Chiefs Day celebration at Ohlen Matakeru

The Chiefs of Ohlen Matakeru with MP Kalo Seule (2nd from right front) at the Chiefs Day celebration. By Jonas Cullwick
The Chiefs of Ohlen Matakeru with MP Kalo Seule (2nd from right front) at the Chiefs Day celebration. By Jonas Cullwick

The Chiefs Day celebration on March 5, 2018 at Ohlen Matakeru Mataso Island Community in Port Vila was reported to be a success.

The day began with a forum in the morning run by a member of the Port Vila Town Council of Chiefs on the role of a chief inside a community and the duties of a chief.

The theme of the Chiefs Day celebration was: “A chief has a huge responsibility in the community”, the subject of which was discussed in the forum attended by the chiefs of Matakeru and those of other island communities around Ohlen Matakeru. These chiefs from the other communities and their people also participated in the celebration at Ohlen Matakeru.

The main program began in the afternoon attended by the chiefs and their people and Member of Parliament for Port Vila who himself comes from the Shepherds Group, Kalo Seule, with the opening led by the Covenant Church Choir, which led the people to the main nasara with singing.

Chairman of Ohlen Matakeru community, Peter Tarisong, began the speeches with a welcome to everyone attending. His was followed by speeches from the chiefs five nasaras of Ohlen Matakeru representing the nasaras of Mataso Island.

Chairman Tarisong said the chiefs of the other islands also shared their thoughts on the role of the chiefs in a community. And the main speech for the day was given by MP Kalo Seule.

The chiefs cut a cake for the day and then joined in a kava ceremony followed by dinner for everyone at night with a program enjoyed by women and children until closing at 9 pm.

 Jonas Cullwick, a former General Manager of VBTC is now a Senior Journalist with the Daily Post. Contact: jonas@dailypost.vu. Cell # 678 5460922

Ribuan Rakyat Pro Referendum Papua Duduki Halaman DPRD Jayawijaya

Ribuan Rakyat Pro Referendum Papua Duduki Halaman DPRD WAMENA, JAYAWIJAYA, SATUHARAPAN.COM – Ribuan rakyat pro penentuan nasib sendiri Papua hari ini (10/12) menduduki halaman gedung DPRD Jayawijaya. Para pendukung United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang oleh pemerintah dicap sebagai gerakan separatis, berkumpul dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia (HAM) sedunia yang jatuh pada tanggal 10 Desember.

Menurut laporan para saksi mata yang mengirimkan gambar-gambar kepada satuharapan.com, ribuan orang hendak menduduki kantor DPRD Jayawijaya, dan akhirnya mereka duduk di halaman. Halaman tersebut tidak muat untuk menampung massa, sehingga tumpah ruah di jalan.

Aksi menduduki halaman DPRD itu yang sudah diunggah ke youtube, menunjukkan massa memadati halaman sambil meneriakkan pekik merdeka. Sementara pada gambar lain tampak aparat kepolisian berjaga. Pengunggah video tersebut mengklaim jumlah yang bergabung dalam aksi ini mencapai 6.000 orang.

Menurut Victor Yeimo, Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) yang pro penentuan nasib sendiri Papua, ribuan warga ini dimediasi KNPB Wamena. Aksi ini dimaksudkan untuk menyuarakan telah gagalnya pemerintah menjamin HAM Papua. Oleh karena itu, mereka menuntut segera lakukan referendum bagi bangsa Papua.

Pernyataan Politik ULMWP

Dalam kaitan dengan Hari HAM Sedunia ini, ULMWP mengeluarkan pernyataan politik, mewakili korban pelanggaran HAM di Papua. Menurut pernyataan politik itu, hak hidup rakyat Papua (Barat) terancam punah oleh kekerasan negara RI. Oleh karena itu bangsa Papua menuntut hak kedaulatan politik.

“Peringatan hari HAM menjadi momen penting bagi rakyat Papua Barat ras Melanesia untuk melihat kembali pelaksanaan HAM selama ini. Banyak terjadi pelanggaran HAM di bidang Sipil Politik (Sipol) maupun bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob). Secara umum perkembangan HAM di Indonesia khususnya di Papua masih memprihatinkan. Padahal Indonesia sudah meratifikasi 7 (tujuh) kovenan tentang HAM,” demikian pernyataan itu.

Menurut pernyataan ULMWP, kekerasan negara terhadap rakyat Papua tidak penah berhenti semenjak 19 Desember 1961, yaitu apa yang mereka klaim sebagai awal dari aneksasi Ri ke Tanah Papua.

“Dengan dalil melawan kelompok sepataris, pemerintah Indonesia telah dan terus melakukan berbagai operasi militer yang berdampak kepada kematian rakyat Papua Barat. Ribuan rakyat Papua telah menjadi korban pembunuhan, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang,” demikian pernyataan itu.

ULMWP menilai kekerasan negara terus terjadi sejak Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi hingga di masa Otsus. “Rakyat Papua setiap hari menjadi minoritas di atas tanahnya sendiri, terjadinya kriminalisasi ruang demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan bagi rakyat Papua, dengan menjustifikasi “Gerakan separatis, Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Kelompok sipil bersenjata (KSB) menjadi pembenaran oleh negara untuk melakukan tindakan represif,” kata pernyataan itu.

Di bagian akhir pernyataannya, ULMWP menyatakan menolak dengan tegas Tim pencari fakta pelanggaran HAM yang dibuat Presiden Republik Indonesia Joko Widodo melalui Menkopolhukam,  termasuk dengan rencana penyelesaian kasus pelanggaran HAM Papau dengan membayar kompensasi atau bayar kepala kepada korban.

Selain itu ULMWP mendesak Presiden Republik Indonesia Ir. Joko Widodo, secara terbuka memenuhi dan memfasilitasi Tim Pencari Fakta dari PBB datang ke Papua Barat, sesuai hasil rekomendasi sidang Umum PBB yang 71 dan Sidang Dewan HAM PBB tahun 2016.

ULMWP mendesak PBB mengambil langkah intervensi kemanusiaan, dengan membentuk resolusi kemanusian dan menunjuk Tim pencari Fakta atau Utusan Khusus datang ke Papua Barat, sesuai dengan hasil rekomendasi sidang Umum PBB yang ke-70.

Hari HAM Momen Evaluasi

Menurut Aktivis Hak Asasi Manusia di Papua yang juga direktur Lembaga Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy, Hari HAM Dunia selalu diperingati sebagai momen untuk melakukan evaluasi terhadap perkembangan situasi dan kondisi HAM. Evaluasi itu diharapkan memberi jalan bagi  negara-negara anggota PBB melakukan upaya-upaya mempromosikan HAM dalam konteks kebijakan domestik dan internasional.

“Indonesia, sebagai salah satu negara anggota PBB juga berkewajiban setiap saat menunjukkan rekam jejaknya kepada dunia internasional mengenai seberapa jauh pemerintah negara ini mampu menggunakan dan atau mendaya-gunakan instrumen-instrumen dan prinsip-prinsip HAM dalam kerangka penerapan kebijakan nasionalnya terhadap masyarakatnya sendiri,” kata Yan.

Yan mendesak negara di bawah pimpinan Presiden Joko Widodo segera memberikan dukungan politik dan hukum yang maksimal kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sebagai lembaga yang memiliki kewenangan secara hukum dalam menyelidiki dan mengungkap dugaan pelanggaran HAM Berat.

Apabila ada kekurangan-kekurangan dalam konteks aspek formal dan material dalam berkas penyelidikan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM tersebut, Komnas HAM memiliki kewenangan untuk melengkapinya sesuai petunjuk Jaksa Agung RI.

“Seharusnya tidak boleh ada upaya intervensi atau apapun namanya yang dilakukan oleh institusi lain di dalam negara ini, selain Komnas HAM dan Kejaksaan Agung dalam mengungkapkan dan melengkapi serta menyeret para terduga/tersangka kasus-kasus pelanggaraan HAM Berat di Tanah Papua itu ke Pengadilan HAM yang transparan, kredibel, independen dan adil serta imparsial sesuai amanat aturan perundangan yang berlaku,” kata dia.

Peringati hari HAM, KNPB Sorong : Indonesia tak akan bisa mengindonesiakan OAP

Aktifis KNPB Sorong Raya yang menggelar ibadah dalam rangka peringatan hari HAM di Sekretariat KNPB Malanu Kampung - Jubi/Niko MB
Aktifis KNPB Sorong Raya yang menggelar ibadah dalam rangka peringatan hari HAM di Sekretariat KNPB Malanu Kampung – Jubi/Niko MB

Sorong,Jubi – Komite Nasional Papua Barat [KNPB] Wilayah Sorong Raya, Sabtu (10/12/2016) dalam rangka memperingati hari HAM sedunia, mengenang penculikan dan pembunuhan Alm. Marthinus Yohame, Ketua Umum KNPB Sorong Raya tiga tahun lalu.

“Hari HAM ini moment penting buat kami Rakyat Papua untuk mengangkat semua pembunuhan dan penculikan para pejuang Bangsa Papua Barat selama 55 tahun penjajahan kolonial Indonesia yang terus menerus melakukan tindakan tidak manusiawi pada rakyat Papua,” kata Jubir KNPB Sorong Raya, Agustinus Aud kepada Jubi, Sabtu (10/12/2016).

Lanjutnya, rakyat Papua tidak mendapat kebebasan hidup sebagai manusia yang punya derajat sama dihadapan Tuhan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga ia mendesak rakyat Papua bersatu untuk menentukan nasib sendiri.

“Sudah cukup 55 tahun kita menangis air mata darah,”katanya

Sementara Ketua KNPB Sorong Raya Arnoldus Kocu menilai rezim militer Order Baru masih ada di tanah Papua sampai saat ini,

“TNI/Polri sampai saat ini seenaknya membunuh Rakyat Papua. Apakah TNI/Polri itu Tuhan sehingga seenaknya mencabut nyawa manusia Papua?” tanyanya.

Pemerintah Indonesia, menurutnya harus sadar telah merusak tatanan hidup orang Papua dengan memanipulasi PEPERA 1969 dan memaksa Rakyat Papua dibawah tekanan rezim militer untuk bergabung dengan Indonesia.

“Negara Indonesia tidak akan bisa mengindonesiakan Orang Asli Papua karena ideologi Bintang Fajar sudah mendarah daging dalam jiwa kami,” kata Kocu tegas. (*)

ULMWP Geser Fokus Diplomasi dari Pasifik ke Dunia

JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Pidato lengkap Sekretaris Jenderal United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Octovianus Mote, dibacakan serentak di Papua dan diberbagai lokasi pada peringatan 1 Desember, hari Kamis (1/12).

Anggota tim kerja ULMWP Markus Haluk mengatakan dia membacakan pidato Sekjen ULMWP pada peringatan 1 Desember yang dipusatkan di halaman asrama mahasiswa rusunawa Kampus Universitas Cenderawasih, Kota Baru, Jayapura, Papua, hari Kamis (1/12).

Pada peringatan itu, dilaksanakan doa syukur, pembacaan pidato Sekretaris Jenderal ULMWP Octovianus Mote oleh Markus Haluk, dan orasi politik dari masing-masing wakil organisasi dan para tokoh yang hadir. Di akhir acara dilakukan penandatanganan petisi dukungan rakyat Papua untuk ULMWP dan keanggotaannya di Melanesian Spearhead Group (MSG).

Dalam isi pidatonya, Octovianus Mote mengatakan ULMWP telah melakukan berbagai upaya diplomasi internasional mulai dari kawasan Pasifik, Afrika, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sekjen ULMWP itu meminta dukungan doa dan dana dari berbagai pihak untuk menunjang aneka upaya diplomasi tersebut.

“Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas semua kemajuan di atas. Karena semua terjadi sebagai buah dari kasih karuniaNya. Selain itu, dibalik kemajuan di atas kini kita dihadapkan pada tantangan yang semakin hari semakin berat,” kata Octo, sapaan akrabnya, dalam naskah pidato peringatan 1 Desember yang diterima satuharapan.com, hari Kamis (1/12)

“Karena itu ULMWP memerlukan dukungan doa dan dana dalam menunjang aneka lobi politik di berbagai belahan bumi. Karena sejak bulan September 2016 fokus lobi sudah bergeser dari Pasifik kepada dunia,” dia menegaskan.

Octo mengatakan, fokus utama ULMWP bukan lagi semata-mata memastikan keanggotaanya di MSG melainkan bagaimana membentuk Koalisi Pendukung Papua Barat di berbagai belahan bumi lainnya. Dukungan ini bukan sekadar dalam bentuk sekali dua kali pernyataan politik tetapi dukungan yang konsisten termasuk ikut mencari dukungan anggota PBB lainnya.

“Semua orang Papua perlu bangkit untuk lobi dengan caranya sendiri berbagai macam negara di dunia darimana pun kita berada. Kasih tahu kepada mereka bahwa kami mohon suara dukungan mereka dalam ketika anggota PBB bersama sama membatalkan resolusi 2504 tahun 1969 dan membiarkan bangsa Papua hidup berdaulat secara damai,” kata Octo.

Octo mengatakan, ULMWP menyadari akan tugasnya dalam mewujudkan kedaulatan bangsa. Tantangannya adalah bagaimana bisa memastikan dukungan dari (paling tidak) satu per tiga jumlah anggota Negara Anggota PBB.

“Untuk itu, ULMWP mengubah pola diplomasi, tidak seperti di tahun 1960an dan sesudahnya yakni lobinya tidak lagi bertolak dari Papua ke dunia Barat dan Afrika,” katanya.

Octo menyebut capaian yang telah dilakukan ULMWP dalam memfokuskan dukungan dari negara-negara di kawasan Pasifik. Menurut dia, dalam dua tahun pertama, ULMWP memperkuat basis dukungan di seluruh kawasan ini melalui jaringan adat, NGO, Gereja adan kalangan terdidik serta politisi. Secara kelembagaan, ULMWP menjadi anggota oberserver dan kini dalam proses menjadi anggota penuh MSG.

“Dalam tahun kedua dukungan itu meningkat dari wilayah Melanesia kepada Polinesia dan Micronesia melalui wadah baru bernama Pasifik Island Coalition on West Papua atau PICWP yang dibentuk atas inisiatif dari Perdana Menteri Solomon Island, Manase Sogovare yang juga adalah Ketua MSG,” kata Octo.

Dari sisi dukungan politik, lobi ULMWP berhasil memasukan masalah Papua menjadi salah satu masalah utama di kawasan pasifik. Dalam sidang tahunan (2015) Negara-negara Anggota Forum Pasifik (PIF) memutuskan untuk mengirim tim pencari fakta ke Papua.

Octo mengatakan kerja keras anggota ULMWP tidak hanya terbatas di kawasan Pasifik tetapi juga terjadi di Indonesia. Menurut dia, sebagian rakyat Indonesia terutama di kalangan terdidik sudah mulai mengakui aneka kejahatan yang dilakukan pemerintah dan militer Indonesia terhadap rakyat Papua Barat.

“Lebih daripada itu dalam minggu ini kita baru menyaksikan dideklarasikannya Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua). Gerakan rakyat Indonesia ini pun kini meningkat kepada dukungan terhadap hak bangsa Papua Barat untuk merdeka sebaga bangsa berdaulat,” kata Octo.

Octo mengatakan berbagai kelompok orang Papua di Belanda pun menuntut tanggungjawab Belanda yang lalai dalam melindungi kepentingan rakyat Papua. Menurut dia, dalam proses gugatan secara hukum tersebut, kelompok tersebut telah melakukan konsultasi dengan United Liberation Movement for West Papua.

“Sementara itu negara-negara di pasifik ini membuat tidak sedikit negara anggota PBB dari berbagai belahan bumi lainnya yang terpukau dan mengikuti secara serius setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia dan Papua,” kata dia.

Editor: Eben E. Siadari

Flag day in Papua takes form of prayer events, petition

Events held in the cities of West Papua to mark the anniversary of the Papuan nationalist day mainly took the form of prayer events.

Morning Star Flag
Morning Star Flag Photo: Copyright: chelovek / 123RF Stock Photo

Yesterday was the 55th anniversary of a declaration of independence by the indigenous people of the former Dutch New Guinea declared independence.

The Papuan nationlist Morning Star was subsequently banned when Indonesia took over, but each year global rallies mark this anniversary in support of Papuans.

In Papua, the biggest of yesterday’s events was in the Highlands town of Wamena where 3000 people converged for a large prayer event at the Traditional Council headquarters.

West Papuans show solidarity at a prayer event at Sinapuk Stadium in Wamena.
West Papuans show solidarity at a prayer event at Sinapuk Stadium in Wamena. Photo: Supplied

Benar News reported that organisers of the event thanked the Indonesian authorities for permitting the opportunity to worship.

Among the speakers at another peaceful event, across in Papua’s provincial capital, was Filep Karma.

Papuan pro-independence activist Filep Karma (C) asks police for a permit to hold a convoy with his supporters after being released from prison in Abepura, Papua province, on November 19, 2015.
Papuan pro-independence activist Filep Karma (C) asks police for a permit to hold a convoy with his supporters after being released from prison in Abepura, Papua province, on November 19, 2015. Photo: AFP

Mr Karma was released from prison a year ago after serving eleven years for raising the Morning Star in 2004.

At the Jayapura event, hundreds signed a petition in support of the United Liberation Movement for West Papua with its growing representative role in the Pacific region.

Thousands sign petition message in support of the United Liberation Movement for West Papua movement in the Pacific and at the UN.
Thousands sign petition message in support of the United Liberation Movement for West Papua movement in the Pacific and at the UN. Photo: Supplied

 

‘Political maturity’

Unlike December 1st demos in global centres such as London, Sydney, the Papua events were not allowed to feature raising of the Morning Star.

“Papuans are already aware and do not want to be provoked by violence and conflict,” Mr Karma was reported as saying.

“Prayers and speeches such as these show political maturity and a dignified struggle.”

West Papuan independence campaigner Filep Karma.
West Papuan independence campaigner Filep Karma. Photo: RNZI / Koroi Hawkins

The event also heard a speech written by the Liberation Movement secretary-general Octo Mote.

He said Indonesians “are starting to acknowledge that crimes have been committed by the government and military of Indonesia in Papua”.

In Jakarta police arrested over two hundred people for participating in a demonstration in support of West Papuans’ right to self-determination.

14 were arrested in the other Indonesian city of Yogyakarta.

Indonesian police turn water canons on protestors who were mostly university students from Free Papua Organization and the Papua Student Alliance in Jakarta on December 1, 2016.
Indonesian police turn water canons on protestors who were mostly university students from Free Papua Organization and the Papua Student Alliance in Jakarta on December 1, 2016. Photo: Supplied

 

1 Desember, momen klarifikasi persatuan rakyat Papua dalam ULMWP

 Rakyat Papua wilayah Lapago mendengarkan orasi politik pada perayaan HUT Papua Merdeka, 01 Desember 2016 – Jubi/ Wesai H
Rakyat Papua wilayah Lapago mendengarkan orasi politik pada perayaan HUT Papua Merdeka, 01 Desember 2016 – Jubi/ Wesai H

Wamena, Jubi – Sekitar lebih dari 3000 masyarakat Papua di wilayah Lapago turut serta memeriahkan Ibadah perayaan HUT Kemerdekaan Bangsa Papua yang ke 55 tahun, 01 Desember 2016 di Lapangan SInapuk Wamena, Kamis (1/12/2016).

Aksi 1 Desember 2016 merupakan aksi tahunan. Aksi kali ini dilakukan dalam bentuk ibadah syukur yang dipimpin Pendeta. Isak Asso. Terik matahari siang itu tidak menyurutkan semangat warga Wamena yang hadir meneriakan yel-yel Papua Merdeka dan Referendum.

Usai melakukan ibadah yang dimulai pukul 12.00 WP, orasi politik diawali pembacaan pidato tertulis Sekjen United Liberation Movement for West Papua oleh Sekretaris Dewan Aadat Papua Wilayah Lapago Dominikus Surabut yang juga tim kerja ULMWP. Pidato yang dibacakan ini berisi ungkapan syukur atas apa yang telah dijalani ULMWP bersama bangsa Papua dan dukungan yang terus mengalir hingga hari ini.

“Pidato sekjen ULMWP sangat jelas. Disini saya sampaikan bahwa kami bangsa Papua sudah bersatu di ULMWP. Baik NFRPB, PNWP dan WPNCL. Yang non afiliasi dengan tiga elemen utama tersebut, segera bergabung, ini saatnya kita bersatu untuk bergerak bersama menuju pembebasan bangsa Papua” ajak Engelbert Surabut dalam orasi politiknya atas nama Negara Federal Republik Papua Barat (NFRPB).

Ia menegaskan kelompok organisasi yang tidak bersatu dengan ULMWP namun melaksanakan kegiatan atas nama perjuangan rakyat bangsa Papua untuk menentukan nasib sendiri adalah lawan yang menyusup merusak perjuangan murni bangsa Papua melalui ULMWP

Lanjutnya, saat ini mengatakan masalah Papua bukan lagi masaah internal Indonesia maupun Papua saja melain sudah menjadi masalah Pasifik dan saat ini sudah beberapa kali dibicarakan dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa.

“Ini persoalan harga diri, jati diri bangsa Papua yang tempatkan Tuhan di tanah ini, kita bukan pencuri, kina anak-anak adat yang tahu diri. Jangan takut bicara tentang masa depan Papua,” ajaknya.

Perwakilan dari Parlemen Nasional West Papua (PNWP) dalam kesempatan orasinya, mengklarifikasi isu pernyataan-pernyataan yang menyebutkan bangsa Papua belum bersatu.

“Itu isu yang tidak benar. Karena sesungguhnya 3 faksi besar organ perjuangan rakyat bangsa Papua yaitu NFRPB, WPNLC dan PNWP sudah nyatakan diri untuk bersatu melalui ULMWP,” kata Yosep Siep yang berorasi mewakili PNWP.

Perayaan 1 Desember ini diakhiri sekitar pukul 14.30 WP. Masyarakat yang hadir membubarkan diri dengan tertib dan aman.

Meski demikian, menurut Engelbert Surabut, ada dua mobil polisi yang hadir memantau kegiatan. Namun polisi yang ada di mobil tersebut tidak masuk ke lapangan Sinapuk.

“Kami sudah kordinasi sebelumnya. Jadi mereka pantau saja di luar. Kami sampaikan terima kasih kami kepada pemerintah Indonesia melalui Polres Jayawijaya karena memberikan kesempatan pada kami untuk merayakan 1 Desember kali ini,” ujar Engelbert Surabut. (*)

Massa Pendukung Referendum Papua Ditembak Water Canon

Massa Pendukung Referendum Papua Ditembak Water Canon
Unjuk rasa FRI berakhir kericuhan. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia — Petugas polisi menembakan water canon ke arah sekitar 50 pedemo yang bergabung dalam Front Rakyat Indonesia, Kamis (1/12). Penembakan water canon saat massa FRI sedang berada di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat menuju Bunderan Hotel Indonesia untuk berunjuk rasa menuntut referendum bagi Papua.

Sejak pagi tadi, massa FRI berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan melanjutkan aksi longmarch ke Bunderan HI.

Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, ketika massa tiba di lampu merah Imam Bonjol yang berjarak sekitar 50 meter dari Bunderan HI, puluhan polisi perempuan membentuk pagar betis memblokade massa.

Beberapa menit kemudian, sembari berorasi dan bernyanyi, massa bergerak maju. Pagar betis para polwan kemudian digantikan petugas polisi bertameng.

Menghadapi polisi bertameng, pedemo kemudian mengeluarkan ikat merah berlambang kejora. Polisi dari atas mobil komando pun memerintahkan petugas untuk menembakan water canon ke arah pedemo.

Setelah menembakan water canon, petugas menarik ikat kepala dari para pedemo. Terlihat aksi tarik menarik antara petugas dan para pedemo. Polisi juga tampak mengamankan beberapa pedemo.

Menurut aktivis LBH Jakarta, Veronica Koman, polisi juga mengamankan tiga pedemo, yang terdiri dari dua orang koordinator lapangan dan satu lagi dari Free West Papua.

“Tiga orang itu kemungkinan dibawa ke Polda. Polanya kalau setahun ini semua orang Papua diangkut supata tidak bisa berekspresi di Indonesia,” kata Veronica.

FRI merupakan organisasi yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, dan Perkumpulan Solidaritas Net.

Rencananya, selain mendukung referendum Papua, massa FRI mendukung keanggotaan United Liberation Movement fof West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group, Pacific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di Perserikatan Bangsa-bangsa.

FRI mendesak militer ditarik dari Papua agar referendum berjalan damai, adil dan tanpa tekanan. Hal ini juga supaya masyarakat Papua mendapatkan kebebasan informasi, ekspresi dan berorganisasi.

Selain itu, FRI membawa pesan kepada dunia internasional untuk membangun konsilidasi solidaritas perjuangan hak menentukan nasib sendiri bagi Papua Barat.

“Kami juga memperjuangkan supaya masyarakat dapatkan pendidikan gratis, perluasan sekolah dan universitas, kesehatan gratis dan transportasi murah,” ujarnya.

Tanggal 1 Desember selama ini dikenal sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dianggap istimewa bagi sebagian kelompok di Papua karena dinilai sebagai hari kemerdekaan. Setiap tahunnya pada tanggal ini petugas keamanan selalu memperketat pengawasan di Papua lantaran kerap ada pengibaran bendera bintang. (yul)

Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap

Kamis, 01/12/2016 13:08, Reporter: Raja Eben Lumbanrau, CNN Indonesia
Seluruh Pendemo Referendum Papua Ditangkap
Seluruh peserta demo dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap dan diproses di Polda Metro Jaya. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)

Jakarta, CNN Indonesia — Seluruh peserta demo yang berasal dari Aliansi Mahasiswa Papua dan Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua ditangkap oleh polisi.

Tim kuasa hukum Aliansi Mahasiswa Papua dan Free West Papua, Veronika Koman mengatakan, pedemo sekarang berada di Polda Metro Jaya.

“Semua massa peserta demo, sekitar 150 orang ditangkap. Diangkut ke Metro,” kata aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (1/12).

Veronika menambahkan saat ini pedemo sedang menjalani pemeriksaan, berupa pendataan, mungkin dibuat berita acara pemeriksaan (BAP).

Penangkapan itu, menurut Veronika, merupakan bentuk pembungkaman terhadap kebebasan berekspresi.

“Kami sedang mendampingi, kami akan berusaha semaksimal mungkin dilepas semua,” katanya.

Sejak pagi tadi, massa FRI berkumpul di Lembaga Bantuan Hukum Jakarta dan melanjutkan aksi longmarch ke Bunderan HI. Ketika massa tiba di lampu merah Imam Bonjol yang berjarak sekitar 50 meter dari Bunderan HI terjadi gesekan.

FRI merupakan organisasi yang terdiri dari sejumlah kelompok masyarakat Partai Pembebasan Rakyat, Pusat Perjuangan Rakyat Indonesia, PEMBEBASAN, Serikat Kebudayaan Masyarakat Indonesia, Lingkar Studi Sosialis, dan Perkumpulan Solidaritas Net.

Rencananya, selain mendukung referendum Papua, massa FRI mendukung keanggotaan United Liberation Movement fof West Papua (ULMWP) di Melanesia Spearhead Group, Pacific Island Forum dan memperjuangkan keanggotaan ULMWP di Perserikatan Bangsa-bangsa.

FRI juga mendesak militer ditarik dari Papua agar referendum berjalan damai, adil dan tanpa tekanan. Hal ini juga supaya masyarakat Papua mendapatkan kebebasan informasi, ekspresi dan berorganisasi.

Tanggal 1 Desember selama ini dikenal sebagai Hari Ulang Tahun Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan dianggap istimewa bagi sebagian kelompok di Papua karena dinilai sebagai hari kemerdekaan. Setiap tahunnya pada tanggal ini petugas keamanan selalu memperketat pengawasan di Papua lantaran kerap ada pengibaran bendera bintang

Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon

Demo pakai atribut OPM, mahasiswa Papua disemprot water cannon
Aksi demo mahasiswa Papua. ©2016 merdeka.com/arie basuki

Merdeka.com – Sejumlah massa mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Papua bersama Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua menggelar aksi unjuk rasa di Jakarta. Mereka menuntut pemerintah Indonesia untuk menggelar referendum di seluruh wilayah Papua.

Pantauan merdeka.com, Kamis (1/12), aksi tersebut dimulai sekitar pukul 09.30 WIB. Mereka menuntut untuk diberikan kebebasan dan penentuan hak nasib sendiri sebagai solusi demokratis rakyat Papua, serta meminta agar TNI/Polri ditarik dari Papua.

Aksi ini sedianya digelar di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta dan dilanjutkan dengan berjalan kaki menuju Istana Negara. Namun, polisi menahan para pendemo di Jalan Imam Bonjol dan hanya boleh menyuarakan aspirasinya di sana.

Massa yang terdiri dari ratusan orang itu juga membawa atribut Organisasi Papua Merdeka (OPM), berupa ikat kepala bergambar Bintang Kejora. Hal itu memantik perhatian polisi, sehingga beberapa orang yang mengenakan atribut OPM langsung dibekuk.

Kejadian itu sempat menimbulkan kericuhan, namun tak ada aksi baku pukul antara demonstran dan polisi. Meski begitu, polisi tetap menyemprotkan water cannon ke arah massa.

Saat ini, situasi sudah kembali kondusif. Massa tetap berorasi di tengah pengawalan ketat kepolisian. Beberapa pendemo yang sempat ditangkap sudah dilepaskan kembali, tapi tanpa mengenakan atribut OPM.

Reporter : Arie Basuki | Kamis, 1 Desember 2016 11:22

Ini pidato 1 Desember Sekjen ULMWP

Ilustrasi - Dok. Jubi
Ilustrasi – Dok. Jubi

Papua……Merdeka, Merdeka,Merdeka

Seluruh rakyat bangsa Papua Barat yang tersebar di seluruh dunia, khususnya yang hari ini kumpul di Lembah Agung Balim-Jantung Papua, Wilayah Adat Lani Pago. Saya atas nama pribadi dan keluarga serta seluruh pengurus United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)baik yang di luar negeri maupun di tanah air saya hendak menyambut dengan salam khas dari Wilayah ini yang kini popular di seluruh dunia, waa….waa… waaa….. waaaa.

Hari ini, sebagaimana biasa setiap tanggal 1 December kita berkumpul untuk rayakan peristiwa yang terjadi 54 tahu lalu di Holandia Baru. Yakni saat bendera bintang kejora dikibarkan untuk pertama kali dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua dinyanyikan serta simbol nasionnal lainya seperti nama bangsa dengan wilayahnya di umumkan. Peristiwa ini dilihat pula sebagai saat lahirnya sebuah bangsa baru bernama Papua Barat. Tentu saja pandangan demikian itu ada benarnya, karena kalau saja Belanda dan bangsa barat tidak menghianati apa yang mereka wartakan, Bangsa Papua semestinya merupakan negara pertama yang merdeka dari berbagai colonial eropa yang menguasai bangsa bangsa di wilayah Melanesia, Polinesia dan Micronesia.

Sayang, sejarah berputar kearah yang berbeda. Negara Kolonial Belanda keluar denga watak aslinya sebagai bangsa pedagang, mereka sama sekali tidak perdulikan dengan nasib dan masa depan bangsa Papua. Mereka sama sekali tidak melibatkan pemimpin resmi bangsa Papua yang sudah mereka siapkan selama kurang lebih 10 tahun sebelumnya. Belanda dan Amerika sama sekongkol untuk jual bangsa Papua kepada colonial baru bernama Indonesia melalui perjanyian New York yang di tanda tangani di markas besar PBB di kota New York pada tanggal 15 Agustus 1962. Perjanjian ini merupakan lebih dari sebuah transaksi perbudakkan.  Karena yang di jual adalah bukan saja kebebasan dari 1025 orang yang di ditodong dengan moncong senjata melainkan yang mereka perdagangkan adalah nasib dan masa depan sebuah bangsa: bangsa Papua. Sebagai imbalannya, Belanda menikmati keuntugan ekonomi dari berbagai perdagangan hingga hari ini dan Indonesia membayar Amerika dengan menyerahkan gunung emas Nemangkawi dari tanah papua yang di tambang oleh perusahaan raksasa Freeport MacMoRan.

Saudara saudari rakyat bangsa Papua yang saya hormati. Setiap kali kita memandang bintang kejora dalam apapun bentuknya senentiasa memperkuat sentiment kebangsaan kita. Setiap kali kita menyanyikan lagu Hai Tanahku Papua, membakar rasa cinta akan tanah air kita, Tanah Papua. Semua itu merupakan darah yang mengalir dalam diri setiap anak negeri yang terus bahu membahahu berupaya mewujudkan negara Papua Barat. Kemerdekaan itu diperjuangkan silih berganti oleh berbagai kepemimpinan nasional melalui aneka wadah nasional yang diawali oleh Komite Nasional Papua Barat (1961), Kongres Rakyat Papua II (2000)  hingga United Liberation Movement for West Papua (2014).

Sekali lagi kalau dalam Kongres Papua I menghasilkan symbol-simbol nasional maka dalam kongres Papua kedua, rakyat papua melalui resolusinya memutuskan bahwa sejarah integrasi Papua ke dalam wilayah Republik Indonesia di luruskan. Yakni bahwa (aa) rakyat Papua Barat adalah berdaulat sebagai sebuah bangsa sejak 1 Desember 1961, bahwa (bb) rakyat bangsa Papua menolak perjanjian new york baik dari sisi moral maupun hukum karena di susun tanpa melibatkan perwakilan bangsa papua dan bahwa (cc) rakyat bangsa Papua melalui Kongres II menolak hasil pepera (hak penentuan nasib sendiri) karena di laksanakan secara paksa, penuh intimidasi dan pembunuhan secara sadis, disertai aneka kejahatan militer dan berbagai macam perilaku tidak tidak bermoral yang bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. Dan karena itu melalui Kongres II ini rakyat bangsa Papua menuntut PBB untuk membatalkan resolusi  2504, 19 November 1969.

Dalam perjalanan sejarah bangsa Papua yang demikian ini, ULMWP sadar akan tugasnya dalam mewujudkan kedaulatan bangsa. Tantangannya adalah bagaimana bisa memastikan dukungan dari (paling tidak) 1 per tiga jumlah anggota Negara Anggota PBB. Untuk itu, ULMWP merobah pola diplomasi, tidak seperti di tahun 60an dan sesudahnya yakni lobbynya tidak lagi bertolak dari Papua ke dunia barat dan Africa. ULMWP focuskan dukungan dari negara negara di kawasan Pasifik. Dalam dua tahun pertama, ULMWP memperkuat basis dukungan di seluruh kawasan ini melalui jaringan adat, NGO, Gereja adan kalangan terdidik serta politisi. Secara kelembagaan, ULMWP menjadi anggota oberserver dan kini dalam proses menjadi anggota penuh MSG. Dalam tahun kedua dukungan itu meningkat dari wilayah Melanesia kepada polinesia dan Micronesia melalui wadah baru bernama Pasifik Island Coalition on West Papua atau PICWP yang dibentuk atas inisiative dari Perdana Menteri Solomon Island, Manase Sogovare yang juga adalah Ketua MSG.

Darisi sisi dukungan politik, Lobby ULMWP berhasil memasukan masalah Papua menjadi salah satu masalah utama di kawasan pasifik. Dalam sidang tahunan (2015) Negara Negara Anggota Forum Pasifik|PIF memutuskan untuk mengirim tim pencari fakta ke papua. Indonesia menolak dan keputusan ini tidak bisa di wujudkan tetapi secara politik kita menang. Dalam sidang tahun ini (2016) pimpinan Negara anggota PIF dalam Komunike kembali memutuskan bahwa masalah papua akan selalu menjadi agenda pimpina dalam setiap pertemuan tahunan. Selain itu, tidak kurang dari 7 Negara bersama sama mengangkat masalah Papua. Isinya bukan saja mempersoalkan aneka masalah pelanggaran hak asasi Manusia. Lebih daripada itu mereka minta tanggungjawab PBB untuk intervensi termasuk menggugat tanggungjawab dalam membuka kembali menguji keabsahaan daripada perjanjian new York and pelaksanaannya.

Saudara-saudari rakyat bangsa Papua. Kerja keras anggota ULMWP pun tidak hanya terbatas di kawasan pasifik tetapi juga terjadi di Indonesia. Rakyat Indonesi terutama di  kalangan terdidik sudah mulai akui aneka kejahatan yang dilakukan pemerintah dan militer Indonesia terhadap rakyat papua barat. Lebih daripada itu dalam minggu ini kita baru menyaksikan dideklarasikannya Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-West Papua). Gerakan rakyat Indonesia inipun kini meningkat kepada dukungan terhadap hak bangsa Papua Barat untuk merdeka sebaga bangsa berdaulat. Sementara itu, rakyat berbagai kelompok orang Papua di Belanda pun bangkit untuk menuntut dalam sebuah gugatan hukum tanggungjawab Belanda yang lalai dalam melindungi kepentingan rakyat Papua. Dalam proses gugatan secara hukum tersebut, sejawak awal mereka melakukan konsultasi dengan United Liberation Movement for West Papua. Dan akhirnya perlu dipahami bahwa kebangkitan negara negara di pasifik ini membuat tidak sedikit negara anggota PBB dari berbagai belahan bumi lainnya yang terpukau dan mengikuti secara serius setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia dan Papua.

Kita patut bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan atas semua kemajuan diatas. Karena semua terjadi sebagai buah dari kasih karuniaNya. Selain itu, dibalik kemajuan di atas kini kita dihadapkan pada tantangan yang semakin hari semakin berat. Karena itu ULMWP memerlukan dukungan doa dan dana dalam menunjang aneka lobby politik di berbagai belahan bumi. Karena sejak bulan September 2016 focus lobby sudah bergeser dari Pasifik kepada dunia. Focus utama ULMWP bukan lagi semata mata memastikan keanggotaanya di MSG melainkan bagaimana membentuk Kualisi Pendukung Papua Barat di berbagai belahan bumi lainnya. Dukungan ini bukan sekedar dalam bentuk sekali dua kali pernyataan politik tetapi dukungan yang konsisten termasuk ikut mencari dukungan anggota PBB lainnya. Semua orang Papua perlu bangkit untuk lobby dengan caranya sendiri berbagai maam negara di dunia darimana pun kita berada. Kasih tahu kepada mereka bahwa kami mohon suara dukungan mereka dalam ketika anggota PBB bersama sama membatalkan resolusi 2504 tahun 1969 dan membiarkan bangsa papua hidup berdaulat secara damai.

Allah Bangsa Papua dan leluhur moyang kita, seluruh darah dari pejuang terdahulu kita memberkati kita sekalian.

Papua…..Merdeka, Merdeka,Merdeka (*)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny