikir itu menjadi harapan kita tetapi sebenarnya mengandung desakan dan tantangan kita kepada presiden untuk bertindak bagi penegakan Hak Asasi Manusia karena orang Papua ini adalah rakyat dia maka dia mestinya melakukan sesuatu untuk sedikit mengobati hati orang Papua , apa yang dibuatnya mengandung harapan dan makna mendalam bagi momentum Hari HAM 10 Desember 2012 ini”,

sambunya.

Warga Papua Diajak Peringati HAM

Sementara itu, Ketua Forum Anti Pelanggaran Ham di Papua, Septi Megdoga, mengajak seluruh komponen masyarakat Papua untuk turut terlibat dalam kegiatan peringatan Hari Pelanggara Hak Asasi Manusia (HAM) se-dunia yang jatuh pada 10 Desember 2012.

Dijelaskannya, salah satu bentuk peringatannya adalah melaksanakan kegiatan demonstrasi damai, yang berisikan seruan-seruan kepada pemerintah pusat untuk segera menyelesaikan berbagai persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Tanah Papua.

Sebut saja sejumlah pelanggaran HAM seperti permasalahan politik Papua yang disunat oleh pemerintah Indonesia hingga kini, dan kasus pelanggaran HAM lainnya seperti pembunuhan dan lain sebagainya, sampai pada masuk dibungkamnya ruang demokrasi di Tanah Papua.

Menurutnya, hingga kini masalah Papua silih berganti, dan nasib rakyat Papua terus terkatung-katung tanpa penyelesaian yang jelas, meskipun berbagai kebijakan pembangunan maupun regulasi aturan terus diperbaharui (Salah satunya lahirnya UU No 21 Tahun 2001 tentang otsus), tapi kenyataannya belum mampu menyentuh apa yang menjadi kebutuhan dasar masyarakat, sehingga sampai saat ini masyarakat masih hidup miskin, terbelakang di atas kekayaannya sendiri.

“Mari kita semua bergabung untuk peringati dan suarakan HAM yang selama ini belum dituntaskan pada hari peringtatan HAM se-dunia pada 10 Desember 2012 mendatang,” tegasnya dalam press releasenya kepada Harian Bintang Papua, Kamis, (6/12),

Pelanggaran HAM yang tanpa pertanggungjawabkan aparat keamanan dan pemerintah khususnya Jakarta. Pertanyaan besar rakyat Papua tentang status politik Papua yang terus menerus dijawab dengan tindak kekerasan oleh aparat keamanan.

Lanjutnya, belum tuntasnya penyelesaian pelanggaran HAM dan timbulnya kasus pelanggara HAM yang baru, tidak lain juga diakibatkan oleh melemahnya otoritas-otoritas sipil. Lihat saja lembaga eksekutif dan legislatif di Papua yang selama ini diam membisu ketika dihadapkan dengan realitas masyarakat Papua yang semakin memburuk dan memprihatikan derajat dan martabatnya di segala aspek kehidupan.

“Sampai saat ini banyak cerita instrument politik bagi semua masyarakat Papua yang mengingat beberapa para sang pejuang penegakan HAM ditembak mati hingga menjadi cerita pahiy bagi masing-masing kelyarga korban pelanggaran HAM,” tandasnya.(ven/nls/don)

Sabtu, 08 Desember 2012 09:08, Binpa

Undang-Undang Otsus Diusulkan Diamandemen

Jayapura, (9/12) – Undang-Undang Otonomi Kusus Nomor: 21 Tahun 2001, diusulkan untuk dimandemen, sehingga dikemudian hari tidak terjadi bentrok.
Hal itu diungkapkan Aminadab Yoafifi, Minggu, (9/12) saat berbicara sebagai pengamat pada pertemuan wilayah I senior GMKI se-Tanah Papua yang berlangsung di Hotel Mutiara Kotaraja Jayapura.

“Apakah undang-undang Otsus nomor 21 tahun 2001 bisa diamandemen, sehingga tidak saling bentrok,” bilang Yoafifi. Dia mencontohkan penerimaan daerah untuk pertambangan galian A, B, C. Undang-Undang Otsus hanya ada minyak dan gas. Menurut dia penting undang-undang tersebut dimandemen.
Namun berbeda halnya dengan Kety Yabansabra, salah satu senior GMKI Jayapura. Ia mengatakan sejak tahun 2005, masyarakat sudah menolak Otsus ke pemerintah Indonesia. Itu sebabnya jika wacana untuk mengamandemenkan Otsus menurut Kety Yabansabra akan menjadi bias dari suasana tersebut. (Jubi/Roberth Wanggai)

Residivis Ditembak Mati, Manokwari Rusuh

JAYAPURA [PAPOS] – Timotius AP, seorang residivis lapas Manokwari ditembak mati oleh polisi. Ia merupakan terpidana kasus pencurian dengan kekerasan dan pemerkosaan. Akibat penembakan tersebut, Manokwari bergejolak dan kerusuhan pun pecah, Rabu (5/12). Dua pos polisi dibakar, warung dan toko dijarah.

Kronologis kejadian sesuai informasi yang diperoleh Papua Pos, Selasa (4/12) sehari sebelum kerusuhan, anggota Polsek Kota Manokwari memperoleh info bahwa DPO terpidana bernama Timotius AP sedang berada di rumah mertuanya di Jalan Baru Manokwari. Ketika hendak ditangkap Timotius A,P melarikan diri dengan motor Yamaha Mio sehingga petugas mengejar hingga ke Pantai Maripi.

Saat itu, ada barang terpidana jatuh dan dia berhenti hendak mengambil barang itu. Melihat Timotius yang sedang mengambil barang yang jatuh, tidak disia-siakan oleh petugas yang langsung memberi peringatan dengan kata-kata agar ia menyerahkan diri.

Bukannya menyerah, Timotius justru mengarahkan pistol rakitan yang dibawanya kepada petugas. Karena merasa terancam, terpaksa petugas melepaskan tembakan dengan maksud untuk melumpuhkannya dan mengenai pinggang.

Setelah roboh, petugas memeriksa keadaannya dan langsung dilarikan ke RS AL guna mendapatkan pertolongan dan perawatan intensif. Namun sekitar pukul 18.00 Wit, DPO terpidana itu dinyatakan tidak tertolong jiwanya oleh petugas medis yang menanganinya.

Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta Jaya, yang dikonfirmasi wartawan, Rabu (5/12) mengemukakan, akibat dari kejadian itu sekitar pukul 10.30 Wit massa mengarak jenasahnya ke Mapolres. Namun dalam perjalanan massa disekat oleh pasukan Dalmas sehingga massa anarkis dan merusak warung-warung di sekitar Pelabuhan Manokwari yang sempat memacetkan arus lalu lintas.

Katanya, massa juga melakukan aksi anarkhis dengan memalang Jalan Yos Sudarso Sanggeng sehingga aktifitas lalulintas pun terhenti. Selain memalang jalan, massa juga melakukan pembakaran ban. Massa juga membakar Pos Polisi Sanggeng dan Pospol Lantas Manokwari Kota karena tidak terima Timotius ditembak mati.

Massa yang rusuh menuju Polres Manokwari sambil mengarak peti jenasah residivis DPO itu, berhasil dipecah oleh tim gabungan TNI/Polri. “Massa berhasil dipecah oleh bantuan Brimob dan TNI sehingga jenasah dibawa kembali pulang ke rumahnya,” ujar I Gede.

Dijelaskan I Gede, Timotius AP adalah penjahat yang terkenal dengan beberapa rentetan kejahatan dan sangat licin seperti belut karena berkali-kali ditahan, berkali-kali pula bisa lari dari Lapas di Kampung Ambon Manokwari itu.

Pada tahun 2012, katanya, Timotius melakukan tiga tindak pidana antara lain kasus pencurian dengan kekerasan dua kali dan divonis 9 dan 6 tahun. Di tahun yang sama dia melakukan tindak pidana pemerkosaan dan divonis 3 tahun.

Di samping itu, masih ada 7 laporan polisi terkait kasus yang dilakukannya yaitu pencurian dengan kekerasan, pencurian berat, penganiayaan dan pengeroyokan. Selain itu dia berkali-kali kabur dari lapas Manokwari.

“Yang pertama pada pertengahan Juli 2012 dan berhasil ditangkap oleh petugas Polres pada tanggal 13 September 2012. Dia kembali kabur pada tanggal 16 September 2012,” katanya.

Namun setelah insiden rusuh itu, lanjutnya, situasi Kota Manokwari berangsur pulih dan normal kembali. Para tokoh adat dan tokoh agama ikut membantu pemulihan situasi di Manokwari. Kapolda Papua pun turun ke Manokwari untuk ikut membantu pemulihan situasi, serta berkoordinasi dengan para tokoh agama, adat dan masyarakat.

“Situasi Kota Manokwari berangsur karena campur tangan tokoh adat dan tokoh agama yang ada di sana,” kata I Gede. [tom]

Terakhir diperbarui pada Kamis, 06 Desember 2012 00:02

Rabu, 05 Desember 2012 23:12m Ditulis oleh Tom/Papos

Lambert Tak Mau Persulit Dany Kogoya

JAYAPURA – Pernyataan Dany Kogoya yang menyeret Koordinator TPN-OPM, Lambert Pekikir atas aksi-aksi yang dilakukan Dany Kogoya dan kelompoknya, ternyata tidak ditampik oleh Lambert Pekikir, namun Lambert menyampaikan bahwa tanggung jawabnya adalah sebagai koordinator secara struktur organisasi.

Beberapa hari lalu, tersangka kasus pembantaian di Nafri pada 1 Agustus 2011, Dany Kogoya, kepada wartawan menyampaikan bahwa aksi yang dilakukannya tersebut berdasarkan perintah dari pimpinan TPN-OPM, Lambert Pekikir, Dany juga menyebut Lambert yang bertanggung jawab terhadap aksi tersebut.

“Saya bisa pahami alasan Dany menyampaikan pernyataan itu, saya tahu posisi dia seperti apa saat ini, saya tidak bantah itu, saya tidak mau mempersulit dia, sebagai Koordinator saya berada diatas Dany secara struktur, tetapi diatas saya ada pimpinan lain, kalau mau tangkap saya, silahkan tangkap dulu pimpinan saya,” ujar Lambert kepada Bintang Papua, Rabu (5/12) kemarin. Pimpinan yang dimaksud oleh Lambert Pekikir adalah, Jacob. H Prai, Prai saat ini berada di Malmo, Swedia,

”Saya ditunjuk sebagai Koordinator umum TPN-OPM di Tanah Air oleh Tuan Jacob Prai, dan berdasarakan penunjukkan dari Tuan Prai, saya menunjuk beberapa orang sebagai bagian dari organisasi, salah satunya adalah Dany Kogoya yang pada saat itu saya tunjuk sebagai Juru Bicara, dan itulah posisi secara struktural,”

tambah Pekikir.

Lambert juga memberikan penjelasan terkait perintah yang diberikannya kepada Dany Kogoya,”Secara organisasi Dany adalah Juru bicara, perintah yang diberikan kepada Dany adalah untuk melakukan konsolidasi dan bukan perintah operasi, karena berdasarkan perintah dari atas, kami diminta untuk melakukan konsolidasi, bukan operasi,” ujarnya.

Lambert tidak ingin berpolemik terkait kebenaran pernyataan Dany Kogoya tersebut, dirinya menyampaikan bahwa,”Saya sangat memaklumi pernyataan tersebut, seandainya saya berada dalam posisi Dany, saya juga akan menyampaikan seperti itu,” kata Lambert. (bom/bom/l03)

Kamis, 06 Desember 2012 09:23, Binpa

Satu Warga yang Ditangkap di Papua adalah DPO Kasus Makar

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Tim gabungan Polri dan TNI telah menangkap tujuh orang terkait sejumlah aksi yang terjadi di Papua belakangan ini.

Dari tujuh orang tersebut, ternyata satu diantaranya merupkan DPO (Daftar Pencarian Orang) kasus makar yang terjadi tahun 2010.

Sebelumnya, tim gabungan TNI-Polri, menangkap satu orang berinisial YW di Pirime setelah terjadinya kasus penyerangan Markas Polsek Pirime yang mengakibatkan tiga anggota Polri meningga dunia, Selasa (27/11/2012).

Kemudian, Kamis (29/11/2012) tim gabungan Polri menangkap enam orang berinisial JTT, KW, LK, TW, GK, dan TT.
“Dari pengembangan yang dilakukan bahwa dari ke tujuh orang yang diamankan pada dua hari tersebut, telah ditetapkan satu tersangka atas nama JTT. Yang Bersangkutan adalah merupakan DPO kasus makar yang terjadi tahun 2010, di wilayah Bolakme Kabupaten Jayawijaya,” ungkap Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Agus Rianto di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (4/12/2012).

Saat ini JTT dilakukan penahanan di Polres Jayawijaya. Sementara lima orang lainnya yang juga ikut ditangkap bersama JTT sudah ditetapkan pula sebagai tersangka, tetapi kelimanya tidak dilakukan penahanan dan hanya dikenakan wajib lapor saja.

Alasan lain yang menyebabkan kelimanya tidak dilakukan penahanan, dalam proses pengambilan keterangan kelima orang tersebut juga besifat koopertif.

“Yang enam tersangka kemarin pada saat dilakukan penangkapan, pada mereka juga menemukan bendera dari organisasi terlarang yang ada di Papua,” ungkapnya.

Penulis: Adi Suhendi | Editor: Anwar Sadat Guna  Tribunnews.com

Ketua Umumnya masih belum ditemukan, besok KNPB akan datangi Polda

Jayapura, (2/12)—Keberadaan Victor Yeimo dan dua rekannya, Usman Yogobi dan Alius Asso masih belum jelas hingga hari ini, Minggu (2/12)

Sampai Minggu malam, anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB) masih mencari tahu dimana keberadaan ketua umum mereka, Victor Yeimo. Yeimo, telah dibebaskan oleh polisi setelah diperiksa di Polsek Abepura, terkait aksi demo 1 Desember yang yang dilakukan oleh KNPB. Namun sejak Yeimo dibebaskan Sabtu sore, ia belum melakukan kontak dengan aktivis KNPB lainnya.

“Tadi setelah diamankan di Polsek Abe kemudian diambil keterangan, menurut Kapolres akan dilepas karena belum dapat dilakukan penyidikan lebih lanjut.”

kata Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta Jaya kepada tabloidjubi.com, Sabtu (1/12), saat di konfirmasi mengenai status Yeimo dan kedua rekannya.

Pembebasan Yeimo ini sudah dikonfirmasi juga oleh Kapolresta Jayapura, AKBP Alfred Papare, kepada tabloidjubi.com, Sabtu (1/12) malam.

Meski sudah dibebaskan oleh Polisi, keberadaan Yeimo dan dua rekannya belum diketahui sampai saat ini.

Wim Medlama, Juru Bicara KNPB, kepada tabloidjubi.com mengatakan sampai malam ini mereka telah mencari ketua umum mereka itu namun belum ketemu.

“Sejak kemarin, kami cari dimana keberadaan ketua umum kami dengan kedua temanya tapi belum dapat. Semua tempat yang kami tahu pun kami lacak tapi tidak ada juga. Sampai detik ini hpnya juga tidak aktif. Kami bingung posisi dia dimana?”

kata Wim Wedlama saat dihubungi tabloidjubi.com, Minggu (2/12) malam.

Wim juga mengatakan jika mereka (KNPB) telah sepakat untuk menanyakan hal ini ke Polda Papua, besok (Senin) pagi.

“Tadi kami sepakat besok akan pergi ke Polda minta keteragan. KNPB akan pergi bersama WPNA, AMP dan AMPTI,”

kata Wim.

Informasi lain yang didapatkan dari sumber tabloidjubi.com menyebutkan setelah Yeimo dibebaskan bersama beberapa aktivis yang ditahan, Yeimo berpisah dengan rekan-rekannya itu di depan Kantor Pos Abepura. Setelah itu, menurut sumber tabloidjubi.com itu, mereka sudah tidak tahu keberadaan Yeimo lagi. Saat dikontak melalui HPnya, HP Yeimo sudah tidak aktif lagi. (Jubi/Benny Mawel)

Sunday, December 2nd, 2012 | 22:27:50, www.tabloidjubi.com

Dikabarkan sudah dilepas, 3 Aktivis KNPB masih dicari anggotanya

Jayapura, (1/12)—Tiga aktivis Komite Nasional Papua Barat yang ditahan saat aksi demo tadi pagi (Sabtu, 1/12) masih dicari oleh anggota KNPB.

Seperti diberitakan sebelumnya, tiga orang aktivis KNPB, yakni Victor Yeimo, Alius Asso dan Usman Yogobi ditahan pihak Kepolisian Kota (Polresta) Jayapura saat memimpin massa yang akan melangsungkan aksi demo memperingati 1 Desember di makam Theys Eluay. Ketiganya ditahan karena diduga bertanggungjawab terhadap aksi demo tersebut.

Namun keberadaan Victor Yeimo, Alius Asso dan Usman Yogobi belum diketahui hingga saat ini. Apakah ketiganya masih ditahan atau sudah dilepaskan oleh polisi, masih ditelusuri oleh anggota KNPB lainnya.

“Ya. Ada wartawan yang bilang kalau Victor (Yeimo) sudah dilepaskan tadi. Tapi kami belum tau dia ada dimana. Adik-adik anggota KNPB masih cari dia. HP mereka (tiga anggota KNPB yang ditahan) mati semua.”

terang Sebby Sambom, aktivis HAM Independen kepada tabloidjubi.com, Sabtu (1/12) sore.

Keberadaan ketiga anggota KNPB ini sampai saat ini masih terus ditelusuri. Para pengacara HAM yang biasa mendampingi aktivis Papua juga masih mencari ketiganya. Sebab saat dicek ke Polda Papua dan Polresta Jayapura, para pengacara HAM ini diberitahu oleh polisi bahwa tidak ada yang ditahan paska aksi demo tadi pagi.

“Kami tadi ke Polda dan Polresta tapi mereka (tiga aktivis KNPB) tidak ada disana. Polisi bilang tidak ada yang ditahan di sana (Polda dan Polres).”

kata Olga Hamadi, salah satu pengacara HAM Papua.

Pihak Polda Papua, saat dikonfirmasi tabloidjubi.com menyebutkan bahwa ketiga aktivis KNPB tersebut akan dilepaskan usai pemeriksaan di Kepolisian Sektor (Polsek) Abepura.

“Tadi setelah diamankan di Polsek Abe kemudian diambil keterangan, menurut Kapolres akan dilepas karena belum dapat dilakukan penyidikan lebih lanjut.” kata Kabid Humas Polda Papua, AKBP I Gede Sumerta Jaya.

Namun hingga pemberitaan ini, belum diketahui apakah ketiganya benar sudah dilepaskan atau belum. Jika sudah dilepaskan, keberadaan ketiganya juga masih belum diketahui. (Jubi/Victor Mambor)

Saturday, December 1st, 2012 | 18:23:37, www.tabloidjubi.com

Berkas Perkara Dany Kogoya Cs Lengkap

JAYAPURA— Salah-satu pimpinan Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Wilayah Kota Jayapura Danny Kogoya Cs yang tertembak aparat saat dilakukan penangkapan Minggu (2/9) lalu, ternyata berkas perkaranya dinyatakan lengkap, setelah Jumat (30/11) penyidik Polres Jayapura Kota menyerahkan tersangka dan barang bukti terkait kasus penyerangan dan penembakan di Kampung Nafri, Distrik Abepura, Kota Jayapura, 1 Agustus 2011 lalu.

“Kami sudah menerima tahap II, sebentar kita titipkan di Rutan Lapas Abepura. Selanjutnya dalam waktu yang tak terlalu lama akan segera kita limpahkan ke Pengadilan untuk disidangkan,” ujar Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Jayapura John W Rayar, SH ketika dikonfirmasi Bintang Papua diruang kerjanya, Jumat (30/11). Penyerahan tahap II kasus Nafri ini, dia mengungkapkan, bagian dari tindakan penuntut umum setelah menerima berkas perkara tahap I Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang sebelumnya telah menyelidiki dan mempelajari dan menyatakan berkas perkara Dany Kogoya Cs telah lengkap. Barang bukti antara lain 2 pucuk senjata laras panjang, 38 ikat anak panah, 3 ikut busur dan 20 amunisi. (mdc/don/l03)

Sabtu, 01 Desember 2012 09:42, Binpa

Kabid Humas: Kibarkan BK Kami Proses Hukum

JAYAPURA—Guna mengamankan 1 Desember 2012, TNI/Polri menggelar Siaga I dengan melibatkan 6.000 personil yang dimulai pada Jumat (30/11) malam.
Demikian Kabid Humas Polda Papua AKBP I Gede Sumerta Jaya, SIK ketika dikonfirmasi, Jumat (30/11).

Dikatakan hingga saat ini pihaknya belum menerima surat pemberitahuan dari kelompok-kelompok masyarakat yang hendak menggelar aksi unjukrasa guna memperingati HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Kami tak memberikan izin untuk mereka lakukan aksinya. Kalau ada yang nekat melakukan aksi demo, kami akan bubarkan,” tutur dia.

Namun demikian, kalau masyarakat yang melakukan ibadah syukur, pihaknya akan mengawalnya, agar kegiatan tersebut berjalan lancar dan tertib,” lanjut dia, seraya menambahkan, pihaknya mengajak masyarakat untuk berdoa bersama, agar Desember menjadi bulan yang damai dan suci.”

Tidak hanya itu, sambungnya, pihaknya juga mengharapkan agar masyarakat tak terprovokasi atau terhasut oleh kelompok-kelompok yang ingin membuat situasi di Papua kacau-balau.

Polda Papua, katanya, berjanji akan menindak tegas bahkan memproses hukum pelakunya, apabila ada pihak-pihak yang sengaja menaikan Bintang Kejora (BK) pada 1 Desember mendatang,

“Apabila ditemukan ada pihak yang naikan Bintang Kejora kami tentu akan menindak tegas dan memproses hukum. Tapi, bila hanya Bintang Kejora naik tanpa pelaku, kami turunkan.

Hari ini Ibadah Syukur di Makam Theys, Non Papua Juga Diundang
Sementara itu, Ketua Solidaritas Hukum Dan HAM Demokrasi Rakyat Sipil Papua (SHDRP), Usama Usman Yogobi, dan Juru Bicara Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Wim R. Medlama, menyatakan, besok (hari ini 1 Desember) direncanakan ibadah syukur peringatan 1 Desember kemerdekaan Bangsa Papua Barat di Sentani, tepatnya Makam Alm.Theys H. Eluay
Ketua SHDRP, Usama Usman Yogobi, mengatakan, pihaknya menjamin tidak akan ada konflik, jika ada konflik maka pihaknya tidak bertanggungjawab, melainkan bersama-sama aparat keamanan untuk mengamankan mereka yang terlibat konflik itu.
Untuk itulah, dirinya menghimbau kepada semua komponen masyarakat untuk tidak bimbang dan ragu untuk datang ke ibadah syukur dimaksud. Undangan ini bukan hanya untuk rakyat asli Papua tapi juga warga non Papua, sebab semuanya merupakan bagian dari Bangsa Papua Barat.

“Ibadah ini juga dilaksanakan disemua wilayah, seperti Manado, Makassar, Jakarta, Ambon, juga di 5 Benua akan laksanakan ibadah,” ungkapnya saat memberikan keterangan pers di Cafe Roti Bakar Jl.Baru Youtefa Kotaraja, Jumat, (30/11).

Bagi warga yang tidak sempat datang beribadah, diharapkan mendukung dalam doa, terutama rakyat non asli Papua, sebab jika Papua Merdeka semua warga yang berdomisili di Papua adalah warga Negara Bangsa Papua Barat. Hal ini sebagaimana terjadi di Negara-negara yang sudah merdeka dan berdaulat yang warga negaranya berasal dari berbagai suku, etnis, ras di dunia ini.

Pasalnya, kenyataan yang terjadi adalah manusia itu hidup dan saling ketertanggungan antara satu dengan yang lainnya, semuanya memiliki hak asasi manusia (HAM) yang sama di hadapan hukum dan dihadapan Tuhan.

“Perjalanan panjang banyak pengorbanan, banyak yang tumpah darah diatas tanah ini, jadi kami minta kepada Pemerintah NKRI untuk tidak melakukan kekerasan di atas Tanah ini. Kepada orang Papua yang tidak bersehati berjuang (pengkhianat) segera sadar. Kepada rakyat Papua mari bergabung berdoa, dan yang tidak sempat datang ibadah, tolong doakan juga di rumah masing-masing,” imbuhnya.

Juru Bicara KNPB, Wim R. Medlama, menuturkan, pada prinsipnya rakyat Papua rayakan, jadi pihaknya menghimbau kepada rakyat besok itu ibadah saja, jangan datang dengan membawa senjata tajam, alat Negara, dan tidak boleh mabuk.
Menurutnya, jika ketahuan ada yang datang membawa senjata tajam, mabuk dan membawa alat Negara (Bendera dan sejenisnya) maka itu merupakan bagian dari settingan (pengaturan) dari oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab yang dengan sengaja ingin mengacaukan ketertiban ibadah dan mengkambinghitamkan perjuangan rakyat Papua.

“Kepada Polda Papua jangan menghalangi rakyat, tapi sama-sama menjaga keamanan, juga ada keamanan kami yaitu Petapa yang hendaknya diberikan kesempatan untuk menjaga keamanan kami. 1 Desember besok ada beberapa diplomat meluncurkan IPWP di Wuyana Afrika Selatan, juga di Inggris, Belanda, PNG, dan Australia, Selandia Baru merayakan juga. Polda Papua hendaknya lebih profesional, jangan tunjuk alat canggih karena kami berjuang damai,” ujarnya.

“Ijin pemberitahuan sudah kami beritahukan ke Polda Papua dan dalam undang-undang menyatakan tidak mengaharuskan mengantongi ijin dari Polda, yang penting disini memberitahukan saja, Ini ibadah saja, ini kepercayaan individu dengan Tuhan, jadi jangan batasi,” sambungnya.(mdc/nls/don/l03)

Sabtu, 01 Desember 2012 09:49, Binpa

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny