Laporan Kekerasan, Kompolnas Akan Ke Papua

Ilustrasi Polisi di Papua (Jubi/Timoteus)
Ilustrasi Polisi di Papua (Jubi/Timoteus)

Jayapura – Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) akan mendatangi Papua terkait aksi penembakan di Aimas, Kabupaten Sorong, penangkapan sewenang-wenang dan pelarangan aksi damai oleh aparat kepolisian di beberapa kota di Papua sejak  30 April dan 1 -23 Mei 2013.

Sekretaris Kompolnas  Irjen Pol (Purn) Logan Siahaan saat bertemu Perwakilan National Papua Solidarity (Naspas) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) di Kantor Kompolnas mengatakan, untuk menikdaklanjuti laporan ini, Kompolnas akan mendatangi Papua.

“Jika ada penembakan yang mengakibatkan mengorbankan warga sipil harus ditindak tegas karena ini melecehkan kepolisiaan,”

kata Irjen Pol (Purn) Logan Siahaan, seperti diungkapkan Kordinator Napas, Zely Ariane dalam siaran pers yang diterima tabloidjubi.com dari Jakarta, Kamis (23/5).

Pertemuan berlangsung selama lebih dari satu jam, sejak pukul 11.00 hingga pukul 12.20 WIB, di Kantor Kompolnas Kemayoran Jakarta Selatan.

Irjen Pol (Purn) Logan, lanjut Zely, mengatakan, pihaknya menjamin, jika terjadi penangkapan tanpa bukti yang jelas, polisi itu harus ditangkap.

Penegasan itu disampaikan saat National Papua Solidarity (Naspas) dan Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) mengadukan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Papua, Irjen (Pol) Tito Karnavian ke Kompolnas, Kamis, atas tindakan penembakan, penyiksaan, penangkapan sewenang-wenang dan pelarangan aksi damai yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian di Tanah Papua.

Sejak 30 April sampai 23 Mei 2013, menurut laporan Napas, sedikitnya 31 korban kekerasan aparat kepolisian.  Tiga di antaranya tewas ditembak di Aimas Kabupaten Sorong. Sementara 28 orang lainnya ditangkap karena didug melakukan aksi damai.

Menurut Napas, saat pertemuan berlangsung, Irjen Pol (Purn) Logan menelpon Kapolda Papua Irjen (Pol) Tito Karnavian untuk menanyakan langsung atas laporan kekerasan di Tanah Papua, namun HPnya tidak diangkat. (Jubi/Timoteus Marten)

May 23, 2013,21:29,TJ

Buchtar: Kami Tetap Berjuang Papua Merdeka

Bukhtar Tabuni, Mantan Ketua KNPN, Ketua PNWP
Bukhtar Tabuni, Mantan Ketua KNPN, Ketua PNWP

JAYAPURA—Mantan Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Bucthar Tabuni menegaskan pihaknya tetap berjuang untuk kemerdekaan Papua Barat berpisah dari Negara Kesatuan Republik (NKRI).

“Kami juga tak akan mentaati aturan yang dibuat pemerintah Indonesia dan tetap melakukan demo apapun resikonya,” tukas Buchtar sebagaimana disampaikan Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, MA,PhD ketika dikonfirmasi usai acara Coffee Morning bersama tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh perempuan dan tokoh pemuda dalam rangka sosialisasi UU Nomor 9 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum di Aula Rupatama Polda Papua, Jayapura, Selasa (21/5)

Bucthar Tabuni menyatakan, pihaknya tak setuju aturan dalam UU Nomor 9 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sebaliknya akan terus-menerus menyuarakan perjuangan untuk kemerdekaan Papua Barat terpisah dari NKRI.
Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M, Tito Karnavian, MA.PhD menandaskan, ada bebeberapa poin yang bisa dipetik. Salah satunya, tak harus ada kesepakatan dan yang lebih penting adanya komunikasi serta saling memahami antara satu dengan yang lain.

“Kalaupun semua memiliki pendapat masing-masing kenapa tidak, toh bebas menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan,” tuturnya.
Dimana dalam poin pertama, terang Kapolda, aparat penegak hukum tetap berpatokan dalam UU No 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, selagi masih ada hukum positif, maka akan ditegakkan.

Sementara itu, dalam coffee morning itu Jubir KNPB Wim R. Medlama menuturkan pihaknya bersikeras akan tetap melanggar aturan, menggelar demo di Tanah Papua, meski pihak kepolisian tak akan menerbitkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP), dikarenakan KNPB tak terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Papua, sebab mendaftarkan diri di Kesbangpol itu tidak perlu bagi KNPB.

Wim Rocky Medlama juga menuding selama ini konflik antara pendemo dan kepolisian yang terjadi di lapangan saat aksi demo KNPB, bukan disebabkan simpatisannya, melainkan dari aparat kepolisian yang tengah mengamankan jalannya unjukrasa.

Menanggapi penyampaian Jubir KNPB, Direktur Intel Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki menegaskan, sesuai aturan perundang-undangan bahwa pihak kepolisian akan mengeluarkan STTP kepada organisasi yang terdaftar pada Kesbangpol. Artinya, harus organisasi yang jelas yang diperbolehkan menggelar aksi unjukrasa.

Terkait tudingan KNPB yang menyebutkan aparat kepolisian pemicu konflik di lapangan, Kapolres Jayapura Kota AKBP Alfred Papare, SIK demo yang digelar KNPB maupun Bucthar Tabuni telah berjalan dengan koordinasi yang baik. Bahkan, kepolisian juga memberikan kebebasan, tapi disaat demo berjalan koordinasi antara massa atau koordinator putus, akibatnya massa tak terkendali, bahkan anarkis.

Kapolres berpandangan dalam aksi unjukrasanya KNPB tak pernah menyampaikan aspirasinya kepada lembaga-lembaga yang ada, misalnya kepada DPRP maupun MRP, melainkan hanya menggelar orasi-orasi berpontensi separatis, makar dan mengganggu kepentingan umum.

“Soal sejarah Papua perlu dibahas dengan para pelaku sejarah, karena tak bisa mengklim versi diri sendiri sebagai sejarah yang paling benar,” imbuhnya. (mdc/don/l03)

Sumber: Rabu, 22 Mei 2013 06:04, Binpa

Enhanced by Zemanta

Petugas Lapas Abepura Persoalkan Kamera ELSHAM

FILEP KARMA (JUBI/APRILA)
FILEP KARMA (JUBI/APRILA)

Jayapura – Pengacara empat Tahanan Politik yaitu Nikodemus Sosomar dan kawan-kawan mendapat kendala saat hendak membesuk kliennya. Matius Rumbrapuk dari Lambaga Studi Advokasi Hak Asasi Manusia (Elsham) Papua yang membawa kamera dipersoalkan Arif, petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIA Abepura.

“Saya merasa, itu adalah aturan yang dibuat-buat untuk mencegah agar persoalan yang dilakukan di dalam Lapas tidak keluar ke publik,”

kata Matius Rumbrapuk kepada tabloidjubi.com di Kantor Elsham Papua, Padangbulan, Jayapura (21/5).

Menurut Rumbrapuk, ini adalah bentuk halus dari intimidasi dan diskriminasi melalui aturan ini. Tidak ada peraturannya tetapi mereka sendiri yang membuat aturan tersebut, ini pelecehan. Ini artinya pengacara tidak dihargai. Menurutnya, hal ini juga terjadi di Lapas Manokwari, Sorong dan Merauke. Bukan hanya pada Tahanan Politik (Tapol) tapi pada semua tahanan di Lapas.

“Kalau senjata, memang dilarang dan kami tidak memiliki dan tidak juga membawa peralatan yang dimaksud,” demikian kata Rumbrapuk lagi. Dirinya sempat meminta Arif, petugas Lapas tersebut untuk menunjukan aturan mana yang tidak memperbolehkan pengacara membawa kamera saat membesuk kliennya tetapi Arif tidak menunjukkan aturan tersebut.

Keempat Tapol yang dikunjungi yaitu Nikodemus Sosomar, Alex Makabori, Benny Teno dan Petrus Nerotouw. Keempat Tapol dalam keadaan sehat tanpa kekurangan apapun. Mereka masih menunggu proses persidangan minggu depan.

Mamfred Naa, pengacara dari Elsham Papua yang mendampingi Nikodemus dan kawan-kawan kepada tabloidjubi.com di Padangbulan membenarkan penahanan kamera Elsham di Lapas Klas IIA Abepura, Jayapura, Selasa (21/5).

“Secara aturan, dalam aturan baku secara hukum sebenarnya tidak melarang pengacara kamera. Itu kebijakan internal Lapas yang melarang hal tersebut,”

kata Naa.

Menurut Naa, pengambilan gambar ditujukan untuk pelaporan administrasi saja di Kantor Elsham bahwa barang-barang kebutuhan sehari-hari yang diberikan lembaga kepada Tapol yang menjadi klien sudah sampai ke tangan kliennya dengan baik. (Jubi/Aprila Wayar)

May 21, 2013,16:26,TJ

Markus Haluk : Polda Papua Bungkam Ruang Demokrasi

Markus Haluk (Ist)
Markus Haluk (Ist)

Jayapura – Sekertaris Jenderal Asosiasi Mahasiswa Pengunungan Tengah Papua se-Indonesia (Sekjen AMPTPI), Markus Haluk mengatakan, Kapolda Papua dan Wakapolda Papua kini, sangat membungkam ruang demokrasi rakyat Papua.

Menurut Markus, pembungkaman ruang demokrasi saat ini lebih para dari sebelumnya.

“Sebelumnya ada ruang demokrasi. Pembungkapan ruang demokrasi hari ini semakin ketat dan sama sekali tak ada diberi kelonggaran,”

tuturnya ke wartawan di Sekretariat AMPTPI, di Perumnas 1 Waena, Kota Jayapura, Papua, Kamis (23/5).

Pembungkaman ruang demokrasi itu, kata Markus, sangat terlihat dari pengamanan saat para mahasiswa melakukan demonstrasi yang harus dikawal dengan Mobil Baracuda Polisi, Mobil Panser Polisi, penghadangan, pembubaran, dan bahkan penolakan surat ijin demonstrasi.

“Situasi ini memperlihatkan wajah kepolisian yang menakutkan. Wajah polisi jauh dari slogan melindungi dan mengayomi rakyat. Kapolda Papua dan Wakapolda Papua kini adalah polisi otoriter, bukan polisi yang mengayomi masyarakat,”

tuturnya.

Pembukaman ruang demokrasi ini sangat tak benar dalam negara demokrasi.
“Rakyat mesti demo saja, entah dengan tutuntan merdeka atau tidak, sejauh aksi  itu tidak melukai rakyat, tidak perlu di larang. Ini demokrasi spontan atas korban sesama, keluarga, teman dan manusia. Tapi kepolisian jauh dari harapan kebebasan berekspresi,”
tegas Markus.

Sehingga menurut Markus, pemerintah Provinsi Papua, melalui Gubenur Papua, Kapolda Papua dan Pangdam XVII Cenderawasih, harus membuka ruang demokrasi.

“Guna rakyat Papua menyampaikan aspirasi mereka secara damai dan bermartabat sesuai amanat UU No 8 Tahun 999 tetang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dan sesuai dengan kovenan internasional mengenai hak-hak sipil dan politik,”

jelasnya. (Jubi/Mawel)

May 23, 2013,19:46,TJ

Kronologis Pembubaran, Penangkapan dan Penganiaayaan Aktivis Papua Oleh Polisi

VICTOR F YEIMO, KETUA UMUM KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT (KNPB) KETKA DIBAWA KE MOBIL POLISI (FOTO: IST)
VICTOR F YEIMO, KETUA UMUM KOMITE NASIONAL PAPUA BARAT (KNPB) KETKA DIBAWA KE MOBIL POLISI (FOTO: IST)

Laporan : Julian  Howai*

Pendahuluan

Seperti diketahui sebelumnya, aksi peringatan 1 Mei 2013 yang oleh Rakyat Papua dikenang sebagai Hari Peringatan 50 Tahun Aneksasi Wilayah Papua Barat (New Guinea) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sempat diperingati secara berbeda di beberapa tempat.

Namun dalam aksi-aksi peringatan itu, pihak aparat keamanan Indonesia (TNI/Polisi) telah melakukan rangkaian tindakan represif dan brutal terhadap setiap aksi yang dilakukan di beberapa daerah seperti, Sorong, Fak-fak, Biak, Nabire dan Timika.

Pihak keamanan RI seolah berpegang teguh pada landasan klasik yang terus menjadi kontroversi hingga saat ini bahwa pada 1 Mei 1969 silam, Papua telah bergabung kembali ke dalam pangkuan Ibu pertiwi. Karena itu, otoritas wilayah NKRI mutlak harga mati dan tidak bisa diganggu gugat!

Pada malam menjelang peringatan hari Aneksasi 1 Mei 2013 di Sorong misalnya, sempat terjadi peristiwa tragis yang memakam korban. Dimana pihak keamanan Indonesia (gabungan Polisi/TNI) pada Jumat malam tangal 30 April 2013, telah melakukan penyerangan membabi buta terhadap warga Papua di sebuah kompleks di Aimas Sorong.

Dalam aksi penyerangan itu, sejumlah warga mengalami luka-luka, termasuk 2 orang Papua berusia muda tewas di tempat kejadian. Mereka adalah Abner Malagawa (20 thn) dan Thomas Blesia (28 thn) yang tewas akibat timah panas yang menerjang tubuh mereka.

Sedangkan seorang perempuan bernama Salomina Klaibin (37 thn) yang juga tertembus peluru, akhirnya meninggal dunia setelah sempat kritis saat menjalani operasi mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya pada salah satu rumah sakit di Sorong.

Menanggapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia di berbagai wilayah Papua pada peringatan 1 Mei 2013, terlebih peristiwa tragis di Aimas Sorong, sejumlah aktivis Papua di Jayapura yang terdiri dari para pemuda dan mahasiswa lalu melakukan pertemuan koordinasi secara berturut-turut di beberapa tempat di sekitar Abepura.

Pertemuan koorrdinasi kemudian lebih dititik beratkan pada upaya menanggapi peristiwa nerdarah yang terjadi di Aimas Sorong. Dari sekian pertemuan yang dihadiri para aktivis yang berasal dari sejumlah organ gerakan dan organisasi mahasiswa, dihasilkan kesepakatan agar perlu menyikapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia atas rakyat Papua di Sorong dan beberapa daerah lain melalui aksi solidaritas peduli HAM.

Aksi solidaritas dimaksud rencananya dilakukan dalam bentuk pemberian pernyaatan pers bersama dengan mengundang wartawan kemudian nantinya akan dilanjutkan dengan aksi protes bersama (demonstrasi massa) ke kantor MRP, DPRP atau ke Kantor Gubernur Papua.

Setelah melewati berbagai tahapan koordinasi, guna memuluskan rencana aksi demo pada Senin 13 Mei 2013, tim solidaritas aksi lalu membuat surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan kepada pihak Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kepolisian Resort Kota Jayapura. Surat itu kemudian dimasukan pada Jumat 10 Mei.

Dalam surat yang dimasukan ke pihak kepolisian itu, di dalamnya tertera beberapa nama penanggung jawab aksi seperti; Yason Ngelia dan Septi Maidodga selaku perwakilan BEM-MPM Uncen, Bovit Bofra selaku ketua Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Victor Yeimo sebagai ketua Komite Nasional Papua Barat/KNPB) dan Marthen Manggaprouw dari perwakilan West Papua National Autority (WPNA).  Kemudian, pada sore harinya dilanjutkan dengan pertemuan koordinasi lanjutan antara para aktivis yang tergabung dalam rencana aksi solidaritas.

Satu hari selepas surat pemberitahuan pelaksaan aksi dimasukan, pihak Polda Papua melalui staf bidang Intelijen dan keamanan (Intelkam) lalu menghubungi via phone dan meminta perwakilan  penanggung jawab aksi untuk dapat bertemu direktur Intelkam Polda perihal aksi yang bakal digelar.

Bovit Bofra dan Yason Ngelia selaku perwakilan penanggung jawab aksi lalu memenuhi panggilan Markas Polda Papua yang berada di jantung Kota Jayapura, Sabtu 11 Mei, jam 09 pagi. Mereka bertemu direktur Bidang Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki.

Dalam pertemuan kecil yang berlangsung cukup alot dan tegang di ruang direktur intelkam Polda, Kombes Yakobus Marzuki meminta mereka mengklarifikasi rencana aksi yang bakal digelar. Selain mempersoalkan keabsahan organ-organ yang tergabung dalam aksi solidaritas karena keberadaanya tidak terdaftar di Badan Kesbangpol.

Pihak Polda juga mempersoalkan surat pemberitahuan rencana aksi yang dianggap terlalu mempolitisasi keadaan karena berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat (kantibmas). Sebab dalam isi surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan ke Polda Papua dan Polresta Jayapura itu  disebutkan bahwa kasus penyerbuaan yang dilakukan pihak aparat gabungan TNI-Polisi di Aimas Sorong sebagai sebuah “tragedi kemanusiaan” karena menyebabkan rakyat sipil Papua menjadi korban.

Istilah “tragedi’ dalam isi surat itu menurut direktur Intelkam Polda Kombes Yakobus Marzuki) sangat tidak mendasar a dan tidak bisa diterima. Sebaliknya, menurut dia, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.

Lagipula, menurut dia, kelompok yang menjadi sasaran penyergapan di Aimas Sorong itu terindaikasi kuat bakal membahayakan stabilitas keamanan Negara Indonesia lewat peringatan 1 Mei 2013. Setelah menyampaikan statemen demikian, direktur Intelkam Polda Papua kemudian mengeluarkan selembar surat penolakan pelaksanaan aksi yang berlangsung pada Senin 13 Mei 2013.

Cuma saja, dalam isi surat penolakan itu hanya disebutkan nama Victor Yeimo selaku ketua KNPB yang menjadi penanggung jawab aksi. Padahal sesuai surat pemberitahuan aksi sebelumnya, jelas tercamtum beberapa nama penanggung jawab aksi yang mewakili organisasi mereka masing-masing.

Selain itu, direktur Intelkam juga menegaskan sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, yang mengatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hanya akan menghambat proses pembangunan di Papua. Menanggapi peryataan itu, Bovit dan Yason lalu mengklarifikasi isi surat penolakan dari Polda Papua itu dan maksud rencana aksi yang hendak dilakukan. Namun tetap terjadi tawar menawar dengan berbagai argumentasi selama kurang lebih 20 menit.

Karena tidak ada kesepakatan bersama, akhirnya Bovit Bofra dan Yason Ngelia dengan terpaksa menegaskan komitmen mereka bahwa sesuai kesepakatan, aksi tetap akan dilakukan pada Senin 13 Mei 2013.

Namun, direktur Intelkam juga menanggapi dengan menegaskan bahwa pihaknya (Polda Papua) tetap tidak mengijikan dan menghendaki aksi itu dilakukan. Bila aksi tetap dipaksakan, para penanggung jawab aksi beserta massa yang telibat siap menghadapi segala resiko yang terjadi, termasuk konsekuensi hukumnya.

Pelaksanaan Aksi

Selepas pertemuan yang tidak mencapai kata sepakat dengan direktur Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki, para aktivis yang tergabung dalam aksi solidaritas kembali melanjutkan pertemuan koordinasi pemantapan aksi, meski pihak kepolisian tidak merestui pelaksanaan aksi.

Selanjutnya, sesuai koordinasi akhir pada hari minggu malam tanggal 12 Mei 2013, para penanggung jawab aksi telah bersepakat bahwa permulaan aksi untuk mengorganisir massa sebelum menuju kantor MRP akan dipusatkan di dua lokasi berbeda; di depan Gapura Kampus Universitas Cenderasih (Uncen) Abepura dan Gapura Kampus Uncen Waena.

Tiba pada hari Senin 13 Mei 2013, aksi di dua tempat berbeda tersebut dimulai saat massa berkumpul pada jam 06.30 waktu Jayapura (Papua). Pelaksanaan aksi didukung sejumlah atribut seperti; megaphone dan spanduk. Di depan Gapura Uncen Abepura, aksi dimulai dengan beberapa orang mahasiswa menutup pintu pagar masuk-keluar kampus sehingga melumpuhkan aktivitas perkuliahan.

Demikian halnya yang terjadi di areal jalan raya menuju Kampus Uncen Waena. Mahasiswa yang tergabung dalam aksi solidaritas juga menurunkan palang yang biasanya dipakai merintangi jalan raya menuju Kampus Uncen Waena.

Aksi di kedua tempat yang hampir dilakukan secara bersamaan itu lalu dilanjutkan dengan orasi-orasi dari para mahasiswa secara bergantian untuk mengumpulkan massa aksi. Massa yang terkonsentrasi di depan Gapura Kampus Uncen Waena dikoordinir Yason Ngelia, Bovit Bofra dan Marthen Manggaprouw.

Sedangkan aksi di depan Gapura Kampus Uncen Abepura dikoordinir Septi Maidodga dan Agus Kadepa yang tampil percaya diri mengenakan jas almamater Uncen berwarna kuning.

Sementara para mahasiswa sedang melakukan orasi secara bergantian di bawah Gapura Kampus Uncen Waena, datang Pembantu Rektor (PR) III Bidang Kemahasiswaan, Drs. Paulus Homer dan Pembantu Dekan (PD) III FISIP Uncen, Drs. Yan Piet Morin untuk bernegosiasi dengan Yason Ngelia selaku koordinator aksi.

Pada saat itu PR III meminta Yason harus membubarkan massa karena aksi yang dilakukan dirasa mengganggu aktivitas perkuliahan. Sempat terjadi tawar menawar, namun Yason beserta massa yang ada ngotot untuk melaksanakan aksi.

Tidak lama berselang, sekitar pukul 09.15, dua buah mobil baracuda dan sejumlah truck Dalmas Polresta Jayapura yang di dalamnya dipenuhi puluhan anggota brimob serta beberapa mobil polisi yang diiringgi bunyi sirene yang meraung-raung tiba-tiba muncul dari arah Abepura dan berhenti di pinggir badan jalan beberapa meter dari gapura. Dari dalam sebuah mobil keluar Kabag Operasi Polresta Jayapura, Komisaris Polisi (Kompol) Kiki Kurnia didampingi anak buahnya.

Melihat Kabag Ops keluar dari mobil, Yason dengan serta-merta berteriak kepada massa; “mari teman-teman kita berikan sambutan kepada sang provokator yang datang,” disertai tepukan tangan bermotif mengejek. Kompol Kiki Kurnia lalu mendekat dan menyapa PR III Uncen Paulus Homer, PD III Fisip Uncen Yan Piet Morin, kemudian berlanjut ke Yason dan teman-temannya.

Setelah itu, PR III Paulus Homer meminta Kiki Kurnia selalu pihak kepolian membantu bernegosiasi dengan mahasiswa agar membuka palang. Kiki selanjutnya meminta ijin dan memberi komando kepada anak buahnya untuk mendekat membuka palang. Melihat hal ini, Yason lalu mengarahkan  massa untuk mengambil jarak, berlindung di balik jeruji pagar kampus. Bersamaan pula sempat terjadi perdebatan dengan PR III Paulus Homer karena telah mengijinkan polisi membuka palang.

Ketika dilakukan upaya negosiasi, massa KNPB yang berjumlah 30-an orang dengan dipandu mobil komando yang dikoordinir Victor Yeimo, berjalan dari arah asrama Putra Uncen sambil membawa spanduk lalu bergabung dengan 50-an mahasiswa yang tadinya sudah berkumpul di bawah gapura.

Victor Yeimo lalu menyampaikan orasinya dan jumlah massa pun semakin membludak hingga hampir 100-an orang. Melihat massa yang terus bertambah, Kiki Kurnia lantas memberi peringatan tegas kepada massa bahwa polisi akan menahan mobil komando (mobil pemandu aksi). Tapi Victor Yeimo yang sedang berorasi, berkata dengan tegas bahwa mobil komando bagian dari perangkat aksi sehingga polisi tidak berhak membawanya.

Selanjutnya sempat terjadi adu mulut antara Victor dengan Kabag Ops Kompol Kiki Kurnia sehingga massa juga makin larut dalam ketengangan dengan polisi. Melihat situasi ini, Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare yang pada saat bersamaan tiba di lokasi lalu berupaya menenangkan massa dengan pernyataan-pernyataan bernada datar (diplomatis).

Tetapi pada saat bersamaan, Kiki Kurnia juga memerintahkan anak buahnya untuk mengambil alih mobil pemandu aksi dari massa lalu membawa mobil itu ke arah pohon ketapang yang tegak berdiri tak jauh dari gapura. Namun massa bersama beberapa penanggung jawab aksi yang marah mendesak agar mobil komando tidak ditahan. Kapolresta pun menanggapinya dengan memberi jaminan kalau mobil komando (pemandu aksi) tidak akan ditahan.

Setelah itu, Kapolresta AKBP Alfred Papare berupaya bernegosiasi kembali dengan penanggung jawab aksi agar sebaiknya aksi tidak dilakukan dengan massa yang banyak menuju MRP. Tetap cukup dengan mengutus 10 orang perwakilan dari penanggung jawab aksi untuk bertemu pimpinan MRP guna menyampaikan aspirasi.

Soalnya, kata Kapolresta, pihaknya melalui Polda Papua semalam (hari mingggu malam tanggal 12 Mei) telah berkoordinasi dengan pimpinan MRP terkait rencana aksi demo masyarakat ke lembaga kultural ini.

Lagi menurut Kapolresta, para anggota MRP telah memberi sinyal bahwa mereka hanya mau menerima 10 orang perwakilan massa. Sebab ada kekuatiran jika massa dalam jumlah besar berdemo ke kantor MRP, akan berakibat dirusaknya fasilitas di kantor ini.

Mendengar penjelasan Kapolresta, penanggung jawab aksi dan massa tetap ngotot untuk berjalan bersama-sama menuju kantor MRP tanpa harus menggutus perwakilan. Soal ini sempat terjadi tawar menawar antara Kapolresta Jayapura AKBP Alfred Papare dan Kabag Ops Kompol Kiki Kurnia, dengan penanggung jawab aksi.

Dalam situasi ini, orasi masih terus dilakukan secara bergantian disertai tawar menawar. Namun Kapolresta Alfred Papare menegaskan bahwa massa tidak diijinkan melakukan long mars ke kantor MRP. Mendengar penegasan Kapolresta, massa lalu mendesak agar Kapolrestas harus menyiapkan kendaraan yang dapat ditumpangi ke kantor MRP. Namun karena tidak ada kendaraan lain untuk ditumpangi, Kapolresta menawarkan dengan memerintahkan anak buahnya yang berada di dalam truck untuk turun karena truck akan mengangkut massa ke MRP.

Namun tawaran Kapolresta tidak diinginkan oleh Victor Yeimo yang saat itu masih mengendalikan pengeras suara. Mendengar penolakan itu, Kapolresta meminta massa bersabar sekitar 20 menit karena polisi sedang mengupayakan truck lain untuk ditumpangi massa ke MRP.

Polisi kemudian berhasil membawa 2 truck biasa ke arah gapura dan tidak lama kemudian Victor Yeimo lalu mengkoordinir massa untuk naik secara tertib ke truck yang telah disediakan. Saat itu massa yang menyatu di depan Gapura Uncen juga membawa foto-foto korban penembakan di Aimas Sorong dan beberapa spanduk yang bertuliskan: “Kami Menuntut Pangdam, Kapolda, Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat Bertanggung Jawab Atas Tragedi penembakan di Aimas Sorong; Mendesak Dibukanya Akses bagi Pelapor Khusus PBB ke Papua; Kami Butuh Dukungan dari Negara-negara Melanesia Pasifik atas Saudara-saudara di Papua; Rakyat Papua Mendukung Pembentukan Kantor Perwakilan Free West Papua Campaign di Oxford Inggris.”

Setelah truck yang hendak ditumpangi terisi penuh, massa yang tidak menumpang truck diarahkan untuk dapat menggunakan motor agar membentuk iring-iringan kendaraan. Namun polisi tidak mengijinkan massa yang menggunakan motor untuk beriring-iringan bersama truck.

Akhirnya massa yang menggunakan motor diarahkan melewati jalan Asrama Putri dan selanjutnya menunggu di depan jalan masuk perumahan dosen Uncen Otto Wospakrik. Sementara massa yang menggunakan truck bergerak perlahan. Namun saat iring-iringan truck penuh massa tiba di jembatan depan Gereja Advent yang berjarak 50 meter dari gapura tempat awal massa terkonsentrasi, sempta terjadi kisruh yang disebabkan oleh polisi.

Akibatnya, ada sebagian massa yang sudah berada diatas truck terpancing dan melompat keluar seraya berupaya berlindung dari serbuan anggota polisi dan brimob yang memang sengaja ingin membubarkan massa.

Marthen Manggaprouw yang adalah salah satu penanggung jawab aksi berupaya menenangkan masa yang kocar kacir tetapi gagal. Sejumlah massa lalu melempar para polisi dengan batu.

Aksi saling serang, baku pukul dan baku tarik pun terjadi. Dalam suasana kisruh, beberapa penanggung jawab aksi diantaranya; Victor Yeimo (30-an thn), Marthen Manggaprouw (30-an thn) dan dua orang mahasiswa bernama Yongki Ulimpa (20-an thn)  dan Elly Kobak (20-an thn) ditangkap, dipukul, dan diseret polisi ke dalam mobil tahanan. Sementara massa yang lain  lari menyelamatkan diri.

Markus Giban (20-an thn) seorang mahasiswa yang sedang mengendarai motor disekitar lokasi huru hara juga mengalami tabrakan dari truck Dalmas Polresta.

Tangannya patah dan dia juga sempat dipukul polisi. Beberapa menit kemudian, situasi kembali tenang. Namun jumlah personel polisi dan brimob bersenjata lengkap atau memegang rotan, hingga personil keamanan yang berpakaian preman makin bertambah di sekitar lokasi aksi.

Setelah melalui negosiasi dengan Kapolresta, massa lalu diarahkan kembali menaiki 2 truck dan mobil komando untuk menuju kantor MRP di Kotaraja. Setelah itu iringan-iringan kendaraan pun melaju menuju kantor MRP dengan dikawal ketat 2 mobil barracuda, 10 truck Dalmas yang didalamnya memuat polisi dan brimob serta beberapa kendaraan polisi yang lain.

Massa yang dikawal aparat keamanan dari Perumnas 3 tiba di MRP sekitar pukul 12.10 WP. Sementara mobil yang membawa keempat tahanan: Victor Yeimo, Marthen Manggaprouw, Yongki Ulimpa dan Elly Kobak terus bergerak menuju Markas Polresta Jayapura.

Sesampai di Mapolresta Jayapura, Victor Yeimo bersama kawan-kawan yang ditahan sempat memberitahukan keberadaan via sms bahwa mereka telah dipukul oleh para anggota polisi. Sedangkan massa yang berjumlah 40-an orang dari gabungan mahasiswa Uncen dan mahasiswa Umel Mandiri yang terkonsentrasi di gapura Uncen Abepura tidak bisa bergerak ke kantor MRP. Mereka dihadang puluhan personil polisi dan brimob yang dikoordinir Kapolsek Abepura AKP Decky Wow di depan pagar gapura Uncen abe.

Upaya negosiasi dengan Kapolsekta Decky Wow telah dilakukan Septi Maidodga selaku koordinator aksi agar polisi membiarkan mereka bergerak ke kantor MRP dengan cara melakukan long mars atau menumpang kendaraan. Namun permintaan itu ditolak dengan alasan kalau mereka melakukan long mars akan mengganggu lalu lintas kendaraan di sekitar Abepura dan Kotaraja.

Sebaliknya, Kapolsek Abepura, Decky Wow, menyarankan agar Septi Maidodga dan rekan-rekannya tetap bertahan saja di bawah gapura Uncen Abe sambil terus berorasi, setelah itu mereka dapat membubarkan diri dengan tertib. Mendengar penegasan Kapolsek Abepura, Septi bersama massa yang juga membawa sebuah spanduk yang berisi kecaman terhadap Pemerintah dan aparat keamanan tetap bertahan sambil terus berorasi secara bergantian.

Sementara massa yang berjumlah 70-an orang yang sudah memasuki halaman kantor MRP dikawal ketat oleh aparat polisi dan brimob yang berjejer melingkar mengelilingi halaman dalam. Sedangkan di halaman luar pinggir jalan raya, puluhan aparat juga berjejer sambil menenteng senjata dan ada yang memegang tongkat rotan.

Karena halaman kantor MRP dijaga ketat, sejumlah warga yang hendak bergabung dengan massa sempat dihalangi dan diusir. Di dalam halaman kantor lembaga kultural ini juga dilakukan orasi secara bergantian sambil meminta pihak pimpinan beserta anggota MRP keluar menemui massa. Namun selama kurang lebih 40 menit, tidak ada pimpinan dan anggota MRP yang keluar menemui massa.

Kemudian dari dalam ruangan seorang perwira polisi yang mengabarkan kepada massa bahwa pimpinan dan anggota MRP tidak bersedia menemui massa di luar. Mereka hanya ingin menemui beberapa perwakilan massa.

Namun massa menolak jika hanya perwakilan mereka yang menemui pimpinan dan anggota MRP dalam ruangan tertutup. Massa yang kecewa terpaksa menunggu sambil mendengarkan Buchtar Tabuni berorasi sambil mendesak anggota MRP keluar menemui massa.

Dalam orasinya Buchtar mengatakan, jika pimpinan dan anggota MRP belum bisa ditemui, mereka tetap akan kembali di lain waktu, walaupun sebenarnya rakyat Papua telah menganggap MRP sudah tiada.

Karena menunggu cukup lama, beberapa penanggung jawab aksi mulai berembuk dan memutuskan agar massa bisa dipulangkan. Namun saat massa aksi hendak keluar dari halaman MRP, aparat polisi menghalangi mereka karena anggota MRP telah bersedia menemusi massa.

Massa yang hendak pulang akhirnya berbalik ke halaman MRP. Tapi mereka berhadapan muka dengan para anggota MRP yang dipimpin ketuanya, Timotius Murib. Massa justru membelakangi para anggota MRP dengan pandangan ke arah jalan raya. Buchtar Tabuni saat menyampaikan orasi, sempat meluapkan rasa kekesalan karena para anggota MRP telah menahan diri dan tidak mau menemui massa dari awal. Dengan begitu, menurut Buchtar massa rakyat Papua tetap menganggap keberadaan MRP sudah tidak ada sehingga massa akan segera pulang.

Setelah Buchtar mengatakan demikian, para anggota MRP tidak diberi kesempatan untuk menyampaikan tanggapan. Massa selanjutnya membubarkan diri secara tertib lalu berjalan keluar dari halaman MRP ke jalan raya untuk mencari kendaraan tumpangan ke arah Abepura dan Perumnas 3 Waena. Namun karena keberadaan massa di pinggir jalan dirasa menghambat arus lalu lintas, polisi lalu mengijinkan massa menumpang truck mereka yang berada di halaman MRP kembali ke Perumnas 3 Waena. Dalam iring-iringan perjalanan dari kantor MRP ke Waena, massa yang dianggkut 2 truck dan sebuah mobil pemandu aksi dikawal ketat kembali oleh aparat keamanan.

Setelah tiba di Perumnas 3, massa yang masih tersisa lalu terkonsentrasi kembali di bawah pohon ketapang depan gapura Uncen Waena. Mereka berembuk setelah itu melakukan foto bersama di depan beberapa spanduk yang juga dibawa saat aksi.

Beberapa wartawan juga dijinkan mengambil foto dan keterangan dari terkait aksi yang sudah dilakukan. Setelah itu, massa yang masih tersisa diarahkan untuk berdoa menutup rangkaian kegiatan aksi mereka. Setelah itu massa membubarkan diri dengan tertib pada pukul 2.30 WP.

Melihat massa yang sudah membubarkan diri, para personel polisi dan brimob yang telah mengawal mereka sejak pagi juga secara lambat laun meninggalkan lokasi Perumnas 3 dengan kendaraan-kendaraan mereka.

Selepas aksi ini, sekitar jam 5 sore WP, Victor Yeimo yang ditahan hari itu lalu dibawa untuk dipisahkan dengan 3 tahanan lainnya. Padahal beberapa saat setelah Victor Yeimo, Marthen Manggaprouw, Yongki Ulimpa dan Elly Kobak dibawa ke Mapolresta Jayapura, beberapa pengacara telah berupaya membebaskan mereka dalam waktu 1×24 jam. Namun upaya ini gagal.

Victor sendiri ditahan karena polisi beralasan dia belum menjalani sisa masa hukumannya ketika pernah dijatuhi hukuman beberapa waktu lalu. Dia mungkin bisa diproses hukum kembali, tergantung tipe tuduhan apa yang akan dikenakan kepadanya.

*Penulis aktivis, tinggal di Jayapura, Papua

Wednesday, May 15, 2013, 7:42,SP

Viktor Yeimo Cs Ditangkap, 2 Polisi Terluka

JAYAPURA—Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Victor Yeimo bersama 6 orang aktivis lainnya ditangkap polisi saat menggelar demo di Kantor MRP, Kotaraja, Senin (13/5) sekitar pukul 11.30 WIT. Sementara itu dua polisi dilaporkan terluka akibat kena lemparan batu massa. Keduanya adalah

Kabag Ops Polres Jayapura Kota Kompol Kiki Kurnia mengalami luka robek di bagian siku lengan kanan dan seorang anggotanya Briptu Affandi mengalami luka memar di dada kiri, setelah sempat bersitegang dengan massa KNPB di Depan Bundaran Perumnas III Waena.

Kabid Humas Polda Papua Kombes I Gede Sumerta Jaya saat dikonfirmasi mengatakan, saat ini Viktor Yeimo sedang dimintai keterangan. “Kami mengamankan Viktor Yeimo karena tidak memiliki izin untuk menggelar aksi unjuk rasa,”kata dia.

Viktor Yeimo saat ini dimintai keterangan oleh penyidik, karena mengerahkan ratusan massa untuk turun menggelar aksi unjuk rasa tanpa memiliki izin. “Bukan hanya mengerahkan ratusan massa, tapi Viktor juga menyerukan kepada seluruh rakyat Papua berdemonstrasi, inilah dasar kami untuk mengamankan yang bersangkutan,”ucapnya.

Selain itu, ternyata Victor Yeimo berstatus sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO) Kantor Kementerian Hukum dan HAM Papua. Victor Yeimo melarikan diri dari Lapas Abepura ketika tengah menjalani hukuman selama tiga tahun pada tahun 2009 silam, tapi hanya dijalaninya selama Sembilan bulan terkait kasus penghasutan.

Pasca penangkapan Victor Yaimo, Polres Jayapura Kota berkoordinasi dengan Direktorat Polda Papua serta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Papua dibawa ke Lapas Abepura untuk kembali menjalani kembali proses hukum.

I Gede menandaskan, enam orang lainnya masih menjalani pemeriksaan intensif di Polres Jayapura. Mereka adalah Sekretaris Jenderal (Sekjend) West Papua National Authority (WPNA), Marthen Manggaprow, dan lima lainnya merupakan anktivis KNPB yaitu Yongky Ulimpa, Elly Selek, Nopelos Asso, Melly Gombo dan Nius Hiluka.

Mereka ditangkap ketika demo dari massa KNPB lakukan longmarch dari Perumnas III menuju Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) berlangsung ricuh, kemarin siang Senin (13/5) sekitar pukul 13.00 WIT. “Jadi, saya sangat menyesal atas insiden penolakan MRP yang tidak ingin menemui massa pendemo hingga adanya aksi penangkapan terhadap tujuh orang oleh aparat kepolisian. Walaupun dari pihak keamanan hanya menyetujui 10 orang perwakilan untuk menyampaikan aspirasi ke MRP, tapi yang harus diketahui disini bahwa MRP ini kan lembaga kultur orang asli Papua yang mempunyai lembaga tersendiri sehingga dia atau MRP ini juga mempunyai aturan dan ketegasan sendiri, bukannya asal menerima dan mendengar pendapat dari pihak – pihak lain. Misalnya kalau dari pihak kepolisian maunya perwakilan sebanyak 20 orang, maka MRP yang harus tegas untuk ambil keputusan soal itu karena aspirasi dari rakyat Bangsa Papua Barat akan disampaikan disana. Namun kenyataannya mereka (MRP) sudah bekerjasama dengaan aparat kepolisian, sehingga ini yang membuat kami kesal,” sesal Ketua Umum Parlemen Nasional West Papua (PNWP), Buchtar Tabuni kepada wartawan di depan gerbang Kampus Uncen Atas, Perumnas III – Waena, Kelurahan Yabansai, Distrik Heram, kemarin siang Senin (13/5).

Buchtar menyatakan, tidak mungkin di atas Tanah Papua Barat ini ada MRP dan anggota MRP jika tidak ada orang – orang yang berteriak Papua Merdeka. “Kami yakin bahwa tidak mungkin di negara ini ada MRP dan juga tidak mungkin ada anggota MRP kalau tidak ada orang – orang yang berteriak Papua Merdeka saat menggelar aksi demo tadi. Sekarang saya mau bertanya ke MRP, kontribusi kalian yang berteriak Papua Merdeka itu seperti apa. Hanya mau sampaikan aspirasi saja mereka (MRP) tolak dan betul – betul kurang ajar orang – orang yang ada di MRP tersebut, sehingga lakukan kerjasama dengan aparat kepolisian. Jadi MRP ini harus bertanggungjawab untuk mengeluarkan 7 orang yang ditangkap oleh aparat kepolisian. Karena saya mempunyai keyakinan tanpa ada komunikasi dari pihak MRP tidak mungkin aparat kepolisian mengambil tindakan seperti itu, sehingga yang harus mereka sadari disini adalah tidak mungkin ada lembaga kultur orang asli Papua yaitu MRP dan anggota – anggota MRP jikalau tidak ada orang – orang yang berbicara atau berteriak Papua Merdeka. MRP itu tidak punya kontribusi sama orang – orang yang berteriak Papua Merdeka, dimana mereka cuma hanya enak makan, tidur dan terima gaji buta saja. Saya punya keyakinan kalau tidak ada yang bicara Papua Merdeka pasti juga tidak ada itu namanya MRP, dan ini keterlaluan buat kami yaitu Habis Manis Sepah Dibuang yang pantas dilayangkan kepada MRP sekarang ini,” kata Buchtar Tabuni.

Menurut Buchtar, aksi demo yang dilakukan saat ini adalah pertanggungjawaban negara atas terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat TNI/Polri pada peringatan 1 Mei 2013 lalu di beberapa wilayah di Papua Barat.

Buchtar mendukung dengan adanya pendirian Kantor OPM, di Oxford – London. “Maka itu kami membuat dukungan terhadap pendirian Kantor OPM di Oxford – London, dan juga dukungan kepada negara – negara Pasifik untuk mendaftarkan Papua Barat ke MSG. Tapi inti dari demo ini adalah penembakan terhadap masyarakat sipil Papua adalah suatu pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dan yang harus bertanggungjawab adalah TNI/Polri,” pungkasnya.

Sementara itu, Juru Bicara KNPB Wim Rock Medlama mengtakan, terjadinya kekacauan pada aksi demo damai yang dilakukan itu berawal dari pihak TNI/PORI. Menurut dia,sebelum menuju ke kantor MRP para massa pendemo berkumpul di beberapa titik salah satunya ada di gapura uncen perumnas III, Abepura. “Pagi jam 6 itu kawan – kawan dari BEM Uncen, kawan – kawan dari Rusunnawa unit satu sampai enam sudah turun pada pukul 7.30 itu mereka sudah turun melakukan pemalangan trus teman – teman sudah melakukan orasi –orasi politik di tempat ini, habis itu kita masih orasi teman – teman sudah kumpul pihak aparat keamanan sudah mulai datang, datang sudah mulai kepung kita ditempat ini dengan di back up dengan aparat Brimob Polda Papua,” kata dia di Gapura Uncen Perumnas III,Senin(13/5) kemarin.

Jelang beberapa jam melakukan orasi dan berkumpul di gapura uncen,dan melakukan negoisiasi dengan pihak kepolisian agar massa bisa sampai di kantor MRP. Alhirnya pihak keamanan memberikan dua morot untuk mengawal massa menuju kantor MRP.

“Kemudian negosiasi – negosiasi untuk bagaimana akses untuk kita bisa sampai di kantor halaman MRP akhirnya pihak keamanan sediakan beberapa motor untuk kawal kesana, motor – motor semua di arahkan dibelakang dan itu sudah bagus, kemudian ada motor dari arah lain yang mau gabung begini mobil dalmas yang lihat langsung tabrak motor dengan teman yang mengendarai motor ini itu langsung jatuh trus aparat dong turun baru injak – injak dia,tampar dia, pukul dia sampai tangan patah, dan sementara menjalankan pengobatan dirumah sakit Abepura,”kata dia.
Menurut dia,semenjak aksi itu kacau ada empat orang teman yang ditangkap di aniaya oleh pihak kepolisian.

Menurut dia, dalam manajemen aksi yang sudah di buat tidak ada di dalam yang menyebutkan bahwa pihaknya akan melakukan tidakan – tindakan anarkis.”Tapi kami melihat pihak ketiga sengaja menyusup untuk melakukan pengacauan aksi damai yang dilakukan oleh rakyat papua pada hari ini,”ujarnya.

Sementara itu, tertkait kunjungan ke MRP jubir KNPB ini mengatakan pihaknya sangat kesal dengan tingkah laku ketua MRP, dan Bawahannya yang mana mereka seharusnya membela rakyat namun mereka sebaliknya tidak menerimah rakyat.

“Kami ke MRP itu karena kami tahu disana itu adalah honainya rakyat, MRP ada karena rakyat yang memilih mereka, tidak mungkin kalau rakyat bicara Papua merdeka tidak mungkin ada kantor MRP sana, tidak mungkin ada orang – orang yang duduk di dalam sana itu yang kita pergi bagaimana kita menyalurkan aspiurasi kepada mereka, tapi mereka ada kompromi dengan pihak aparat keamanan malahan kita rakyat ini sementara ada melakukan perlawanan, trus dari ketua MRP,Wakil dan lain – lain semua menolak kita mereka meminta hanya perwakilan, ini semua perwakilan rakyat yang tidak bisa datang hari ini,”

ujarnya lagi.

Kata dia, sebelumnya Buktar Tabuni sudah melakukan negosiasi dengan pihak MPR dalam hal ini ketua MRP namun ketua MRP tidak terima.
“Buktar Tabuni sendiri sudah melakukan negosiasi menghadap dengan MRP sudah dua kali tapi tidak terimah hanya meminta bersihkeras untuk perwakilan. Menurutnya Ketua MRP mengtakan saya tidak mau ketemu dengan semua masa yang begitu banyak, hanya perwakilan, inikan proses awal yang sudah dikeluarkan oleh ketua MRP sendiri berartikan pada prinsipnya ketua MRP tidak mau terima,”kata dia.

Atas indisen penahanan itu dia meminta kepada pihak Polda Papua untuk membebaskan empat anggota yang ditahan.

Ditempat yang sama Anggota KNPB Asa Asso mengatakan.”Jadi kami melakukan demo yang bermartabat, namun kalau memang dibatasi, bukan hari ini kekalahan kami untuk melakukan demo tetapi memang itu kewajiban pihak keamanan untuk melakukan itu. Tapi memang kami menuntut kepada MRP untuk segera bertanggung jawab atas penahanan terhadap ketua Umum KNPB fiktor yeimo CS jadi segera bertanggung jawab dan segara di bebaskan,”ujarnya. (mir/mdc/don/l03)

Selasa, 14 Mei 2013 06:14, Binpa

Enhanced by Zemanta

Danny Kogoya Dibebaskan, Ketua PN Kecewa

JAYAPURA – Danny Kogoya, terdakwa kasus penembakan di Nafri, ternyata telah dibebaskan oleh pihak Lapas Klas 1 A Abepura, lantaran masa penahanannya sudah habis namun tidak ada surat perpanjangan.

Terkait dengan itu, Pengadilan Negeri (PN) Klas I A Jayapura merasa kecewa dengan tindakan pihak Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas I A Jayapura yang tanpa konfirmasi dan pemberitahuan melakukan pembebasan terhadap Danny Kogoya.

Ketua Pengadilan Tinggi Kelas 1 A Jayapura, Khairul Fuad, SH, M.Hum, mengatakan, pihak Lembaga Pemasyarakatan (LP) Klas II A Jayapura seharusnya tidak mengeluarkan atau membebaskan terdakwa Danny Kogoya karena Pengadilan Tinggi (PT) sudah memberikan dan mengeluarkan surat perpanjangan penahanan terhadap terdakwa tersebut.

Menurut pria yang baru menjabat sebagai Ketua PN Klas I A Jayapura selama 11 bulan itu, sebelumnya Danny Kogoya dibebaskan dengan hukum oleh pihak LP Abepura, pada tanggal 11 Mei 2013 lalu, dimana pihaknya klaim telah mengirim surat perpanjangan penahanan terhadap Danny Kogoya. “Surat perpanjangan penahanan pertama yang akan berakhir pada tanggal 10 Mei lalu, itu kita sudah serahkan kembali surat perpanjangan penahanan kedua kepada pihak LP Klas II A Jayapura pada tanggal 8 Mei atau dua hari sebelum masa perpanjangan penahanan pertama berakhir, sehingga masih ada sisa penahanan kita yang harus dijalani selama dua hari, tapi saya dapat informasi dari Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Jayapura, tenyata tanggal 11 Mei 2013 terdakwa telah dikeluarkan atau dibebaskan dengan hukum oleh pihak LP Abe, sehingga Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak bisa menghadirkannya hari ini (kemarin, red).

“Namun saya tetap menunggu informasi dari Kajari,” kata Khairul Fuad, kepada wartawan, di ruang kerjanya, di Kantor Pengadilan Negeri (PN) Klas 1 A Jayapura, Senin (13/5) kemarin sore.

Menurut dia, jadwal sidang DK direncanakan dilaksanakan hari ini(kemarin) namun DK sudah dibebaskan oleh LP pada tanggal 11 lalu.

“Jadwal sidang Danny Kogoya saat ini, jaksa belum menghadirkan terdakwa dan jaksanyapun tidak ada, saya dapat informash kalau jaksanya hari ini ada kegiatan,”

ujarnya.

Kata dia, sampai saat ini dirinya tidak paham atas apa yang dilakukan pihak LP Abepura.”Semestinya perpanjangan penahanan sudah kita berikan tanggal 8 untuk penahanan mulai tanggl 11, karena tanggal 8 sudah diterimah oleh LP, maka dia tidak boleh lagi keluar, ternyata informasih yang saya dapatkan kemarin tanggal 11 sudah dikeluarkan dari tahanan, padahal perpanjangan itu sudah di terimah oleh LP. Sehingga hari ini pak Kajari bilang saya masih berusaha menghadirkan mereka terdakwa,”kata dia.

Ditegaskan, yang bertanggung jawab dalam persoalan tersebut adalah pihak LP Abepura karena pihaknya sudah perpanjang surat penahanan dan disampaikan dua hari sebelum habis masa penahanannya.

“Seharusnya mereka tidak mengeluarkannya, karena pada tanggal 8 kita sudah menyerahkan perpanjangan penahanan, pada tanggal 11 dia dikeluarkan sepertinya seolah – olah tidak ada perpanjangan dari Pengadilan Tinggi. Saya tidak mengerti kenapa LP mengeluarkan, padahal kita sudah memberikan perpanjangan itu pada tanggal 8 yang akan berakhir pada tanggal 11, ternyata tanggal 11 sudah dikeluarkan,”

ujarnya lagi. Hingga berita ini naik cetak belum ada konfirmasi dari pihak LP Abepura. (mir/don)

Selasa, 14 Mei 2013 05:58, Binpa

Enhanced by Zemanta

Ruben Magay : Larang Demo, Polisi Tidak Profesional

Jayapura – Tindakan aparat yang melarang rakyat Papua demo ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan berujung ditangkapnya beberapa aktivis, serta sejumlah lainnya luka-luka, Senin (14/5) direspon Komisi A DPR Papua yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM.

Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magay menilai aksi aparat kepolisian itu masih menggunakan cara lama dan menggambarkan ketidak profesionalan mereka.

“Ini citra lama yang terjadi. Polisi tidak profesional mendorong jalannya demokrasi di Papua. Saat peristiwa terjadi kan massa ingin minta tanggungjawab polisi terkait kasus di Sorong. Tapi polisi menghadang massa saat akan mengadu ke MRP. Padahal MRP ini lembaga persentatif orang asli Papua,”

kata Ruben Magay, Selasa (14/5).

Menurutnya, sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di Papua membuat orang Papua semakin trauma. Padahal tugas polisi seharusnya mengayomi dan melindungi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Motto melindungi dan mengayomi tak ada lagi. Untuk itu ia berharap Kapolda dan Wakapolda Papua segera membenahi hal ini.

“Tindakan persuasif tidak jalan, tapi sudah dengan dh pendekatan represif. Ini yang membuat rakyat semakin tidak percaya polisi. Bahkan kalau bisa Kapolda dan Wakapolda diganti, karena belakang ini penembakan terjadi dimana-mana. Beberapa aktivis ditembak dan ini menggambarkan mereka tidak bisa mengatasi masalah. Saya pikir jika terus ada korban, dua orang ini lebih baik dipindahkan. Tugaskan orang yang lebih mengedepankan kemanuasian,”

ujarnya.

Dikatakan, serangkain kejadian di Papua justru mengundang simpati dunia luar. Papua bukan lagi seperti tahun 60an dimana saat itu masyarakat selalu diintimidasi. Saat ini apapun yang terjadi di Papua diikuti dunia internasional.

“Binatang saja punya hak hidup apalagi manusia. Jangan aparat yang ada di Papua melakukan tindakan anarkasi, pembunuhan dan lain-lain, karena pemerintah pusat akan pusing saat dunia luar menekan Indonesia dari sudut HAM dan demokrasi. Jadi reformasi Polisi harus dievaluasi,”

ujar Ruben Magay. (Jubi/Arjuna)

May 14, 2013,16:35,TJ

 

Ruben Magai: Larang Demo, Polisi Tak Profesional

Jayapura, 14/5 (Jubi) – Tindakan aparat yang melarang rakyat Papua demo ke Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) dan berujung ditangkapnya beberapa aktivis, serta sejumlah lainnya luka-luka, Senin (14/5) direspon Komisi A DPR Papua yang membidangi Pemerintahan, Hukum dan HAM.

Ketua Komisi A DPR Papua, Ruben Magay menilai aksi aparat kepolisian itu masih menggunakan cara lama dan menggambarkan ketidak profesionalan mereka.

“Ini citra lama yang terjadi. Polisi tidak profesional mendorong jalannya demokrasi di Papua. Saat peristiwa terjadi kan massa ingin minta tanggungjawab polisi terkait kasus di Sorong. Tapi polisi menghadang massa saat akan mengadu ke MRP. Padahal MRP ini lembaga persentatif orang asli Papua,” kata Ruben Magay, Selasa (14/5).

Menurutnya, sejumlah kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian di Papua membuat orang Papua semakin trauma. Padahal tugas polisi seharusnya mengayomi dan melindungi, namun yang terjadi justru sebaliknya. Motto melindungi dan mengayomi tak ada lagi. Untuk itu ia berharap Kapolda dan Wakapolda Papua segera membenahi hal ini.

“Tindakan persuasif tidak jalan, tapi sudah dengan dh pendekatan represif. Ini yang membuat rakyat semakin tidak percaya polisi. Bahkan kalau bisa Kapolda dan Wakapolda diganti, karena belakang ini penembakan terjadi dimana-mana. Beberapa aktivis ditembak dan ini menggambarkan mereka tidak bisa mengatasi masalah. Saya pikir jika terus ada korban, dua orang ini lebih baik dipindahkan. Tugaskan orang yang lebih mengedepankan kemanuasian,” ujarnya.

Dikatakan, serangkain kejadian di Papua justru mengundang simpati dunia luar. Papua bukan lagi seperti tahun 60an dimana saat itu masyarakat selalu diintimidasi. Saat ini apapun yang terjadi di Papua diikuti dunia internasional.

“Binatang saja punya hak hidup apalagi manusia. Jangan aparat yang ada di Papua melakukan tindakan anarkasi, pembunuhan dan lain-lain, karena pemerintah pusat akan pusing saat dunia luar menekan Indonesia dari sudut HAM dan demokrasi. Jadi reformasi Polisi harus dievaluasi,” ujar Ruben Magay. (Jubi/Arjuna)

Sumber: May 14, 2013, TabloidJubi.com

Aksi Demo Damai Hari ini Diblokade Polisi, Ketua Umum KNPB dan 3 Demonstran Ditangkap

Victor Yeimo (Ketua Umum KNPB)
Victor Yeimo (Ketua Umum KNPB)

Jayapura – Seperti direncanakan KNPB dan beberapa Organ gerakan, akan melakukan demo damai di Kantor Majelis Rayat Papua (MRP). Tujuan demo damai untuk mendesak Pemerintah Provinsi Papua Gubernur, Pangdam dan Polda Papua segera bertanggungjawab, atas korban penembakan dan penangkapan pada 1 Mei 2013.

Selain itu, tergait korban tembak dan Penangkapan di sejumlah tempat sepertinya Timika, Sorong, Biak dan Jayapura pada 1 Mei itu. Demo damai hari ini untuk

“Mendesak Pemerintah RI agar membuka akses Jurnalis Internasional dan Pelapor Khusus Dewan HAM PBB ke Papua”.

Ketika sesuai rencana yang telah direncanakan untuk demo damai. Jayapura hari ini tanggal (13 Mei 2013). Demo damai yang dipimpin KNPB hari ini, ratusan demonstran turun jalan. Namun dari tengah jalan di Perumnas 3 Waena Polisi hadang demonstran yang dipimpin Victor Yeimo.

Polda Papua melaui Kapolres Jayapura yang dipimpin AKBP Alfred Papare, SIK, hadang demonstran tepat pukul: 10:12 wp. Victor Yeimo sempat negosiasi dengan pihak Kapolres Jayapura yang telah dihadang. Dengan tujuan demonstran tetap akan menuju ke tempat tujuan demo damai, di Kantor MRP Kota Raja Abepura Jayapura. Tetapi Kapolres Jayapura tidak mengindakannya, perkataan tujuan demonstran untuk menuju Kantor MRP.

Sempat tawar menawar terjadi antara Kapolres Jayapura dan Demonstran KNPB yang di pimpin Viktor Yeimo, tadi. Akhirnya Kapolres Jayapura menangkap 4 orang yang adalah sebagai demonstran, diantaranya: Victor Yeimo (Ketua Umum KNPB), Yongki Ulimpa Pria (23) tahun, Ely Kobak Pria (17) tahun dan Marthen Manggaprow. Mereka ditangkap Polisi Kapolres Jayapura, dan selanjutnya dibawa ke Polda Papua. 4 orang ini saat ditangkap mereka disiksa dan dipukul oleh anggota Polisi satuan Polres Jayapura.

Demo damai hari ini di Kota Jayapura Polisi batalkan, dan 4 orang yang ditangkap masih ditahan di Polda, karena untuk kepentingan minta keterangan, terkait demo damai hari ini. Ratusan pendemo lainnya melarikan diri di sekitar tempat kejadian penangkapan.

Masyarakat disekitar tempat kejadian panic, dan aparat anggota Polisi di Sentani, Abe dan Jayapura Kota melakukan Swiping. Polisi menggunakan tank-tank, mobil Polisi gas air mata dan mobil tahanan serta Truck Polisi. Polisi menguasai semua ruas jalan setiap perempatan, di sekitar sentani dan Abepura.

Polisi dengan dalih terror mental terhadap semua masyarakat Papua di Jayapura dan Sentani hari ini tidak seperti yang dilakukan Polisi saat Penghadangan demonstran KNPB pada waktu lalu.

Pembungkaman demokrasi terus dilakukan aparat kepolisian RI dalam hal ini Polda Papua. Ruang gerak untuk menyuarakan hak demokrasi rakyat Papua, sempit. Selalu membatasi ruang gerak hak demokrasi rakyat Papua, dengan cara terror mental, menangkap, menembak demonstran, Menghadang Pendemo dan membatasi melakukan demo damai.

May 13, 2013,KNPBNews

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny