Penanganan Makar di Papua Bukan Pelanggaran HAM

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto mengatakan penanganan kasus makar disertai penembakan harus ditangani dengan cara represif. “Realitas di sana masih ada gangguan keamanan, kejahatan seperti itu jangan dilihat pelanggaran HAM Polri dan TNI,” kata Djoko di Istana Negara, Jakarta, Selasa (8/11/2011).

Karena itu, menurut dia, kasus pembubaran Kongres Rakyat Papua ke-III di Lapangan Zakeus, Abepura, Papua, 19 Oktober lalu, yang menewaskan tiga orang peserta kongres, tidak bisa dinilai aparat negara melakukan pelanggaran HAM.

Menurut Djoko tidak pantas jika Polri dan TNI selalu diklaim melakukan pelanggaran HAM, sementara HAM anggota TNI, Polri, dan masyarakat Papua juga menjadi korban penembakan oleh kelompok separatis. “Jangan lalu dikaitkan melanggar HAM, kalau aparat ditembaki, penduduk ditembaki, kok tidak ada yang bicara tentang HAM mereka?” ujar Djoko. [mvi]

Tim Utusan SBY Temui Kapolda

Kapolda Papua foto bersama dengan utusan SBY
Kapolda Papua foto bersama dengan utusan SBY
JAYAPURA – Situasi politik di Papua yang belakangan ini menjadi sorotan publik pasca Kongres Rakyat Papua III, mulai mendapat respon positif dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menyusul dengan memanasnya Papua, SBY mengutus Tim terpadu direktorat keamanan diplomatik pemerintah pusat, menemui pihak Polda Papua, Jumat 28 Oktober. Tim yang terdiri dari beberapa kementrian itu langsung menemui Kapolda Papua, Irjen Pol BL Tobing, untuk mencari data – data dan bukti tentang situasi keamanan yang sebenarnya terjadi di Papua belakangan ini. Tim terpadu keamanan diplomatik terdiri dari beberapa kementrian antara lain, Polhukam, Dagri, Luar Negeri dan BIN. Dalam pertemuan yang berlangsung di ruang Cenderawasih Jumat (28/10) di hadiri pejabat tinggi polda antara lain Kapolda Papua Irjen Pol BL TOBING , Kapolres Jayapura kota AKBP H Imam Setiawan serta Kabid Humas Polda Papua Kombes Pol Wacyhono . Dalam pertemuan itu, Kapolda Papua BL TOBING memberikan data resmi yang terjadi lapangan dan bukan opini. Diharapkan dengan adanya kunjungan tim terpadu ini, setelah menerima fakta yang terjadi di Papua agar memberikan berita atau informasih yang benar bahwa Papua aman dan masih untuh dalam konteks NKRI kepada rekan dari Negara lain, yang memiliki hubungan diplomasi, serta investor asing yang menanamkan saham di Papua .

Pasalnya, merekalah yang akan menjadi corong pemerintah Indonesia bagi luar negeri untuk berbicara dengan Negara luar tentang keamanan di Indonesia dan juga dalam urusan diplomatic.

Demikian Kabid Humas Polda Papua Kombel Pol Wachyono kepada wartawan usai pertemuan dengan tim direktorat keamanan dan diplomatic luar negeri di ruang Cenderawasih Polda Papua, sekitar pukul 01.00 wit .

Sementara itu, Ketua Tim terpadu Utusan SBY Samsul Risam enggan memberikan keterangan kepada wartawan, bahkan terkesan menghindar dari wartawan.
Juru Bicara Polda Papua, Kombes Wachyono mengatakan, kedatangan tim terpadu keamanan, atas perintah Presiden. Untuk mengetahui secara jelas kondisi Papua yang belakangan ini eskalasinya meningkat. “Mereka ingin mendapat fakta yang sebenarnya, mengenai kondisi situasi Papua, terkait terjadinya sejumlah aksi kekerasan,”imbuhnya.
Kata dia, pihak Polda kemudian menjelaskan situasi yang sebenarnya tentang Papua. “Kami memberikan berbagai fakta yang diminta mereka,”tandasnya.

Ditanya, apakah kondisi Papua memang sudah sangat mencemaskan, sehingga presiden mengirim tim terpadu untuk mencari fakta, Wachyono hanya mengatakan, tidak semua wilayah di Papua yang bergolak atau ada tindak kekerasan. “Hanya beberapa wilayah yang ada gejolak, sementara wilayah lain aman dan kondusif kok,”tukasnya.
Wachyono juga mengatakan, bahwa situasi Puncak Jaya berangsur pulih. Aktivitas masyarakat mulai berjalan normal meski tetap waspada. “Puncak Jaya mulai aman,”singkatnya.

Mengenai pasukan Brimob yang didatangkan dari Kelapa Dua Depok, Wachyono, belum tiba di Puncak Jaya. “Cuaca yang ekstrem membuat pengiriman personil mengalami kendala, sehingga personil yang ada disana di optimalkan untuk menciptakan situasi yang ada,”katanya. (jir/cr-32/don/l03)

Penuturan Korban dan Saksi KRP III

Kongres Rakyat Papua III yang sudah digelar 19 Oktober 2011, meninggalkan luka dan trauma mendalam di bathin para korban dan mereka yang dikorbankan akibat tindakan arogansi monopoli kebenaran tunggal, serta mengabaikan dan mengorbankan nyawa, harkat dan martabat kemanusiaan.

Veni Mahuze - Bintang Papua
Veni Mahuze - Bintang Papua

Salah seorang massa kongres saat diamankan aparat
Cristianus Dogopia ( 22) mahasiswa semester V STFT Fajar Timur, anggota kongregasi Imam Imam Projo Jayapura harus dirawat di rumah sakit Dian Harapan karena tulang tangan kanannya retak. Saat ditemui Jumat( 28/10) siang di rumah Projo. Cris dalam keadaan terbalut tangan kanannya, dengan mata lebam, saat dirawat di rumah sakit, wajahnya bengkak merata sehingga terkesan tak ada perbedaan antara hidung dan pipi. Cris bercerita, saat kongres selesai dia berada di halaman rumah Sang Surya, dari jauh dia mengamati aparat melakukan penembakan, Dalam benaknya berpikir, kira kira kemana arah dan tujuan dari tembakan itu, rupanya tembakan aparat itu diarahkan ke atas, merata kepada semua peserta kongres. Pada pukul 15.30 atau jam 04.00 sore aparat lakukan penembakan itu serentak terdengar dari arah belakang Kampus, berikut dari Jalan Yakonde dan sepanjang jalan Sosiri padang bulan.

“ Karena arah tembakan aparat merata , peserta kongres diantaranya ada laki laki, perempuan dan warga yang hanya ingin melihat kongres. Ketika peserta berlari mencari tempat perlindungan yakni rumah- rumah dosen yang berada di luar lapangan kongres, saya tetap berdiri dan tidak terpengaruh dengan tembakan tembakan yang diaragkan aparat, namun saya kasihan dengan orang orang yang mencari perlindungan, hingga saya mengarahkan mereka dan menunjukkan satu rumah yang pintunya terbuka agar mereka masuk kesana, termasuk kandang ayam milik salah seorang dosen, saya arahkan ke kandang ayam sebagi tempat perlindungan dan saya berteriak dari jauh, tutup pintu dari dalam,” kenangnya.

“ Ketika saya berusaha melindungi seorang pria peserta kongres yang kedapatan ditangkap, dipukul hingga berdarah darah dan pingsan, saya bermaksud melindunginya agar tidak mendapatkan perlakuan yang lebih kasar lagi dari aparat, namun ketika akan melakukan itu, saya dipukul dibatang hidung , dan sempat menangkis pukulan aparat hingga mengenai tangan, setelahnya saya dibawah masuk ke dalam lapangan yang dipakai sebelumnya untuk kongres, disana ada kelompok besar orang yang ditangkap sambil berbaris, di suruh jongkok dan saya masuk dalam kelompok itu, dibawah ke Polda dalam keadaan berdarah darah bersama peserta kongres lainnya yang kondisinya sama dengan saya berkesimpah darah disekujur tubuh”.katanya.

Dia dipulangkan pada 20 oktober dan masuk rumah Sakit Dian Harapan untuk menjalani perawatan. Dari pemeriksaan yang dilakukan di RS. Dian Harapan, keterangan dokter menyatakan, tangan yang digunakannya melindungi peserta kongres yang pingsan itu retak hingga perlu perawatan. Dia juga bercerita saat diangkut ke Polda, mereka ditempatkan di lapangan tenis dan dikelompok kelompokan masing masing mahasiswa/ pelajar, perempua , laki laki, peserta kongres dan Petapa.

Mahasiswa STFT yang ditangkap dan sempat ditahan di Polda usai digelarnya KRP III berjumlah 5 orang , mereka berada pada posisi didatangi massa yang mau menyelamatkan diri, mau tidak mau demi kemanusiaan mereka harus melakukan perlindungan kepada massa yang mendatangi mereka, mereka tak luput dari tindak kekerasan aparat, bahkan seorang pastor Yan You ditodong dengan pistol sebanyak tiga kali oleh aparat yang berbeda diselang waktu yang berbeda pula.

Ditempat yang sama, Daud Wilin( 22) mahasiswa STFT dan Frater Imam Projo yang serumah dengan Cris Dogopia mengalami hal yang sama seperti rekannya Cris, dia ditendang dan dipukul dengan senjata tepat dipunggung dan tulang belakang, hingga gumpalan darah kotor mengumpal di pinggangnya, bahkan dia menuturkan, masih banyak mahasiswa STFT yang dikejar dan merasa rakut dan trauma melarikan diri ke hutan . Sampai keduanya ditemui di rumah projo Padang Bulan, nampak rasa trauma dan ketakutan terlihat diraut wajah dua frater Projo ini, keduanya mengaku, tidak tenang selalu awas dalam berbagai situasi, apalagi mendengar bunyi tembakan atau bunyi gaduh, hati bathin mereka masih terbawa dan terbayang peristiwa dimana keduanya mendapat perlakukan tidak manusiawi dari Aparat.*/don/l03)

TPN-OPM Pimpinan Panglima Jenderal Goliat Tabuni Menolak Hasil Konggres Papua III

Edudanews – Puncak Jaya West Papua Senin Pagi (24/10), Pimpinan Panglima Jenderal Goliat Tabuni menolak hasil konggres III yang mengatasnamakan TPN-OPM dan Rakyat Papua Membuat Negara Federasi, Pembentukan Presiden dan wakil Presiden serta beberapa kabinet Pemerintahan Transisi yang di bentuk pada (19/10) adalah tidak kredibel dan murni kontra perjuangan dan kemerdekaan Papua Barat berbentuk Republik dan berdaulat penuh.

Tentara Pembebasan Nasional dan Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) Papua Barat bertahan berjuang sejak 1961 sampai saat detik ini mau bentuk negara merdeka. Kami tidak mau Negara Federasi, maka elemen Perjuangan Papua merdeka manapun adakan kegiatan tanpa mengetahui Tentara Pembebasan Nasional dan Organisasi Papua merdeka (TPN-OPM) Papua Barat itu ilegal maka dari itu kami menolak hasil yang di dapat dari Konggres Papua III, di adakan oleh Dewan Adap Papua (DAP) dan Organ politik lainnya.

oleh Panglima Tinggi Tentara Pembebasan Nasional dan Organisasi Papua merdeka (TPN-OPM) Papua Barat Jendaeral Tuan Goliat Tabuni disampaikan oleh sekjen Tentara Pembebasan Nasional dan Organisasi Papua merdeka (TPN-OPM) Papua Barat Jenderal Anthon Tabuni Puncak jaya Papua Barat (salam Merdeka) source”sms”

Sorakpak Yakin Korban Tewas Bukan Dibacok

Elias Petege dan rekan-rekannya saat memberi keterangan pers
Elias Petege dan rekan-rekannya saat memberi keterangan pers

JAYAPURA – Daniel Kadepa yang oleh pihak kepolisian dinyatakan tewas akibat terkena benda tajam atau sejenis parang, dibantah oleh Elias Petege yang menyatakan diri sebagai aktifis HAM Independen. Karena, Ia menyatakan punya saksi yang melihat bagaimana peristiwa disaat Daniel Kadepa tewas bersimbah darah dengan luka di kepala bagian belakangnya. “Kapolda mengatakan bahwa tewasnya warga sipil itu luka bacok dan bukan luka tembakan. Pernyataan itu saya bantah,” tegasnya bersama tiga orang rekannya, Izen Suffi dan Benny Goo dari Forum Independen mahasiswa, serta satu orang mahasiswa Fakultas Hukum Uncen, Anis Mambrasa, yang tergabung dalam Solidaritas Rakyat Papua Anti Kekerasan (Sorakpak) saat menggelar jumpa pers di Prima Garden Abepura, Senin (24/10).

Dikatakan, dari saksi mata yang menceritakan kepadanya, Daniel Kadepa ditembak tepat di kepalanya oleh anggota yang berjaga-jaga di belakang STFT Fajar Timur. “Di bawah dikejar oleh aparat kepolisian dan brimob, diatas sudah dijaga terlebih dahulu oleh TNI AD. Sehingga saat Almarhum Daniel Kadepa yang lari lebih awal, sudah dibidik. Sehingga dapat tembakan di kepala,” ungkapnya lagi.

Ia pun dengan tegas bahwa tidak benar bila dikatakan luka bacok, meski belum melihat hasil visum et repertum maupun hasil outopsi dari dokter yang menanganinya. “Dan dua anggota Petapa lain adalah itu bukan luka bacok, tetapi luka tembakan. Daniel Kadepa itu juga bukan anggota Petapa, melainkan mahasiswa STIH Umel Mandiri, yang datang sebagai partisipan,” jelasnya.

Disinggung apakah pihaknya bersedia menghadirkan saksi tersebut di depan penyidik kepolisian untuk memudahkan pengungkapannya, Elias menyatakan bersedia. “Kami sangat siap menghadirkan jika diminta,” jelasnya.

Terkait pembubaran Konggres sendiri, menurutnya melanggar UUD 45, kovenan, maupun Undang-undang tentang Hak Asasi Manusia.

“Apa yang mereka (pelaksana kongres) lakukan itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi sebagai warga Negara. Mereka dijamin oleh UUD 45 pasal 28 dan turunan UU lainnya,” ungkapnya.

Bahkan termasuk mendirikan sebuah Negara di dalam Negara, dikatakan sah-sah saja, karena dijamin oleh konfensi internasional tentang hak-hak politik tentang hak menentukan nasib sendiri.(aj/don/l03)

Kapolda dan Pangdam Diminta Bertanggung Jawab

JAYAPURA- Dewan Perwkilan Rakyar Papua (DPRP) meminta Kapolda Papua dan Pangdam XVII Cenderawasih, bertanggung jawab atas jatuhnya sejumlah korban jiwa, saat pembubaran Kongres Rakyat Papua 3, Rabu lalu. ‘’Tindakan aparat keamanan dalam pembubaran kongres rakyat Papua sudah melampaui batas, kewenangan mereka dan jelas melanggar aturan dan UU, karena menimbulkan jatuhnya korban. sehingga komandan tertinggi dan pengendali aparat di lapangan yakni Kapolda dan Pangdam harus bertanggung jawab dengan jatuhnya korban tersebut,’’tegas Yan Mandenas Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua,’’Senin 24 Oktober di ruang kerjanya. Lanjutnya, aparat melampaui kewenangan karena memukuli dan menembak warga, padahal warga yang ada di sekitar lokasi belum tentu semua terlibat dan ikut kongres. ‘’Kalau memang ada tindakan makar, ya tangkap dalang dan aktornya, jangan malah memukuli dan menembaki warga. Kan tidak semua warga yang menjadi korban ikut kongres, ini malah main babat, seperti tak terkendali, ini pelanggaran HAM dan harus diusut tuntas,’’tandasnya.

Sambungnya, persoalan ini bukan hal yang sepele, karena menyangkut harga diri orang Papua. Sebab, sangat terkesan setiap menangani persoalan Papua, aparat tidak terkendali dan asal main tembak. ‘’Membunuh orang tak berdosa, jelas sangat tidak manusiawi, dan orang Papua selalu menjadi korban. Kalau mau membangun Papua mari dengan hati dan semangat NKRI, bukan asal main gebuk, sepertinya orang Papua tidak ada arti,’’ucapnya.
Mengenai klaim Kapolda Papua, bahwa korban yang tewas karena tertikam bukan tertembak, Yan Mandenas mengatakan, jika itu benar, silahkan umumkan hasil otopsinya secara terbuka dan transparan. ‘’Kenapa hasil otospi terhadap sejumlah korban tidak diumumkan secara terbuka, biar jelas kalau memang itu ditikam dan bukan ditembak,’’imbuhnya.
Papua itu bagian dari NKRI yang tidak terpisahkan, tapi tambahnya, kerap dijadikan sebagai lahan konflik. ‘’Mereka mengambil keuntungan dengan konflik yang terjadi. Sejumlah penembakan misterius hingga kini tidak pernah bisa diungkap, tapi kalau menembaki rakyat yang tak berdaya ‘paling hebat’,’’ketusnya.

Yan juga menyatakan, agar secepatnya dibentuk tim investigasi untuk melakukan penyelidikan. ‘’DPR Papua akan mendorong dibentuk tim, untuk melakukan penyelidikan, kalau memang terjadi penyimpangan, Kapolda dan Pangdam harus dicopot,’’ujarnya.

Hal senada juga ditandaskan Ketua Komisi A membidangi Polhukam DPR Papua, Ruben Magay, bahwa ada penyimpangan dalam aksi itu, yang dilakukan aparata keamanan. ‘’Kalau memang ada yang bertindak makar. Ya tangkap dan proses aktornya dan deklaratornya, jangan menembaki rakyat yang tak berdosa,’’tukasnya.
Tambahnya, ‘’Sebelum aksi pemukulan dan penembakan terjadi, saya sudah meminta Kapolres menarik pasukannya, Karena sudah selesai. Tapi yang terjadi, meski sudah bubar dan pentolan kongres sudah ditangkap, aparat masih terus melakukan pengejaran dan memukuli serta menembaki warga yang ada disekitar. Padahal, mereka sama sekali tidak melakukan perlawanan. Ini kan jelas pelanggaran, orang bersenjata dengan seenaknya memukuli rakyat yang tidak melawan dan memiliki senjata,’’imbuhnya.

Namun, kata dia, biarkan lembaga yang berwenang melakukan investigasi menyeluruh, untuk membuktikan adanya pelanggaran dalam insiden itu. ‘’Biarkan Komnas HAM sebagai lembaga yang berkopoten melakukan penyelidikan dan memutuskan apakah telah terjadi pelanggaran HAM atau tidak, tapi yang jelas DPR Papua juga akan mendorong dibentuknya tim investigasi,’’tukasnya.

Sementara salah seorang warga bernama Yosep Nawipa, yang menjadi korban dan sempat ditahan di Mapolda selama sehari mengatakan, dirinya menjadi korban poporan senjata aparat dan sempat diseret ke mobil untuk di giring ke Polda. ‘’Saat itu saya dari Sentani menuju Angkasa, ketika pembubaran terjadi saya melintas di lokasi, kemudian saya ikut dipukuli dan diseret ke mobil, hingga kepala bocor,’’ujar Nawipa sambil menunjukkan luka bocor di bagian ubun-ubunnya.(jir/don/l03)

Insiden KRP III Lukai Hati Orang Papua

Siaran PERS : Sorakpak saat memberikan keterangan pers kepada wartawan di Prima Garden, Senin [24/10]JAYAPURA [PAPOS]- Ketua Fraksi Pikiran Rakyat, Yan Mendenas,S.Sos meminta secara tegas agar aparat Kepolisian dan TNI bertanggung jawab atas terjadinya insiden KRP III beberapa waktu lalu, sebab tindakan aparat tersebut dinilai telah melukai hati orang asli Papua.

Apalagi kata politisi ulung Hanura ini masyarakat tidak menggunakan apa-apa. andaikan pun pada saat itu masyarakat ditemukan menggunakan senjata hendaknya dilakukan tindakan persuasive, bukan asal tangkap begitu saja dan melakukan kekerasan. ‘’Saya paling tidak setuju atas tindakan aparat terhadap masyarakat sipil,’’ kata Yan Mandenas kepada wartawan di ruang kerjanya, Senin [24/10].

Tindakan aparat yang sampai melakukan penembakan dan diarahkan

kepada orang perorangan sudah masuk pelanggaran HAM berat. Insiden KRP III bukan masalah sepele, tetapi masalah yang menyangkut harga diri orang Papua, dimana sampai saat ini orang Papua masih mengakui dirinya sebagai warga Negara Indonesia.

Untuk itu, bangsa Indonesia perlu menghargai orang Papua dan bila memang bangsa Indonesia tidak menghargai orang Papua lebih baik orang Papua dibiarkan Merdeka diatas tanah sendiri. ‘’Tugas aparat keamanan khan melindungi, bukan menyakiti hati rakyat Papua,’’ imbuhnya.

Apa yang dilakukan aparat keamanan tersebut menurutnya, adalah pelecehan terhadap orang Papua. Itu menimbulkan ketersinggung bagi rakyat Papua. ‘’Tidak ada alasan TNI dan Polri untuk embuat rakyat Papua tersinggung karena, rakyat Papua masih bagian dari NKRI,’’ tegasnya.

Oleh karean itu, ia meminta kepada pemerintah melakukan evaluasi terhadap kinerja aparat TNi dan Polri di Papua sehingga kedepan aparat kepolisian dan TNI dalam penanganan permasalahan yang terjadi di tanah Papua tidak menimbulkan korban jiwa.

Hentikan Kekerasan

Ditempat terpisah hal senada pula dikemukakan Solidaritas Rakyat Papua Anti Kekerasan [SORAKPAK], Izen Zuffi dari Forum Independent Mahasiswa menyebutkan peristia tersebut telah menodai perjalanan demokrasi dan Hak Azasi Manusia di Indonesia.

Sebelumnya kata dia, pihaknya sudah memprediksi akan terjadi kekerasan. hal ini bisa dilihat saat parade aparat keamanan memamerkan kekuatannya dengan senjata lengkap, 7 mobil Baracuda, 5 panser dilengkapi dengan senjata mesin caliber 50 mm, mobil tahanan dan mobil identifikasi korban hilir mudik melintasi jalan masuk menuju kongres. Ditambah lagi dengan dua ribuan aparat gabungan TNI dan Polri yang menyebar di sekitar areal Kongres. Itu semua bertujuan untuk meneror mental dan psikis atau menakut-nakuti peserta kongres yang hadir.“Sebenarnya pendekatan keamanan bukanlah pendekatan yang tepat, karena pendekatan keamaanan sering terreduksi menjadi keamanan pihak tertentu , bukan keamaanan masyarakat Papua,’ tegasnya dalam siaran pers yang diterima Papua Pos, kemarin.

Pada kesempatan yang sama Elias Petege, Aktivis HAM Independen yang juga anggota (SORAKPAK) mengatakan, peristiwa KRP III menganut asas kebebasan untuk berkumpul, mengemukakan pendapat dan menyebarkan gagasan, itu semua merupakan hak rakyat sipil dan berpolitik yang sudah diatur dalam undang-undang No 12 Tahun 2005. Jadi hak untuk mengemukakan pendapat dan menyebarkan gagasan adalah hak dasar bagi setiap warga Negara, itu semua demi memajukan setiap orang dan meningkatkan martabat manusia serta pintu bagi terpenuhinya hak manusia lainnya.

Oleh karean itu, pihaknya meminta penangkapan dan penahanan terhadap proses kebebasan berpendapat harus di hentikan, serta tahanan yang terlibat dalam KRP III juga harus di bebaskan karena kongres tersebut merupakan kebebasan berpendapat dan menyebarkan gagasan. ‘’Tidak seorangpun dapat ditangkap dan ditahan karena pikiran politiknya. Keamanan nasional hanyalah alasan bagi pemerintah untuk membatasi sikap kritis rakyat Papua,” katanya.

Bahkan pihaknya meminta secara tegas agar menghentikan tindakan dan kebijakan yang berpotensi mencabut rasa aman dan hak hidup seseorang, menghilangkan nyawa orang, penembakan dan perbuatan kejam tidak manusiawi harus di hentikan.

Polri Selidiki

Mabes Polri akan menyelidiki dugaan penyalahgunaan wewenang dan tindak kriminal dalam penanganan ricuh Kongres III Papua medio pekan ini, kata Kepala Bidang Penerangan Umum Mabes Polri Kombes Pol Boy Rafli Amar di Jakarta, Sabtu.

“Kami sama sekali tidak menghendaki jatuhnya korban jiwa dalam setiap penanganan konflik, di pihak mana pun termasuk dalam penanganan ricuh pasca Kongres III Papua,” katanya kepada wartawan.

Kombes Boy menuturkan menjelang pelaksanaan Kongres III Papua, pihaknya sudah melakukan pendekatan dan langkah antisipasi agar pelaksanaan kegiatan itu berjalan aman dan tertib. “Namun dinamika di lapangan apa yang kami harapkan tidak terjadi, kadang harus terjadi tanpa kita kehendaki. Karena itu, kita akan selidiki dan evaluasi dinamika di lapangan saat itu dan penanganannya seperti apa,” ujar Boy.

Saat ini Kepolisian Negara RI telah menetapkan enam tersangka makar terkait Kongres Papua III di Jayapura yakni FY, EW, DS, AM, GW dan SB. “Keenam tersangka diduga kuat melanggar hukum positif negara kita pasal 106 dan 160 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengenai makar dengan ancaman pidana penjara. Sebanyak 18 orang diperiksa sebagai saksi dari 360 orang peserta yang mengikuti Kongres III Papua, “ujarnya.

Boy menambahkan “Keenam tersangka adalah pimpinan dari gerakan tersebut. Dan kita sudah menemukan beberapa barang bukti,”.Ia menjelaskan barang bukti yang ditemukan di antaranya kartu peserta, surat pemberitahuan pelaksanaan acara, surat perekrutan. Serta bukti lain berdasarkan fakta-fakta dari pemeriksaan 18 saksi.

Sementara itu terdapat pula 300 orang yang mengalami penyiksaaan dan beragam intimidasi serta perusakan sejumlah kendaraan roda empat dan dua, serta asrama di sekitar lokasi kejadian.

Menanggapi itu, Kombes Boy mengatakan pihaknya terus melakukan penyelidikan dan identifikasi terhadap warga yang diduga meninggal dunia, hilang atau mengalami luka-luka serta intimidasi.

“Jika ada perbedaan data dengan yang diperoleh lembaga swadaya masyarakat dan Komnas HAM, tentu kami akan pula bekerja sama. Yang jelas kami tidak menghendaki adanya korban jiwa di pihak mana pun. Kami telah berupaya mengantisipasi agar kegiatan dan penanganan rusuh tidak mengarah pada kekerasan, namun perkembangannya terjadi hal demikian,” ujarnya.

Boy menekankan, dalam penanganan beragam konflik atau insiden di Papua pihaknya harus bersandar pada penegakkan hukum, penegakkan keamanan dan penegakkan kedaulatan.[ant/cr-64/tom]

Written by Ant/Cr-64/Tom
Tuesday, 25 October 2011 00:00

NKRI Sudah Final, Jangan Coba-coba Ganggu Keutuhan NKRI

Bigman Lumban Tobing, Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu dan tokoh-tokoh masyarakat memberikan keterangan pers terkait pelaksanaan KRP III di ruang kerja Penjabat Gubernur, Jumat [21/10]”]JUMPA PERS: Kapolda Papua Irjen [Pol] Bigman Lumban Tobing, Pangdam XVII Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu dan tokoh-tokoh masyarakat memberikan keterangan pers terkait pelaksanaan KRP III di ruang kerja Penjabat Gubernur, Jumat [21/10]JAYAPURA [PAPOS] – Silahkan saja berkumpul dan menyampaikan pendapat, tetai jangan mengganggu keutuhan NKRI. Sebab NKRI mulai dari Sabang sampai Merauke sudah final. NKRI sudah harga mati. Jadi siapa saja yang mencoba mengganggu keutuhan NKRI maka seluruh warga Negara Indonesia akan menghadangnya.

Demikian disampaikan Penjabat Gubernur Papua, Dr.Drs. Syamsul Arief Rivai, MS kepada wartawan diruang kerjanya, Jumat [21/10] usai melakukan pertemuan dengan sejumlah FORKOMPIMDA, tokoh agama dan tokoh masyarakat.’’ Jadi pemerintah tidak melarang masyarakat berkumpul dan menyampaikan aspirasinya, termasuk pelaksanaan Kongres Rakyat Papua [KRP] III,asalkan tidak bertentangan dengan aturan atau norma-norma hukum yang berlaku di NKRI,’’ tandasnya.

Untuk menyikapi gejolak yang terjadi di Tanah Papua saat ini, Penjabat Gubernur Provinsi Papua melakukan pertemuan tertutup dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah [FORKOMPIMDA] diantaranya Kapolda Papua, Pangdam XVII Cenderawasih, tokoh Masyarakat serta tokoh agama di ruang kerja Gubernur, Jumat [21/10] kemarin.

Menurut Penjabat Gubernur, NKRI adalah final, wilayahnya mulai dari Sabang sampai Merauke. Itu komitmen nasional. Untuk itu, siapapun dia warga negara dimuka bumi ini, tentu mempunyai komitmen yang sama untuk menjaga keutuhan negara Indonesia yang dicintai ini.

Oleh karena itu, tegas Gubernur, karena wilayah NKRI sudah final, sehingga jika ada kelompok atau orang yang mencoba memberikan statmen lebih dari pada itu, bukan saja warga Papua yang akan bertindak, tetapi seluruh rakyat Indonesia pasti akan menghadapinya.

“Jika ada kelompok atau orang yang ingin membangun negara di atas negara, bukan saja masyarakat di Papua yang akan bertindak menghadangnya, tetapi seluruh rakyat yang ada di Indonesia pasti akan melakukan hal yang sama,”tukasnya.

Lanjut Rivai, berkaitan dengan Kongres Rakyat Papua [KRP] III, sebenarnya pemerintah dan aparat keamanan sudah memberikan tolerasi cukup tinggi untuk pertemuan itu. Dimana sudah mempersilahkan untuk berkumpul dan mengemukakan pendapat, asal tidak menyinggung NKRI.

Sayangnya, dalam pertemuan yang berlangsung dari Senin [17/10) hingga Rabu (19/10) ada yang melanggar. Karena telah melanggar ketentuan peraturan perundang- undangan, maka aparat keamanan terpaksa harus mengamankan beberapa orang untuk dimintai keterangan terkait kongres itu. “Dinamika di lapanganlah yang menyebabkan adanya ekses sehingga terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,”ujarnya.

Namun pihak aparat keamanan baik dari TNI dan Polri sudah berusaha sedemikian rupa dengan bertindak sesuai dengan [SOP] dalam penanganan persoalan. “Memang ada beberapa orang yang ditangkap pihak kepolisian, namun yang tidak berkaitan dengan persoalan sudah dilepaskan kembali. Tetapi bagi mereka yang secara nyata diduga mempunyai pengaruh terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan itulah yang sementara ditangani oleh pihak Polda untuk selanjutnya di proses secara hukum,” jelasnya.

Syamsul Arief mengajak seluruh masyarakat Papua untuk bersama-sama mendudukan masalah ini secara proposional.”Mari kita memberikan dukungan kepada aparat keamanan dalam mengambil langkah untuk menyelamatkan bangsa, bukan untuk kepentingan perseorangan melainkan untuk keselamatan penjagaan wilayah NKRI. Dengan demikian kita sepakat bahwa Indonesia itu final. Kalau kemudian ada ekses, saya meminta agar ditangani juga secara profosional,” ujarnya.

Untuk itu, ia berharap, kejadian yang terjadi pada Kongres Rakyat Papua III hendaknya kejadian yang terakhir dan tidak akan terulang lagi dimasa-masa yang akan datang. “Pada masayarakat Papua, mari kita bersama-sama membangun daerah ini dan menjaga ketertiban serta keamanan di provinsi tertimur di Indonesia ini, apalagi kita akan melaksanakan Pemilihan Gubernur Papua,” katanya.

Ditempat yang sama, Kapolda Papua Irjen Pol Bigman Lumban Tobing menegaskan bahwa kongres rakyat Papua III tidak dihentikan, meskipun pada awal pembukaan sudah terjadi penyimpangan dan melanggar aturan yang ada. Inilah toleransi terbesar yang diberikan aparat keamanan.

“Kami tidak menghentikan kongres tersebut, meskipun pada saat mau berlangsung ada pengibaran bendera bintang kejora. Meskipun sudah melanggar aturan yang ada, aparat keamanan memilih menunggu hingga berakhirnya pertemuan itu. Kalau ada ekses itu dinamika dilapangan,” tegasnya.

Menyinggung soal adanya tiga orang yang ditemukan tewas pasca penutupan kongres, Kapolda mengatakan, pihaknya saat ini masih melakukan penyelidikan lebih lanjut. Apalagi kata Kapolda, pihak kepolisian tidak menerima permintaan izin penyelenggaraan KRP III tersebut. Karena, salah satu syarat pelaksanaan kongres adalah harus jelas tempat pelaksanaannya. ‘’Jadi sampai saat ini tidak ada permintaan izin, tapi inilah toleransi kita terbesar walaupun pada pembukaan sudah ada pengibaran bendera, tapi kita tunggu sampai selesai pelaksanaan kongres,’’ tandasnya.

“Kalau ada masyarakat termasuk rekan-rekan media, atau siapapun yang memiliki bukti penyebab tewasnya tiga orang tersebut silahkan sampai ke kepolisian, jangan cuma katanya-katanya silahkan sampaikan kepada kita. Kami akan menindaklanjutinya,’’tukasnya.

Lebih lanjut dikemukakan Kapolda, ke enam pelaku KRP IIIyang sementara ditahan akan diproses secara hukum. Sedangkan yang lainnya sudah dikembalikan oleh pihak kepolisian. Pada kesempatan tersebut.’’Sekali lagi saya klarifikasi bahwa Kongres tidak dihentikan. Karena, jika dihentikan mengapa tidak dari awal dihentikan,’’ katanya.

Sementara ketua DRPRP John Ibo membantah secara tegas adanya isu bahwa setiap anggota dewan gajinya dipotong untuk pendanaan KRP III. Isu itu tidak benar karena DPRP adalah suatu lembaga karena merupakan lembaga harus ada kebijakan yang merupakan keputusan. “Kami tidak pernah mempunyai keputusan atau kebijakan setiap anggota menyumbangkan dana terhadap kongres, bila memang ada akan ditemukan,” pungkasnya.[tho]

Written by Thoding/Papos
Saturday, 22 October 2011 00:00

Polda Papua Periksa 18 Saksi

Menurut Kepala Bidang Hubungan Masyarakat [Humas] Polda Papua, Komisaris Besar Polisi, Wachyono kepada wartawan, Senin (24/10) kemarin diruang kerjanya mengatakan, pemeriksaan terhadap 18 orang saksi ini untuk bagian dari para peserta KRP III yang sempat berhasil ditangkap.

Dari pemeriksaan terhadap 18 saksi ini, kata Wachyono pihaknya, tidak ada penambahan tersangka.“18 orang saksi ini mereka dari peserta Kongres dan mereka hanya dimintain keterangan untuk dilakukan pengembangan dan tidak ada tersangka saat dilakukan pemeriksaan,” tandasnya

Yang jelas, Tegas dia, sudah menetapkan 6 orang tersangka diantarannya, Yoboisembut yang [Presiden Bangsa Papua Barat], Edison Gladius Waromi [perdana Menteri Papua Barat], August Makbrawen, Dominikus Sorabut, Selpius Bobi [Ketua Panitia KRP III], dan Gat Wenda

Hanya saja, lanjut dia, ke enam tersangka ini, 5 dian­taranya kasus Makar masing-masing, Yoboisembut, Edison Gladius Waromi, August Mak­brawen, Dominikus Sorabut, dan Selpius Bobi. Mereka di kenakan pasal 110 ayat (1) KUHP dan 106 KUHP dan 160 KUHP dengan anca­man hukuman paling lama 20 tahun penjara atau seumur hidup.

Sedangkan tersangka, Gat Wenda dikenakan pasal Un­dang-undang Darurat yakni, pasal 2 ayat (1) undang-un­dang Darurat Nomor. 12 Tahun 1951 dengan ancaman hukuman 20 tahun penjara.

Gat Wenda dikenakan Undang-undang darurat karena saat usai pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III ditemukan sebilah parang. “Waktu dia diperiksa dalam mobil aparat gabungan TNI/Polri menemukan sebilah pa­rang miliknya dan dia mengaku bahwa para tersebut miliknya,” jelas Wachyono

Soal barang bukti yang diamankan saat dilakukan penangkapan itu? Wachyono menerangkan bahwa, saat dilakukan penangkapan Polisi sudah menyita sejumlah barang bukti berupa, Do­kumen-dokumen milik Kong­res, Senjata Tajam, sejumlah kartu peserta Kongres, Surat Dokumen Delegasi milik Kongres.

Disinggung terkait penemuan 3 mayat di belakang Gunung, tepatnya di belakang Korem 172/PWY dan di lereng bukit, Distrik Heram, Kabid Humas Wachyono menje­laskan, hasil otopsi terhadap penemuan mayat tersebut terdapat luka bacok dan luka tusuk di bagian tubuh korban dan ini masih terus melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Kabid Humas menegaskan, terkait luka yang bacok dan luka tusuk di tubuh keti korban tersbeut belum bias memastikan apakah itu disebabkan oleh Polri/TNI atau tidak.

“Kita selidiki dulu karena selama ini dituduh oleh aparat pada saat penangkapan para peserta Kongres. Itu kan, sudah selesai kongres baru ditemukan mayat tersebut dan itu jelas criminal murni karena terdapat luka tusuk dan luka sabetan parang, sehingga kami minta pihak keluarga melaporkan ke Polisi guna dilakukan penyelidikan lebih lanjut,” tandasnya [loy]

Written by Loy/Papos
Tuesday, 25 October 2011 00:00

Pernyataan Sikap Keluarga besar Mahasiswa Universitas Cenderawasih Port Numbay

KELUARGA BESAR MAHASISWA UNIVERSITAS CENDERAWASIH
***************************

PERNYATAAN SIKAP

Menyikapi peristiwa penyerbuan dan pembantaian rakyat sipil Papua yang dilakukan oleh operasi gabungan TNI/POLRI dan terjadi pada Rabu/19/10/2010 pukul 16.00 di lapangan Zakeus kampus STFT, tepatnya depan asrama mahasiswa Tunas Harapan padang Bulan Waena Kelurahan Hedam.

PERTAMA-TAMA kami Keluarga Besar Mahasiswa Universitas Cenderawasih turut menyampaikan rasa duka yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya enam orang asli Papua yang menjadi korban kekerasan operasi gabungan TNI/Polri saat itu. Doa kami semoga keluarga yang ditinggalkan diberi kekuatan untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan ini.

Selanjutnya kami Keluarga Besar Mahasiswa Uncen sangat menyesalkan sikap brutal dan tidak berperikemanusiaan aparat kemanan baik TNI/POLRI. Khususnya komandan operasi saat itu yang kami duga sudah bertindak tidak manusiawi karena saat itu ia tidak lagi melihat manusia (orang Papua) sebagai mahkluk ciptaan Tuhan paling sempurna yang harusnya dihargai hak-hak dasarnya yakni; hak hidup, hak berkumpul, hak menyampaikan pendapat yang sesuai UUD 1945 pasal 28 bagian terakhir menggariskan bahwa “setiap warga negara berhak atas “kebebasan” untuk berkumpul dan menyampaikan pendapat sesuai dengan hati nurani”.

Sekali lagi atas dasar dan alasan apapun juga Pembunuhan terhadap rakyat sipil yang jelas-jelas tidak melakukan perlawanan terhadap pertugas keamanan adalah kejahatan kemanusiaan terbesar di muka bumi yang tidak bisa ditolerir oleh hukum manapun di Negara Demokrasi seperti Indonesia. Dan untuk itu selanjutnya kami secara resmi meminta Presiden RI (KAPOLRI/ PANGLIMA-AD) agar memberi sangksi tegas atas sikap komandan operasi saat itu yang sungguhnya diduga sudah bersikap berlawanan dengan pancasila dan UUD 1945.

Ketika aparat keamanan melakukan penyerbuan saat itu, warga Papua sedang menaikan pujian syukur di tengah lapangan dan disana banyak terdapat ibu-ibu yang lanjut umur dan anak-anaknya yang masih kecil. Sebagian lagi sedang membersihkan areal tempat pelaksanaan kongres dan yang lain telah meninggaklan tempat kegiatan karena pelaksanaan KRP III memang sudah ditutup secara resmi. Akibat dari peristiwa penyerbuan brutal ini, banyak warga sipil Papua mengalami trauma mendalam. Puluhan lainya kena luka tembak dan gas air mata sementara +10 orang yang lainya harus menjadi korban keganasan aparat kemanan.

Kita harus sadar bahwa yang dibantai aparat adalah warga sipil dan PETAPA yang tidak datang dengan peralatan perang/ senjata dan melakukan perlawanan terhadap petugas kemanan (TNI/POLRI). Untuk itu sebaiknya berbagai pernyataan yang disampaikan seolah ada perlawanan dari masyarakat sebaiknya dihentikan karena itu adalah pembohongan public. Dan hanya merupakan siasat pihak tak bertangggunjawab untuk menyembunyikan kejahatannya yang ia lakukan.

Sebagai Umat Kristiani kami mahasiswa ingin mengingatkan para warga Kristiani di Indonesia bahwa; dalam 10 Hukum Tuhan, salah satunya adalah Tuhan mengatakan untuk “Jangan Membunuh”. Selanjutnya Tuhan tidak pernah mendelegasikan kewenangan untuk membunuh kepada manusia atau pemerintah manapun dimuka bumi ini namun hanya karena keserahkaan manusia sajalah orang saling membunuh. Kami berharap kepada semua pihak, terutama pihak pemerintah agar dapat menghormati manusia dan segala hak dasar yang diberikan oleh Tuhan. Yang paling mendasar adalah hak hidup sebagai anugrah Tuhan. Biarlah Tuhan yang memberi hidup pula yang menentukan kapan kita mati. Bukan manusia!

Selanjutnya sebagai upaya penegakan HAM dan Hukum di Indonesia, kami meminta dan mendesak;

1. Presiden RI harus turun tangan untuk menyelesaikan konflik Papua Secara menyeluruh.
2. Kami mendesak Gubernur Papua, DPRP dan Komnas Ham Papua membentuk tim independen untuk melakukan investigasi secara menyeluruh atas jatuhnya korban jiwa.
3. Kami Mendesak Presiden RI agar segera memerintahkan pimpinan TNI/POLRI di Jakarta untuk mencopot semua oknum pimpinan aparat TNI/POLRI yang saat itu telah memimpin terjadinya pembunuhan terhadap warga papua. Selanjutnya juga mengadili semua pelaku pembunuhan.

Demikian peryataan sikap ini kami buat untuk menjadi perhatian berbagai Pihak di Indonesia.
Port Numbay 24 November 2011

Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Universitas Cenderawasih

Benyamin Gurik
Ketua Umum

Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM)
Universitas Cenderawasih

 

 

 

 

Saneraro Y. Wamaer
Ketua Umum

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny