Tanggapi desakan PBB, Indonesia tuding Pelapor Khusus PBB lakukan serangan media

 Sikap PBB – Admin

2 Maret 2022

Kantor PBB di Jenewa, Swiss – IST

Jubi TV – Pemerintah Republik sangat menyesalkan siaran pers yang bias yang dikeluarkan oleh Pelapor Khusus PBB  yang berjudul “Indonesia: UN experts sound alarm on serious Papua abuses, call for urgent aid,”

Melalui siaran pers yang diterbitkan Rabu (2/3/3033), Kantor Misi Indonesia untuk PBB di Geneva, Swiss mengatakan rilis berita ini menandakan adanya pola serangan media yang tidak konstruktif dan tidak berdasar terhadap Indonesia oleh Pemegang Mandat Khusus tertentu, yang sekali lagi telah memilih untuk sepenuhnya mengabaikan data dan informasi yang dapat diverifikasi yang telah disampaikan oleh Pemerintah Indonesia sebagai tanggapan atas komunikasi bersama atas tuduhan yang sama, yang dikirim oleh pemegang mandat tersebut di atas. 

Misi Indonesia menambahkan keputusan pemegang mandat untuk menerbitkan siaran pers atas tuduhan yang telah ditangani oleh Pemerintah Indonesia -tanpa menyebutkan tanggapan pemerintah terhadap salah satu tuduhan, merupakan tampilan terang-terangan penolakan pemegang mandat pada dialog konstruktif.

“Apa yang telah diterbitkan oleh para pemegang mandat ini tidak lebih dari sebuah monolog, yang tampaknya dirancang semata-mata untuk tujuan kepentingan mereka sendiri,” kata Misi Indonesia.

Pemerintah Indonesia telah menjelaskan dalam banyak kesempatan bahwa penggunaan kekuatan yang berlebihan, pembunuhan di luar proses hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan tidak memiliki tempat di Indonesia. Untuk tujuan ini, pemerintah telah mengerahkan upaya yang luar biasa untuk menangani semua kasus yang terkait dengan kejahatan tersebut.

Lanjut Kantor Misi Indonesia, pada kasus-kasus pengungsi internal yang dibahas dalam siaran pers, jika pemegang mandat menjalankan profesionalisme dan benar-benar meluangkan waktu untuk membaca tanggapan Pemerintah Indonesia, mereka akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang banyak faktor yang berkontribusi terhadap pengungsian di Provinsi Papua dan Papua Barat, mulai dari bencana nasional, rumah yang diamuk kelompok kriminal bersenjata, konflik suku, dan konflik hasil pilkada.

“Mengkaitkan semua kasus pemindahan dengan “pemindahan paksa oleh pasukan keamanan” bukan saja tidak benar, tetapi juga mengabadikan narasi berbahaya yang diadvokasi oleh kelompok bersenjata kriminal untuk menyebarkan ketidakpercayaan publik terhadap personel keamanan,” kata Kantor Misi Indonesia.

Kantor Misi Indonesia menegaskan seandainya pemegang mandat meluangkan waktu untuk membaca tanggapan Pemerintah, mereka juga akan memiliki pemahaman yang lebih baik tentang perlunya mengerahkan personel keamanan di daerah-daerah di mana serangan oleh kelompok kriminal bersenjata terhadap warga sipil, termasuk perempuan, anak-anak, pekerja kesehatan, pekerja konstruksi , petugas pemilihan kepala daerah, dan guru, merajalela.

Pemegang mandat semestinya meluangkan waktu untuk membaca tanggapan Pemerintah, sehingga mereka juga akan memiliki informasi bahwa tuduhan “bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua yang dihalangi oleh pihak berwenang” adalah kebohongan.

“Kementerian Sosial RI telah memberikan bantuan sembako senilai hampir 1,5 miliar rupiah untuk para pengungsi di Kabupaten Intan Jaya; 5 miliar rupiah untuk pengungsi di Kabupaten Nduga; dan juga miliaran rupiah untuk gabungan Kabupaten Yahukimo dan Yalimo,” sebut Kantor Misi Indonesia.

Selain itu, Pemerintah Indonesia tidak pernah membatasi akses ke Palang Merah, gereja lokal, dan Komnas HAM. Penghentian permintaan personelnya untuk melakukan perjalanan ke beberapa daerah semata-mata karena pertimbangan keamanan, karena daerah-daerah tersebut masih dikategorikan sebagai daerah berisiko tinggi bagi warga sipil karena intensitas kekerasan kelompok bersenjata kriminal.

“Pemerintah Indonesia sekali lagi sangat menyayangkan keputusan pemegang mandat terkait untuk melakukan pendekatan megafon sepihak dalam menangani tuduhan yang termuat dalam siaran pers 1 Maret 2022. Pola tindakan yang tidak konstruktif ini hanya merusak dan menyabotase kerangka kerja sama dan kepercayaan yang dimiliki Pemerintah Indonesia terhadap Pelapor Khusus,” tutup Kantor Misi Indonesia. (*)

Indonesia: Pakar PBB membunyikan alarm tentang pelanggaran serius di Papua, menyerukan bantuan mendesak

#UNnews#NewsPBB Edisi, 1 Maret 2

JENEWA (1 Maret 2022) – Pakar hak asasi manusia PBB* hari ini menyatakan keprihatinan serius tentang memburuknya situasi hak asasi manusia di provinsi Papua dan Papua Barat di Indonesia, mengutip pelanggaran yang mengejutkan terhadap penduduk asli Papua, termasuk pembunuhan anak, penghilangan, penyiksaan dan pemindahan massal orang-orang.

Para ahli menyerukan akses kemanusiaan yang mendesak ke wilayah tersebut, dan mendesak Pemerintah Indonesia untuk melakukan penyelidikan penuh dan independen terhadap pelanggaran terhadap masyarakat adat.

“Antara April dan November 2021, kami telah menerima tuduhan yang menunjukkan beberapa contoh pembunuhan di luar proses hukum, termasuk anak-anak kecil, penghilangan paksa, penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi dan pemindahan paksa setidaknya 5.000 orang asli Papua oleh pasukan keamanan [Indonesia],” kata para ahli.

Mereka mengatakan perkiraan menyebutkan jumlah keseluruhan pengungsi, sejak eskalasi kekerasan pada Desember 2018, antara 60.000 hingga 100.000 orang.

“Mayoritas pengungsi di West Papua belum kembali ke rumah mereka karena kehadiran pasukan keamanan [Indonesia] yang kuat dan bentrokan bersenjata yang sedang berlangsung di daerah konflik,” kata para ahli. “Beberapa pengungsi tinggal di tempat penampungan sementara atau tinggal bersama kerabat. Ribuan penduduk desa yang mengungsi telah melarikan diri ke hutan di mana mereka terkena iklim yang keras di dataran tinggi tanpa mendapatkan akses ke makanan, perawatan kesehatan, dan fasilitas pendidikan.”

Selain pengiriman bantuan ad hoc, lembaga bantuan kemanusiaan, termasuk Palang Merah, memiliki akses terbatas atau tidak ada sama sekali kepada para pengungsi, kata mereka. “Kami sangat terganggu oleh laporan bahwa bantuan kemanusiaan untuk pengungsi Papua dihalangi oleh pihak berwenang,” tambah para ahli.

“Masalah gizi yang parah telah dilaporkan di beberapa daerah dengan kurangnya akses ke makanan dan layanan kesehatan yang memadai dan tepat waktu. Dalam beberapa insiden pekerja gereja telah dicegah oleh pasukan keamanan untuk mengunjungi desa-desa tempat pengungsi mencari perlindungan.

“Akses kemanusiaan yang tidak terbatas harus segera diberikan ke semua wilayah di mana penduduk asli Papua saat ini berada setelah mengungsi. Solusi yang [bisa dapat] bertahan lama harus dicari.”

Sejak akhir 2018, para ahli telah menulis surat kepada Pemerintah Indonesia pada selusin kesempatan** tentang berbagai dugaan insiden. “Kasus-kasus ini mungkin merupakan puncak gunung es mengingat akses ke wilayah tersebut sangat dibatasi sehingga sulit untuk memantau kejadian di lapangan,” kata mereka.

Mereka mengatakan situasi keamanan di dataran tinggi Papua telah memburuk secara dramatis sejak pembunuhan seorang perwira tinggi militer oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN PB) di Papua Barat pada 26 April 2021. Para ahli menunjuk penembakan dua anak, berusia 2 dan 6, pada tanggal 26 Oktober ketika peluru menembus rumah masing-masing selama baku tembak. Bocah 2 tahun itu kemudian meninggal.

“Tindakan mendesak diperlukan untuk mengakhiri pelanggaran hak asasi manusia yang sedang berlangsung terhadap penduduk asli Papua,” kata para ahli, menambahkan pemantau independen dan jurnalis harus diizinkan mengakses wilayah tersebut.

“Langkah-langkahnya harus mencakup memastikan semua dugaan pelanggaran menerima penyelidikan menyeluruh, cepat dan tidak memihak. Investigasi harus ditujukan untuk memastikan mereka yang bertanggung jawab, termasuk perwira atasan jika relevan, dibawa ke pengadilan. Pelajaran penting harus dipelajari untuk mencegah pelanggaran di masa depan.”

Para ahli kembali menyampaikan keprihatinan mereka kepada Pemerintah dan mereka mengakui Pemerintah telah mengirimkan balasan atas surat tudingan AL IDN 11/2021 tersebut.

SELESAI

___________

Sumber: (https://www.ohchr.org/…/NewsE…/Pages/DisplayNews.aspx…)

#WelcomeUNHC🇺🇳#WestPapua#HumanitarianCrisis#HumanRightsAbuses#PIF#ACP#UnitedNation#OHRCHR#UNHRC#FreeWestPapua

Referendum Tidak Boleh, Hak Menentukan Nasib Sendiri Boleh Kan Pak?

Oleh : Ney Sobolim *, Source: https://korankejora.blogspot.com
Keluarnya pernyataan referendum Aceh oleh Ketua Partai Aceh Muzakir Manaf cukup membuat publik Indonesia heboh. Terlebih para pengguna sosial media, video berdurasi 5 menit lebih itu viral, dibagikan ulang di berbagai sosial media dan mendapat tanggapan yang berbeda-beda dari berbagai kalangan mulai dari akademisi, politisi hingga pejabat negara. Walaupun akhirnya mantan Panglima GAM itu meminta maaf, ada beberapa reaksi dari para petinggi negara ini terhadap pernyataan itu yang menjadi perhatian saya dalam tulis ini.
Salah satu diantaranya adalah Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengingatkan supaya Muzakir Manaf  tidak bicara referendum. “Ah tidak usah bicara referendum, nanti TNI kesana dibilang DOM (Daerah Operasi Militer) lagi. Tak akan membiarkan sejengkal pun daerah lepas dari Indonesia. Wilayah keadulatan Indonesia dari Sabang sampai Merauke”, katanya (Nasional.Tempo, 30/05/2019). Tak ketinggalan Menteri Koordinator Politik Hukum & Kemananan (Menkopolhukam) Wiranto bereaksi keras dengan sikap dingin. Seperti diberitakan di Tempo (31/06), Wiranto menegaskan aturan mengenai referendum sudah hapuskan, masalah referendum itu dalam khasanah hukum di Indonesia sudah selesai, gak ada. Beberapa aturan hukum sudah batalkan. Tap MPR nomor 8 tahun 1998, yang isinya mencabut Tap MPR nomor 4 tahun 1993 tentang Referendum. Selain itu, ada pula UU nomor 6 1999, yang mencabut UU nomor 5 1985 tentang Referendum.
Berdasarkan dua pernyataan oleh dua pejabat Negara ini mesti saya harus mendefinisikan kata Referendum terdahulu.
Menurut KBBI /re·fe·ren·dum/ /réferéndum/ n penyerahan suatu  masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum.
Kemudian, adanya berbagai negara di dunia yang telah menyelenggarakan referendum untuk memberikan kebebasan kepada suatu wilayah untuk meminta pendapat apakah mayoritas rakyat ingin berpisah atau tetap di bawah kekuasaan pemerintahan yang ada. Salah-satunya adalah baru-baru ini tepatnya pada November 2018 lalu,  Perancis memberikan kekebasan rakyat Kaledonia Baru untuk memberikan hak suara mereka.
Hasil pemilihan menunjukan mayoritas rakyat Kaledonia Baru ingin tetap dibawah kekuasaan Perancis. Meski selisih beberapa persen referendum berjalan damai. Selain itu, referendum juga diselenggarakan suatu negara untuk Amanden hukum dan tata negara. Misalnya, Perubahan nama negara Makedonia menjadi Makedonia Utara pada 2018 lalu. Negara Inggris juga pernah menggelar referendum untuk keluar dari keanggotaanya di Uni Eropa.
Lantas (bagi saya) pernyataan kedua petinggi negara (Menhan & Menkopolhukam) diatas menjadi pertanyaan, pelarangan hingga penghapusan itu dalam konteks apa? Apakah referendum bagi berbagai wilayah  yang ingin menentukan nasibnya sendiri, misalnya Papua? Atau misalnya dalam mengubah dasar negara tertentu tidak melibatan rakyat?
Papua dan Tuntutan Referendum
Untuk pertanyaan yang pertama diketahui semua pihak bahwa, wilayah yang paling loyal menyeruhkan pemisahan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Papua. Di Papua salah satu organisasi yang memediasi rakyat dan menyerukan referendum dalam setiap aksi demo maupun kampanye di tingkat regional maupun internal adalah Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Selain KNPB, ada The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan berbagai organisasi lainnya mendesak agar rakyat Papua diberikan kebebasan untuk memilih, apakah masih ingin dibawah kekuasaan pemerintah Indonesia atau berdiri sendiri membentuk suatu pemerintahan. Sama halnya, Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menuntut pemerintah Indonesia agar diberikan kebebasan hak untuk menentukan nasib sendiri kepada rakyat Papua sebagai solusi demokratis. Menurut AMP dan juga pejuang yang tergabung dalam berbagai organisasi, ada kesalahan dalam proses sejarah dimasukkannya wilayah Papua sebagai bagian dari NKRI diantaranya adalah:
1. Jauh sebelumnya tepatnya pada 1 Desember 1961 wilayah Papua sudah diklarasikan menjadi sebuah negara secara de facto lengkap dengan atribut kenegaraan seperti bendera “Bintang Kejora”, Lagu Kebangsaan “Hai Tanahku Papua.”, lambing “Burung Mambruk” dan  atribut kenegaraan lainnya.
2. Klaim Presiden RI pertama Soekarno terhadap wilayah Papua melalui perintah Trikora di Alun-Alun Utara, Kota Yogyakarta pada 19 Desember 1961 salah satu poinya menyebut bubarkan negara boneka buatan Belanda adalah  klaim sepihak dan tidak mendasar.
3. Realisasi perintah Soekarno di poin 2 dilancarkan operasi-Operasi Militer ke wilayah Papua, sehingga terjadi banyak kekerasan.
4. Rakyat Papua atau perwakilan tidak dilibatkan dalam perjanjian-perjanjian internasional diantaranya New York Agreement (Perjanjian New York) yang diprakarsai oleh Amerika Serikat pada 15 Agustus 1962 dan Roma Agreement 30 September 1962 .
5. Penyerahan Kedaulatan wilayah Papua ke tangan pemerintah melalui otoritas eksekutif sementara PBB The United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) kepada pemerintah Indonesia tanpa sepengetahuan orang asli Papua sebagai pemilik Tanah Air pada 1 Mei 1963.
6. Penyerahan wilayah Papua itu tidak sesuai dengan keputusan di New York dan Roma sebelumnya.
7. Ditandatanganinya Kontrak Karya I Freeport McMoran atau PT. Freeport Indonesia dengan pemerintah Indonesia melalui para pejabat Orde Baru, Soeharto Cs pada 7 April 1967. Padahal pada saat itu wilayah Papua belum sah menjadi bagian dari Republik Indonesia atau 2 tahun sebelum diselenggarakan tindakan pemilihan bebas atau Pepera 1969
8. Pelaksanaan referendum tidak sesuai kesepakan yng diatur di New Yok dan Romayaitu melalui mekanisme Indonesia musyawara mufakat. Yang semestinya sekitar 800.000 jiwa rakyat Papua pada saat memberikan hak suara, hanya diwakilkan 1025 orang, itu pun sebagian dikarantinakan.
Dengan sejumlah alasan diatas, ditambah berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) kontemporer, seraya eksploitasi sumber daya alam, perampasan tanah-tanah adat, pendidikan, kesehatan, ekonomi dan terlebih depopulasi orang asli Papua terus terjadi, tuntutan hak untuk menentukan nasib sendiri semakin meluas.
Referendum atau Hak Penentuan Nasib Sendiri Nilai Demokrasi
Tuntutan rakyat Papua itu cukup mendasar. Sebab berkenaan nilai-nilai demokrasi. Jika ditilik dari Kovenan-Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang hak sipil politik dan tentang hak-hak masyarakat pribumi. Dalam Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik yang ditetapkan Maajelis Umum PBB dalam siding pada 16 Desember 1966, salah satu poin dipasal Pasal I ayat 1 menyatakan bahwa Semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan hak tersebut mereka bebas untuk menentukan status politik mereka dan bebas untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan budaya mereka. Kemudian diratifikasi dalam berbagai pasal dalam UU Negara Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005. Selanjutnya sebagaimana penegasan hak-hak sipil dan politik dideklarasikan di Viena dengan menegaskan betapa pentingnya hak menentukan nasib sendiri untuk semua kelompok masyarakat menentukan status politik untuk mengejar pembagunan ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan adanya pernyataan Menkopolhukam Wiranto, bahwa hukum-hukum yang mengatur tentang referendum telah dihilangkan mungkin saja suatu  sikap tertentu agar sejarah lepasnya Timor Leste tidak terulang kembali. Mungkin juga referendum yang dimaksud adalah lebih pada tidak melibatkan warga negara Indonesia dalam amanden tertentu. Tidak untuk hak untuk menentukan nasib sendiri. Sebab, hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri adalah kesepakatan negara-negara anggota PBB, Indonesia sebagai salah satu anggota wajib untuk menghormati demi mewujudkan perdamaian dunia.
Jika pemerintah Indonesia memberikan kebebasan hak penentuan nasib sendiri kepada  rakyat Papua sebagai solusi yang demokratis dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan hak asasi internasional, akan menjadi salah satu kemajuan bagi demokrasi di Indonesia.
*Penulis adalah Anggota (pengurus) Aliansi Mahasiswa Papua

Kedubes Tiongkok Cemaskan Maraknya Reaksi Anti-China di RI

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Belakangan ini gejala ‘anti-China’ tampak meningkat di Indonesia. Berkembang persepsi bahwa masuknya investasi Tiongkok ke tanah air akan diikuti penyingkiran pelaku-pelaku usaha dalam negeri. Lebih jauh, muncul pula kekhawatiran semakin dalamnya cengkeraman negara Tirai Bambu itu di Tanah Air.

Belakangan ini berkembang wacana Tiongkok sedang melakukan infiltrasi dan subversi ekonomi terhadap Indonesia. Salah satu isu yang menyebar luas lewat media sosial adalah dugaan konspirasi Tiongkok menguasai Indonesia menyusul tertangkapnya empat warga negara Tiongkok di Bogor pekan lalu. Mereka ditangkap karena diduga menanam cabai beracun yang mengandung bakteri berbahaya, Erwina Chrysanthem.

Bakteri itu masuk dalam kategori organisme pengganggu tumbuhan karantina (OPTK) golongan A1 dan belum pernah ada di Indonesia. Sejumlah media melaporkan pernyataan  Kepala Pusat Karantina Tumbuhan dan Keamanan Hayati Nabati Balai Besar Karantina Pertanian (BBKP) Soekarno Hatta, Antarjo Dikin, bahwa pihaknya telah memusnahkan sebanyak 5.000 batang cabai yang mengandung bakteri itu.

Dikatakan, bakteri tersebut berpotensi menyebabkan gagal produksi hingga mencapai 70 persen petani cabai di Indonesia. Menurut keterangan, para pelaku membawa tanaman cabai dari negara asalnya secara ilegal atau tanpa sertifikasi sebelumnya.

Keempat pelaku berinisial C, Q, B dan H, menyewa lahan seluas 4 ribu meter persegi dengan rencana menanam cabai berbakteri ini. Bila sudah panen, rencananya dipasarkan ke pasar-pasar besar yang ada di Indonesia.

Tidak kurang dari pakar hukum Yusril Ihza Mahendra, memberi perhatian serius atas penangkapan tersebut. Ia mengangkat isu tentang kemungkinan Tiongkok melakukan infiltrasi terhadap perekonomian RI.

Kekhawatiran tersebut ia ungkapkan lewat akun Twitternya.Menurut dia,  seperti dikutip dari Republika, sudah saatnya polisi turun tangan menyelidiki kasus ini. Ini, kata dia, bukan soal petani biasa, melainkan kegiatan sengaja yang terencana dengan rapi.

Menanggapi hal ini, Juru Bicara Kedutaan Besar Tiongkok di Indonesia, mengungkapkan kecemasan negaranya atas reaksi yang berlebihan atas kasus ini.

“Tidak beralasan dan tidak dibenarkan untuk menafsirkan secara berlebihan kasus terisolasi ini sebagai ‘konspirasi’ atau ‘senjata biologis untuk menghancurkan perekonomian Indonesia’ atau secara salah menafsirkan perilaku individu warga negara ‘sebagai tindakan negara,'”

demikian pernyataan resmi juru bicara Kedubes Tiongkok, lewat laman Kedubes Tiongkok di Jakarta.

“Laporan tersebut menyesatkan dan menyebabkan kekhawatiran besar. Pihak Tiongkok tidak ingin melihat ada gangguan terhadap hubungan persahabatan kedua negara dan bangsa dan antar rakyatnya,”

lanjut pernyataan tersebut.

Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia, Xie Feng, pada 15 Desember lalu juga telah bertemu dengan Menko Polhukam, Wiranto. Seusai pertemuan, Xie Feng mengatakan kepada wartawan bahwa hubungan antar penduduk Tiongkok dan Indonesia terus bertumbuh. Semakin banyak orang Indonesia berkunjung ke Tiongkok untuk bertemu dengan sahabat mereka, menikmati budaya lokal dan mempromosikan kerjasama yang saling menguntungkan. Demikian pula sebaliknya.

Oleh karena itu, Duta Besar Xie berharap kasus yang menimpa empat warga negaranya dapat ditangani secara tepat tanpa mengganggu hubungan bilateral kedua negara.

Kedubes Tiongkok juga mengingatkan bahwa Tiongkok merupakan sumber turis terbesar ke Indonesia. Dewasa ini semakin banyak warga Tiongkok bepergian ke Indonesia. Kunjungan-kunjungan tersebut telah memberi kontribusi pada kerjasama dan persahabatan antara kedua negara dan untuk pengembangan sosial ekonomi Indonesia.

Lebih lanjut dalam pernyataannya, Kedubes Tiongkok menegaskan bahwa pihaknya telah memberi perhatian serius terhadap empat warganya yang terlibat dalam penanaman cabai secara ilegal. Kedubes Tiongkok mengatakan warga negara Tiongkok yang berada di luar negeri harus mematuhi undang-undang dan peraturan setempat, menghormati adat dan kebiasaan lokal dan menjalin persahabatan dengan penduduk setempat.

“Dalam kasus individu warga negara Tiongkok yang dicurigai terlibat dalam kegiatan melawan hukum dan peraturan Indonesia, pihak Tiongkok menghormati pemerintah Indonesia dalam penanganan yang tidak memihak atas kasus tersebut, sesuai dengan fakta-fakta dan hukum, sementara hak hukum dan kepentingan warga negara Tiongkok akan efektif terjamin,”

kata juru bicara tersebut.

Paulus Suryanta Ginting (Surya Anta), IPWP dan FRI West Papua

Sumber: https://www.facebook.com/surya.anta.1

FRI West Papua, Jakarta
FRI West Papua, Jakarta

1 Desember 2016 merupakan kali kedua saya di tangkap dan di represi saat aksi bersama-sama kawan-kawan West Papua. Kali pertama, saat berorasi di depan Istana Presiden, ketika aksi mendukung ILWP pada tanggal 11 Agustus 2011.

Represi kali ini lebih menyakitkan, pukulan, tendangan dan pentungan bertubi-tubi menyasar terutama bagian kepala, ketimbang 5 tahun lalu.

Ada cacian yang sama dari 2 kali penangkapan tersebut, yakni: “Penghianat Bangsa”.

Coba bagaimana itu perwira menengah dan prajurit rendahan meneriaki kami (orang Indonesia) yang membela West Papua sebagai “Penghianat Bangsa”.

Justru “Papa Minta Saham” itu lah pengkhianat bangsa. Pembunuh Theys Elluay itu lah pengkhianat bangsa. Para pembantai lebih dari 500.000 orang West Papua itu pengkhianat bangsa. Sementara Soeharto tidak kalian cap sebagai penghianat bangsa, padahal kurang lebih 2 juta orang mati karena dia. Freeport dia legitimasi kehadirannya di Papua meski belum ada undang-undangnya lewat Kontrak Karya 1967. Prabowo yang di duga menculik aktivis dan melenyapkan beberapa diantaranya, serta mengakibatkan banyak orang meninggal di Timor Leste kalian dukung jadi calon Presiden. Koruptor yang bergelimang kekayaan di atas kemiskinan rakyat jelata kalian biarkan. Bah!

Tahu kah kalian, kita berasal dari suku-suku yang berbeda-beda. Bahasa yang tak sama. Bahkan ras pun diantaranya berbeda.

Kebangsaan kita lahir karena melawan kolonialisme, melawan imperialisme, melawan fasisme dan melawan rasisme. Tanpa itu semua, tak ada kebangsaan Indonesia.

Pembangunan karakter kebangsaan yang adil, demokratis, setara, anti penindasan itu lah yang hendak kami luruskan dan perluas.

Sederhana, tidak ada yang istimewa, mendukung hak penentuan nasib sendiri untuk West Papua merupakan kewajiban kami menjalankan tugas-tugas demokratik sebagai orang kiri.

Dan seharusnya tugas ini dijalankan sepenuh hati oleh orang-orang yang mendaku dirinya sebagai demokratik. Tapi sayang, masih banyak yang demokratik setengah hati. Serta tak sedikit pula orang kiri yang kurang demokratik.

Bagi kami bersolidaritas terhadap West Papua memberikan pelajaran yakni membangkitkan keberanian melawan ketakutan serta pengorbanan yang begitu besar bagi perjuangan. Sesuatu yang bisa jadi semakin surut dalam gerakan kita. Sehingga seharusnya kami lah yang mengucapkan Terima Kasih.

Ada Isu Makar, Jokowi Perintahkan TNI-Polri Siaga Penuh

postmetro.co Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan prajurit TNI dan personel kepolisian bersiaga untuk mengantisipasi dugaan adanya rencana makar.
“Itu tugasnya Polri dan TNI untuk waspada yang membahayakan NKRI, membahayakan demokrasi kita,” kata Jokowi usai bertemu Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di beranda belakang Istana Merdeka Jakarta, Senin (21/11/2016).
Jokowi kembali mengingatkan bahwa sudah menjadi tugas Polri dan TNI untuk mewaspadai adanya upaya makar itu.
“Tapi semuanya harus merujuk ketentuan hukum yang ada,” kata dia.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian sebelumnya mengaku sempat mendapat informasi mengenai adanya unjuk rasa yang bertujuan untuk makar dan menduduki gedung DPR pada tanggal 25 November 2016.
Unjuk rasa ini diperkirakan masih terkait dengan kasus dugaan penisaan agama Gubernur nonaktif DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. [tsc]

Amien Rais : Saya Akan Memimpin Semua Rakyat Pisah Dari Indonesia , Bila Ahok Tidak Ditankap

Kabarhoki.com, Jakarta – Mantan Ketua PP Muhammadiyah Amien Rais meminta kepada Presiden Joko Widodo lebih mengedepankan kepentingan bangsa yang lebih besar terkait kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Calon Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ( Ahok) itu.

“Untuk itu segeralah menahan Ahok, sebab kasusnya sudah bukan lagi persoalan umat Islam dan berpotensi memecah-belah bangsa,” kata Amien Rais usai memberi ceramah pada Resepsi Milad ke-107 Muhammadiyah Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Surabaya, di Graha ITS, Minggu (20/11). Demikian dikutip dari Antara.

Dia mengatakan hal itu perlu dilakukan sebelum terlambat. “Nasi belum jadi bubur, tangkap segera. Kalau yang lain ditangkap, kenapa ini kok bebas. Ada apa?,” tegas Amien yang juga tokoh reformasi.

Amien menyampaikan hal itu agar Presiden Jokowi memerhatikan kepentingan bangsa yang lebih besar. Dia sendiri secara pribadi mengaku mengenal Jokowi sebagai teman baik.

“Tapi saya ingatkan agar cepat mengambil kebijakan. Tolong dipercepat selesai itu,” katanya.

Menurut Amien, jika sampai Presiden Jokowi terlambat, maka sama saja dengan membunuh sejarah Indonesia. Bangsa ini, kata Amien, sedang gonjang-ganjing. “Jangan sampai saya yang akan memimpin semua Rakyat Indonesia pisah dari Indonesia,bila Ahok tidak di segera di tangkap” ujarnya.

Amien menyarankan sebaiknya Jokowi tidak hanya mendengar masukan dari yang asal bapak senang. “Dengarkan juga tokoh-tokoh dari kalangan ulama, intelektual, orang kampus, wartawan, dan lain-lain. Insyaallah mereka akan memberi pandangan yang imbang,” katanya.

 

Sumber : Merdeka.com

Jangan Biarkan Bali Merdeka!

IndonesianReview.com — Siapa tak kenal Bali? Selain terkenal dengan keindahan alamnya, pulau yang terletak di sebelah timur Jawa ini juga terkenal dengan kesenian dan budayanya yang unik. Tak mengherankan bila Bali jadi pusat destinasi wisata terbaik dunia.

Bali adalah juga primadona pariwisata Indonesia yang sudah terkenal di seluruh dunia. Ia bahkan menjadi daerah yang wajib dikunjungi setiap wisatawan. Namun siapa sangka di balik semua keindahan Pulau Dewata itu tersimpan banyak polemik bak bara dalam sekam? Bahkan jika kondisi tersebut tak segera ditangani secara serius, tak mustahil wacana Bali Merdeka menjadi nyata!

Bukan rahasia lagi, jika di Bali banyak sekali terlihat perbedaan sisi pola dan sistem pemerintahan yang terkesan menjurus pada pembangkangan terhadap aturan dan perundang-undangan Negara. Bahkan ada plesetan yang secara vulgar menyebutkan bahwa UU Negara seperti dikalahkan oleh UU Adat di Bali.

Anda pun bisa melihat kondisi itu di saat mulai memasuki pulau Bali. Ketika menyeberang masuk dan melangkahkan kaki di pelabuhan Gilimanuk yang jadi pintu gerbang masuk dari pulau Jawa ke daratan Bali, setiap penyeberang akan terkena razia. Semua pendatang wajib memperlihatkan kartu identitas resmi (KTP) yang masih berlaku.

Selain itu, setiap pendatang yang akan berkegiatan dan menetap di Bali, harus memiliki semacam kartu khusus yang diberi label KIPEM (Kartu Ijin Penduduk Musiman). Peraturan ini mengesankan Bali sepertinya ingin eksklusif dan tak mau berbaur dan memiliki identitas bersama dengan orang luar. Mereka seperti tak peduli negara ini telah memiliki identitas resmi yang semestinya berlaku di mana pun di seantero negeri ini.

Selain itu, masyarakat Bali juga memiliki pemerintahan ganda di setiap desa. Sering dalam satu desa memiliki perangkat yang berbeda dan pemimpin yang juga berbeda. Ada namanya desa Adat dan juga desa Dinas, namun masih dalam satu lokasi di desa yang sama. Pola pemerintahan desa ini sempat menimbulkan pro-kontra.

Bahkan ketika pemerintah mulai menetapkan UU Nomor 6/2014 tentang Desa, muncul beragam pertentangan dari sejumlah tokoh dan organisasi massa di Bali. Menurut sebagian masyarakat di sana, UU Desa tersebut tidak berpihak terhadap aspirasi dan kekhususan Bali.

Pulau Dewata memang memiliki kekuatan adat dan religi sebagai penopang utama dalam sisi berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Bahkan Pemerintah Provinsi Bali sendiri telah memiliki peraturan daerah (perda) terkait pengelolaan desa, yaitu Perda Nomor 31/2001 tentang Desa Pakraman. Namun belakangan, perda ini juga sempat menuai pro-kontra, karena dianggap hanya sebuah perubahan nama belaka dari desa Adat menjadi desa Pakraman.

Menurut Mark Hobart, status desa Adat dan desa Dinas bukanlah sebuah pilihan bagi pemerintahan di Bali. Mengapa? Di Bali, masih menurut antropolog Inggris yang pernah melakukan penelitian terkait pola pemerintahan ini sejak 1975 itu, selama ini kedua perangkat dan sistem tersebut telah berjalan dengan baik dan sinergis, serta memiliki peran dan fungsi yang juga berbeda. Desa Adat mengelola fungsi adat, serta desa Dinas akan mengatur dan menjalan pemerintahan desa secara kedinasan.

Pendapat itu juga dikutip oleh I Gde Parimartha, guru besar Ilmu Sejarah pada Universitas Udayana, dalam orasi ilmiahnya yang bertajuk “Memahami Desa Adat, Desa Pakraman, dan Desa Dinas” pada pengukuhannya sebagai guru besar bidang sejarah pada tahun 2003.

Namun, tatkala pemerintah pusat mulai menerapkan peraturan dan undang-undang yang dianggap tidak mewakili aspirasi Bali, maka muncul semacam perlawanan baik secara tertutup maupun terbuka. “Bahkan kini muncul desas-desus adanya pihak-pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan kondisi tersebut untuk tujuan disintegrasi alias pergerakan menuju Bali Merdeka,” kata Parimartha.

Kondisi ini tentu bukan masalah sepele. Banyak kalangan menilai, jika pertentangan dan kebuntuan aspirasi antara Bali dan Jakarta tidak diselesaikan secara serius, maka bukan mustahil akan banyak pihak yang memelintir persoalan ini menjadi melebar dan menjurus pada perpecahan.

Nasionalisme masyarakat Bali sebenarnya sangat kuat. Masyarakat Bali terkenal sudah membela bangsa ini dengan melahirkan banyak pejuang dan pahlawan. Namun tatkala harga diri serta kehormatan mereka terancam, maka bukan mustahil mereka akan melakukan perlawanan. Situasi ini tentu harus disikapi dengan baik dari para pemimpin dan pengambil kebijakan di negeri ini. Jangan sampai “bara dalam sekam” ini membakar keutuhan NKRI.

Waspadai Perpecahan

Belum lama ini, pulau Bali yang terkenal tenang dan nyaman, mendadak terusik dengan beragam aksi yang menjurus rasis dan bersifat over-primordialis. Sejumlah demonstrasi dengan spanduk berbunyi menentang berdirinya bank syariah mulai disuarakan oleh komunitas tertentu. Sempat juga beredar larangan memakai jilbab oleh pegawai maupun siswi di sekolah yang meramaikan pemberitaan di sejumlah media massa.

Pergerakan yang cenderung provokatif ini sempat membuat repot aparat keamanan dan institusi pemerintahan di Bali. Masyarakat Bali yang lebih separuhnya menggantungkan ekonominya dari industri pariwisata itu mulai dihinggapi rasa was-was dengan aksi  itu. Dikhawatirkan aksi itu akan melahirkan rasa tak nyaman di kalangan para wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut.

Ironisnya, aksi itu terkesan didukung oleh sejumlah tokoh, politisi, dan juga pegiat akademisi dari universitas tertentu di Bali. Sempat muncul pertanyaan, kenapa persoalan rasis ini mulai menyeruak naik ke permukaan? Padahal selama ini masyarakat Bali dikenal sangat cinta damai, harmonis, serta memiliki solidaritas yang sangat tinggi.

Beberapa pihak menduga, mencuatnya polemik berbasis rasis dan over-primordialis ini memiliki motif politik selain motif ekonomi. Bukan rahasia umum lagi bahwa sejumlah lokasi wisata strategis di Bali mulai dikuasai pendatang, sehingga orang asli Bali terpinggirkan. Kondisi ini dianggap menjadi pemicu munculnya antipati dari pelaku bisnis di sana.

Selain itu, motif politik juga dianggap memiliki peran terhadap sejumlah aksi tersebut. Banyak kalangan menilai para politisi mencoba memanfaatkan primordialisme masyarakat Bali sebagai “jualan” mereka untuk mendapatkan legitimasi suara dari mayoritas masyarakat Bali.

Terlepas dari kepentingan tersebut, semua pihak diharapkan dapat melihat persoalan yang muncul di Bali saat ini secara serius dan lebih konfrehensif. Jangan sampai keindahan Bali porak-poranda oleh perpecahan yang kini seakan dibiarkan tumbuh subur.

Pemerintah pusat juga diminta untuk lebih arif menyikapi aspirasi masyarakat Bali. Membuat keputusan dan kebijakan yang lebih berpihak bagi kepentingan Bali secara khusus adalah salah satu kearifan yang dinanti. Dengan begitu masyarakat Bali bisa mengikatkan diri dengan kokoh dalam bingkai NKRI.

Selain itu, para pelaku kepentingan yang mencoba melakukan upaya perpecahan di Pulau Dewata itu, harus segera dideteksi untuk kemudian merumuskan tindakan preventif, agar jangan sampai harmonisasi yang selama ini menjadi ikon masyarakat Bali dimanfaatkan menjadi konflik yang menjurus perpecahan.

Sejatinya Presiden Jokowi telah mendapatkan mandat yang besar dari masyarakat Bali. Terbukti perolehan suara pasangan Jokowi-JK dalam Pilpres 2014 jauh  melebihi pasangan Prabowo-Hatta. Masyarakat Bali tentu berharap banyak kepada Presiden Jokowi mau memprioritaskan aspirasi mereka dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada masyarakat Pulau Seribu Pura itu.

 

Negara Borneo Merdeka: Info Sekilas

Bendera Negara Borneo

Negara Bebas Borneo adalah sebuah negara dengan berstatus sebagai sebuah pemerintahan sementara yang didirikan untuk meraih kemerdekaan politik dan ekonomi bagi penduduk pulau Borneo serta menjadi fondasi yang kokoh bagi Negara Borneo di masa depan.

Jadi Negara Bebas Borneo hanya bersifat sementara, sebagai batu loncatan untuk membentuk negara Borneo di masa depan, yaitu negara Federasi. Negara Bebas Borneo dapat dikenali dengan bendera yang digunakan, yaitu bendera yang menggunakan warna merah, putih dan kuning yang di susun membujur teratur dan dengan bintang berwarna hitam ditengah-tengah bendera.

Negara Bebas Borneo adalah negara dengan pemerintahan Autoritaren Fuhrerstaat dan negara dengan bentuk negara kesatuan. Kepala negara disebut dengan Presiden yang dipilih sebuah mekanisme yang secara sederhana kandidat Presiden akan dipilih oleh Tim Pemilih dan kemudian harus mendapat persetujuan oleh warga negara melalui referendum untuk mengetahui apakah kandidat Presiden tersebut disukai oleh warga negara atau tidak untuk menjadi Presiden Negara Bebas Borneo. Sedangkan kepala pemerintahan disebut Kanselir yang dipilih oleh Presiden. Negara Bebas Borneo tidak mengenal Parlemen, karena Negara Bebas Borneo menganut paham bahwa peraturan hukum harus dibuat mereka yang memerintah karena mereka sangat memahami warga negara, akan tetapi peraturan hukum tersebut tidak bisa disahkan dan berlaku tanpa melalui proses Referedum untuk memperoleh persetujuan dari warga negara.

Dalam menjalankan pemerintahannya, Negara Bebas Borneo telah merancang seperangkat Peraturan yang diberi nama “Pedoman Pelaksanaan Pemerintahan Negara Bebas Borneo” yang terdiri atas konstitusi dan beberapa undang-undang serta peraturan khusus lainnya. Peraturan ini sengaja dibuat terlebih dahulu agar apabila pemerintahan Negara Bebas Borneo telah diumumkan pendiriannya pada 17 Oktober 2015 nanti sudah siap operasional dan dapat langsung bekerja serta menjalankan pemerintahan dan melaksanakan tugasnya dengan efektif dan efisien.

Pedoman Pelaksanaan Pemerintahan Negara Bebas Borneo secara garis besar berisi peraturan-peraturan yaitu :
a. Hukum Dasar Negara Bebas Borneo, sebagai Konstitusi atau Undang-Undang Dasar bagi pemerintahan Negara Bebas Borneo.
b. Undang-Undang Pembentukan Negara Baru, untuk memberikan wadah yang demokratis bagi warga negara yang ingin mendirikan negara tersendiri pada wilayah yang dikuasai Negara Bebas Borneo.
c. Undang-Undang Perubahan Bentuk dan Pembubaran Negara, sebagai peraturan untuk menghindari terjadinya chaos pada saat terjadi perubahan bentuk dan pembubaran Negara Bebas Borneo.
d. Undang-Undang Peraturan Khusus, yang berisi macam-macam peraturan yang dibuat oleh pejabat pemerintahan Negara Bebas Borneo seperti Keputusan Pemerintah dan Peraturan Daerah.
e. Undang-Undang Peradilan Umum, yang berisi tentang tata cara peradilan yang berlaku di Negara Bebas Borneo.
f. Undang-Undang Kejahatan Umum, yang berisi tentang macam-macam kejahatan yang mungkin akan terjadi di Negara Bebas Borneo dan hukuman bagi pelakunya.
g. Undang-Undang Kewarganegaraan, yang berisi tentang aturan kewarganegaraan lebih rinci.
h. Undang-Undang Perbelanjaan Nasional, yang berisi tentang aturan yang bersifat makro ekonomi yang menjadi pijakan untuk pembangunan ekonomi untuk kesejahteraan sosial.
i. Undang-Undang Transaksi Ekonomi, yang berisi tentang aturan yang bersifat mikro ekonomi yang menjadi pijakan bagi kegiatan ekonomi seperti perdagangan dan industri.
j. Keputusan Pemerintah Nomor 1 Tentang Susunan Pemerintahan Lokal, yang berisi tentang susunan pemerintahan daerah pada wilayah yang dikuasai Negara Bebas Borneo.
k. Keputusan Pemerintah Nomor 2 Tentang Ukuran Bendera, yang berisi tentang peraturan tentang ukuran bendera yang menjadi atribut Negara Bebas Borneo.
l. Keputusan Pemerintah Nomor 3 Tentang Simbol Negara, yang berisi tentang peraturan tentang simbol sebagai atribut Negara Bebas Borneo.
m. Keputusan Pemerintah Nomor 4 Tentang Format Dokumen Kewarganegaraan, yang berisi tentang dokumen-dokumen untuk kewarganegaraan yaitu dokumen untuk Aplikasi Kewarganegaraan dan Surat Kewarganegaraan.
n. Keputusan Pemerintah Nomor 5 Tentang Angkatan Bersenjata, yang berisi tentang peraturan umum untuk Angkatan Bersenjata Negara Bebas Borneo seperti struktur organisasi dan sistem kepangkatan.
o. Keputusan Pemerintah Nomor 6 Tentang Mata Uang Yang Berlaku, yang berisi tentang mata uang Negara Bebas Borneo yang diberi nama Kurren (ж).
p. Keputusan Pemerintah Nomor 7 Tentang Standar Barang Dan Harga, yang berisi tentang standar barang yang harus ada dalam perdagangan di Negara Bebas Borneo dan dilengkapi dengan penetapan harga yang pasti.
q. Keputusan Pemerintah Nomor 8 Tentang Pendidikan Politik Resmi, yang berisi tentang peraturan umum untuk penyelenggaraan pendidikan politik resmi bagi warga negara.
r. Keputusan Pemerintah Nomor 9 Tentang Pelayanan Untuk Warga Negara, yang berisi tentang aturan pelayanan dasar warga negara dibidang pendidikan dan kesehatan.

Negara Bebas Borneo bukan sebuah negara untuk agama tertentu, akan tetapi memberikan kebebasan kepada pemeluk setiap agama yang menjadi warga negara Negara Bebas Borneo untuk melaksanakan ibadah dan hukum agamanya. Karena itulah Negara Bebas Borneo melarang setiap penyebaran agama pada pemeluk agama lain untuk menghormati setiap pemeluk agama yang menjadi warga negara dan agar tidak menjadi konflik di kemudian hari yang dapat menimbulkan perang antara agama diantara sesama rakyat Borneo.
Wilayah yang menjadi teritorial Negara Bebas Borneo adalah wilayah 5 Provinsi Kalimantan dengan batas wilayah yang sudah disepakati sebagai wilayah utama, dan wilayah lain di luar wilayah utama yang dikuasai dan diduduki oleh Negara Bebas Borneo karena hal-hal tertentu. dan juga wilayah teritorial Negara Bebas Borneo dapat berubah, baik bertambah atau berkurang pada wilayah utama atau wilayah lain, sesuai dengan kebijakan dan kemampuan Negara Bebas Borneo untuk mengelola wilayah tersebut.

Sedangkan yang menjadi warga negara adalah penduduk yang terdiri atas penduduk asli Borneo dari suku-suku Dayak, Banjar, Berau, Bulungan, Kutai, Melayu, Pasir dan Tidung serta penduduk dari bangsa-bangsa lain yang telah mengajukan aplikasi dan telah disetujui untuk menjadi warga negara. Bukti seseorang telah menjadi warga negara Borneo adalah telah memiliki Surat Kewarganegaraan dengan Nomor
Kewarganegaraan dari Pemerintah Negara Bebas Borneo. Apabila seseorang belum mengajukan aplikasi dan belum disetujui maka tidak dapat disebut sebagai warga negara, sehingga tidak punya hak dan kewajiban sebagai warga negara. Jadi warga negara Borneo adalah penduduk Borneo, sedangkan penduduk Borneo tidak pasti adalah seorang warga negara, Karena itulah status kewarganegaraan Negara Bebas Borneo hanya bagi penduduk Borneo yang ingin bergabung menjadi warga negara saja.

Apabila seseorang telah menjadi warga negara Borneo, maka ia memiliki hak yaitu :
a. Hidup dan tidak diperbudak,
b. Menjalankan memeluk dan menjalankan ibadah dan hukum agama,
c. Mendapat pendidikan,
d. Bekerja dan mendapatkan upah kerja yang layak,
e. Memiliki harta benda,
f. Memiliki keturunan lewat jalur pernikahan yang sah,
g. Menyatakan pendapat dan pikiran,
h. Menyetujui atau menolak kandidat Presiden dan Undang-Undang,
i. Ikut serta dalam referendum,
j. Memiliki dan menjaga rahasia,
k. Perlindungan dari kekerasan, dan

l. Status yang sama dalam hukum.
Hak warga negara ini bersifat melekat pada setiap orang sebagai hak perorangan, akan tetapi hak ini dapat bisa hilang ketika dia merusak hak warga negara yang lainnya, misalnya melakukan kejahatan pembunuhan, maka hak dia untuk hidup bisa jadi akan hilang. Sedangkan apabila dia telah menjadi warga negara dan mendapatkan hak-haknya, maka dia berkewajiban untuk :
a. Taat pada pemerintah negara dan hukum yang ada selama haknya sebagai warga negara terpenuhi dengan baik oleh negara,
b. Memberikan pelayanan pada negara pada saat diperlukan,
c. Tidak merahasiakan sesuatu hal yang dapat membahayakan keselamatan Negara Bebas Borneo,
d. Bekerja sesuai dengan keterampilan yang dimiliki, dan
e. Menghormati dan menjaga hak orang lain dengan tidak melakukan tindakan melawan hukum seperti tindakan kriminal dan melanggar kesopanan.

Bahasa yang digunakan sebagai bahasa pemerintahan adalah bahasa Melayu dengan aksara Latin yang ejaannya telah disempurnakan. Akan tepi Negara Bebas Borneo mengakui dan menganjurkan penggunaan bahasa-bahasa ibu penduduk Borneo sebagai bahasa sehari-hari diwilayahnya masing-masing. Yang dimaksud dengan bahasa-bahasa ibu penduduk Borneo adalah bahasa-bahasa daerah seperti bahasa Ngaju, bahasa Maanyan, bahasa Kutai, bahasa Iban, bahasa Banjar dan sebagainya.

Untuk sistem penanggalan dan standar waktu yang resmi digunakan oleh Negara Bebas Borneo adalah penanggalan Gregorian dan UTC +08:00, sehingga Negara Bebas Borneo memiliki waktu yang sama dengan Singapura, Malaysia, Hongkong dan China. Sedangkan standar pengukuran yang resmi digunakan adalah Standar Internasional (Meter, Kilogram, dan Sekon).

Great Dayak State – Negara Dayak Besar

Source: https://folksofdayak.wordpress.com/

Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa dahulu sebelum bergabung dengan RI Indonesia, Kalimantan pernah memiliki beberapa negara yang kala itu tujuannya ingin mendirikan Negara Kalimantan. Hal ini dimulai ketika Jepang tunduk pada sekutu tahun 1945 maka Netherlands-Indies Civil Administration disingkat NICA mengambil alih Kalimantan dari tangan Jepang, NICA mendesak kaum Federal Kalimantan untuk segera mendirikan Negara Kalimantan menyusul Negara Indonesia Timur yang telah berdiri. Saat itu berdasarkan perjanjian Linggarjati antara pemerintah Indonesia dan Belanda tahun 1949 Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia hanya meliputi Jawa, Sumatera dan Madura. Maka yang masuk dalam  Republik Indonesia Serikat hanyalah:

  1. Negara Republik Indonesia (RI) di Jakarta
  2. Negara Indonesia Timur di Singaraja
  3. Negara Pasundan (termasuk Distrik Federal Jakarta) Bandung
  4. Negara Jawa Timur di Surabaya
  5. Negara Madura
  6. Negara Sumatera Timur
  7. Negara Sumatera Selatan

Sedangkan Kalimantan saat itu merupakan neo-zelf-bestuur atau neo-self-governance atau daerah outonom sendiri. Beberapa negara bagian yang ada di Kalimantan adalah Negara Kalimantan Barat, Negara Kalimantan Timur, Kalimantan Tenggara, Negara Banjar dan satu-satunya Negara Bagian yang dicitak-citakan sebagai Dayak Homeland adalah Negara Dayak Besar. Pergerakan pembentukan negara Kalimantan  dimulai dengan dibentuklah Dewan Kalimantan Barat tanggal 28 Okt 1946, yang menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Barat pada tanggal 27 Mei 1947; dengan Kepala Daerah, SultanHamid II dari Kesultanan Pontianak dengan pangkat Mayor Jenderal. Wilayahnya terdiri atas 13 kerajaan sebagai swapraja. Dewan Dayak Besar dibentuk tanggal 7 Desember1946, dan selanjutnya tanggal 8 Januari 1947 dibentuk Dewan Pagatan, Dewan Pulau Laut dan Dewan Cantung Sampanahan yang bergabung menjadi Federasi Kalimantan Tenggara. Kemudian tanggal 18 Februari 1947 dibentuk Dewan Pasir dan Federasi Kalimantan Timur, yang akhirnya pada tanggal 26 Agustus 1947 bergabung menjadi Dewan Kalimantan Timur. Selanjutnya Daerah Kalimantan Timur menjadi Daerah Istimewa Kalimantan Timur dengan Kepala Daerah, Aji Sultan Parikesit dari Kesultanan Kutai dengan pangkat Kolonel. Daerah Banjar yang sudah terjepit daerah federal akhirnya dibentuk Dewan Banjar tanggal 14 Januari1948.

Perjuangan pembentukan Negara Dayak Besar tidak lepas dari pergerakan perjuangan Pakat Dayak. Pada waktu pergerakan Kemerdekaan Indonesia, Pakat Dayak mengambil arah anti nasionalis untuk melawan nasionalisme Banjar. Orang banjar yang telah berperang melawan Belanda selama 40 tahun adalah pendukung kuat terhadap Revolusi Indonesia yang mereka anggap sebagai “Second Holy War” sebab mereka bercita-cita mendirikan Indonesia sebagai Islamic State. Sebab itu Pakat Dayak “mendukung” Belanda melawan Republik Indonesia untuk menghindari pendirian negara agama (Islamic State). Maka kemudian Belanda kemudian melakukan pembagian – yang didukung oleh masyarakat Dayak dengan perjanjian Linggarjati 1946, yaitu Indonesia dan Belanda setuju untuk mendirikan suatu daerah semi outonom yang terpisah dari Kalimantan Selatan yang didominasi Banjar. Kemudian pemimpin Dayak sendiri bisa memipin Negara Dayak yang baru dibentuk. Dan pada pertemuan linggarjati II tahun 1949 Negara Dayak Besar mendapatkan Statusnya sebagai COSNTITUENT STATE.

Pada tahun 1947 – 1950 Negara Dayak Besar sempat memiliki Bendera yaitu berupa garis horizontal dengan tiga warna yaitu merah, kuning dan biru

James B. Minahan (Encyclopedia of the Stateless Nations – Ethnic and National Groups Around the World – volume II) presents:
“The Dayak national flag, the flag of the national movement in Indonesia, is a horizontal tricolor of red, yellow and blue.”

There is no other evidence (known to me) corroborating this claim. Could this flag be based on on the earlier, eventual, flag of Dayak Besar state of 1946-50?
Chrystian Kretowicz, 13 April 2009

Bendara Negara Dayak Besar

Bendara Negara Dayak Besar

Namun semangat mendirikan Negara Kalimantan kemudian pudar akibat kaum Banjar & Melayu (pendukung republik yang paling luas) merasa terancam sebab NEGARA KALIMANTAN dipandang sebagai upaya DAYAK MERDEKA. Sehingga hal ini menjadi materi propaganda Republik; selain melalui gerilya militer adalah juga infiltrasi ideologi. Singkat kata, kampanye para aristokrat dan golongan elit Kalimantan semakin terpecah, sehingga upaya mempersatukan ide ke NEGARA KALIMANTAN mengalami kemacetan, akhirnya semua mendukung RIS (Republik Indonesia Serikat), tetapi RIS sendiri kemudian dibubarkan pada tahun 1950. Pada tahun 1947anakhir, ada utusan DAYAK BESAR,  dibawah pimpinan ketua-muda Cyrilus Atak datang ke Jakarta dan membuat pernyataan resmi mendukung Republik Indonesia. Akhirnya konsepsi Dayak Besar sebagai negara, apalagi Negara Kalimantan itu tidak pernah teralisir.

Namun bukan berarti tidak pernah ada pergolakan ketika status Otonomi Khusus Kalimantan ditolak oleh Republik Indonesia pada masa itu sempat terjadi pemberontakan dan kerusuhan sporadis. Lambat laun ketika masa Orde Baru pengaruh Dayak di Kalimantan di kerdilkan dengan sekian lama tidak diberikannya kesempatan orang Dayak untuk memimpin daerahnya sendiri kemudian pihak berwenang Indonesia sudah lama menolak untuk mengakui agama asli orang Dayak “Kaharingan” dan diklasifikasikan sebagai ateis, yang pada tahun 1965 membawa penganiayaan berat untuk mereka karena mereka diduga menjadi simpatisan komunis. Untuk memuluskan penguasaan atas Kalimantan maka pada Orde Baru Pemerintah mendatangkan sejumlah besar penduduk dari Jawa dan imigran Madura di Kalimantan yang dikemudian hari akan menjadi bibit konfllik dinegara ini dan kebijakan penebangan hutan yang tidak terkendali menyebabkan deforestasi di tanah Dayak dan memicu sentimen ethno-nasionalisme di antara orang-orang Dayak.

Ide atau semangat mendirikan Negara Kalimantan bukanlah padam. Baru-baru ini mulai muncul hembusan untuk mendirikan Negara Dayak silahkan baca:Borneo Merdeka Berembus – terutama sejak tidak pernah dilibatkannya Orang Dayak dalam peta perpolitikan Nasional dan pembangunan Daerah yang tidak berimbang dengan kekayaan alam yang telah dikuras. Sehingga seolah-olah Negara hanya tertarik dengan Sumber Daya Alamnya sedangkan SDM – Sumber Daya Manusianya tidak dibangun – bahkan sempat oleh beberapa oknum pemerintahan dianggap pendatang di tanah leluhurnya. Baca: MENJAWAB TUDUHAN SUKU DAYAK ADALAH PENDATANG DI KALIMANTAN. Maka jika Pemerintah kedepan ini tetap masih menganaktirikan Kalimantan dan penduduk aslinya maka bukan tidak mungkin gerakan ini akan bangkit kembali. Quo Vadis Dayak??

 

Tabe

Jakarta 5/Nov/2014

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny