Rakyat Papua Barat Tolak Tim Investigasi

Rakyat Papua Barat yang tergabung dalam Komite Nasional Papua Barat (KNPB) beserta elemen masyarakat lainnya saat demo di DPRP, Kamis (28/10) kemarin. Mereka menuntut TNI/Polri segera menghentikan kekerasan di wilayah Puncak Jaya.JAYAPURA—Rakyat Papua Barat  yang terdiri dari  Komite Nasional Papua Barat (KNPB) beserta seluruh elemen masyarakat lainnya menolak dengan tegas opsi yang disampaikan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda untuk membentuk tim investigasi   guna mengumpulkan fakta atau bukti terkait kekerasan dan penyiksaan  yang dialami rakyat sipil  di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua.

“Kami  tegas menolak  tim investigasi  sepihak yang dibentuk  oleh TNI/Polri, DPRP, pemerintah pusat maupun   Komnas HAM. Tapi kami minta TNI/Polri maupun pemerintah membuka akses internasional  bagi tim investigasi independen dari pihak pihak internasional  untuk datang  ke Puncak Jaya  dan Jakarta jangan menutup  akses ke Papua,” ujar Ketua Umum KNPB Buchtar Tabuni  yang disampaikan melalui Juru Bicara KNPB  Mako Tabuni di hadapan Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda dan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai beserta anggota DPRP antara lain Yulius Miagoni SH, Nasson Uti, Achmad Saleh, Ignasius Mimin, John Banua Rouw, Ny Yani, Kenius Kogoya ketika  berlangsung demo,  Kamis (28/10) kemarin.

Selanjutnya dia mengatakan, Pertama,  Kami segenap   rakyat Papua Barat mengutuk  keras pelaku penyiksaan rakyat sipil di Puncak Jaya. Kedua, Pangdam dan Panglima TNI bertanggung jawab atas penyiksaan warga sipil di Puncak Jaya.  Ketiga, Kami menolak dengan tegas investigasi sepihak oleh TNI/Polri. Keempat, harus buka akses internasional  bagi Tim Investigasi Independen. Keenam, tarik militer dan Puncak Jaya. Keenam,  Hentikan pendekatan militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai.

Sebagaimana disaksikan Bintang Papua,  ribuan massa  dari KNPB dan elemen masyarakat  lainnya  Kamis (28/10) pukul 09.00 WIT berkumpul   masing masing di Sentani, Mata Jalan Pos 7, Waena—Expo, Depan Kantor Pos Abe, Yapis, Depan Kampus STIE Yapis menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat  bergerak dan bergabung bersama massa  lainnya  yang telah berkumpul di Taman Imbi.

Selanjutnya  massa  menuju Halaman Gedung DPRP, Jayapura  dikawal  aparat keamanan dari Polresta Jayapura serta Brimob Polda Papua.

Saat tiba di  Halaman Gedung DPRP, Jayapura massa membentangkan sejumlah spanduk,  yang antara lain bertuliskan Kasus Puncak Jaya Murni Didalangi TNI/Polri, Stop Kekerasan di Papua Barat Segera Ambil Solusi Lewat Referendum, Rakyat Papua  Secara Tegas  Mendesak Pemerintah Indonesia  Membuka Diri, Akses Tim Investigasi Internasional  ke Papua, Tarik Pasukan Militer Non Organik di Puncak Jaya dan Papua Barat Secara Menyeluruh. PBB (UNTEA), Amerika Serikat, Belanda dan Indonesia Bertanggungjawab Atas Genocide d Tanah Papua.
Aksi unjukrasa tersebut sempat  ricuh gara- gara seorang pengunjukrasa serta  merta memaksa Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai yang tengah memegang  mike  menyampaikan orasi politik. Melihat gelagat yang tak terpuji tersebut aparat keamanan menyerukan masuk ke tengah massa. Akhirnya massa pun berterik agar aparat segera meninggalkan kerumunan tersebut.

Buchtar Tabuni menyampaikan,  sejak  dulu sampai sekarang,  pihak yang terus menyiksa, meneror, mencuri dan membunuh orang Papua adalah TNI/Polri.  Bahkan Sejak wilayah  Papua Barat dikuasai sepihak atas kepentingan Indonesia dan Amerika Serikat, nilai kemanusiaan orang Papua dianggap dan diperlakukan seperti binatang.

Alhasil,lanjutnya, video penyiksaan di Puncak Jaya adalah contoh nyata  prilaku TNI/Polri yang bertugas di Papua Barat. Masih  banyak kasus  kasus serupa  yang menyedihkan di seluruh pelosok Papua Barat yang tak pernah terekam. Dan akhirnya kami orang Papua harus menyadari bahwa Republik Indonesia  dan antek kapitalisnya Amerika  Serikat sedang memusnakan kami orang Papua demi napsu kekuasaan dan kekayaan alam di Papua.  “Kasus penyiksaan di Puncak Jaya baik yang terekam  maupun yang belum terekam adalah murni perbuatan militer Indonesia,” kata Buchtar Tabuni yang kini tengah menjalani proses hukum di LP Abepura lantaran dituduh melakukan makar.

Dikatakan, dari dulu rakyat Papua Barat berjuang untuk sebuah kebenaran sejarah bahwa  Pepera 1969 penuh dengan manipulasi. Itulah akar masalahnya. Kenapa Republik Indonesia terus menutupi  akar masalah ini untuk  menyiksa dan membunuh orang Papua Barat dengan stigma separatis dan teroris? Dengan tegas kami katakan bahwa menyiksa, menangkap dan membunuh tak akan  pernah menyelesaikan persoalan di Papua, dan justru akan mencederai  wajah Indonesia di Internasional. Cara cara yang berdamai dan paling demokrasi  adalah referendum bukan menyiksa dan membunuh orang Papua.

Sejak operasi militer di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, tambahnya, ratusan orang terus disiksa dan dibunuh oleh TNI/Polri, rumah, kebun dan ternak mereka dibakar. Ribuan yang lain mengungsi di hutan dan mati kelaparan.PihakTNI/Polri terus  menyangkal perbuatan mereka, padahal dalam rekaman video penyiksaan terlihat jelas TNI/Polri  menyiksa dan memperlakukan  rakyat  sipil di Puncak Jaya seperti binatang. 15 Septeber 2010, Brimob kembali menembak mati 3 warga di Manokwari, tapi pelakunya nhanya dihukum 14 hari. 4 Oktober 2010, polisi tembak mati ismail Lokobal (Koordinator Petapa). Pelaku TNI/Polri tak pernah dihukum.

“Kami orang Papua terus diberlakukan seperti binatang diatas tanah air kami sendiri , dan cepat atau lambat kami akan punah. Oleh karena itu rakyat Papua harus melawan penindasan dengan menuntut Indonesia  hentikan aksi militer dan segera gelar referendum sebagai solusi damai,” tukasnya. (mdc/don)

Gillard Diminta Tekan Indonesia

Salah satu cuplikan adegan penyiksaan terhadap seorang warga Papua yang diduga terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM)
Salah satu cuplikan adegan penyiksaan terhadap seorang warga Papua yang diduga terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM)
SYDNEY, KOMPAS.com – Human Rights Watch (HRW), Jumat (29/10), mendesak Perdana Menteri Australia, Julia Gillard, menekan Indonesia agar melakukan penyidikan lengkap terkait penyiksaan oleh TNI terhadap warga Papua saat dia berkunjung ke Jakarta minggu depan.

“Gillard harus menuntut agar kasus-kasus baru-baru ini tentang penyiksaan oleh pasukan keamanan Indonesia diselidiki secara kredibel, tidak disapu ke bawah karpet,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York itu.

Desakan itu muncul setelah sebuah video yang menunjukkan dua orang Papua ditendang dan disiksa muncul di internet. Gambar video itu memicu kemarahan internasional. Tentara Nasional Indonesia (TNI) kemudian mengakui anggota terlibat dalam penyiksaan tersebut dan menyebut perilaku mereka “tidak profesional”.

Agustus lalu, para petugas polisi dari Detasemen Khusus (Densus) 88 juga diduga telah menyiksa sekelompok aktivis gerakan separatis Republik Maluku Selatan (RMS) di Provinsi Maluku.

Canberra memberikan jutaan dollar Australia bagi pendanaan Densus 88, unit kontra-teroris yang lahir setelah peristiwa bom Bali 2002 yang menewaskan banyak warga Australia.

Gillard akan bertemu Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta pekan depan dalam perjalanan regional pertamanya sejak menjadi perdana menteri.

Australia menyediakan bantuan kepada Indonesia, tetangga terdekat, untuk berbagai kebijakan kontra-terorisme melalui pelatihan pasukan militer Indonesia. Baru-baru ini, pasukan khusus Australia mengadakan latihan anti-teror dengan rekan-rekan Indonesia mereka di Bali.

Kompas.com, Egidius Patnistik | Jumat, 29 Oktober 2010 | 12:39 WIB

Mahasiswa Tuntut Menkopolhukan Telusuri Video Kekerasan di Puncak Jaya

Mahasiswa Pendemo
Mahasiswa Pendemo

JUBI — Mahasiswa Papua di Jakarta, Selasa (26/10) menggelar unjuk rasa menuntut Menko Polhukam menelusuri video kekerasan yang diduga dilakukan oleh Tentara terhadap warga di Tingginambut, Puncak Jaya, Papua.

Mahasiswa juga meminta Menkopolhukam menangani sejumlah kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. “Aksi ini kami lakukan dengan tujuan meminta kepada Menkopolhukam agar menelusuri kasus pelanggaran yang berulang kali terjadi di Papua, khususnya di Tingginambut,” ujar Melianus Sol, aktivis Papua kepada JUBI, Selasa.

Pendemo berorasi didua tempat yakni di Bundaran HI dan Monas di Jakarta Pusat. Masa mencapai kurang lebih 800 orang. “Hampir sebagian besar mahasiswa Papua yang kuliah di Jakarta semua turun jalan,” ungkapnya.

Video penyiksaan tentara yang dipublikasikan sebuah lembaga yang menamakan dirinya Asian Human Rights Commission diklaim terjadi pada Oktober 2010 di kawasan Tingginambut, Puncak Jaya, Papua.

Selama 22 jam, video yang menggambarkan kekerasan itu beredar di situs YouTube, Senin (18/10) kemarin. (Musa Abubar)

SEORANG ANGGOTA TNI MENABRAK MOTOR DAN MENGANIAYA RAKYAT SIPIL MENGAKIBATKAN 4 ORANG LUKA-LUKA

.*) JAYAPURA – 5 warga papua barat kembali menjadi korban dari aparat penegak hukum. Kejadian berawal saat Ibu Marsita bersama Elmis Matuan dari arah kampung yoka kearah jalan pertigaan yoka – abe – sentani menggunakan motor. Sebelum masuk ke pangkalan ojek tepat dekat kios kecil yang ada dipinggir jalan kiri dari arah kampung yoka tiba-tiba dari arah yang sama menghantam ban belakang dari Bapa Elmis Matuan dan ibu Marsita, akibatnya Ibu Marsita yang sedang hamil 3 (tiga) bulan inipun terlempar sejauh 2 Meter dan tak sadarkan diri kemudian Elmis Matuan jatuh tidak terlalu jauh dari tempat dimana motor mereka jatuh dan pelakunya tidak kena apa-apa . Namun sang pelaku yang adalah seorang Anggota TNI dari den – ZIPUR 10 Waena ini begitu bangun dan berdir dari tempat dia jatuh ia berusaha melarikan diri sehingga salah seorang pemuda bernama Ano Wetipo yang kebetulan berada di TKP berusaha mengejarnya lebih duluan diikuti oleh dua orang temannya,yaitu Yonanis Pahabol (28) dan Edi Segenyap (29) .

Setelah melewati pagar depan Zipur Ano melihat pelaku menuju Pos penjagaan dan ia pun menuju kesana dengan maksud menyuruh pelaku agar membawa korban kecelakaan tadi ke RS terdekat agar mendapat perawatan medis dengan cepat, namun sang pelaku dan teman-teman tentaranya yang berjumlah 8 (delapan) orang bukannya mengakui akan kesalahan rekan mereka, malah mereka balik menyerang dan menganiaya Anton. Dan kedua teman Anton yang mengikutinya dari belakang Yonanis dan Edi Sekenyap melihat teman mereka mendapat penganiayaan (menggunakan ujung pistol) mereka pun ke sana untuk memberitahukan kepada para tentara –tentara itu bahwa Anton tidak salah,sedang berkata:”Tolong Pa orang yang salah bukan dia!!”,Namun lagi-lagi kedelapan orang itu pun balik menyerang Yonanis dan Edi. Kemudian jam 11:00 WPB ketiga korban ini dilarikan ke RS Abe untuk mendapat perawatan medis.

Dari penganiayaan para anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) ini mengakibatkan korban luka berat ketiga orang tersebut diatas,masing-masing menderita luka sobek dibagian kepala dan tangan. Yonanis Pahabol mendapat 6 (enam) jahitan dikepala,edi segenyap 8 (delapan) jahitan dikepala bagian tengah dan 4 (empat) jahitan lagi dikepala bagian belakang (hampir mengenai otak kecil),dan Anton Wetipo tulang kecil tangan kiri patah.

Kemudian korban kecelakaan ibu Marsita Matuan yang hamil 3 (tiga) bulan kondisi kritis dan belum sadarkan diri sampai jam 01:00 WPB,kemudian Elmis matuan hanya luka goresan dikaki kiri.

Setelah kejadian diatas jam 10:45 WPB para keluarga korban mendatangi POS Penjagaan Zipur untuk memastikan siapa pelakunya tanpa membawa benda-benda tajam, namun niat baik keluarga korban ini dibalas dengan bunyi senjata, dimana para anggota TNI begitu melihat keluarga korban datang menuju kompleks mereka, mereka mengeluarka TEMBAKAN peringatan SEBANYAK 16 KALI diakhiri dengan SATU TEMBAKAN terakhir ,dan 3 (tiga) orang didodong dengan senjata kemudian dipukul memakai ujung senjata, akibatnya salah seorang yang bernama Tommi Meage yang mendapat tendang dari sepatu laras tentara da besi dibagian tulang rusuk dan tangan mengalami bergeseran tulang kecil ditangan kanan.
Sementara itu pada saat para korban ini mendapat perawatan medis di RS Abepura tidak ada satupun para pelaku yang ke RS.

Kini masalah ini sendiri sudah ditangani oleh pihak berwajib untuk proses selanjutnya.

Mudah-mudahan pelakunya dihukum sesuai dengan berbuatannya atau diampuni atas berbuatannya oleh atasannya???

Aparat keamanan yang seharusnya menjadi teladan positif terhadap rakyat dengan tindakan yang positif, namun kenyataannya menjadi contoh yang negatif.

Katanya… Bapa dorang tuu…

—> Pengayom rakyat
—> Pelayan rakyat,dan
—> Pemersatu rakyat

Truss………??? Seorang Pelindung mana berlindunganmu….Pelayan mana pelayananmu……pemersatu kapan ko mempersatukan??.

*) Laporan langsung dari Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk diketahui dunia.
Foto – foto korban penganiayaan aparat ini bisa dilihat juga di : Sumber : http://jamaica-rastuna.tk/

Buntut Video Penyiksaan TNI Djoko Bantah Operasi Militer di Papua

Salah satu cuplikan adegan penyiksaan terhadap seorang warga Papua yang diduga terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).
Salah satu cuplikan adegan penyiksaan terhadap seorang warga Papua yang diduga terlibat dalam Organisasi Papua Merdeka (OPM).
JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto membantah bahwa pemerintah telah melakukan operasi militer diam-diam di Papua sejak tahun 2004, seperti yang disampaikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

“Tidak benar seolah negara masih lakukan operasi militer,” kata Djoko kepada para wartawan di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (22/10/2010).

Didampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono, Djoko mengakui kebenaran video kekerasan berjudul “Indonesia Military Ill-Treat and Torture Indigenous Papuans” yang ditayangkan YouTube sejak Sabtu lalu.

Ditekankan Djoko, pemerintah menekankan pendekatan kebijakan ekonomi dan kesejahteraan rakyat dalam mengelola Papua dan Nanggroe Aceh Darussalam. Ke depan, Djoko mengatakan, perlu pembekalan kepada para prajurit TNI soal tugas mereka di Papua.

“Perlu ditekankan, fokusnya adalah bagaimana keberadaan mereka di sana dapat memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar, bukan malah menimbulkan rasa antipati masyarakat terhadap TNI. Jadi, TNI bisa membangun desa, menjadi guru, membangun kampung,” kata Djoko.

Ketua Komnas HAM Ifhdal Kasim mengatakan, peristiwa penyiksaan yang termuat dalam video tersebut bukan terjadi satu atau dua kali. Berdasarkan catatan Komnas HAM, pada 2010, ada 11 kasus kekerasan di Puncak Jaya. “Memang ada pelanggaran hak asasi manusia di sana semenjak penambahan pasukan tersebut, yaitu penyiksaan, pembunuhan, penangkapan, dan pengusiran secara paksa,” katanya.

Kompas.com, Hindra Liu | Glori K. Wadrianto | Jumat, 22 Oktober 2010 | 12:48 WIB

Video Kekerasan Papua Ramai di Media Asing

Kamis, 21 Oktober 2010, 11:08 WIB
Ita Lismawati F. Malau

Video penyiksaan warga Papua Barat (Asian Human Rights Commission)
VIVAnews – Video kekerasan sekelompok berpakaian loreng hijau terhadap korban yang diduga warga Papua Barat mulai bergaung di dunia internasional.  Sejumlah lembaga hak asasi manusia (HAM) pun mendesak pemerintah Indonesia untuk menginvestigasi kebenaran dari video itu.

Salah satunya adalah Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York, Amerika Serikat. “Siapapun yang terlibat dalam kekerasan ini harus dibawa ke jalur hukum. Publik perlu melihat bahwa keadilan dijalankan,” kata Wakil Direktur HRW untuk kawasan Asia, Phil Robertson, dalam situs lembaga independen ini, 20 Oktober 2010.

Seperti diberitakan sebelumnya, sebuah video berdurasi sekitar 10 menit beredar di dunia internet dengan judul,”Indonesian military ill-treat and torture indigenous Papuans.” Dalam video, tampak sekelompok pria berbaju mirip tentara memukuli kepala korban dengan helm tentara dan menendang bertubi-tubi. Bersenjata lengkap, pelaku kekerasan diduga tengah melakukan interogasi kepada korban soal gerakan separatis di Papua.

Sumber lokal menyebutkan gambar video diambil di Distrik Tingginambut, Puncak Jaya, Papua Barat. Dari data di video, kemungkinan pengambilan gambar dilakukan 30 Mei 2010 sekitar pukul 13.30 waktu setempat.

Salah satu korban yang berbicara dialek Lani, diketahui bernama Kiwo, dilucuti hingga ke bagian pakaian dalam. Interogator lalu meminta data soal senjata milik kelompok-kelompok separatis. Kiwo mengaku tidak tahu apa-apa tentang senjata karena dia hanya penduduk biasa di Tingginambut.  Setelah beberapa menit interogasi, para pelaku kekerasan membakar kemaluan Kiwo.

HRW mendesak negara-negara donor seperti Amerika Serikat, Australia, dan Inggris memberikan bantuan kepada penegak hukum agar mampu menekan pemerintah Indonesia dalam melakukan penyelidikan yang kredibel. Dengan demikian, semua pelaku dapat diseret ke meja hijau.

Menurut Robertson, kepastian hukum dalam kasus ini menjadi ujian dan kunci, tak hanya untuk Indonesia, tapi juga negara pemberi bantuan militer. “Kredibilitas pemerintah, militer, dan mereka yang memberikan bantuan militer, semua dipertaruhkan.”

Sementara situs CNN mengutip pernyataan Donna Guest, Wakil Direktur  Amnesty International untuk Asia Pasifik. “Kasus ini adalah pengingat terbaru bahwa penyiksaan dan perlakuan buruk di Indonesia sering tak tersentuh hukum dan pelaku bisa bebas dari jeratan hukum,” kata dia.

CNN pun menurunkan pernyataan dari juru bicara militer Indonesia, Aslizar Tanjung yang mengatakan bahwa pihaknya harus membuktikan keaslian video ini, termasuk lokasi, waktu, dan aktivitas yang terekam dalam video.

“Prajurit Indonesia mendapat pendidikan standar operasi sehingga mereka diwajibkan sadar, bertanggung jawab, dan mereka pun diberikan pengetahuan soal HAM. Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di lapangan,” kata Aslizar.

Dia berjanji akan segera mengusut video tersebut sehingga ada klarifikasi yang jelas mengenai apa sebenarnya yang terjadi. “sejauh ini, baru tuduhan dan kami harus buktikan keasliannya.”

Laman asal Inggris, Guardian pun dengan rinci menjelaskan kekerasan yang terdapat dalam video ini. Lebih lanjut Guardian menulis bahwa video ini diambil menggunakan telepon genggam salah satu interogator.

• VIVAnews
Lihat Videonya di sini

Video Penyiksaan Papua Hanya Potret Kecil

VIVAnews – Tersebarnya video kekerasan terhadap warga sipil Papua yang dilakukan orang berseragam loreng merupakan bagian kecil dari kekerasan yang terjadi di Puncak Jaya sejak 2004.

Laporan Hasil Pemantauan Komnas HAM Perwakilan Papua di Puncak Jaya menunjukkan bahwa setidaknya ada 29 kasus kekerasan dengan 19 korban meninggal dunia, 22 luka-luka (sembilan di antaranya luka parah), dan empat orang disandera. Kasus ini terjadi pada 2004 hingga 2010.

Kasus kekerasan di Papua mencuat sejak video penyiksaan beredar luas di Youtube pada 17 Oktober lalu. Sebelum video ini beredar, Komnas HAM menyatakan sudah menerima berbagai laporan kekerasan yang terjadi di Papua khususnya di Puncak Jaya.

Dalam rilisnya, Komnas HAM menuliskan telah terjadi penyiksaan terhadap Pendeta Kindeman Gire dan Pitinius Kagoya pada 17 Maret 2010. Catatan lain, ada 13 orang dalam satu Honai (rumah adat Papua) mengalami penyiksaan.

Terjadi juga tindak pemerkosaan oleh oknum aparat pada 23 Maret 2010, yang diikuti aksi pengejaran. Kasus ini membuat masyarakat sipil harus mengungsi ke tengah hutan.

Komisioner Komnas HAM, Yoseph Adi Prasetyo, berpendapat, jika mereka yang berbaju loreng itu oknum TNI, ini membuktikan bahwa reformasi TNI yang selama ini didengung-dengungkan belum tuntas.

Jalan kekerasan yang biasa dipakai pada masa orde baru seolah masih menjadi cara ampuh untuk mendapat ‘pengakuan’. “Reformasi kultural masih bermasalah sampai hari ini,” ujarnya.

Oleh karenanya, Komnas HAM meminta Panglima TNI segera melakukan investigasi dan klarifikasi atas peristiwa tersebut. Panglima TNI juga perlu mengumumkan hasilnya secara terbuka kepada publik.

Terhadap persoalan yang terjadi di Puncak Jaya, Komnas HAM akan melakukan investigasi dan mendorong mediasi antara pemerintah pusat dan perwakilan masyarakat Puncak Jaya. Yosep menyatakan, “Kami akan melakukan investigasi di beberapa tempat, ada lima tempat yaitu di Jayapura, Timika, Wamena, Biak dan Puncak Jaya.”

Namun, hingga hari ini, tim investigasi Komnas HAM dari Jakarta masih menunggu pendanaan untuk dapat turun ke lapangan. Dana yang dibutuhkan untuk melakukan investigasi lebih lanjut tidak sedikit, dengan waktu minimal 10 hari, tergantung temuan dilapangan. Karenanya, penyelidikan sementara masih terus dilakukan oleh Komnas HAM perwakilan Papua.

Laporan: Fina Dwi Yurhami
http://www.vivanews.com
http://nasional.vivanews.com/news/read/184053-video-penyiksaan-papua-hanya-potret-kecil
Dipublikasikan : Rabu, 20 Oktober 2010, 22:50 WIB
©VIVAnews.com

Beredar Rekaman Penyiksaan TNI di Papua

JAKARTA [PAPOS] — Sebuah video yang diduga sebagai propaganda berdurasi 4 menit 47 detik yang beredar sejak Sabtu (16/10) lalu di situs YouTube itu menggambarkan penganiayaan yang dilakukan oleh militer atas sejumlah warga Papua, yang dituduh terlibat Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Hey kau bajingan, kami menjalankan perintah negara,” kata salah satu serdadu berseragam TNI sambil menendang kepala salah satu warga yang terduduk di rumput. Begitulah adegan awal dalam video yang dilansir sebuah lembaga bernama Asian Human Rights Commission.

Video yang kental berbau propaganda untuk menjatuhkan TNI dan juga Pemerintah Indonesia dalam penanganan masalah separatisme di Papua tersebut diklaim terjadi pada bulan Oktober 2010 di kawasan Tingginambut, Puncak Jaya.

Tendangan dan pukulan helm baja ke arah kepala beberapa warga dalam video itu ternyata hanya bagian kecil dari kekejian yang terekam dalam video tersebut. Sebab, pada bagian selanjutnya terekam penyiksaan yang lebih parah.

Ia terus ditanya tentang tempat penyimpanan senjata milik OPM oleh orang-orang berpakaian preman.

Hasil tayangan video ini menunjukkan, setelah pria tersebut menjawab dengan menyebutkan lokasi penyimpanan senjata ada di sebuah kandang babi, salah satu interogator berteriak: “Bohong, bohong.”

Puncaknya, interogator lain menganiaya pria Papua itu dengan menggunakan sebatang kayu yang diambil dari kobaran api dan masih mengepulkan asap. Pria ini lantas mengerang kesakitan, terlebih tindakan itu dilakukan berulang kali.

Lembaga Asian Human Rights Commission yang melansir video ini terlihat mengarahkan hasil rekaman tersebut untuk mempropagandakan kekejaman Indonesia dalam penanganan Papua. Dalam salah satu bagian video tersebut, mereka menuliskan, “Indonesia ratified the United Nations Convention Against Torture in 1998, but has still not stopped using torture”. Berita soal penganiayaan TNI ini telah dimuat—setidaknya—oleh salah satu surat kabar di Australia, Sydney Morning Herald. Namun, hingga berita ini diturunkan, belum ada klarifikasi dan komentar terkait penyebaran video kekerasan tersebut yang disampaikan pihak pemerintahan Indonesia ataupun TNI.

Perlu Ditelusuri

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal (Purn) Tyasno Sudarto, mengatakan, beredarnya video penganiayaan terhadap seorang warga Papua yang diduga dilakukan oleh oknum TNI harus segera ditelusuri.

“Saya belum tahu ada pelanggaran HAM atau tidak. Permasalahan ini harus segera ditelusuri,” katanya kepada Antara di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, tidak ada doktrin agar anggota TNI menyiksa dan menyengsarakan rakyat, karena kekuatan TNI itu berada pada bersatunya dengan rakyat.

“Kalau anggota TNI menyiksa rakyat, maka tidak benar dan tidak boleh. TNI harus melindungi rakyat dan kalau TNI tidak melindungi rakyat, ini berarti salah,” katanya.

Ia mengaku tidak tahu permasalahan antara oknum TNI dan warga Papua yang dipukul itu. Namun demikian Mabes TNI harus segera menelusuri permasalahan itu.

“Ini pasti ada sebabnya hingga oknum TNI melakukan pemukulan kepada warga Papua. Kalau oknum TNI melakukan kesalahan, maka harus meminta maaf dan harus segera klarifikasi,” tuturnya.

Sebelumnya, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menginstruksikan semua jajarannya untuk memeriksa kebenaran video rekaman penyiksaan warga Papua yang diduga anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM) oleh oknum-oknum yang diduga anggota TNI.

“Saya baru menerima laporannya juga. Jadi sedang kita perintahkan untuk mengecek kebenarannya,” kata Agus, yang mengaku belum melihat rekaman tersebut.

Namun, jika terbukti benar, maka akan menghormati proses hukum yang berlaku untuk menindak para oknum TNI yang terlibat. [ant/kcm/agi]

Written by Ant/Kcm/Agi/Papos
Wednesday, 20 October 2010 10:30

Lihat Video di CNN.com

Kasus HAM Jadi Alasan Pro ‘M’ Tuntut Referendum

Ketua Umum Yayasan Independent Group Supporting the Spacial Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya Nicholas S Messet didampingi Ketua BMP Kota Jayapura Nico Mauri serta Bendahara Umum BMP RI di Tanah Papua Her Bonay di Café Dona, Jalan Pasific Permai, Ruko Dok II, Jayapura, Kamis (7/10) kemarinJAYAPURA—Kongres Amerika Serikat (AS) yang digelar di Washington DC Amerika Serikat (AS) 22 September 2010 lalu, antara lain menggelar dengar pendapat (hearing) untuk meninjau kembali keterlibatan TNI dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.

Hal ini disampaikan Ketua Umum Yayasan Independent Group Supporting the Spacial Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya Nicholas S Messet didampingi Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih (BMP) RI di Tanah Papua Ramses Wally, Bendahara Umum DPP BMP RI di Tanah Papua Hemskerkey Bonay serta Ketua BMP Kota Jayapura Nico Mauri serta di Café Dona, Jalan Pasific Permai, Ruko Dok II, Jayapura, Kamis (7/10) kemarin.

Sekedar diketahui Kongres AS ini juga dihadiri Ketua Umum Independent Group Supporting the Special Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya Nicholas S Messet serta delegasi Ormas dan gerakan Papua merdeka, antara lain Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yoboisembut.

Menurutnya, ada beberapa pihak yang mewakili ormas dan gerakan Papua merdeka (Pro M) dalam berbagai bentuk yang diundang menghadiri hearing itu. Selain menyampaikan informasi tentang pelanggaran HAM di Papua, juga menggunakan alasan kasus pelanggaran HAM di Papua untuk menuntut referendum di Papua melalui dukungan Kongres AS dan pemerintahan Amerika Serikat. Pasalnya, lewat referendum itu masyarakat Papua dapat diberikan kesempatan menentukan nasib sendiri dengan tujuan Papua merdeka di luar dari NKRI.

“Saya dan Pak Messet menyampaikan dan mengakui bahwa benar di Papua pernah terjadi pelanggaran HAM, bukan satu kali atau dua kali banyak kali terjadi pelanggaran HAM, serta apa sanksi Kongres Amerika Serikat atau dunia internasional bisa menuntut dan mengenakan pelbagai kasus pelanggaran HAM di Papua kepada TNI,” tukasnya.

Dia mengatakan, pihaknya juga menyampaikan pasca bergulirnya reformasi dan demokratisasi di seluruh Tanah Air di akhir tahun 1990-an atau diawal tahun 2000-an banyak pembenahan atau perbaikan yang telah terjadi. Pemerintah Indonesia sekarang ini menyadari nilai nilai kemanusiaan, hak demokrasi masyarakat sehingga diterapkan kebijakan kebijakan yang layak untuk didukung. “Perbaikan perbaikan itu terus diperjuangkan dan diterapkan lewat kebijakan- kebijakan pemerintah Indonesia agar nilai nilai kemanusiaan dapat terwujud diseluruh Indonesia termasuk di Papua,” katanya.

Pilihan yang mungkin tepat untuk Papua adalah sebagai daerah otonom dalam bingkai NKRI dimana orang Papua bisa mendapat kesempatan untuk mengangkat hak haknya dan menikmati pembangunan serta dapat meraih nilai nilai kesejahteraan bagi rakyat Papua.

Ditanya apakah hearing untuk membahas Papua merdeka, menurutnya, hearing tak bertujuan untuk membebaskan Papua dari NKRI. Tapi tujuan hearing adalah untuk menengok atau mengunjungi kondisi HAM di Papua yang sering terjadi isu internasional sampai ke Amerika Serikat.
“Isu pelanggaran HAM di Papua seperti halnya seperti di Maluku, Poso, Aceh dan Timor Leste itu sesuatu hal yang sangat memprihatinkan kami semua tahu dan membagi bagi keprihatinan tentang kondisi HAM diseluruh Indonesia termasuk di Papua,” katanya.

Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum IGSSARPRI Nicholas S Messet menandaskan, Kongres Amerika ini sebetulnya disediakan bagi tokoh tokoh yang pro merdeka, tapi pihaknya menyampaikan kepada Ketua Panitia Kongres AS Eni Faleomavaega agar mengundang juga tokoh- tokoh integrasi Papua ke NKRI. Alasannya, apabila hanya tokoh tokoh pro merdeka seperti Octovianus Mote dan lain, maka mereka hanya bicara Papua merdeka.

Dia mengatakan, pihaknya menawarkan agar tokoh tokoh integrasi Papua juga dapat dihadirkan dalam Kongres AS agar jalan tengah mana yang dapat diambil dan tak perlu menyesatkan bangsa Papua, karena hearing tak membicarakan Papua merdeka. Kongres maupun pemerintahan Amerika Serikat tak mendukung adanya negara republik Papua Barat. Kongres maupun pemerintahan Amerika Serikat menghargai integrasi Papua ke NKRI. “Apabila ada orang yang bilang bahwa Kongres dan pemerintah Amerika Serikat mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat jangan omong kosong, jangan membuat kita sendiri setengah mati dan mati banyak dibunuh TNI karena ditipu oleh kita punya orang sendiri,” tuturnya.

“Saya baru dapat email dari Herman Wanggai yang menyampaikan 1 November—1 Desember 2010 akan ada puasa berdoa agar ada Washington Solution. Washington Solution apa? Apa yang dibicarakan di Washington tak ada lain hanya bicara pelanggaran HAM serta Otsus mesti diterapkan dengan baik di Papua.”

Saat Kongres AS ia ditanya soal penerapan Otsus di Papua, dia menjelaskan, penerapan Otsus di Papau agak tersendat sendat karena ini barang baru dan Jakarta harus jujur kepada Papua untuk menjalankan Otsus dengan baik agar 15 tahun mendatang jangan ekor dipegang kepala dikasih. Tapi kalau benar benar jujur harus diberikan seluruhnya dan rakyat Papua mengaturnya sendiri.

Dia mengatakan, sejak rezim Soeharto lenger saat itu muncul reformasi, demokratisasi maka rakyat Papua mulai merasa bahwa ia mempunyai hak dan harga diri. Saat Kongres AS tahun 2000 ia minta untuk merdeka. Tapi dari hasil Kongres AS itu pemerintah Indonesia akhirnya memberikan Otsus bagi bangsa Papua. “NKRI dan merdeka harga mati. Dua duanya tak bisa mati manusia Papua mau hidup terus. Tong dua boleh mati tapi manusia Papua mau hidup. Itu yang kita perlu supaya manusia Papua itu harga dirinya dijaga dan dihormati maka diberikan Otsus. Dan Otsus ini berjalan tersendat sendat karena baru saja dibuat di Aceh dan Papua, “ tandasnya. “Suatu hal yang baru kita mesti trial and error coba coba dulu. Tapi cukup lama sembilan tahun diharapkan tahun depan dapat berjalan agar 15 tahun kedepan rakyat Papua bisa aman, sejahtera dan damai,” ujarnya pria yang 39 tinggal di Swedia ini. (mdc)

Kasus HAM Jadi Alasan Pro ‘M’ Tuntut Referendum

Nicholas S Messet: Pemerintahan Amerika   Menghargai  Integrasi Papua ke NKRI

Ketua Umum Yayasan Independent Group Supporting the Spacial Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya Nicholas S Messet didampingi Ketua BMP Kota Jayapura Nico Mauri serta Bendahara Umum BMP RI di Tanah Papua Her Bonay di Café Dona, Jalan Pasific Permai, Ruko Dok II, Jayapura, Kamis (7/10) kemarinJAYAPURA—Kongres Amerika Serikat (AS)  yang  digelar di Washington DC Amerika Serikat (AS) 22 September 2010  lalu,  antara lain menggelar  dengar pendapat  (hearing)  untuk meninjau kembali  keterlibatan TNI dalam berbagai kasus pelanggaran HAM di Papua.    Hal ini disampaikan  Ketua Umum Yayasan Independent Group Supporting  the  Spacial Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya  Nicholas S Messet didampingi  Ketua Umum DPP Barisan Merah Putih (BMP) RI di Tanah Papua Ramses Wally,  Bendahara Umum DPP BMP RI di Tanah Papua Hemskerkey   Bonay serta Ketua BMP Kota Jayapura Nico Mauri serta  di Café Dona, Jalan Pasific  Permai, Ruko Dok II, Jayapura, Kamis (7/10) kemarin.

Sekedar diketahui Kongres AS ini juga dihadiri Ketua Umum  Independent Group Supporting  the  Special Autonomous Region of Papua Within the Republic of Indonesia (IGSSARPRI) Franzalbert Joku dan Wakilnya  Nicholas S Messet serta  delegasi Ormas  dan gerakan Papua merdeka, antara lain  Ketua Dewan Adat Papua  (DAP) Forkorus Yoboisembut.

Menurutnya,  ada beberapa pihak  yang mewakili ormas  dan gerakan Papua merdeka (Pro M) dalam berbagai bentuk  yang diundang menghadiri   hearing itu.  Selain menyampaikan informasi tentang pelanggaran HAM di Papua,  juga menggunakan alasan kasus pelanggaran HAM di Papua  untuk menuntut referendum di Papua  melalui  dukungan Kongres AS dan pemerintahan Amerika Serikat. Pasalnya,  lewat referendum itu masyarakat Papua dapat  diberikan  kesempatan menentukan nasib sendiri dengan tujuan Papua merdeka di luar dari NKRI.  “Saya dan Pak Messet  menyampaikan dan mengakui  bahwa benar di Papua  pernah terjadi pelanggaran HAM, bukan satu kali atau dua kali banyak kali terjadi pelanggaran HAM,  serta  apa sanksi Kongres Amerika Serikat atau dunia internasional  bisa menuntut dan mengenakan pelbagai kasus pelanggaran HAM di Papua kepada TNI,” tukasnya.

Dia mengatakan, pihaknya  juga menyampaikan pasca  bergulirnya reformasi dan demokratisasi di seluruh  Tanah Air  di akhir tahun 1990-an atau diawal tahun 2000-an banyak pembenahan atau perbaikan yang telah terjadi. Pemerintah Indonesia sekarang ini menyadari nilai nilai kemanusiaan, hak demokrasi masyarakat sehingga diterapkan kebijakan kebijakan  yang  layak untuk didukung. “Perbaikan perbaikan itu terus  diperjuangkan dan diterapkan lewat kebijakan- kebijakan pemerintah Indonesia agar nilai nilai kemanusiaan  dapat terwujud diseluruh Indonesia termasuk di Papua,” katanya.

Pilihan yang mungkin tepat untuk  Papua adalah sebagai daerah otonom dalam bingkai NKRI dimana  orang Papua bisa mendapat kesempatan untuk mengangkat hak haknya dan menikmati pembangunan serta dapat meraih nilai nilai kesejahteraan bagi rakyat Papua.           

Ditanya apakah hearing untuk membahas Papua merdeka, menurutnya, hearing  tak bertujuan untuk membebaskan Papua dari NKRI. Tapi tujuan hearing adalah untuk menengok  atau mengunjungi kondisi HAM di Papua yang sering terjadi isu internasional sampai ke Amerika Serikat.

“Isu pelanggaran HAM di Papua seperti halnya seperti di Maluku, Poso, Aceh dan Timor Leste itu sesuatu hal yang sangat memprihatinkan kami semua tahu dan membagi bagi keprihatinan tentang kondisi HAM diseluruh Indonesia termasuk di Papua,” katanya.  

Senada dengan itu, Wakil Ketua Umum   IGSSARPRI Nicholas S Messet menandaskan,  Kongres Amerika ini sebetulnya  disediakan bagi  tokoh tokoh  yang pro merdeka, tapi pihaknya menyampaikan kepada Ketua Panitia  Kongres  AS  Eni Faleomavaega agar mengundang juga tokoh- tokoh integrasi Papua ke NKRI. Alasannya, apabila hanya tokoh tokoh pro merdeka seperti  Octovianus Mote dan lain, maka mereka hanya bicara Papua  merdeka.

Dia mengatakan, pihaknya  menawarkan agar  tokoh tokoh  integrasi Papua juga dapat  dihadirkan dalam Kongres AS  agar jalan tengah mana yang dapat diambil  dan tak perlu menyesatkan bangsa Papua, karena hearing tak membicarakan   Papua merdeka. Kongres maupun pemerintahan Amerika Serikat tak mendukung adanya negara republik  Papua Barat. Kongres maupun pemerintahan Amerika Serikat menghargai  integrasi Papua ke NKRI. “Apabila ada orang yang bilang bahwa Kongres dan pemerintah Amerika Serikat mendukung kemerdekaan bagi bangsa Papua Barat jangan omong  kosong,  jangan membuat kita sendiri setengah mati dan mati banyak dibunuh TNI karena ditipu oleh kita punya orang sendiri,” tuturnya.

“Saya baru dapat email dari Herman Wanggai yang menyampaikan 1 November—1 Desember 2010 akan ada puasa berdoa agar ada Washington Solution. Washington Solution apa? Apa yang dibicarakan di Washington tak ada lain hanya  bicara pelanggaran HAM serta Otsus mesti diterapkan dengan baik di Papua.” 

Saat Kongres AS ia ditanya soal penerapan Otsus di Papua, dia menjelaskan, penerapan Otsus di Papau agak tersendat sendat karena ini barang baru dan Jakarta harus jujur kepada Papua untuk menjalankan Otsus dengan baik agar 15 tahun mendatang  jangan ekor dipegang kepala dikasih. Tapi kalau benar benar jujur harus diberikan seluruhnya dan rakyat Papua mengaturnya sendiri.           

Dia mengatakan, sejak rezim Soeharto lenger saat itu muncul reformasi, demokratisasi maka rakyat  Papua mulai merasa bahwa ia mempunyai  hak dan harga diri. Saat Kongres  AS  tahun 2000 ia minta untuk merdeka. Tapi  dari hasil  Kongres  AS  itu pemerintah Indonesia akhirnya memberikan Otsus bagi bangsa Papua. “NKRI dan merdeka harga mati. Dua duanya tak bisa mati manusia Papua mau hidup terus. Tong dua boleh mati tapi manusia Papua mau hidup. Itu yang kita perlu supaya manusia Papua itu harga dirinya dijaga dan dihormati maka diberikan Otsus. Dan Otsus ini berjalan tersendat sendat karena baru saja dibuat di Aceh dan Papua, “ tandasnya. “Suatu hal yang baru  kita mesti trial and error coba coba dulu. Tapi cukup lama sembilan tahun diharapkan tahun depan dapat berjalan agar 15 tahun kedepan rakyat Papua bisa aman, sejahtera dan damai,” ujarnya  pria yang 39 tinggal di Swedia ini. (mdc)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny