JAYAPURA – Meskipun penahanannya sudah dilepas, namun proses penangkapan 15 orang di kawasan Skayland pada 31 Agustus lalu oleh aparat gabungan TNI dan Polri, yang kemudian 13 diantaranya dilepas, masih tetap menjadi perhatian serius Komnas HAM Perwakilan Papua. Hal itu setelah Komnas HAM menerima pengaduan dari keluarga Korban. “Perkembangan kasus 31 Agustus itu sedang dalam pemantauan, kami mengikutinya dari sejak peristiwa terjadi hingga sekarang,” ungkap Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Mathius Murib saat ditemui Bintang Papua di Waena, Kamis (8/9).
Menurutnya, ada yang menarik dalam proses penggrebekan dan penangkapan hingga pembebasan 13 diantaranya. “Menariknya tidak prosedural, ada penyiksaan, bahkan yang lebih ngeri itu ada anak sekitar 7 atau 8 tahun yang ternyata diculik pada waktu itu,” jelasnya. Sejak mendapat pengaduan dari keluarga korban, dikatakan bahwa pihaknya terus melakukan pemantauan. “Sejak peristiwa itu kami sudah mendapat pengaduan dari korban, dan kami sedang memantau sampai sekarang,” jelansya.
Dikatakan, dalam beberapa hari ke depan, hasil pemantauan dan pengumpulan data telah selesai. “Hasilnya belum bisa diungkapkan. Dalam beberapa hari ke depan mudah-mudahan selesai,” jelasnya lagi.
Disinggung tentang klaim KNPB bahwa ada rekayasa dalam sejumlah peristiwa yang terjadi di Papua dan khususnya di Kota Jayapura, menurutnya harus melalui pembuktian secara hukum. “Untuk mengarah ke pembuktian itu siapapun boleh memberikan pendapat, tapi hendaknya berdasarkan investigasi yang benar-benar, sehingga hasil investigasi itu bisa dipertanggungjawabkan,” ujarnya.
Menurutnya, jika telah dilakukan investigasi, baru diketahui hasilnya. “Harusnya klaim bahwa siapa yang harus bertangungjawab, ini motifnya, ini rekayasa atau bukan. Semestinya begitu (berdasarkan data akurat). Kalau mau buat pernyataan saja boleh, itu hak, tetapi semestinya melalui prosedur yang baik,” ujarnya lagi.
Sedangkan saat disinggung apakah belum ada investigasi secara menyeluruh, dikatakan bahwa hal itu merupakan masalah tersendiri. Karena kejadian yang beruntun dan hamper setiap hari ada kasus yang harus ditangani polisi.
“Itu yang masalah kita. Seperti diakui oleh polisi bahwa kita kewalahan, insiden terjadi setiap hari, bahkan satu orang bisa lebih dari satu kasus. Dalam kondisi seperti itu, siapapun sebagai manusia biasa terbatas. Polisi ka, LSM ka, Komnas HAM ka, itu terbatas. Akan tetapi apapun alasannya peristiwa itu harus diungkap dan proses pengungkapannya kewenangannya lebih besar ke Polisi,” ungkapnya.
Saat ditanya tentang apakah Komnas HAM juga berupaya melakukan investigasi, dikatakan bahwa pihaknya terkendala oleh batasan kewenangan. “Prosedurnya harus ada pengaduan resmi. Kedua advis yang terbatas, sehingga kita hanya memantau, dan merekomendasikan,” hanya itu.
Sementara proses penegakan hukum hingga pengungkapan adalah menjadi tanggungjawab Polisi. Sedangkan terkait peran pemerintah, menurutnya sat ini eksekutif maupun legislative terkesan masih diam.
“Jadi selama ini yang sibuk itu NGO, gereja, Komanas HAM, Polisi, tapi elit politik ini diam saja. Ada beberapa kali mereka buat pernyataan. Yang dibutuhkan kan bukan hanya pernyataan-pernyataan. Tapi bisa mengunakan sesuai kewenangan untuk bertindak dalam merubah situasi untuk lebih baik. Itu fungsi legislasinya kan ada di DPR. DPR bisa menggunakan kewenangan itu,” jelasnya.(aj/don/l03)
BintangPapua.com, Kamis, 08 September 2011 23:43