SUP Kutuk Tindakan Brutal TNI/POLRI di Papua

Semarang, Jubi – Puluhan mahasiswa yang menamakan diri Solidaritas Untuk Papua (SUP) melakukan aksi turun jalan di Malang, Jawa Timur untuk mengutuk sikap dan tindakan brutal aparat TNI maupun Polri di Papua akhir-akhir ini.

Dalam pernyataan tertulis yang dikirim kepada Jubi, SUP mengatakan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan oleh Indonesia terhadap Orang Asli Papua (OAP), melalui aparat negara (TNI-POLRI) tak pernah berakhir. Desember 2014 – September 2015 tercatat lebih dari 10 kasus yang dilakukan oleh aparat TNI-Polri di seluruh wilayah Papua yang mengakibatkan 21 nyawa orang asli Papua melayang dan puluhan lainnya mengalami luka tembak dan harus dirawat di rumah sakit secara intensif.

“Kasus-kasus itu adalah kasus penembakan terhadap empat pelajar SMA di lapangan Karel Gobay, Enarotali pada 8 Desember 2014, kasus yang terjadi di Yahukimo pada bulan Mare, kasus yang terjadi pada April di Nabire, kasus yang terjadi di Ugapuga, Dogiyai pada 25 Juni 2015, kasus di Koperapoka 28 Juli 2015 dan 28 September 2015 aprat tembak mati dua siswa SMK di Gorong-gorong Timika dan banyak kasus lainnya,” ungkap Wilson Nawipa, Jubir SUP Malang-Surabaya.

Dengan melihat rentetan kasus pelanggaran HAM dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh negara, lewat TNI-POLRI yang masih dan terus terjadi di seluru wilayah Papua, hingga saat ini, dan dengan melihat tidak adanya penyelesaian serta pemberian hukuman yang tegas kepada para pelaku kejahatan kemanusiaan dan pelanggar HAM di Papua sejauh ini, maka Solidaritas Untuk Papua mengutuk tindakan brutal aparat TNI/Polri dan meminta negara bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan di Papua.

“Kami juga minta Jokowi dan Jusuf Kalla untuk tuntaskan seluruh kasus pelanggaran HAM di Papua, tarik militer, organik maupun non organik dari seluruh wilayah Papua, proses dan adili para pelaku kejahatan kemanusiaan dan pelanggar HAM di Papua. Kami juga minta negara untuk buka ruang demokrasi seluas-luasnya di Papua,” tegasnya.

Sementara itu, seperti dilansir suarapapua.com, Solidaritas Untuk Papua (SUP), Kamis (1/10/2015) kemarin melakukan aksi mimbar bebas di depan Asrama Kamasan I Papua, Yogyakarta untuk mengutuk tindakan brutal TNI/Polri serta menuntut negara harus bertanggung jawab atas kejahatan kemanusiaan yang terjadi di Papua.

Koordinator Umum (Kordum) aksi, Kristina Kobogau mengatakan dengan tegas bahwa undang-undang dan segala macam peraturan yang dibuat oleh NKRI hanya berlaku di luar Papua, sedangkan yang terjadi di Papua seakan membuat orang Papua menjadi setengah binatang.

“Seakan kami berbeda dengan manusia lain yang ada di Indonesia, sehingga TNI/Polri dengan sesuka hati mereka membunuh kami orang Papua di mana semua yang menjadi korban rata-rata masih usia produktif, bahkan kebanyakan adalah pelajar. Kekerasan yang dialami oleh kami perempuan Papua yaitu pemerkosaan kemudian dibunuh dan dibiarkan seperti binatang,” ungkapnya. (Arnold Belau)

Source: Author : Arnold Belau, October 6, 2015 at 22:34:02 WP, Editor : dominggus

Boy Eluay: Cukup Seorang Theys, Menjadi Martir Bagi Masuknya Otsus

Sentani, Jubi,- Adanya rencana Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) untuk dibukanya kembali kasus pelanggaran HAM yang menewaskan tokoh kharismatik Papua, Theys Eluay dalam waktu dekat ini, ditolak tegas oleh keluarganya.

“Selama ini kita sebagai anak – anaknya dan keluarga tidak pernah diberitahu kalau ada yang mau buka kembali kasus kematian bapak Theys Eluay. Andaikan hal ini mau dilakukan tolong beritahu kami,”

tegas Boy Eluay, anak sulung dari Theys Eluay di Sentani, Senin 23/2/2015.

“Sebenarnya ada apa?” tanya Boy.

Bagi Boy, Theys Eluay adalah seorang pemimpin besar rakyat Papua secara umum. Kematiannya membuat orang Papua kehilangan seorang figur yang bisa menyuarakan suara – suara masyarakat Papua. Theys juga secara strata di Tanah Tabi adalah pemimpin besar secara khusus bagi masyarakat yang mendiami Tanah Tabi.

“Lebih spesifik lagi kita sebagai orang Sentani dan keluarga besar Eluay, kita kehilangan tiang pilar dalam rumah ini. Oleh karena itu sebagai anak sulung saya mau tegaskan kepada semua pihak yang mau usut kematian Bapak saya, jangan bawa nama bapak saya seperti tiang bendera,”

ujar Boy.

Dijelaskannya lagi, sudah cukup seorang Theys menjadi martir bagi masuknya Otsus di Papua.

“Orang lain yang memanfaatkan Otsus, sementara kami disini hanya tinggal bertanya dan bertanya, apa yang harus di perbuat oleh tempat ini kepada kami anak – anak dari seorang pemimpin besar ditanah ini,”

kesalnya.

Sementara di tempat yang sama, Yanto Eluay yang juga anak kandung dari Theys Eluay mengatakan bahwa dalam adat Sentani, kematian seseorang dalam keluarga ada harga yang harus di bayar.

“Kematian Bapak saya, sebagai anak laki – laki dalam rumah ini kita harus membayar kepada pihak om – om dari bapak saya. Hal kecil ini saja tidak ada perhatian dari Pemerintah kepada kami, sekarang mau bicara usut kematiannya?”

kata Yanto. (Engelberth Wally)

Source: Diposkan oleh : Engelbert Wally on February 23, 2015 at 22:32:31 WP, Sumber :Jubi

Di Timika, Satu Keluarga Dibantai OTK

Bapak dan Anak Tewas, Istri Dan Dua Anaknya Lagi Kritis

JAYAPURA – Kasus penganiayaan yang mengakibatkan meninggal dunia kembali terjadi di daerah Timika, Kabupaten Mimika. Jika sebelumnya seorang warga Timika bernama Korinus Kareth tewas dianiaya sekolompok warga pasca bentrokan pada beberapa hari lalu.

Kali ini, sekelompok orang tidak dikenal (OTK) membacok satu keluarga yang beralamat, Jalan Irigasi Kelurahan Inauga, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika-Papua, pada Jumat (30/1) dinihari sekitar pukul 02.30 WIT.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua, Kombes (Pol) Patrige saat dikonfirmasi wartawan, membenarkan adanya penganiayaan yang dilakukan sekelompok OTK terhadap satu keluarga di jalan Irigasi, Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika tersebut.

Akibatnya, seorang ayah bernama Tukimin (40 tahun), asal Banyuwangi, Jawa Timur, meninggal dunia dengan luka bacok di kepala bersama anaknya Febri (11 tahun) pelajar kelas 5 SD akibat luka robek dibagian kepala. “Benar, ada laporan itu dan kini dalam pengejaran,” katanya, Jumat (30/1).

Sementara, Istrinya Nunuk (30 tahun) mengalami luka robek di kepala dan kini dalam kondisi kritis dua anaknya yang lain bernama, Mipiyu (9 tahun), murid kelas 2 SD mengalami luka memar pada kepala bagian depan dan bengkak pada bagian belakang. Begitu pula adeknya yang baru berusia 2 tahun bernama, Nando (2) yang mengakibatkan luka robek pada kepala.

Patrige mengungkapkan, ketika mendapat laporan, anggota Polsek Mimika baru yang dipimpin Wakapolsek, Iptu Parno langsung mendatangi TKP guna melakukan pertolongan pertama dengan mengevakuasi para korban ke RSUD Mimika untuk dilakukan otopsi dan visum.

“Anggota sudah melakukan pengejaran di lokasi kejadian, namun menurut informasi saksi di lapangan bahwa para pelaku langsung melarikan diri ketika melakukan aksi mereka,” jelas dia.

Lanjut dia, sekitar pukul 07.00 WIT Tim Reskrim Polres Mimika dan Polsek Mimika baru langsung melakukan olah kejadian guna mengetahui para pelaku pembacokan terhadap para korban. “Kami sudah periksa saksi di lapangan, sementara jenazah korban masih berada di RSUD Mimika,” ucapnya.

Disinggung jumlah para pelaku, Patrige belum bisa memastikan jumlah para pelaku tersebut. “Yang jelas, mereka lebih dari satu orang. Kini mereka masih dikejar,” ungkapnya. (loy/don/l03)

Source: Sabtu, 31 Januari 2015 05:48, BinPa

Massa Kutuk Penembakan Warga di Paniai

JAYAPURA– Ratusan masyarakat yang menamakan diri Solidaritas Korban Pembunuhan di Paniai, mendatangi DPR Papua untuk menyampaikan aspirasi mereka, Selasa (9/12).

Demo dipimpin Agus Kadepa. Dalam pernyataan sikap mereka, ada enam poin utama yang disampaikan. Pertama, mendesak DPR Papua membentuk tim investigasi guna mengusut penembakan warga Paniai, Senin (8/12).

Kedua, meminta TNI dan Polri bertanggungjawab atas nyawa yang dengan sewenang-wenang dibunuh menggunakan alat negara. Ketiga, tarik militer yang berlebihan di Paniai. Keempat, buka ruang demokrasi di Papua. Kelima, kebebasan berkumpul dan berekspresi adalah hak setiap warga negara dan keenam, mengutuk keras semua tindakan pembunuhan yang dilakukan dengan unsur sengaja.

Agus Kadepa dalam orasinya mengatakan, hak hidup dengan sewenang-wenang dihabiskan oleh tim gabungan TNI dan Polri. Peristiwa yang sebenarnya menjadi kesalahan pihak keamanan dalam hal ini patroli yang menjalankan kendaraannya atau mobil dengan tidak menyalakan lampu pada malam hari.

“Masyarakat lalu menegur mereka dan akhirnya terjadilah peristiwa berdarah. Ini penegak hukum tapi dengan sengaja melanggar hukum. Menjelang hari HAM 10 Desember 2014 dan peristiwa kedatangan sang putra Natal menjadi peristiwa berdarah,”

kata Agus Kadepa dalam pernyataan sikapnya.

Menurutnya, peristiwa itu jelas melangar HAM, apalagi menggunakan alat negara.

“Kami mendesak DPRP segera membentuk tim investigasi. TNI dan Polri segera bertanggungjawab atas kasus tersebut. Tarik Pasukan TNI/Polri.Pemerintah Harus Bertanggungjawab,”

ucapnya.

Massa diterima sejumlah anggota DPR Papua. Antar lain, Nason Utti, Ruben Magay, Gerson Soma, Natan Pahabol, dan beberapa anggota parlemen Papua lainnya.

Kepada masyarakat, Anggota DPR Papua, Ruben Magay mengatakan, DPR akan membentuk dua tim investigasi. Satu tim untuk investigasi kasus Puncak dan satu lagi untuk kasus Paniai.

“Jadi ada dua tim. Kami meminta pendemo mengusulkan tiga orang perwakilan bergabung dalam tim untuk sama-sama tim DPRP ke dua tempat itu. Dari situ akan ada rekomendasi yang diajukan ke pihak terkait. Entah Presiden, Kapolda, Pangdam. Fungsi DPR mengawasi, dan menfasilitasi. Ada pihak yang lebih bertanggungjawab,”

kata Ruben.

Sebelum ke DPRP, massa menggelar aksi unjukrasa di Depan Kantor Pos Abepura, Kota Jayapura, Selasa (9/12).

Agus Kadepa mendesak DPRP agar segera membentuk Tim Investigasi guna mengusut peristiwa berdarah di Kabupaten Paniai tersebut.

Menurut Agus Kadepa, pihaknya juga minta agar institusi TNI dan Polri menarik anggotanya yang ada di Paniai, membuka ruang demokrasi, kebebasan berkumpul dan berekspresi adalah hak setiap warga negara dan mengutuk keras semua tindakan pembunuhan yang dilakukan TNI dan Polri dengan unsur sengaja. (loi/Mdc/don)

Rabu, 10 Desember 2014 11:25, BP

FPM-PKPLP Jawa Bali Desak Kapolri Ungkap Kasus-Kasus yang Menimpa Orang Papua

Yogyakarta, Jubi – Front Pelajar dan Mahasiswa Peduli Kemanusian Papua di Luar Papua, (FPM-PKPLP) Jawa – Bali menilai kondisi orang Papua semakin drastis menuju kepunahan. Hal itu disebabkan oleh pembunuhan, penangkapan, secara sistematis oleh aparat Indonesia terhadap pejuang kemanusian Papua di Papua maupun luar Papua. Maka, pihak berwenang harus menjalankan aturan dengan benar dan mengadili pelaku

Hal itu disampaikan dalam jumpa pers yang diselenggarakan oleh FPM-PKPLP di Asrama Papua, Kamasan I, Jln. Kusuma Negara No 119, Yogyakarta, Kamis, 27/11.

Aris Yeimo, FPM-PKPLP Koordinator Wilayah Yogyakarta dalam keterangan persnya menyampaikan, FPM-PKPLP telah mencatat paling kurang tujuh kasus yang menimpa orang Papua di Papua maupun di luar Papua tetapi kasus-kasus ini tidak pernah ditindaklanjut oleh pihak berwajib.

Pembunuhan Jesica Elisabet Isir (2010) dan Paulus Petege (2014) di wilayah hukum Polresta Yogyakarta itu sampai sekarang belum ada proses penyelidikan,” ujarnya.

Hal serupa diungkapkan Deby Jamer, Sekretaris FPM-PKPLP wilayah Yogyakarta. Menurutnya penegak hukum melenceng dari aturan yang sudah dibuat.

“Tugas pokok Kepolisan Republik Indonesia sebagai pengayom dan pelindung masyarakat telah dijamin pada Pasal 13, Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagai institusi yang berwenang menjamin, melindungi, dan menghargai hak konstitusi warga Negara maka kepolisian secara institusi telah mengeluarkan Peraturan Kepolisian Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2009 Tentang Implementasi Standar dan Pokok-Pokok HAM dalam tugas-tugas kepolisian, namun dalam pelaksanaannya itu tidak berjalan,”

ungkapnya.

FPM-PKPLP wilayah Yogyakarta mencatat paling sedikit tujuh kasus yang belum diungkapkan pelakunya oleh kepolisian RI; Selain kasus pembunuhan Jesica Elisabet Isir (2010) dan Paulus Petege (2014) di wilayah hukum polresta Yogyakarta, pengeroyokan dan pembunuhan Petius Tabuni (2014) di wilayah hukum Polda Sulawesi Utara, kasus pembunuhan Carles Enumbi (2014) diwilayah hukum Polda Sulawesi Selatan, kasus penculikan dan pembunuhan terhadap ketua KNPB Wilayah Sorong (2014) di wilayah hukum Polres Sorong, Papua Barat, pembunuhan terhadap ketua Umum KNPB, Musa Alias Mako Tabuni (2012) oleh Detasemen 88 Polda Papua di wilayah hukum Polresta Jayapura, Papua, pembunuhan terhadap Ketua KNPB wilayah Baliem, Hubertus Mabel (2013) oleh Anggota Polres Jayawijaya di wilayah hukum Polres Jayawijaya, dan penangkapan serta penahanan 20 (orang) Aktifis KNPB di Nabire, Dogiyai.

Dengan kondisi itu, FPM-PKPLP menyampaikan tiga butir tuntutan ; pertama, Mengungkap pelaku tindak pidana pembunuhan sebagaimana diatur pada pasal 338 KUHP dan Pelanggaran HAM agar selanjutnya diadili untuk menjawab rasa keadilan dalam masyarakat dan kepastian hukum; kedua, memerintahkan pembebasan tanpa syarat terhadap 26 (orang) aktivis KNPB yang sedang ditahan di Polres Nabire demi melindungi Hak Konstitusi dalam Negara hukum Indonesia dan ketiga, membuat Surat Edaran Kapolri Tentang Tidak Menyalah Artikan Perihal Pemberitahuan dengan Perizinan sebagaimana dalam prinsip-prinsip demokrasi yang dijamin dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum demi terwujudnya amanah Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi standar dan prinsip HAM dalam Tugas-tugas kepolisian diseluruh wilayah hukum Polda Papua. (Mecky)

Penulis : Mecky Wetipo on November 28, 2014 at 03:27:36 WP, TJ

Kematian Theys Eluay: Megawati Buat Masalah, Jokowi Harus Selesaikan

Yogyakarta, MAJALAH SELANGKAH — Tanggal 10 November, Indonesia peringati sebagai hari pahlawan. Orang Papua sejak 10 November 2001 peringati sebagai hari pahlawan juga. Tokoh sentral bangsa Papua, Dortheys Hiyo Eluay dibunuh militer Indonesia.

10 November 2014, di Yogyakarta, mahasiswa Papua dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) peringati 13 tahun kematian Theys. AMP Yogyakarta bikin nonton bersama dan diskusi. Melawan Lupa, itu tema yang diangkat.

Hari Minggu (10/11/14), Victor Mambor, pemimpin redaksi Jubi merilis artikel mengenai kematian Theys. Judulnya Kami Tak Pernah Lupa Pembunuhan 13 Tahun Lalu.

Sabtu, 10 November 2001, pukul 10.30 Waktu Papua (WP), Komandan Satgas Tribuana (Kopassus) Kol. Inf. Hartomo datang menjemput Theys Hiyo Eluay, pemimpin besar Papua, di rumahnya. Berselang setengah jam kemudian, Theys berangkat dari rumah menuju Hotel Matoa untuk mengikuti rapat Presidium Dewan Papua (PDP).

Namun pemimpin besar Papua ini tak pernah pulang ke rumahnya di Sentani. Esok harinya, 11 November 2001, Theys Hiyo Eluay ditemukan sudah tak bernyawa dalam mobilnya di KM 9, Koya, Muara Tami, Jayapura.

Tubuh Theys dalam posisi duduk terlentang dan kedua kakinya memanjang ke depan. Di bagian pusat perutnya ada bekas goresan merah lembab. Tak ada yang menyangkal, Theys meninggal karena dibunuh.

Mambor di tulisannya menjelaskan para pembunuh Theys hanya dikenai hukuman yang paling berat 3 setengah tahun. Bahkan para pembunuh naik pangkat.

Mambor mengutip penelitian Made Supriatna, seorang peneliti dan wartawan lepas menulis di situs indoprogress.com. Hartomo (Akmil 1986) yang saat pembunuhan terjadi berpangkat Letkol, sekarang sudah menyandang pangkat brigadir jenderal dan menjabat sebagai Komandan Pusat Intel Angkatan Darat (Danpusintelad).

Terdakwa lain, Mayor TNI Donny Hutabarat (Akmil 1990), sempat menjabat sebagai Komandan Kodim 0201/BS di Medan, dan sekarang menjabat sebagai Waasintel Kasdam Kodam I/Bukit Barisan.

Sementara, Kapten Inf. Agus Supriyanto (Akmil 1991), yang juga terlibat dalam pembunuhan itu, sempat menduduki jabatan sebagai komandan Batalion 303/Kostrad.

Perwira terakhir yang terlibat dalam pembunuhan Theys adalah Lettu Inf. Rionardo (Akmil 1994). Sekarang dia diketahui menjabat sebagai Paban II Srenad di Mabes TNI-AD.

Sempat mendengarkan Emanuel Gobay bicara mengenai kematian Theys. Gobay, seorang sarjana hukum. Ia saat ini bantu-bantu di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Ia menilai, negara belum memberikan rasa adil pada hampir semua kasus HAM di Papua. Lebih-lebih soal kematian Theys Eluay.

“Kita semakin tidak percaya akan hukum yang ada di Indonesia.Tapi kita tidak bisa tinggal diam.”

Dalam hati kecil, tampak sekali, Gobay telah pesimis negara yang namanya Indonesia ini akan mengusut tuntas kasus pembunuhan seorang Theys yang menurutnya pantas disebut bapak Demokrasi dan HAM Indonesia yang dilupakan ini.

“Theys beraksi sebelum kran-kran jaminan demokrasi berupa hukum dan undang-undang diluncurkan. Ia beraksi jauh sebelum Munir. Tapi Indonesia lupakan dia. Mungkin karena ia juga menjadi ikon pemersatu dan perjuangan kemerdekaan Papua, dianggap separatis dan dilupakan.”

Mengenai pengadilan militer yang menghukum beberapa eksekutor lapangan, Gobay kecewa. “Mereka (para eksekutor yang diadili) pelaksana lapangan. Ada otak yang mengatur. Adili di pengadilan sipil, para perancang dan otak di balik kematian Theys.”

“Atau jangan-jangan negara Indonesia adalah otak di balik kematian Theys,” tegas Gobay.

Theys tidak sendiri saat kematian. Sopir pribadinya, Aristoteles Masoka, juga hilang sejak kejadian itu. Sekarang 13 tahun.

Victor Mambor dalam tulisan yang sama menulis, ada kelompok masyarakat sipil yang melakukan investigasi kasus pembunuhan almarhum Theys Eluay ini berhasil menemukan saksi yang kemudian mengaku membawa Aristoteles Masoka ke Markas Satgas Tribuana Kopassus di Hanurata-Hamadi.

Saksi ini mengaku berada di sekitar Perumahan Pemda I Entrop-Jayapura, saat aksi penculikan terhadap Theys Hiyo Eluay terjadi. Menurut saksi ini, mereka melihat sebuah mobil kijang berwarna gelap menghadang sebuah mobil kijang yang juga berwarna gelap yang kemudian diketahui milik Theys Eluay.

Dari mobil yang menghadang, dua orang turun lalu memukul Aristoteles kemudian mencoba menariknya keluar pintu. Dua orang ini berhasil merebut mobil yang ditumpangi oleh Theys Eluay. Mobil ini kemudian melaju dan berhenti sekitar 50 meter dari tempat kejadian. Tubuh Aristoteles terlempar keluar mobil.

Aristoteles berlari dan minta tolong kepada saksi. Saksi kemudian membawa Aritoteles ke Markas Satgas Tribuana Kopassus di Hanurata-Hamadi atas permintaan Aristoteles. Aristoteles diturunkan sekitar lima meter dari markas Kopassus ini. Inilah informasi terakhir yang diketahui tentang Aristoteles Masoka.

Elias Petege, aktivis HAM dari Papua berkesempatan kami wawancarai. Petege menjelaskan, masa kepemimpinan Jokowi yang datang dari payung partai PDI Perjuangan lebih pantas untuk dituntut mengusut tuntas kasus ini.

“Rakyat Papua tak lupakan kasus ini. Terindikasi Megawati di bawah payung PDI Perjuangan menghabisi nyawa Theys dan Aristoteles Masoka waktu itu. Dan kini Jokowi-JK berkuasa saat ini dibawah payung PDI. Karena itu Jokowi harus selesaikan masalah warisan PDI Perjuangan,” tegas Petege melalui seluler.

Menurut Petege, kasus ini dilakukan secara terencana dan sistematis oleh negara. “Karena itu, Komnas HAM harus berani membuka kembali hasil tim pencari fakta dan menindaklanjutinya untuk mengungkap tuntas kasus ini,” jelasnya.

Menurut Petege, ada dua hal yang belum terungkap dari 13 tahun umur kasus ini.

Pertama, siapa dalang pembunuh Theys, karena 7 orang yang diadili di pengadilan militer adalah pelaku lapangan, bukan pelaku utama atau otak/pemikirnya. Ungkap siapa aktor/pelaku utama. Adili di pengadilan sipil, bukan militer.

Kedua, ungkap dimana keberadaan Aristoteles Masoka, sopir pribadi Theys yang hilang hingga saat ini tanpa jejak. Selidiki, temukan dan adili di pengadilan sipil, siapa saja yang menghilangkan saksi kunci peristiwa pelanggaran HAM ini.

“Megawati buat masalah. Jokowi harus berani menyelesaikannya saat ini,”  tegas Petege. (Topilus B. Tebai/MS)

Komnas HAM Sayangkan Penembakan di Sugapa

Kapolda : Anak Buah Saya Tak Bersalah, Dikeroyok dan Dilempar Batu

JAYAPURA – Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) Perwakilan Papua menyayangkan terjadinya aksi penembakan rekoset terhadap warga yang diduga dilakukan anggota Brimob di distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya, Senin (30/9) sore pukul 16.30 WIT.

Plt. Ketua Komnas HAM Perwakilan Papua, Frits Ramadey S.H., M.H., mengaku sangat prihatin setelah dirinya mendapat informasi dari Ketua Dewan Adat Intan Jaya, John Gobay soal terjadinya penembakan di Kabupaten Intan Jaya. Dari kronologis kejadian sementara penembakan terjadi karena ada sebab akibat.

‘’Dari kronologis sementara pasca kejadian, pasti ada sebab akibat. Ada kejadian sebelumnya hingga Brimob melakukan penembakan. Ini kita sayangkan,” kata Frits kepada wartawan di RSUD Dok II Jayapura belum lama ini.

Frits menjelaskan, setiap aparat baik TNI maupun Polri selalu menggunakan Protap atau prosedur tetap dalam penanganan massa. Hal itu telah di atur dalam peraturan Kapolri. “Kita tidak bisa melakukan gertak lalu melakukan dengan cara-cara penembakan,” katanya.

Untuk itu, Frits meminta kepada Kapolda Papua memperhatikan ptorap bagi anggotanya dan mengirim tim melakukan penyelidikan terhadap kejadian di Kabupaten Intan Jaya.

Sebab menurutnya, walaupun ada sebab akibat. Namun apapun alasannya setiap aparat yang menggunakan senjata sebagai simbol alat Negara, harus dipertanggungjawabkan secara tuntas karena ada korban.‘’Ini harus dilakukan supaya tidak membuat insiden buruk terhadap polisi,” ujarnya.

 

Polisi Dikeroyok

Sementara itu, Kapolda Papua, Irjend (Pol) Drs. Yotje Mende ketika dikonfirmasi Bintang Papua menyebutkan, dua anggotanya dikeroyok oleh warga di distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya tidak bersalah dan sudah memenuhi prosedur.

“Anak buah saya tidak bersalah, mereka dikeroyok warga lalu di lempari batu mengenai kepala anggota. Kemudian karena mereka banyak, akhirnya anggota saya mengeluarkan tembakan,”

ungkap Kapolda Yotje di Mapolda Papua.

Kapolda menegaskan, pihaknya masih menyelidiki siapa pelaku pengeroyokkan terhadap anggota tersebut. “Yang jelas, bila diketahui akan diproses secara hukum, karena anggota saya dikeroyok dan dilempari tanpa ada masalah,” katanya.

Sekedar diketahui, Dua anggota Brimob Polda Papua masing-masing bernama, Bharada Danjoni dan Bripda Yonas dikeroyok sekelompok Pemuda, saat sedang bermain bola di lapangan sepak bola Yokatapa distrik Sugapa Kabupaten Intan Jaya hingga mengalami luka berat dibagian kepala dan luka dibagian lengan.

Peristiwa itu, terjadi Senin (30/9) sekitar pukul 16.30 WIT yang mengakibatkan salah satu warga masyarakat bernama Seprianus Japugau (30) terkena tembakan rekoset di bagian perut sebelah kiri dan Benyamin Agimbau (44) luka dibagian kepala dan sekarang telah dirujuk di Rumah Sakit Nabire dengan menggunakan Avia Star Mandiri.

Dimana, awalnya dua Brimob Polda papua atas nama Brahada Danjoni bernama, Bripda Yonas yang sedang BKO kan di Kabupaten Intan Jaya melintas di Jalan Padat Karya. Kemudian tiba-tiba sekelompok pemuda yang sedang bermain sepak bola di lapangan Yotapa Kabupaten Intan Jaya menghadang dan mengeroyok anggota tersebut.

Melihat kejadian itu, salah seorang tukang ojek langsung melaporkan kejadiannya ke Pos BM BKO kabupaten Intan Jaya yang berada di KPU dan Guese House. Nah begitu mendapat laporan, beberapa anggota BM BKO tiba di lokasi dan berusaha membantu mengamankan rekannya. Namun massa malah tidak terima dan semakin brutal melempari anggota BM yang datang dan selanjutnya anggota BM mengluarkan tembakan peringatan.

Massa pun semakin beringas menyerang anggota sehingga menyebabkan 2 angota Brimob Polda BKO kan ke daerah itu mengalami luka-luka yakni, Bharada Dan Joni Yaroserai mengalami luka berat di bagian kepala dan Bripda Yonas mengalami luka lemparan batu di lengan kanan.

Sedangkan dari pihak masyarakat yang melakukan anarkhis terhadap mengalami luka-luka. Mereka diantaranya, Seprianus Japugau,(30) terkena tembakan rekoset di bagian perut sebelah kiri dan Benyamin Agimbau (44) luka di bagian kepala. (loy/ari/l03)

Sumber: BintangPAPUA>com, Rabu, 08 Oktober 2014 09:35,

Ini Alasan Keluarga Martinus Yohame di Sorong Tolak Otopsi

Sorong, 5/9 (Jubi) – Kepala Suku Masayarakat Jayawijaya Wilayah Sorong Raya, Pdt. Kias Kogoya mengemukakan, mengapa keluarga besar Alm. Martinus Yohamen yang merupakan Ketua KNPB Sorong yang ditemukan tewas, Selasa (26/8) menolak jasadnya untuk diotopsi pihak kepolisian.

“Karena pihak kelaurga Martinus, yaitu bapak dan ibunya di Jayawijaya telah merelahkan kepergian anaknya dan kematian almahurm. Sebab ini meruapakan kosenkuensi dari perjuangan Papua merdeka,” kata Kogoya.

Kogoya mengakui, sebagai kepala suku, dirinya tak dapat mengintervensi keluarganya untuk harus melakukan otopsi bagi jasad Martinus.

“Saya hanya sebatas kepala suku, sayang tak bisa mengintervensi keluarganya. Sebab keluarganya sudah rela kematian Alm. Martinus Yohame. Bahkan oran tuanya sudah di sumpah untuk almarhum menjalankan perjuangan ini,”

jelasnya.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan Plt. Ketua KNPB Sorong Raya, H. Heselo. Bahkan menurut Heselo, dirinya selaku ketua sementara mengakuai, polisi sebenarnya meminta mereka ijin untuk melakukan otopsi jasad Alm. Martinus Yohame. “Tapi kami tolak, karena ini sudah jelas penculikan dan pembunuhan terencana. Kami bilang kenapa tidak otopsi sewaktu jenasah masih di kamar mayat, padahal kami sudah bawa pulang untuk kubur,” katanya.

Sekadar diketahui, jenasah Alm. Martinus Yohame dibawa keluarga bersama massa KNPB Sorong Raya pada Selasa (26/8) sore ke rumah kediaman almarhum yang terletak di Jalan F. Kalasuat Malanu Kampung, Kompleks Universitas Kristen Papua. Lalu dimakamkan di Pekuburan Umum Kilometer 10 Kota Sorong, Rabu (27/8) sore. (Jubi/Nees Makuba)

Penulis : Ness Makuba on September 5, 2014

Komnas HAM Papua: Mayat Misterius itu Ketua KNPB Sorong Raya

JAYAPURA- Kendati Polda Papua belum merilis siapa identitas mayat yang ditemukan nelayan di pulau Nana, Distrik Doom, Kabupaten Sorong, namun Komnas HAM perwakilan Papua, telah mendapatkan informasi soal pembunuhan terhadap mayat tersebut, bahwa mayat tersebut merupakan Ketua KNPB Sorong Raya Martinus Yohame.

Pasalnya PLT.Kepala Kantor Perwakilan Komnas Ham Papua Frits Ramandey mengungkapkan bahwa pihaknya menerima pengaduan yang diberikan oleh anggota KNPB sorong ke Komnas HAM Papua, sejak 26 Agutus lalu ada mayat yang ditemukan dimasukkan ke dalam karung, di ikat kaki dan tangan.

Oleh sebab itu, Frits meminta, agar Polda Papua melalui Polres Sorong harus berhasil mengungkap kasus ini, siapa otak dibelakang pembunuhan sadis ini.

“Kita mendapatkan informasi dari anggota KNPB Sorong, mereka juga menceritakan sebelumnya tanggal 19 Agustus, yang bersangkutan (Martinus Yohame), masih ada, dan memberikan keterangan pers, dan pernyataan terkait dengan kunjungan Presiden SBY ke Sail Raja Ampat,”

ungkapnya, saat ditemui di ruang kerjanya,Kamis (28/8),kemarin.

Lanjut Frits ramandey, bahwa sejak yang bersangkutan usai memberikan keterangan pers, 19 Agustus lalu, sejak saat itulah yang bersangkutan tidak ada lagi sampai ditemukan di Pulau Nana, Distrik Doom, tepatnya hari Selasa (26/8) lalu. “Kita lihat motif pembunuhan ini, maka dilakukan oleh kelompok terlatih,”tuturnya.

Frits Ramandey menjelaskan mengapa kasus ini menjadi konsentrasi dari Komnas HAM Papua, karena kejadian ini berkenan dengan kendatangan Presiden SBY di Sorong, maka Martinus Yohame, sebagai aktivis yang memberikan keterangan pers terkait dengan kedatangan Presiden. Dan ini wajar dimana ketika ada kunjungan dari tokoh negara, sering ada keterangan pers atau aksi, untuk mengingatkan Presiden terkait dengan kondisi HAM dan lingkungan. “Jadi ini sebenarnya hal yang baik, dalam rangka mengingatkan negera terkait dengan kondisi di Papua Barat,” tuturnya.

Frits, melihat dari rentetan peristiwa, dimana tanggal 19 Agustus yang bersangkutan memberikan keterngan pers, tanggal 26 Agustus ditemukan tewas, karena itu terkait dengan undang-undang no.39 tahun 1999, tentang HAM pasal 33, dimana setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa, jadi jika kondis ini dibiarkan, maka akan sama dengan kasus-kasus sebelumnya pada periode orde baru, atau sebut saja seperti kematian Theis Hiyo Eluai.

“Kita minta agar Polda Papua melalui Polres Sorong, untuk segera mengungkap, siapa dalangnya,”Dalam waktu dekat, jika tidak maka, akan memalukan institusi Polri,” tukasnya.

Bahkan kata Frits, jika ini dibiarkan lagi, maka akan menjadi preseden buruk bagi kondisi HAM di Papua, terutama terhadap para aktivis, dimana masyarakat internasional akan menilai jika negara tidak memberikan perlindungan kepada aktivis.

Sementara itu mayat seorang warga yang diduga Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Sorong Raya, Marthinus Yohame, akhirnya gagal diotopsi setelah Kepala Suku Wamena yang ada di Sorong, Tias Kogoya, mengambil jenazah tersebut untuk kemudian dilakukan pemakaman di Taman Pemakaman Umum Kilo 10 Sorong, Rabu (27/8) kemarin.

Dengan tidak dilakukannya otopsi ini, otomatis pihak kepolisian akan kesulitan mengungkap penyebab pembunuhan mayat yang diduga bernama MY tersebut. Namun demikian, Kabidhumas Polda Papua, Kombes Pol Sulistyo Pudjo tidak memberikan sinyal bahwa kasus tersebut akan dihentikan penyelidikannya meskipun akan semakin sulit.

“Kemarin beberapa orang yang mewakili keluarga korban dan dipimpin kepala suku mereka datang ke Polres Kota Sorong. Mereka bertemu Kapolres dan Kasat Reskrim dan menyatakan menolak dilakukan otopsi. Padahal polisi menjelaskan kepada keluarga, otopsi adalah syarat mutlak dalam proses penyelidikan kasus dugaan pidaan penyebab, waktu dan modus, dan bukti-bukti di badan korban harus ditentukan dari otopsi,”

kata Pudjo kepada wartawan di ruangannya, Kamis (28/8).

Sebagaimana yang telah diberitakan sebelumnya bahwa dari otopsi itu bisa ketahui penyebab kematian korban, apakah karena dipukul dengan benda tumpul, terkena sabetan atau tikaman benda tajam atau bahkan bisa diketahui bahwa korban ditembak dan lain-lain.

“Nanti nanti kalau dihentikan penyidikannya, kasus yang bisa dihentikan itu pertama karena tidak cukup bukti, kasusnya telah kadaluarsa, atau tersangka ternyata telah meninggal dunia. Nah untuk kasus ini belum bisa diarahkan ke sana, jangan-jangan nanti tersangkanya muncul, ada, jadi tidak bisa begitu saja dihentikan,”tambahnya.

Mengenai pihak keluarga dan kepala suku yang sudah mengambil mayat korban atas nama keluarga sehingga bisa disebutkan bahwa korban adalah Marthinus Yohame, Kabidhumas masih belum meyakininya. Pasalnya, kata Kabidhumas, pihak keluarga bisa saja menduga namun pihak kepolisian harus berdasarkan fakta dan data. Jika berdasarkan ciri fisik yang terlihat, memang keluarga korban merasa bahwa mayat tersebut adalah MY.

“Tidak bisa dipastikan karena sudah berapa lama dalam air. Tentu proses penyelidikan dan penyidikan sangat terhambat. Namun kita masih akan melakukan penyelidikan, polisi menyidik bersifat profesional yakni harus berdasarkan bukti, bukan hanya informasi,”

tandasnya.(cak/rib/wen

Jum’at, 29 Agustus 2014 , 23:17:00, CEPOS

Pembunuhan Ketua KNPB Masih Diselidiki

Sulistyo Pudjo HartonoJAYAPURA – Kepolisian Daerah Papua akan mendatangkan tim Labforensik dari Mabes Polri untuk mengungkap kasus pembunuhan Marthinus Yohame yang diduga sebagai Ketua KNPB Sorong Provinsi Papua Barat. Sebelumnya Jenazah korban ditemukan di perairan pulau Nana Dom, Selasa 25/8.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Papua, Komisaris Besar Sulistyo Pudjo Hartono, S.Ik, ketika ditemui Bintang Papua di ruang kerjanya, mengungkapkan, identitas penemuan mayat di perairan pulau Nana Dom Kota, Sorong Provinsi Papua Barat hingga saat ini belum bisa dipastikan.

Guna mengungkap identitas korban, kata Pujdo, Polda Papua telah menyurat ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Markas Polri) untuk mendatangkan tim Labforensik guna melakukan identifikasi terhadap jenazah korban.

“Pengungkapan identitas dan apakah dibunuh kami kerjasama dengan Tim labforensik untuk menentukan identifikasi jenazah korban mulai dari identitas, kecocokan dengan keluarga, baik orang tua maupun adik atau kakak,” kata Pudjo, Rabu (27/8) kemarin.

Tidak hanya itu, kata Pudjo, akan mencocokkan gigi, ciri-ciri khusus dari tubuh korban, seperti tangan, jari, tanda-tanda di tubuh dan lain-lain serta akan mengecek DNA korban dan keluarganya itu sendiri.

“Dengan kehadiran tim Labforensik akan menentukan setelah dilakukan identifikasi dan juga memastikan apakah dalam tubuh korban dibunuh, ditikam ataukah luka dengan menggunakan senjata. Nanti biar tim yang menangani itu,”

jelas dia.

Selain melakukan kerjasama dengan Tim Labforensik, Polda juga akan melakukan kerjasama dengan pihak RSUD Kota Sorong, untuk segera melakukan otopsi.
Namun untuk melakukan upaya otopsi akan dibutuhkan dokter ahli otopsi yang memiliki sertifikat untuk melihat apakah yang bersangkutan dibunuh, terbunuh atau meninggal sebelum masuk air, dan Lain-lain.

Kemudian kerjasama dengan pihak keluarga, sebab berdasarkan pengalaman di daerah pulau Jawa, ada penemuan mayat satu orang bisa diklaim lebih dari 4 keluarga. “Ini kita tidak mau, sehingga kita minta kerjasama dari keluarga untuk mengijinkan dilakukan otopsi,” ujar Pudjo.

Disinggung apakah betul jenazah korban merupakan Ketua KNPB, Pudjo tidak bisa memastikan identitas ataupun merupakan Ketua KNPB. Sebab, polisi mengcek hasil DNA dan mengecek ciri-ciri secara pasti tubuh korban. “Silahkan kalau dia mengklaim Ketua KNPB, tapi polisi belum pastikan karena belum ada hasil identifikasi dari Tim Labfor,” katanya.

Pudjo berharap kepada seluruh masyarakat agar menyerahkan sepenuh kepada pihak kepolisian, sebab kasus ini jangan seperti kasus di Timika hingga mengakibatkan banyak korban jiwa.

“Kami juga minta kepada aparat hukum terkait seperti Jaksa, hakim membantu proses penyelidikan dan penyidikan untuk pemberkasan jika kasus ini jika sudah ada pelakunya, dalam arti bisa diproses lanjut,”

kata Pudjo. (Loy/don/l03)

Kamis, 28 Agustus 2014 07:29, Binpa

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny