Insiden Wamena dan Manokwari, Perlu Intervensi PBB

Forkorus bersama pasukan Petapa berseragam uniform yang merupakan seragam yang diduga sebagai penyebab kericuan di Wamena 3 hari laluSENTANI—Ke­tua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut S.Pd menegaskan, kasus penembakan di Wamena yang menewaskan 1 anggota Penajaga Tanah Papua (Petapa) yakni Ismail Lokobal, dan juga yang sebelumnya di Manokwari harus mendapat intervensi dunia internasional.

Bahkan atas nama Ketua Dewan Adat Papua Forkorus mengutuk keras 2 aksi penembakan tersebut. Menurut Forkorus, apa yang dikeluhkan kepada dunia saat ini terkait crime against humanity terhadap rakyat Papua benar-benar memang sedang terjadi, dan contoh kecil dua penembakan tersebut adalah bukti yang mengarah kepada slow motion genocide.

Karena menurut Forkorus hukum Negara Indonesia tidak akan mungkin mengungkapkan kasus penembakan tersebut karena buktinya Opinus Tabuni yang ditembak di depan mata kepala Forkorus beberapa waktu lalu saja tidak pernah terungkap sampai hari ini. Padahal dirinya sudah berulang kali memberikan kesaksian di Polda Papua, dan hal ini menjadi indicator bahwa hukum Indonesia tidak berpihak kepada rakyat Papua.

Oleh karena itu, Forkorus meminta secara tegas agar Amerika mengintervensi kasus penembakan tersebut. Forkorus mengaku sudah meminta perhatian kedutaan besar Amerika Serikat di Jakarta pasca penembakan tersebut, untuk secara serius mengintervensi kasus ini.

“Mana anda bilang tidak ada geniside, ini bukti, Serui, Manokwari dan Wamena 3 kasus beruntun yang terjadi secara berturut-turut belakangan ini,”

ujar Forkorus yang me­ngaku menyampaikan hal tersebut dihadapan Kedube AS untuk Indonesia.

Menyoal tentang modus penembakan tersebut yang berawal dari disitanya pakain uniform milik pasukan Petapa oleh Polisi saat tiba di bandara Wamena Forkorus menegaskan itu sebenanrnya merupakan kebebasan bangsa pribumi yang disahkan oleh PBB 13 September 2007 tetantang Deklarasi hak-hak bangsa pribumi jadi menurut Forkorus Indonesi jangan lagi main-main dengan hasil putusan deklarasi tersebut.

“Kami bebas menentukan nasib sendiri berdasarkan hak itu, bebas untuk berpolitik, berekonomi dan berbudaya, dan tidak boleh ada yang melarang, sebab jika dilarang itu sama halnya dengan telah melanggar hukum internasional,” ujarnya.

Menurutnya, tindakan Polisi itu sudah berlebihan, karena Indonesia merupakan salah satu anggota PBB yang harus mematuhi hukum internasional. Oleh sebab itu secara tegas lagi Forkorus mengatakan, harus ada intervensi PBB, karena hal ini merupakan perilaku dan system yang sudah tidak bisa dirubah, sejak 49 tahun yang lalu. (jim)

Obama Diminta Perhatikan Nasib Suku-suku di Papua

Barrack Obama

JAKARTA–Presiden Amerika Serikat (AS), Barrack Obama, diminta untuk memperhatikan kasus pelanggaran HAM oleh PT Freeport di Papua. Hal ini dinyatakan Kuasa Hukum Suku Amungme, Jhonson Panjaitan, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (8/3).

Menurut Jhonson, kedatangan Presiden Barrack Obama akhir Maret ini harus dimanfaatkan pemerintah untuk membicarakan masalah ini. Jangan sampai justru kedatangan ini malah jadi ajang penandatanganan kesepakatan baru dengan PT Freeport yang semakin menyudutkan suku asli di Papua.

“Dia (Obama) kan terkenal sebagai pembela hak-hak suku minoritas. Jadi semestinya juga ia bisa membela kepentingan suku-suku di Papua,” ujar Jhonson.

Jhonson berpendapat, tak mungkin kedatangan Obama hanya sekadar jalan-jalan. Karena itu, pemerintah juga semestinya memanfaatkan kedatangan Obama untuk melakukan deal-deal politik terkait kesejahteraan suku-suku yang terkena imbas pertambangan oleh PT Freeport di Papua. “Dia kan tidak datang ke sini untuk melihat-lihat patung di bekas sekolahannya, ” cetusnya.

Apalagi, kata Jhonson, PT Freeport sudah menyumbang begitu besar bagi perekonomian AS. Semestinya, ada perbaikan signifikan terkait hubungan PT Freeport dengan suku-suku yang tinggal di sekitar areal pertambangan.

Jhonson datang ke PN Jakarta Selatan untuk mendampingi Suku Amungme mengajukan gugatan terhadap PT Freeport. Mereka menggugat perampasan lahan ulayat secara paksa oleh PT Freeport dan Pemerintah Indonesia, 1969 silam.

Sumber :http://komunitas-papua.net/

Pengadilan HAM Harus Dibentuk di Papua

JAYAPURA [PAPOS]- Kasus pelanggaran HAM di Papua dari dulu sampai sekarang tidak jelas dan banyak pelaku kasus pelanggaran HAM Papua tidak terungkap, sehingga dibutuhkan adanya Pengadilan HAN di Papua.

Hal itu dikatakana Ketua Esekutif Nasional Front Penjuangan Papua Barat, Selvius Bobi kepada Papua Pos ketika ditemui di Kantor Depateman Hukum dan HAM Papua, Kamis(18/2) lalu.

Menurutnya, selama ini banyak kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Papua tidak pernah terungkap dan masyarakat yang menjadi korban kekerasan hanya bisa menangis menahan kesakitan yang dideritanya.

Agar hal itu tidak terjadi maka harus ada Pengadilan HAM di Papua yang merupakan kebutuhan utama dalam menangani masalah pelanggaran HAM di Papua.

Genocide Politik Yang Berencana Dan Sistematis

Oleh : Junaidi Beuransah

Mencermati perkembangan Aceh akhir-akhir ini mulai terasa mencekam. Situasi dan kondisi Aceh menjelang pemilu 9 April mendatang semakin mencemaskan bagi rakyat Nanggroe Aceh Darussalam(NAD). Suasana tegang jelas terlihat dari berbagai aksi kekerasan (kriminalitas) dan usaha-usaha kelompok misterius yang menjurus ke “subversiv” untuk mendobrak perdamaian/MoU dan upaya menggagalkan pemilu yang melibatkan partai politik lokal di Aceh. Jaringan Group/kelompok misterius tersebut sampai saat ini masih berlebel “OTK”.

Ketenangan dan kedamaian yang selama ini berlangsung di Aceh mulai terusik disebabkan tangan-tangan profokator maupun teror-teror yang kini sudah menjalar diseluruh nagad raya Aceh. Para teroris yang anti damai dan anti demokrasi di Aceh gemar menaburkan benih-benih ketakutan sehingga menimbulkan kegoncangan suasana kondusif yang sekarang dirasakan oleh masyarakat Aceh. Karena itu sulit diprediksi adanya sebuah jaminan keselamatan terhadap kondisi riil kedamaian Aceh untuk saat ini. Dan, ketegangan-ketegangan yang terjadi diberbagai daerah terindikasi sebagai wujud adanya kelompok/pihak terselubung yang melakukan operasi penyiraman bensin dan rencana pembakaran kembali Aceh.

Suhu politik Aceh bertambah buruk sehubungan gencarnya intimidasi, teror, sweeping, penyiksaan, penyerangan massal, pembakaran kantor partai politik, pelemparan bahan peledak dan pembunuhan bersenjata layaknya dimasa konflik dulu. Kondisi ini menyebabkan rakyat Aceh cemas dan khawatir Aceh akan kembali digiring kelembah peperangan disaat Aceh sedang membalut suasana damai.

Perkembangan Aceh merosot tajam selama sebulan terakhir ini pasca penembakan empat personel KPA/PA di tiga lokasi berbeda di Aceh. Gelombang panas kembali memuncak setelah Gubernur Irwandi Yusuf melaporkan para milisi melakukan sweeping dan menangkap anggota PA di Bener Meriah, Aceh Tengah, Kamis(12/2) yang lalu. Informasi mendadak itu disampaikan Gubernur Irwandi dihadapan forum pertemuan khusus dengan Tim Menko Polhukam di aula serba guna Kantor Gubernur Aceh dan serta-merta menjadikan forum pertemuan itu senyap dan terpukul dengan informasi dimaksud.

Masih berkaitan dengan informasi tadi, KPA-PA baru-baru ini menggelar konferensi pers di Sekretariat Komite Peralihan Aceh(KPA) di Banda Aceh untuk memberikan klarifikasi seputar insiden di Bener Meriah yang mengakibatkan anggota/kader PA menjadi korban kekerasan dan penganiayaan dari tim gabungan sweeping. Namun dalam kesempatan jumpa pers itu KPA-PA turut menghadirkan para saksi dan mereka(korban)-pun secara terbuka membeberkan kronologis peristiwa pahit yang menimpa mereka.

Berita kontroversi yang menggegerkan tersebut, sebelumnya pernah dilansir harian Serambi edisi Sabtu(14/2) bahwa insiden penjaringan mantan anggota GAM itu hanya sebuah rekayasa yang dilakukan oleh pihak polisi. Namun kejadian sebenarnya telah diluruskan oleh para saksi(korban) bahwa semua itu dilakukan oleh kesatuan TNI. (lengkapnya, baca; Pengurus PA Hadirkan Korban Kekerasan Di Bener Meriah, Serambi, 15/2).

Belum lama berselang dari tindakan kriminal berbaju politik di Aceh Tengah, agenda kekerasan dan ketegangan politik Aceh diperuncing lagi dengan peristiwa gerombolan bersebo yang menyerang pasar Indrapuri, Aceh Besar(Sabtu/15/2). Penyerangan membabibuta bersenjata tajam itu mengakibatkan masyarakat ketakutan dan mendapat tekanan psykis serta menghancurkan rasa kedamaian Aceh yang sedang terbina.

Insiden brutal Indrapuri sama persis dengan drama pembacokan warga masyarakat dipasar Bireuen hampir dua tahun yang lalu dan ini merupakan foto copy masa konflikt yang terjangkit kembali. Komplotan yang umumnya berpostur tubuh tegap itu langsung melakukan aksinya dengan membacok masyarakat yang sedang berada dipasar tanpa sebab dan kesalahan apapun. Namun masyarakat di pasar Indrapuri sepertinya mendeteksi aksi para gerombolan kriminal tersebut. Ini merupakan model peristiwa kriminal dari serangkain kejadian yang telah terjadi di Aceh yang penuh muatan politis.

Bumi Aceh sekarang kembali berdarah. Korban pembunuhan sia-sia terus berjatuhan dimana-mana. Mereka yang menjadi korban peluru “OTK” umumnya mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka(GAM) yang sudah membaur kemasyarakat dan kini berlindung dalam wadah politik Komite Peralihan Aceh dan Partai Aceh. Mereka(anggota KPA/PA) tumbang satu demi satu disaat Aceh sedang damai setelah proses penyelesaian politik Aceh-Jakarta dimeja Helsinki Agustus 2005 lalu.

Kenapa mereka(KPA/PA) selalu menjadi sasaran penembakan sniper? Tentu jawaban tepat dan logik adalah persoalan politik masa lalu dan sekarang. Mereka terus diburu karena dianggap lawan politik paling berbahaya. Sepertinya ini sebuah usaha rapi untuk melumpuhkan lawan. Dengan kata lain, adanya operasi kelompok terselubung untuk “Pemusnahan(Genosida) terhadap calon-calon politisi Partai Lokal Yang sangat Berencana dan Sistematis”.

Eks gerilyawan GAM secara bertubi-tubi menerima ancaman dan tindakan kekerasan terhadap mereka yang dilakukan oleh pihak tertentu yang disinyalir sangat terorganisir ini. Seperti penegasan oleh juru bicara KPA, Ibrahim KBS; “Kami sudah tidak sanggup lagi mengalami perlakuan tidak adil dari aparat negara, hampir setiap hari ada saja anggota kami yang mendapatkan perlakuan kasar, anggota kami dibunuh, kantor kami dibakar, dilempar granat dan lainnya,”. “Dulu saat konflik kami terbunuh, saat damai juga dibunuh, kalau mati saat berperang, wajarlah, tapi ini mati saat sedang damai dan kami tidak memegang senjata,” ungkap Ibrahim yang mengaku telah lelah menghadapi persoalan ini, (Waspada/13/2).

Akibat dampak dari rangkaian pembunuhan yang selama ini terjadi, maka sangat dikhawatirkan terhadap keberlangsungan proses demokrasi Aceh dalam pemilu bulan dekan. “Dampaknya adalah ini telah mencederai pertama apa yang kita harapkan yaitu perdamaian. Ini telah mencederai semangat perdamaian di Aceh. Yang kedua, ini juga telah mencederai proses penegakan hukum di Aceh, bahwa telah menunjukan hukum tidak mampu menyelamatkan warga negara. Sehingga orang bisa mati begitu saja, sehingga upaya-upaya teror bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja”,(Radio Nederland Weredomroep/16/2).

Ikrar politik GAM-RI di Helsinki merupakan sebuah kewujudan bersama untuk menghentikan peperangan di Aceh. Tidak ada lagi darah yang mengalir di bumi Aceh. Hilang rasa dendam dan sebutan-sebutan negativ terhadap bekas GAM. Kita masih terekam diingatan tentang hal-hal penting yang terdapat dalam kesepakatan bersama MoU Helsinki dalam teks pidato “Wali Nanggroe” Teungku Hasan Muhammad Ditiro ketika pulang ke Aceh bahwa;

Pertama: Mantan pejuang Aceh tidak ada lagi dipanggil dengan sebutan “sparatis”, karena t elah mengikat diri dengan kesepakatan yang telah di tanda-tangani oleh pihak seperti termaktup di dalam MoU Helsinki. Kini rakyat Aceh sudah mulai merasakan hidup aman dan tenang serta tidak lagi merasa takut terhadap berbagai tindakan kekerasan seperti y ang terjadi di masa konflik yang baru berakhir sekitar tiga tahun yang lalu.

Kedua: Aceh telah lama dilupakan dunia, akan tetapi dengan gempa dan tsunami serta adanya MoU Helsinki, Aceh telah menjadi perhatian dunia internasional untuk dapat dibantu secara langsung terhadap kepentingan rakyat Aceh dari segala kehancuran dan ketinggalan di semua bidang.

Ketiga: Aceh akan mendapatkan kebebasan dalam bentuk hak-hak sipil, politik dan mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya sebagaimana tercantum di dalam K onvenan Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa, di mana proses tersebut, dijalankan melalui proses demokrasi, adil dan bermartabat. Sebagai imbalan, Pemerintah Pusat mempunyai hak-hak tersendiri yang telah diatur di dalam MoU Helsinki tersebut.

Perjanjian politik antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Indonesia di Helsinki, 15 Agustus 2005, merupakan rahmat besar yang sekarang dirasakan seluruh masyarakat Aceh karena kedamaian dan kenyamanan secara menyeluruh telah tercipta di bumi Aceh. Memorandum of Understanding(MoU) turut memberikan konstribusi sangat berharga terhadap proses awal tegaknya demokrasi di Indonesia. Dan tidak hanya itu, Indonesia juga telah membawa keharuman bangsa dimata Internasional dengan sebab penyelesaian Aceh lewat meja diplomatik.

Kiranya semua pihak diharapkan menjaga dan memelihara perdamaian Aceh dan bukannya berusaha menghancurkan. Proses perdamaian yang cukup alot dan sulit diperoleh ini perlu diselamatkan oleh semua komponen bangsa. MoU yang dihasilkan di Helsinki adalah dasar pijakan hukum bagi terciptanya kebebasan dan kedamaian yang berkelanjutan bagi semua pihak.

*Penulis adalah aktifis World Acehnese Association ( WAA ) sekarang menetap di Denmark*

Kamis 19 Februari 2009

Fjerritslev, Denmark
Tarmizi Age/Mukarram
*World Acehnese Association* *( WAA )*
* *Ban sigom donja *keu Aceh* *!*
**
*Sekretariat:*
Molleparken 20,9690 Fjerritslev,Denmark,
Mobile:0045 24897172
mukarramwaa@yahoo.com
http://www.waa-aceh.org

Kontras Kukuh Sebut Muchdi Pembunuh Munir

Jakarta (ANTARA News) – Koordinator Kontras Usman Hamid tidak akan mencabut pernyatannya bahwa mantan Deputi V Badan Intelijen Negara (BIN) Muchdi Pr adalah pembunuh aktivis kemanusiaan Munir, meski Muchdi mengadukannya kepada Polri dengan alasan pencemaran nama baik.

“Saya akui bahwa saya pernah menyatakan Muchdi sebagai pembunuh Munir, dan saya yakin sampai sekarang Muchdi memang pembunuh Munir,” tandasnya di Jakarta, Jumat.

Usman menegaskan, pembunuhan Munir adalah konsprasi yang melibatkan banyak instansi dan orang dan Muchdi Pr adalah salah seorang yang terlibat.

“Saya tegaskan, saya tidak akan mencabut pernyataan sebelumnya tentang motif dia membunuh karena dipaksa mundur, sampai hari ini saya yakin Muchdi dibebastugaskan sebagai Danjen Kopassus karena kasus penculikan aktivis dimana dia terlibat,” tandas Usman lagi.

Ia mempersilakan Muchdi mengadukkanya ke polisi. “Silakan saja karena saya kira hukum harus diletakkan pada tempatnya dimana pembunuh Munir harus ditemukan dan saya harap masyarakat tidak terkecoh dengan permainan persespi mereka.”

Sementara itu, istri Munir Suciwati mengatakan pengaduan pihak Muchdi Pr atas dirinya merupakan upaya pengalihan agar kasus Munir terlupakan.

“Itu hanya pengalihan isu. Saya sih tak peduli. Dulu Usman dan Rachland (aktivis Kontras) juga dulu dilaporkan Hendropriyono (mantan Kepala BIN) namun tak terbukti,” ucapnya ringan.

Suciwati menegaskan, akan tetap fokus mencari kebenaran dalam kasus pembunuhan suaminya.

Kuasa hukum Muchdi Pr Luthfie Hakim telah mengadukan Koordinator Kontras Usman Hamid dan Suciwati kepada polisi karena dianggap menyebarkan kebohongan publik dengan selalu menuding Muchdi Pr sebagai pembunuh Munir. (*)

COPYRIGHT © 2009 ANTARA

Dorongan Kasasi Muchdi Pr Dituding Sebagai Pelanggaran HAM

Jakarta (ANTARA News) – Tim Advokat Muchdi Pr mendatangi Komnas HAM di Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Kamis, untuk mengadukan bahwa dorongan berbagai pihak yang ingin melakukan kasasi terhadap Muchdi Pr merupakan sebuah bentuk pelanggaran HAM.

Tim Advokat Muchdi Pr, yang terdiri antara lain dari Mahendradatta, Wirawan Adnan, dan Lutfi Hakim, mendatangi Komnas HAM sekitar pukul 13.30 WIB dan diterima oleh Wakil Ketua Komnas HAM MB Ridha Saleh dan Komisioner Subkomisi Penyelidikan Nurcholis.

Menurut Lutfi Hakim, kedatangan mereka ke Komnas HAM untuk mengklarifikasi pernyataan sejumlah pihak antara lain dari Komnas HAM yang mendorong agar dilakukan kasasi terhadap Muchdi Pr yang divonis bebas dalam kasus pembunuhan aktivitas HAM Munir.

Lutfi juga berharap agar Komnas HAM sebagai lembaga publik dapat memberikan pendapat yang lebih objektif.

Sementara itu, Mahendradatta mengatakan, apabila Kejaksaan Agung benar-benar melakukan kasasi maka hal itu merupakan pelanggaran HAM terhadap Muchdi Pr.

Hal itu, ujar dia, karena dalam Pasal 244 KUHAP secara jelas dinyatakan bahwa tidak ada kasasi untuk putusan bebas dari pengadilan negeri.

“Di dalam pasal tersebut juga tidak ada kata-kata atau istilah bebas murni atau bebas tidak murni,” katanya.

Wirawan Adnan mengatakan, bila Kejaksaan Agung mengajukan kasasi maka pihaknya akan mengadukan Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM.

Di pihak Komnas HAM, Ridha Saleh mengatakan, pihaknya akan mengeksaminasi secara menyeluruh hasil putusan bebas terhadap terdakwa Muchdi Pr dengan memperhatikan aspek HAM semua pihak termasuk terdakwa.

Keputusan dari Komnas HAM, ujar dia, akan dilakukan secara kolektif melalui rapat pleno yang dihadiri para komisioner lembaga tersebut.

Sedangkan Nurcholish menuturkan, pihaknya juga menerima salinan dari putusan dan berkas perkara serta rekaman visual dari jalannya persidangan yang diserahkan oleh Tim Advokat Muchdi Pr. (*)

COPYRIGHT © 2009 ANTARA

Pemimpin Unjuk Rasa Makar Ditangkap Polisi

Liputan6.com, Jayapura: Buchtar Tabuni bersama 19 rekannya ditangkap polisi saat menuju Gedung DPRD Papua, Senin (20/10) siang. Mereka ditangkap karena tak melapor ke polisi akan berunjuk rasa ke Gedung Dewan. Tabuni dan rekan-rekannya lalu dibawa ke Markas Kepolisian Daerah Papua.

Kamis silam, Tabuni juga menggelar unjuk rasa serupa. Lantaran dianggap mendukung upaya makar terhadap pemerintah Indonesia, Tabuni dipanggil polisi. Tapi, dia menolak. Kini, tampaknya polisi tak perlu lagi memanggil pemimpin unjuk rasa yang mendukung pembentukan Kaukus Papua itu [baca: Massa Pendukung Kaukus Papua Makin Aktif].

Guna mengantisipai aksi unjuk rasa, tim gabungan polisi dan TNI mengadakan sweeping di Taman Imbi Jayapura. Hasilnya, polisi dua buah dokumen Papua Merdeka yang dibawa salah seorang warga yang sedianya hendak berunjuk rasa.(BOG/Rubai Kadir)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny