Dua Tersangka OPM Masih Pemberkasan

Jayapura- Dua tersangka TPN/OPM kasus pembakaran taksi dan penembakan di tanjakan Kampung Nafri, yang sebelumnya ditangkap 31 Agustus lalu di perbukitan Skyland, kini masih dalam proses pemberkasan oleh tim penyidik Polres Kota Jayapura. Untuk kelengkapan berkas kedua tersangka TPN/OPM itu, Senin (19/9) kemarin, tim Penyidik Polres Jayapura Kota memeriksa 2 saksi tambahan. “Kita sudah memanggil 2 saksi tambahan hari ini (kemarin) untuk melengekapi berkas perkara terhadap 2 tersangka pelaku pembakaran taksi serta pelaku penembakan di Kampung Nafri,” kata Kasubag Humas Polres Jayapura Kota, Ipda Heri Susanto SH saat dikonfirmasi wartawan, Senin (19/9) kemarin diruang kerjanya . Dikatakan, untuk hasil pemeriksaan terhadap kedua saksi tambahan pihaknya belum bisa dibeberkan karena mereka masih tahap pemeriksaan oleh Penyidik Reskrim Polres Jayapura Kota.

“Penyidik masih mengumpulkan bukti-bukti saat terjadi pembakaran di tanjakan Skyland dan penembakan di Tanjakan Kampung Nafri beberapa bulan lalu untuk memperkuat berkas perkara terhadap kedua tersangka yang berhasil ditangkap di tanjakan Skyland 31 Agustus lalu,” ujarnya

Kasubag Humas menuturkan, selain memeriksan kedua saksi ini pihaknya juga akan memanggil saksi lainnya, sehingga proses penyerahan pemberkasan lebih cepat. “Untuk pemanggilan saksi orang yang melihat orang yang lolos pada saat sekelompok kriminal bersenjata melakukan penembakan terhadap warga,” tandasnya

Dijelaskan, khusus tersangka PK terlibat dalam kasus pembakaran dan pembunuhan sopir taksi serta penembakan di Kampung Nafri tanggal 1 Agustus 2011 lalu, sedangkan tersangka EK hanya terlibat kasus pembakaran dan pembunuhan terhadap sopir taksi di tanjakan Skyland.

“Untuk itu, terkait pemeriksaan terhadap saksi-saksi ini mudah-mudahan terungkap pelaku lainnya. Yang jelas, polisi akan terus bekerja melakukan pengejaran terhadap pelaku pembunuhan sopir taksi dan pelaku penembakan di KIampung Nafri yang selama ini terjadi,”jelasnya.(CR32/don/l03)

BP, Senin, 19 September 2011 18:04

DAP: Keputusan di Tingkat Suku itu Final

Dari kanan ke kiri : Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, Ketua MRP, Timotius Murib, Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay, saat berdialog soal orang asli Papua yang berhak maju dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua di LPP RRI Jayapura, kemarin.
Dari kanan ke kiri : Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, Ketua MRP, Timotius Murib, Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay, saat berdialog soal orang asli Papua yang berhak maju dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua di LPP RRI Jayapura, kemarin.

Dari kanan ke kiri : Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, Ketua MRP, Timotius Murib, Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay, saat berdialog soal orang asli Papua yang berhak maju dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua di LPP RRI Jayapura, kemarin.

JAYAPURA-Perdebatan tentang orang asli Papua untuk mencalonkan diri sebagai calon gubernur/calon wakil gubernur Provinsi Papua terus mengundang perhatian masyarakat di Tanah Papua, sebagai wujud dari hak kesulungan itu sendiri.

Sebagaimana terungkap dalam dialog interaktif di LPP RRI Jayapura, kemarin (16/9), hal itu mengundang sejumlah pernyataan-pernyataan dan tanggapan dari masyarakat.

Ketua I Dewan Adat Papua (DAP), Wiliam Bonay mengatakan, orang Papua terdiri dari 250 suku dan pernyataan ini selalu dibicarakan oleh pemerintah setiap saat, tapi tidak pernah mengurus adat dan kebudayaan masyarakat adat asli Papua. Atas hal itu, DAP mencoba merangkul suku-suku yang ada biarlah ada perhatian. Dan dalam perjalannya, DAP menemukan beberapa hal yang akhirnya dirumuskan, salah satunya rumusan mengenai orang asli Papua, yang ternyata yang dapat dikategorikan sebagai orang asli Papua ialah bisa masyarakat asli Papua, masyarakat peranakan Papua, dan masyarakat yang diangkat dan diakui sebagai adat oleh suku-suku di Papua.

Nah, mengenai persoalan konteks kepentingan politik, DAP mendorong sebuah ukuran bahwa orang yang bisa menjadi gubernur itu harus punya hati untuk membangun Papua dan rakyat Papua. Dan yang punya hati itu yakni baik yang asli Papua maupun yang non Papua. “Dengan demikian, jika ada yang tetap bersikeras untuk calon gubernur/wakil gubernur yang harus orang asli Papua, maka seharusnya dipotong kalimat ‘dan atau’ pada pasal 1 huruf T UU No 21 Tahun 2001 tersebut. Dan jika kalimat ‘dan atau orang yang diangkat dan diakui sebagai orang asli Papua’ itu dipotong alias tidak digunakan dalam pencalonan gubernur/wakil gubernur, itu berarti sudah hal yang salah dan melanggar aturan hukum, karena kalimat ‘dan atau’ itu adalah bagian yang melekat dalam UU otsus itu, dan itu tidak bisa disangkal oleh siapapun juga,” tegasnya.
Menurutnya, apabila itu dipaksakan dalam hal itu kalimat ‘dan atau’ tidak digunakan maka pasal 1 huruf T UU No 21 Tahun 2011 itu harus diamandemen supaya tidak ada penambahan kalimat lagi, sehingga cukup saja kalimat calon gubernur/wakil gubernur adalah orang Papua asli.
“Saya mau memberikan arahan bagi teman-teman di DPRP dan MRP, agar lihat UU otsus itu secara utuh, kalau negara sudah menyatakan demikian, ya harus demikian. Sekarang kaitannya dengan keinginan Papua asli, saya sampaikan bahwa ini keputusan masyarakat adat, bahwa yang disebut sebagai masyarakat asli Papua adalah asli, campuran dan orang yang diangkat dan diakui sebagai anak adat asli Papua. kenapa? Karena itu ada dalam kehidupan adat kita di tanah Papua,” ungkapnya kepada Cenderawasih Pos, di LPP RRI Jayapura, Jumat,(16/9).

Dimisalkannya, dirinya mempunyai saudara perempuan kawin dengan seorang laki-laki yang bukan asli Papua. Dan di sini jika anak dari saudara perempuannya itu ada orang lain menyangkalnya, maka dirinya pasti marah dan memukul orang tersebut yang menyangkal itu sampai mati, karena dirinya adalah selaku seorang paman yang secara adat wajib melindungi saudara perempuan dan anak-anaknya itu.

Untuk itulah, jika berbicara soal adat, maka di sini seharusnya dalam pengambilan keputusan tentang keaslian Papua, baik MRP dan DPRP juga harus mempertimbangkan keputusan adat yang sudah diputuskan yang mana mendahului MRP dilantik.

Ditegaskannya, DAP sifatnya hanya mengurus adat , tidak memiliki kepentingan apa-apa. Karena ada keinginan dirinya bahwa siapapun bupati/walikota atau gubernur, dirinya selalu mendorong agar hendaknya anggaran 5 persen dari APBD juga dialokasikan bagi kebudayaan, sebagai mana dialokasikan pada pendidikan dan kesehatan, karena membangun budaya Papua ini luar biasa dengan sekian ratus suku, sehingga ketika kita sampai pada proses-proses pemilukada pemerintah tingkat satu dan tingkat dua seperti ini, itu tidak menjadi permasalahan, karena adat sudah dipersiapkan, dimana ketika adat bersanding dengan pemerintah dalam mengurus proses-proses jabatan-jabatan negara ini, menjadi tidak masalah, tapi tidak terjadi seperti itu selama ini.

“Kami berupaya mendorong dengan mencegah jangan terjadinya perdebatan-perdebatan seperti sekarang ini, sebagaimana perdebatan di dalam diskusi itu. Seperti pada diskusi itu ada masyarakat yang menelpon bahwa bagaimana dengan warga Papua yang dulunya orang tuanya datang ke Papua untuk menjadikan orang Papua tahu baca dan menulis dan tahu akan kebenaran Firman Tuhan itu, mereka merasa tersisih kan, sehingga kita buat rumusan itu kan, karena ada bupati/walikota yang pernah didorong untuk calonkan diri, karena orang tuanya datang membangun daerah ini dan itu, juga orangnya baik,” imbuhnya.

Dijelaskannya, orang yang punya hati untuk membangun itu hanya bisa diukur pada suku di mana orang itu berada dan dibesarkan, yakni, berbuat dan bekerja untuk masyarakat di Suku itu, sehingga orang itu didorong dan diangkat sebagai anak adat melalui suatu proses adat. Kemudian pemilihan gubernur, UU menyatakan dan orang lain yang diakui. Kalau begitu UU yang salah, karena kenapa membuka ruang seperti itu, yakni pengakuan adat terhadap mereka yang diangkat menjadi anak adat. “Jadi proses adat itu tidak ada kaitannya dengan pemilihan gubernur, tapi karena perintah UU. Jadi saran saya, kalau mau dibatasi itu Papua asli, maka seharusnya pemilukada gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua harus ditunda dulu, dan UU Otsus harus diamandemen pasal yang mengatur soal orang asli Papua itu, supaya kita tidak menciderai UU. Tapi bagi kami adat, keputusan di adat itu murni adat demi kebersamaan, soal Papua asli dan tidak asli itu DPRP yang memutuskannya, MRP yang mengusulkan tapi keputusannya itu di DPRP,” sambungnya.

Ditambahkannya, sampai saat ini dirinya belum tahu siapa wakil adat yang di MRP yang akan berkonsultasi dengan DAP. Namun bila di sini bila MRP merasa dia itu adat, maka itu sebuah kekeliruan, karena MRP itu bukan adat, tapi MRP itu wakil adat, dan MRP harus berkonsultasi ke wakil-wakil adat yang resmi, yang lahir bukan karena pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua baru muncul, tapi wakil adat yang resmi berdiri sejak lama dan berjuang untuk adat.

Terkait dengan itu, dirinya menyarankan, dalam merumuskan asli atau tidak asli Papua harus dirumuskan dengan baik dalam Perdasusnya, karena yang namanya orang politik, tidak akan pernah puas apabila belum ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena rujukannya ialah UU otsus itu sendiri, sebab di sini berbicara soal untung dan rugi karena menyangkut uang.
“Bagi kami DAP keputusan di tingkat suku itu final dan mengakui seorang anak diakui sebagai anak adat, maka suku lain harus mengakui, karena di sini habis kepala suku itu adalah Tuhan, jadi rujukannya UU supaya tidak salah dalam melangkah. Untuk menjadi calon gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua menjadi ukuran adalah yang punya hati dengan tulus,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Ketua Badan Otoritas Adat Sentani, Franzalbert Joku, menyatakan, ciri dan bentuk komunitas di Papua dan tempat lain, itu terus mengalami perubahan seiring dengan perjalan waktu, sehingga di sini, defenisi orang asli Papua, itu sangat tidak stabil, sebagaimana yang disampaikan oleh Wilian Bonay, yang mana jika keponakannya itu, nantinya ke depan punya hak untuk jadi bupati/walikota/gubernur atau hak lainnya apakah itu ada ataukah tidak, karena ayahnya bukan orang asli Papua. Itu masalahnya.

” Dengan demikian, apabila kita di sini tidak bisa mengisolir diri, sebab sejarah perjalanan umat manusia sudah cukup mengisolir Papua, dan jangan selaku orang Papua terus membentengi diri dengan berbagai macam UU dan peraturan-peraturan untuk mengisolir diri dari kesempatan untuk berinteraksi dengan kultur, budaya, etnis dan pengalaman-pengalaman baru dengan para pihak lain. Karena mengisolir diri itu sesuatu yang berbahaya,” ujarnya.

Menurutnya, sudah terbukti di dunia bahwa komunitas yang memilih atau dengan tidak sengaja mengisolir diri itu akhirnya tidak maju sama sekali, seperti komunitas di Asia, India, Australia, Amerika Serikat dan di mana-mana yang adalah penduduk asli mengisolir diri akhirnya hidup dalam keterbelakangan. Ini yang membuat dirinya prihatin, supaya tidak terjadi di Papua.
“Atas dasar itulah, sebaiknya semua pihak kembali berpatokan pada UU otsus, karena UU otsus sudah memberikan peluang, sehingga seharusnya tidak perlu dipersoalkan lagi mereka yang diangkat atau mereka yang peranakan, karena mereka adalah bagian dari integral komunitas Papua dan harus diberikan peluang, apalagi sudah membuktikan dirinya untuk mengabdi dan melayani serta menuntut hak-haknya sebagai bagian dari orang Papua di dalam karirnya selama ini,” tandasnya.

Sementara itu, Ketua MRP, Timotius Murib, menegaskan, syarat dalam mencalonkan diri sebagai calon gubernur/calon wakil gubernur Provinsi Papua telah diatur dalam UU No 21 Tahun 2011, dan dalam perjalanannya terdapat sejumlah persoalan.

Menurutnya, sudah 11 tahun UU otsus diberlakukan, tapi semua harus jujur bahwa ada masyarakat yang merasa belum merasakan apa manfaat dari dana otsus itu, padahal ada dana yang luar biasa besarnya diturunkan. Oleh karena itu, dirinya berharap, ini sebuah pengalaman dimana bisa dievaluasi, untuk apa yang harus dilakukan pasangan gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua yang baru ini.

Soal keaslian orang Papua, pada pemilukada 6 tahun silam di mana sebelum adanya Perdasus, namun ada pasangan yang digugurkan, yakni, H.Musa’ad karena dengan alasan mengandung turunan matrilineal bukan patrilineal, meski mamanya Fakfak asli, tapi tetap digugurkan. Tetapi kondisi periode sekarang sudah ada Perdasus yang sedang disusun, yang menjadi salah satu seleksi bagi calon gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua saat ini maupun ke depannya.
“Kalau ada salah satu suku mengangkat dan mengakui seorang menjadi anak adat asli Papua, maka MRP adalah roh yang datang dari 250 suku di Papua itu, sehingga kami tidak serta merta menyerahkan hak kesulungan kepada orang yang diakui itu. 7 suku atau berapa sukupun mengakui orang itu sebagai asli Papua, ini belum ada kategori-kategori yang mengakui sampai beberapa sukupun mengakui, kemudian kami menyerahkan hak kesulungan itu, itu tidak seperti itu,” imbuhnya.

“Memang kenyataannya selama ini ada istilah Papua tipu Papua, atau Papua makan Papua. Itu mulai terdengar saat otsus diberlakukan, waktu diskusi, saya katakan kami punya rekaman bahwa di beberapa kota/kabupaten di Tanah Papua, yang waktu itu dipimpin oleh teman-teman yang bukan asli Papua yang memimpin, tapi luar biasa pembangunannya, semua elemen mereka bisa sangggup dan menjamin, dan masyarakat merasa sejahtera. Setelah adanya otsus, kemudian mengklaim bahwa untuk jadi gubernur/wakil gubernur atau bupati/wakil bupati harus orang asli Papua, sekalipun belum ada aturan, tapi masyarakat mau memilih suku sendiri, tapi kenyataannya pembangunan belum sama sekali menyentuh kepentingan masyarakat. Ini suatu pelajaran yang harus dievaluasi oleh kepada yang mencalonkan diri maju dalam pemilukada kabupaten/kota dan pemilukada Provinsi Papua,” ujarnya.

Ditegaskannya, memang UU otsus sudah mengamanatkan yang mencalonkan diri adalah orang asli Papua, kemudian semangat itu diturunkan pada putusan seperti Perdasus, oleh karena itu, kalau Perdasus berlaku seperti apa, seluruh pasangan calon gubernur/wakil gubernur Provinsi Papua harus menyesuaikan dengan aturan yang akan berlaku, bukan aturan mengikuti seseorang atau pasangan.

“Soal hak kesulungan, ibarat Raja Daud yang adalah anak bungsu, namun dipilih Allah sebagai Raja bagi Bangsa Israel, dan ini Tuhan menyerahkan hak kesulungan bagi Raja Daud, bukan kepada kakak-kakaknya Raja Daud, soal itu pasti akan bergeser mengenai asli Papua dan non Papua, dimana orang tidak lagi peduli dengan asli Papua, dan ketika dari waktu ke waktu orang asli Papua tapi tidak ada perubahan atau tidak berhasil, maka hak kesulungan itu pasti bergeser, tapi kami tidak akan mimpi untuk bicara itu tapi kalau secara alami boleh terjadi, itu hal yang alami begitu. Itu silakan saja. Sikap kami MRP bahwa kami tetap ke depankan semangat UU otsus bahwa calon Gubernur/Wakil Gubernur Provinsi Papua itu harus orang asli Papua, dan itu tidak termasuk yang diakui atau diangkat sebagai anak adat,” pungkasnya.(nls)

Sabtu, 17 September 2011 , 04:36:00

MRP Gugat Pengesahan Kantor MRPPB ke PTUN

Jayapura-Majelis Rakyat Papua (MRP) menggugat keputusan Gubernur Papua Barat tentang pengesahan kantor Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) tertanggal 14 Juni 2011 nomor 161/101/VI.2011 di PTUN.

Gugatan tersebut resmi didaftarakan di PTUN pada pukul 10 pagi 8/9 dengan nomor pendaftaran 38/G.TUN/2011/PTUN.JPR. Hal tersebut disampaikan Tina Kogoya, koordinator tim penggugat dari gabungan anggota MRP dan MRPB dalam jumpa pers Kamis (8/9) di Prima Garden Abepura. Tina mengatakan “atas kesepakatan bersama antara anggota MRP dan MRPB kami mendaftar gugatan di PTUN,”katanya.

Lebih lanjut Tina mengatakan, “sesuai dengan amanat undang-undang otonomi khusus bahwa lembaga MRP adalah lembaga kultur dan lembaga kultur di Papua hanya satu, sehingga kalau belakangan ini kebijakan pemerintah diluar dari rel undang-undang otonomi khusus sperti ini, maka masyarakat papua merasa dirugikan, untuk itu kami yang sementara menduduki lembaga kultur atas kepercayaan masyarakat ini punya hak atas nama masyarakat menggugat guna mencerakan otonomi khusus yang sebenarnya,”katanya.

Ditambakannya lagi “dalam pembahasan tatip, kami sudah sepakati bahwa MRP di Papua satu dan di dalamnya ada tiga pimpinan yaitu ketua, wakil ketua 1 dan wakil ketua 2 kemudian sesuai dengan tatip secara terbuka dan aklamasi sudah adakan pemilihan untuk memili tiga pimpinan dan hal itu sudah terlaksana bahwa dapat terpilih Ibu Ola Woramuri, Timotius Murip dan Herman Saud.

Menurutnya karena MRP sebagai lembaga kultur yang dibentuk sesuai amanat undang-undang otonomi kuhusus satu di Papua.

“Untuk itu kami juga menolak tegas kepentingan sekelompok orang membentuk MRP-MRP baru, kami bukan mengabaikan surat keputusan menteri dalam negeri tetapi, menteri dalam negeri melihat karena ada permintaan pemerintah daerah, sehingga kami berharap pemerintah daerah papua barat secara jeli melihat undang-undang otonomi khusus yang sebenarnya,”katanya. (CR 31/don/l03)

BintangPapua.com, Kamis, 08 September 2011 23:43

Komnas HAM Kumpulkan Data

JAYAPURA – Meskipun penahanannya sudah dilepas, namun proses penangkapan 15 orang di kawasan Skayland pada 31 Agustus lalu oleh aparat gabungan TNI dan Polri, yang kemudian 13 diantaranya dilepas, masih tetap menjadi perhatian serius Komnas HAM Perwakilan Papua. Hal itu setelah Komnas HAM menerima pengaduan dari keluarga Korban. “Perkembangan kasus 31 Agustus itu sedang dalam pemantauan, kami mengikutinya dari sejak peristiwa terjadi hingga sekarang,” ungkap Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Mathius Murib saat ditemui Bintang Papua di Waena, Kamis (8/9).

Menurutnya, ada yang menarik dalam proses penggrebekan dan penangkapan hingga pembebasan 13 diantaranya. “Menariknya tidak prosedural, ada penyiksaan, bahkan yang lebih ngeri itu ada anak sekitar 7 atau 8 tahun yang ternyata diculik pada waktu itu,” jelasnya. Sejak mendapat pengaduan dari keluarga korban, dikatakan bahwa pihaknya terus melakukan pemantauan. “Sejak peristiwa itu kami sudah mendapat pengaduan dari korban, dan kami sedang memantau sampai sekarang,” jelansya.

Dikatakan, dalam beberapa hari ke depan, hasil pemantauan dan pengumpulan data telah selesai. “Hasilnya belum bisa diungkapkan. Dalam beberapa hari ke depan mudah-mudahan selesai,” jelasnya lagi.

Disinggung tentang klaim KNPB bahwa ada rekayasa dalam sejumlah peristiwa yang terjadi di Papua dan khususnya di Kota Jayapura, menurutnya harus melalui pembuktian secara hukum. “Untuk mengarah ke pembuktian itu siapapun boleh memberikan pendapat, tapi hendaknya berdasarkan investigasi yang benar-benar, sehingga hasil investigasi itu bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.

Menurutnya, jika telah dilakukan investigasi, baru diketahui hasilnya. “Harusnya klaim bahwa siapa yang harus bertangungjawab, ini motifnya, ini rekayasa atau bukan. Semestinya begitu (berdasarkan data akurat). Kalau mau buat pernyataan saja boleh, itu hak, tetapi semestinya melalui prosedur yang baik,” ujarnya lagi.

Sedangkan saat disinggung apakah belum ada investigasi secara menyeluruh, dikatakan bahwa hal itu merupakan masalah tersendiri. Karena kejadian yang beruntun dan hamper setiap hari ada kasus yang harus ditangani polisi.

“Itu yang masalah kita. Seperti diakui oleh polisi bahwa kita kewalahan, insiden terjadi setiap hari, bahkan satu orang bisa lebih dari satu kasus. Dalam kondisi seperti itu, siapapun sebagai manusia biasa terbatas. Polisi ka, LSM ka, Komnas HAM ka, itu terbatas. Akan tetapi apapun alasannya peristiwa itu harus diungkap dan proses pengungkapannya kewenangannya lebih besar ke Polisi,” ungkapnya.

Saat ditanya tentang apakah Komnas HAM juga berupaya melakukan investigasi, dikatakan bahwa pihaknya terkendala oleh batasan kewenangan. “Prosedurnya harus ada pengaduan resmi. Kedua advis yang terbatas, sehingga kita hanya memantau, dan merekomendasikan,” hanya itu.

Sementara proses penegakan hukum hingga pengungkapan adalah menjadi tanggungjawab Polisi. Sedangkan terkait peran pemerintah, menurutnya sat ini eksekutif maupun legislative terkesan masih diam.

“Jadi selama ini yang sibuk itu NGO, gereja, Komanas HAM, Polisi, tapi elit politik ini diam saja. Ada beberapa kali mereka buat pernyataan. Yang dibutuhkan kan bukan hanya pernyataan-pernyataan. Tapi bisa mengunakan sesuai kewenangan untuk bertindak dalam merubah situasi untuk lebih baik. Itu fungsi legislasinya kan ada di DPR. DPR bisa menggunakan kewenangan itu,” jelasnya.(aj/don/l03)

BintangPapua.com, Kamis, 08 September 2011 23:43

Danny Kogoya Jadi Target

Kapolda Papua Irjen Pol Drs BL Tobing saat memberikan keterangan pers
Kapolda Papua Irjen Pol Drs BL Tobing saat memberikan keterangan pers

JAYAPURA—Danny Kogoya, yang disebut-sebut sebagai Panglima Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB), kini menjadi target penyergapan aparat. Kapolda Papua Irjen Pol Drs BL Tobing menegaskan, estimasi yang dilakukan pihaknya untuk memburu dan menangkap Danny Kogoya yang kini buron perlahan terkuak pasca penangkapan 21 orang (bukan 13 orang, Red) yang diduga pelaku penembakan di Tanjakan Kampung Nafri, Selasa (2/8) yang menewaskan seorang anggota TNI dan 3 warga sipil, serta pembunuhan terhadap seorang sopir angkutan sekaligus pembakaran kendaraan di Skyland pada 7 Juni 2011. Dari jumlah tersebut 2 pelaku telah ditetapkan sebagai tersangka masing masing EK dan PK melalui operasi Gabungan TNI/Polri di Kampung Horas Gunung Skyland, Jayapura, Selasa (30/8) pukul 05.30 WIT.

Danny Kogoya selama ini masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) Polda Papua. Pasalnya, pada suatu kesempatan ia mengaku sebagai pelaku penembakan di Tanjakan Kampung Nafri.

Demikian Kapolda Papua Irjen Pol Drs BL Tobing ketika menyampaikan keterangan di Aula Cenderawasih, Mapolda Papua, Jayapura, Rabu (31/8). Kapolda menandaskan, saat diperiksa aparat PK mengaku terlibat aksi penembakan di Kampung Nafri dan pembunuhan seorang sopir taksi dan pembakaran kendaraan di Skyland.
Kapolda menjelaskan, pihaknya telah memeriksa 21 saksi dan menyita sejumlah dokumen. “Tunggu aja nanti kalau ketemu lagi yang berikutnya. Saya baru melangkah,” tandasnya.
Karena itu, lanjutnya, pasca penanggakan 2 pelaku ini dapat mengungkap pelaku pelaku yang lain.
“Kita akan terus melakukan penyisiran dan pengejaran terhadap pelaku yang lain. Saya selalu katakan sabar menunggu,” urainya sembari memohon agar media massa menyampaikan informasi terkait drama penangkapan ini secara obyektif dan positif.

“Dari satu ini mudah mudahan lebih cepat kita menguraikan, sehingga apa apa yang didambahkan masyarakat bisa dilakukan dengan baik.”

Dijelaskan, pihaknya tak mentolerir setiap peristiwa kejahatan yang melibatkan siapapun di Tanah Papua ini, apalagi tindakan melanggar hukum.

Senada dengan itu, Kapolresta Jayapura AKBP Imam Setiawan SIK menegaskan, Tim Gabungan TNI/Polri berjumlah 115 personil dipimpin Kapolresta Jayapura melakukan operasi pengejaran dan penangkapan terhadap kelompok TPN/OPM di Bukit Skyland yang diduga terlibat aksi penembakan dan kekerasan di Tanjakan Nafri pada 1 Agustus 2011 yang menewaskan 4 orang dan tindakan pidana pembunuhan serta pengrusakan sebuah kendaraan dengan cara dibakar yang terjadi di Tanjakan Skyland pada 7 Juni 2011 yang menewaskan seorang sopir taxi Anselmus Seran.

Dalam operasi tersebut dapat ditangkap salah satu dari 21 pelaku pembunuhan yang terjadi di Tanjakan Kampung Nafri dan pembunuhan di Tanjakan Skyland dengan inisial PK dan EK.

Dikatakan Kapolresta, dalam drama penangkapan tersebut selain barang bukti juga ditemukan dokumen yang jumlahnya sangat besar, tapi dokumen tersebut tak bisa disampaikan karena masih dipelajari. Barang bukti 4 peluru Jenis 12 Chaos yang identik dengan peluru yang digunakan saat insiden penembakan Nafri Jilid II serta sebuah buku diary kepunyaaan Danny Kogoya. (mdc/don/l03)

BintangPapua.com, Jumat, 02 September 2011 17:10

Komnas HAM Papua Surati Komnas HAM Pusat

JAYAPURA—Lantaran putusan Pengadilan Militer III-9 Jayapura Kamis (11/8) terhadap tiga pelaku TNI yang melakukan pembunuhan Pdt. Kinderman Gire dan penganiayaan Pinitus Kogoya dinilai jauh dari rasa keadilan yang dicari korban dan mengecewakan, apalagi tanpa menghadirkan saksi korban membuat Komnas HAM Perwakilan Papua menyurati Ketua Komnas HAM di Jakarta sebagai bentuk protes mereka. Protes dari Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Matius Murib disampaikan melalui ponsel kepada Bintang Papua, Selasa (16/8).

Ketiga pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap kedua gembala umat tersebut terjadi di Kampung Kolome, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Provinis Papua pada 7 Maret 2010. Ketiga terdakwa yang sudah divonis adalah masing masing Pratu Herry Purwanto anggota TNI Yonif 754/AVT Nabire diganjar hukuman penjara selama 1 tahun 3 bulan.
Sertu Saut Sihombing 7 bulan serta Pratu Hasirun 6 bulan.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, kasus perkara pembunuhan terhadap Pdt. Kinderman Gire di Kampung Kolome, Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Provinis Papua terjadi pada 17 Maret 2010 ketika pelaku melakukan pengewalan 30 kendaraan sipil yang mengangkut logistik untuk kebutuhan warga di Mulia, Ibukota Kabupaten Puncak Jaya. Namun, saat perjalanan persisnya di tanjakan sebelum tiba di Pintu Angin kendaraan terhenti lantaran jalan rusak. Tiba tiba korban mendatangi salah seorang sopir untuk menanyakan bensin yang dititipkannya. Saat itu juga, pelaku Pratu Hasirun menanyai korban tentang keberadaan senjata TPN-OPM sembari memukul korban bersama korban lainnya Pinitus Kogoya yang kebetulan berada didaerah tersebut.

Akibat pemukulan tersebut, korban Pdt. Kinderman Gire tertembak di bagian punggung dan tewas di tempat. Sedangkan Pinitus Kogoya berhasil melarikan diri. (mdc/don/l03)

Kamis, 18 Agustus 2011 17:33

Pembebasan Buktar Tabuni Disambut Isak Tangis

kemarin”]DIJEMPUT : Buktar Tabuni, saat disambut sejumlah warga yang menjemputnya, setelah ia dipastikan bebas dari tahanan di Lapas Narkotika Doyo, Rabu [17/8] kemarinSENTANI [PAPOS]- Peringatan HUT Kemardekaan RI ke-66 yang jatuh, hari Rabu [17/8] membawa suka cita bagi tahanan. Salah satunya Buktar Tabuni mendapatkan remisi bebas bersama tiga orang lainnya. Remisi itu di sambut isak tangis belasan masa yang menjemput Buktar Tabuni di Lapas Narkotika Kelas II A Jayapura, Doyo Kabupaten Jayapura.

Dari pantauan Papua Pos, Buktar ketika keluar dari pintu Lapas Narkortika Doyo, langsung disambut isak tangis belasan masanya yang menjemputnya, isak tangispun tampak kelihatan di raut wajah sejumlah warga yang menjemput itu.

Sebelum dilepaskan, Buktar sempat memberikan sejumlah penjelasan kepada wartawan di halaman Lapas Narkotika, terkait dengan pembabasan dirinya. Kebebasan yang di dapatkannya itu, menurut Buktar Tabuni dianggapnya sebagai suatu penghinaan atas bangsa Papua Barat, karena diberikan bertepatan dengan HUT RI Ke 66. Ia menilai pembebasan dirinya sebenarnya bukan 3 bulan yang akhirnya jatuh pada 17 Agustus, tetapi 2 minggu 3 hari, mereka menunggu dan tunda sampai 17 Agustus.

“Bagi saya sebagai tahanan politik ini suatu penghinaan, dan pemebebasan tahanan politik pada hari kemerdekaan Indonesia adalah bertentangan, kami kecewa karena ini menyangkut harga diri bangsa Papua Barat,” imbuhnya.

Oleh karena itu lanjut Buktar, meski pembebasan dirinya jatuh pada 17 Agustus, namun bukan berarti perjuangannya selesai atau malah menceritakan kemardekaan Indonesia, tetapi perjuangan baginya tetap saja jalan.

“Saya bersama tahana politik lainnya tidak terima dengan pemberian remisi di hari kemerdekaan bangsa Indonesia, kami bangsa Papua Barat tidak mengakui karena nenek moyang kami tidak pernah berjuang untuk Indonesia, melainkan kami adalah bangsa Papua Barat rumpun melanesia, berjuang untuk kebebasan bangsa papua barat,” kata Buktar dengan tegas.

Buktar kembali mengklaim kebebasan dirinya bukan bertepatan dengan 17 Agustus yang kini bertepatan dengan HUT RI ke-66. Justru malah ia menuding pembebasan dirinya merupakan konspirasi poltik untuk mencari pemulihan nama baik pemerintah Indonesia di mata masyarakat Internasional.

Usai menyampaikan keterangannya, Buktar bersama sejumlah warga yang menjemputnya langsung meninggalkan Lapas Narkotika Doyo, dengan iring-iringan kendaraan menuju ke arah Kota Sentani. [amros]

Written by Amros/Papos
Thursday, 18 August 2011 00:00

TNI Penyiksa Warga Divonis Tujuh Bulan Sampai Satu Tahun Tiga Bulan Penjara

JUBI — Siang tadi, Kamis (11/8) majelis hakim Pengadilan Oditur Militer III-19 Jayapura, Papua memvonis tiga orang anggotanya. Tiga oknum anggota TNI itu dihukum penjara lantaran menyiksa Ginderman Gire, warga Puncak Jaya hingga tewas.

Dalam sidang yang dipimpin oleh ketua majelis hakim Letkol Adil Karo-Karo dan Mayor CHK Suyitno, Kamis, masing-masing terdakwa divonis tujuh sampai satu tahun tiga bulan penjara. Mereka adalah Sertu Saut Tong  Sihombing, Pratu Hasirun dan Prada Hery Purwanto. Sertu Saut Tong  Sihombing divonis 7 bulan penjara, Pratu Hasirun dijatuhkan hukuman selama 6 bulan penjara. Sementara, prada Hery Purwanto dihukum selama satu tahun tiga bulan penjara.

“Prada Hery Purwanto terpaksa harus dijatuhi hukuman berat karena sudah melanggar perintah dins tapi juga melakukan penganiayaan hingga pembunuhan dengan sengaja. Sementara dua rekannya dihukum ringan lantaran terlibat dalam penganiayaan,” kata panitera  Pengadilan Militer Jayapura, Kapten Mahmud Saleh saat diwawancarai pers di Jayapura.

Sebelumnya, dalam sidang yang digelar pada Jumat, 27 Juli lalu, Prada Hery Purwanto yang menembak pendeta Gire dituntut Oditur dengan kurungan badan 12 bulan penjara. Sertu Saut Tong  Sihombing dituntut 7 bulan penjara. Selanjutnya, terdakwa Pratu Hasirun mendapat tuntutan 6 bulan kurungan badan.

Terdakwa Sertu Saut Tong  Sihombing dituding melanggar pasal 103 junto ayat 1 KUHP Militer dan pasal 351 KUHP yakni melanggar perintah dinas. Kemudian, melakukan penganiayaan. Pratu Hasirun melanggar pasal 103 KUHP Militer. Sementara, Prada Hery Purwanto diikat dengan pasal 103 KUP Militer dan pasal 359 KUHP yaitu tak melaksanakan perintah dinas sekaligus melakukan penganiayaan secara sengaja hingga seorang warga tewas. (J/06)

 

Tahanan Polsek Kawasan Bandara Sentani Tewas

SENTANI-Jajaran Polsek Kawasan Bandara Sentani Sabtu (28/5) sekitar pukul 19.00 WIT dikejutkan dengan penemuan salah seorang warga bernama Alfius Molay (35) dalam keadaan tidak bernyawa di dalam tahanan Polsek Kawasan Bandara Sentani. Korban ditemukan pertama kali oleh salah satu anggota jaga bernama Briptu Stevi Pangaya yang sedang melakukan pemeriksaan ke ruang tahanan. Kapolres Jayapura AKBP Mathius Fakhiri SIK ketika dikonfirmasi wartwan melalui Kapolsek Kawasan Udara Sentani Iptu Harianja membenarkan tahanannya bernama Alfius Malai itu telah meninggal dunia. Namun menurut Kapolsek, penyebab kematian korban sampai saat ini masih misteri, apakah karena over dosis konsumsi minuman keras ataukah penyebab kematian korban karena yang bersangkutan dianiaya. Karena menurut Kapolsek sebelum diamankan korban awalnya diduga melakukan aksi yang menggangu ketertiban umum di dalam terminal bandara dalam keadaan mabuk berat dan tubuhnya juga sudah melemas.

Saat diamankan petugas, salah satu pelipis mata korban telah dalam keadaan mengalami luka sobek sekitar 2 cm yang mana diduga korban sebelumnya telah dianiaya. Saat diamankan sekitar pukul 17.10 korban langsung disuruh istirahat di dalam ruang tahanan, seperti biasanya petugas mengamankan oknum warga yang ditemukan mabuk berat dan menggangu ketertiban umum di bandara.

Namun ketika pukul 18.00 Briptu Stevi Pangaya yang pada saat itu sedang piket melakukan pemeriksaan ke dalam ruang tahanan dan menemukan korban sedang tertidur, dan untuk memastikan korban baik-baik saja Briptu Stevi Pangaya memanggil salah satu rekan piketnya bernama Johan M Telussa untuk memeriksa korban.

Namun saat keduanya memeriksa korban denyutnya nyadinya berdenyut lambat sekali, dan keduanya langsung menghubungi Kapolsek. “Ketika 2 anggota saya memeriksa nadi korban melemah keduanya langsung menghubungi saya dan saya memerintahkan untuk segera dilarikan ke RSUD Yowari,” jelas Kapolsek kepada wartwan kemarin.

Menurut Kapolsek dalam perjalanan dirinya sempat mengontak anak buahnya dan keduanya melaporkan nadi korban telah kembali normal, namun ketika korban masuk ke dalam UGD nadinya tiba-tiba melemah lagi, dan akhirnya nyawa pria yang diduga akan berangkat ke Kabupaten Yahukimo itu sudah tidak tertolong lagi.

Kapolsek juga menjelaskan bahwa saat ini pihaknya sedang melakukan outopsi untuk memastikan penyebab sebenarnya dari kematian korban. “Kami sedang outopsi, untuk memastikan penyebab kematiannya,” ujarnya melalui pesan singkat pada ahad (29/5) kemarin.

Selain itu Kapolsek juga menjelaskan pihaknya juga telah memeriksa daftar tugas security di bandara Sentani untuk juga dimintai keterangannya terkait penyebab luka di pelipis mata korban itu.

Sementara itu, beberapa para tukang ojek di bandara Sentani mengatakan bahwa sebelum diamankan korban yang dalam keadaan mabuk berat sekali dan tubuhnya sangat lemas itu berulang kali ditolak oleh para petugas di pintu masuk keberangkatan karena yang bersangkutan dalam keadaan mabuk berat. Saat itu sekitar pukul 11.00 WIT korban keluar ke parkiran terminal bandara.

Dan tepatnya pada deretan parkiran ketiga salah satu mobil kijang avanza berwarna biru tiba-tiba berpapasan dengan korban, pada saat itu korban yang masih terlihat kesal karena ditolak di pintu masuk keberangkatan itu langsung memukul mobil tersebut.

Saat itu terlihat salah seorang oknum anggota Polsek Kawasan bandara berinsial NVL turun dari mobil dan langsung melepaskan sebuah bonggem mentah ke pelipis mata korban dan langsung korban terjatuh dan mulutnya terbentur aspal dan mengeluarkan darah segar pula. “Waktu NVL pukul dia itu darah yang keluar itu macam air pancuran saja, jadi mungkin dia kehabisan darah tuh,” ujar Nobo salah seorang tukang ojek di bandara Sentani di dampingi beberapa rekannya sambil menunjukkan bekas-bekas darah di TKP kepada wartwan. Dan usai dipukul korban langsung diamankan ke Polsek Kawasan Bandara. (jim/don)

Tiga Anggota TNI Divonis 8-10 Bulan

terdakwa serda irianto berkonsultasi
terdakwa serda irianto berkonsultasi

JAYAPURA [PAPOS] – Sidang lanjutan kasus ‘’video kekerasan’’ yang dilakukan 3 terdakwa oknum anggota prajurit TNI Yonif 753/AVT Nabire terhadap warga di Pos Gurage, Distrik Tinggi Nambut, Kabupaten Puncak Jaya, bulan Mei 2010 silam, akhirnya divonis 8 hingga 10 bulan oleh Ketua Majelis Hakim, Letkol CKM Adil Karo-karo SH di pengadilan Mahmil III-19 Jayapura, Senin [24/1] kemarin.

Dalam persidangan secara terpisah putusan pertama terhadap, Serda Irwan Riskiyanto dinlai terbukti melakukan pelanggaran tindak pidana Militer dengan sengaja tidak mentaati perintah dinas dari atasan, sehingga dijatuhi putusan selama 10 bulan penjara. Sebelumnya Irwan tuntutan 12 bulan dan dikurangi masa tahanan.

“Terdakwa Serda Irwan dikenakan pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) KUHPM dan biaya perkara dikenakan sebesar Rp. 15.000,” ungkap Ketua Majelis Hakim, Letkol CKM Adil Karo-karo dalam pembacaan putusannya kemarin.

Selanjutnya putusan terhadap terdakwa, Pratu Thamrin Mahangiri diputuskan selama 8 bulan. Thamrin sebelumnya dintuntut 9 bulan penjara dan dikurangi masa tahanan serta dikenakan pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) KUHPM dan biaya perkara sebesar Rp 10.000.

Usai pembacaan putusan Pratu Thamrin Mahangiri, dilanjutkan pembacaan putusan terhadap terdakwa, Pratu Yason Agu. Dalam putusan yang dibacakan oleh ketua Majelis Hakim terdakwa divonis selama 9 bulan penjara di kurang masa tahanan dengan biaya perkara sebesar Rp 10.000 dan dikenakan pasal 103 ayat (1) Jo ayat (3) KUHPM.

Setelah diputuskan, Ketua Majelis Hakim kepada 3 terdakwa dan oditur meminta untuk berpikir-pikir selama 7 hari untuk naik banding. “Apabila keputusan ini tidak ada tanggapan dalam kurun waktu 3 hari, maka hasil putusan diterima,” kata Adil Karo-karo

Sementara itu, Kapendam XVII/Cenderwasih, Letkol CZI Harry Priyatna menegaskan, setiap prajurit melakukan pelanggaran, maka akan diambil tindakan sesuai aturan yang berlaku. Demikian juga persidangan digelar terbuka untuk umum, sehingga masyarakat tau komitmen TNI dilingkungan TNI untuk menegakan hukum.

Soal tentang pelanggaran HAM, Kapendam menyampaikan, TNI sudah diajarkan tentang pelanggaran HAM dan Hukum mulai dari pendidikan, bahkan setiap melakukan pelanggaran maka akan ditindak untuk diproses hukum sesuai aturan TNI.

Tak Pengaruhi Keputusan

Sementara itu, Wakil Ketua Komnas HAM, Matius Murib yang hadir mengikuti jalannya sidang mengatakan vonis terhadap ketiga terdakwa yang diputuskan di Pengadilan Militer tidak mempengaruhi keputusan Komnas HAM yang sudah ada. ” Ini sangat jelas kasus pelanggaran HAM berat. Keputusan ini tidak mempengaruhi sikap Komnas HAM,” tegasnya kepada wartawan.

Dikatakan, sesuai fungsi dan kewenangan Komnas HAM berdasarkan pemantauan saat melakukan kekerasan terhadap warga sipil, sudah diputuskan bahwa kasus ini merupakan pelanggaran HAM. “Kita dari Komnas HAM memiliki 2 fungsi, yakni fungsi mediasi dan fungsi penyelidikan,”imbuhnya

Matius Murib menilai keputusan yang dilakukan dipersidangan Pengadilan Militer merupakan internal mereka dan kepentingan profesionalisme mereka. Oleh karena itu, pihaknya tidak mau berdebat soal itu. “Tapi posisi Komnas HAM sudah jelas, kekerasan ini merupakan pelanggaran HAM berat,” tandasnya.[loy]

Written by Loy/Papos
Tuesday, 25 January 2011 00:00

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny