HAM Memburuk, Dewan Gereja Dunia Bentuk Delegasi ke Papua
Penulis: Prasasta Widiadi 13:01 WIB | Kamis, 30 Juni 2016
TRONDHEIM, SATUHARAPAN.COM – Dewan Gereja Dunia dalam pertemuan komite sentral di Trondheim, Norwegia yang baru saja selesai beberapa hari lalu merekomendasikan membentuk kontingen delegasi ekumenis internasional sebagai bentuk solidaritas melakukan kunjungan ke Provinsi Papua.
Dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan pada Selasa (28/6), di salah satu sesi di pertemuan komite sentral Dewan Gereja Dunia permintaan kunjungan solidaritas tersebut digelar dalam rangka melaksanakan ziarah keadilan dan perdamaian yang setiap hari digumuli dalam pokok-pokok doa Dewan Gereja Dunia.
Dalam pertemuan yang digelar di Trondheim, Norwegia antara 22-28 Juni 2016, selain memberi usulan tentang pembentukan kontingen untuk melakukan kunjungan ke Papua, komite sentral juga mengajak banyak pihak mendukung gereja anggota – khususnya Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua melalui Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Pasifik Gereja (PCC), dan Konferensi Kristen Asia (CCA) – agar mendoakan dan bertindak dalam mendukung kesaksian gereja dalam rangka terwujudnya keadilan dan perdamaian di kawasan itu.
Dalam catatan Dewan Gereja Dunia, dikatakan bahwa lembaga itu telah mengikuti proses yang terjadi di Papua sejak 1960-an atau beberapa tahun setelah Provinsi Papua menjadi bagian Indonesia. Dalam catatan lembaga ini, dari sekian banyak protes terhadap kebijakan pemerintah pada bulan Mei dan awal Juni tahun ini, lebih dari 3.000 orang berada dalam tahanan pemerintah Indonesia.
Dikatakan pula bahwa konflik di Provinsi Papua yang saat awal berdiri masih bernama Irian Jaya menelan korban ribuan orang sejak akhir 1960-an.
Di tengah laporan tentang situasi HAM yang memburuk di Papua Barat, pernyataan dukungan untuk Papua dikeluarkan pada tanggal 28 Juni selama hari penutupan untuk pertemuan di Trondheim, Norwegia, Komite Sentral Dewan Gereja Dunia (WCC),” demikian pernyataan Dewan Gereja Dunia pada laman resminya.
Pada Februari 2012, komite eksekutif Dewan Gereja Dunia membahas situasi di Provinsi Papua dalam sebuah pernyataan yang mengungkapkan keprihatinan tentang militerisasi dan eksploitasi dalam skala besar terhadap sumber daya alam di Papua.
Selain itu Dewan Gereja Dunia mengamati bahwa di provinsi tersebut tampak berbagai masalah sosial. Di antaranya transmigrasi yang belum merata, kurangnya lapangan kerja dan kesempatan ekonomi bagi penduduk asli Papua. Di sisi lain, Dewan Gereja Dunia mendapati laporan dari Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP), yaitu masih seringnya terjadi pelanggaran HAM secara sistematis seperti penangkapan secara sewenang-wenang, penyiksaan, pembunuhan, penindasan, kekerasan, pengekangan aspirasi penduduk asli Papua untuk menentukan nasib di tanah mereka sendiri.
Dewan Gereja Dunia juga mencatat bahwa Presiden Joko Widodo sering berjanji menghentikan penggunaan kekuatan yang tidak proporsional dan pelanggaran HAM terhadap penduduk asli Papua oleh aparat keamanan Indonesia. Ia juga menjanjikan dialog, rekonsiliasi dan pembangunan di Provinsi Papua. Tetapi langkah tersebut belum cukup. Pelanggaran kebebasan berekspresi di Provinsi Papua dan pelanggaran HAM untuk berkumpul secara damai dilaporkan laporan setiap hari.
Keprihatinan terhadap Papua, tidak hanya ditunjukkan Dewan Gereja Dunia. Pada Maret 2016 sebuah komisi dari Gereja Katolik Brisbane, Australia melansir hasil temuan fakta-fakta pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Temuan mereka mendesak campur tangan Perserikatan Bangsa-bangsa. Selain itu Gereja Katolik Keuskupan Brisbane mendesak upaya penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
Dalam laporan setebal 24 halaman itu – yang dimuat di catholicleader.com.au – salah satu rekomendasi mereka adalah “mendesak negara-negara di kawasan Pasifik mengupayakan intervensi Dewan Hak Asasi Manusia PBB dan Sidang Umum PBB untuk melakukan investigasi independen,” demikian bunyi kutipan laporan tersebut. (oikoumene.org/catholicleader.com.au).
Editor : Eben E. Siadari
Papua di Era Media Sosial
Penulis Amiruddin al-Alrahab – Minggu, 8 Mei 2016, geotimes.co.id
Segala hal mengenai Papua kini telah mendunia. Melampaui imajinasi di era yang sudah-sudah. Tidak ada lagi yang bisa disembunyikan, sekalipun “borok” sebagaimana yang pernah disampaikan oleh seorang anggota legislatif Indonesia. Itu berkat kemajuan teknologi komunikasi dan dunia media sosial.
Simaklah halaman-halaman dunia maya, di situ Anda dengan mudah menemukan berbagai isu mengenai politik, hak asasi manusia, dan sekaligus perkembangan sosial-ekonomi Papua.
Era media sosial memasuki Papua bersamaan dengan munculnya generasi Y. Generasi Y di Papua adalah generasi anak kandung reformasi. Mereka bertumbuh dalam alam demokrasi yang mulai mekar di Indonesia. Demokrasi itu juga dinikmati oleh generasi Y Papua, meskipun dalam kekurangan di sana-sini.
CRV iklan baner GT
Singkatnya, sekarang ini dan ke masa depan, generasi Y Papua dengan perangkat digital di tangan tersebutlah yang akan mengendalikan opini dan persepsi mengenai Papua di semua level. Ibarat kata, generasi media sosial itulah yang sedang dan akan menjadi legiun laga informasi di berbagai palagan wacana tentang Papua.
Cobalah luangkan waktu dan simak dunia maya sejenak untuk menyimak perkembangan wacana terkini mengenai Papua. Anda akan dengan mudah menemukan gambar, foto, dan opini-opini yang sangat berbeda dari yang berkembang di media-media arus utama Jakarta.
Sekadar contoh, begitu banyak wacana mengenai United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan Melanesia Spearhead Group (MSG) berkembang di dunia maya tanpa media-media umum Jakarta mampu menandingi. Bahkan kini dengan mudah pula ditemukan foto-foto orang-orang membentangkan bendera Bintang Kejora dari berbagai belahan dunia. Bukan itu saja, juga ada foto-foto dengan latar berbagai orang Papua dengan bendera tersebut.
Dengan menyimak foto-foto tersebut, tampak dua hal. Pertama, untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora kini tidak diperlukan lagi tiang dan lokasi, cukup dengan sekali klik telepon genggam pintar, kemudian unduh ke Twitter, Facebook, dan Instagram, maka menyebarlah ia. Kedua, ketika foto-foto itu menyebar, tidak ada satu pun tangan hamba wet yang bisa menjangkaunya.
Melalui media sosial itu pula para generasi Y Papua dari berbagai belahan dunia berkomunikasi, berdebat, dan bersepakat. Tidak mengherankan lagi, perjalanan Benny Wenda ke Ghana, bisa dalam hitungan detik disimak di Wamena. Begitu pula yang terjadi di Tolikara, dalam hitungan detik bisa diketahui di Belanda.
Bukan itu saja. Di media sosial, segala kritik kepada kebijakan pemerintah tentang Papua juga ditemukan. Kritik itu disampaikan secara keras, gamblang, dan dengan gaya Papua pula. Segala perkembangan dunia kini juga mudah menjangkau anak-anak muda Papua. Dalam hitungan detik, peristiwa di London bisa diketahui oleh orang-orang di Wamena.
Begitu pula segala bentuk solidaritas internasional dari berbagai belahan dunia segera bisa diketahui oleh orang di pelosok Papua. Selama ada sinyal dan telepon pintar di tangannya. Singkatnya, dunia kini sudah menciut!
Artinya, kini permasalahan Papua memasuki era baru, yaitu era media sosial, era yang begitu egaliter dengan segala macam gagasan. Dunia yang egaliter itu pemainnya pun kini anak-anak muda Papua sendiri. Melalui media sosial, orang muda di Papua dengan cepat membagi dan menerima informasi. Era instruksi tunggal sudah tidak ada tempat lagi.
Nah, dalam perkembangan sedemikian itu, respons Jakarta atas perkembangan Papua tampaknya masih tertatih-tatih. Padahal dunia informasi telah berlari cepat dengan media sosial kendaraannya.
Menyembunyikan Papua dari mata dunia, atau menyembunyikan perkembangan dunia dari Papua, adalah kesia-siaan. Saya rasa Jakarta perlu bergegas. Jika tak mau tergilas di Papua. Semoga.
AHRC: Australia dan AS Bantu TNI Bantai Rakyat Papua
HONGKONG — Sebuah lembaga pengamat HAM yang bermarkas di Hongkong, Asian Human Rights Commision (AHRC), menyatakan, militer Indonesia menggunakan helikopter-helikopter bantuan Australia dan pesawat tempur dari Amerika Serikat (AS) untuk membantai warga Papua pada dekade1970-an.
Dalam laporan AHRC disebutkan, sejumlah petinggi militer Indonesia bertanggung jawab atas pembunuhan, pemerkosaan, dan penyiksaan lebih dari 4.000 orang penduduk Papua pada akhir 1970-an.
Termasuk dalam daftar mereka yang bertanggung jawab dan harus diadili pengadilan HAM adalah mantan Presiden Soeharto.
Laporan ini berjudul “The Neglected Genocide-Human Rights abuses against Papuans in the Central Highlands, 1977-1978” (Pembantaian yang Terabaikan-Pelanggaran HAM terhadap warga Papua di Daerah Pedalaman Tengah, 1977-1978).
Laporan tersebut mencatat kekerasan yang terjadi saat Indonesia meluncurkan beberapa operasi militer di sekitar daerah Wamena dalam rangka menyikapi usaha mencapai kemerdekaan Papua setelah pemilihan umum tahun 1977.
ARHC mengadakan kunjungan lapangan, mewawancara sejumlah saksi, dan memeriksa catatan sejarah. Badan ini telah mengumpulkan 4.416 nama yang dilaporkan dibunuh militer Indonesia dan menyatakan bahwa jumlah korban tewas akibat penyiksaan, penyakit, dan kelaparan berbuntut kekerasan tersebut bisa jadi lebih dari 10.000 orang.
Laporan ini menyatakan warga Papua di daerah pedalaman tengah menjadi korban pengeboman dan penembakan dari udara, yang terkadang dilakukan militer menggunakan pesawat yang dipasok Australia dan Amerika Serikat.
Dalam salah satu gambaran kejadian, penduduk desa di daerah Bolakme diberi tahu akan mendapat bantuan dari Australia yang dijatuhkan dari atas, tetapi justru kemudian dibom menggunakan pesawat dari Amerika.
Laporan ini juga mengandung gambaran-gambaran kejadian seperti pembakaran dan perebusan hidup-hidup para pendukung gerakan kemerdekaan. Sejumlah laporan menyebut warga Papua dipaksa melakukan kegiatan seks depan umum, dan terjadi pemotongan payudara serta anak-anak tewas dipenggal.
Basil Fernando, Direktur Kebijakan dan Program AHCR, mengatakan pada ABC bahwa tindakan-tindakan semacam itu bisa digolongkan ke dalam tindakan genosida.
Sebanyak 10 orang komandan dan petugas senior militer Indonesia disebut sebagai yang bertanggung jawab karena memerintahkan atau tidak mencegah kekerasan yang dilakukan berbagai batalyon.
Menurut Fernando, sejumlah nama yang disebutkan dalam laporan tersebut, beberapa di antaranya masih memegang jabatan dalam militer Indonesia. Laporan ini menyerukan dibentuknya pengadilan HAM ad hoc, komisi kebenaran, dan agar masyarakat internasional meminta Indonesia bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Papua. (KOMPAS.com)
Tak Ada Demokrasi di Papua* | politik rakyat online.
Zely Ariane **
“Orang-orang Papua selalu jadi korban, diperkosa, dibunuh di mana-mana. Hak azasi orang Papua dicabut paksa oleh Amerika, Inggris, Australia, dan Indonesia … Kenapa saya ada di areal Freeport? Karena pembantaian demi pembantaian, itu karena emas tembaga. Pemerintah (TNI-Polri) tidak pernah merasa orang Papua bagian dari Indonesia karena lebih mementingkan perusahaan daripada masyarakat yang harusnya dilindungi.”
Peringati 12 Tahun Kematian Alm. Theys H Eluay, AMP Gelar Mimbar Bebas dan Pemutaran Video Kekerasan di Yogya

Yogyakarta — Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Komite Kota Yogyakarta, malam ini, Sabtu (9/11/13) menggelar Nonton Bareng, dan Mimbar Bebas untuk Tarian dan Orasi di Titik Nol Km, Malioboro, Yogyakarta, tempat teramai dikunjungi kawula muda dan warga Yogyakarta di malam Minggu.
Acara ini dihadirkan AMP untuk memperingati Hari Kematian Demokrasi, Hari kematian Ondofolo Theys Hiyo Eluay, yang dibunuh Kopassus RI pada 11 November 2001, dini hari.
Setelah matahari bersembunyi dan malam merajai jagad, seluruh mahasiswa, pelajar dan masyarakat Papua di Yogyakarta, dikoordinir AMP bergerak menuju Malioboro. Pukul 18.00 WIB, AMP telah siap memulai acara, tetapi ditentang beberapa Polisi Indonesia
Polisi Larang Putar
Menurut Polisi, putar video pelanggaran HAM di Papua dan nonton bersama akan mengganggu suasana, keamanan, dan kurang baik bagi khalayak umum, karena video yang akan diputarkan berbau politik.
Namun AMP mengatakan, video itu tidak berbau politik. Itu resmi pelanggaran HAM di Tanah Papua, dan itu adalah realita yang ada.
AMP ingin seluruh warga Yogyakarta tahu, seperti apa kondisi Papua. Sehingga, kata Alfrid, salah satu anggota AMP, warga Jogja, bila setiap kali melihat mahasiswa Papua aksi, tidak kaget lagi, karena telah tahu, apa yang melatarbelakangi mahasiswa sehingga harus menuntut Papua Harus Merdeka.
Akhirnya, setelah ada ketegangan dan pembicaraan yang alot dengan Polisi, AMP diizinkan menonton video yang telah disiapkan.
Berkaitan dengan tindakan polisi ini, salah satu anggota AMP mengatakan,seperti itu tidak harus terjadi di negara demokrasi.
“Seperti ini (Pelarangan) mestinya tidak boleh terjadi. Apalagi ini negara demokrasi. Itu juga kalau Polisi hayati demokrasi itu, karena kalau polisi Papua semua tidak paham demokrasi,”
katanya.
Ribuan yang Hadir, Acara Ramai
Ternyata, ribuan mahasiswa Papua hadir. Kemacetan terjadi. Malioboro macet total. Bukan hanya mahasiswa Papua, mahasiswa luar Papua di Yogya, warga Yogya, Intel, Polisi, dan para penjual pun merapat.
Praktis, hanya tersisa sedikit ruang kosong di tengah. Ribuan masa membentuk lingkaran tanpa diperintah. Di depan ada infokus milik AMP, dan tulisan besar:
“Negara Harus Bertanggungjawab atas Pelanggaran HAM di Tanah Papua.”
Acara dimulai dengan mengheningkan cipta, untuk mengenang jasa para pahlawan penegak berkibar terusnya Sang Bintang Kejora yang dibunuh TNI, dan untuk menghormati mereka, para pejuang Papua Merdeka saat ini, yang tetap gigih berjuang, walau itu menuntut konsekwensi teramat mahal: pemukulan, penyiksaan, penjara, bahkan sampai kematian.
Semua kepala tertunduk. Instrumen lagu kebangsaan Negara Papua; ‘Hai Tanahku Papua’ mengiringi. Beberapa mahasiswa terlihat mengusap air mata.
Setelah kata-kata pembukaan, acara berlanjut pada waktu untuk Orasi dan penampilan tarian pembuka. Sebanyak 3 mahasiswa perwakilan AMP berorasi, mengajak semua lapisan masyarakat di Malioboro untuk melihat sekelumit derita Papua dan pelanggaran HAM melalui video.
Video Diputar, Banyak Pengunjung Menangis dan Berteriak
Video itu berdurasi 30-an menit. Isinya adalah tentang realita pelanggaran HAM di Papua. Tayangan dimulai dengan bendera Sang Bintang Kejora yang berkibar gagah di tengah rimba Papua.
Kemudian, terlihat anggota TNI memukul warga di Papua, menyiksa dengan menembak hingga tali perutnya keluar semua, membakar jenggot dan membakar mata dengan api rokok, semua ditampilkan.
Juga, bagaimana TNI menyiksa warga di Papua dengan membakar kemaluan dengan besi panas, juga ditampilkan. Penganiayaan, dan mayat-mayat orang Papua yang dibunuh TNI juga ditampilkan.
Pengunjung berteriak histeris melihat video ini. Ada yang tak henti-hentinya menggeleng-geleng kepala. Ada beberapa mahasiswa Papua yang menangis histeris. Selebihnya terlihat mengusap mata mereka.
Semua mengutuk tindakan biadab negara ini terhadap orang Papua, melalui militer Indonesia di tanah Papua.
“Kita tahu bahwa Papua tertutup dari akses wartawan asing. Lokal pun dipersulit. Video ini hanya gambaran kecil dari pelanggaran HAM, bagaimana orang Papua dianggap tidak lebih dari binatang, yang sempat diabadikan. Ada yang lebih mengerikan, yang sampai kini belum diabadikan. Hanya alam dan Tuhan yang tahu, betapa kejinya tindakan Militer Indonesia,”
kata Abbi, anggota AMP.
Solidaritas dari Sanggar Tari dan Illalang Zaman
AMP tidak hadir sendiri. Sanggar Tari gabungan, yakni dari tanah Papua, Maluku, Timor (Flores) dan Negara Timor Leste juga hadir, meramaikan peringatan kematian bapak bangsa Papua, Theys Hiyo Eluay.
Beberapa tarian yang ditampilkan adalah, Tari Lilin dari Timor Leste, Tari dari Atambua, Tari dari Ambon, dan tari Pangkur Sagu dari Tanah Papua.
Sementara grup musik Illalang Zaman tampil menutup seluruh rangkaian kegiatan dengan ajakan:
“Papua, jangan diam, tetap lawan. Jangan diam Papua.”
Lagu “Jangan Diam Papua” pun ditampilkan. Ribuan pengunjung juga ikut bernyanyi.
“Saya terharu. Ternyata ada grup dari luar Papua, malah menyanyi mengajak seperti ini. Luar biasa,”
kata seorang mahasiswa Papua terharu.
Akhirnya, pukul 11.20 WIB, acara diakhiri dengan doa. Selanjutnya, waktu dan tempat diberikan kepada Grup Tari Gabungan, dari tanah Papua, Maluku, Timor (Flores) dan Negara Timor Leste tadi untuk menghibur pengunjung.(MS/Topilus B. Tebai)
Kesaksian AI Tentang Akuntabilitas Dan Pelanggaran HAM Oleh Polisi Di Papua

Jayapura – Penyelidikan terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat langka, dan polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan pelecehan dalam pemeriksaan.
T. Kumar, Direktur Adokasi Internasional Amnesty International AS memberikan kesaksiannya tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM di Indonesia di hadapan Komisi HAM Parlemen AS. Sebagian kesaksiannya itu, tentang Akuntabilitas dan Dugaan Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Polisi di Papua. Berikut bagian tentang Papua dari kesaksian yang disampaiakan kemarin (Kamis, 23/5) waktu Washington DC.
“Amnesty International terus menerima laporan yang dapat dipercaya mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi di Indonesia, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan penganiayaan, penggunaan kekuatan dan senjata api yang tidak perlu dan berlebihan saat melakukan penangkapan dan selama demonstrasi, dan kegagalan untuk melindungi korban pelanggaran hak asasi manusia.
Penyelidikan terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi amat langka, dan polisi sering membuat pengadu tunduk pada intimidasi dan pelecehan dalam pemeriksaan. Mekanisme disiplin internal kepolisian saat ini tidak memadai untuk menangani pelanggaran pidana yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan sering tidak diketahui oleh masyarakat. Selanjutnya, badan pengawasan eksternal kepolisian tidak memiliki wewenang yang memadai untuk membawa mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia ke pengadilan.
Tujuh orang dilaporkan disiksa di Provinsi Papua pada Februari 2013 saat mereka diinterogasi oleh polisi tentang keberadaan dua aktivis pro-kemerdekaan. Menurut sumber yang dapat dipercaya, polisi berpakaian sipil secara sewenang-wenang menangkap Daniel Gobay dan dua pria lainnya pada pagi hari, 15 Februari 2013 di Depapre, Provinsi Papua. Ketiga orang itu pertama kali dipaksa merangkak sejauh 30 meter ke kantor polisi sektor Depapre dan kemudian pindah ke kantor polisi distrik Jayapura satu jam kemudian. Di sana mereka kemudian dipaksa untuk push-up, ditendang di wajah, kepala dan punggung, dan dipukuli dengan tongkat rotan. Polisi diduga menodongkan senjata ke kepala mereka, mulut dan telinga. Mereka diinterogasi sampai larut malam dan berlanjut pagi hari berikutnya.
Matan Klembiap dan tiga pria lain secara sewenang-wenang ditangkap secara terpisah oleh polisi berpakaian preman pada pagi hari 15 Februari di Depapre dan dibawa ke kantor polisi Jayapura kabupaten. Keempat orang juga dipaksa untuk push-up dan ditendang dan dipukuli dengan tongkat rotan dan balok kayu oleh petugas polisi. Salah seorang pria telah bersaksi di video bahwa polisi memberinya kejutan listrik.
“kepemilikan senjata tajam”
Penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh polisi terhadap demonstran di Papua:
Pada tanggal 23 Oktober 2012, sekitar 300 orang berkumpul untuk sebuah demonstrasi pro-kemerdekaan yang diselenggarakan oleh Komite Nasional Papua Barat (KNPB) di depan Universitas Negeri Papua di Manokwari, Provinsi Papua Barat. Polisi Sektor Manokwari dan personil militer mencegah mereka untuk melanjutkan sepanjang jalan. Menanggapi batu yang dilemparkan oleh beberapa pengunjuk rasa, polisi melepaskan tembakan tanpa pandang bulu, melepaskan tembakan ke udara dan ke arah kerumunan. Beberapa demonstran melaporkan bahwa mereka dipukuli oleh polisi.
Setidaknya sebelas demonstran dilaporkan terluka, empat dari mereka menderita luka tembak. Seorang wartawan, Oktovianus Pogau, yang sedang meliput demonstrasi, menyatakan bahwa ia diserang oleh polisi. Salah satu dari polisi memegang tenggorokannya sementara yang lain meninju wajahnya saat ia mencoba untuk mengambil kartu pers untuk ditunjukan kepada mereka. Setidaknya lima polisi juga dilaporkan menderita luka-luka. Indonesia belum sepenuhnya memasukkan definisi penyiksaan dalam KUHP nya, sehingga gagal memenuhi kewajibannya sebagai negara pihak Konvensi PBB Menentang Penyiksaan (UNCAT). Kurangnya ketentuan-ketentuan hukum yang memadai mengenai
“tindakan penyiksaan” menciptakan celah yang memiliki konsekuensi yang menghancurkan. Ini tidak memberikan dasar hukum yang memadai di mana agen-agen negara dapat dibawa ke pengadilan. Lebih lanjut hukum gagal untuk memberikan efek jera untuk mencegah agen negara melakukan tindakan tersebut.”
(Jubi/Benny Mawel)
May 24, 2013,11:21,TJ
Laporan AS Tentang HAM Di Indonesia Soroti Papua

Jayapura – Amerika Serikat (AS) menerbitkan laporan situasi HAM Indonesia sepanjang tahun 2012.
Laporan berbahasa Indonesia yang dirilis di laman website Keduataan Besar AS untuk Indonesia ini, ditulis dalam tujuh bagian yakni : 1) Menghargai Integritas Seseorang; 2) Menghargai Kebebasan Sipil; 3) Menghargai Hak Berpolitik; 4) Korupsi dan Kurangnya Transparansi di Pemerintahan; 5) Sikap Pemerintah Terhadap Investigasi Internasional dan Non-Pemerintahan atas Dugaan Pelanggaran HAM; 6) Diskriminasi, Pelecehan Sosial, dan Perdagangan Manusia; 7) Hak-Hak Pekerja.
Khusus untuk Papua, laporan ini menyebutkan walaupun UU Otonomi Khusus Papua mengizinkan pengibaran bendera yang menyimbolkan identitas budaya Papua, peraturan pemerintah melarang diperlihatkannya bendera Bintang Kejora di Papua, bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di Maluku, dan Bulan Sabit Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Tidak ada laporan penangkapan baru yang berkaitan dengan diperlihatkannya bendera RMS atau bendera GAM. Namun, polisi terus memenjarakan individu karena mengibarkan bendera Bintang Kejora di Papua. Menurut LSM tepercaya, antara bulan Juni dan September, pihak berwenang menangkap lebih dari 60 orang di Papua yang berkaitan dengan pelanggaran pengibaran bendera ini. Polisi menahan sebagian besar mereka satu hingga tiga hari sebelum membebaskan mereka.
Pemerintah Indonesia, disebutkan juga oleh laporan ini, terus melarang media, LSM dan pejabat pemerintahan asing untuk melakukan perjalanan ke provinsi Papua dan Papua Barat dengan mewajibkan mereka untuk meminta izin perjalanan melalui Menteri Luar Negeri atau kedutaan Indonesia. Pemerintah menyetujui beberapa permintaan dan menolak permintaan lainnya dengan alasan yang dibuat-buat, yaitu keselamatan pengunjung asing.
May 16, 2013,12:13,TJ
Download Laporan Hak Asasi Manusia di Indonesia tahun 2012
Kongres AS Akan Bahas Praktek HAM Di Papua

Jayapura – Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua.
Kongres AS, terkait perkembangan demokrasi di Indonesia, merasa perlu membahas situasi HAM di Indonesia belakangan ini. Anggota Kongres akan menyelenggarakan sidang dengar pendapat (hearing) publik, untuk meninjau situasi hak asasi manusia di Indonesia dan kebijakan luar negeri AS berkaitan dengan pemilihan presiden dan parlemen di Indonesia pada tahun 2014. Hearing ini, sebagaimana rilis Komisi HAM Kongres AS yang diterima Jubi (16/05) akan diselenggarakan pada Hari Kamis, 23 Mei 2013 di Washington.
James P. McGovern, anggota Kongres AS, dalam rilis Komisi HAM Kongres AS tersebut mengatakan sistem politik Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat besar, termasuk desentralisasi signifikan kekuasaan kepada pemerintah daerah dan berkurangnya peran militer dalam urusan dalam negeri dan keamanan dalam negeri. Dalam konteks ini, perlindungan hak asasi manusia umumnya telah meningkat, termasuk di daerah dengan sejarah gerakan separatis seperti Aceh. Organisasi non-pemerintah juga telah berkembang, dan banyak orang Indonesia sekarang melihat demokrasi sebagai bagian dari identitas nasional mereka.
“Militer dan polisi Indonesia masih mempertahankan cara-cara impunitas di beberapa provinsi, terutama di Papua. Laporan tentang praktek HAM di Indonesia selama tahun 2012 menunjukkan adanya kasus pembunuhan di luar hukum, penangkapan sewenang-wenang dan penahanan, penyiksaan antara Juli 2011 dan Juni 2012 dan pembatasan kebebasan berekspresi, masih terjadi di Papua.”
kata anggota Kongres AS ini.
John Sifton (Direktur Advokasi Asia, Human Rights Watch), T. Kumar (Direktur Advokasi Internasional, Amnesty International USA) Sri Suparyati (Wakil Koordinator KontraS) dan Octovianus Mote (Universitas Yale Law School Fellow) akan memberikan kesaksian dalam hearing ini.
Hearing yang terbuka untuk umum ini, juga akan membahas isu intoleransi agama yang terwujud dalam intimidasi dan kekerasan terhadap beberapa kelompok agama, seperti Komunitas Ahmadiyah dan masyarakat Kristen di Jawa Barat. (Jubi/Victor Mambor)
May 16, 2013,08:39,TJ
Aksi 13 Mei Murni Tuntut Keadilan Masalah HAM di Papua

Jayapura — Solidaritas Penegakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Papua, menyatakan aksi Senin, t 13 Mei 2013 adalah murni menuntut keadilan atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang terjadi di bumi Cenderawasih. Namun aksi ini dilarang oleh aparat Kepolisian.
Seperti diketahui sebelumnya, Aksi Peringatan 1 Mei 2013 yang oleh Rakyat Papua dikenang sebagai Hari Peringatan 50 Tahun Aneksasi Wilayah Papua Barat (New Guinea) ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sempat diperingati secara berbeda di beberapa tempat.
Namun dalam aksi-aksi peringatan itu, pihak aparat keamanan Indonesia (TNI/Polisi) telah melakukan rangkaian tindakan represif dan brutal terhadap setiap aksi yang dilakukan di beberapa daerah seperti, Sorong, Fak-fak, Biak, Nabire dan Timika.
“Pihak keamanan RI seolah berpegang teguh pada landasan klasik yang terus menjadi kontroversi hingga saat ini bahwa pada 1 Mei 1963 silam, Papua telah bergabung kembali ke dalam pangkuan Ibu pertiwi. Karena itu, otoritas wilayah NKRI mutlak harga mati dan tidak bisa diganggu gugat,”
ujar Wim Rocky Medlama, selaku Juru Bicara KNPB, di Abepura, Rabu(15/5).
Dijelaskan, pada malam menjelang peringatan hari Aneksasi 1 Mei 2013 di Sorong misalnya, sempat terjadi peristiwa tragis yang memakam korban. Dimana pihak keamanan Indonesia (gabungan Polisi/TNI) pada Jumat malam, 30 April 2013, telah melakukan penyerangan membabi buta terhadap warga Papua di sebuah kompleks di Aimas Sorong.
“Dalam aksi penyerangan itu, sejumlah warga mengalami luka-luka, termasuk dua orang Papua berusia muda tewas di tempat kejadian. Mereka adalah Abner Malagawa (20 thn) dan Thomas Blesia (28 thn) yang tewas akibat timah panas yang menerjang tubuh mereka,”
jelasnya.
Sedangkan seorang perempuan bernama Salomina Klaibin (37 thn) yang juga tertembus peluru, akhirnya meninggal dunia setelah sempat kritis saat menjalani operasi mengeluarkan peluru yang bersarang di tubuhnya pada salah satu rumah sakit di Sorong.
“Menanggapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia di berbagai wilayah Papua pada peringatan 1 Mei 2013, terlebih peristiwa tragis di Aimas Sorong, sejumlah aktivis Papua di Jayapura yang terdiri dari para pemuda dan mahasiswa lalu melakukan pertemuan koordinasi secara berturut-turut di beberapa tempat di sekitar Abepura. Pertemuan koorrdinasi kemudian lebih dititik beratkan pada upaya menanggapi peristiwa berdarah yang terjadi di Aimas Sorong,”
paparnya.
Dari sekian pertemuan yang dihadiri para aktivis yang berasal dari sejumlah organ gerakan dan organisasi mahasiswa, dihasilkan kesepakatan agar perlu menyikapi tindakan represif aparat keamanan Indonesia atas rakyat Papua di Sorong dan beberapa daerah lain melalui aksi solidaritas peduli HAM.
“Aksi solidaritas dimaksud rencananya dilakukan dalam bentuk pemberian pernyaatan pers bersama dengan mengundang wartawan kemudian nantinya akan dilanjutkan dengan aksi protes bersama (demonstrasi massa) ke kantor MRP, DPRP atau ke Kantor Gubernur Papua,”
katanya.
Setelah melewati berbagai tahapan koordinasi, katanya, guna memuluskan rencana aksi demo pada Senin 13 Mei 2013, tim solidaritas aksi lalu membuat surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan kepada pihak Kepolisian Daerah (Polda) Papua dan Kepolisian Resort Kota Jayapura. Surat itu kemudian dimasukan pada Jumat 10 Mei.
Dalam surat yang dimasukan ke pihak kepolisian itu, di dalamnya tertera beberapa nama penanggung jawab aksi seperti; Yason Ngelia dan Septi Maidodga selaku perwakilan BEM-MPM Uncen, Bovit Bofra selaku ketua Gerakan Rakyat Demokratik Papua (Garda-P), Victor Yeimo sebagai ketua Komite Nasional Papua Barat/KNPB) dan Marthen Manggaprouw dari perwakilan West Papua National Autority (WPNA).
Satu hari selepas surat pemberitahuan pelaksaan aksi dimasukan, pihak Polda Papua melalui staf bidang Intelijen dan keamanan (Intelkam) lalu menghubungi via phone dan meminta perwakilan penanggung jawab aksi untuk dapat bertemu direktur Intelkam Polda perihal aksi yang bakal digelar.
Bovit Bofra dan Yason Ngelia selaku perwakilan penanggung jawab aksi lalu memenuhi panggilan Markas Polda Papua yang berada di jantung Kota Jayapura, Sabtu 11 Mei, jam 09 pagi. Mereka bertemu direktur Bidang Intelkam Polda Papua Kombes (Pol) Yakobus Marzuki.
Dalam pertemuan kecil yang berlangsung cukup alot dan tegang di ruang Direktur Intelkam Polda, Kombes Yakobus Marzuki meminta mereka mengklarifikasi rencana aksi yang bakal digelar.
“Selain mempersoalkan keabsahan organ-organ yang tergabung dalam aksi solidaritas karena keberadaanya tidak terdaftar di Badan Kesbangpol. Pihak Polda juga mempersoalkan surat pemberitahuan rencana aksi yang dianggap terlalu mempolitisasi keadaan karena berpotensi mengganggu ketenteraman masyarakat (kantibmas),”
ucapnya.
Sebab dalam isi surat pemberitahuan rencana aksi yang ditujukan ke Polda Papua dan Polresta Jayapura itu disebutkan bahwa kasus penyerbuaan yang dilakukan pihak aparat gabungan TNI-Polisi di Aimas Sorong sebagai sebuah “tragedi kemanusiaan” karena menyebabkan rakyat sipil Papua menjadi korban.
Istilah “tragedi’ dalam isi surat itu menurut direktur Intelkam Polda Kombes Yakobus Marzuki) sangat tidak mendasar dan tidak bisa diterima. Sebaliknya, menurut dia, aksi yang dilakukan oleh aparat keamanan itu sudah sesuai prosedur hukum yang berlaku di Negara Republik Indonesia.
Menurut dia, kelompok yang menjadi sasaran penyergapan di Aimas Sorong itu terindikasi kuat bakal membahayakan stabilitas keamanan Negara Indonesia lewat peringatan 1 Mei 2013. Setelah menyampaikan statemen demikian, Direktur Intelkam Polda Papua kemudian mengeluarkan selembar surat penolakan pelaksanaan aksi yang berlangsung pada Senin 13 Mei 2013.
Cuma saja, dalam isi surat penolakan itu hanya disebutkan nama Victor Yeimo selaku ketua KNPB yang menjadi penanggung jawab aksi. Padahal sesuai surat pemberitahuan aksi sebelumnya, jelas tercamtum beberapa nama penanggung jawab aksi yang mewakili organisasi mereka masing-masing.
Selain itu, Direktur Intelkam juga menegaskan sikap Gubernur Papua Lukas Enembe, yang mengatakan bahwa aksi-aksi demonstrasi hanya akan menghambat proses pembangunan di Papua. Menanggapi peryataan itu, Bovit dan Yason lalu mengklarifikasi isi surat penolakan dari Polda Papua itu dan maksud rencana aksi yang hendak dilakukan. Namun tetap terjadi tawar menawar dengan berbagai argumentasi selama kurang lebih 20 menit.
Karena tidak ada kesepakatan bersama, akhirnya Bovit Bofra dan Yason Ngelia dengan terpaksa menegaskan komitmen mereka bahwa sesuai kesepakatan, aksi tetap akan dilakukan pada Senin 13 Mei 2013.
Namun, Direktur Intelkam juga menanggapi dengan menegaskan bahwa pihaknya (Polda Papua) tetap tidak mengijinkan dan menghendaki aksi itu dilakukan. Bila aksi tetap dipaksakan, para penanggung jawab aksi beserta massa yang terlibat siap menghadapi segala resiko yang terjadi, termasuk konsekuensi hukumnya. (Jubi/Eveerth)
May 15, 2013,20:33,TJ