Peringatan KRP III : Kibarkan Bintang Kejora Polisi Siap Bubarka

Jayapura – Adanya rencana sekelompok masyarakat untuk memperingati setahun Kongres Rakyat Papua (KRP) III di lapangan Theys, Sentani Kabupaten Jayapura, Jumat 19 Oktober hari ini, Polda Papua secara tegas menyatakan tidak memberikan izin.

Bahkan Polisi mewarning tidak segan-segan membubarkan dan menindak dan menindak tegas pihak-pihak yang ingin mengibarkan bendera Bintang Kejor atau lambang perjuangan bangsa Papua Barat saat perayaan peringatan KRP III berlangsung.

“Polisi tetap mengedepankan langkah-langkah persuasif. Tapi, bila ada pihak yang memaksakan kehendak, terutama mengibarkan Bintang Kejora akan ditindak tegas dan diproses sesuai hukum yang berlaku,”ujar Juru Bicara Polda Papua AKBP I Gede Sumerta Jaya Kamis 18 Oktober.

I Gede mengungkapkan, pihak Panitia Perayaan Peringatan KRP II telah menyampaikan permohonan izin menggelar peringatan setahun KRP III. Namun, Polda tidak mengeluarkan izin atau Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP). “Polisi kuatir adanya upaya-upaya makar atau mendirikan negara diatas negara diprakarsai Presiden NFRPB Forkorus Yoboysembut, sehingga tidak memberikan izin,”tegasnya.

Sebelumnya, Ketua Panitia Perayaan KRP III yang juga Ketua Tim 7 NFRPB Pdt. Kelly Yabansabra, S.Theo menyatakan, peringatan hanya menggelar ibadah syukuran, dan juga sekaligus mengibarkan Bendera Bintang Kejora, Bintang Empatbelas berdampingan dengan Bendera Merah Putih sekaligus mengundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Hari Ini KRP III Dirayakan Dalam Ibadah Syukur

Meski mendapat penolakan dari Markas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat dan tidak mendapatkan ijin dari Polda Papua, namun Panitia berjanji akan tetapt melakukan perayaan setahun KRP 3 dalam bentuk ibadah syukur.

Sedangkan Pernyataan Juru Bicara Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Papua Barat, Jhona Wenda, bahwa Markas Pusat TPN Papua Barat telah mengeluarkan instruksi/seruan dan pernyataan sikap terkait dengan hasil Kongres Rakyat Papua (KRP) III maupun kegiatan-kegiatannya yang sudah/dan akan dilaksanakan kedepannya, yang intinya menolak hasil KRP III dan peringatakan KRP III, ternyata mendapat tanggapan serius dari Sekretaris Panitia Peringatan Deklarasi Pemulihan Kemerdekaan Bangsa Papua Barat KRP III, Elly Serwa.

Menurutnya dengan pernyataan Jhona Wenda dimaksud, pihaknya mempertanyakan posisi Jhona Wenda didalam perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat. Apalagi statmennya itu patut dipertanyakan dan diselidiki.

Dirinya menilai pernyataan yang dikeluarkan Jhona Wenda itu merupakan pernyataan sepihak yang mungkin saja sudah dipengaruhi oleh kepentingan tertentu. Soal kepentingan tertentu siapa Elly tidak menyebutkannya.

“Jangan sampai pernyataan Jhona Wenda sudah dikolaborasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu sehingga berbicara seperti itu. Apakah Jhona Wenda sudah capek berjuang?,” ungkapnya saat menghubungi Bintang Papua via ponselnya, Kamis, (18/10).

Dirinya tidak berkomentar banyak, hanya saja menyatakan, semua proses perjuangan menuju kemerdekaan bangsa Papua Barat yang dalam hal ini secara defacto dan dejure diakui keberadaannya, itu harus dihargai oleh rakyat Papua, entah itu diperjuangkan oleh siapapun.

Terkait dengan peringatakan KRP III dimaksud, kata Elly, tetap dilaksanakan pada hari ini (Jumat, 19/10) pada pukul 09.00 Wit di lapangan almahrum Theys Hiyo Eluay. Untuk itu semua komponen diharapkan turut hadir untuk merayakannya.

Peringatan KRP III tersebut hanya dilakukan dalam ibadah syukur, soal kehadiran Presiden SBY, pihaknya belum bisa memastikannya, namun secara undangan tertulis sudah disampaikan ke Kantor Kepresidenan. “Kami tidak jadi dikibarkan Bendera Merah Putih, Bendera Bintang Fajar dan Bendera PBB. Hanya ibadah syukur biasa saja,” paparnya.

Mengenai permintaan ijin ibadah, pihaknya tidak menyampaikannya ke Polda Papua, hanya disampaikan surat pemberitahuan saja. Disamping itu pula hal ini sudah dikoordinasikan terus menerus dengan pihak Polda Papua. “Ini hanya ibadah biasa, jadi intinya siapapun tidak punya hak untuk membatasi seseorang untuk berdoa kepada Tuhan,” tukasnya.(mdc/jir/nls/don/l03)

Jumat, 19 Oktober 2012 01:40, BINTANGPAPUA.com

Peringati KRP III Dinilai Wajar

Jayapura – Terkait rencana sekelompok masyarakat memperingati peristiwa kekerasan Kongres Rakyat Papua III yang menelan korban jiwa, DPR Papua menganggap hal itu hanya sebatas penyampaian aspirasi, dan meminta aparat keamanan untuk tidak lagi menggunakan cara-cara kekerasan.

“Kalau ada warga masyarakat yang ingin memperingati peristiwa KRP III, itu wajar-wajar saja dan itu bagian dari demokrasi, setiap warga memiliki hak yang sama menyampaikan aspirasi, selama masih dalam koridor hukum,”ujar Ruben Magai Ketua Komisi A DPR Papua saat ditanya tanggapannya mengenai rencana itu, Senin 15 Oktober diruang kerjanya.

Lanjut dia, untuk itu aparat keamanan jangan juga selalu mengedepankan kekerasan dalam menangani penyampaian aspirasi masyarakat. “Jangan lagi gunakan cara-cara kekerasan, karena itu hanya meninggalkan trauma mendalam bagi rakyat Papua. Dalam demokrasi menyampaikan aspirasi ada hal biasa,”ujarnya.

Ia mengatakan KRP saat ini sudah menjadi sejarah bagi masyarakat Papua, sehingga jika ada yang memperingatinya,adalah sangat wajar. “Kalau KRP diperingati, lumrah karena sudah bagian dari sejarah rakyat Papua,”imbuhnya. Pada kesempatan yang sama, Ruben Magai juga menyampaikan pemerintah di Papua saat ini juga sudah tidak demokratis. Penuh intimidasi terbukti aktivis mendapatkannya. “ Pemerintah tidak demokratis bukti pemerintah tidak mampu mengelolah persoalan Papua,”tukasnya.

Menurutnya, dalam menyelesaikan persoalan Papua, harus mengedepankan dialog. “Hanya dengan dialog yang bisa mengurai segala permasalahan Papua, bukan dengan kekerasan yang hanya mengundang dunia internasional, serta membuat luka rakyat Papua,”tukasnya.

Dan ingat, sambungnya, rakyat Papua semakin ditekan akan semakin berteriak. “Siapapun kalau terus menerus ditekan pasti berteriak,”paparnya.
Ruben juga mengklaim, bahwa otsus yang sudah diberikan pemerintah pusat selama 11 tahun, tidak lagi berguna dan dirasakan rakyat Papua, karena sama sekali tidak lagi memproteksi kepentongan rakyat Papua. “Saya kira otsus sudah tidak ada lagi artinya, sebab tidak lagi melindungi kepentingan rakyat Papua, seperti contohnya Pilgub, yang mengembalikannya ke KPU yang berarti sama saja dengan UU general lain, tidak memiliki kekhususan,”paparnya.(jir/don/l03)

Source: Selasa, 16 Oktober 2012 06:23, BintangPapua.com

1 Tahun KRP III Akan Diperingati

Senin, 15 Oktober 2012 02:11, BintangPapua.com

Ketua Panitia Perayaan KRP III, Pdt. Ketty Yabansabra, S.Teol (kiri) bersama anggota saat memberikan keterangan pers, Sabtu (13/10).
Ketua Panitia Perayaan KRP III, Pdt. Ketty Yabansabra, S.Teol (kiri) bersama anggota saat memberikan keterangan pers, Sabtu (13/10).

JAYAPURA – Kelompok yang menamakan diri Negara Federasi Republik Papua Barat (NFRPB) mengatakan, bakal memperingati 1 tahun Konferensi Rakyat Papua (III) yang saat itu mendeklarasikan pemulihan kemerdekaan ‘Bangsa Papua’ di Lapangan Misi Padang Bulan Abepura, tepatnya 19 Oktober 2011 lalu.

Ketua Panitia Perayaan Konferensi Rakyat Papua (KRP) III, yang juga selaku Ketua Tim 7 NFRBP, Pdt. Ketty Yabansabra, S.Teol, mengatakan, perayaan tersebut dilaksanakan tanggal 19 Oktober dalam bentuk ibadah syukur dan dialog, yang akan menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), jika undangan NFRPB dipenuhi Presiden SBY.

Dijelaskan, perayaan dalam bentuk ibadah dimaksud dan dialog dipastikan dilaksanakan dengan damai, bersahabat, dan sopan santun, sebab tema yang diangkat dalam perayaan tersebut adalah Papua dipulihkan dari perdamaian dunia.

Mengenai hal itu, melalui Tim yang dibentuk dan disahkan oleh ‘Presiden NFRPB’, Forkorus Yoboisembut,telah menyampaikan surat-surat kenegaraan, salah satunya perihal ibadah syukur dan dialog kepada Presiden RI yang tembusannya kepada menteri terkait, Kapolri, Panglima TNI, Pangdam Papua, Kapolda Papua Gubernur Papua dan pihak lainnya. Dimana ada balasan surat dari pihak-pihak tersebut bahwa telah menerima surat dan dokumen dari NFRPB. “Itu sikap hormat dari pemerintah pusat kepada kami NFRPB, jadi kami simpulkan bahwa pasti mendapatkan ijin ibadah syukur peringatan KRP III. Jelas kami akan menyampaikan surat permintaan ijin ke Polda Papua untuk ibadah syukur ini,” ungkapnya dalam keterangan Persnya di Kantor Sekretariat Dewan Adat Papua (DAP), Sabtu, (13/10). “ Yang terlibat dalam ibadah syukur itu seluruh komponen masyarakat di tanah Papua termasuk kami undang semua warga NKRI yang ada di tanah Papua yang sangat kami akui tingkat kesopanannya untuk turut hadir merayakannya,” ujarnya lagi.
Tentang deklarasi yang diisampaikan pada sesi terakhir KRP III, rakyat Papua menyatakannya sebagai final solution (solusi final) dari semua upaya-upaya pembangunan dari pemerintah NKRI dari sejak digelarkannya pembangunan dengan tema kesatuan NKRI dengan Papua yang bertolak dari adat dan kebudayaan yang sama mulai dari Kerajaan Sriwijaya sampai pada kesultanan Tidore, yang sudah saatnya harus berdiri sendiri menjadi Negara yang berdaulat secara hukum.

Lanjutnya, mengenai rencana dialog dengan Presiden SBY, pihaknya telah menyerahkannya ke Presiden SBY dan para petinggi di Jakarta yang diantar langsung pada tanggal 13-16 September 2012 lalu. Namun demikian, pihaknya meragukan dibukanya ruang dialog Jakarta-Papua, karena pada 10 tahun lalu ruang dialog juga diminta tapi gagal dilaksanakan.

Meski demikian, secara defacto telah mempunyai status politik dan hukum menjadi NFRPB yang ditandai dengan pembacaan deklarasi kemerdekaan bangsa Papua pada KRP III Papua lalu yang dicatat sebagai deklarasi pemulihan kemerdekaan dan kedalautan bangsa Papua yang sudah diperjuangkan sejak tahun 1961 hingga tahun 2011 lalu.

“Status hukum NFRPB terus kami dorong dan upayakan adanya pengakuan dari Negara-negara anggota PBB teristimewa Negara Kesatuan Repoblik Indonesia (NKRI),” tandasnya.

Sedangkan Kepala Keamanan NFRPB, Elias Ayakading, mengharapkan supaya tragedi yang terjadi pada KRP III lalu jangan terulang lagi pada peringatan 19 Oktober 2012 mendatang, sebab thema yang kita usung sudah jelas, yakni, pemulihan kemerdekaan bangsa NFRPB.

Untuk itu, dirinya menghimbau kepada aparat keamanan di atas tanah Papua, supaya bersama-sama kita wujudkan damai di tanah Papua. Dan kepada seluruh masyarakat Papua baik orang Papua sendiri maupun non Papua bahwa pihaknya menjamin keamanan perayaan ibadah syukur hari ulang tahun KRP III ini dalam kedamaian aman dan damai.

Dirinya juga minta kepada pihak-pihak terkait agar tidak mengembangkan isu-isu yang tidak bertanggungjawab. sebab pelaksanaan ibadah syukur dengan keadaan aman dan damai, dan tidak akan terjadi gangguan keamanan.(nls/don/l03)

Ratusan Warga Negara PNG Berniat Kembali ke NKRI

Judul berita ini, sebagaimana dilansir http://papuapos.com pada Monday, 27 August 2012 00:00 berbunyi seolah-olah orang Papua yang hendak kembali ke bagian Barat pulau New Guinea sebagai keputusan politik akibat perbuatan dan nama baik NKRI. Tergambar jelas dari penjelasan TNI bahwa orang Papua yang ada di Timur tanah leluhur mereka hendak kembali ke bagian barat karena kebaikan, nama baik dan pelayanan yang diberikan NKRI kepada mereka. Padahal soal berpindah dari timur ke barat, dari utara ke selatan, dari tengah ke pinggir telah berlangsung selama ribuan, bahkan ratusan ribu tahun sejak manusia Papua bermukim di pulau New Guinea.

Yatut dipertanyakan justru, “Mengapa mereka menjadi Warga Negara PNG sebelumnya? Bukanlah mereka ke bagian Timur tanah ulayat mereka lantaran dikejar untuk dibunuh oleh NKRI? Bukankah mereka mau pulang ke tempat mereka setelah mereka mengamati dan ternyata persoalan dan pelanggaran HAM oleh NKRI telah diangkat ke pentas politik global dan oleh karena itu mereka tidak bakalan diburu dan dibasmi? Apakah perpindahan orang Papua dari satu wilayah ke wilayah lain selalu diartikan sebagai bukti “ke Pangkuan Ibu Pertiwi”? Apakah dasar pemikiran orang Papua memang karena jatuh cinta kepada Ibu Pertiwi?

Hal kedua yang patut dicatat ialah seorang Perwira angkatan bersenjata Republik Indonesia yang memberikan penjalasan dimaksud, bukannya petugas Sosial yang menangani kesejahteraan dan kemasyarakatan, bukan juga kementerian yang digaji untuk menangani persoalan antar negara. Dari sumber informasi saja sudah dapat diketahui siapa yang memberitahu berita apa, karena alansan apa.

Selanjutnya juga perlu dicatat mengapan gaung “kembali ke Ibu Pertiwi” selalu dikumandangkan sepanjang tapal batas West Papua – PNG hanya pada HUT NKRI, dalam rangka peringatan kemerdekaan RI. Lagu yang sama tidak kedengaran di tapal-batas lainnya di wilayah pendudukan NKRI.

Lalu, judul berita ini juga membingungkan, sebuah bukti pembuat berita maupun sumber berita keduanya masih bingung dengan identitas orang Papua di dalam NKRI. Mereka yang hendak ke bagian barat tanah ulayat mereka disebut “Warga Negara PNG”, kemudian dinyatakan bahwa mereka mau “kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi”. Kalau mereka dianggap sebagai “mereka yang kembali” kenapa mereka disebut Warga Negara PNG? Bukankah mereka sebelumnya dicatat sebagai WNI, dan sementara tinggal di PNG, lalu mereka mau pulang? Kalau mereka warga negara PNG, mengapa harus pakai kata “kembali”? Kalau mereka warga PNG, mereka bukannya kembali, tetapi mereka menyatakan diri bergaung dengan NKRI, karena mereka bukan dari sini, tetapi dari PNG, dan mereka mau bergabung kemari. Judul berita ini berkonflik di dalam dirinya sendiri. Ia tidak menjelaskan jatidiri dan status hukum manusia Papua yang dulunya pergi ke bagian Timur tanah leluhur mereka dan kini hendak ke bagian Barat secara pasti dan terhormat. Yang ingin digambarkan ialah seolah-olah NKRI dan pelayanan serta aparatnya lebih baik dari yang ada di PNG, dan oleh karena itu ada manusia Papua di PNG yang hendak bergabung ke NKRI.

Persoalannya tanah leluhur dan mobilitas manusia Papua dari timur ke barat dan sebaliknya telah ada sejak lama, dan itu akan terus ada setelah NKRI sendiri bubar. Ia tidak dapat dibatasi oleh sebuah negara-bangsa sebagai pendatang baru dalam sejarah kehidupan manusia. Apalagi tapal batas West Papua – PNG tidak dipatok oleh orang Papua sendiri, yang dapat membatasi pergerakan orang Papua di tanah leluhur mereka. Apalagi orang yang kini disebut “warga negara PNG” itu bukannya lari ke PNG pada titik pertama karena mereka mau menikmati kedamaian dan kemakmuran hidup di PNG. Apalagi mereka mau kembali ke tenah leluhur mereka juga bukan karena betapa indah dan mesrah pelukan Ibu Pertiwi. Apalagi yang menjelaskan perpindahan orang Papua ini oleh seorang perwira dari pemerintah penjajah. Apalagi berita ini disebarluaskan di perayaan HUT NKRI.

Semuanya menunjukkan ada pemikiran dan konsepsi yang salah dari aparat dan pemberita NKRI terhadap jatidiri dan fenomena kehidupan bangsa Papua. Pantas saja solusi yang diberikan NKRI terhadap berbagai persoalan di Tanah ini selalu mengembang-biakkan persoalan demi persoalan. Kalau pemahaman dan pemberitaannya salah seperti ini, apalagi kebijakan dan perlakuan mereka terhadap manusia Papua? Apakah setiap perpindahan orang Papua disebabkan oleh kecintaan kepada NKRI?

Uskup Jayapura Uskup Leo Laba Ladjar Sampaikan Klarifikasi

Catatan PMNEWS:

Kemunafikan gereja telah merajalela di muka bumi sejak lama, berjalan tanpa disentuh kemanusiaan karena kedok gereja sebagai wakil Allah, padahal manusia di dalam gereja itu tidak sepenuhnya dan tidak selamanya mewakili Allah. Tanpa diluruskan semua sudah tahu, apalagi setelah diluruskan

Minggu, 26 Agustus 2012 16:47

Jayapura – Pemberitaan Bintang Papua edisi 23 Agustus 2012, sebagai berita utama di halaman depan dengan: “Perlu Ada Perundingan RI-PNG, dan Sub judul: Uskup: Untuk Bisa Menangkap Lambert Pekikir, mendapat klarifikasi dari Uskup Leo Laba Ladjar, OFM.

Melalui suratnya tanggapannya tertanggal 25 Agustus yang ditujukan ke redaksi Bintang Papua, Uskup Leo Laba Ladjar mengklarifikasi, baik isi berita maupun waktu pemuatan berita tersebut.

Menurutnya, isi berita tersebut yang mengatakan bahwa, Uskup Leo Laba Ladjar, OFM, mendesak Polisi untuk segera menangkap Lambert Pekikir, karena diduga mengganggu ketertiban dan keamanan khususnya di Kabupaten Keerom dan diduga menembak mati Kepala Kampung Sawyatami, adalah tidak benar diungkapkan Uskup Jayapura.

Begitu juga dalam berita itu ditulis bahwa desakan Uskup ini disampaikan ketika acara tatap muka bersama Wakapolda Papua Brigjen Pol Drs Paulus Waterpauw di Aula Gereja Katedral, Jayapura. Kapan? Hanya ditulis “belum lama ini”.

Berikut tanggapan sekaligus penjelasan Uskup Jayapura secara lengkap: · Memang ada pertemuan, dan itu terjadi pada tgl 19 Juli 2012. Jarak waktu dengan pemuatan beritanya di Koran Anda lebih dari sebulan, maka bukan “belum lama ini”.

· Pertemuan di atas inisiatif Bpk Wakapolda. Yang hadir bersama Wakapolda adalah beberapa Kepala Bagian Polda dan juga Kapolres Jayapura Kota. Dari pihak kami hadir Uskup dan semua pastor paroki di Kota Jayapura serta Sentani. Bpk Wakapolda menyampaikan bahwa ia memang ingin bertemu dengan pastor pastor Katolik, karena sampai sekarang yang sering bertemu dia hanya “hamba-hamba Tuhan” (dari Gereja-gereja Protestan).

· Bpk Wakapolda memberikan informasi mengenai situasi keamanan belakangan ini. Lalu ada tanggapan dan pernyataan dari hadirin, antara lain menyangkut OTK, siapa itu sebenarnya. Diharapkan Polisi cepat mengungkapkan agar masyarakat tak tambah resah dan saling curiga. Juga diusulkan dibentuk Tim Independen untuk menyelidiki kasus tertentu seperti terbunuhnya Mako Tabuni, karena versi Polisi tidak sama dengan versi orang yang menjadi saksi.

· Percakapan di sekitar pokok itu: keresahan masyarakat karena kekerasan yang meningkat, dan tidak jelas siapa pelaku dan apa motivasinya. Diharapkan ada kerjasama dari seluruh masyarakat dan pastor-pastor dalam menjaga keamanan kita bersama. Saya sebagai tuan rumah memberikan kata penutup pendek yang intinya bahwa kami, sebagai pemimpin Gereja bertugas membina umat untuk berprilaku baik, sesuai dengan ajaran agama, agar segala tindakan kekerasan dan kejahatan dijauhkan dari masyarakat. Sama sekali tak ada pembicaraan khusus mengenaiu Lambert Pekikir, apalagi desakan kepada Polisi untuk segera menangkapnya.

Diakui, akibat dari pemberitaan Anda ini a.l.: Saya dihujani berbagai pertanyaan dan ungkapan kekecewaan. Lebih dari itu timbul keresahan dalam kelompok kelompok tertentu dan hubungan Uskup dengan umatnya menjadi terganggu.

Untuk itu, terkait dengan pemberitaan tersebut, maka pihak Bintang Papua menyatakan mencabut berita berjudul “Perlu Ada Perundingan RI-PNG…”yang dimuat dalam Bintang Papua 23 Agustus 2012.(don/don/l03)

Peu Ada Perundingan RI-PNG

Rabu, 22 Agustus 2012 17:18, http://bintangpapua.com

JAYAPURA—Polisi didesak segera menangkap Koordinator TPN/OPM Lambert Pekikir yang bermarkas di Camp Victory, wilayah perbatasan RI-Papua New Guinea (PNG). Pasalnya, kelompok Lambert selama ini diduga mengganggu ketertiban dan keamanan khususnya di Kabupaten Keerom. Bahkan diduga menembak mati Kepala Kampung Sawiyatami Yohanes Yanupron di Sawiyatami, Distrik Wembi, Kabupaten Keerom pada saat HUT TPN/OPM 1 Juli 2012 silam.

Desakan ini disampaikan Uskup Jayapura Mgr.Leo Laba Ladjar, OFM ketika acara tatap muka bersama Wakapolda Papua Brigjen Pol Drs Paulus Waterpauw di Aula Gereja Katedral, Jayapura, belum lama ini.

Ironisnya, Uskup Laba Ladjar mengutarakan, pasca tertembaknya Kepala Kampung tersebut, mereka melarikan diri ke Camp Victory untuk mempersiapkan amunisi baru lagi. Hal ini membuat Polisi kesulitan menangkap kelompok mereka.

Karena itu, kata dia, perlu adanya suatu perundingan antara pemerintah RI-PNG menyerahkan Lambert Pekikir agar yang bersangkutan segera mempertanggungjawabkan perbuatannya sekaligus diproses hukum di Indonesia. Alasannya, lanjut Uskup pabila Lambert Pekikir tak segera ditangkap, maka umat tak berdaya dan dikwatirkan seluruh umat yang berdiam di Keerom sejak tahun 1970-an hingga kini terus menerus memedam kecemasan dan traumatis tinggi.

Dijelaskan, sebelum peringatan HUT TPN/OPM 1 Juli 2012 silam, kelompok Lambert Pekikir masuk keluar Kampung dan membagi-bagikan bendera Bintang Kejora, simbol perlawanan bangsa Papua Barat untuk memisahkan diri dari pemerintah RI. Tak hanya itu, yang bersangkutan memaksa masyarakat setempat mengibarkan Bintang Kejora selama tiga hari berturut turut.

Senada dengan itu, Wakapolda Papua Brigjen Pol Drs Paulus Waterpauw menandaskan, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat membutuhkan persamaan pandangan dari pelbagai pihak, termasuk stakeholders terutama para tokoh agama, tokoh adat, tokoh masyarakat dan lain lain yang memiliki umat ini.

Karenanya, tukas dia, bila terjadi masalah di masyarakat, maka para tokoh agama, tokoh masyarakat, tokoh adat berkenan menyampaikan kepada umat atau masyarakat.

“Hal ini secara otomatis terbangun sebuah komunikasi atas bawah, kanan kiri dan sebagainya didalam masyarakat,” tandasnya.

Sedangkan Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih Letkol (Inf) Jansen Simanjuntak yang dihubungi terpisah menegaskan, pihaknya mengalami kendala ketika hendak menangkap Lambert Pekikir dan kelompoknya. Sebab, yang bersangkutan bersembunyi di hutan belantara di Bawen atau Selatan Wutung yang merupakan wilayah PNG.

“Kami tak ingin serta merta mengejar Lambert Pekikir sampai ke Bawen,” tukas dia. Namun, siapanpun Warga Negara Indonesia, termasuk kelompok separatis yang melakukan teror otomatis harus diberantas sembari menghormati HAM.

“Bukan berarti kita takut, tapi HAM sebagai pedoman untuk melakukan tindakan tegas di lapangan,” ujarnya. (mdc/don/l03)

Kronologis Penembakan Kepala Desa Di Kerom Papua Versi Warga

PAPUAN, Jakarta — Walaupun Kapolda Papua, Pangdam XVII/Cenderawasih, serta berbagai petinggi Negara di Jakarta menyatakan pelaku penembakan adalah kelompok Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Lambert Pekikir, namun masyarakat Keerom meragukan kebenaran informasi tersebut.

“Kami memiliki kronologis lain yang tidak sama dengan penjelasan petinggi-petinggi militer,” kata sebuah sumber yang juga warga Keerom, ketika dihubungi suarapapua.com, Kamis (5/7) siang.

Dijelaskan, pada pagi hari Kepala Desa (Johanes) sedang berkendaraan motor dalam keadaan yang aman terkendali. Ketika melintas (tempat kejadian penembakan), tiba-tiba ada satu mobil yang mengikuti dia dari belakang.

Mobil yang mengikuti itu menghampiri kepala desa yang saat itu masih diatas motor (sedang mengendarai), dari dalam mobil itu mengeluarkan tembakan yang diarahkan langsung ke kepalanya.

“Dan tembakan kedua bersarang di perut, akhirnya jatuh tersungkur disitu. Setelah itu, mobil tersebut segera melaju ke arah timur jalan,” jelasnya.

Karena masyarakat di sekitar mendengar tembakan dan ternyata menewaskan kepala desa mereka, maka masyarakat segera beramai-ramai ke tempat kejadian penembakan untuk mengangkat kepala desa (Johanes) yang sudah tidak bernyawa lagi.

“Saat masyarakat bingung, sedih dan sebagainya dan mencari tahu siapa pelaku penembakan, tidak lama kemudian datanglah mobil tentara dengan senjata lengkap, sehingga masyarakat sangat panik dan takut.

Melihat tentara, masyarakat melarikan diri ke hutan-hutan, karena kepala desa meraka ditembak, apalagi mereka punya pengalaman traumatis penembakan-penembakan yang pernah terjadi di wialyah itu pada tahun-tahun sebelumnya,” kata sumber ini.

Ketika masyarakat melarikan diri karena takut ditembak, akhirnya dijadikan sasaran penembakan dan berhasil menembak 8 orang asli Papua.

“Jumlah warga sipil yang ditembak adalah 8 orang, mereka murni bukan anggota OPM di bawah pimpinan Lamberth Pekikir,” katanya.

Lanjutnya, kemudian tentara mengejar dan menembak masyarakat yang melarikan diri ke hutan. Mobil yang tadinya menembak kepala desa tersebut kembali dari arah timur dan segera mengangkat Jenazah Johanes yang sudah tersungkur dan dimasukan ke dalam mobil dan segera melaju ke salah satu rumah sakit di Jayapura untuk diotopsi.

“Di berbagai media di Indonesia melaporkan kronologis yang tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan (tempat kejadian),” kata sumber ini .

Saat ini, pihak militer sedang melakukan pengejaran terhadap kelompok Lambert Pekikir yang diduga sedang melarikan diri ke perbatasan PNG.

OKTOVIANUS POGAU

PIDATO PADA UPACARA PERINGATAN HUT PROKLAMASI REPUBLIK WEST PAPUA 1JULI 2012


DEFACTO 41 TAHUN HUT PROKLAMASI REPUBLIK WEST PAPUA

Yang kami homati, 1. Segenap Makluk hidup dan segenap Rakyat West Papua
2. Seluruh Panglima Gerilya Kordap Daerah
3. Seluruh fungsionaris OPM dan diplomat West Papua
4. Seluruh inteltual dan mahasiswa bangsa Papua
5. Seluruh lapisan elemen perjuagan di dalam Negeri maupun diluar Negeri

Pada kesempatan yang bahagia dan hari yang sangat bersejarah bagi bangsa Papua yang telah menyatakan dirinya untuk berdiri degan kedua kaki diatas tanah air sendiri. Kami mengucapakan SELAMAT MERAYAKAN HARI ULANG TAHUN PROKLAMASI NEGARA WEST PAPUA YANG KE – 41.

Perjuagan suatu bangsa untuk menentukan kedaulatan dan harga diri sebagai suatu entintas suku bangsa adalah hak fundamental yang tidak dapat digadaikan dengan dan dalam bentuk apapun, karena kemerdekaan adalah hak segala bangsa di bumi.

Perjuagan merupakan bagian dari pengorbanan jiwa dan raga, nyawa dan harta benda merupakan suatu bentuk untuk, melindugi dan mempertahankan harga diri sebagai suatu bangsa yang tersendiri yaitu bangsa Papua degan mendirikan institusi modern atau Negara bangsa West Papua untuk berdiri sejajar dengan Negara bangsa lain di dunia.

Sejarah bangsa Papua telah tercatat bahwa, pernah membentuk suatu Negara yang merdeka pada tanggal 1 Desember 1962 dan , degan atribut kelengkapan Negara yang lengkap sebagaimana layaknya suatu Negara berdiri, namun oleh karena kepentingan semua Negara di dunia Negara Republik West Papua menjadi tumbal, digadaikan dan diabaikan dan dilehcekan harga diri kita, hak kita, lewat pelaksanaan PEPERA ( Pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat Papua ) yang penuh degan kebohongan, intimidasi, tekanan militer oleh Negara bangsa Indonesia terhadap Negara bangsa Papua diatas tanah air.
Untuk menyatakan sejarahnya sendiri, rakyat Papua telah menyatakan Proklamasi sebagai Negara yang merdeka secara Defacto pada tanggal 1 Juli 1971 oleh kedua Proklamator Zeth Yafet Roemkorem dan Yakop Pray di rimba raya Papua, demi menyatakan harga diri sebuah Negara bangsa Papua kepada dunia bahwa bangsa Papua menyatakan diri sebagai Negara Republik West Papua.

Kita bangsa Papua kini menjalani jalan yang sama dan yang suda dijalani oleh bangsa Indonesia. Bangsa-bangsa di eropa timur yang tadinya berada dalam integral daerah ( karena dipaksa dan dirampok) dari dan oleh komunisme dari Lenin dan Stalin degan Negara kesatuan yang bernama “ UNI SOVIET”, satu demi satu kini minta kemerdekaan masing-masing. Terlebih karena komunisme suda lenyap dari permukaan bumi.

Indonesia merebut tanah air kita degan bantuan isu komunisme dengan jalan kekerasan. Justru karena itu kita bangsa Papua harus membenahi, menata dan mempertahankan pemerintahan sebagai mana layaknya suatu bangsa mempraktekan, menyatakan martabatnya kepada Negara moderen yang lain di muka bumi dan kita harus beraksi di atas permukaan bumi selayaknya suatu bangsa yang merdeka. Kita terlalu lama berjuang pada tingkat-tingkat rendah sehingga kebanyakan orang di Negara moderen menyatakan” bangsa Papua masih sibuk degan perjuangan di tingkat rendah”.

Saudara sebangsaku; kita bukan suatu Negara miskin kita diberkati degan sumberdaya alam yang kaya-raya dan tidak terhitung nilainya, kita bukan lagi harus menderita di atas kekayaan sendiri, ibarat seekor tikus harus mati dalam gudang makanan, tetapi kita mampu membagun diri kita degan jumlah penduduk 2 setengah juta jiwa dan lebih dari kecukupan untuk menata perekonomian Negara kita untuk kepentingan bangsa Papua dan kesejahteraan rakyat di masa yang akan datang.

Dan juga saya mau tegaskan bahwa; bahwa kita bukan berjuang untuk kepentingan jabatan,pangkat, dan kedudukan tetapi kita harus berjuang demi harkat dan martabat sebagai suatu etintas bangsa Papua karena identitas kita berbeda dari bangsa Indonesia dan untuk berdikari diatas kaki kita sendiri dan Negara yang telah menyatakan dirinya sebagai Negara merdeka pada tanggal 1 Juni 1971 secara defato dan dejure di rimba raya Papua.

Pada kesempatan yang berbahagia ini saya Matias Wenda selaku Pemegang mandat dan tongkat estafet perjuangan Revolusi bangsa Papua, mengajak kepada kita semua degan mengedepankan motto” ONE PEOPLE ONE SOUL bahwa; sudah saatnya kita menata diri, berbenah diri dan terus bangkit bergandeng tangan dan merevolusi total mulai dari gaya berpikir kita, gaya bermain kita, irama kita, gaya pendekatan kita degan penuh keteguhan hati yang jujur dengan nurani yang bersih dan maju bersama-sama sejajar untuk beraksi sebagaimana selayaknya suatu Negara bangsa moderen berperan dalam kanca politik global demi rakyat dan tana air kita West Papua.

Atas nama Sang kalik, atas nama segenap makluk hidup dan segenap rakyat bangsa Papua, atas nama pegorbanan para pahlawan dan pendahulu kita, atas nama yatim piatu, janda, duda dan atas nama generasi bangsa Papua yang ada dan yang akan lahir diatas tanah air Papua, sekali lagi saya ucapkan SELAMAT MERAYAKAN HUT PROKLAMASI NEGARA REPUBLIK WEST PAPUA YANG KE – 41

Salam Revolusi

Dikeluarkan di : Markas Pusat Pertahan Tentara Revolusi West Papua
Pada tanggal : 1 Juli 2012
Jam : 00:10 Waktu WP
=============================
Panglima Komando Revolusi

Mathias Wenda, Gen.TRWP
NBP. A. 001076

Pidato Anggota Parlemen Nasional West Papua asal Fraksi Saireri pada Demo KNPB Biak

Pembacaan Pidato
Pembacaan Pidato

BiakNews 1 May, 2012, Aksi demonstrasi yang dilakukan Komite Nasional West Papua ( KNPB) secara nasional dan menyeluruh di West Papua dalam rangka Hari Aneksasi bangsa West Papua juga dilaksanakan di Biak.

Komite Nasional Papua Barat Wilayah Biak pada tanggal 1 Mei 2012 mengadakan aksi demonstrasi damai untuk menyatakan kepada dunia bahwa proses pengabungan West Papua kedalam Negara Indonesia tidak sah dan Ilegal. Tanggal 1 Mei adalah hari Aneksasi bangsa West Papua, tanggal 1 Mei 1963 berdasarkan Perjanjian New York 15 Agustus 1962 Belanda sebagai bekas koloni di West Papua menyerahkan Wilayah West Papua kepada PBB yang disebut UNTEA, dan selanjutnya PBB ( UNTEA) menyerahkan wilayah West Papua untuk dikuasai oleh penjajah baru yaitu Negara Indonesia.

Aksi demonstrasi KNPB Biak ini dihadiri oleh sejumlah anggota Parlemen Nasional asal Fraksi Saireri. Diakhir Demonstrasi KNPB Biak itu Wakil Ketua Fraksi Saireri dari Parlemen Nasional West Papua Mr, Esau Mansembra menyampaikan pidato politik atas nama Fraksi Saireri Parlemen Nasional West Papua.

Mr. Esau Mansembra mengatakan West Papua adalah masalah hukum international, dimana Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang dibuat Indonesia, Belanda dengan perantara Amerika dan didukung oleh PBB merupakan akar dari masalah West Papua. Rakyat West Papua dijadikan obyek dalam perjanjian New York 1962, akibatnya Rakyat West Papua menjadi korban dari kepentingan mereka.
Perjanjian New York 1962 merupakan alat yang dipakai Indonesia untuk melakukan invasi ke territorial West Papua untuk menguasai territorial West Papua dan mengagalkan sebuah cita-cita Kemerdekaan West Papua. Pembunuhan, penembakan, penangkapan, penyiksaan dan perampasan yang mana merupakan tindakan kejahatan kemanusiaan Pemerintah Indonesia dari tahun 1963-1969. Selama 7 ( tujuh) tahun yaitu dari tahun 1963-1969 Rakyat West Papua hidup dibawah kekuasaan Senjata dan tindakan militer Indonesia dipaksa menyatakan sikap bergabung dengan Negara Republik Indonesia.
1.025 orang West Papua dibawah ancaman Senjata Negara Indonesia dipaksa dan ditunjuk untuk menyatakan sikap bergabung dengan Negara Republik Indonesia. PEPERA 1969 Ilegal, Pelaksanaanya tidak adil, tidak jujur dan tidak demokrasi serta tidak dilaksanakan berdasarkan praktek international.

Lanjut Wakil Ketua Fraksi Saireri itu mengatakan Walaupun Jakarta klaim bahwa West Papua adalah bagian dari Negara Republik Indonesia namun bagi masyarakat West Papua adalah West Papua bukan bagian dari Negara Republik Indonesia dan pengabungan West Papua ke Negara Indonesia merupakan pelanggaran hukum international dan hak asasi manusia.
Sampai saat ini masyarakat West Papua masih terus menerus menuntut pentingnya pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri, dan ini membuktikan bahwa status politik West Papua menjadi ganjalan utama Jakarta Papua.

Referendum adalah salah satu pelaksanaan dari bagaimana mewujudkan hak penentuan nasib sendiri secara adil, demokrasi, dan jujur. Mekanisme Referendum artinya hak dikembalikan kepada rakyat West Papua untuk menyatakan sikapnya secara adil, jujur, demokrasi dan damai.

Indonesia, Belanda, Amerika dan PBB telah melakukan suatu perjanjian international tentang West Papua, perjanjian itu disebut New York Agreement 15 Agustus 1962, mereka telah berjanji untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia khususnya masyarakat West Papua. Namun janji-janji mereka yang mereka tuangkan dalam suatu naskah perjanjian international itu tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. Ini berarti maka, logis saja jika kepada mereka dibebankan kewajiban, karena mereka itulah yang berjanji, dan setiap janji yang telah dinyatakan pasti mengandung prinsip kewajiban.

Kewajiban mereka untuk melaksanakan apa yang mereka janji itu tidak dilaksanakan, ini berarti bahwa mereka lalai dan gagal dalam melaksanakan perjanjian yang mereka sendiri lakukan. Jika negara gagal atau lalai menunaikan janjinya dan kewajibanya, maka negara pulalah dituntut tanggung jawabnya.

Kita harus tuntut Indonesia, Belanda, Amerika dan PBB mempertanggung jawabkan kewajiban mereka dalam pelaksanaan Perjanjian New York 1962, karena mereka itulah yang berjanji untuk sebuah penentuan nasib sendiri bagi masyarakat West Papua pada tahun 1969. Mereka yang berjanji dan mereka yang mengingkari atau melanggar janjinya sendiri untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak manusia masyarakat West Papua. Karena merekalah yang melanggar atau mengingkarinya dan atas pengingkaran atau pelanggaran ini pula mereka ( Belanda, Indonesia, Amerika dan PBB) ditutut tanggung jawabnya.

Lanjut Wakil Ketua Fraksi Saireri itu mengatakan Hari ini dan seterusnya kita terus berkampanye guna suatu kesadaran tentang Papua Barat untuk memperkenalkan kasus legal tentang orang Papua Barat yang mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan hukum international.
Semua orang Papua Barat hidup dalam penjara selama mereka dibawah kekuasaan Administrasi Indonesia. Sudah 40 tahun lebih orang Papua Barat hidup dalam suatu penjara. Mari kita memperjuangkan prinsip-prinsip hukum international dan Hak Asasi Manusia sehingga orang West Papua dapat memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri yang harus dilakukan oleh PBB.

Papua Barat adalah sebuah kasus illegal atau tidak sah berdasarkan hukum international yang dilakukan sendiri oleh PBB, dan masyarakat international ada terlibat dalam masalah West Papua. Pelaksanaan PEPERA 1969 penuh dengan pelanggaran dan kejahatan-kejahatan kemanusiaan. Maka, sangat penting untuk kita bangun suatu solidalitas untuk memperjuangkan masalah Papua Barat ini ke level hukum International meminta tanggung jawabn mereka.

Masalah utama bangsa Papua Barat adalah status politik wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang belum final, karena proses memasukan wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-prinsip hukum dan HAM internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka. Karena proses itu merupakan hasil kongkalingkong (persekongkolan) pihak-pihak internasional, maka masalah konflik politik tentang status politik wilayah Papua Barat harus diselesaikan di tingkat internasional.

Belanda sendiri kita perlu menyadarkan dia dan menuntutnya untuk mempertanggungjwab tanggung jawabnya atas persoalan Hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat West Papua. Di sisi lain Belanda mempersiapkan sebuah hak Penentuan Nasib Sendiri bagi rakyat West Papua namun disisi lain Belanda menyerahkan wilayah West Papua ke Negara Indonesia melalui PBB ( UNTEA). ( Ungkap Mr. Esau Mansembra).

Berdasarkan prinsip-prinsip hukum international, standar-standar hak asasi manusia dan Piagam PBB setiap rakyat yang dijajah mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri.

Kasus West Papua berdasarkan hukum international adalah bentuk dari kolonial. Dimana Belanda sebagai bekas koloni lama West Papua menyerahkan wilayah jajahannya kepada Indonesia sebagai penjajah baru. Proses ini mensampingkan Hak fundamental rakyat West Papua sebagai pemilik dan penguni wilayah itu. Ini adalah gaya dan cara kolonial. Bentuk Kolonial dilarang oleh hukum international. Negara penjajah mempunyai kewajiban hukum international untuk menghormati, memajukan dan memenuhi pelaksanaan Hak Penentuan Nasib sendiri bagi rakyat dan wilayah jajahannya untuk menentukan masa depan mereka.

Sekali lagi saya ingin katakan bahwa :PEPERA 1969 ILEGAL cacat berdasarkan hukum international karena pelaksanaannya tidak adil, tidak jujur, tidak demokrasi. Hak Penentuan Nasib Sendiri belum dilaksanakan di West Papua berdasarkan prinsip-prinsip hukum international, standar-standar hak asasi manusia dan Piagam PBB. Dan Rakyat West Papua mempunyai hak untuk menentukan nasib sendiri berdasarkan prinsip-prinsip hukum international, standar-standar hak asasi manusia dan PiagamPBB,( Ujarnya).

1 Desember Barulah Embrio

English: Coat of arms of Republic of West Papu...
English: Coat of arms of Republic of West Papua Bahasa Indonesia: Lambang Republik Papua Barat Русский: Герб Республики Западное Папуа (Photo credit: Wikipedia)

JAYAPURA – Jika sebelumnya Juru Bicara TPN-PB, Jonah Wenda mengklarifikasi bahwa berbagai SMS terkait 1 Desember adalah bukan dari TPN-PB, maka Rabu (23/11), giliran Komite Nasional Papua Barat (KNPB) juga melakukan klarifikasi masalah yang serupa. Untuk menyikapi beredarnya berbagai SMS yang terkait momen 1 Desember, Wakil Ketua 1 KNPB Mako Tabuni, menyatakan bahwa 1 Desember bukan hari kemerdekaan bangsa Papua, melainkan embrio dari kemerdekaan. Ia menyerukan kepada seluruh warga di Papua agar tidak cepat terprovokasi berbagai informasi yang beredar melalui pesan pendek telepon seluler terkait 1 Desember 2011 yang sering disebutkan sebagai hari kemerdekaan bangsa Papua Barat. “Saya minta kepada warga yang ada di seluruh Tanah Papua untuk tidak cepat terpengaruh dengan kemunculan sejumlah isu-isu negatif lainnya akhir-akhir ini,” kata ketua I KNPB, Mako Tabuni didampingi moderator KNPB Alberth Wanimbo saat memberikan keterangan pers di Prioma Garden Abepura, Rabu (23/11).

Dikatakan, sejumlah informasi melalui SMS yang tidak bisa dipertanggungjawabkan tersebut merupakan tindakan yang tidak terpuji dari oknum-oknum tertentu untuk memecah belah persatuan dan kesatuan serta kerharmonisan yang telah tercipta selama ini di Papua.

“Kemarin ketua umum KNPB, Buhtar Tabuni telah mengatakan agar kita, warga Papua tidak membuat suatu gerakan tambahan pada 1 Desember nanti, jika hal itu dilakukan maka akan berhadapan dengan aparat keamanan,”

katanya.

Hal itu yakni untuk tidak mengibarkan bendera Bintang Kejora (BK) pada 1 Desember nanti. “Karena BK bukanlah bendera biasa atau kain yang hanya dikibarkan lalu ditinggalkan dan tidak dipertanggungjawabkan,” tegasnya.

Menurutnya, barang siapa, orang Papua sekalipun berusaha mengibarkan BK, berarti berurusan dengan aparat keamanan.

“Dan dia jugalah yang mengorbankan warga Papua,”

katanya tegas.

Selain itu, Mako Tabuni juga mengatakan pihaknya tidak sependapat hasil Kongres Rakyat Papua (KRP) III pada pertengahan Oktober lalu yang telah merekomendasikan dan mendirikan suatu negara Federasi Papua Barat, karena tidak mewakili orang Papua pada umumnya, termasuk sejumlah organisasi perjuangan lainya.

“Hasil KRP III tidak representatif dan tidak mengakomodir keinginan dan kemauan rakyat bangsa Papua Barat,” katanya.

Sementara itu, Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs BL Tobing mengatakan, 1 Desember yang acapkali diperingati sebagai Hari Kemerdekaan Bangsa Papua Barat diharapkan tak terjadi pengibaran bendera Bintang Kejora.

Hal ini disampaikan di sela sela Rapat Fasilitasi Koordinasi Pimpinan Daerah Dalam Mewujudkan Ketenteraman dan Ketertiban di Aula Sasana Krida, Kantor Gubernur Papua, Jayapura, Rabu (23/11).
Dikatakan, semua pihak dihimbau melakukan pengendalian terhadap simbol simbol kenegaraan yang ada seperti pengibaran bendera Bintang Kejora.

Dikataknnya, semua pihak bersama tokoh agama, tokoh adat, tokoh agama diseruhkan untuk menjaga situasi dan kondisi ketertiban dan keamanan agar tetap kondusif.

Menurutnya, pihaknya telah melakukan koordinasi bersama Kapolresta dan Kapolresta diseluruh Tanah Papua untuk tak memberikan bantuan dana khususnya kepada organisasi pro kemerdekaan untuk membiayai Peringatan Kemedekaan Bangsa Papua Barat.

Kasdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Indra Hidayat terkait peringatan Hari Kemerdekaan Bangsa Papua Barat menegaskan, pihaknya mengharapkan agar rakyat Papua tak melakukan tindakan tindakan yang merugikan dan mengorbankan rakyat Papua seperti yang terjadi sebelumnya.

Karena itu, lanjutnya, pihaknya menghimbau semua komponen rakyat Papua untuk mengantisipasi kalender Kantibmas di Tanah Papua serta menjaga agar situasi tetap kondusif terutama menjelang perayaan Natal dapat dirayakan dengan penuh suka cita dan kedamaian. (aj/mdc/don/l03)

Enhanced by Zemanta

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny