Jenazah Korban Penyerangan OTK di Yahukimo telah Dievakuasi ke Kampung Halaman

JAYAPURA, LELEMUKU.COM – Jenazah warga sipil bernama Alm. Matius Ropa (50) yang menjadi korban penyerangan OTK di Kabupaten Yahukimo diterbangkan menuju Kampung Halamannya di Toraja Prov. Sulsel, Jumat (04/08).

Proses evakuasi dari Kabupaten Yahukimo menuju Kabupaten Jayapura tersebut menggunakan Pesawat Trigana Air IL222 (03/08).

Sesaat tiba di Bandara Sentani, Jenazah Alm. Matius (50) tersebut diterima oleh Kapolsek Bandara Ipda Wajedi, SH., M.Si. bersama personelnya untuk dibawa menuju Rumah kediaman Keluarga di BTN Sosial Sentani, Kabupaten Jayapura.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol. Ignatius Benny Ady Prabowo, S.H., S.I.K., M.Kom saat ditemui membenarkan proses evakuasi yang dilakukan aparat TNI-Polri tersebut.

Kabid Humas mengatakan, jenazah korban akan ditangani terlebih dahulu oleh pihak RS Bhayangkara sebelum diberangkatkan ke kampung halamannya untuk disemayamkan oleh pihak keluarga.

“Hari ini korban diberangkatkan menggunakan pesawat Batik Air ID6183 menuju Kota Makassar sekitar pukul 10.07 wit,” terangnya.

Sebelumnya, pada Rabu (02/08) sekitar pukul 11.15 wit, Polres Yahukimo menerima infirnasi bahwa ada seorang warga yang menjadi korban penganiayaan.

Di tubuh korban ditemukan tujuh luka akibat benda tajam. Sayangnya, ketika korban tiba di rumah sakit, keadaannya sudah sangat kritis dan nyawa tidak dapat diselamatkan.

Situasi pasca kejadian tersebut saat ini berangsur angsur kondusif. Aparat gabungan TNI/Polri tengah meningkatkan kegiatan seperti patroli untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan bersama. Kami mengajak warga khususnya di Kota Dekai untuk bersam-sama aparat keamanan dengan menjaga situasi kamtibmas yang aman dan kondusif.

Apabila menemukan atau mendengar hal-hal yang dianggap dapat mengganggu situasi kamtibmas di wilayahnya masing-masing untuk segera melaporkan ke pos aparat keamanan terdekat sehingga dapat diambil langkah-langkah tegas sesuai dengan UU yang berlaku.(HumasPoldaPapua)

Daftar Tokoh Orang Asli Papua yang neninggal dalam 4 tahun terakhir 2018-2021

Dari Tahun Ke Tahun Orang Asli Papua (OAP) Meninggal Dunia Tanpa Gejala Bahkan Meninggal Di Hotel Jakarta. Pemerintah Provinsi Papua Dan Tokoh-Tokoh Gereja Serta Tokoh Masyarakat Di 7 (Tujuh Wilayah Adat) Perlu Evaluasi Bersama Dalam Rangka Keselamatan Orang Asli Papua Di Masa Mendatang. Penelitian Ini Dibuktikan Dengan Beberapa Peristiwa Kematian Para Pemimpin Papua Di Tahun 2018 antara Tahun 2021. Kematian Semakin meningkat, Nama-Nama Para Pemimpin Tersebut Sebagai Berikut;

  1. Benediktus Tombonop Bupati Boven Digul (3/1/2020), Meninggal Di Hotel Jakarta Secara Tiba-tiba.
  2. Paulus Demas Mandacan Bupati Manokwari (20/4/2020).
  3. Paskalis Kocu Wakil Bupati Maybrat (25/8/2020).
  4. Habel Melkias Suwae Mantan Bupati Jayapura (03/9/2020).
  5. Bertus Kogoya Mantan Wakil Bupati Lani Jaya (11/9/2020).
  6. Demas Tokoro Ketua Pokja Adat MRP (19/9/2020).
  7. Arkelaus Asso Mantan Wakil Bupati Yalimo (15/10/2020).
  8. Yairus Gwijangge Bupati Ndugama (14/11/2020).
  9. Wakasad LetJend TNI Herman Asaribab 14/12/2020
  10. Dr. Hengki Kayame, Mantan Bupati Kabupaten Paniai, Meninggal Bulan Maret 2021.
  11. Robby Omaleng, Ketua DPRD Kabupaten Mimika Meninggal Setelah Divaksinasi Pada Bulan April 2021.
  12. Repinus Telenggen, Mantan Bupati Kabupaten Puncak Meninggal Secara Tiba-tiba Pada Awal Bulan Mei 2021.
  13. Klemen Tinal, Wakil Gubernur Provinsi Papua Meninggal 21 Mei 2021 Meninggal Serangan Jantung…
  14. Drs. Alimuddin Sabe, Mantan Wakil Bupati Sarmi (meninggal dgn serangan jantung).
  15. Sendius Wonda, SH, M.Si. Kepala Biro Pemerintahan Setda Provinsi Papua.
  16. Obaja Waker, Asisten I Kabupaten Puncak Papua.
  17. Celsius Watae, Bupati Keerom Meninggal di Hotel Secara Tiba-tiba.
  18. Wemban Kogoya, Kepala Dinas Kesehatan Kabipaten Tolikara.
  19. Abraham Oktavianus Aturure, Mantan Gubernur Provinsi Papua Barat.
  20. Rowani Wanimbo, Mantan Ketua DPRD Kabupaten Tolikara.
  21. Thomas Tigi, Bupati Dogiyai Meninggal Dalam Tahanan di Jayapura Secara Tiba-tiba.
  22. Herman Auwe Mantan Wakil Bupati Kabupaten Dogiyai.

Dalam Tiga Tahun Terakhir Ini, Hitung-hitung Puluhan Pemimpin Papua Telah Meninggal Dunia. Tidak Terhitung Kematian Bangsa Papua Yang Meninggal Karena Ditembak Oleh TNI/POLRI Diseluruh Pelosok Papua. Sampai Kapan Air Mata Akan Berakhir❓

Maka Satu Hal Yang Kami Sarankan Kepada Para Pemimpin Papua Yang Ada di 44 Kabupaten Kota Yang Berasal Dari Kedua Provinsi “Perlu Evaluasi” Bersama MRP, DPRP Serta Libatkan Pihak Gereja Dari Berbagai Denominasi Yang Ada Di Tanah Papua. Demi Keselamatan Bangsa Papua Di Tahun Mendatang. Karena Peristiwa Kematian Ini Terjadi Dengan Cara Misterius.

Selanjutnya, Kami Juga Sarankan Bahwa Para Pemimpin Atau “Orang Papua Yang Sakit” Janganlah Dibawah Ke Jakarta, Kalau Bisa Bawah saja Berobat Di Luar Negeri Seperti “Singapur atau di Negara Tetangga Lainnya” Karena Percuma Orang Papua Berobat Di Jakarta Malah Dibawah Jenazah Terus Pulangkan Di setiap Tahun. Merupakan Peristiwa Yang Sesungguhnya Terjadi Di Papua. Maka Sekali Lagi Kami Sampaikan Ini Sebagai Suatu Sarang Kami Bagi Para Pemimpin Papua Yang Kami Sayangi. Semoga Saran Dan Pesan Ini Bermanfaat Bagi Kita Semua.

Kiranya TUHAN Yesus Memberkati Kita Sekalian..

Sumber: WestPapuaNews

Lt. Gen TRWP A. Tabi: Publikasi Dokumen Rahasia A.S Itu Lagu Lama!

Banyak tanggapan muncul dari Indonesia maupun dari Tanah Papua terhadap publikasi dokumen rahasia Amerika Serikat baru-baru ini. Di Indonesia sendiri ditanggapi beragam. Ada yang mengatakan publikasi ini bermaksud tertentu, yang akibatnya akan merugikan Indonesia. Yang lain mengatakan publikasi ini tidak berpengaruh apa-apa terhadap keutuhan NKRI. Yang lain lagi tidak mau berpendapat, mereka menjalani hidup dengan prinsip “business as usual”.

Media di Tanah Papua juga menyiarkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi di Tanah Papua, khususnya di era setelah NKRI menginvasi dan menduduki wilayah Negara West Papua.

Apa maknanya bagi perjuangan Papua Merdeka?

Lt. Gen. TRWP Amunggut Tabi dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP) mengatakan banyak pihak sudah tahu apa-apa yang terjadi pada waktu itu, oleh karena itu, publikasi dokumen ini tidak membantu siapa-siapa dalam usaha apa saja.Semuya orang Papua sudah tahu apa saja yang pernah terjadi waktu itu, dan sudah lama mengkampanyekannya.

“Itu lagu lama”, katanya.

Menurut Tabi, lagu yang perlu dinyanyikan oleh bangsa Papua saat ini ialah lagu-lagu terkait solusi atas pendudukan NKRI di Tanah Papua, bukan mencari-tahu siapa salah dan siapa benar.

Bangsa Papua harus muncul di pentas politik regional dan global dan pentas politik domestik di dalam Tanah Papua sendiri, menunjukkan kepada berbagia pihak apa yang akan terjadi setelah Papua Merdeka dari berbagai aspek: sosial, budaya, pertahanan, keamanan, demokrasi, ekonomi, keamanan, perdamaian kawasan sehingga baik rakyat West Papua maupun seluruh masyarakat Melanesia dan dunia internasional melihat manfaat dari kemerdekaan West Papua, kontribusi yang diberikan oleh kemerdekaan West Papua kepada dunia internasional, kepada kawasan di Asia, Pasifik dan Pasifik Selatan.

Gen. Tabi melanjutkan pesan dari Gen. TRWP Mathias Wenda bahwa tugas United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Parlemen Nasional West Papua (PNWP) harus jelas dan dengan tegas dijalankan, yaitu meneguhkan, mengamandemen dan menjalan Undang-Undang Sementara Republik West Papua, dan pemerintahan transisi West Papua.

Amunggut Tabi menekankan

Kalau tidak begitu, lebih bagus semua lembaga legislatif dan executive yang ada tidak usah menjanjikan kepada bangsa Papua bahwa mereka bekerja untuk Papua Merdeka karena itu akan kita sebut sebagia penipuan publik dan tidak jauh berbeda dengan penipuan-penipuan yang kini dipublikasi oleh Amerika Serikat. Jadi, jangan kita mampu mencaritahu kesalahan orang lain, tetapi menganggap kesalahan sendiri tidak apa-apa. Ini fatal.

Gen. Tabi melanjutkan bahwa bilamana PNWP gagal mensahkan Undang-Undang, maka perjuangan Papua Merdeka akan tetap terus dipandangn sebagai tindakan “melanggar hukum NKRI’, karena perjuangan kita tidak punya dasar hukum, tidak memenuhi kewajiban hukum formal. Kita sudah lama berjuang tetapi berjuang masing-masing tanpa panduan dna tuntunan yang jelas.

Gen. Tabi kembali menekankan

Kita bangsa Papua harus mencatat, bahwa kalau PNWP tidak mengsahkan sebuah Undang-Undang sementara untuk perjuangan bangsa Papua mencapai kemerdekaannya dan ULMWP tidak mampu berfungsi sebagai sebuah pemerintahan transisi, maka kita hampir dengan pasti dapat berkesimpulan bahwa kedua lembaga ini telah dimasuki oleh lawan-lawan aspirasi bangsa Papua. Mereka hadir untuk melayani kemauan penjajah. Alasan apapun tidak dapat diterima, yang jelas berpura-pura berjuang tetapi sebenarnya menghalangi perjuangan adalah penghianatan terhadap aspirasi dan pengorbanan bangsa Papua.

Dokumen AS dibuka, terkuak banyak orang tak bersalah ditembaki dalam peristiwa Bukit Arfai Papua

Jayapura, Jubi  Sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika yang berkaitan dengan Indonesia, utamanya soal tragedi 1965 kembali dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika. Dokumen-dokumen itu menguak sejumlah telegram dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca 1965.

Ketiga lembaga itu adalah National Security Archive (NSA), National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).

Satu dari sekian banyak dokumen telegram itu menguak penembakan orang tak bersalah yang dilakukan oleh tentara Indonesia pada periode Juni-Juli 1965.

Kisah brutal di Arfai

Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968.  Dari sejumlah dokumen itu, satu dokumen ternyata menguak penembakan terhadap sekian banyak Orang Asli Papua di Manokwari pada tahun 1965.

Dokumen telegram bernomor kontrol 542A, tertanggal 15 September 1965 itu berkisah tentang kondisi di Irian Barat (Papua Barat) pada pertengahan September 1965, sebagaimana diceritakan oleh seorang misionaris Protestan Belanda yang melaporkan tentang dipenjarakannya seorang misionaris, Harold Lovestrand.

Isi telegram itu menyebutkan pada bulan Juni, aparat keamanan Indonesia telah mencegah sejumlah orang Papua yang berencana meninggalkan Papua menuju Australia dengan sebuah dokumen yang ditandatangani oleh sejumlah orang Papua terkemuka saat itu di Manokwari. Kejadian ini diikuti dengan penangkapan sebagian besar pegawai sipil dan sejumlah fungsionaris daerah.

Telegram yang ditandatangani Duta Besar AS untuk Indonesia Marshall Green itu, menjabarkan aksi pertama tentara Indonesia di Manokwari yang dikatakan brutal. Pada tanggal 26 Juni di salah satu bukit di Manokwari tiga orang tentara Indonesia yangs sedang menaikkan bendera merah putih, ditembak oleh kelompok orang Papua yang memberontak saat itu. Peristiwa ini kemudian dikenal sebagai penyerangan Markas Arfai oleh Permenas Ferry Awom.

Yunus Inauri, salah satu pelaku penyerangan markas Arfai itu dalam satu wawancaranya dengan Jubi mengatakan Permenas Awom adalah bekas anggota Batalyon Papua. Dia komandan Papua PVK pada jaman Belanda. Dia dan kawan-kawannya berontak karena pasukan Indonesia yang datang membuat ketidaknyamanan bagi masyarakat.

Inauri yang adalah seorang guru saat itu, mengatakan bila tentara Indonesia mendapati orang di jalan yang dinilai berperilaku aneh, maka mereka akan main pukul seenaknya, termasuk anak muridnya di sekolah. Permenas yang melihat keadaan tidak beres ini, bersama kawan-kawannya memukul tentara Indonesia yang bikin kacau. Bukan hanya baku pukul, baku tembak pun tak terelakkan. Situasi jadi ramai, masyarakat lari kocar-kacir. Permenas saat itu punya senjata yang selalu dibawa kemana-mana.

Setelah penembakan tiga tentara Indonesia itu, keesokan harinya tentara Indonesia menembaki setiap orang Papua yang terlihat dan banyak orang tidak bersalah jatuh tertembak di jalanan. Aksi penembakan semakin meluas di hari-hari berikutnya, namun kelompok Permenas Awom tidak pernah turun menyerang Manokwari.

Perlawanan kelompok Awom terus berlangsung hingga pasukan utama Indonesia didatangkan dari luar Manokwari. Dalam massa perlawanan ini, gencar beredar issu jika Papua merdeka, maka Belanda, Australia dan Amerika Serikat akan membantu dana pembangunan Papua.

Kasus Lovestrand

Lovestrand sendiri, dalam telegram tersebut disebut ditahan karena dikhawatirkan bisa menjadi korban penembakan. Sebab pada periode itu, orang-orang Papua yang menginginkan kemerdekaan memenuhi jalan, demikian juga aparat keamanan Indonesia.

Selain Lovestrand, seorang Pendeta Katolik asal Belanda bernama Vandenberg di Sukarnopura (nama Jayapura saat itu) juga ditahan tanpa alasan yang jelas.

Dalam blog NDC dikatakan kasus Lovestrand yang terjadi pada massa itu memberi tekanan signifikan terhadap hubungan AS – Indonesia. Sekretaris Rusk mendesak Duta Besar Green pada 29 Januari untuk melanjutkan pembicaraan dengan Menteri Luar Negeri Subandrio. Percakapan yang dihasilkan tidak berlangsung sampai 9 Februari, di mana Duta Besar Green menemukan bahwa Jaksa Agung Indonesia mendapat pengakuan yang ditandatangani dari Lovestrand yang menyatakan bahwa dia tidak melaporkan bukti pemberontakan di Papua. Perantara lainnya terus mendesak Sukarno untuk membebaskan Lovestrand. Kedutaan Besar menyadari bahwa tekanan yang terus berlanjut pada Sukarno menciptakan lebih banyak masalah daripada kemajuan. Akhirnya, pada tanggal 18 Maret, Kedutaan Besar Indonesia mengindikasikan melalui telegram kepada Rusk bahwa Jaksa Agung Indonesia mulai memproses dokumen untuk mendeportasi Lovestrand.

Misionaris Belanda ini akhirnya dideportasi bersama keluarganya menggunakan pesawat KLM pada tanggal 23 Maret 2066.

Harold Lovestrand kemudian menulis tentang pengalamannya di Indonesia dalam buku Penyanderaan di Jakarta, yang diterbitkan oleh Moody Press pada tahun 1967. (*)

Rentetan Wabah Yang Merenggut Nyawa Generasi Papua

Rentetan Wabah Yang Merenggut Nyawa Generasi PAPUA :
1. Tahun 2004, 108 Balita Meninggal di Kab. Paniai.
2. Tahun 2008, 156 Orang Meninggal di Kab. Dogiyai.
3. Tahun 2010, 40 Orang Meninggal di Kab. Intan Jaya
4. Tahun 2012-2013, 95 Orang Menunggal di Kab. Tambrauw
5. Tahun 2013, 95 Orang Meninggal di Kab. Yahukimo
6. Tahun 2015, 41 Balita Meninggal di Kab. Nduga
7.Yang Terbaru di Tahun 2017, 40 Lebih Balita Meninggal di Kab. Deiyai, Namun Belum Juga Ada Penanganan Serius Dari Pihak Terkait.

Mengenang 15 Tahun Penculikan Alm. Theys H. Eluay dan Hilangnya Aristoteles Masoka

Jayapura, (KM) – Bertempat di Kantor ELSHAM Papua, Padang Bulan, Kamis, (10/11/16), Solidaritas Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Papua melakukan konfrensi Pres dan menghasilkan lima tuntutan sebagai bentuk mengenang 15 Tahun Penculikan Tuan Alm. Theys Hiyo Eluay, Ketua Presedium Dewan Papua (PDP) dan Hilangnya Aristoteles Masoka pada tanggal 10 November 2001 di Jayapura.

Yang disebut Solidaritas Pelanggarana HAM di Papua diantarnya: SKP HAM Papua, (BUK)-Papua, KontraS Papua, SKPKC Fransiskan Papua, KPKC GKI, FIM, SONAMAPA, LBH Papua, ELS HAM Papua, ALDP, GEMPAR, AMPTPI, PMKRI, GMKI, Kingmi Papua, Mahasiswa dan Pemuda Papua.

Ini tuntutan mereka:

  1.  Menolak semua upaya pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di Papua yang tidak sesuai dengan prosedur hukum dan mekanisme HAM PBB
  2. Menolak semua upaya pemerintah melalui non Judicial, pemenuhan  hak-hak korban tanpa penyelesaian proses hukum sesuai mendate undang-undang.
  3. Menolak semua upaya presiden Jokowi untuk penyelesaian kasus HAM di Papua melalui MENKOPOLHUKAM Wiranto sebagai aktor pelanggaran HAM masa lalu, Kopolda dan Kodam XVII Cendrawasih yang merupakan aktor-aktor kekerasan di Papua.
  4. Kapolda Papua dan Kodam XVII Cendrawasih klarifikasi berita di Bintang Papua tanggal 24 Julni 2016, yang menyebutkan bahwa Aristoteles Masoka berada di PNG dan segera melakukan invesitgasi terkait hilangnnya Aristoteles Masoka.
  5. Stop kekerasan di tanah Papua! Pemerintah Indonesia segera membuka akses untuk tim pencari fakta dari Pasifik dan pelapor khusus PBB untuk masuk ke Papua.

 

Pewarta          : Alexander Gobai

PBB Surati RI Tanyakan Pembunuhan Orang Asli Papua

SUVA, FIJI, SATUHARAPAN.COM – Sebuah komite yang berada di bawah naungan Perserikatan Bangsa-bangsa, Committee on the Elimination of Racial Discrimination (CERD) diketahui telah mengirimkan surat notifikasi kepada perwakilan tetap Indonesia di PBB tentang berbagai tuduhan dan dugaan kekerasan dan diskriminasi rasial di Papua.

Adanya surat ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Pacific Islands Association of NGO’s (PIANGO), Emele Duituturaga,  dalam sebuah siaran persnya yang dipublikasikan pertama kali oleh Fiji Times akhir pekan lalu. PIANGO adalah sebuah lembaga swadaya masyarakat berbasis di Suva, Fiji, dan selama ini bergiat mengadvokasi hak-hak orang asli Papua sebagai bagian dari rumpun Melanesia.

Surat notifikasi tersebut, menurut Duituturaga, ditulis oleh ketua CERD, Anastasia Crickley, yang memberitahukan kepada perwakilan tetap Indonesia di PBB bahwa berbagai tuduhan pembunuhan dan kekerasan terhadap penduduk asli Papua belakangan ini telah menjadi perhatian Komite dalam sesi pertemuan mereka.

“Saya menginformasikan kepada Anda bahwa pada sesi ke-90, CERD telah mempertimbangkan, di bawah prosedur peringatan dini dan aksi mendesak, tuduhan penggunaan kekerasan berlebihan, penangkapan, pembunuhan dan penyiksaan orang-orang asli Papua di Papua, Indonesia, dan tuduhan tentang diskriminasi terhadap orang-orang tersebut, yang telah diangkat untuk diperhatikan oleh lembaga swadaya masyarakat,” tulis Crickley dalam suratnya tertanggal 3 Oktober.

Surat itu mengutip laporan yang mengatakan bahwa antara April 2013 dan Desember 2014, pasukan keamanan telah membunuh 22 orang, terkait dengan sejumlah unjuk rasa. Dikatakan pula, sejumlah orang lainnya juga telah terbunuh atau terluka sejak Januari 2016.

Lebih jauh, disebutkan bahwa ada laporan bahwa pada bulan Mei 2014 lebih dari 470 orang asli Papua ditangkap di berbagai kota di Papua terkait dengan unjuk rasa menentang ekstraksi dan kegiatan perkebunan.

“… penangkapan tersebut telah dilaporkan meningkat sejak awal 2016 mencapai 4000 orang antara April dan Juni 2016 dan termasuk menangkap aktivis hak asasi manusia dan wartawan. Tindakan-tindakan seperti yang dilaporkan ini tidak pernah diselidiki dan mereka yang bertanggung jawab bebas tanpa hukuman.”

Dikatakan, bahwa laporan yang mengangkat isu ini ke CERD  mengklaim bahwa represi terhadap orang asli Papua merupakan akibat dari salah tafsir dan kurangnya pelaksanaan yang benar UU Otsus oleh pemerintah daerah dan pemerintah pusat Indonesia. Laporan itu juga  mengklaim bahwa tindakan-tindakan pasukan keamanan melanggar hak-hak kebebasan berkumpul dan berserikat.

Duituturuga yang selama ini sangat kritis terhadap Indonesia, mengatakan surat ini merupakan sinyal keseriusan PBB menghadapi isu ini. Menurut dia, CERD memberi waktu Indonesia sampai 14 November untuk memberikan informasi untuk menjawab tuduhan-tuduhan itu. Di antara jawaban yang diharapkan adalah tentang status implementasi UU Otonomi Khusus Papua serta langkah-langkah yang telah diambil untuk menjamin perlindungan efektif terhadap orang asli Papua terhadap penangkapan dan penahanan sewenang-wenang serta ancaman pencabutan nyawa.

Menurut Duituturuga, kalangan LSM internasional bersama dengan CERD menunggu jawaban Indonesia pada 14 November nanti.

Editor : Eben E. Siadari

Komnas HAM Salahkan Pemerintah Soal Kasus Paniai Papua

Penulis: Endang Saputra 21:12 WIB | Minggu, 16 Oktober 2016

AKARTA, SATUHARAPAN.COM – Komisioner Komnas HAM RI, Natalius Pigai menilai kasus penembakan warga sipil di Paniai, Papua pada 7-8 Desember 2014 hingga hari ini kasus itu tanpa kejelasan.

Bahkan, aparat TNI, Polri hingga Pemerintah ikut bungkam soal kasus itu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pun menuntut agar institusi terkait supaya transparan dan membuka ke publik penanganan kasus tersebut sudah sejauh mana.

“Komnas HAM kirim surat ke Menkopolhukam tapi Pemerintah tidak mau mengumumkan bahkan terkesan menutupi pelaku. Jadi Paniai ini letak kesalahannya ada di Pemerintah,” kata Natalius Pigai dalam pesan tertulis yang diterima satuharapan.com, di Jakarta, hari Minggu (16/10).

Menurut Natalius, sepanjang mereka menutup-nutupi pelaku khususnya terkait hasil penyelidikan institusi TNI, Polri, maka masyarakat tetap menolak siapapun melakukan penyelidikan. Masyarakat Paniai sudah berfikir cerdas karena belajar dari kasus-kasus yang lain, semua tidak pernah terbukti dan menduga ada yang janggal.

“Karena TNI dan Polri tidak pernah umumkan pelakunya bahkan menyembunyikan pelakunya,” kata dia.

Natalius menambahkan, bisa saja dilakukan pembuktian lain, yaitu dengan cara otopsi, namun cara ini terbentur dengan budaya setempat.

“Karena itu, satu-satunya jalan keluar adalah TNI dan Polri harus mengumumkan hasil penyelidikannya. Setelah orangnya ketahuan baru Komnas HAM bisa lakukan penyelidikan. Pro justitia UU 26 tahun 2000 tentang HAM berat,” kata dia.

“Kemudian mengapa Komnas HAM tidak melakukan penyelidikan dari tahun lalu atau sekarang? Jawabannya sederhana, Komnas HAM tidak mau menipu rakyat, karena alat bukti untuk menunjukkan orang (pelaku) sulit ketahui. Komnas HAM hanya tahu komandan atau kesatuannya saja. Pelaku akan sulit diketahui, lain halnya kalau TNI dan Polri menunjukkan pelakunya atau pelaku mengaku sendiri,” kata dia.

Seluruh hasil penyelidikan HAM berat yang dilakukan oleh Komnas HAM menurut dia hampir semua tidak terbukti bahkan berkas yang ada saat ini di Komnas HAM semua bukti tidak ada yang kuat termasuk Wamena dan Wasior. Jadi kalau dibawa ke pengadilan pelakunya pasti dibebaskan. Paniai, menurut Natalius tidak mau mengalami hal yang sama.

Dikatakan Natalius, Paniai ingin pelaku diberi hukuman berat sesuai dengan UU 26 tahun 2000 bahkan terancam hukuman mati.

Ia juga mengingatkan, kalau ada oknum, termasuk orang Komnas HAM yang memaksa agar dilakukan penyelidikan, maka sudah bisa pastikan itu pekerjaan penyelidikan beraroma politik bukan Hak Asasi Manusia murni.

Menurut Natalius, sikap yang sama ini juga ia lakukan pada penyelidikan HAM berat selain Paniai, tapi juga di wilayah Indonesia lainnya. Ia menduga negara dengan sadar dan sengaja menutupi pelaku namun memaksa Komnas HAM lakukan penyelidikan.

“Itu sebuah pembohongan kepada keluarga korban karena hasilnya pelaku tidak akan ketahuan di pengadilan,” kata dia.

Selain itu Pemerintah Indonesia juga melakukan kebohongan lain dengan mengumumkan kepada semua komunitas pembela HAM di dalam negeri dan luar negeri bahwa penyelidikan Paniai sudah selesai.

“Itu sebuah pembohongan bagi orang-orang pencari keadilan di pedalaman Paniai. Sudah terlalu lama (50 tahun) orang Paniai telah menderita, ditangkap, dianiaya, disiksa, dan dibunuh saban hari tanpa henti, penuh ketakutan, rintian, ratapan, tangisan, kesediaan saban hari menghiasi orang Paniai, mereka hidup ibarat daerah jajahan. Dari ribuan manusia yang mati sia-sia, biarkan mereka berjuang demi keadilan untuk sekali ini,” kata dia.

Editor : Yan Chrisna Dwi Atmaja

Lily Wahid: Situasi Keamanan di Papua Bisa Berujung Referendum

INTELIJEN.co.id – Situasi keamanan di papua yang terus memanas dikhawatirkan akan memunculkan persoalan lebih krusial dan luas. Masyarakat Papua akan semakin tidak percaya dengan pemerintah pusat, sehingga mencari pola penyeleseian ke organisasi internasional.

Kondisi tersebut, harus segera mendapat respon dan langkah-langkah penyeleseian. Pemerintah pusat harus segera menyelesaikan persoalan Papua agar masyarakatnya tidak mengajukan referendum yang didukung PBB.

“Analisa saya, indikasi referendum, warga Papua mendatangi kantor PBB di Jakarta,” kata anggota Komisi I DPR RI Lily Wahid kepada wartawan di gedung DPR, Rabu (26/10).

Menurut Lily Wahid, dengan masuknya warga Papua ke PBB, pihak internasional menganggap bangsa Indonesia tidak menangani wilayah di Bumi Cenderawasih itu.

“Ini bisa berujung ke referendum,” paparnya.

Lily juga meminta pemerintah tidak melakukan pendekatan represif terhadap pergolakan di Papua. Persoalannya juga terkait kebijakan di daerah. Dana otonomi daerah selama ini tidak didukung dengan Peraturan Daerah (Perda).

“Pemerintah Provinsi Papua harus membuat Perda pelaksanaan otonomi khusus, agar yang di bawah tidak teriak-teriak,” pungkasnya.

Sumber: indonesiatoday.in

Aktivis Papua: Permintaan Maaf tak Cukup, Rakyat Butuh Tindakan Nyata

Jayapura, Jubi – Aktivis Hak Asasi Manusia mengatakan permintaan maaf yang disampaikan Pandam XVII Cendrawasih bertepatan dengan HUT TNI ke 70 sebagaimana yang diberitakan media ini, Senin (5/10/2015) harus tindakan nyata, bukan obral kata-kata semu.

“Rakyat Papua tidak menerima permohonan maaf yang disampaikan Pangdam. Silahkan memohon maaf dengan kata-kata tetapi banyak rakyat Papua hari ini tidak butuh itu,”ungkap Peneas Lokbere, Kordinator Solidaritas Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia Papua, di Abepura, Selasa (6/10/2015)

Kata Lokbere, rakyat Papua hari ini lebih membutuhkan tindakan nyata. Pertama, institusi keamanan Republik Indonsia di Papua, baik Pangdam maupun Kapolda Papua harus melakukan evaluasi resmi atas keamanan di Papua.

Evaluasi sangat penting, lantaran makin maraknya kasus-kasus penembakan terhadap warga sipil di Papua. Semua yang terjadi harus diungkap untuk melindungi rakyat.

Kedua, Rakyat Papua butuh TNI maupun Polri merubah pola pendekatan terhadap rakyat. Rakyat ingin TNI dan PoLRI yang menghargai HAM, tidak represif.

Ketiga, Pangdam dan Kapolda mengumumkan hasil penyelidikan kasus Paniai. Rakyat Papua menanti itu daripada permintaan maaf murahan yang tidak akan menyelesaikan luka orang Papua.

Sementara itu Yanuarius Lagiwan, Sekretaris Jendral, Asosiasi Mahasiswa Pegunungan Tegah Papua se-Indonsia (AMPTPI) mengatakan, tidak hanya minta maaaf tetapi Pangdam harus memberikan rasa keadilan bagi korban.

Kata Lagowan, Pangdam sudah tahu, anggota TNI mana yang melakukan tindakan brutal terhadap rakyat Papua. Kalau sudah tahu, Anggota TNI yang nakal itu harus diproses hukum.

“Ungkapan permintaan maaf saja tidak cukup. Kalau Pangdam sudah tahu ada kesalahan anggotanya maka harus ungkap dan adili semua anggota TNI yang melakukan kejahatan, sehingga semua orang yang mengalami kekerasan oleh TNI bisa merasakan keadilan,”tegasnya. (Mawel Benny)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny