Markas OPM Tanah Hitam Digerebek, 1 Tewas

Mayat Miron Wetipo yang tewas tertembak di leher sesaat jenazahnya akan dimasukkan ke kantong jenazah untuk dievakuasi ke RS Bhayangkara.Jayapura- Upaya untuk mengungkap penembakan misteri di tanjakan Kampung Nafri oleh Polresta Jayapura yang dibakap aparat TNI dari Korem 172/PWY, POMDAM XVII/Trikora maupun dari Yonif 751/BS, tampaknya tidak sia-sia. Terbukti, sebuah rumah yang diduga digunakan sebagai markas para pelaku yang diidentifikasi dari kelompok TPN/OPM pimpinan DK (Dhani Kogoya), Kamis (2/12) sekitar pukul 02.00 WIT digerebek aparat. Dari markas yang terletak di Kompleks Perumahan BTN Atas Puskopad Tanah Hitam, aparat berhasil menyita sejumlah amunisi jenis SS 1 dan dokumen-dokumen terkait penyerangan di Nafri maupun dokumen rencana operasi kelompok tersebut. Kapolresta Jayapura AKBP Imam Setiawan,SIK saat ditemui wartawan disela-sela proses penggeledahan dan pengidentifikasian Markas TPN/OPM tersebut mengatakan dari penggerebekan markas TPN/OPM tersebut, aparat gabungan TNI/Polri berhasil mengamankan 9 orang yang dibawa ke Polresta Jayapura.

“Bahwa tadi malam saya melakukan penggerebekan dan ditemukan beberapa amunisi dan delapan orang. Delapan orang ini sedang dalam pendalaman di Polresta,” ungkapnya Jumat (3/11).

Pada Jumat (3/12) pagi harinya, saat kembali melakukan penggeledahan, menurut Kapolres ditemukan amunisi dan dokumen TPN/OPM. “Tadi pagi kita melakukan pengembangan dari yang tadi malam. Dan ternyata tadi pagi kita menemukan lagi dua kotak amunisi jenis SS 1 ditambah dokumen-dokumen dari gerakan OPM,” lanjutnya.

Dalam dokumen yang ditemukan aparat di markas yang sering dipakai sebagai tempat ibadah tersebut, menurutnya terdapat catatan bahwa tanggal 28 November peristiwa penembakan di Nafri bagian dari operasinya. “Saya sudah bilang kita akan terus mengejar,” tandasnya.
Sementara jenis amunisi yang ditemukan adalah caliber 5,56 40 butir, caliber 12 1 butir, kalibar 7,62 1 butir dan barang bukti lain berupa stempel dan cap TON/OPM serta dokumen terkait penyerangan terhadap TNI/Polri. Menurut Kapolres sejumlah barang bukti ini ditemukan di bawah tanah dengan menggunakan alat pendeteksi sinal laser (light detector). “Pada saat penggeledahan tadi, pasukan gabungan tiba-tiba diserang lima orang tidak dikenal dengan menggunakan berbagai jenis senjata.

Anggota sudah memberikan peringatan agar tidak melakukan perlawanan, dan pada saat yang genting anggota gabungan akhirnya mengeluarkan tembakan dan satu orang tewas atas nama Miron Wetipo, dan satu orang ditangkap atas nama Jack Mabel,” paparnya.

Sementara, masih menurut Kapolres bahwa tiga orang yang melakukan penyerangan kepada parat berhasil lari dan aparat masih masih berupaya melakukan pengejaran. “Rupanya kelima orang tadi adalah napi yang melarikan diri tadi pagi. Mereka kemungkinan ke rumah itu mau mengambil peluru dan bertemu dengan kita,” jelasnya.

Dalam dokumen yang ditemukan di markas OPM pimpinan DK yang masih dalam pengejaran tersebut, yang mengejutkan bahwa menurut Kapolres juga ada rencana operasi di wilayah Waena. “Dalam dokumen yang ditemukan juga terdapat rencana penyerangan di tempat lain yang salah satunya di Buper,” jelasnya.

Operasi yang tergolong cukup berhasil tersebut menurut Kapolres adalah dari kerjasama tim gabungan TNI/Polri. “Terdiri dari Satgas Korem yang di BKO kan di Polres Jayapura. Mereka di sini mulai bekerja sejak kasus Nafri, sampai sekarang yang merupakan pengembangan dari kasus Nafri,” ujarnya.

Komnas HAM Tolak Pembunuhan Terhadap Miron Wetipo
Sementara itu, tewasnya warga sipil Miron Wetipo yang tertembak mati ketika digelar operasi gabungan TNI-Polri di Abepura Gunung Jumat (3/12) yang hingga kini belum jelas alasannya, ditanggapi pihak Komnas HAM Papua. “Sesuai mandat dan tugas Komnas HAM kami menolak perilaku kekerasan dan pembunuhan di luar prosedur hukum nasional yang berlaku. Stop kekerasan dan hormatilah HAM bagi semua. Setiap orang mempunya hak untuk hidup dan berkarya diatas Tanah Papua.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Mathius Murib kepada Bintang Papua di Jayapura, Jumat (3/12) malam. (aj/mdc/don/03)

DUBES Selandia Baru: Tanyakan Masalah HAM

Jayapura [PAPOS] – Pangdam XVII/Cenderawasih Brigjen TNI Erfi Triassunu didampingi Kasdam XVII/Cendererawasih, Brigjen TNI, Osaka Meliala, Asintel Kasdam Kolonel Chb Victor Tobing dan Waaster Letkol Kav A.H Napoleon merima kunjungan Duta Besar New Zeland untuk Indonesia, M.R. Gerard How di kediaman Pangdam, Kamis [25/11] lalu.

Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar satu jam itu Duta Besar New Zeland membahas tentang pelanggaran HAM dan keadaan alam di Papua, untuk menanggapi pertanyaan tersebut Pangdam XVII/Cenderawasih menjelaskan bahwa kasus Video tersebut sudah diselesaikan dan pelaku kekerasan sudah diproses secara hukum yang berlaku di Militer.

Selain membahas tentang pelanggaran HAM di Papua, Duta Besar New Zeland sangat mendukung penuh Papua dan Papua Barat adalah bagaian dari integritas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ,Duta Besar New Zeland juga mendukung penolakan Pepera yang selama ini banyak di suarakan oleh sekelompok orang agar diterbitkan Pepera di Papua.

Kunjungan Duta Besar New Zeland ke Kodam XVII/Cenderawasih merupakan suatu bentuk kerjasama dan menjaga hubungan baik antar negara, diakhir kunjungannya Duta Besar New Zeland dan Pangdam XVII/Cenderawasih saling memberi cinderamata kepada sebagai kenang-kenangan. [loy]

Written by Loy/Papos
Saturday, 27 November 2010 00:00

Peradilan Militer Berikan Putusan Ringan

JUBI — Pro dan kontra terhadap pengadilan terhadap para pelaku pelanggaran HAM termasuk kekerasan di Papua biasanya memberikan putusan ringan dan para pelaku bisa diberi label pahlawan.“Kami sudah prediksi mereka akan diberi hukuman yang ringan. Persidangan ini sama dengan sidang militer kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay. Kami tidak kaget dengan putusan ringan itu karena para terdakwa akan jadi pahlawan,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Papua di Jayapura, Matius Murib kepada JUBI, pekan lalu.

Lebih lanjut urai Murib, Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua di Jayapura, empat terdakwa yang terlibat dalam kasus video penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, akan naik pangkat dan jadi pahlawan setelah disidang dan menjalani hukuman. Murib berani mengatakan karena sesuai dengan pengalaman terdahulu, para pelaku pembunuhan terhadap Almarhum Theys Eluay sejak itu diberi hukuman ringan. Seusai menajalani hukuman pangkatnya dinaikan.

Empat terdakwa yang melakukan penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Tingginambut juga akan mengalami hal yang sama yakni naik pangkat setelah menjalani hukuman. Bagi dia, pihak TNI menilai kasus tersebut tidak melanggar Hak Asasi Manusia dan sama sekali tak ada hubungannya. “Mereka menilai masalah ini bukan kasus pelanggaran HAM tetapi merupakan masalah internal TNI yakni tak menjalankan perintah yang diturunkan oleh pucuk pimpinan. Padahal jelas-jelas sudah melanggar HAM.”

Lanjut Murib, pihaknya tak bisa berbuat banyak karena wilayah tersebut bukan merupakan wilayah hukum Komnas HAM Papua. “Kita tidak bisa ngotot dan tuntut banyak karena bukan wilayah hukum kita.” Dia mengatakan, pihak TNI menjatuhkan hukuman ringan karena mereka menilai Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM) adalah kelompok pemberontak dan melawan negara. Kelompok tesebut yang dianiaya dan siksa sehingga dianggap sebagai hal yang biasa. “Bagi perspektif mereka hal ini wajar dilakukan karena mereka lawan negara,” ujar Murib.

Hal yang senada pula disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) bersama dengan Forum Kerja LSM Papua (Foker LSM Papua) dan Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dalam siaran persnya, belum lama ini di Jayapura. KontraS, Foker LSM Papua dan AMP juga menyatakan keraguan atas proses penyidikan yang dilakukan oleh TNI dalam kasus tersebut. “Kami meragukan proses penyidikan kasus ini bisa akuntabel karena tidak dilakukan melalui proses penyelidikan dan penyidikan yang independen dan terbuka. Keempat tersangka pelaku penyiksaan hanya diproses melalui mekanisme peradilan Militer (sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer). Mekanisme ini sangat tidak tepat secara hukum maupun secara kontekstual.” jelas mereka. Menurut mereka, secara hukum, kekerasan yang terjadi di dalam video Youtube jelas merupakan tindakan introgasi yang menggunakan kekerasan (Baca: Penyiksaan). Penyiksaan masuk dalam kategori pelanggaran berat HAM sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang ratifikasi Konvensi Internasional Anti Penyiksaan dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, dimana pada Pasal 9 disebutkan bahwa penyiksaan merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan.

Secara konteks, upaya UU peradilan militer tidak bisa diberlakukan mengingat memiliki sejumlah kelemahan; pertama, penyiksaan tidak diakomodir pengaturannya dalam KUHPM (Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer). Kedua, UU Permil sangat dominan dintervensi oleh Panglima TNI. Dengan kata lain tidak ada independensi hakim dan aparat hukumnya. Ketiga, Mekanisme Permil tidak memberikan ruang pemantauan dan keterlibatan masyarakat dan korban secara baik (unfair). Kami khawatir jika mekanisme Permil yang dikedepankan maka hanya akan menghukum aparat-aparat lapangan belaka. Tidak ada pertanggung jawaban komando atas peristiwa-peristiwa kekerasan di Papua dan tidak bisa mengkoreksi kebijakan pengamanan yang berimplikasi buruk pada situasi di Papua. “Lebih jauh proses ini dilakukan disaat dan pada kondisi dimana pengamanan oleh TNI dan Polri tetap diberlakukan secara ketat sehingga ruang gerak masyarakat sipil di Papua sangat minim.” papar Haris dari KontraS.

Dalam catatan hasil pemantauan KontraS yang juga disebutkan dalam laporan Komnas HAM bahwa peristiwa penyiksaan terhadap warga di Tingginambut, Papua merupakan peristiwa berulang dengan metode penyiksaan yang sama. Sebelumnya, seorang aktivis Yawan Manase Wayeni dibunuh setelah mengalami penyiksaan pada Tanggal 13 Agustus 2009 di Serui, dan Pembunuhan Opinus Tabuni pada peringatan hari pribumi internasional, 9 Agustus 2008 di Wamena. Kasus-kasus tersebut merupakan bagian kecil dari daftar pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Papua dan tidak melalui proses pengungkapan yang berkeadilan bagi korban dan keluarganya. Oleh karenanya KontraS, Foker LSM Papua dan AMP, meski mengapresiasi instruksi penyelesaian kasus yang telah dikeluarkan oleh presiden, mereka tetap meminta agar Presiden SBY hendaknya mengubah kebijakan dasar penyelesaian masalah Papua melalui dialog konstruktif yang mengedepankan pembangunan kesejahteraan yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi Warga Papua. Mereka juga meminta agar Presiden memastikan, kebijakan dengan pendekatan keamanan harus segera dikurangi. Secara khusus terkait kasus video Youtube, termasuk meminta Komnas HAM membentuk Tim Penyelidik Pelanggaran HAM di Papua terutama atas peristiwa di Tingginambut dan Serui dan membawa kedua kasus ini ke Pengadilan HAM.

KontraS, Foker LSM Papua dan AMP juga khawatir, perintah pesiden untuk mengungkap peristiwa ini hanya sebagai tindakan parsial menjelang kedatangan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dan Perdana Menteri Australia, Julia Gillard. Kedua negara ini memiliki peranan cukup penting dalam proses reformasi sektor keamanan di Indonesia. Dukungan kedua negara ini selalu menyaratkan penyelesaian kasus-kasus pelanggran HAM yang dilakukan oleh aktor keamanan di Indonesia. Tindakan yang sama pun dilakukan oleh polisi, Senin (8/11). Saat itu Warga Asli Papua yang tergabung dalam Solidaritas Nasional Bangsa Papua Untuk Obama (SONABPO) mengadakan aksi damai untuk mengenang pencaplokan Papua ke Indonesia oleh Peremerintah Amerika, Belanda, dan Indonesia, namun naas bagi kelompok ini karena polisi menangkap secara paksa koordinator lapangan, yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Eksekutif Nasional Front Persatuan Perjuangan Rakyat Papua Barat (Eksnas Front PEPERA PB), Selpius Bobii dan dua orang lainnya, sesungguhnya adalah tindakan yang tidak sesuai dengan prinsip dasar demokrasi yang berlaku di Indonesia. “Siapa yang salah, kami atau polisi? surat pemberitahuan sejak tiga hari yang lalu sudah disampaikan, sedangkan pemberitahuan dari Polda Papua yang menyatakan tidak diijinkan melakukan aksi baru tadi malam Pukul 00.00 kami dapat,” ujar Juru Bicara SONABPO, Usama Yogobi, kepada wartawan di Polresta Jayapura, pekan lalu. Menurutnya tindakan sepihak polisi tersebut merupakan cerminan bahwa demokrasi di Indonesia telah dimatikan oleh polisi.

KontraS mencatat, sepanjang Tahun 2009/2010 di Papua praktek kekerasan meningkat. Serangan yang dialami kelompok-kelompok pembela HAM merupakan bentuk paling nyata. Serangan bisa hadir dalam berbagai bentuk, mulai dari ancaman dan teror kekerasan, mengikuti setiap gerak-gerik aktivitas pembela HAM, pembatasan akses informasi dan pemantauan kondisi HAM di lapangan, praktik penyiksaan sistematis, hingga tindak kekerasan yang berujung pada tewasnya pembela HAM. Kekerasan yang terjadi berlangsung di tengah meningkatnya operasi keamanan yang digelar oleh TNI dan Polri untuk mencari Anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang makin sering terlibat kontak senjata.Terungkapnya kasus penyiksaan terhadap korban warga sipil, bukan anggota kelompok OPM seperti perkiraan sebelumnya, memberi stigma negatif di tengah peringatan 12 tahun Reformasi dalam tubuh TNI. Dalam catatan satu dekade reformasi TNI pada dua tahun silam, organisasi pembela HAM menyebut bahkan menyebut TNI belum bisa melepaskan diri dari paradigma lama dan cenderung tetap melakukan kekerasan yang melekat berurat berakar. Kekerasan oleh tentara memang menjadi problem politik besar pada masa Orde Baru. Kultur kekerasan telah dikembangkan militer dalam upaya menyokong Pemerintahan Soeharto. Motifnya sangat beragam, mulai dari kekerasan sebagai alat represi politik, kekerasan sebagai pengaman bagi praktik bisnis militer, kekerasan sebagai alat monopoli ideologi tunggal kekuasaan, atau kekerasan sebagai alat untuk mendisiplinkan publik atas nama pembangunan, serta kepentingan-kepentingan lain yang kerap bertumpang tindih.

Dalam catatan organisasi pembela HAM, kultur kekerasan ini masih terus melekat pada TNI pasca Orde Baru. TNI hampir terlibat di setiap konflik dan kekerasan (oknum atau institusi). Padahal, pada rumusan Buku Putih Pertahanan, kekerasan seharusnya diletakkan sebagai bagian dari tugas penegakan hukum Polri, termasuk tindakan tegas terhadap personil TNI yang melakukan tindak kekerasan. Rakyat Papua kerap mengalami tindak penyiksaan dan kekerasan oleh TNI. Beruntung memang jika ada berita atau tayangan kekerasan yang terekspos luas seperti kasus Youtube tadi. Ibarat gunung es, kasus yang terekspos hanyalah sedikit dari yang sebenarnya ada di bawah permukaan. Sebuah situs beralamat di http://wartapapuabarat.org, misalnya, banyak memberitakan kisah kekerasan yang jarang terungkap. Laman itu misalnya memaparkan kisah bahwa sejak Bulan Maret lalu hidup masyarakat di Kabupaten Puncak Jaya semakin mencekam, mereka tak punya kebebasan beraktifitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan wajib lapor dan periksa KTP di pos militer. Perkembangan sosial media dengan berbagai produknya–blog, youtube, facebook dan aneka produk jurnalisme warga membuat apa yang selama ini tertutupi menjadi mudah tersebar kepada khalayak. Meski berita di situs Papua Barat ini belum terverifikasi, setidaknya kita mendapat peringatan, bahwa di sudut lain negara ini, ketidakadilan dan perlakuan semena-mena masih saja terjadi. Pengungkapan peristiwa kekerasan yang sempat beredar luas lewat situs “youtube.com” harusnya dilakukan oleh tim independen yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan pelaku nantinya harus diadili di pengadilan Hak Asasi Manusia. (JUBI/Marten/Dari berbagai sumber)

TNI Dalam Bidikan NGO’s HAM Asing

JUBI – Baju loreng membaluti tubuh, tangan kanan berada pada kokang Senjata SS-1. Suara keras membahana, “Di sini saya sedang melaksanakan tugas negara!!” bentak Letda Dua Infantri Kosmos. Melihat sang komandan yang kian berwajah garang, anak buahnya pun ikut main tangan besi. Salah satu korban yang berbicara dalam dialek Lani, diketahui bernama Kiwo, pakaiannya dilucuti.

Interogator lalu meminta data soal senjata milik kelompok-kelompok separatis. Kiwo mengaku tidak tahu apa-apa tentang senjata karena dia hanya penduduk biasa di Tingginambut. Setelah beberapa menit proses interogasi berjalan, para pelaku kekerasan membakar kemaluan Kiwo dan dipukul dengan helm perang. Sementara pria baju loreng lainnya menendangi warga bertubi-tubi.

Itulah sebagian ‘adegan’ yang dilakukan Letnan Dua Infantri Kosmos, Praka Syahmin Lubis, Prada Joko Sulistyono dan Prada Dwi Purwanto, Anggota TNI dari Kesatuan Pam Rawan Yonif 753 Arga Vira Tama/Nabire Kodan XVII Cendrawasih yang melakukan kekerasan terhadap masyarakat di wilayah Tinggi Nambut, Papua.

Sejak video tak terpuji ini beredar luas, memancing berbagai kotroversi. Awalnya, kalangan TNI menyangkal bahwa bukan personil tentara yang melakukan kekerasan dalam video itu. Namun, setelah diselidiki, toh, akhirnya terungkap juga. Keempat tentara rakyat itu dibawa ke Pengadilan Militer III-19 Kodam XVII Cenderawasih. Pengadilan militer hanya menghukum tujuh bulan penjara untuk Kosmos, sang komandan, sedangkan tiga anak buanya masing-masing lima bulan penjara dengan dalil tidak berbuat baik dengan masyarakat.

Dalam catatan Asian Human Rights Watch (AHRC), kekerasan yang dilakukan militer di Papua tak hanya satu video itu karena masih banyak tidak terekspos. “Ini hanya satu dari banyak kasus penyiksaan oleh militer di Papua yang dilaporkan pada kami,” tulis Direktur Eksekutif AHRC, Wong Kai Shing dalam siaran persnya di situs AHRC bertanggal 17 Oktober 2010.

Sedangkan menurut Direktris Aliansi Demokrasi untuk Papua (AlDP) Latifah Anum Siregar, video kekerasan itu sesuatu yang biasa-biasa saja. Menurut Latifah, kenyataan itu kerap ditemui di Papua dan bahkan lebih buruk.

Menurutnya, kekerasan seperti itu bisa terjadi akibat kesalahan mendasar yang dimiliki pemerintah dan aparat Indonesia yang selalu menganggap Orang Papua separatis atau paling tidak pendukung gerakan makar sehingga meletakan Orang Papua di posisi musuh.

Dari dulu kampung-kampung di Papua diberi stigma pendukung, penyedia senjata atau logistik dan tempat persinggahan separatis. “Akibatnya, penyiksaan tidak hanya dialami kelompok separatis tetapi juga orang-orang kampung. Begitulah yang terjadi sekian lama,” ungkap Latifah. “Jika mengakui Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pemerintah harus melakukan pendekatan kemanusiaan dengan pemahaman konteks lokal dan karakteristik Orang Papua, bukannya menebar teror.”

Tak hanya AHRC dan ALDP, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut video kekerasan itu hanya bagian kecil dari bangunan kekerasan di Papua. Karena, sebelum video penyiksaan itu beredar, Komnas HAM menerima laporan dugaan kekerasan tentang penemuan potongan kepala yang terpisah dari badan, pengusiran masyarakat yang menciptakan gelombang pengungsian serta penyiksaan terhadap Pdt. Kindeman Gire dan Pitinius Kagoya pada 17 Maret 2010. Bahkan, di mana keberadaan Pdt. Kindeman Gire belum diketahui.

Catatan kekerasan yang dilakukan militer di Papua, setidaknya bukan hanya pada kasus penyiksaan di Tinggi Nambut semata. Pada kasus kekerasan 2002 silam, jurnalis Andreas Harsono dan Eben Kirksey, seorang antropolog dari Universitas California pernah membongkar fakta secara detail penyerangan dan kekerasan 31 Agustus 2002 di Timika.

Dalam laporan itu yang dimuat di jurnal South East Asia Research itu bertajuk, ‘Criminal Collaborations? Antonius Wamang and the Indonesian Military in Timika.’ terungkap pula bahwa saat terjadi penyerangan terhadap dua guru warga negara Amerika Serikat (AS) dan seorang warga negara Indonesia. Anggota TNI berada di tempat kejadian perkara bersama dengan kelompok Antonius Wamang. Namun dalam pemeriksaan, tak semua anggota diperiksa. Mereka juga menulis sejumlah cerita mengenai transaksi senjata kepada Wamang yang difasilitasi oleh Anggota TNI. Laporan jurnalisitik ini kemudian direspon oleh Condoleezza Rice, menteri luar negeri Amerika Serikat saat itu. Alhasil, tujuh Warga Papua tersebut dihukum antara lima tahun hingga seumur hidup.

Dalam laporan ini, mengungkapkan pula, misalnya, kedua pemerintah ingin International Military Education and Training (IMET), Counter Terorrism Fellowship Program (CTFP), dan Foreign Military Finance (FMF) segera dibuka lagi. Kerjasama-kerjasama ini mengucurkan jumlah dollar yang cukup besar. Bahkan Indonesia adalah penerima bantuan program anti terorisme terbesar di dunia, lebih tinggi dari Yordania dan Pakistan.

Data Pentagon menyebutkan Indonesia menerima dana sebesar US$6,2 juta, sejak 2002-2005. Pada Tahun 2007, AS memberikan juga bantuan US$18,4 juta. Selang beberapa jam setelah Wamang diputus hukuman seumur hidup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pentagon menyebutkan “era baru” kerja militer kedua negara dimulai.

Namun sayangnya setelah 6 tahun lebih, ternyata laporan tentang pembuktian teka-teki kekerasan di Papua seakan lenyap begitu saja. Radio Australia yang pernah memberitakan laporan itu pada Tahun 2002 terkait tentara dan orang-orang yang berkaitan dengan TNI memanipulasi dan membantu mempersenjatai anggota separatis Papua, Antonius Wamang pun dilupakan. Wamang sendiri dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada Tahun 2006 dengan tuduhan memimpin serangan. Laporan itu juga menyebutkan, oknum-oknum TNI menyulut kekerasan untuk meyakinkan Freeport agar terus membayar jutaan dollar setiap tahunnya kepada militer untuk menjaga operasinya.

Soal keterlibatan asing dalam pemantauan kasus HAM di Papua, setidaknya membuat kuping Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), ‘memerah’. Menanggapi kasus penganiayaan warga sipil di Tinggi Nambut, Presiden SBY menyatakan Indonesia mempunyai perangkat dan mekanisme untuk mengusut kasus dugaan pelanggaraan HAM. Negara asing dan LSM asing, kata Presiden, tidak perlu menekan Indonesia untuk menegakkan keadilan terhadap setiap kasus yang ada. “Kita mempunyai pengadilan militer untuk menegakkan disiplin dan keadilan. Kita akan melaksanakan kewajiban kita, tidak perlu ada tekanan-tekanan dari negara atau NGO mana pun,” kata Presiden SBY. Presiden menegaskan, keberadaan prajurit TNI di Papua adalah sah dan untuk menjalankan tugas menjaga kedaulatan negara terkait gerakan separatism tetapi insiden tindak kekerasan, bukanlah bagian dari kebijakan negara.

Dalam memetahkan persolan di Papua, Peneliti Politik LIPI, Muridan Satrio Widjojo, menilai, Papua tetap berada dalam situasi konflik. LIPI secara khusus telah melakukan penelitian selama tiga tahun dengan isu-isu konflik dan resolusi konflik Papua. Salah satu aspek yang dilihat adalah pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). “Sandi Merah” atau peringatan bahaya terhadap Papua, menjadi tolok ukur perlunya penghapusan tindakan represif tentara maupun polisi terhadap masyarakat sipil. Jika tidak, warga tetap selalu menjadi korban. Tindakan represif bukan sebuah jalan untuk menuju perdamaian di Papua. (JUBI/Musa dan Timo Marten)

Komnas HAM Papua : Terdakwa Kasus Tingginambut Akan Jadi Pahlawan

JUBI — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua di Jayapura, memperediksi empat terdakwa yang terlibat dalam kasus video penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, akan naik pangkat dan jadi pahlawan setelah disidang dan menjalani hukuman. SUMBER

“Kami sudah prediksi mereka akan diberi hukuman yang ringan. Persindangan ini sama dengan sidang militer kasus pembunuhan tokoh Papua, Theys Hiyo Eluay. Kami tidak kaget dengan putusan ringan itu karena para terdakwa akan jadi pahlawan,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Papua di Jayapura, Matius Murib kepada JUBI, Rabu (10/11).

Menurut Murib, pelaku pembunuhan terhadap Almarhum Theys Eluay sejak itu diberi hukuman ringan. Seusai menajalani hukuman pangkatnya dinaikan.

Empat terdakwa yang melakukan penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Tingginambut juga akan mengalami hal yang sama yakni naik pangkat setelah menjalani hukuman.

Bagi dia, pihak TNI menilai kasus tersebut tidak melanggar Hak Asasi Manusia dan sama sekali tak ada hubungannya. “Mereka menilai masalah ini bukan kasus pelanggaran HAM tapi merupakan masalah internal TNI yakni tak menjalankan perintah yang diturunkan oleh pucuk pimpinan. Padahal jelas-jelas sudah melanggar HAM.”

Lanjut Murib, pihaknya tak bisa berbuat banyak karena wilayah tersebut bukan merupakan wilayah hukum Komnas HAM Papua. “Kita tidak bisa ngotot dan tuntut banyak karena bukan wilayah hukum kita.”

Dia mengatakan, pihak TNI menjatuhkan hukuman ringan karena mereka menilai Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka adalah kelompok pemberontak dan melawan negara. Kelompok tesebut yang dianiaya dan siksa sehingga dianggap sebagai hal yang biasa. “Bagi prospektif mereka hal ini wajar dilakukan karena mereka lawan Negara,” ujar Murib.

Oditur Militer III-19 Kodam XVII/Cenderawasih, Jayapura, Selasa (9/11) menutut terdakwa, Letnan dua (Letda) infantri Kosmos ditahan selama empat bulan penjara di potong masa tahanan. Sementara tiga terdakwa lainnya yakni Praka Syaiminan Lubis, Prada Joko Sulistiono, Prada Dwi Purwanto masing-masing dituntut tiga bulan penjara.

Terdakwa dituntut karena tampak dalam video mereka memukul dan menendang beberapa warga di Tingginambut, Puncak Jaya. Video penganiayaan dan kekerasan terhadap warga di Tingginambut, Papua beredar melalui situs You Tube. Tak hanya itu, video tersebut juga ditanyangkan di TV, Metro TV dan TV One. (Musa Abubar)

oleh Richson Aruman pada 11 November 2010 jam 14:28

Tersangkanya 1 Perwira, 4 Tamtama – Kasus Video Kekerasan Sudah di Odmil

JAYAPURA—Kasus keke­rasan dan penyiksaan terhadap warga Papua di Tinggi Nambut, Puncak Jaya oleh anggota TNI sebagaimana yang marak beredar di dunia maya (internet) kini pelakunya tidak bisa lagi ditutup-tupi. Apalagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah mengisyaratkan bahwa tersangkanya akan segera diadili. Terungkap, jika kasus ini melibatkan 5 ter­sangka. Kelima tersangka tersebut terdiri atas 1 perwira dan 4 tamtama TNI, dengan ini­sial Letda Css, Praka Shn, Pratu Ihk, Prada Js dan Prada Ok.

Kepala Penerangan Kodam (Kapendam) XVII/Cenderawasih Letkol Inf Susilo yang dihubungi Bintang Papua via telepon selularnya Selasa (02/11) mengatakan, meskipun hingga saat ini korban perlakuan kekerasan dan penyiksaan belum ditemukan, namun dari bukti video, kesaksian teman-teman tersangka dan pengakuan tersangka sudah dapat membawa kelima tersangka tersebut ke ranah hukum untuk diproses sesuai hukum yang berlaku. “Kelima tersangka tersebut saat ini telah tiba di Jayapura dan telah selesai diperiksa, serta telah melalui proses penyelidikan, kasusnya pun sudah dimasukkan ke Odmil (Oditur Militer), kini tinggal menunggu sidang dan pemberian sanksi hukum sesuai KUHPM (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer),” urainya.

Kapendam menjelaskan, penyelesaian kasus ini juga langsung ditangani oleh Mabes TNI di Jakarta, sehingga telah dibentuk tim khusus investigasi dari Pusat yang terdiri dari 10 orang.
“Penyelesaian dengan mengirimkan tim investigasi yang dilakukan oleh Panglima TNI ini bukan lantaran adanya tekanan dari pihak luar, namun respon langsung Panglima TNI,” tukasnya.
Sedangkan permasalahan mengenai peredaran video kekerasan tersebut, hingga saat ini pun pihak TNI belum dapat mengetahui siapa yang mengedarkan. “Yang jelas di sini ada campur tangan oknum yang tidak suka akan keberadaan TNI di Papua, sehingga memanfaatkan salah satu peristiwa seperti ini untuk memberikan kesan buruk di mata masyarakat,” pungkasnya.

Harus Disidangkan di Pengadilan HAM Sementara itu, KOMNAS HAM Perwakilan Papua menyarankan agar pengadilan lima anggota TNI yang terlibat video kekerasan dilakukan di Pengadilan HAM, karena sudah memenuhi unsur-unsur pelanggaran HAM dari kasus Puncak Jaya selama tujuh tahun ini.

“Ada unsur sistematis dan meluas dari operasi militer, ada korban jiwa, korban materiil dan terpaksa ada warga sipil yang mengungsi,” kata Wakil Ketua KIMNAS HAM Papua, Matius Murib SH kepada media via telepon, Selasa (2/11) kemarin.

Pertanggungjawaban bukan oleh lima orang secara person, katanya, tetapi harus ditingkat komando/institusi atau Negara, akar masalah Papua adalah soal Ideologi Papua Merdeka dan merampas kembali senjata.

Putusan pengadilan, sambungnya, harus memberikan rasa keadilan warga dan memberi efek jerah bagi aparat yang terus melakukan penyiksaan serta membunuh warga sipil di Papua selama ini.

“TNI harus bertindak professional dan rasional yang meyakinkan public, sikap menutup diri seperti ini tidak relevan di era demokrasi saat ini, Stop Kekerasan dan beri ruang bagi perdamaian sesuai prinsip-prinsip HAM yang berlaku,” tandasnya. (dee/hen)

Apa Kata Komnas Ham Papua, Tentang Pelantikan SBY-Boediono Hari ini

Mathius Murib
Mathius Murib

Hari ini Selasa (20/10), negara telah mengagendakan untuk pelantikan pasangan Presiden/Wakil Presiden terpilih, Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono. Pelantikan presiden dan wakil presiden terpilih ini, tentu saja mengundang banyak harapan masyarakat, tidak terkecuali dari Komnas HAM Kantor Pewakilan Papua. Seperti apa harapan mereka?

Oleh: Hendrik Hay

WAKIL Ketua Komnas HAM Kantor Perwakilan Papua Matius Murib SH, menanggapi soal rencana pelantikan SBY sebagai Presiden RI ke 7 yang bakal digelar Selasa (20/10) hari ini di Jakarta mengatakan, Komnas HAM dan para korban pelanggaran HAM di Papua masih menaruh harapan atas kepemimpinan SBY untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Papua.

“Kami berharap banyak untuk kepemimpinan yang baru SBY tidak mengulangi, meneruskan sikap malas tahu terhadap kasus pelanggaran HAM di Papua,” ungkapnya

kepada Bintang Papua Senin di ruang kerjanya, Senin (19/10), kemarin.

Dikatakan, dia (SBY-red) harus berani dan tegas serta sesuai nurani, sebagai presiden RI, harus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM Papua secara serius. Tidak banyak mungkin dua atau tiga kasus bisa didorong untuk memberikan kepastian akan kasus-kasus tersebut.

“Kalau memang SBY berani menyelesaikan kurang 3 kasus dari lima kasus pelanggaran HAM Papua, maka rakyat Papua bisa menarik napas lega, tapi selama itu belum ada kemauan politik untuk memperbaiki masalah pelanggaran HAM, maka SBY masih gagal,” tegasnya.

Dirinya menilai, dengan status Otonomi Khusus Papua, pemerintah bisa mencinptakan suasana yang lebih baik dan lebih serius, sehingga memberi rasa keadilan bagi warga negara Indonesia yang ada di provinsi tertimur Indonesia ini.

Harapan tersebut, kata Murib, dilatarbelakangi kepemimpinan SBY pada periode yan lalu belum memberikan perhatian terhadap permintaan, serta tuntutan warga negara di Tanah Papua untuk mendapatkan keadilan. “Karena setiap kali masyarakat menuntut hak-haknya, pemerintah masih terus menstigmatisasi mereka sebagai pembangkang, seperatis yang tidak perlu mendapatkan keadilan oleh negara. Hal ini membuat kesan di masyarakat Papua bahwa pemerintah sendiri berusaha melemahkan peran lembaga HAM di Papua,” jelasnya. “Jadi tidak mengherankan kalau Papua akan terus dikorbankan,” akunya.

Menyingung seberapa banyak kasus pelanggaran HAM Papua yang menjadi perhatian Murib mengatakan, banyak pelanggaran HAM yang terjadi akan tetapi yang dinilai sebagai pelanggaran HAM Berat oleh Komnas HAM adalah beberapa seperti kasus Wasior, Pembobolan Gedung Senjata di Wamena serta kasus Abepura.

“Tidak ada perhatian pemerintahan SBY walaupun Komnas HAM telah melakukan penyelidikan lengkap sesuai prosedur yang berlaku, serta mendorong kasus-kasus ini ke Mahakaman Agung, tetapi tidakberkas-berkas kasus selalu ditolak MA padahal penyelidikan sudah lengkap,”terangnya kesal.

Penolakan dengan alasan berkas kurang lengkap, tambahnya, akibat dari kesimpulan awal yang tidak berdasar terhadap orang Papua. “Banyak kasus pelanggaran HAM di Papua yang sengaja dipolitisir negara,” ungkapnya.

“Padahal kami sudah melakukan pemantauan dan penyelidikan, berkasnya sudah lengkap, ada data, ada bukti ada korban dan juga dugaan pelaku, itu sudah dirumuskan, sehingga pengadilan HAM bisa memutuskan perkara tiga kasus tersebut sebagai pelanggaran HAM berat,” harapnya.

Kasus pelanggaran HAM di Papua, lanjutnya, tidak pernah mendapat perhatian Negara, bahkan yang ada negara terkesan berupaya mengaburkan kasus-kasus ini.

“Kalau saja satu kasus bisa diperhatikan dan diputuskan secara adil, sesuai dengan Hak-Hak Asasi Manusia secara nasional maupun internasional yang sudah di ratifikasi oleh pemerintah Indonesia itu, kita anggap SBY berhasil,” pungkasnya.

Akan tetapi hingga saat ini belum ada kasus pelanggaran HAM yang terselesaikan secara baik dan memberikan rasa keadilan bagi korban, maka bagi para korban secara khusus dan rakyat Papua kempemimpinan SBY pada masa yang lalu belum berhasil. Indikatornya adalah tiga kasus besar yang secara resmi ditangani Komnas HAM

Sementara terkait dengan kasus pelanggaran HAM yang sempat didorong ke Pengadilan HAM di Makasar, Murib menjawab, memang kasus tersebut adalah kasus Abepura 7 Desember 2000 akan tetapi putusan pengadilan tersebut memang mengecewakan.“Tidak memberikan rasa keadilan bagi korban malah korban diistigmakan sebagai separatis dan OPM, sedangkan pelaku pemebunuhan bebas dari jeratan hukum,” ucapnya dengan nada kesal.***

Kasus HAM, Akibat Penegakan Hukum ‘KJ’

P. John Djonga Pr
P. John Djonga Pr

JAYAPURA—Masalah pelanggaran HAM khususnya di Papua disebabkan penegakan hukum tak jelas atau tak berjalan. Pasalnya, bila penegakan hukum berjalan dan para pelaku kekerasan dapat diadili dengan hukum yang berlaku maka hal ini akan membuat para pelaku akan jera untuk melakukan tindakan melawan hukum.

Hal ini disampaikan P. John Djonga Pr, seorang biarawan Katolik ketika dihubungi Bintang Papua di Jayapura, Jumat (29/10) kemarin. Menurutnya, pihaknya melihat konflik dan perbagai macam peristiwa dan kasus- kasus kekerasan, penyiksaan serta pelanggaran HAM di Papua ini juga berawal dari baik pemimpin TNI/Polri maupun pemimpin pemerintahan tak berpihak kepada keadilan.

“Semua peristiwa itu bisa terjadi juga karena selain ketidakadilan, ketidakseimbangan itu juga adalah persoalan persoalan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada masyarakat maupun aparatur pemerintahan maupun TNI/Polri,” tukas pemenang penghargaan Yap Thiem Hiem tahun 2009 di bidang perjuangan HAM.

Menurut dia, semua contoh kesalahan kesalahan baik yang dilakukan TNI/Polri maupun pemerintahan yang tak demokratis dan tak berpihak kepada masyarakat Papua apabila dibiarkan dan terjadi terus menerus, dan ketika terjadi terus menerus dan hukum tak jalan akibatnya masyarakat juga akan jalan dengan cara mereka sendiri sehingga perlu segera dilakukan reformasi hukum dan reformasi militer.

Artinya, kata dia, dengan beredarnya video kekerasan dan penyiksaan ini suatu tanda bahwa. Pertama, pelanggaran yang dilakukan TNI/Polri di Tanah Papua belum pernah jerah dan belum ada sanksi hukum yang tegas kepada para pelakunya. Kedua, dengan munculnya video kekerasan dan penyiksaan ini suatu tanda bahwa apapun dimana saja di Papua itu di tempat yang paling tersembunyi dapat terekam kasus kasus kekerasan.

“Jadi peristiwa di Tingginambut itu ada kekerasan seperti itu salah satu contoh kecil yang terjadi di Tanah Papua seperti ada banyak di tempat lain misalnya kekerasan sosial, ekonomi, budaya, moral, seks dan lain lain banyak terjadi pada masyarakat Papua,” katanya.

Sumber konflik dan lain sebagainya ketika rakyat menuntut hak haknya lalu pengamanannya dan penyelesainnya dengan mengirim TNI/Polri, menurutnya, ini tak sesuai dan tak benar artinya persoalan politik harus diselesaikan secara politik. Sebaliknya persolan ekonomi dan kejahteraan harus diselesaikan secara ekonomi dan lain lain.

Tapi yang terjadi kan tidak. Ini kan semuan jawaban persoalan di Papua ini dengan cara pendekatan keamanan militer. Padahal dimana pemimpin militer, panglima dan Presiden bahwa Papua sekarang ini cara pendekatan kesejahteraan dan pendekatan kemanusiaan dan bukan kekerasan dan penyiksaan terjadap warga sipil dan dilakukan dengan bangga oleh intitusi militer.
Dia mengatakan, pihaknya melihat kontrol dan komunikasi dari seorang pimpinan terhadap bawahannya sangat rendah dan buruk karena itu mungkin juga dari komandan ke komandan hanya mendapat laporan laporan yang bagus dari bawahannya. Hal ini adalah suaty pelajaran bagi TNI/Polri bahwa laporan laporan yang bagus dari komandan lapangan dari Kodim dari Batalyon dari Dan Yon yang ada di lapangan lapangan jangan percaya 100%.

Menurut dia, laporan laporan ternyata penuh dengan tipu muslihat. Penipuan terhadap komandan sehingga orang orang seperti itu harus segera diambil tindakan tegas karena telah mencoreng institusi TNI/Polri, yang berngkutan telah melakukan pelanggaran HAM dan penyiksaan.
“Dari komandan Kotis lapor ke Dandim. Dari dari Dandim lapor ke Korem. Dari Korem lapor ke Kodam. Dari Kodam lapor ke Pangdam. Dari Pangdam lapor ke Panglima ternyata ini beredar kekerasan yang dilakukan oleh militer,” ujarnya.

“Ini kan sungguh sungguh memalukan kita dan saya hanya mau katakan kepada semua pihak bahwa peristiwa apapun yang terjadi di pedalaman Tanah Papua ini ternyata tak ada lagi yang tersembunyi bisa direkam oleh semua warga dan ini menurut saya suatu hal yang harus diperhatikan pihak militer,” ungkapnya. (mdc)

Presiden Diminta Bertanggung Jawab

Aktifis HAM Papua Sebby Sabom cs saat menggelar jumpa pers, kemarin.Jayapura
Aktifis HAM Papua Sebby Sabom cs saat menggelar jumpa pers, kemarin.Jayapura

Dokumentasi penyiksaan oleh TNI yang terungkap lewat media baik elektronik maupun cetak serta sejumlah pelanggaran HAM yang menurut Aktifis HAM Papua Sebby Sabom dan sejumlah rekannya, harus dipertanggungjawabkan di depan public, khususnya masyarakat Papua.

“Jangan disembunyikan, karena akan menjadikan masyarakat, terutama yang terkait langsung dengan proses pelanggaran HAM yang terjadi terus bertanya-tanya,’’ ungkapnya saat menggelar jumpa pers di Sekretariat DPC PMKRI Abepura Jumat (29/10).

Sebby Sabom yang didampingi Ketua Solidaritas Peduli Demokrasi dan HAM Rakyat Papua (SDHRP) Usama  Usman Yogoby, Ketua PMKRI Jayapura Simon Petrus Baru dan Ketua DPC Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tengah Papua Thobias Bagubau mengatakan bahwa keterbukaan harus dilakukan dalam pengungkapan setiap pelanggaran HAM, khususnya di Papua.

“Keterbukaan yang kami inginkan adalah pemerintah harus mengakui adanya pelanggaran HAM oleh aparatnya, yaitu TNI dan Polri di Papua,” tegasnya.

Pertanggungjawaban pemerintah, menurutnya juga dalam bentuk penarikan pasukan non organic yang ada di Tinginambut serta daerah-daerah lainnya yang selama ini sering terjadi tindak kekerasan terhadap masyarakat. “Karena masyarakat sudah trauma dengan TNI dan Polri. Jangankan mengadu, melihat saja sudah ketakutan,” lanjutnya.

Selain pengakuan tersebut, juga keterbukaan dalam proses hukum terhadap pelaku pelanggaran HAM yang telah terjadi sejak Papua bergabung ke NKRI. “Yang melakukan pelanggaran di lapangan harus diadili secara terbuka di depan masyarakat,’’ lanjutnya.

Pelangaran HAM yang terus saja terjadi, seperti di Tingginambut (Puncak Jaya) dan Degebo (Paniai) yang terus dipantaunya, jika terus terjadi justru menjadi amunisi pihak pemerhati HAM Papua tersebut untuk menggiring pada Komisi HAM PBB. (aj/don)

Komnas HAM: Puncak Jaya Harus Steril

Mathius Murib
Mathius Murib

JAYAPURA—Guna kepentingan investigas dalam mengungkap kasus kekerasan dan penyiksaan terhadap rakyat sipil sebagaimana dalam rekaman video yang belakangan ini ramai dipublikasikan di dunia maya, Komnas HAM Pusat mendesak dan memberi batas waktu November mendatang, agar pasukan TNI/Polri ditarik mundur dari wilayah Tingginambut, Puncak Jaya.

“Jadi kita minta Panglima TNI/Polri, Kapolri, Pangdam serta Kapolda untuk menarik mundur seluruh pasukan, termasuk intelejen. Jadi bikin daerah itu steril betul dari penguasaan aparat TNI/Polri. Setelah mereka ditarik keluar baru nanti Tim Investigasi Komnas HAM akan masuk pada November. Tapi syaratnya adalah koordinasi dan semua pihak harus setuju termasuk TNI/Polri untuk memberikan kesempatan bagi Komnas HAM melakukan investigasi,” kata Wakil Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua Mathius Murib yang dihubungi disela sela aksi unjukrasa di Halaman Gedung DPRP, Kamis (28/10) kemarin.

Menurut dia, sejak video beredar pihaknya telah meresponsnya baru dalam tahap membentuk tim dan sedang melakukan koordinasi internal di Jakarta maupun di Jayapura.

Dia mengatakan, Wakil Ketua Komnas HAM Pusat dan Tim berjumlah 6 orang baru pulang dari Jayapura dan telah berkoordinasi dan membentuk tim dan langkah langkah berikutnya yakni koordinasi dengan TNI/Polri.

“Kalau mereka sepakat kita minta mereka untuk beberapa waktu menarik pasukan dari wiayah Tingginambut. Kami pasti akan turun, tapi kami tak akan turun sebelum TNI/Polri ditarik keluar dari wilayah Puncak Jaya,” jelasnya. “Kalau memberikan kesempatan bagi Komnas HAM permintaan yang kedua TNI/Polri kosongkan wilayah Tingginambut. Kalau TNI/Polri masih ada baru Komnas lakukan investigasi itu tak mungkin.”

Apabila TNI/Polri masih berada di wilayah Tingginambut apa langkah langkah yang diambil Komnas HAM, menurut dia, sejauh ini pihaknya berharap petinggi TNI/Polri akan mendukung Komnas HAM. Jadi kami percaya TNI/Polri mau memberi ruang bagi Komnas HAM dengan cara menarik mundur pasukan mereka. Tim Komnas HAM akan turun November mendatang.

“Saat ini koordinasi di tingkat Provinsi dan Jakarta telah dilakukan. Intinya berkoordinasi dengan petinggi TNI/Polri. Kalau mereka sepakat untuk memberi ruang kepada Komnas HAM berarti syarat kedua mereka harus menarik pasukan dulu sementara,” tuturnya. (mdc)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny