JAYAPURA – Kunjungan Jeremy Bally aktivis Tapol Napol yang melakukan kunjungan simpati dan solidaritas ke Lembaga Pemasyarakatan Abepura juga mendapat tanggapan dari Tokoh Intelektual Papua, Franzalbert Joku.
Kepada Bintang Papua, Rabu (18/12), Franzalbert Joku mengungkapkan, para tahanan termasuk Tapol Napol adalah warga negara yang hanya untuk sementara dibatasi kebebasannya bergerak secara leluasa, karena satu dan lain hal. Untuk itu, Tapol Napol harus mendapatkan pelayanan dan perhatian manusiawi.
Menurut Franzalbert Joku, semua tahanan perlu diberikan perhatian dan perlindungan yang sama sesuai hukum negara yang berlaku, walaupun perbuatan dan hukumannya berbeda beda.
“Namun hak asasi tetap melekat pada diri Tapol Napol sampai kapanpun. Mereka-Tapol Napol memang harus diberikan perhatian dan pelayanan sama,”
ujarnya singkat.
Sementara itu, DPRP menegaskan pemerintah jangan selalu menganggap Tapol/Napol Papua seperti musuh negara, karena mereka adalah orang-orang yang betul-betul dengan sadar dan hati ikhlas membela apa yang mereka rasa hak mereka.
Sekretaris Komisi A DPRP yang membidangi masalah Hukum, HAM dan Luar Negeri Julius Miagoni, S.H., menyampaikan ketika dikonfirmasi Bintang Papua di Jayapura, Rabu (18/12). Hal ini terkait Jeremi Bally (27), aktivis Kanada kepada Tapol/Napol Papua, yang mengunjungi Tapol/Napol yang selama ini ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Abepura dengan tuduhan tindakan pidana makar, antara lain : Filep Karma, Forkorus Yaboisembut, Selpius Bobii, Dominikus Serabut, Viktor Yeimo dan lain-lain.
Jeremi Bally juga menyampaikan 40 kartu pos dan pesan lain, yang dikumpulkanya dari aktivis Papua di Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Australia dan New Zealand, guna memberi dukungan kepada Tapol/Napol di Papua, ketika bersepeda keliling dunia selama 6 bulan terakhir sejak Juli 2013 lalu.
“Kami memberikan apresiasi kepada aktivis Kanada yang mengunjungi Tapol/Napol Papua, karena dia juga seorang manusia yang datang menyampaikan kepedulian kepada manusia lain di Papua,”
kicau Miagoni.
Sedangkan terkait harapan aktivis internasional, agar pemerintah Indonesia memperlakukan Tapol/Napol Papua secara manusiawai, sebagaimana disampaikan Plt. Sekretariat Komnas HAM Perwakilan Papua Fritz B Ramandey, S.Sos., M.H., dikatakan Miagoni, pihaknya sependapat. Tapi, ujar Miagoni, Tapol/Napol Papua perlu diperlakukan khusus.
Pertama, Tapol/Napol Papua tak memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar. Kedua,Tapol/Napol Papua tak melakukan pelanggaran dan kejahatan terhadap negara. Tapi mereka hanya membela apa yang mereka rasa punya hak. Ketiga, harus ada perubahan sikap setelah keluar dari tahanan.
Miagoni menjelaskan, Tapol/Napol Papua harus diperlakukan secara khusus, karena definisi makar mempunyai kriteria bahwa seorang betul-betul melakukan tindakan makar, seperti ada unsur sudah pegang alat tajam dan menyerang negara.
“Secara logika Tapol/Napol Papua tak melakukan sebuah kejahatan. Mereka itu orang-orang yang sehat jasmani sehingga tak perlu dibina, sehingga pemeritah harus mengerti out-put yang akan diperoleh setelah orang keluar dari tahanan, lanjut Miagoni.
Sesungguhnya, ujar Miagoni, Tapol/Napol Papua selama ini ditahan dengan alasan makar. Padahal mereka belum memenuhi unsur-unsur tindak pidana makar.
“Dan selama ini negara ini kan menahan orang itu kan tak jelas. Ini semacam balas dendam saja, karena seharusnya sebagai sebuah negara dia harus perhitungkan setelah dia ditahan kira-kira orang itu setelah keluar seperti apa, karena tujuan orang ditahan kan dibina setelah dia bebas dia tak lakukan hal-hal yang sama,”
beber Miagoni.
Dikatakan, selama ini negara tak memperhatikan Tapol/Napol, karena Indonesia menyangkut tahanan-menahan siapa saja atas nama negara mau tahan boleh saja. Tapi perlu juga dipertimbangkan setelah dia bebas dari tahanan harus ada perubahan.
“Jangan setelah dia keluar dari tahanan dia malah tambah jahat lagi,”
tukas Miagoni. (ven/mdc/don/l03)
Kamis, 19 Desember 2013 02:09, BinPa

















