Kampanye Papua Merdeka, IPWP dan ILWP

Semenjak pendirian International Parliamentarians for West Papua (IPWP) dan kemudian International Lawyers for West Papua (ILWP), maka terpantul tanggapan pro dan kontra dari berbagai pihak yang mendukung Kampanye Papua Merdeka dan yang mengadu nasib dalam bingkai NKRI. Sejak penjajah menginjakkan kakinya di Tanah Papua, perbedaan dan pertentangan di antara orang Papua sendiri sudah ada. Yang kontra perjuangan Papua Merdeka menghendaki “Tanah Papua menjadi Zona Damai” dengan berbagai embel-embel seolah-olah mau mendengarkan dan menghargai aspirasi bangsa Papua. Sementara yang memperjuangkan kemerdekaannya menentang segala macam kebijakan Jakarta dengan semua alasan yang dimilikinya.

Baik IPWP maupun ILWP hadir sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi yang disampaikan para penyambung lidah bangsa Papua, yang telah lama dinanti-nantikan oleh bangsa Papua. Sudah banyak kali aspirasi bangsa Papua disampaikan, bahkan dengan resiko pertaruhan nyawapun telah dilakukan tanpa hentinya, dari generas ke generasi, dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat di muka Bumi. IPWP dan ILWP ialah organisasi asing, wadah yang didirikan oleh para pemerhati HAM, politisi dan pengacara serta aktivis bidang hukum dan politik yang tentu saja tidak didasarkan kepada sentimen apapun dan juga tidak karena perasaan ataupun belas-kasihan terhadap apa yang terjadi.

Alasan utama keberpihakan masyarakat internasional terhadap nasib dan perjuangan bangsa Papua ialah “KEBENARAN YANG DIPALSUKAN”, dimanipulasi dan direkayasa, terlepas dari untuk apa ada pemalsuan ataupun manipulasi dilakukan antara NKRI-Belanda dan Amerika Serikat berdasarkan “The Bunker’s Plan”. Saat siapapun berdiri di atas KEBENARAN, maka sebenarnya orang Papua sendiri tidak perlu mendesak atau mengemis kepadanya untuk bertindak. Sebab di dalam lubuk hati, di dalam jiwa sana, setiap orang pasti memiliki nurani yang tak pernah berbohong, dan memusuhi serta terus berperang melawan tipu-daya dan kemunafikan. Nurani itulah yang berdiri menantang tipu-muslihat atas nama apapun juga sepanjang ada lanjutan cerita sebuah peristiwa yang memalangkan nasib manusia.

Mereka tahu bahwa ada yang “salah”, “mengapa ada kesalahan”, “bagaimana kesalahan itu bermula dan berakhir”, dan “siapa yang bersalah”. Mereka paham benar ada “penipuan”, “manipulasi”, dan “rekayasa” dalam pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 di Irian Barat, yang dilakukan oleh negara-negara yang konon menyodorkan dirinya sebagai pemenang HAM, demokrasi dan penegakkan supremasi hukum. Apalagi pelaksana dan penanggungjawab kecelakaan sejarah itu ialah badan semua umat manusia di dunia bernama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Di satu sisi kita pahami jelas tanpa harus ada penafsiran hukum ataupun penjelasan pakar untuk menjelaskan apakah Pepera 1969 telah berlangsung demokratis atau tidak. Itu fakta, dan itulah KEBENARAN.

Karenanya, biarpun seandainya semua orang Papua ingin tinggal di dalam Bingkai NKRI, biarpun tidak ada orang Papua yang menuntut Papua Merdeka dengan alasan ketidak-absahan Pepera 1969, biarpun dunia menilai NKRI telah berjasa besar dalam membangun tanah dan masyarakat Papua selama pendudukannya sejak 1 Mei 1963, biarpun rakyat Papua memaksa masyarakat internasional menutup mata terhadap manipulasi Pepera 1969, biarpun begitu, fakta sejarah dan Kebenaran kasus hukum, HAM dan Demokrasi dalam implementasi Pepera 1969 tidak dapat begitu saja diabaikan dan dianggap tidak pernah terjadi. Kepentingan pengungkapan kebenaran ini bukan hanya untuk bangsa Papua, tetapi terutama untuk memperbaiki reputasi PBB sebagai lembaga kemanusiaan dan keamanan tertinggi di dunia sehingga tetap menjadi lembaga kredibel dalam penanganan kasus-kasus kemanusiaan dan keamanan serta perdamaian dunia, di samping kepentingan bangsa-bangsa lain yang mengalami nasib serupa. Maka kalau dalam sejarahnya PBB pernah bersalah dan kesalahannya itu berdampak terhadap manusia dan kemanusiaan bangsa-bangsa di dunia, maka PBB tidak boleh tinggal diam. Demikian pula dengan para anggotanya tidak bisa menganggap sebuah sejarah yang salah sebagai suatu fakta yang harus diterima hari ini. Ini penting karena kita sebagai umat manusia dalam peradaban modern ini menjuluki diri sebagai manusia beradab, berbudhi luhur dan bermartabat. Martabat kemanusiaan kita dipertaruhkan dengan mengungkap kesalahan-kesalahan silam yang fatal dan berakibat menyengsarakan nasib suku-suku bangsa manusia di muka Bumi.

ILWP secara khusus tidak harus berpihak kepada bangsa Papua dan perjuangannya. Ia lebih berpihak kepada KEBENARAN, kebenaran bahwa ada pelanggaran HAM, pengebirian prinsip demokrasi universal dan skandal hukum dalam pelaksanaan Pepera 1969. Untuk mengimbangi ketidak-berpihakan itu maka diperlukan IPWP yang secara khusus menyoroti aspirasi politik bangsa Papua yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi sebagaimana selalu dikumandangkan dan diundangkan dalam berbagai produk hukum internasional maupun nasional di muka Bumi.

Dalam perjalanannya, ILWP tidak harus secara organisasi dan kampanyenya mendukung Papua Merdeka karena ia berdiri untuk menelaah dan mengungkap skandal hukum dan pengebirian prinsip demokrasi universal serta pelanggaran HAM yang terjadi serta dilakukan oleh PBB serta negara-negara anggotanya. Ini sebuah pekerjaan berat, universal dan bertujuan untuk memperbaiki nama-baik PBB dan para anggotanya, bukan sekedar mengusik masalalu yang telah dikubur dalam rangka mendukung Papua Merdeka.

Sementara itu IPWP bertindak sebagai wadah pendamping penyaluran aspirasi bangsa Papua dalam rangka pendidikan dan pembelajaran terhadap masyarakat internasional tentang kasus dan perjuangan bangsa Papua untuk merdeka dan berdaulat di luar NKRI. IPWP tidak serta-merta dan membabi-buta mendukung Papua Merdeka oleh karena sogokan ataupun berdasarkan pandangan politik tertentu. Ia berpihak kepada KEBENARAN pula, tetapi dalam hal ini kebenaran yang ditampilkan dan dipertanggungjawabkan oleh bangsa Papua. Dalam hal ini NKRI juga berpeluang besar dan wajib mempertanggungjawabkan sikap dan tindakannya di pentas politik dan diplomasi global tanpa harus merasa risau, gelisah dan geram atas aspirasi bangsa Papua. NKRI haruslah “gentlemen” tampil dan menyatakan kleim-kleim-nya secara bermartabat dan bertanggungjawab sebagai sebuah negara-bangsa modern, bukan sebagai negara barbarik dan nasionalis membabi-buta.

IPWP tidak hanya beranggotakan orang-orang pendukung Papua Merdeka, tetapi siapapun yang saat ini menjabat sebagai anggota parlemen di negara manapun berhak mendaftarkan diri untuk terlibat dalam debat dan expose terbuka, demokratis dan bertanggungjawab. IPWP bukan organisasi perjuangan bangsa Papua, tetapi ia berdiri sebagai pendamping dan pemagar sehingga tidak ada pihak-pihak penipu dan penjajah yang memanipulasi sejarah.

Point terakhir, pembentukan IPWP dan ILWP bukanlah sebuah rekayasa politik, karena rekayasa selalu ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan. Ia dibentuk oleh kekuatan KEBENARAN MUTLAK, fakta sejarah, dan realitas kehidupan masakini yang bertolak-belakang dengan cita-cita perjuangan proyek Pencerahan di era pertengahan. Ia kelanjutan dari proyek besar modernisasi yang mengedepankan HAM, penegakkan supremasi hukum dan demokrasi. Sama halnya dengan itu, para anggota Parlemen yang telah mendaftarkan dirinya, membentuk IPWP dan mengkampanyekan aspirasi bangsa Papua melakukannya oleh karena KEYAKINAN yang kuat bahwa Pepera 1969 di Irian Barat cacat secara hukum, HAM dan demokrasi, serta tidak dapat dibenarkan secara moral. Mereka bukan mempertaruhkan karier politik, nama baik, jabatan sebagai anggota Parlemen dan kepentingan negara mereka tanpa dasar pemikiran dan pemahaman serta pengetahuan tentang KEBENARAN itu secara tepat. Mereka bukan orang yang mudah dibeli dengan sepeser rupiah. Mereka juga tidak dapat diajak kong-kalingkong hanya untuk kepentingan sesaat. Mereka berdiri karena dan untuk KEBENARAN! Dan Kebenaran itu tidak pernah terkalahkan oleh siapapun, kapanpun, di manapun dan bagaimanapun juga.

Politisi Australia dan Pasifik Siapkan Gerakan Papua Merdeka

Sang Bintang Kejora, Bendera Negara West Papua
Sang Bintang Kejora, Bendera Negara West Papua

Jumat, 24 Pebruari 2012, 05:50 WIB, ROL

REPUBLIKA.CO.ID, Bergejolaknya ‘bumi’ Papua belakangan ini ternyata mendapatkan perhatian serius dari dunia internasional. Bahkan, bagi beberapa negara yang memang kerap menyatakan dukungannya terhadap Papua agar memisahkan diri dari Indonesia, seperti Amerika Serikat dan Australia.

Dan kini, informasi terbaru mengungkapkan bahwa sejumlah anggota Parlemen dari Australia dan sekitar Pasifik membuka sebuah babak baru, yakni semacam kelompok politisi internasional yang tujuannya cuma satu: mendukung Papua untuk Merdeka.

Wakil-wakil dari Vanuatu, Selandia Baru, Papua New Guinea dan Australia telah diundang untuk ikut bergabung dalam International Parliamentarians for West Papua. Kelompok ini menurut rencana akan diluncurkan di Australia pada awal pekan depan.

Senator Partai Hijau Australia Richard Di Natale mengatakan pihaknya mengundang menteri-menteri di Australia dan seluruh Pasifik untuk ikut bergabung dalam forumt tersebut. “Kami ingin lebih banyak orang ikut bergabung dan berikrar bahwa rakyat Papua Barat berhak untuk menentukan nasib sendiri,” katanya menandaskan.

Hasil KTT ILWP Diumumkan Besok ?

JAYAPURA – Hasil Konferensi Tingkat Tinggi International Lawyer for West Papua (KTT ILWP), 2 Agustus di London, yang selama ini ditunggu-tunggu banyak pihaknya, kabarnya akan diumumkan hari Sabtu (20/8) besok. Hal itu diungkapkan Bucthar Tabuni, Ketua Umum KNPB dalam kesempatan jumpa pers Kamis (18/8), kemarin. Jumpar pers Buctar ini dilakukan hanya sehari pasca bebasnya dari Lapas Narkoba Doyo, setelah mendapat remisi HUT RI kemerdekaan. “Sesuai janji KNPB, diberitahu kepada public bahwa hasil Konferensi Tingkat Tinggi International di Oxford pada tanggal 2 Agustus 2011 lalu, akan diumumkan secara resmi pada 20 Agustus 2011 besok di lapangan Alm. Theys H Eluay,” ungkap Mako Tabuni (Ketua I KNPB) bersama Bucthar Tabuni, Kamis (18/8), di depan Ruko, Jalan kamwolker Perumnas III Waena.

Ditegaskan, pelaksanaa KTT ILWP tersebut sesungguhnya adalah meraih kesuksesan dan berlangsung dengan demokratis dan ilmiah. “Nanti akan kita buktikan apakah pemberitaan media massa local, dan media nasional lain benar atau tidak,” ungkapnya.

Meski dinyatakan demokratis dan ilmiah, namun dikatakan bahwa KTT tersebut berlangsung tertutup dan hanya diikuti oleh orang-orang yang berideologi sama, yakni menjadikan Papua sebagai Negara terpisah dari Indonesia.

Dalam kesempatan tersebut, Bucthar Tabuni kembali menegaskan atas apa yang disampaikan kepada Wartawan di Lapas Narkotika, sesaat setelah bebas. Yakni ia akan menggalang kekuatan yang lebih besar, rapi dan terorganisir dengan baik, dan akan melakukan perjuangan yang lebih radikal lagi.

“Peristiwa penembakan dan lain-lain di Puncak Jaya dan tempat lain yang menggunakan senjata adalah sayap militer perjuangan Papua Merdeka yang telah berlangsung sejak Tahun 1961. Secara organisasi tidak ada hubungan dengan KNPB. Karena kami komitment untuk berjuang dengan jalan damai,” tegasnya.

Dikatakan, masalah utama Bangsa Papua Barat adalah ‘status politik’, wilayah Papua Barat dalam Negara Kesatuan republic Indinesia (NKRI) yang belum final.Karena proses memasuknya wilayah Papua Barat dalam NKRI itu dilakukan dengan penuh pelanggaran terhadap standar-standar, prinsip-pronsip hukum dan Ham Internasional oleh Amerika Serikat, Belanda, Indonesia dan PBB sendiri demi kepentingan ekonomi politik mereka.

Bucthar Tabuni yang didampingi Wakil KNPB Macko Tabuni, menyatakan status politik Papua Barat dalam Negara NKRI itu adalah hasil ‘kongkalingkong’ (Persengkongkolan) pihak-pihak internasional, untuk itu lanjutnya masalah konflik politik tentang status politik Papua Barat harus di selesaikan di tingkat Internasional.

Di katakan lagi, Rakyat Papua Barat telah menempuh jalur Internasional dan berhasil membentuk Media Internasional yang mempu membawa persoalan Papua Barat ke tingkat internasional yaitu IPWP dan ILWP. Dan juga katanya kedua media Internasional (IPWP dan ILWP) tersebut, berhasil menyelenggarakan KonferensiTingkat Tinggi Internasional di Oxford London Inggris, pada tanggal 02 Agustus 2011 dengan Thema central “West Papua : The Road to Freedom”.

Ketika ditanya soal keadaan dalam tahanan ia (Bucthar Red) menyatakan, ”saya dalam tahanan kali ini mungkin agak baik dibandingkan dengan penahanan saya yang kemarin-kemarin. kalau soal perlakuan, saya dan para napi yang lain diperlakukan sama sebagai sesama tahanan,”ungkapnya.

Ditambahkan, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) sebagai media nasional rakyat Papua Barat, dan sebagai penanggung jawab Dalam Negeri, yang di percayakan oleh ILWP untuk melaksanakan berbagai aksi demo untuk mendukung KTT ILWP pada 2 Agustus di Oxford Inggris, menyampaikan kepada Rakyat papua Barat dan seluruh Bangsa di muka bumi untuk di ketahui bersama , beberapa stetmen yang akan di umumkan pada, 20 / 08 di makam Alm. Theys H. Elluay Sentani. Diapun menyampaikan bebera poin di antaranya, pertama, sesuai janji KNPB, diberitahukan kepada public bahwa Hasil Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) yang berlangsung di Oxford London Inggris tanggal 2/8-2011, lalu akan diumumkan secara resmi pada tanggal 20 agustus 2011 di lapangan Alm. Theys H. Elluay. Kedua, pembebasan Ketua Umum, Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Bucthar Tabuni dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Narkoba Doyo baru Sentani Jayapura,pada tanggal 17 Agustus 2011, bertepatan dengan Hut RI ke 66, merupakan sebuah pelecehan politik atas rakyat Pangsa Papua. Ketiga, KNPB, menegaskan bahwa: Pembunuhan, Penangkapan, Pembantaian dan pemenjaraan terhadap pejuang hak dasar bangsa pribumi merupakan bukan hal yang tabu, karena dengan demikian dapat mempercepat untuk menggapai cita-cita Rakyat Bangsa Papua Barat.

Mereka juga menjamin dalam acara yang digelar di Makam Alm.Theys Hiyo Eluay akan berjalan aman dan lancar. Mereka juga berharapa kapada Rakyat Papua supaya jangan terpropokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawan,seperti yang selama ini terjadi.(aj/CR-34/don/l03)

Kamis, 18 Agustus 2011 17:21
BintangPapua.com

Referendum Bisa Ciptakan Konflik Baru

JAKARTA (Suara Karya): Tuntutan referendum di Papua yang diwacanakan sejumlah pihak bukan solusi untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Itu malah bisa memperuncing konflik di antara warga masyarakat Papua sendiri.

Pendapat ini disampaikan Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Wakil Ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq dan Tubagus Hasanuddin, tokoh masyarakat Papua Franzalbert FA Joku, dan Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo secara terpisah di Jakarta, Kamis (4/8).

Sementara itu, DPR merasa geram dengan gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kembali menggalang dukungan dari luar negeri, antara lain dari parlemen Inggris.

“Saya heran karena gerakan OPM di Papua ini muncul atas prakarsa salah seorang oknum anggota parlemen Inggris. Untuk itu, saya meminta pemerintah agar memanggil Dubes Inggris,” ujarnya.

Menurut Priyo, ada anggota parlemen Inggris yang memfasilitasi konferensi International Parliamentary for West Papua (IPWP) untuk OPM di Inggris. “Sekarang Inggris bersahabat dengan kita. Jadi, jangan main api,” katanya.

Priyo juga mengkritik Kerajaan Inggris yang juga tidak luput dari masalah yang sama dengan Indonesia. “Sistem monarki konstitusional masih bermasalah di Inggris. Irlandia masih ingin berpisah dari Inggris Raya,” tuturnya.

Wakil Ketua DPR yang juga Ketua Desk Otonomi Khusus Papua dan Aceh Priyo Budi Santoso mendesak pemerintah memanggil Dubes Inggris untuk Indonesia.

“Tuntutan referendum oleh segelintir orang untuk penyelesaian Papua merupakan langkah yang tidak populer, apalagi respons terhadap wacana itu juga tidak kuat di masyarakat Papua sendiri,” kata Menhan usai menjenguk tiga prajurit TNI, yang menjadi korban penyerangan dan penembakan oleh kelompok separatis OPM, di RSPAD Gatot Soebroro, Jakarta, kemarin.

Menhan menambahkan, akibat wacana referendum yang diembuskan sejumlah pihak, seperti International Lawyers for West Papua (ILWP), dalam konferensi Papua yang diadakan di Universitas Oxford, Inggris, Selasa (2/8), di London, pemerintah akan berkoordinasi untuk mencari solusi terbaik penyelesaian Papua.

“Yang jelas, pemerintah tidak menoleransi setiap gerakan separatis termasuk di Papua, karena itu sudah menyangkut keutuhan dan kedaulatan bangsa dan negara Indonesia,” kata Menteri Pertahanan.

Tubagus Hassanuddin menyatakan, masalah Papua bagi Indonesia sudah selesai. “Kami sangat prihatin jika masih ada pihak yang mewacanakan referendum bagi penyelesaian Papua,” katanya.

International Parliamentary for West Papua yang diluncurkan di House of Commons, London, Inggris, 15 Oktober 2008, bertujuan untuk mendukung penentuan nasib sendiri warga asli Papua.

IPWP didukung oleh dua anggota parlemen Inggris, yaitu Hon Andrew Smith MP dan Lord Harries. Ada juga pejuang kemerdekaan Papua Barat di pengasingan, Benny Wanda.

KSAD menegaskan, saat ini tidak ada operasi militer di Papua terkait berbagai insiden penghadangan dan penyerangan oleh kelompok bersenjata terduga OPM terhadap prajurit TNI, Polri, dan masyarakat.

“Tidak ada. Yang ada hanyalah operasi pengamanan perbatasan dan kebetulan ada kegiatan rutin TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD), maka dilakukan pengamanan,” katanya.

KSAD menjelaskan, kegiatan TMMD sengaja dilakukan di Puncak Jaya, Papua, mengingat kondisi infrastruktur, sarana prasarana, dan fasilitas umum dan sosialnya cukup memprihatinkan, seperti pangkalan ojek, gereja, dan rumah-rumah adat mereka yang disebut honai.

“Kegiatan TMMD di Papua sama dengan yang dilakukan TNI di daerah lain di Indonesia, seperti pembangunan dan perbaikan infrastruktur, sarana-prasarana, fasilitas umum dan sosial, terutama di daerah terpencil, daerah tertinggal, dan daerah yang rusak akibat bencana alam,” tutur Pramono.

Tentang jumlah kekuatan kelompok bersenjata yang diduga OPM, KSAD mengatakan, hingga kini belum dapat diperkirakan karena keberadaan mereka yang terpencar dan mudah berbaur dengan masyarakat setempat.

Franzalbert FA Joku menilai, penerapan otonomi khusus terhadap Papua sudah tepat meski belum lengkap dan sempurna hingga perlu pembenahan yang dilakukan bersama antara pusat dan daerah.

Ia mengatakan, otonomi khusus sebagai wujud kompromi politik antara Papua dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah mencantumkan nilai-nilai dan hak untuk menentukan nasib sendiri.

Franzalbert mengatakan, penentuan nasib sendiri termasuk bagi Papua, seharusnya diberi pemahaman baru. (Rully/Ant/Tri Handayani)

Jumat, 5 Agustus 2011
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=284348

Kekerasan Terhadap Warga Pribumi Nyata

Suasana Peluncuran Buku IPWP
Suasana Peluncuran Buku IPWP

Seminar dan Peluncuran Buku International Parliamentarian for West Papua (IPWP) dan Peradilan Makar di STT GKI I.S Kijne, Padang Bulan, Jayapura, Senin (1/11) kemarin.Jayapura-Buku International Parliamentarian for West Papua (IPWP) dan Peradilan Makar, siang kemarin (01/11) secara resmi diluncurkan. Peluncuran ini diawali pertemuan dan diskusi antara penyusun dan beberapa tokoh yang terkait di dalamnya tepatnya di Aula Utama STT GKI IS.Kieje Abepura.
Seribu exsemplar buku IPWP dan Peradilan Makar, kini sudah mulai disebar luaskan dan dikhususkan untuk khalayak ramai.

30 Exsemplar diantaranya, dibagikan secara cuma-cuma pada undangan yang menghadiri kegiatan peluncuran perdana tersebut.

Salah satu pengarang buku IPWP Dan Peradilan Makar, Markus Martinus Ignasius Oserego Haluk, mengatakan bila didalam isi buku, pengarang menuangkan hasil kajian dan temuan yang terjadi atas aksi kekerasan HAM yang dilakukan oknum-oknum TNI/Polri terhadap warga pribumi.

Menurutnya hanya sebagian kecil saja dari aski kekerasan ini yang sempat tere xspose, dan diketahui khalayak umum.
Padahal jauh di pedalaman kampung-kampung terpencil masih banyak lagi aksi kekerasan TNI/Polri terhadap warga sipil yang tidak dapat terpantau dan ter-exspos secara baik dan benar.

Penuturan itu, diungkapkan Markus kepada wartawan seusai meggelar peluncuran buku perdana yang dikarangnya bersama Sendius Wonda, SH,M.Si.

Ia menuturkan, ketidak adilan begitu nyata terlihat bagi warga pribumi dan ini merupakan potret terkecil dari kejadian-kejadian luar bisa yang dialamai orang Papua atas budaya kekerasan dan ketidak adilan yang diterapkan NKRI.

Ia menambahkan bila buku yang ditulisnya itu lahir dari hasil study kelapangan, dengan sumber data yang bukan sekedar teori dan pikiran orang-orang tertentu saja.” Dalam buku ini tertuang semua data dari hasil study lapangan, semua apa yang kami lihat, dengar dan kami rasakan itulah yang kami rangkum dalam buku ini,kami hanya ingin masyarakat sadar bila cara kekerasan dan ketidak adilan dari berbagai aksi kekerasan tidak memberikan proses pendidikan yang baik bagi masyarakat papua,” ungkapnya.

Sebagai penulis, Markus berharap adanya peluncuran perdana buku IPWP Dan Peradilan Makar dapat membuka mata para penegak hukum dan menyadari bila tindakan makarisasi dan openisasi yang di tduhkan pada orang papua tidak menyelesaikan masalah, namun itu merupakan satu alasan untuk membungkam aspirasi orang Papua.(cr- 15)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny