Komnas HAM Desak Polda Papua Ungkap Pelaku Penembakan

NATALIS PIGAI
NATALIS PIGAI

Jayapura – Natalius Pigai, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Indonesia meminta Kapolda Papua dan jajarannya agar  segera mengungkap pelaku penembakan terhadap Melage Tabuni (40) pada hari Selasa (1/1) lalu di Halte Taman Mandiri, samping Purasko Satkamla Lantamal X Jayapura.

“Kapolda beserta jajarannya harus segera mengungkap siapa pelaku penembakan walaupun di media cetak hari ini bahwa Kapolresta Jayapura, AKBP Silas Papare mengatakan, korban bukanlah korban penembakan, melainkan korban peluru nyasar,”

kata Pigai saat menghubungi tabloidjubi.com, Kamis(3/1).

Menurut Pigai, sebenarnya Kapolresta Jayapura sudah tahu siapa pelakunya sehingga pihaknya meminta Kapolda Papua dan jajarannya untuk segera mengungkap pelaku penembakan tersebut. Ditegaskan persoalan itu harus tetap diproses.

“Bila itu memang peluru nyasar akibat dari euphoria tahun baru seperti yang diungkapkan oleh Kapolresta Jayapura maka tidak mungkin ada peluru tanpa ada yang menembakannya. Saya ingin meminimalisir pandangan orang bahwa saat ini Papua dijadikan sebagai area baru terorisme. Apalagi kelompok pejuang HAM di Papua dijadikan teroris,”

kata Pigai lagi.

Pigai meminta Kapolda, jangan karena berada di lingkungan Densus 88 lau kemudian menerapkan Pasal Terorisme di Papua. Untuk memberlakukan pasal terorisme di Papua, harus dibaca dengan baik.

Terkait pemberitaan di media nasional terkait isu masuknya jaringan teroris pimpinan Santoso yang merupakan kelompok Komando Mujahidin Indonesia Timur (KMIT) ke Papua seperti juga yang diberitakan tabloidjubi.com, bagi Pigai itu bukanlah alas an menjadikan terorisme sebagai kambing hitam dalam peristiwa penembakan di Papua.

“Pelarian teroris dari Posso itu berbasis identitas agama yaitu agama Islam, sedangkan apa yang dilakukan perjuangan yang dilakukan Perjuangan Orang Papua berdasarkan identitas ideologi politik dan hak-hak dasar Orang Asli Papua,”

ungkap Pigai lagi.

Pigai berpendapat, peristiwa penembakan tidak boleh dijadikan alat justifikasi untuk membenarkan masuknya kelompok teroris ini ke Papua. Pihaknya berjanji untuk terus memantau kondisi HAM di Papua karena peristiwa penembakan yang terjadi di hari pertama Tahun 2012.

“Apa yang akan terjadi pada 363 hari berikutnya di Papua?”

tanya Pigai mengakhiri wawancara. (JUBI/Aprila Wayar)

Thursday, January 3rd, 2013 | 15:10:24, TJ

DAP Baliem Sambut Hibah Hellman/Hammett

Lemok Mabel, Ketua DAP Lembah Baliem(Jubi/ist)
Lemok Mabel, Ketua DAP Lembah Baliem(Jubi/ist)

Jayapura — Dewan Adat Papua wilayah Balim menyambut pemberian Hibah Helman/Hammett kepada Domminikus Surabut salah satu tokoh adat dari Papua. Dewan menyambut hangat dengan alasan hibbah ini mengingatkan semua pihak penegakan Hak Asasi Manusia itu sangat penting dan terus menjadi perhatian semua pihak.

Penghargaan ini membuka mata masyarakat bahwa penegakan HAM dan  perlindungan terhadap Sumber Daya Alam(SD) sangat  perlu,”

kata Lemok Mawel, ketua Dewan Adat Papua (DAP) wilayah Balim, kepada tabloidjubi.com, Kamis (27/12).

Dia menambahkan, hibah ini bukanlah  suatu pencapaian hasil melainkan awal dari suatu perjuangan. Ini merupakan awal motivasi bagi pekerja HAM untuk lebih bersemangat lagi.

“Semangat kerja itu lebih penting dan  bukan hasil akhir,”

katanya.

Karena ini sebagai motivasi awal, kata dia, pihak dewan adat menyambut baik pemberian hibah ini.

“Kami DAP sangat menghargai itu karena ini dapat mendorong teman-teman aktivis untuk bekerja lebih serius lagi,”

katanya.

Dengan penghargaan ini, lanjut  Lemok, pihak DAP sangat berharap, para pekerja harus lebih aktif lagi melakukan adovokasi-advokasi.

“Advokasi-advokasi terhadap masalah kemanusian sangat penting yang sering kita lupakan,”

katanya.

Sementara itu, kantor Sekretariat Dewan Adat Balim mengadakan perayaan natal sekaligus syukuran atas penerimaan hibah Helmman/Hammett pada hari ini. “Kami syukuran sekaligus natal bersama di atas puing-puing kebakaran kantor dewan adat,” kata Engel Surabut, Staf Dewan adat Balim kepada tabloidjubi.com.

Sekedar diketahui bahwa kantor Dewan Adat Balim diduga telah dibakar oleh pihak kepolisian Resort Jayawijaya, pada 16 Desember malam. (Jubi/Mawel)

Thursday, December 27th, 2012 | 17:22:43, TJ

Ini Catatan untuk Foker LSM Papua

Suasana

Jayapura — Sejumlah catatan kritis disampaikan beberapa perwakilan masyarakat sipil, yakni aktivis hukum dan hak asasi manusia, tokoh perempuan, advokat hukum, tokoh pemuda, aktivis LSM, dan masyarakat adat. Berikut catatan kritis yang disampaikan.

Matius Murib, mantan Wakil Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua di Jayapura mengatakan masih banyak kejadian pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Peristiwa pelanggaran HAM di Papua, bertambah, tidak berkurang. Sebaliknya, terus meningkat. Semisal, kejadian yang baru terjadi di Wamena pekan ini, Desember 2012. Dalam kejadian itu, sebanyak 17 rumah milik warga sipil disana, dibakar.

“Ini kejadian yang baru terjadi. Tapi, aparat keamanan dan pemerintah belum menyelesaikannya dengan baik. Sebelumnya, banyak peristiwa pelanggaran HAM terjadi namun belum terselesaikan,”

kata Matius dalam acara Refleksi sekaligus serah terima jabatan dari Sekretaris Eksektif (SE) lama ke SE baru Foker LSM Papua di Kantor Foker di Abepura, Jumat (21/12) malam. Matius optimis, jika peristiwa seperti itu masih dan tak mampu dibendung maka ditahun baru, 2013 nanti, ekskalasi kekerasan di Papua akan meningkat.

Fin Yarangga, tokoh perempuan sekaligus ketua jaringan perempuan HAM Papua menuturkan, pekerjaan penyelesaian masalah HAM yang selama ini dikerjakan terkesan jalan ditempat. Tak ada perubahan. Tergambar pada peristiwa-peristiwa HAM yang tak kunjung tuntas namun terus bertambah. Namun, menurutnya, pekerja HAM dan aktivis LSM tak usah mundur. Dengan adanya kejadian-kejadian itu, memotivasi pekerja HAM dan aktivis terus semangat menguranginya.

Thobias Bogobauw, mewakili tokoh pemuda berharap, Foker LSM terus mendampingi persoalan perusahaan penambangan illegal yang masih beroperasi di kawasan Degeuwo, Nabire, Papua. Pasalnya, hingga kini masih beroperasi dan melancarkan bisnisnya.

“Memang kami sudah berusaha untuk menghentikan perusahaan itu. Tapi, sampai saat ini masalah itu belum selesai,”

ungkapnya.

Cris Neluyuk, masyarakat adat dari Merauke mengungkapkan, saat masyarakat Malin Anim dibeberapa kampung di Merauke menderita akibat ulah perusahaan. Air yang dulunya dikonsumsi warga sudah tak lagi dikonsumsi. Ikan-ikan dalam kali mati. Hutan warga hilang karena dibabat habis perusahaan. Ibu-ibu mencari air lebih jauh lagi dari sebelumnya yang hanya di ambil didekat rumah.

Gustaf Kawer, advokat hukum menandaskan hal yang perlu diperhatikan dan dilakukan adalah pembagian peran. Harus ada yang khusus mengurus dan mengadvokasi soal pelanggaran HAM, masalah perempuan, dan masalah anak, masalah hukum dan persoalan lainnya.

“Harus ada pembagian peran yang jelas. Dengan demikian, apa yang dikerjakan bisa berhasil,”

tuturnya.

Br. Edy Rosariyanto, direktur Sekretariat Keadilan Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC) menuturkan, jika alam ciptaan tak dijaga secara baik maka akan rusak.

“Mari kita jaga alam kita dengan baik supaya tidak rusak,”

harapnya. Dia meminta, kedepan pekerja LSM dan aktivis sosial lainnya tetap bergandeng tangan untuk mengkritis kebijakan pemerintah yang tak berpihak pada warga sipil dan alam.

Sejumlah catatan kritis ini disampaikan dalam acara refleksi sekaligus serah terima SE lama, Septer Manufandu ke SE baru, Lin Maloali, yang berlangsung di kantor Foker LSM Papua, Jumat (21/12) malam. (Jubi/Musa)

 Monday, December 24th, 2012 | 14:28:31, TJ

Penyelesaian Kasus HAM Versi Elsham Papua

Jayapura –– Lembaga Study dan Advokasi Hak Asasi Manusia (ELSHAM) Papua mengemukakan solusi penyelesaian kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di wilayah tertimur ini. Berikut solusi yang dikemukakan lembaga itu.

Solusi tersebut disampaikan oleh koordinator Advokasi ELSHAM Papua, Sem Rumbrar kepada pers di Abepura, Rabu (19/12). Pertama, untuk menyelesaikan kasus HAM maka perlu ada KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).

“Kalau ada lembaga ini, pasti ada pengungkapan kebenaran dari para korban kasus HAM,”

katanya.

Kedua, pengadilan adhoc yang khusus menyidangkan kasus HAM. Melalui persidangan tersebut, negara perlu bertanggung jawab terhadap korban pelanggaran kasus pelanggaran hak asasi manusia. Ketiga, rehabilitasi nama baik para korban.

“Perlu ada rehabilitasi nama baik dari para korban HAM,”

ungkapnya.

Terakhir yakni keempat, perlu pelayanan kesehatan kepada para korban HAM. Sem menambahkan, selain itu, perlu juga ada reformasi restitusi penegak HAM.

“Pengadilan harus fair. Pengungkapan kasus harus prosedural,”

ujarnya. (Jubi/Musa)

Wednesday, December 19th, 2012 | 20:28:30, TJ

Operasi Militer di Papua Banyak Melanggar HAM

Jayapura – Penerapan Operasi Militar di Papua pada masa lalu, diduga mengakibatkan terjadinya banyak pelanggaran HAM.

Hal itu seperti diungkapkan Plt. Kepala Perwakilan Komnas HAM Papua, Frits B Ramandey dalam pidatonya terkait dengan perigatan hari HAM ke-64 tahun, tanggal 10 Desember   yang di perigatan secara serentak di seluruh dunia,  termasuk Papua.

Menurut Frits, Kajian  Komnas HAM tentang Daerah Operasi Militer  di Tanah Papua menunjukkan banyak hal yang harus dimintai penjelasan dan klarifikasi. Sebut saja, operasi Koteka di Wamena,  penculikan sejumlah orang di Puai Sentani, pemerkosaan terhadap sejumlah perempuan di Mapenduma sebagaimana diungkapkan tim pencari fakta tahun 1998, yang dipimpin Abdul Gafur di Irian Jaya saat itu.

Dikatakan,  pembungkaman Grup Mambesak adalah bukti lain bagaimana Negara melakukan intimidasi terhadap masa depan orang Papua tatkala itu. Fakta yang tak dapat dielakan oleh praktek militer di Papua adalah penculikan dan pembunuhan pemimpin Papua  Theys Hiyo Eluay, tetapi kita harus yakin bahwa waktu Tuhan selalu indah pada waktunya. Zaman berubah. Rezim orde baru dengan segala otoriternya berakhir dengan adanya gerakan reformasi. Saat itulah kesempatan yang paling berharga bagi orang asli Papua dan semua orang yang ada di Papua untuk menyerukan perubahan termasuk dengan bebas meneriakan nama Papua untuk dikembalikan. Otsus Papua lahir dari perjuangan dan teriakan akan hak asasi manusia dan dugaan pelanggaran HAM masa lalu terhadap HAM orang Papua. Menyadari akan sikap Negara di waktu lalu itulah, maka dalam rumusan UU Otsus Papua dicantumkan pada pasal 45 tentang  kewajiban pemerintah, pemerintah pusat untuk memajukan HAM di tanah Papua.

Oleh karena itu upaya pemajuan, perlindungan, dan penegakkan HAM tidak dapat dilakukan hanya dengan mengedepankan aspek pemantauan dan penindakan semata. Upaya yang tidak kalah pentingnya adalah pendidikan dan pemasyarakatan HAM. Hal itu sangat diperlukan untuk memperluas basis sosial bagi tumbuhnya kesadaran HAM, yaitu kesadaran untuk menghargai manusia dan kemanusiaan sebagai wujud karakter bangsa  sebagai bangsa yang mengakui prinsip kemanusiaan yang berkeadilan . Dengan demikian pemahaman dan kesadaran sosial mengenai HAM dapat segera ditingkatkan sebagai basis sosial yang penting dalam upaya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM.

“Pada kesempatan yang berbahagian ini saya ingin menunjukan beberapa catatan penting dugaan operasi militer di Irian Barat, Irian Jaya sampai Papua  yang sedang di kaji oleh Komnas HAM RI dimana patut diduga akibat operasi-operasi  tersebut terjadi dugaan pelanggaran HAM diantaranya. Operasi Jayawijaya (1961-1962), Operasi Wisnumurti (1963-1965), Operasi Sadar (1965), Operasi Bharatayudha (1966-1967), Operasi Wibawa (1967), Operasi Khusus Pemenangan Pepera (1961-1969), Operasi Tumpas (1967-1970),”

katanya.

Berbagai Operasi Militer Pasca PEPERA
Operasi-operasi militer pasca-PEPERA yang dimenangkan oleh Indonesia secara umum bertujuan untuk mempertahankan hasil PEPERA, mensukseskan Pemilu, dan menumpas gerakan  OPM. Operasi-operasi tersebut adalah sebagai berikut:

1. Operasi Pamungkas (1971-1977)  Operasi Koteka (1977-1978)
Di areal PT. Freeport di Timika pada Juli 1977, penduduk yang ditengarai OPM melancarkan serangan ke pipa-pipa dan fasilitas milik PT.Freeport karena merasa kecewa atas kehadiran perusahaan itu yang menyengsarakan masyarakat, merampas tanah ulayat masyarakat adat, dan merusak lingkungan hidup. ABRI membalas perlawanan ini dengan menyerang kelompok OPM dari udara mempergunakan pesawat Bronco OV-10.  Operasi Senyum (1979-1980), Operasi Gagak I (1985-1986) Operasi Gagak II (1986), Operasi Kasuari I (1987-1988), Operasi Kasuari II  (1988-1989) Operasi Rajawali I (1989-1990), Operasi Rajawali II (1990-1995)

Dari operasi-operasi tersebut patut diduga ratusan orang menjadi korban baik masyarakat sipil maupun aparat TNI dan Polri.

1.0. Kebijakan Penempatan Transmigrasi

Pemerintah menempatkan transmigrasi dari berbagai daerah di luar Papua masuk ke Papua dengan , alasan pemerataan penduduk haruslah diapresiasi karna  ada transformasi pengetahuan dan ketrampilan. Tapi yang sangat disayangkan adalah kebijakan tersebut mengabaikan keberadaan masyarakat lokal di Papua dengan segala hak-hak ulayatnya. Pemerintah mengabaikan peran  pemimpin lokal sehinga belakangan terjadi banyak aksi kekerasan yang diduga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa para transmigran di Arso, di Merauke. Penyanderaan Kelompok Marten Tabo 1978 terhadap Ketua DPRD Irian Jaya Pendeta Wilem Mayoali, bersama 3 orang petinggi Kodam Cenderawasih adalah bukti ketidak puasan masyarakat sipil atas kehadiran Transmigrasi di sekitar wilayah Jayapura.

1.1. Kebijakan Operasi Klandensten 1997-an

Ketika reformasi mulai bergulir 1997, di seantero nusantara  berbagai daerah mulai bergolak. Aceh dan Papua sebagai daerah konflik masyarakat kemudian memanfatkan situasi reformasi untuk menyampaikan aspirasi merdeka kepada pemerintah dan masyarakat internasional melalui LSM. Pemerintah kemudian mengeluarkan dokumen operasi tertutup untuk mengikuti semua pemimpin dan para aktivis HAM dan Demokrasi. Hasilnya, patut diduga penculikan dan pembunuhan pemimpin masyarakat bangsa Papua Theys Hiyo Eluai tahun 2001. Juga penculikan dan penghilangan sopir Theys H Eluay, Aristotoles Masoka, yang sampai saat ini belum juga ditemukan keberadaannya. Kasus Wamena dan Waisior yang suda di tindak lanjuti Komnas HAM namun masih tertahan di Kejaksaan Agung  semua ini menunjukan jalan panjang menuju penegakan HAM yang di harapkan masyarakat di tanah Papua.

1.2. Kebijakan operasi Pemekaran

Dalam catatan Komnas HAM Papua  lima tahun terahir, fenomena konflik sosial menunjukan intensitasnya yang semakin tinggi dan sudah memasuki suatu situasi hak asasi yang memprihatinkan. Komnas HAM Papua mencatat kurang lebih 121 masyarakat sipil korban meninggal dunia akibat konflik pemilihan kepala daerah, belum termasuk korban luka dan kerugian material lainnya. Situasi konflik sosial diduga akibat kepentingan para calon kepala daerah yang tidak lolos pilkada, juga partai politik yang terlibat dalam pusaran konflik tersebut.

Konflik yang berlarut-larut di tengah masyarakat akibat pemekaran dan pemilihan kepala daerah di Papua merupakan potensi pelangaran HAM yang setiap saat mengancam rasa aman  masyarakat, juga keberlanjutan pembangunan untuk pemenuhan hak-hak ekonomi sosial dan budaya.

Insiden-insiden kekerasan bersenjata  di Papua mengalami kecenderungan meningkat. Dari aksi aksi kekerasan bersenjata tersebut, sepanjang tahun 2012 tercatat telah menelan kurang lebih 16 korban jiwa, baik masyarakt sipil maupun aparat TNI/POLRI.
Komnas HAM sebagai lembaga Negara tentu memiliki tanggung jawab konstitusional untuk  memulihkan rasa kepercayaan masyarakat kepada Negara dengan cara mengungkapkan berbagai  kebijakan yang diduga terjadi pelanggaran HAM.Namun demikian, pengungkapan situasi masa lalu tersebut adalah semata-mata untuk menjadi cermin bagi pemerintah untuk melakukan kewajibannya terhadap masyarakat. Dengan begitu, masyarakat kembali mempercayai pemerintah dan kemudian memberikan dukungan bagi kuatnya legitimasi penyelengaraan  pemerintahan.

Dikatakan, harus diakui Otonomi khusus Papua telah  memberikan dampak pembagunan yang signifikan, pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal dan  identitas masyarakat adat di Papua, Sayangnya, masih ada konflik agraria yang terjadi dihampir seantero tanah Papua,. Dengan tema hari HAM internasional  tahun 2012 yaitu  Korporasi dan HAM, maka dalam konteks Papua kita patut memberikan perhatian kepada keberadaan perusahan-perusahan multi nasional seperti PT.Freeport dan BP Tanggu  agar tidak mengabaikan hak-hak masyarakat lokal. Bukan itu saja, tapi pemberdayaan masyarakat lokal haruslah menjadi perhatian dan pelestarian lingkungan hidup menjadi mutlak dilakukan. Usaha pangan di MIFE Merauke telah membuat konflik dengan masyarakat lokal haruslah menjadi perhatian pemerintah agar pengembangan usaha MIFE tidak meminggirkan masyarakat lokal. Berbagai tanah-tanah peninggalan pemerintah Belanda yang di kuasasi secara sepihak oleh pemerintah,TNI dan Polri  masih saja diadukan masyarakat kepada Komnas HAM untuk ditindaklanjuti tentang hak kepemilikannya yang sampai saat ini belum ada kompensasi kepada masyarakat pemilik hak ulayat.

Dinas Pendidikan Pemuda dan Olah Raga Propinsi Papua  menyampaikan bahwa  terdapat 70 kampung di Papua tidak memiliki Sekolah. Ini sangat mengagetkan  dan patut diduga  telah terjadi pembiaran atas terpenuhinya hak ribuan anak atas atas pendidikan. Karena itu, Komnas HAM Papua mendesakan pihak kepolisian untuk segera melakukan penyelidikan untuk mengungkap dugaan penyalahgunaan biaya  pendidikan yang dialokasihkan dalam otonomi khusus. Situasi serupa patut di duga terjadi juga dalam pelayanag kesehatan bagi masyarakat di Papua.

Dalam laporan yang diterima Komnas HAM, banyak pejabat di lingkungan pemerintah Kabupaten dan Kota di Papua dan Papua Barat cenderung memperkaya diri dengan menyalagunakan kewengan yang dimilikinya. Hal ini haruslah menjadi perhatian kita bersama dan karena itu Komnas HAM menyerukan agar masyarakat di Papua haruslah mengambil bagian dalam memberantas praktek-praktek penyalahgunaan kewenangan. Kita juga harus memberikan apresiasi kepada Polda Papua yang sedang giat mengungkap korupsi.

Di tahun 2012 Komnas HAM mencatat telah terjadi eskalasi kekerasan yang meningkat, baik yang dilakukan oleh orang tidak dikenal (OTK), oknum aparat Kepolisian, atau pun TNI dengan dalih memberantas kelompok Orang Tak dikenal. Situasi ini tentu meresahkan masyarakat sehinga hak rasa aman menjadi terabaikan.  Tekanan yang dialami oleh Direktur Kontras Papua ibu Olga Hamadi, ketika melakukan pra-peradilan terhadap Kepolisian Jayawijaya di Wamena  adalah suatu keadaan yang dapat mengancam kerja-kerja aktivitas HAM dan Demokrasi. Hal ini haruslah disikapi serius. Karenanya, Komnas HAM Papua menyerukan kepada masyarakat sipil agar memahami kerja-kerja para aktivis HAM  yang akan menyuarakan dan membela hak-hak konstitusi masyarakat sipil.

Menjelang pemilihan  Gubernur Provinsi Papua tahun 2013, Komnas HAM menyerukan agar masyarakat sipil tidak terprovokasi oleh berbagai dalil dan kepentingan politik kelompok kepentingan yang dapat menimbulkan ekses kekerasan, kepada para aktor politik untuk tidak menyeret masyarakat sipil dalam kepentingan sesaat, tetapi sebaiknya kita bersama mempersiapkan masyarakat untuk menyalurkan hak politiknya secara bermartabat.

Komnas HAM Papua juga memandang penting dilakukannya dialog secara bermartabat sebagai langka strategis dalam menyelesaikan konflik diantara masyarakat tapi juga antara masyarakat dengan pemerintah.

Untuk peringatan hari HAM  10 Desember 2012, selain tema Internasional Korporasi dan HAM, tema kampanye HAM di Papua yang dipilih Perwakilan Komnas HAM Papua adalah

“Jadikan HAM tanda Solidaritas Sosial untuk semua”.

Tema ini adalah suatu refleksi bersama untuk mendorong pemajuan, promosi dan penegakan HAM di Papua.

Saya menyerukan kepada semua pihak untuk saling menghormati dan melaksanakan  tanggung jawab yang diembannya dan harus menghindari pemaksaan kehendak terhadap satu dengan yang lain. Berangkat dari berbagai konflik sosial yang berbuntut pada aksi kekerasan yang menelan korban jiwa, tentu rakyat sipil tidak boleh memaksa kehendak kepada Polri dan TNI. Tetapi, POLRI dan TNI juga tidak boleh merespon aksi masyarakat sipil dengan berlebihan dan menggerakan kekuatan penggunaan senjata yang mengakibatkan korban pada kelompok masyarakat sipil. Begitu juga halnya pengusaha, boleh bermitra dengan pemerintah tetapi  tidak boleh bermitra untuk mengerogoti uang rakyat karena akhirnya rakyat juga akan marah.

“Dalam hasil kajian Komnas HAM di beberapa daerah pengusaha justru memainkan hal-hal strategis sebagai akibat dari proses pemilihan kepala secara langsung ini  akibat pinjaman uang oleh kandidat kepada pengusaha,”

katanya.(don/don/l03)

Senin, 10 Desember 2012 09:56, BP

Komnas HAM Akan Bentuk Tim Tangani Tapol/Napol

Jayapura ((2/12) — Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI akan membentuk tim guna menyelesaikan masalah Tahanan Politik/Narapidan Politik (Tapol/Napol) yang ada di Papua. Komisioner Komnas HAM RI, Natalius Pigai mengatakan tahun depan tim ini sudah akan mulai bekerja.

“Salah satu yang akan dibahas didalam tim ini adalah peninjauan kembali soal status puluhan Tapol/Napol yang saat ini mendekam di penjara Papua. Perlunya amnesty bagi Tapol/Napol di Papua sebagai bagian dari solusi. Tapol/Napol itu bukan penjahat, bukan pencuri dan bukan kriminal,”

kata Natalius Pigai, Sabtu (1/12).

Ia menegaskan, para Tapol/Napol itu adalah mereka yang menyampaikan expresi hati nuraninya dan itu dalam konteks Hak Asasi Manusia.

“Kalau expresi nurani mereka dibungkam, itu kan melanggar HAM juga,”

tegas Natalius Pigai.

Belakangan ini sejumlan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang ada di Papua mengklaim jika pemerintah tak memperhatikan Tapol/Napol di Papua. Misalnya tentang hak memperoleh kesehatan bagi Tapol/Napol. Hal ini membuat sejumlah LSM turun jalan untuk meminta sumbangan kepada masyarakat dan juga lembaga bagi pengobatan Tapol/Napol di Papua. (Jubi/Arjuna)

Sunday, December 2nd, 2012 | 17:12:16, www.tabloidjubi.com

Mathius Murib: Kasus Dany Kogoya Jangan Didramatisir

JAYAPURA— Pembela  HAM dan Direktur Baptis Voice Papua  Mathius  Murib  mengatakan, kasus Dany Kogoya jangan didramatisir,  sebab banyak hal yang aneh dan perlu diklarifikasi.  Selain itu, Dany Kogoya Cs   berhak didampingi Penasehat Hukum.
Hal itu diungkapkan melalui  Siaran Pers  yang diterima Bintang Papua, Rabu (14/11)  terkait  kasus Dany Kogoya  yang diduga pelaku   kasus Nafri , 1 Agustus  2011
Ia mengatakan, motif  dan pelaku utama yang  memberi perintah  belum ditangkap, karena  Dany Kogoya mengakui dirinya dimanfaatkan pihak tertentu. Kemudian, jangan sampai penyidik Polisi dan Jaksa mendikte Dany Kogoya  Cs tentang motifnya.

Sebelumnya,  Kejaksaan Negeri Jayapura  minta  penyidik Polres Jayapura menambahkan  pasal makar  karena   ada upaya-upaya  untuk  melakukam  makar,    terkait  keterlibatan  Dany Kogoya  Cs   dalam kasus   pembunuhan  berencana  di  Nafri,  Distrik  Abepura, Kota Jayapura  yang menewaskan  4  warga. Pasalnya,  kegiatan  Dany  Kogoya  Cs  kala  itu  tak hanya  aksi  pembunuhan  berencana, tapi juga  mengibarkan bendera  Bintang Kejora  simbol  perjuangan  Papua  merdeka sehingga  perlu  disisipkan pasal makar. Dikatakannya,  pihaknya   baru   menerima  berkas  perkara  Dany Kogoya Cs dari penyidik Polres Jayapura  Kota,  setelah sebelumnya  pihaknya mempelajari   berkas ini kemudian  mengembalikan ke penyidik  karena ada  kekurangan. Dan oleh penyidik  berkas  perkara  yang  bersangkutan  sudah dipenuhi sekaligus  dikembalikan  ke Kejaksaan  Negeri  Jayapura pada  Senin  (12/11).
Dia mengutarakan, pihaknya  akan  mempelajari lagi   berkas perkara Dany  Kogoya Cs sudah  dipenuhi  sesuai  petunjuk dari  Kejaksaan Negeri.  Kalau  sudah  dipenuhi  akan di-P21-kan  untuk selanjutnya  tersangka  dan barang buktinya  diserahkan  kepada   Jaksa.

Terpisah,  Kapolres  Jayapura Kota AKBP Alfred Papare, SIK membenarkan  adanya  petunjuk dari  Kejaksaan Negeri  Jayapura  untuk  ditambahkan  pasal makar pada kasus  Dany Kogoya Cs.

Menurutnya,  dugan makar  juga  didukung  dengan alat bukti yang disita pihak  kepolisian. Ada   barang bukti  juga yang mengarah  ke makar. Dan itu bisa menguatkan  petunjuk Kejaksaan.

Sekedar  diketahui,  kasus  pembunuhan  berencana  yang diduga dilakukan  Dany Kogoya Cs  mengakibatkan  4  warga  tewas  di Nafri,  Distrik  Abepura, Kota Jayapura  pada Agustus 2011. Dany Kogoya diciduk di salah-satu Hotel di Entrop, Distrik Jayapura Selatan pada 3 September 2012 silam.(mdc/don/l03)

Sabtu, 17 November 2012 09:32, www.bintangpapua.com

 

Kasus HAM di Papua Sebaiknya Diinventarisir

JAYAPURA – Berbagai permasalahan Hak Asasi Manusia (HAM) yang hingga kini menurut rakyat asli Papua belum tuntas diselesaikan, mendapat mtanggapan serius dari Direktur ICS Papua, Budi Setyanto,SH.

Dikatakan, masalah pelanggaran HAM di Papua sudah seharusnya menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Pemerintah Pusat, yang dalam hal ini harus menginventarisir seluruh pelanggaran HAM di Papua kemudian dipublikasikan kepada publik.

Artinya, mana kasus pelanggaran HAM yang sudah diselesaikan secara hukum, mana yang belum diselesaikan, jika sudah diselesaikan seperti apa tingkat penyelesaiannya apakah model penyelesaiannya melalui peradilan ataukah melalui negosiasi, sebab faktanya yang terjadi pelanggaran HAM diyakini masyarakat Papua itu belum diselesaikan dengan baik.

“Solusinya adalah sekarang pemerintah harus inventarisir seluruh kasus-kasus di Papua, setelah itu harus diumumkan ke publik, supaya publik tahu bahwa ada kasus-kasus pelanggaran di Papua sekian banyak,” ungkapnya kepada Bintang Papua, Kamis, (15/11). Ditambahkan, dengan diumumkannya ke publik, tentunya masyarakat akan turut memberikan masukan-masukan kepada pemerintah, terutama dalam hal ini Komnas HAM (Pusat dan Papua) dan pihak penegak hukum.

Bukan itu saja, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua (DPRP dan Gubernur) setidaknya membentuk tim khusus (Timsus) bersama Komnas HAM untuk menginventarisir dan bersama-sama menanganinya secara komprehensif, bukan diselesaikan setengah-setengah. Hal semacam ini yang selama ini tidak dilakukan Pemprov Papua dan Komnas HAM.

“Kalau pelanggaran HAM tidak diselesaikan dengaan baik, maka selamanya jadi isu dan dituntut terus masyarakat. Ini harus ada kerjasama yang baik antara pemerintah, penegak hukum dan Komnas HAM, sehingga ini akan bisa memahamkan kepada masyarakat bahwa kasus-kasus pelanggaran di Papua serius diselesaikan,” jelasnya.

Tambahnya, “Selama ini kita hanya bicara bahwa terjadi pelanggaran HAM di Papua, tapi harus kita punya data yang valid bahwa pelanggaran HAM itu berapa banyak sesuai kategorinya, ini agar batasan HAM nya jelas dan jelas pula penanganannya jelas,” sambungnya.(nls/don/l03)

Jumat, 16 November 2012 08:30, Binpa

FAP HAM dan FMMP Nilai Pelaksanaan Pepera Tak Sah?

Suasana konferensi pers di Prima Garden Abepura, Senin, (12/11)
Suasana konferensi pers di Prima Garden Abepura, Senin, (12/11)

J AYAPURA – Forum Anti Pelanggaran HAM (FAP HAM) di Papua dan Federasi Mahasiswa Militan Papua (FMMP) menilai selama ini demokrasi di Papua ‘disunat’ oleh Pemerintah Pusat, sejak tahun 1963 hingga kini. Hal itu mulai dari bidang politik sampai pada pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang tidak pernah dituntaskan penyelesaiannya.
Ketua Forum Anti Pelanggaran HAM (FAP HAM) di Papua, Septi Meidodga, mengatakan, sejarah panjang perjuangan kemerdekaan bangsa Papua Barat mengalami sebuah proses yang cukup fluktuatif. Rakyat Papua menyesalkan dan menganggap tidak sah peralihan kedaulatan bangsa Papua pada 1 Mei 1963 secara de facto dan 1969 secara de jure melalui Pepera yang penuh dengan rekayasa dan intimidasi.

Menurutnya, pelaksanaan Pepera tak sah karena tidak sesuai perjanjian New York 15 Agustus 1962 pasal 18 butir d, ‘Yang menetapkan kebebasan memilih bagi semua orang dewasa pria dan wanita, dan bahwa dalam melaksanakan Act of Self-determination harus sesuai dengan tata kebiasaan atau praktik internasional’, atau one man one vote. “Bahwa 1.026 orang yang dipilih Indonesia yang menentukan hasil Pepera sebagai kemenangan Indonesia adalah segelintir rakyat Papua. Hanya, 0,8 persen dari 800,000 rakyat Papua waktu itu. Mayoritas rakyat Papua yakni 99, 2 persen yang karena intimidasi tidak memberikan hak suara,” tegasnya dalam keterangan persnya di Prima Gardern Abepura, Senin, (12/11). Papua setelah berintegrasi dengan Indonesia dan setelah 51 tahun berada dalam negara Republik Indonesia, bangsa Papua mengalami perlakuan-perlakuan yang tidak adil dan manusiawi serta pelanggaran HAM, ketidakadilan sosial dan hukum yang mengarah pada praktik genoside bangsa Papua. “Maka atas dasar hal-hal tersebut di atas menyatakan kehendak kami untuk memilih merdeka-pisah dari NKRI kembali ke status kami sebagai bangsa dan negara Papua Barat 1 Desember 1961,”katanya.

Dalam konteks kebijakan politik Jakarta berupa paket Otonomi Daerah sampai Otonomi Khusus tidak mampu menyelesaikan persoalan substansial rakyat Papua, yakni full independent seperti bangsa-bangsa lain di seluruh dunia.

DIkatakan, lagi-lagi UP4B sebagai “selang infus yang macet”, tidak mempunyai konsep yang jelas untuk membangun Tanah Papua ini, yang menurut mereka justru membuat Papua jadi “neraka dunia”.

Dengan demikian, melalui momentum Hari kematian Pahlawan Nasional ‘Bangsa Papua’ Theys Hiyo Eluay ini, dapat menjadikan sebagai momentum kontemplasi dan proyeksi terhadap seorang pemimpin karismatik tradisional rakyat Papua ini atas penculikan dan pembunuhan yang misterius.

Menurut mereka, tragedi kematian Ketua Presidium Dewan Papua (PDP) Theys Hiyo Eluay pun kini menyimpan sejuta misteri dan menjadi simpang siur yang berkepanjangan bagi rakyat Papua dan dunia internasional. Padahal, hal yang paling hakiki dalam kasus Theys adalah, Siapa yang membunuh? Mengapa di bunuh? Dan atas perintah siapa?. Para eksekutor lapangannya sudah ditangkap dan diadili meskipun bebas, tetapi para jenderal- jenderla yang memegang komando ini tidak pernah di ungkap dan di adili di meja hijau, meskipun kalau di adili pasti juga kebal hukum (impunity).

Dengan melihat potret kehiduapan rakyat bangsa Papua bersama pemerintah Republik Indonesia selama 51 tahun, namun rakyat Papua tidak diperlakukan sepantasnya sebagai manusia sebagai ciptaan Tuhan.

Ditambahkan, sesuai berbagai instrument-instrumen hukum internasional maupun nasional yang telah menjamin tentang HAM, hak-hak sipil dan politik seperti DUHAM 10 Desember 1948, Piagam PBB tentang HAM 1 Januari 1942, Pembukaan UUD 1945 bahwa sesungguhnya kemerdekaan ialah hak sagala bangsa, oleh sebab itu penjajahan di diatas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaaan dan peri keadilan, dan lebih lanjut dalam UU No. 12 tahun 2005 tentang pengesahan konvenan internasional tentang Hak-Hak sipil dan politik, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukan Pendapat di Muka Umum, dan UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama untuk bebas dari bentuk benjajahan, diskriminasi, intimidasi, dan genoside.

Federasi Mahasiswa Militan Papua (FMMP), Thomas Ch.Syufi, menyatakan, terhadap hal itu, pihaknya menyatakan beberapa hal. Antara lain, bersama seluruh elemen pergerakan mahasiswa Papua menyatakan sikap politik, antara lain menyatakan menolak keabsahan hasil Pepera 1969 karena cacat hukum dan moral dan segera direview kembali. Pemerintah Republik Indonesia segera menyelesaikan beragam kasus pelanggaran HAM di seluruh Tanah Papua sejak tahun 1961-2012, terutama kasus penculikan dan pembunuhan Ketua PDP Theys Hiyo Eluay.

Sementara itu terkait dengan peringatan 1 Desember mendatang, pihaknya meminta juga kepada Pemerintah Indonesia khususnya Polda Papua/Kodam XVII/Cenderawasih agar jangan menghalangi rakyat Papua untuk bebas berekspresi, karena selaku warga Negara Internasional mempunyai hak yang sama di hadapan hukum dan demokrasi.

“Kami harapakan supremasi hukum di tegakan, kalau orang bersalah, ya ditangkap, dan dipanggil, jangan langsung di tembak di tempat. Kami minta juga otak dari terbunuhnya diusut tuntas, karena kami nilai Pemerintah Pusat tidak punya komitmen yang sungguh-sungguh untuk tegakan hukum di Negara ini. Persoalan HAM di Papua ini harus diselesaikan,”

tegasnya. .(nls/don/l03)

Rabu, 14 November 2012 08:20, Binpa

11 November Harus Mempersatukan Orang Papua

Jayapura (2/11)—Momen peringatan kematian Theys Eluay, 11 November 2012 harus mempersatukan orang Papua. Pasalnya persatuan sudah menjadi agenda Dewan Adat Papua (DAP) dan Presedium Dewan Papua (PDP).

“DAP dan PDP harus bicara peringatan kematian Theys,” kata Thomas Syufi, Presiden Federasi Mahasiswa Militan Papua (FMMP) kepada tabloidjubi.com di Prima Garden Abepura, (1/11). Dia menambahkan DAP dan PDP harus membuat sesuatu yang mempersatukan semua orang Papua.

“DAP dan PDP harus buat satu kegiatan yang mempersatukan semua orang Papua. Ini peting karena sekarang ini terjadi fragmentasi pergerakan di Papua,”katanya.

Menurut Syufi, sampai kepada penyatuan, semua pergerakan harus bersatu.

“Sekarang, semua harus bersatu pada 11 November. DAP, PDP, KNPB, Front Pepera, NRFPB dan lainya harus bersatu,”

katanya.

Dikatakan persatuan ini penting untuk melihat kembali perjalanan dan melihat arah perjuangan. “Kita perlu merefleksikan kematian tokoh Papua. Kontemplasi dan proyeksi itu penting bagi perjalanan orang Papua,”katanya. Dalam rangka melihat masa lalu perjuangan tokoh Papua, Theys Eluay, FMMP akan menyelengrakan beberapa kegiatan dalam rangka memperingati kematian tokoh ini.

“Kita akan buat ceremonial seperti diskusi, ibadat atau bagi-bagi bungga,”

katanya akan melibat sejumlah organ lain yang berkepentingan dengan penentuan nasib sendiri.

Berhubungan dengan komentar pemerintah di media, tidak ada Negara yang mendukung Papua Merdeka, Syufi menilai itu retorika politik. Syufi mengajak rakyat Papua selalu optimis meraih kemerdekaan sampai titik darah penghabisan.

“Rakyat Papua harus optimis dengan langka persatuan. Suara tidak ada Negara yang mendukung Papua itu tidak benar. Negara manapun tergantung pada situasi politik. Rakyat Papua harus optimis,”

katanya. (Jubi/Mawel)

November 2, 2012 | JUBI

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny