Parlemen Seluruh Dunia Kumpul di Inggris Bahas Papua

Jayapura, MAJALAH SELANGKAH – Anggota-anggota parlemen dari seluruh dunia dan masyarakat sipil setempat yang tergabung dalam Internasional Parlemen West Papua (IPWP) berkumpul di Westminister Abbey, Inggris untuk membahas status Papua Barat dalam Indonesia, Selasa, (23/10).

Dikabarkan, mereka berbicara soal “Act of Free Choice” tahun 1969, Perjanjian New York tahun 1962, dan hak penentukan nasip sendiri bagi Papua Barat.

Selengkapnya di :http://majalahselangkah.com/

Kampanye Papua Merdeka, IPWP dan ILWP

Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua Merdeka menghendaki “Tanah Papua menjadi Zona Damai” dengan berbagai embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.

Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.

Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan perjuangan bangsa Papua ialah “KEBENARAN YANG DIPALSUKAN”, dimanipulasi dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan “The Bunker’s Plan”. Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib manusia.

Mereka tahu bahwa ada yang “salah”, “mengapa ada kesalahan”, “bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir”, dan “siapa yang bersalah”. Mereka paham benar ada “penipuan”, “manipulasi”, dan “rekayasa” dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum. Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.

Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969, biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia, di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa. Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab, berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.

ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.

Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung Papua Merdeka.

Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah “gentlemen” tampil dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan nasionalis membabi-buta.

IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka, tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang memanipulasi sejarah.

Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan demokrasi. Sama halnya dengan itu, para anggota Parlemen yang telah mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik, nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan bagaimanapun juga.

IPWP Khawatir Buchtar CS Alami Penyiksaan di Tahanan

TabloidJubi, Created on 18 July 2012 Written by Musa Abubar Category: Nasional

Logo Iinternational Lawyers for West Papua
Logo Iinternational Lawyers for West Papua
Jayapura, (18/7)—Anggota International Parliamentarians for West Papua (IPWP) yang terdiri dari anggota Parlemen beberapa negara seperti Inggris, Selandia Baru, Vanuatu, Skotlandia dan Australia mengirimkan surat keprihatinan mereka atas meningkatnya kekerasan di Papua Barat, khususnya di Wamena dan Jayapura.

“Kami sangat sedih atas pembunuhan Mako Tabuni dan kami mengucapkan belasungkawa tulus kami untuk keluarga dan teman. Kami mengajak Anda untuk melakukan investigasi menyeluruh dalam kematian Mako Tabuni.” tulis anggota ILWP tersebut dalam suratnya via email kepada tabloidjubi.com, Rabu pagi (18/7). Surat tersebut ditujukan kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, Menteri Hukum dan HAM, Andi Matalatta, Mr. Hendarman Supandji, serta Kapolri.

Dalam surat tersebut, anggota IPWP ini juga menyampaikan keprihatinan mereka atas penangkapan Buchtar Tabuni dan rekan-rekannya, Jufri Wandikbo dan Assa Alua dan pemenjaraan Filep Karma yang dijatuhi hukuman 15 tahun penjara karena mengibarkan Bendera Bintang Kejora bendera di sebuah aksi demo damai. Mereka meminta Pemerintah Indonesia agar melihat kembali tuduhan terhadap aktivis atau demonstran yang melakukan aksi demo damai. Selain itu, mereka juga khawatir jika Buchtar Tabuni dan rekan-rekannya mengalami penyiksaan dalam tahanan.

Tak lupa, anggota ILWP ini mengharapkan Indonesia membuka akses pada wartawan asing dan organisasi kemanusiaan untuk masuk ke Papua Barat guna memberikan laporan menyeluruh tentang situasi HAM di sana.

“Sebagai anggota Parlemen Internasional untuk Papua Barat, kami mendukung masyarakat asli Papua Barat untuk tindakan sejati menentukan nasib sendiri. Oleh karena itu kami merasa tidak seharusnya ada penindasan terhadap aktivitas politik di Papua Barat. Kami mendorong Anda (Indonesia) dan pemerintahan Anda (Indonesia) untuk mengakhiri kekerasan di Papua Barat.” tulis anggota IPPW dalam suratnya tersebut.

Anggota IPWP yang menandatangani surat tersebut antara lain : Andrew Smith (Inggris) , Caroline Lucas (Inggris), Lord Richard Harries (Inggris), Dr. Russel Norman (New Zealand), Jamie Hepburn (Skotlandia), Catherine Delahunty (New Zealand), Bill Kidd (Skotlandia), Hon. Ralph Regenvanu (Vanuatu), Cllr Alex Sobe (Inggris), Eugenie Sage (New Zealand) dan Cate Faehrmann (Australia). (Jubi/Musa Abubar)

Demo Mendukung ILWP Terhenti di Depan MRP

Massa KNPB yang sesuai rencana sebelumnya akan mengglar demo di kantor DPRP dan kantor Gubernur, terpaksa hanya terhenti berdemo di Jalan Raya Abepura, tepatnya di depan Kantor MRP Kotaraja. Mereka takut melanjutkan perjalanan karena takut kemalaman.
Massa KNPB yang sesuai rencana sebelumnya akan mengglar demo di kantor DPRP dan kantor Gubernur, terpaksa hanya terhenti berdemo di Jalan Raya Abepura, tepatnya di depan Kantor MRP Kotaraja. Mereka takut melanjutkan perjalanan karena takut kemalaman.
JAYAPURA – Demo yang digelar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) untuk mendukung pelaksanaan pertemuan International Lawyer for West Papua (ILWP) bersama sejumlah hakim, di London, Inggris, terpaksa, tidak dapat melanjutkan perjalanannya yang semua direncanakan ke DPRP dan Kantor Gubernur Papua. Pasalnya, massa yang berjalan kaki dari Expo, Waena, setelah berkumpul sesaat di Lingkaran Abepura, langsung melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke Kota Jayapura. Setelah sampai di depan MRP, massa yang dikoordinir oleh Victor Kogoya berhenti. Karena sudah sore dan tidak mungkin bisa sampai di Kota Jayapura, massa terhenti di Pertigaan jalan jeruk Nipis Kotaraja. Jalan Raya Abepura-pun dipakainya sebagai arena aksi demo hingga selesai sekitar pukul 16.00 WIT, yang ditutup dengan doa bersama. Massa pun dapat pulang dengan tertib. Sehingga Jalan Raya Abepura yang sejak perjalanan massa kearah Kotaraja mengalami kemacetan dan dialihkan ke Jalan Baru Pasar Youtefa bagi kendaraan yang hendak ke arah Entrop, berangsur normal sebelum malam tiba.

Ketua Umum KNPB, Buchtar Tabuni saat ditemui sebelum pulang mengatakan, keterlambatan diterimanya Surat Tanda Terima (STTP) pemberitahuan aksi demo dari kepolisian, yang menyebabkan demonya tidak dapat melanjutkan perjalanan untuk ke Kantor Gubernur Papua.

“Tadi STTP baru kami terima sekitar jam 10, sehingga sampai di sini sudah pukul tiga (15.00 WIT). Kalau dengan jalan kaki tidak mungkin bisa sampai di Kota Jayapura,” ungkapnya kepada Bintang Papua.

Meski tidak dapat melaksanakan aksi demo damai sesuai rencana, menurutnya tidak mengurangi tujuan dari aksi yang digelarnya. Yakni semata untuk memberikan dukungan pertemuan ILWP di London yang diberitakan akan dilaksanakan hari ini (Rabu012/10).

Jalannya demo sendiri, dari pantauan Bintang Papua di lapangan tampak berlangsung tertib dan lancar. Hanya lalu lintas yang terganggu dengan harus dialihkan ke jalur lain. Sehingga kemacetanpun tak terhindarkan di sejumlah ruas jalan alternatif, seperti Jalan Baru Pasar lama, Jalan raya Sentani, dan sejumlah ruas jalan lain di Abepura.

Demikian juga para pengusaha, banyak yang memilih menutup usahanya di saat massa melewati depan tempat usahanya. Namun hal itu tidak berlangsung lama.

Dalam releasenya yang diterima Bintang Papua dari Mako Tabuni di sela-sela aksi demo, KNPB juga menyatakan dukungannya terhadap Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki Moon saat berada di Selandia baru yang menyatakan bahwa masalah Papua akan dibicarakan dalam Komisi Dekolonisasi Majelis Umum PBB.

“Mendukung dan mendesak Dewan Komite Dekolonisasi Majelis Umum PBB untuk segera realisasikan persoalan Bangsa Papua Barat sesuai pernyataan Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon dalam Konferensi Persnya di Aucland, Selandia Baru,” ungkapnya.

Teriakan Papua merdeka dan tuntutan referendum pun mewarnai perjalanan massa dari sekitar Expo, waena hingga di pelaksanaan orasi-orasi di Jalan Raya Abepura, Depan MRP.

Sementara itu terkait batalnya massa pendemo ke DPRP dan kantor Gubernur mengakibatkan puluhan massa yang datang dari arah APO terpaksa menumpang kembali sejumlah kendaraan menuju Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP) untuk bergabung dengan massa lainnya.

Pantauan Bintang Papua di Taman Imbi, Jayapura sejak pukul 10.00 WIT sejumlah aparat keamanan dari Polresta Jayapura, Polda Papua serta Brimob tengah berjaga jaga. Bahkan beberapa tank Barakuda yang dipersenjatai bersiaga di sekitar Taman Imbi.

Keberangkatan massa pengunjukrasa dari Taman Imbi menuju Kantor MRP mendapat pengawalan dari aparat keamanan. (aj/mdc/don/l03)

Aksi dukungan kepada Konferensi ILWP di Biak

Biaknews 11 Oktober 2011, Berikut ini tanggapan Ketua KNPB Biak ( Kostan Karma) tentang Rencana Kongres III

Membentuk suatu wadah yang demokrasisasi dan representative merupakan hal yang wajar dan sangat mendesak dalam perjuangan Papua Barat. Namun hal yang perlu dicermati bersama-sama adalah bagaimana dan model apa yang harus dipakai untuk membentuk Wadah Nasional Papua Barat tersebut. Wacana pembentukannya bagaimana ? Sudah berpuluh-puluh tahun kita berjuang namun munculnya banyak politisi perjuangan Papua Barat yang mementingkan kepentingan kelompoknya dan tidak berjiwa negarawan, akhirnya sering kali kita gagal dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan bangsa West Papua.

Membentuk suatu wadah yang demokrasisasi dan representatif. Prioritasnya mengarah kepada pemilihan berjejang dengan hak pilih yang baik. Hal ini penting guna bagaimana rakyat mendorong figur-figur perwakilan mereka.

Wadah politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjujung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab. Untuk itu Wadah politik bangsa West Papua perlu ditata sesuai dengan tuntutan dan dinamika perkembangan.

Kehadiran KNPB sebagai media perjuangan rakyat, gerakannya membuat banyak kalangan yang selama ini tertidur terkejut dari tidurnya dan tergesa-gesa lari dengan kecepatan tinggi. Konsep dan Model sudah dilahirkan oleh KNPB, dimana langkah awalnya harus membentuk wadah politik yang representatif di tingkat daerah yang telah kami mulai dari Byak dengan berhasil membentuk Parlement Rakyat Daerah Byak. Dengan harapan model wadah yang terbentuk di Byak itu dapat terbentuk di daerah-daerah lain di wilayah West Papua, setelah wadah representatif politik daerah –daerah itu terbentuk, maka langkah selanjutnya adalah Kongres Pembentukan Parlement Nasional Rakyat West Papua sebagai Wadah politik representatif nasional West Papua. Proses menuju Wadah Nasional memerlukan waktu dan tahapan-tahapan, tidak bisa satu miggu kita sulap terbentuk suatu Wadah politik Nasional. Untuk itu Rakyat harus mempunyai kesadaran sendiri untuk membangun suatu rumah, membangun suatu rumah perlunya suatu perencanaan yang baik. Ibaratnya Kongres III nanti itu memaksa rakyat untuk menaikan atap rumah, dimana tidak ada fandasi, dan tidak ada kerangka rumah.

Wakil- wakil rakyat yang duduk di Parlement Rakyat Daerah Byak itu adalah orang West Papua yang berasal dari sub-sub daerah yang ada di Byak yang ditunjuk langsung dari masyarakat dari sub-sub daerah tersebut. Kami mengeluarkan undangan kepada masyarakat di sub-sub daerah tersebut berkumpul untuk memilih perwakilan mereka. Sehingga sub-sub daerah tersebutlah yang membentuk kelompok yang berperan seperti Fraksi. Fraksi-fraksi tersebut harus mempunyai tanggung jawab pada sub-sub daerah mereka yang kami sebut sebagai DAPIL ( daerah pemilihan). Parlement Rakyat Daerah Byak itu bukan parlemennya suku Byak tetapi Parlementnya Rakyat West Papua di daerah Byak. Jadi didalam parlement ini ada orang Byak, Wamena, Jayapura, Serui dan lain-lain.

Arah perpolitikan dan demokrasi masyarakat West Papua di daerah Byak sudah tercemin dalam Parlement Rakyat Daerah Byak, selanjutnya Parlement Rakyat Daerah membentuk Parlement Nasional West Papua dan memilih perwakilan mereka di Parlement Nasional.

Rencana Kongres III itu terkesan ada kepentingan Indonesia, jika kita lihat pada pandagan luar negeri Indonesia tentang Papua baru-baru ini adalah menyatakan rakyat Papua membutuhkan otonomi dan Pemerintah akan memperbaiki otonomi tersebut. Sehingga kami melihat Kongres itu mengamankan kebijakan international Indonesia.

Kalau Kongres itu jalan maka, apa yang akan PDP laporkan selama 10 tahun kerjanya. Buku Pelurusan sejarah yang ditulis oleh Sejarahwan Belanda itu tidak bisa diklaim sepihak oleh PDP, karena niat Belanda itu sudah nampak pada tanggal 19 Desember 1999, dimana Parlemen Belanda mengajukan suatu mosi kepada pemerintah untuk melihat kembali masalah Papua. Hal inipun tidak terlepas dari berbagai kegiatan Papua Merdeka dari 1 Juli 1998 sampai 1 Desember 1999.
Kalau Kongres itu adalah kongres masyarakat Adat Papua silahkan karena meman kondisi struktur adat Papua belum diembangkan secara baik oleh lembaga-lembaga adat suku-suku di Papua dan itu sangat penting untuk di tata dan dikembangkan.

Masyarakat West Papua di Daerah Byak mendukung Peluncuran Event ILWP UK ( London)

Biaknews 10 Oktober 2011, International Lawyers for West Papua ( ILWP) melakukan acara peluncuran ILWP untuk UK yang akan dilaksanakan pada tanggal 12 Oktober 2011 di London. Sejumlah Pengacara-pengacara international di UK ( London) akan tergabung dalam ILWP tersebut.

Guna mendukung acara ILWP tersebut maka, KNPB sebagai media nasional perjuangan rakyat West Papua dan sebagai penanggung jawab nasional West Papua melakukan melakukan aksi dukungan terhadap peluncuran ILWP tersebut.

Maka, pada hari ini tanggal 10 Oktober 2011, KNPB wilayah Biak sebagai media rakyat di daerah Byak melakukan aksi dukungan peluncuran ILWP untuk UK yang ditempat di halaman Pendopo Adat Sorido KBS dari pukul 10.00- 16.00 waktu Papua.

Aksi dukungan tersebut dilakukan dalam bentuk aksi panggung politik bagi masyarakat. Masyarakat sili berganti melakukan orasi politik tentang kasus West Papua yang menurut mereka harus diselesaikan melalui mekanisme hukum international, karena Kasus West Papua adalah kasus hukum international yang telah lama terlupakan.

Ketua KNPB Biak ( ketua KNPB Biak) akhirnya membacakan dukungan politik atas nama masyarakat West Papua di Daerah Byak guna mendukung acara peluncuran ILWP tersebut. Ada 4 point pernyataan yang dibacakan oleh KNPB Biak, dan Supiori yaitu :
1. Mendukung penuh 64 Pengacara-Pengacara dan para Hakim yang tergabung dalam International Lawyers for West Papua (ILWP) yang akan melakukan pertemuan dan konsolidasi meyeluruh guna membahas beberapa agenda penting terkait dengan pengujian terhadap materi gugatan di International Court of Justice ( ICJ)/ Mahkamah Internasional, pada hari Rabu, 12 Oktober 2011 yang bertempat di Kerajaan Inggris (UK).

2. Mendukung dan mendesak Dewan Komite Dekolonisasi Majelis Umum PBB untuk segera realisasikan persoalan bangsa Papua Barat sesuai pernyataan Sekjen Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) Ban Ki-moon dalam konferensi persnya di Auckland-Selandia Baru.

3. Mendesak pemerintahan SBY-Boediono melalui apparatus negeranya di Papua Barat untuk menghentikan segala bentuk kejahatan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat dan segera menarik seluruh pasukan militer baik organic maupun non-organik dari seluruh wilayah Papua Barat.

4. Segera laksanakan Referendum di Papua Barat sebagai solusi penyelesain masalah rakyat Papua Barat secara menyeluruh adil dan demokratis.

Pernyataan dukungan tersebut turut di tanda tangani oleh Ketua Parlement Rakyat Daerah Byak Mr. Harry Ronsumbre, Komando Militer West Papua Markas Perwomi ( Wakil Panglima Letjen Mikha Awom).

ILWP Gelar Pertemuan, KNPB Demo Lagi

JAYAPURA – Nampaknya setiap momen yang diselenggaran International Lawyers for West Papua (ILWP) mendapat sambutan hangat dari kelompok yang menamakan diri Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Bahkan pertemuan yang rencana dilaksanakan Rabu (12/10) di Inggris, oleh KNPB dengan dikoordinir Ketua KNPB Konsulat Indonesia, Victor Kogoya kembali melakukan aksi dukungan dengan berencana menggelar aksi demo damai.

Demo damai tersebut, sebagaimana dikatakanannya saat menggelar jumpa pers di Prima Garden, Kamis (16/10), akan dilaksanakan dengan tempat tujuan Kantor Gubernur Papua, di Dok II, Jayapura. “Kami pilih tempat itu bukan kami mau membawa aspirasi atau minta dukungan kepada Pemerintah Provinsi Papua maupun kepada DPRP, juga tidak kepada MRP,” jelasnya dalam jumpa pers yang dihadiri dua pucuk pimpinan KNPB, Buchtar Tabuni dan Mako Tabuni tersebut.

Ditegaskan, aksi demo nanti adalah aksi nasional untuk mendukung pertemuan ILWP yang akan membahas proses dan pengujian terhadap penguatan materi gugatan secara kongkrit dan objektif sebagai bahan persiapan gugatan International Court of Justice ( ICJ)/ Mahkamah Internasional yang berkedudukan di Den Haag, Belanda.

“Selain itu guna menindaklanjuti pernyataan Sekjen Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) Ban Ki-moon setelah menghadiri Pacific Island Forum atau forum Negara-Negara Pasifik di Auckland-Selandia Baru, yang dalam konferensi perssnya, Ban Ki-moon menegasakan bahwa masalah Papua Barat tersebut akan dibicarakan dalam komite dekolonisasi Majelis Umum PBB,” ungkapnya.

Dalam kesempaatn tersebut juga dikatakan bahwa pihaknya mendesak Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono untuk menghentikan segala bentuk kejahatan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua Barat dalam bentuk apapun.

“Dan segera menarik seluruh pasukan militer baik organik maupun non-organik dari seluruh wilayah Papua Barat. Karena penyelesaian masalah Papua tidak bisa diselesaikan dengan cara-cara militer,” desaknya.(aj/don/l03)

Kabar Dari Kampung…Kutipan Sekapur Sirih dari Ikrar Nusa Bhakti untuk Papua…

REP | 20 September 2011 | 14:48

Setiap roda belakang pesawat Garuda Indonesia menyentuh landasan di Bandara Mokmer (Frans Kaisiepo), Biak, air mata haru pasti menetes dari pelupuk mata penulis.

Sebaliknya, setiap pesawat lepas landas dari Mokmer ke arah barat, saya teringat masa sebelum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Irian Barat 1969, yakni ketika satu pesawat bersama rombongan tokoh masyarakat Irian Barat berangkat ke Jakarta dengan Hercules AURI. Saat itu tampak jelas betapa rasa bahagia mereka begitu terpancar. Mata mereka berbinar-binar, tepuk tangan pun bergemuruh di dalam pesawat.

Biak adalah saksi bisu segala peristiwa sejak jadi pangkalan udara utama yang digunakan Jenderal Douglas MacArthur untuk melakukan ”lompatan katak” mematahkan kekuatan Jepang di Asia Pasifik pada Perang Dunia II. Di daerah Kloefkamp, Mokmer, sampai ke Bosnik masih tersisa gua-gua Jepang serta bangkai tank-tank amfibi tentara AS dan Jepang.

Di Biak pula, tepatnya di Ritge II, saya lihat dari pintu belakang rumah ke markas Raiders TNI AD betapa asyik Pangdam XVII/Cenderawasih saat itu, Sarwo Edhie Wibowo, minum kopi di petang hari bersama Lodewijk Mandatjan. Mantan tokoh Organisasi Papua Merdeka dari suku Arfak ini baru tiba dari Manokwari, dijemput ”dua anak angkatnya”, anggota Pasukan Gerak Tjepat (PGT, kini Paskhas) TNI AU dan anggota Komando Pasukan Sandi Yudha (kini Kopassus) TNI AD.

Biak memang tempat yang amat kontras. Biak adalah pintu gerbang udara dan laut ke pulau besar (daratan Papua). Di Biak pula tumbuh gerakan mesianisme yang melahirkan gagasan Papua Merdeka. Tokoh-tokoh OPM 1960-an sampai 1980-an tak sedikit dari Biak, seperti Permenas Awom dan Seth Rumkorem. Rumkorem adalah proklamator Papua Merdeka pada 1 Juli 1971 di Markas Victoria, daerah Waris sekarang. Kata ”irian” yang berasal dari ”iryan” (sinar mentari yang menghalau kabut) dan kata ”papoea” (orang hitam berambut keriting) orang Biak pula yang memopulerkan. Bahkan, bendera Bintang Kejora adalah gabungan mesianisme Biak dipadu bendera Amerika Serikat. Lambang negara Papua yang diperkenalkan pada 1 Desember 1961, Burung Mambruk, juga pengaruh dari Biak.

Saat di SD Negeri 1 Biak antara 1965- 1969, saya mengenal lagu untuk menyambut kedatangan Soeharto ke Biak menjelang Pepera. Di antara bait lagu dalam bahasa Biak itu berbunyi: ”Aryo bapaye Suharto ye… mau be mau be mau rau be mau rau merah putih… kukonbe naiko mambe ka naik” (Presiden kami bapak Soeharto, bendera kami merah putih, akan kami naikkan sampai akhir masa).

Empat peristiwa sejarah

Sesuai Persetujuan New York 15 Agustus 1962, pada 1 Oktober 1962 Irian Barat diserahkan oleh Belanda kepada pemerintahan sementara PBB (UNTEA). UNTEA lalu menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia pada 1 Mei 1963 dan Indonesia wajib melakukan penentuan pendapat rakyat (act of free choice).

Sesuai The Rome Agreement antara RI dan Belanda di Roma menjelang Pepera, kedua negara sepakat Pepera dilakukan dengan sistem perwakilan oleh 1.026 tokoh Papua, bukan one man one vote. Belanda juga menggunakan sistem perwakilan di luar perkotaan saat membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan New Guinea), April 1961.

Ada empat peristiwa sejarah yang hingga kini masih dipersoalkan orang Papua. Pertama, sistem perwakilan dalam proses Pepera Juli-Agustus 1969 dianggap tidak lazim digunakan oleh PBB dalam proses dekolonisasi. Kedua, butir pertama Trikora yang dicetuskan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada 19 Desember 1961 yang berbunyi ”Gagalkan negara boneka Papua bentukan Belanda Kolonial” seakan mengakui manifesto politik 19 anggota Dewan New Guinea di Hollandia (Jayapura sekarang) pada 1 Desember 1961 adalah proklamasi kemerdekaan Papua.

Ketiga, proses indonesianisasi birokrasi pemerintahan di Papua akhir 1960-an, yang menggeser birokrat rendahan orang Papua, sungguh menyesakkan hati. Keempat, tindakan brutal aparat keamanan terhadap rakyat Papua 1963, 1969, 1971, 1984-1985, 2000-2001, bahkan hingga kini telah meninggalkan trauma mendalam di hati sanubari saudara-saudara Papua kita.

Meski kini jabatan-jabatan di puncak pemerintahan daerah seperti gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan wali kota/wakil wali kota di tangan orang Papua, persoalan di atas tetap saja muncul. Otonomi khusus (otsus) yang diterapkan sejak diberlakukannya UU Nomor 21 Tahun 2001 mengenai Otonomi Khusus Papua tak juga mengurangi kemiskinan di tanah Papua.

Saat saya mengunjungi Papua, 2-7 Juli 2011, tampak jelas adanya kemajuan semu di tanah Papua. Jalan di wilayah perbatasan dengan Papua Niugini seperti di Koya, Arso, Wor-Kwana, Waris, dan Senggi tampak begitu mulus. Namun, bagaimana dengan peremajaan pohon-pohon kelapa sawit yang sudah berumur lebih dari 30 tahun itu? Di Wamena juga tampak pembangunan pusat-pusat pertokoan yang megah untuk ukuran Papua. Jayapura juga ada dua hotel internasional baru, Hotel Aston dan Swiss-Belhotel. Namun, siapa pemilik ruko dan hotel-hotel itu? Tidakkah rakyat Papua masih menjadi penonton dari pembangunan?

Temukan jalan damai

Uang yang digelontorkan ke rakyat secara tunai melalui program otsus, PNPM Mandiri atau program Respek, benar-benar salah arah. Uang bukan untuk membangun sarana dan prasarana kampung, melainkan dibagi-bagi secara tunai. Hati terasa teriris sembilu saat menyaksikan masih banyak orang menggunakan koteka di Wamena, seakan kemajuan tak menyentuh mereka. Sadarkah kita bahwa migrasi dengan ”Kapal Putih” (Pelni) telah menyebabkan orang Papua kini jadi minoritas di Jayapura, Kabupaten Merauke, Kabupaten Mimika, Kabupaten Keerom, dan Kota Sorong? Sadarkah kita bahwa orang Marin di Merauke kini tak lagi memiliki tanah? Tak heran jika mereka menolak program Merauke Integrated Food and Energy Estate.

Sadarkah kita bahwa ada dua gerak yang berbeda di Papua saat ini, yakni antara mereka yang berupaya menyatupadukan rakyat Papua—karena itu menolak pemekaran provinsi (Papua dan Papua Barat)—dan Majelis Rakyat Papua menjadi dua atau lebih berseberangan dengan yang menginginkan agar provinsi Papua Barat Daya segera dibentuk. Selain itu, pertarungan antarklan untuk meraih jabatan politik semakin marak, seperti terjadi di Ilaga, Kabupaten Puncak Jaya, dan mulai menyeruak pula di Papua dan Papua Barat menjelang pemilihan gubernur di dua wilayah itu.

Sadarkah kita tiga institusi bersenjata, OPM, TNI dan polisi (khususnya Densus 88), dapat jadi agen yang membakar tanah Papua? Dapatkah dua nasionalisme yang berseberangan, Papua yang ngotot ”kemerdekaan adalah harga mati”, dan Indonesia yang kukuh ”NKRI harga mati” menemukan kata sepakat untuk meningkatkan kualitas otonomi khusus dalam bingkai keindonesiaan dibalut kepapuaan? Pada 1980-an, segala perkembangan di Papua dapat kita baca di Kabar dari Kampung, buletin yang diterbitkan Yayasan Pembangunan Masyarakat Desa Irian Jaya. Hal-hal yang memilukan bisa juga kita baca di Memoria Passionis terbitan Keuskupan Jayapura.

Kini segala berita buruk soal Papua disiarkan oleh Sekber Sentral Informasi Mahasiswa Papua di Yogyakarta, West Papua Media Alerts dan West Papua TV di London, East Timor and Indonesia Action Network di AS, dan Australia West Papua Association di Adelaide, Australia.

Papua tidaklah semembara yang diberitakan Kompas (8 Agustus 2011). Namun, kita jangan meremehkan aktivitas prokemerdekaan Papua di luar negeri, seperti konferensi yang disponsori The Free Papua Campaign and The International Lawyers for West Papua bertajuk ”The Road to Freedom”, 2 Agustus 2011 di Oxford, Inggris. Kita harus tetap mendukung upaya menemukan jalan damai di tanah Papua demi kesatuan nasional kita.

Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset LIPI

Sumber: Kompas.com

Terima Kasih buat Tulisan dari Bapak…Suatu analisa dan pemikiran yang Obyektif untuk Tanah Papua
TUHAN memberkati…

“Jangan Spekulasi Hasil KT T ILWP”

JAYAPURA—Anggota Komisi A DPRP yang antara lain membidangi masalah politik dan HAM Ny. Yani menegaskan, semua pihak jangan berspekulasi dengan tuntunan sejumlah pihak yang menginginkan pemerintah Indonesia mengakui kedaulatan rakyat Papua. Pasalnya, pelbagai macam rasa ketidakpuasan terhadap pelaksanaan pemerintahan yang berdampak kepada kesejahteraan adalah suatu tantangan bagi pemerintah Indonesia. “Yang paling mendasar adalah rakyat harus terpenuhi sandang dan pangan,” demikian disampaikan Ny. Yani ketika dihubungi Bintang Papua diruang kerjanya, Senin (22/8) terkait hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I International Lawyers for West Papua (ILWP) dari Oxford, Inggris, Sabtu (20/8) bahwa bangsa Indonesia segera mengakui kedaulatan bangsa Papua yang telah merdeka sejak 45 tahun yang lalu.

Menurut dia, bukan hanya di Papua saja di Provinsi lain manakala kesejahteraan yang paling mendasar dan hakiki itu tak terpenuhi, maka akan ada keinginan keinginan atau suatu impian bahwa kalau merdeka itu semuanya akan lebih baik padahal tak seperti itu.

Karena itu, lanjutnya, pihak menghimbau kepada pemerintah pusat membuat kebijakan untuk melindungi potensi- potensi alam agar tak dikuasai pihak asing.

“Saya katakan memang dalam hal hal tertentu kita belum merdeka seutuhnya kita punya ekonomi. Kita punya sumber potensi alam masih dikuasai negara asing. Ketika kita sudah terpenuhi kita tak lagi kelaparan tidak kedinginan maka keinginan untuk merdeka itu sudah terpenuhi,” tukasnya.

Dia mengatakan rakyat Papua tak pernah melihat serta tak dilibatkan rakyat Papua ketika berlangsung KTT I ILWP di Oxford, Inggris, Selasa (2/8) lalu.

Sebagaimana diwartakan koran ini, Pendiri International Parlement for West Papua (IPWP) Benny Wenda dalam Live Phone dari Oxford, Inggris yang diperdengarkan kepada massa pendukung kemerdekaan di Makam Theys di Sentani, Kabupaten Jayapura, Sabtu (20/8) menghimbau kapada bangsa Indonesia untuk segera mengakui kedaulatan Bangsa Papua yang sudah merdeka sejak 45 tahun yang lalu, karena sesuai dengan fakta yang ada PEPERA 1969 adalah cacat hukum.

Sementara hasil KTT ILWP dibacakan Sekjen Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Agus Trapen antara lain. Pertama, kami telah mendengar sekarang situasi yang paling buruk dan serius di papua Barat.

Kedua, akar masalah peristiwa ini terletak pada kegagalan Hak Penentuan Nasip Sendiri PEPERA atau Act of Free Choice pada tahun 1969. Ketiga, oleh karena itu kami kembali mendeklarasikan Pengacara Internasional Papua Barat, secara khusus bahwa orang Papua Barat memiliki hak mendasar untuk menentukan nasip sendiri dibawa hukum internasional bahwa hak itu masi belum dilakukan.

Keempat Kami menyerukan kepada semua negara untuk bertindak kepada ketingkatan yang lebih tinggi dan dengan darurat mendesak kepada PBB menuntut orang-orang Papua Barat agar diberikan kesempatan untuk menentukan nasib sendiri. (mdc/don/l03)

Senin, 22 Agustus 2011 17:28

Eskalasi Keamanan di Papua Meningkat

JAYAPURA—Pangdam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu mengakui, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) International Lawyers for West Papua (ILWP) di Oxford, Inggris, Selasa (2/8) yang hingga kini belum diketahui hasilnya, menjadi salah faktor yang mengusik situasi keamanan, khususnya di Papua.

Pasalnya, ada pihak yang menjanjikan hal- hal yang belum tentu benar atau isu- isu yang dikembangkan beberapa kelompok, sehingga bisa membingungkan masyarakat Papua. Demikian disampaikan Pangdam usai buka puasa bersama insan pers di Kediaman, Jumat (19/8) malam. Dikatakan, masalah keamanan di seluruh Papua akhir akhir ini eskalasinya agak meningkat. Hal ini bukan hanya masalah front bersenjata dari kelompok sipil bersenjata. Namun juga akumulasi permasalahan yang terjadi sebelumnya dan memuncak pada saat KTT I ILWP tersebut.

Pangdam mengutarakan, masalah lain yang membuat situasi keamaman di Papua terusik menjelang Pemilukada Gubernur Papua serta adanya dana Otsus yang selama ini diharapkan bisa dibagi secara merata kepada masyarakat, tapi masih ada beberapa dana yang belum bisa tersalurkan.

Karena itu, ungkapnya, pihaknya bersama Kapolda Papua Irjen Pol Drs BL Tobing telah membangun komitmen untuk mengupayakan agar suasana kembali kondusif. Pihaknya juga berupaya usai Idul Fitri ingin bersama Muspida Provinsi Papua mencari solusi terbaik guna mewujudkan Papua tanah damai.

Bahkan Bupati Puncak Jaya Lukas Enembe mengajak pihak- pihak yang berbeda pendapat untuk melaksanakan dialog untuk mendapatkan solusi perdamaian.

“Semua masalah bisa kita selesaikan asalkan kita bisa terbuka menyampaikan pendapat.

Ditanya apakah ada penambahan pasukan untuk mengamankan Hari Raya Idul Fitri, dia menandaskan, pihaknya tak melakukan penambahan pasukan.

Diungkapkannya, Apabila pasukan organik bergeser biasa terjadi misalnya di Batalyon 751 Sentani karena Korem tak mempunyai satuan dalam rangka pengamanan saya perbantukan 1 Satuan Setingkat Kompi (SSK).

Ditanya manuver kelompok bersenjata yang sudah berani melakukan aksi penembakan di wilayah perkotaan seperti peristiwa penembakan di Nafri apa langkah yang dilakukan TNI, lanjutnya, langkah TNI bersama Polda karena statusnya tertib sipil itu peran terdepan adalah kepolisian dan pemerintah daerah. Pasalnya, penanggung jawab keamanan di daerah adalah Gubernur, Bupati maupun Walikota.

“Saya membantunya apabila terjadi permintaan dari Kepolisian untuk penambahan personel membantu tugas Polri,” tandasnya.

Sementara itu sebagaimana diberitakan sebelumnya, hari ini jam 9.00 Wit bertempat di Lapangan Makam Theys Hiyo Eluay di Sentani, KNPB akan mengumumkan hasil KTT ILWP yang digelar di London 2 Agustus lalu. (mdc/don/l03)

Sabtu, 20 Agustus 2011 00:02
BintangPapua.com

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny