Pembunuhan Ketua KNPB Sorong Raya Dinilai Langgar HAM

Koordinator SKP-HAM Papua Peneas Lokbere menyampaikan keterangan pers di  Kantor Kontras, Padang Bulan, Kota Jayapura, Selasa (16/9). JAYAPURA — Kepolisian Daerah  (Polda) Papua didesak segera mengungkap kasus  pembunuhan terhadap Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya, Marthinus Yohame pada 26 Agustus 2014 di sekitar Pulau Nana, Kota Sorong, Provinsi Papua Barat.

Desakan ini disampaikan Koordinator Solidaritas Korban Pelanggaran SKP-HAM Papua Peneas Lokbere, ketika menyampaikan keterangan pers terkait pembunuhan Ketua KNPB Sorong Raya, Marthinus Yohame di  Kantor Kontras, Padang Bulan, Kota Jayapura,  Selasa (16/9).

Dikatakan, sejak peristiwa ini, pemerintah Indonesia melalui aparat Polda Papua tidak menunjukkan sikap yang serius untuk melakukan penyelidikan, dan pengungkapkan kasus tersebut.

Di media massa, Kabid Humas Polda Papua, Kombes (Pol) Pudjo Sulistiyo mengatakan, aparat kepolisian sulit mengungkapkan identitas korban, karena keluarga tidak memberikan izin untuk dilakukannya otopsi oleh pihak rumah sakit. Padahal, telah jelas-jelas yang menjadi korban adalah Marthinus Yohame dan keluarga telah menggelar acara duka dan pemakaman jenazah yang bersangkutan.

Hingga saat ini, Kepolisian Daerah Papua masih menolak sebut Yohame sebagai orang yang ditemukan oleh nelayan, dan berdalih keluarga menutup akses untuk melakukan penyelidikan.

Karena itu, kata Peneas, ada beberapa poin yang menjadi pernyataan sikap SKP HAM Papua. Pertama,mendesak Pelapor Khusus PBB bidang anti penyiksaan dan penghilangan paksa, Mr. Juan Ernesto Mendez untuk datang ke Papua melakukan penyelidikan atas peristiwa penculikan, penyiksaan, dan pembunuhan kilat terhadap Marthinus Yohame.

Kedua,mendesak pemerintah Indonesia, melalui aparat kepolisian untuk menegakan hukum, dan secara terbuka mengusut peristiwa pembunuhan kilat yang dilakukan terhadap Marthinus Yohame.

Ketiga,meminta lembaga-lembaga HAM internasional, nasional, dan lokal untuk mendesak pemerintah Indonesia agar membuka akses pelapor khusus PBB, peneliti, dan media internasional lainnya untuk masuk ke tanah Papua.

Menurut Peneas, beberapa kasus yang belum dilakukan penyelidikan oleh pemerintah Indonesia antara lain pembunuhan terhadap Wakil Ketua I KNPB, Musa Mako Tabuni pada 14 Juni 2012, di Perumnas III, Abepura, Papua. Penembakan terhadap Hubert Mabel, anggota KNPB pada 16 Desember 2012, di Wamena, Papua.

Kasus pembunuhan terhadap Terijoli Weya, mahasiswa Sekolah Tinggi Ekonomi (STIE) Port Numbay, pada 1 Mei 2012 di depan Kantor Koramil 1701 Perwakilan Jayawijaya, Abepura, Papua. Penembakan dan pembunuhan kilat terhadap Yesa Mirin, mahasiswa Uncen pada 4 Juni 2012 di Kampung Harapan, Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua; Keempat kasus di atas, dan banyak kasus lainnya tidak pernah dilakukan penyelidikan oleh pemerintah Indonesia.

Peneas mengatakan, pihaknya menilai peristiwa pembunuhan terhadap Marthinus Yohame,  sudah masuk kategori pelanggaran HAM berat, dan perlu mendapatkan respon yang cepat dari komunitas internasional (PBB). Berbagai ketentuan-ketentuan hukum Indonesia, maupun hukum internasional antara lain Mandat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No  21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, pasal 45 berbunyi Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakan, memajukan, melindungi dan menghormati HAM di Papua. (mdc/don/l03)

Rabu, 17 September 2014 11:58, BintangPapua.com

Tiga Orang Ditemukan Tewas Pasca Insiden Pasar Youtefa, Satu Ditembak

Jayapura, 4/7 (Jubi) Selain seorang Polisi atas nama Brigpol Asriadi dinyatakan tewas, tiga orang warga ditemukan tewas setelah insiden pembubaran judi di Pasar Youtefa yang terjadi pada hari Rabu (2/7).

Jumlah korban yang tewas dalam insiden ini dibenarkan oleh Kapolda Papua, Irjenpol Tito Karnavian, Kamis (3/7) kemarin. Mengutip situs antarasumbar.com, Kapolda belum mengetahui tiga dari empat orang yang tewas dalam insiden tersebut, selain anggotanya, Brigpol Asriadi. Tiga orang yang belum diketahui identitasnya ini, salah satunya tewas terkena tembakan polisi. Sedangkan dua lainnya ditemukan di lokasi yang berbeda dari korban yang tewas tertembak polisi. Tiga korban tewas ini, oleh polisi disebutkan sebagai warga Koya.

Korban yang tewas ditembak polisi ini, disebutkan oleh Kapolda karena berupaya menyerang Iptu Boby, polisi lainnya di sekitar Tanah Hitam. Korban tewas tertembak ini awalnya ditangkap polisi atas laporan warga di lokasi pasar Youtefa. Korban diduga terlibat perjudian di pasar Youtefa yang digerebek polisi pada hari Rabu (2/7). Saat dibawa ke Pos Polisi Tanah Hitam, korban melarikan diri dan bersembunyi di rumah warga. Masih menurut Kapolda Papua, seperti dilansir antarasumbar.com, saat mengejar korban yang akhirnya tewas ditembak ini, Iptu Boby dipukul dengan balok dan rantai sepeda oleh korban. Iptu Boby kemudian menembak korban sebagai upaya membela diri.

Polisi juga menyebutkan dua korban tewas lainnya, ditemukan di disekitar Pasar Youtefa setelah insiden pembubaran judi dua hari lalu. Identitas dan penyebab dua orang yang tewas ini tidak diketahui secara pasti.

Namun informasi lainnya yang dikumpulkan Jubi, menyebutkan paska insiden pembubaran judi ini, dua orang ditemukan tewas di KM 9 jalan menuju Koya. Kedua orang yang tewas ini diketahui bernama Asman Pahabol dan Yanus Pahabol. Namun tidak diketahui penyebab kematian kedua orang ini. Sedangkan satu orang lagi atas nama Vian Wetipo dilaporkan oleh beberapa mahasiswa di Perumnas III Waena hilang sejak hari Rabu, usai insiden di Pasar Youtefa.

Para mahasiswa asal Papua yang dihubungi Jubi ini, mengatakan beberapa saat setelah insiden di Pasar Youtefa ini, polisi menangkap beberapa rekan mereka di sekitar Putaran Taxi Perumnas III Waena. Mereka yang ditangkap ini antara lain, Hakul Kobak, Ono Balingga, Yandri Heselo, Ronal Wenda dan Kesman Tabuni. Belum diketahui apakah mereka ditangkap berkaitan dengan insiden Pasar Youtefa atau tidak.

Insiden Pasar Youtefa ini berawal saat polisi akan membubarkan aktivitas perjudian di salah satu sudut pasar Youtefa ini. Para pelaku perjudian melakukan perlawanan yang berujung tewasnya Brigpol Asriadi dan Brigpol Samsu Huta terluka. Polisi juga mengkonfirmasi senjata dua polisi ini dibawa lari oleh warga setelah insiden terjadi. (Jubi/Victor Mambor)

Anggota Brimob Tembak Tiga Warga Dogiyai

Jayapura, 6/5 (Jubi) – Oknum anggota Brgadir Mobil (Brimob) Polda Papua dikabarkan menembak tiga warga sipil di Kampung Edeida, Distrik Kamu, Kabupaten Dogiyai, Papua. Ketiga korban yakni Anthon Edowai (32) tertembak di paha, Yulius Anouw (27) ditembak di dada, dan Sepnat Auwe terkena tima panas di perut.

Dari informasi yang dihimpun tabloidjubi.com, insiden itu terjadi, Selasa (6/5) sekitar pukul 10.00 WIT. Wakapolda Papua, Brigadir Jenderal (Pol) Paulus Waterpau ketika dikonfirmasi wartawan membenarkan kejadian itu.

“Iya kabarnya seperti itu. Saya dapat laporan dari Kasad Brimob. Tapi baru laporan awal. Kasus ini sedang ditangani langsung Kepala Kepolisian Resort Paniai dan Kepala Kepolisian Sektor Kamu,”

kata Waterpauw, Selasa (6/5).

Menurutnya, terkadang di lapangan memang sulit ketika menghadapi kejadian. Namun harusnya anggota bertindak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). “Kami akan pastikan lagi laporan lengkapnya,” singkatnya.

Salah satu saksi mata, Benny Goo ketika dihubungi wartawan via selulernya mengatakan, kejadian bermula saat seorang sopir truk dengan nomor polisi 9903, berinisial L menabrak dua warga setempat yakni Yusten Kegakoto (18) dan Jhon Anouw (20), Selasa (6/5) sekitar pukul 16:40 WIT

“Warga lalu mendatangi Kantor Polisek Monemani guna meminta pertanggung jawaban. Namun tanpa peringatan, oknum anggota Brimob itu menembak warga yang ada di Polsek,”

kata Benny Goo.

Menurutnya, kini tiga warga sipil yang diterjang timah panas itu sedang dirawat di Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Dogiyai. Masyarakat setempat juga menuntut pertanggung jawaban Kesatuan Brimob atas peristiwa itu,” ujarnya. (Jubi/Arjuna)

Matius Murib: Penangkapan Tinus Telenggen Diragukan

JAYAPURA — Tokoh HAM Papua Matius Murib menegaskan pihaknya sangat meragukan penangkapan salah seorang yang diduga anggota OPM sebagai pelaku serangkaian aksi penembakan di Puncak Jaya bernama Tinus Telenggen, oleh Tim Khusus Reskrim Polres Puncak Jaya dan Gabungan Brimob Polda Papua menangkap Tinus Telenggen di Kompleks Perumahan Sosial, Kota Baru, Kampung Pagaleme, Distrik Mulia, Kabupaten Puncak Jaya Selasa (28/1) lalu.

Sebab Tinus Telenggen juga diduga kuat melakukan penyerangan Mapolsek Pirime sejak 27 November 2012 hingga menyebabkan Ipda Rofli Takubessi, Brigpol Jefry Rumkorem dan Briptu Daniel Makuker tewas.

Matius Murib mengatakan kepada Bintang Papua di Abepura, Senin (10/2), pihaknya memberikan apresiasi khusus kepada Kapolda Papua Irjen (Pol) Drs. M. Tito Karnavian, M.A., PhD, yang telah membuktikan kemampuannya berhasil menangkap seseorang yang diduga pelaku serangkaian aksi penembakan di Puncak Jaya. Tapi di sisi lain pihaknya meragukan yang bersangkutan benar-benar pihak yang paling bertanggungjawab dalam konflik bersenjata selama ini. Sebab, Tinus Telenggen adalah anak sekolah umur belasan tahun.

Dalam struktur OPM dia sebagai apa. Apa dia paling bertanggungjawab. Jangan sampai salah tangkap. Itu keraguan saya,” ujar Matius Murib.

Ironisnya lagi, tukas Matius Murib, Kapolda selalu membuat statement, apabila kejadian penembakan terjadi di Puncak Jaya, maka pihak yang paling bertanggungjawab adalah Goliat Tabuni.

Matius Murib menambahkan, pihaknya menghimbau kepada Kapolda agar tak boleh ada perlakuan diskriminatif terhadap tersangka Tinus Telenggen, antara lain hak-hak dia harus diberikan sebagaimana mestinya seperti makanan, kesehatan serta yang lebih penting yakni hak hukumnya. “Dia harus didampingi Penasehat Hukumnya. Tak boleh diproses tanpa didampingi Penasehat Hukum. Ini tak boleh. Hak hukumnya harus diberikan,” tandas Matius Murib.(Mdc/don/l03)

Kamis, 13 Februari 2014 07:43, BinPa

Melawan Perintah Otopsi Jenasah Danny Kogoya, Kepala RS Vanimo Ditahan

Family Support Center di RS Vanimo saat diresmikan 2 tahun lalu (IST)

Jayapura, 9/1 (Jubi) – Pengadilan Vanimo hari ini, Kamis (9/1) telah memerintahkan Kepolisian Vanimo untuk menangkap Kepala Rumah Sakit Vanimo, Dokter Stela Jimmy. Dokter ini ditangkap karena telah melawan perintah pengadilan dalam penyelidikan kematian Danny Kogoya.

Bonn Amos, Magistrate Coroner di Pengadilan Vanimo, melalui telepon selulernya membenarkan penangkapan kepala Rumah Sakit Vanimo ini. Amos, pejabat Pengadilan Vanimo yang mengeluarkan laporan kematian Danny Kogoya sebagai kasus pembunuhan ini mengatakan polisi Vanimo menahan Dokter Stella karena dokter ini mengeluarkan surat atas nama rumah sakit yang menunjuk doter lain untuk melakukan otopsi jenazah Danny Kogoya. Ini berlawanan dengan perintah pengadilan Vanimo dan permintaan keluarga.

“Ya. Pengadilan telah memerintahkan polisi Vanimo untuk menahan kepala Rumah Sakit Vanimo. Ia ditangkap sekitar jam 9.30 tadi dan sudah dibawa ke pengadilan. Dokter ini ditahan karena melawan perintah pengadilan. Pengadilan telah memerintahkan dokter Philip Gopak dari Port Moresby dan seorang dokter dari Srilanka untuk melakukan otopsi, tapi dokter Stella menunjuk dokter lain.”

kata Bonn Amos kepada Jubi melalui telepon selulernya, Kamis (9/1) pagi.

Amos juga menegaskan bahwa kasus kematian Danny Kogoya ini berada di wilayah hukum Papua New Guinea (PNG) sehingga dalam hal ini, siapapun harus tunduk pada perintah pengadilan PNG.

“Danny Kogoya meninggal di PNG. Pengadilan Vanimo sudah memastikan ia meninggal karena dibunuh dan sudah ada perintah pengadilan untuk melakukan penyelidikan dan melakukan otopsi oleh dokter yang ditunjuk pengadilan. Ini wilayah hukum PNG. Siapapun tidak boleh melakukan tindakan apapun terhadap jenazah Danny Kogoya tanpa sepengetahuan pengadilan PNG. Sekalipun itu pihak Rumah Sakit atau Konsulat Indonesia. Jenazah Danny Kogoya milik negara saat ini.”

kata Bonn Amos.

Informasi yang dikumpulkan Jubi mengindikasikan adanya konspirasi yang dilakukan oleh pihak Rumah Sakit Vanimo dengan pihak tertentu yang berkepentingan dengan jenazah Danny Kogoya. Pihak Rumah Sakit diketahui telah memaksa keluarga Danny Kogoya untuk melakukan otopsi pada tanggal 7 Januari 2013. Meskipun sebelumnya telah disepakati oleh masing-masing pihak bahwa otopsi harus dilakukan paling lambat tanggal 7 Januari, namun otopsi ini gagal dilakukan pada tangggal tersebut. Dokter yang ditunjuk pengadilan masih berlibur sedangkan dokter yang ditunjuk Rumah Sakit Vanimo tak bisa datang karena anaknya mengalami kecelakaan. Karena dokter yang ditunjuk oleh Rumah Sakit ini tak bisa datang, pihak Rumah Sakit memaksa keluarga Danny Kogoya untuk memastikan dokter Philip Gopak melakukan otopsi pada hari itu juga, tanggal 7 Januari dengan alasan jenazah Danny Kogoya harus dikeluarkan dari Vanimo secepatnya karena membawa virus penyakit berbahaya, sementara otopsi untuk mengetahui penyebab kematian Danny Kogoya belum pernah dilakukan.

“Karena dokter yang mereka tunjuk tidak bisa datang, pihak Rumah Sakit Vanimo memberi kami waktu dua jam untuk memastikan dokter Philip melakukan otopsi. Mereka bilang, jenazah harus dikeluarkan dari Vanimo karena membawa penyakit berbahaya.”

kata Jeffrey Pagawak kepada Jubi (9/1).

Menurut Jeffrey, usai pemeriksaan dokter Stella, Pengadilan Vanimo tetap memerintahkan otopsi dilakukan oleh Dokter Philip Gopak bersama seorang dokter yang independen.

“Pengadilan telah memerintahkan melanjutkan penyelidikan dan proses otopsi dilakukan oleh dua doter yang diminta keluarga. Pihak Rumah Sakit juga telah diperintahkan untuk tidak melakukan tindakan  apapun terhadap jenazah Danny Kogoya tanpa sepengetahun pengadilan.”

kata Jeffrey.(Jubi/Victor Mambor)

 January 9, 2014 at 12:30:24 WP,TJ

Di Papua, Kekerasan Terhadap Perempuan Masih Tinggi

JAYAPURA – Tingginya angka bunuh diri yang menimpa remaja putri di Papua, diklaim Jaringan Kerja HAM Perempuan Papua akibat dari imbas perdagangan manusia, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) menahun, serta kekerasan seksual. Tak ayal, ketiga faktor itu menjadi modus bagi para remaja putri untuk mengakhiri hidupnya.

Koordinator TIKI Jaringan Kerja HAM Perempuan di Papua, Fien Jarangga mengungkapkan, berdasarkan laporan aktivis perempuan dan aktivis HAM kota Manokwari serta seorang penasihat persatuan perempuan Adat Arfak Manowakri, setidaknya ada dua kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri yang terjadi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir di Kota Manokwari. Disebutkan Fien, pelaku adalah perempuan korban KDRT, kekerasan seksual dan perdagangan manusia yang terabaikan dan tak pernah mendapat bantuan atau dukungan.

“Mereka dilaporkan bunuh diri dengan cara minum racun pembunuh serangga. Bunuh diri kerap terjadi di Manokwari, dilakukan perempuan korban KDRT yang tak pernah tertolong dan tak mampu lagi meneruskan hidupnya,” beber Fien kepada wartawan, kemarin.

Dikatakan Fien, Kejaksaan Negeri Manokwari menginformasikan bahwa kasus-kasus KDRT dan kekerasan seksual terhadap anak/remaja putri yang dilaporkan masih cukup tinggi, yaitu rata-rata 5 kasus perbulan.

Selain itu, ditemukan pula kekerasan verbal bernuansa seksis dan rasis oleh pejabat daerah terhadap perempuan asli Papua pun . Sesuai data yang ada pada Oktober 2013, Komnas Perempuan menerima pengaduan seorang perempuan asli Papua yang mengalami kekerasan verbal berupa ejekan yang merendahkan identitas seksualnya sebagai perempuan dan identitas primordialnya sebagai perempuan asli Papua.

“Kekerasan verbal ini dilakukan oleh seorang pejabat daerah, yaitu seorang Sekretaris Daerah di kabupaten Supiori, Biak,” ungkapnya.

Sementara itu, juga ditemukan penggeledahan, ancaman dan pemukulan terhadap perempuan, pengacara dan aktivis HAM perempuan. Aktivis perempuan dan pekerja HAM perempuan di Abepura, Timika dan Wamena melaporkan adanya intimidasi, penggeledahan dan pemukulan oleh aparat penegak hukum dan masyarakat terhadapperempuan-perempuan aktivis dan pembela HAM perempuan.

“Medio Agustus dan September 2013 dari Wamena dilaporkan seorang perempuan advokat dan seorang laki-laki aktivis pembela HAM perempuan mengalami tindak kekerasan dan ancaman dari anggota kepolisian dan masyarakat karena aktivitas mereka membela HAM. Hal ini menimbulkan rasa takut dan cemas sehingga mengakibatkan salah seorang dari mereka meninggalkan Wamena untuk sementara waktu dan mencari rasa aman di kota lain,”

ujarnya.

Sambung Fien, tak berhenti sampai disitu, pada September 2012 seorang perempuan di Kota Timika melaporkan dirinya mengalami kekerasan verbal dan dipukul oleh aparat kepolisian yang menggeledah rumahnya dan mencari putranya yang diduga terkait kasus bom rakitan yang berhubungan dengan aktivitas Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Tak hanya itu, seorang perempuan lainnya juga mengaku rumahnya digeledah pada tengah malam hingga menjelang dini hari oleh serombongan orang berseragam hitam, bertopeng dan bersenjata laras panjang yang mengeluarkan sinar berwarna merah. Rumah korban digeledah dan ditunggui beberapa jam, aparat tidak menemukan yang mereka cari di rumah itu lalu pergi meninggalkan penghuni rumah yang ketakutan.

“Sebelumnya, seorang perempuan aktivis mahasiswa di Abepura digerebek dan dibuntuti aparat penegak hukum karena diduga terkait dengan aktivitas (pemimpin) KNPB,” terangnya.

Menurut Fien, kejadian ini menyebabkan terpeliharanya rasa takut, kecewa dan marah sebagai dampak dari berbagai tindak kekerasan, penembakan dan pembunuhan yang tak terselesaikan. Bahkan Komunitas perempuan dan aktivis HAM perempuan mitra Komnas Perempuan di Wamena dan Timika melaporkan bahwa peristiwa kekerasan, penembakan dan pembunuhan yang melibatkan warga masyarakat biasa maupun aparat keamanan, yang terus terjadi tanpa teratasi secara baik dan tuntas di kedua kota itu telah melestarikan rasa takut, kecewa dan marah yang meluas di kalangan masyarakat.

Diakui Fien, dalam penanganan kasus-kasus tersebut, masyarakat/keluarga korban lebih memilih dan mengutamakan mekanisme adat sebagai jalan penyelesaian masalah KDRT dan berbagai kekerasan terhadap perempuan. Meski diakui bahwa mekanisme adat tidak memberi rasa adil bagi korban, mereviktimisasi korban dan melanggengkan impunitas.

Namun, komunitas perempuan korban dan penyintas KDRT, khususnya di Wamena, menyatakan menolak mekanisme adat dan lebih menginginkan agar kasus KDRT ditangani secara hukum.

“Lemahnya penegakan hukum untuk kasus KDRT. Kepolisian dan Kejaksaan Negeri Manokwari, serta kepolisian Timika dan pemerintah daerah Biak mengakui bahwa kasus-kasus KDRT sering ditangani secara adat. UU No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dipakai untuk melegitimasi penyelesaian secara adat.

Namun, kasus-kasus KDRT berulang dan kasus KtP maupun KDRT yang melibatkan dua suku berbeda pasti ditangani secara hukum. Khusus mengenai kasus kekerasan seksual terhadap anak/remaja putri, penegak hukum di sejumlah kabupaten di Papua dan Papua Barat (Biak, Jayapura, Manokwari, Merauke Timika dan Wamena) menyatakan menolak penyelesaian adat dan berupaya menjatuhkan hukuman setinggi mungkin (hukuman penjara 8-12 thn maksimal) untuk menimbulkan efek jera kepada pelaku dan masyarakat umum,”

urainya.

Fien memberikan contoh, Polres Manokwari pernah menginisiasi program Pemulihan bagi remaja putri korban kekerasan, bekerja sama dengan Komnas Anak Jakarta.

Sayangnya, penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan pemenuhan HAM perempuan bukanlah prioritas Kepala Daerah tingkat Kabupaten. Sepanjang tahun 2011 dan 2012, Komnas Perempuan dan jaringan TIKI di sejumlah kabupaten melakukan advokasi penghapusan KtP dan pemenuhan HAM perempuan melalui mekanisme Dialog Kebijakan dengan pemerintah daerah setempat, antara lain di Biak, Merauke, Manokwari, Timika dan Wamena.

“Tapi tak satu pun kepala daerah (Bupati, Wakil Bupati atau Sekda) kabupaten tersebut yang bersedia memberi waktu untuk dialog kebijakan tentang penghapusan KtP dan tanggung jawab pemenuhan HAM perempuan. Pejabat Badan/Biro PPPA kabupaten maupun Asisten pemda terkait yang pernah berdialog dengan Komnas Perempuan dan TIKI di sepanjang tahun 2010 hingga 2012 melaporkan terbatasnya kapasitas sumber daya manusia dan dana yang dimilikinya untuk melakukan tugas secara optimal.

Akibatnya tidak banyak yang dapat mereka lakukan jika dibandingkan dengan besarnya masalah kekerasan terhadap perempuan dan anak di tanah Papua,”

terangnya.

Lebih jelas dikatakan Fien, pengabaian hak-hak dasar perempuan penyintas kekerasan negara. yang terdokumentasi dalam laporan HAM Komnas Perempuan dan mitra-mitranya bertajuk “Stop Sudah: Kesaksian Perempuan Papua korban Kekerasan dan Pelanggaran HAM 1963-2009″, melaporkan bahwa sejak kasus mereka dilaporkan dan diadvokasi di tingkat kabupaten dan provinsi hingga menjelang akhir tahun 2013 belum ada tindak lanjut apapun dari pemerintah daerah untuk pemenuhan hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

“ Kondisi para penyintas belum berubah, terabaikan, terstigma dan sebagian di antara mereka termakan penyakit serta usia yang makin renta.

Hal ini dilaporkan oleh komunitas penyintas dan pembela HAM dari Biak, Genyem, Keerom, Manokwari, Merauke, Sarmi, Timika dan Wasior. Dan menjelang akhir tahun 2012, dua orang penyintas kekerasan negara dari Biak, yaitu penyintas kasus Biak Berdarah dan penyintas operasi militer di Biak tahun 1960-an, yang masih terus berharap menerima kembali hak nya atas Kebenaran, Keadilan dan Pemulihan, telah meninggal dunia karena sakit yang dideritanya,”

tandasnya. (lea/don/l03)

Sabtu, 04 Januari 2014 06:27, Ditulis oleh redaksi_binpa

Enhanced by Zemanta

Korban Tragedi Biak Berdarah, Dibakar, Dimutilasi, Dan Diperkosa Secara Brutal

Dua kapal yang berlabuh di perairan Biak pada saat tragedi Biak Berdarah ini diduga terlibat mengangkut mayat warga yang menjadi korban tembakan aparat keamanan saat itu (biak-tribunal.org)

Jayapura – Pemerintah Indonesia menghadapi opini publik yang berkembang paska pengadilan warga yang dilakukan di Sidney, Australia bulan Juli lalu. Aparat keamanan saat itu, dibuktikan oleh para saksi telah melakukan pembunuhan, pemerkosaan dan penyiksaan terhadap lebih dari 150 warga sipil di pulau Biak, Papua Barat 15 tahun yang lalu.

Ringkasan temuan kunci dalam pengadilan warga yang diketuai oleh mantan jaksa agung NSW John Dowd, sekarang presiden Komisi Ahli Hukum Internasional ini menemukan bahwa dalam tragedi Biak Berdarah, 15 tahun lalu itu “sejumlah besar” orang Papua Barat telah disiksa dan dimutilasi. Diperkirakan lebih dari 150 orang tewas dan mayat mereka dibuang di laut setelah insiden tersebut. Namun Indonesia, dianggap tidak pernah mengakui hal tersebut. Pemerintah Indonesia mengklaim hanya satu orang yang tewas, sedangkan mayat-mayak lainnya yang ditemukan disebut sebagai korban tsunami.

“Pengadilan warga ini pada akhirnya berkesimpulan harus ada jaksa penuntut khusus yang melakukan investigasi di Indonesia .Ada kesempatan bagi Indonesia untuk memberikan kompensasi kepada korban.”

kata John Dowd yang memimpin pengadilan warga pada tanggal 6 Juli itu kepada Jubi, Senin (16/12).

“Pengadilan ini meminta Indonesia untuk melakukan penyelidikan itu. Mutilasi spesifik terhadap perempuan adalah kebijakan teror tertentu. Sulit untuk percaya manusia bisa berperilaku seperti para prajurit itu,”

kata Dowd melalui sambungan telpon.

Yuda Korwa, Eben Kirksey dan Tineke Rumkabu, tiga orang diantara para saksi dalam pengadilan warga di Pusat Studi Perdamaian dan Konflik , University of Sydney tanggal 6 Juli itu memberikan kesaksian mereka dalam insiden Biak Berdarah.

“Saya melihat banyak orang dibunuh oleh militer. Saya melihat orang-orang tua, wanita hamil dan anak kecil tewas. Salah satu tentara memukul saya dengan pistol dan wajah saya penuh dengan darah, Saya berpura-pura mati saat itu dan bersembunyi selama dua hari di gorong-gorong jalan. Saya mendengar ada orang yang berteriak minta pertolongan.”

kata Yuda Korwa yang saat itu masih berusia 17 tahun.

Dr Eben Kirksey, antropolog dari UNSW, lima belas tahun yang lalu sedang berada di Biak. Ia juga memberikan kesaksian dalam pengadilan warga itu.

“Seperti orang yang sedang bernyanyi, pasukan mulai menembak ke kerumunan. Orang-orang mulai berjatuhan dan sebagian lainnya berlarian,”

kata Eben.

“Orang-orang yang selamat digiring ke pelabuhan dan dinaikkan di kapal-kapal. Mereka bisa melihat orang mati dan sekarat karena tembakan aparat sedang dimuat ke truk. Wanita diperkosa dan dimutilasi setelah melihat teman mereka dipenggal.”

lanjut Eben dalam kesaksiannya.

Sedangkan Tineke Rumkabu, seorang perempuan Biak yang bersaksi untuk pertama kalinya, mengakui menyaksikan temannya dipenggal. Dia sendiri, mengalami penyiksaan yang hebat.

Bersaksi untuk pertama kalinya, Tineke Rumakabu mengaku melihat temannya dipenggal. Dia sendiri disiksa secara mengerikan .

Mantan jaksa NSW, Nicholas Cowdery yang membantu di pengadilan warga ini turut membantu Tineke Rumakabu mendeskripsikan penyiksaan yang dialami oleh dia dan temannya.

“Dia dibakar, dia dimutilasi – dipotong kelaminnya – diperkosa, diperlakukan dengan cara yang paling brutal dan oleh polisi Indonesia,”

kata Nicholas Cowdery tentang apa yang terjadi pada Tineke Rumakabu dan temannya.

John Dowd yang memimpin pengadilan tersebut menyebutkan tragedi Biak Berdarah ini menjadi terlupakan karena tak lama setelah insiden tersebut, Indonesia memulai tindakan militer di Timor Timur – yang akhirnya gagal, meskipun kekejaman serupa terbukti dilakukan terhadap warga sipil tak bersenjata. Inilah yang membuat perhatian dunia tertuju pada Timor Timur, tragedi Biak tidak pernah diselidiki.

“Kami ingin orang-orang yang bertanggung jawab harus dibawa ke pengadilan. Kami ingin penyelidikan, kami ingin penuntutan pidana dan kami ingin pemerintah untuk membayar kompensasi atas apa yang mereka lakukan kepada orang-orang di Biak saat itu.”

kata Tineke Rumakabu dan Yuda Korwa.

Pemerintah Indonesia menolak untuk mengomentari pengadilan warga ini. Indonesia juga telah meminta Australia mengambil tindakan terhadap pengadilan warga ini. Namun pihak Universitas Sidney yang menyelenggarakan pengadilan warga ini meminta pemerintah Australia untuk ikut bertanggungjawab terhadap segala bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk tragedi Biak Berdarah ini.

“Pemerintah Australia memiliki kewajiban terhadap orang-orang yang meninggal dan keluarga mereka untuk mengekspos apa yang telah terjadi saat itu. Ini untuk menghentikan hal itu terjadi lagi, ”

kata Dowd. (Jubi/Victor Mambor)

Author : on December 17, 2013 at 06:08:19 WP,TJ

Insiden Kampung Yongsu, TPN-OPM Klaim Rekayasa TNI-Polri

Eduard Okoseray Korban Penembakan di Kampung YongsuJayapura (Sulpa) – Penyergapan dan penyisiran yang dilakukan aparat Jumat (29/11) dan Sabtu (30/11) di kampung Youngsu Sapari, Distrik Ravenirara, Kabupaten Jayapura yang mengejar kelompok bersenjata “Raja Cycloop” Cs dinilai sebagai rekayasa TNI/POLRI untuk mengacaukan perjuangan TPN/OPM yang selama ini selalu mengedepankan penyelesaian dengan jalan damai.

Hal itu dikatakan juru bicara TPN/OPM Jonah Wenda melalui surat edaran dengan kop surat Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat yang diterima SULUH PAPUA, Sabtu (07/12). Dalam rilis yang ditandatangani juru bicara TPN/OPM tersebut disebutkan beberapa poin, seperti, pertama, di kampung Yongsu tidak ada kelompok sipil bersenjata dengan nama “Radja Cycloop, seperti yang disampaikan oleh pihak Kepolisian Indonesia, dimana nama Radja Cycloop adalah nama yang digunakan pihak TNI-Polri, yang dianggap untuk mengacaukan perjuangan damai Papua Merdeka yang selama ini dilakukan dengan cara-cara damai.

Kedua, sejumlah senjata rakitan yang ditemukan dalam operasi yang dilakukan oleh TNI/POLRI di kampung Younsu yang dikatakan bahwa senjata-senjata rakitan tersebut adalah milik TPN/OPM adalah tidak benar, dimana sebelumnya telah ada kesepakatan antara TPN/OPM dan utusan khusus Presiden RI, Farid Muhamad bahwa penyelesaian masalah Papua Barat diselesaikan dengan cara-cara damai. Dan sudah hampir 2 tahun belakangan ini belum ada jawaban soal penyelesaian masalah Papua Barat, oleh pemerintah Indonesia, dan situasi di Papua Barat sama sekali tidak ada perubahan, malah yang terjadi, TNI/POLRI melakukan banyak pendekatan kekerasan, yang mengakibatkan kematian masyarakat sipil, baik Papua, maupun non Papua.

Ketiga, penyerangan di Kampung Youngsu adalah permainan pihak TNI/POLRI, untuk mengacaukan kegiatan damai yang dilakukan bangsa Papua Barat, untuk memperingati hari atribut bangsa Papua Barat, 1 Desember.

Karena itu, TPN/OPM mendesak pemerintah Indonesia untuk segera menarik seluruh pasukannya dari wilayah Papua Barat dan segera membuka ruang untuk berunding dengan bangsa Papua Barat.

Diberitakan sebelumnya, pihak Kepolisian pada Jumat (29/11) dan Sabtu (30/11) lalu, di kampung Youngsu Sapari, Distrik Ravenirara, Kabupaten Jayapura melakukan penggebrekan terhadap kelompok sipil bersenjata “Radja Cycloop” diwilayah itu. Insiden itu akhirnya menewaskan Eduard Oktoseray. Kepolisian juga menyita senjata api rakitan yang diduga digunakan Radja Cycloop yang beroperasi di wilayah tersebut.

Terkait dengan surat bantahan dari pihak TPN/OPM melalui juru bicaranya, Jonah Wenda, pihak Kepolisian dari Polda Papua belum bisa dimintai klarifikasi terkait surat bantahan tersebut. (d/k7/r5)

Senin, 09-12-2013, Sulpa

Per November 2013, 537 Penangkapan Politik dan 71 Tapol di Papua

Para Tahanan Politik Papua. Foto: Tapol / PMC

Jayapura — Intensitas politik di tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) meningkat pada tahun 2013. Seiring dengan itu, jumlah penangkapan dan tahanan politik (tapol) ikut meningkat.

Sebuah situs Tapol Papua, papuansbehindbars.org merilis, per November 2013 telah terjadi penangkapan politik  sebanyak 537. Dari jumlah itu, sebanyak 112 penangkapan politik terjadi pada tiga peristiwa terpisah.

“Ini merupakan peningkatan 165% jumlah penangkapan politik dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2012, yang menandakan penurunan tahap kebebasan berekspresi dan berkumpul di Papua,”

tulis lamanpapuansbehindbars.org.

Penangkapan politik ini membuat jumlah Tapol di penjara tanah Papua meningkat. Pada bukan sebelumnya, September 2013, terdapat 54 Tapol dalam penjara di Papua. Tetapi, dalam satu bulan, akhir November 2013 meningkat menjadi  71 Tapol  di Papua.

“Tindakan kepolisian terhadap kegiatan demonstrasi yang semakin teratur dan berkoordinasi di Papua menjadi perhatian bulan ini, termasuk beberapa penangkapan massa sewenang-wenang, penggunaan berulang kali kekerasan yang berlebihan, menghalangi pengacara hukum mengakses tahanan, melakuan tindakan kejam dan menghina tahanan, dan menangkap dan memaksa aktivis mahasiswa untuk menandatangani perjanjian untuk menghentikan unjuk rasa,”  tulisnya.

Lebih lanjut ditulis, “Mahasiswa Universitas Cenderawasih (UNCEN) tersandera dalam bentrok dengan pihak universitas atas keterlibatan dosen dalam kegiatan kontroversial, yakni penyusunan perubahan draft RUU Otonomi Khusus. Otoritas kampus tampaknya aktif mengundang polisi untuk memberangus aktivitas politik di kampus, yang menyebabkan banyak penangkapan dan pemukulan mahasiswa. Sejumlah pemimpin Papua telah menyatakan keprihatinan atas apa yang mereka anggap sebagai usaha polisi untuk secara sistematis menutup ruang politik, khususnya menjelang tanggal penting seperti 1 Mei, dan dalam hal ini 1 Desember.”

Dijelaskan media Tapol itu, pada 26 November, sebanyak 80 orang ditangkap di empat kota yang berbeda karena mendukung pembukaan kantor Kampanye Papua Barat Merdeka di Papua Nugini dan kampanye Sorong ke Samarai. Satu orang demonstran tewas dan tiga lainnya telah menghilang.

Sementara di Biak, sidang untuk enam tahanan 1 Mei Biak masih berlanjut dan Yohanes Boseren tetap dalam tahanan meskipun sakit mental. Pengacara HAM dan LSM telah menyerukan pembebasannya. investigasi juga berlanjut atas kasus empat tokoh masyarakat Sorong yang menghadapi tuduhan konspirasi untuk melakukan makar.(GE/papuansbehindbars.org/MS)

Minggu, 08 Desember 2013 12:22,MS

Amatus Douw: OPM dari Melbourne

Inda Marlina Rabu, 30/11/2011 21:23 WIB

AMATUS DOUW tak akan pernah melupakan kekejaman militer yang membuat hidup orangtuanya berakhir.

Mereka menyiksa Pius Douw—sang bapak— setelah ditangkap di Kampung Widimei, Kabupaten Paniyai, Nabire karena terkait dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1998. Pius dipukuli dengan gagang senjata. Ditendang. Namun ini juga tak cukup.Mereka merampas hewan ternak babi dan ayam milik keluarga Amatus. Pius hanya bertahan selama 2 tahun dalam penyiksaan hingga akhirnya meninggal pada September 2000.

Josephine Pekey—sang istri—sudah lebih dulu meninggal dengan nasib sama buruknya, pada Agustus 1996. Josephine dipukul. Ditendang dengan sepatu laras.“Mama sering menyediakan makanan saat kami berkumpul,” ujarnya pada saya. “Kami sekeluarga adalah pendukung OPM. Bapak dulunya adalah kepala suku di Kampung Widimei.”Akhir Oktober, saya mewawancarai Amatus di sebuah siang yang dingin di kawasan Footscray, pinggiran kota Melbourne, Australia.

Amatus juga membawa kawannya, Florentinus Pirimapun, salah satu anggota Tentara Pembebasan Nasional OPM—sebuah gerakan yang ingin merdeka dari Indonesia sejak 1965—dan sempat keluar-masuk hutan di Merauke. Keduanya berusia di awal 30-an dan kini bersekolah di Melbourne dengan konsentrasi yang berbeda, yaitu pembangunan komunitas internasional serta matrikulasi bahasa Inggris.Amatus berasal dari keluarga yang berkecukupan di Paniyai. Tubuhnya lebih kecil dibandingkan Florentinus, yang memiliki badan tinggi dan tegap, yang berasal dari sebuah keluarga sederhana di Merauke.

Kesan saya, Florentinus agak pendiam. Namun mereka memiliki cita-cita yang sama: kemerdekaan untuk Papua. Pada periode 1998-2000, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)—organisasi sipil yang memfokuskan pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Jakarta— mencatat maraknya pelanggaran oleh aparat TNI maupun kepolisian. Ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.Kontras mencatat minimal tiga bentuk pelanggaran yang dominan selama 3 tahun di Papua, yakni pembunuhan, penahanan tanpa alasan hukum dan penyiksaan.

Pada 1998 pula, Presiden Soeharto akhirnya mengundurkan diri karena tekanan besar masyarakat sampai demonstrasi berdarah di Jakarta.

Salah satunya dikenal sebagai peristiwa Semanggi. Bacharuddin Jusuf Habibie kemudian menggantikannya. Namun kekerasan tak juga berakhir.

Khusus Papua sendiri, organisasi itu melaporkan sebanyak 146 kasus pelanggaran HAM terjadi pada akhir 2000.Telegram Kedutaan Amerika Serikat (AS) di Jakarta untuk Departemen Luar Negeri pada 29 Februari 1968 membeberkan bahwa tentara bukanlah hal yang baru dalam sejarah Papua.

Dokumen tersebut menjelaskan sedikitnya 10.000 pasukan telah ditempatkan di sejumlah wilayah di Papua yang dulunya dikenal sebagai Irian Barat.

Namun ironinya justru tak membantu masyarakat. Penarikan akhirnya dilakukan dalam rangka reformasi besar-besaran.

“Sebanyak sepuluh ribu tentara tidak dibutuhkan di sana,” tulis telegram tersebut. “Mereka hanya menjadi beban, terutama pada perekonomian Irian Barat .”Kabel itu juga mengungkap bagaimana Papua bisa masuk ke dalam wilayah Indonesia. Ada rekayasa dalam pemungutan suara yang kelak dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada Juli-Agustus 1969.

Hasil keputusan Pepera menyatakan Irian Barat memilih menjadi bagian dari Indonesia. Menteri Luar Negeri saat itu, Adam Malik, mempercayai cara terbaik untuk mempengaruhi masyarakat di sana adalah melalui kepala suku.Adam juga menyarankan dukungan dari 60 kepala suku dapat diperoleh melalui pemberian bantuan kepada mereka beserta sukunya, termasuk, mengundang mereka ke Sukarnapura—nama ibukota sebelum diganti Jayapura —satu demi satu untuk berbicara kepada gubernur. Sementara kabel diplomatik Kedutaan Besar Jakarta ke Departemen Luar Negeri pada 28 Mei 1968—yang memuat perjalanan konsuler ke Irian Barat—menegaskan tentang kebohongan Jakarta.

Dokumen itu memaparkan para misionaris, pegawai PBB dan ‘separatis’ menganggap Indonesia tak akan pernah memberikan keinginan Irian Barat untuk merdeka.

“ akan mengatur pemungutan suara yang memastikan pilihan akan jatuh pada penggabungan ,” demikian bunyi kabel tersebut.Amatus mengetahui penyimpangan itu.Kini Papua semakin bergolak. Ada penempatan militer. Pelanggaran HAM dan kepentingan bisnis. Ketika kuliah di Universitas Negeri Papua, Manokwari, sejumlah dosennya khawatir saat berbicara soal hak-hak orang Papua.

Rektor juga melarang aktivitasnya. Amatus akhirnya dicopot dari posisi Gubernur Mahasiswa Fakultas Ekonomi Pembangunan.

Namun masalah ini tak membuatnya surut. Dia tetap saja mengkritik persoalan Papua melalui demonstrasi dalam peringatan Hari HAM Internasional pada 10 Desember 2002.“Beberapa gereja dan organisasi sipil mendukung protes terhadap masalah pelanggaran HAM,” ujarnya. “Namun setelahnya, banyak mahasiswa yang dijadikan target. Beberapa teman yang terlibat tiba-tiba menghilang, mungkin dibunuh atau diculik.”Bagaimana dengan Florentinus?Dia tak seberuntung Amatus soal pendidikan. Florentinus putus sekolah saat berumur 12 tahun atau ketika duduk di kelas I SMP karena latar belakang kemiskinan.

Orangtuanya hanya bertani ubi. Dia pun memutuskan untuk membantu keluarganya dengan berburu babi, rusa dan buaya. Pada pertengahan 2005,

Florentinus bergabung dengan OPM—yang sudah dikenal lama dalam lingkungannya— dan mulai keluar-masuk hutan di Merauke.Dia menilai organisasi itu berjuang untuk mendapatkan kembali hak-hak orang Papua. Tanah mereka. Florentinus tak hanya diajari memegang senjata: busur, tombak, parang dan senapan tua, tapi juga bertahan hidup. Kelompok yang pergi kota untuk makanan harus cerdik betul, karena nyawa taruhannya. Jika tak dapat makanan, terpaksa mereka berpuasa.“Saya sudah biasa tak makan tiga sampai empat hari,” ujar Florentinus, menepuk-nepuk perutnya sambil tertawa. “Kami juga bisa makan apa pun yang ada di hutan.”“Bagaimana caranya mendapatkan uang?”“Uang terkadang dari saudara yang bekerja di kota. Mereka punya simpati saja.”Militer Indonesia, menurut Florentinus, biasanya dengan mudah mengenali wajah anggota OPM dari muka.

Cukup dengan melihat jenggot atau jambang yang panjang dan tak terurus. Itu mengapa mereka harus hati-hati saat turun ke kota. Apalagi, suasana di Papua semakin memanas dengan didatangkannya lebih banyak pasukan militer.Laporan akhir 2005 oleh Human Rights Watch (HRW)— organisasi yang memfokuskan penelitiannya pada HAM dan berbasis New York—menemukan meningkatnya pelanggaran HAM di Papua dengan semakin meluasnya pemindahan paksa, penculikan, pembakaran dan penahanan semena-mena terhadap masyarakat sipil.

HRW juga mencatat terjadinya aksi sweeping serta kekerasan yang brutal untuk mengejar para militan.“Di Merauke, tentara Komando Pasukan Khusus secara rutin menangkapi orang Papua secara ilegal dan memukulinya,” ujar Brad Adams, Direktur Eksekutif HRW. “Di Jayapura, para penjaga penjara menyiksa para narapidana.”Amatus tengah berada di Manokwari, sedangkan Florentinus di dalam hutan Merauke . Keduanya bertemu dalam perjalanan mencari suaka politik ke Australia pada Januari 2006.

Florentinus mengatakan kelompoknya membatalkan aksi penyerangan militer ke Merauke, setelah pemimpin mereka tutup usia pada akhir 2005.

Joseph Makonama, Komandan Operasi Batalyon XII Sota, Merauke meninggal karena sakit. Mereka pun berpencar. Ada yang kembali ke hutan. Ada yang ingin mencari kerja ke kota. Bagi Florentinus, informasi tentang rencana pencarian suaka politik saat itu sudah tersebar, walaupun di tengah rimba.

Ini karena setiap kelompok memiliki jaringan yang menyebarkan perkembangan situasi terakhir. Akhirnya, 43 orang bertekad mengarungi Selat Torres ke Australia, dengan perahu berukuran 25 meter dan bermesin tunggal.

Amatus dan Florentinus di antaranya. Ada sembilan perempuan, termasuk anak-anak, dan sisanya laki-laki dewasa dan mulai uzur. Saat itu adalah 14 Januari 2006. Malam pekat. Angin berhembus kencang. Ombak besar. “Hari kedua, ombak tinggi sekali dan air laut memasuki perahu. Yang muda, mulai timba-timba air,” kata Florentinus.“Kami sudah tak punya harapan hidup. Air sudah sempat sepinggang saya,” lanjut Amatus. “Mesin juga mendadak mati. Anehnya, anak-anak kecil tak ada yang menangis.”Mereka sempat terombang-ambing. Tenda perahu rusak. Makanan tak punya. Namun menjelang pagi pada hari keempat, mesin perahu kembali hidup.

Laut juga mulai bersahabat. Amatus mengatakan mereka akhirnya mengikuti arah terbang burung maupun ikan di laut untuk menemukan daratan. Sekitar pukul 05.00 pagi waktu Australia, mereka mendarat di Semenanjung Cape York, Queensland. Awalnya, sebagian mereka ragu, apakah ini benar-benar sampai ke Australia.

Ada yang berpikir di Timor Leste. Papua New Guinea. Atau justru… kembali lagi ke Indonesia. Empat orang kemudian berenang ke tepian untuk memecahkan masalah. Akhirnya, mereka yakin telah tiba di Australia. Mereka juga sangat lapar.Orang-orang kapal itu selamat di Cape York.Pihak imigrasi datang memberikan makanan dan pakaian. Ada helikopter dan kapal yang mendekat. Mereka diwawancarai soal identitas dan alasan perjalanan mereka.

Mereka akhirnya ditampung sementara dalam sebuah rumah di Brisbane, ibukota Queensland. Setelah beberapa hari di sana, otoritas Australia membawa para penumpang perahu tersebut ke Christmas Island Immigration Detention Centre—yang berlokasi 2.600 kilometer dari barat laut Australia namun dekat sekali dengan Pulau Jawa yakni 360 kilometer—dan tinggal selama 3 bulan. Mereka mendapatkan visa sementara selepasnya. Amatus maupun Florentinus bahkan memperoleh visa permanen pada 2009. Kini mereka tinggal bersama dengan menyewa rumah di kawasan Clifton Hill, Melbourne. Meneruskan kuliah dan setia mengampanyekan kemerdekaan Papua. Tahun ini akan menjadi masa terakhir untuk Amatus berada di kampus. Dia akan mengikuti acara wisuda tahun depan.

Namun sejak 2009, Amatus mendirikan International Forum for West Papua (Info WP), organisasi yang melakukan advokasi tentang kemerdekaan Papua. Dia juga menjadi koordinator utama lembaga tersebut.Mereka rajin melobi politisi di Australia. Berkampanye di pelbagai forum internasional, salah satunya di Pacific Island Forum pada awal September lalu.

Aktif dalam demonstrasi publik. Dan terakhir, tetap berkomunikasi dengan para militan. Florentinus sendiri menjabat sesuai latar belakang pengalamannya sebagai tentara pembebasan, koordinator pertanahan keamanan Info WP.“Sejak dalam kandungan, orang Papua adalah OPM,” ujar Florentinus pada saya. “Dari Sorong sampai Merauke tujuannya sama saja, ingin merdeka.”Amatus juga tak lepas dalam mencermati perkembangan Papua. Ini terutama pasca kematian sembilan orang pada Kongres Rakyat Papua III—yang dihadiri sekitar 2.000 peserta—pada 19 Oktober 2011 akibat penembakan brutal aparat.

Belum lagi soal mogok kerja PT Freeport Indonesia—perusahaan terbesar tambang milik Amerika Serikat dan hadir pada sekitar 1967— sebulan sebelumnya, yang tetap melibatkan pihak keamanan.Peranan militer selalu dominan dan tak pernah berubah. “Pemerintah di seluruh dunia harus mengutuk atas kekerasan yang dilakukan aparat militer Indonesia,” papar Amatus dalam pernyataan resminya.

“Ini adalah hak kami untuk menentukan masa depan. Pemerintah Indonesia sudah memaksa kami selama hampir 50 tahun.”International Crisis Group (ICG)—organisasi yang berbasis di Brussels dan memfokuskan pada penanganan konflik—menilai Presiden Yudhoyono sebenarnya dapat mengambil langkah sederhana untuk penanganan Papua.

Memerintahkan aparat kepolisian menghentikan penembakan sebagai kontrol massa. Namun, ICG justru menyindir sikap presiden yang meminta menterinya untuk menjelaskan penembakan di kongres ke Amnesty International.

Penghentian penggunaan peluru terhadap pekerja maupun demonstrator, ujar Sidney Jones Penasihat Senior ICG, akan menurunkan angka kematian, meredam temperatur politik, sekaligus membuktikan bahwa pemerintah tak hanya bisa sekadar ngomong. Penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2008 yakni Papua Road Map: Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, mengatakan terdapat empat masalah Papua yang menjadi sumber konflik selama ini.

Pertama, marginalisasi dan diskriminasi orang asli Papua terkait dengan pembangunan ekonomi sejak 1970.

Kedua, kegagalan pembangunan walaupun pemerintah pusat memberikan otonomi khusus sejak 2001.

Ketiga, kontradiksi Jakarta-Papua soal identitas politik dan sejarah, dan keempat, pelanggaran HAM negara pada masa lalu. LIPI menawarkan empat penyelesaian melalui rekognisi, paradigma baru pembangunan, dialog sejarah Papua hingga jalan rekonsiliasi.Penelitian yang dikerjakan pada 2004-2006 itu juga menuturkan bagaimana program otonomi khusus tidak membawa perubahan, sedikitnya dalam tiga sektor yakni pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur.

Selain itu, maraknya korupsi dan tidak adanya transparansi anggaran daerah oleh para elit di Papua juga diungkapkan dalam laporan itu.

Khusus soal pembangunan, LIPI merekomendasikan paradigma yang baru, dengan lebih meningkatkan partisipasi orang-orang Papua.“Ini akan meyakinkan Indonesia dan ke-Indonesiaan menjadi bagian dari pelayanan publik serta fenomena sosial,” demikian seperti tertuang dalam kesimpulan eksekutif. “Secara bertahap ini akan membantu orang Papua merasa nyaman dan bangga menjadi bagian dari Indonesia.”Kami akhirnya berpisah sementara di Flinders Street Station sore itu. Saya menuju tempat tinggal— sebuah apartemen sewa—di kawasan Carlton Place, sekitar 15 menit dari stasiun menggunakan tram.

Amatus dan Florentinus juga kembali ke Clifton Hill. Waktu sudah menujukkan hampir pukul 06.00 tetapi Melbourne belum juga gelap. Tetapi setidaknya buat saya, hari itu semakin dingin. (Izf/Bsi) (anugerah.perkasa@bisnis.co.id)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny