Mau Jadi Presiden? Ya, Merdeka Dulu

Jonah Wenda, WPNCL
Jonah Wenda, WPNCL
JAYAPURA – Pasca penangkapan sejumlah deklarator Negara Federasi Papua Barat, berbagai tanggapan muncul, baik itu terkait penangkapannya oleh Kepolisian yang di bac up TNI, maupun penyelenggaraan konggresnya.

Seperti yang diungkapkan Juru Bicara West Papua National Coalition for Liberation (WPNCL) atau koalisi untuk pembebasan Papua Barat, Jonah Wenda saat menggelar jumpa pers di Prima Garden, Abepura, Sabtu (22/10) bahwa pihaknya mendukung agenda kongresnya.

“Kegiatannya sudah bagus, tapi hasil akhirnya itu, orang-orangnya yang tidak bijaksana. Kalau mau jadi Presiden ya tunggu nanti merdeka. Ini kan masih dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ungkapnya yang menyatakan bahwa ia bicara mewakili Sekjen WPNCL, DR Rex Rumakiek. Dikatakan, pelaksanaan Kongres tersebut, dari awal sudah menggiring masyarakat untuk mendukung barang yang tidak jelas.

“Kita tidak mungkin bangun Papua ini menjadi Negara Federasi yang mana sudah banyak korban berjatuhan. Kita inginkan pemimpin untuk lakukan perlawanan. Tapi bukan berarti umumkan diri jadi presiden,” jelasnya.
Dikatakan, pihaknya sudah beberapa kali menyurat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Kami meminta kepada Jakarta supaya bisa ada satu ruang untuk kelompok-kelompok resisten ini duduk dengan Jakarta. Bicara untuk menyelamatkan isu-isu Papua yang selama ini tidak pernah tuntas,” ungkapnya lagi.

Menurutnya, perundingan yang diinginkan adalah sebagaimana hasil rekomendasi dalam Kongres Perdamaian Papua yang digelar jaringan Damai Papua (JDP) di Auditorium Uncen beberapa waktu lalu.

“Dan lewat pertemuan akbar yang baru-baru ini digelar di Uncen, 500 orang memberikan mandat kepada lima orang juru runding kita, yaitu Dr. Jhon Ondawane, DR Rex Rumakiek (Sekjen), Benny Wenda, Leonie Tanggahma, Octo Mote,” lanjutnya.

Mereka, menurutnya menjadi juru runding orang Papua untuk bisa bicara dengan pemerintah Jakarta, supaya bisa mengatur hal-hal yang selama ini kita anggap kurang memberikan rasa aman bagi orang-orang Papua sendiri maupun teman-teman kita dari luar Papua.

Sedangkan WPNCL sendiri, menurutnya adalah wadah untuk mengakomodir bagaimana supaya masalah yang dihadapi orang Papua selama ini dapat diselesaikan secara baik, damai dan harus ada ruang yang selama ini kami tuntut dari pemerintah Jakarta, bukan dengan kekerasan.

“Bicara ini bukan di Indonesia, tetapi di Negara ketiga yang mana dimediasi pihak ketiga yang netral, supaya tidak ada intervensi lain-lain,” tegasnya.

Karena, menurutnya sudah sering kali bicara di Jakarta dan kembali tipu masyarakat. “Kalau tidak ada penyelesaian masalah secara tuntas, Polisi dan Tentara dengan masyarakat pasti baku musuh terus. Dan pasti masyarakat yang jadi korban,” lanjutnya lagi.

Sementara itu, Stevanus Siep,SH yang mengaku sebagai salah satu kepala suku di wilayah Pegunungan Tengah Papua, tepatnya di daerah Yahulimo menyatakan bahwa aparat keamanan terlalu perlebihan.

“Karena datang dengan persenjataan yang berlebihan, sedangkan rakyat Papua hanya dengan tangan kosong,” ungkapnya kepada Bintang papua melalui Sort massage Service (SMS), Jumat.

Jadi dengan tindakan aparat Indonesia yang berlebihan, menujrutnya tidak bisa menyelesaikan masalah Papua.
“Namun memperuncing dan membuat jurang pemisah. Bahkan akan menambah semangat juang dan sentimen yang amat dalam,” lanjutnya.

Menurutnya, tidak munkin begitu deklarasi langsung jalankan roda pemerintahannya. “Tentu ada prosesnya jadi aparat harus profesional dalam menjalankan tugasnya, karena orang Papua bukan binatang buruan sehingga dikejar, dibantai sampai di hutan,” jelasnya.

Sehingga ia meminta kepada Kapolda Papua bertanggung jawab, karena sudah mengijinkan pelaksanaan kongres tersebut.

“Sekali lagi saya mohon aparat jagan serta merta ambil tindakan, kami orang Papua sudah punah, jangan lagi membunuh kami, cukup,” tegasnya.(aj/don/l03)

Buchtar Nilai Panitia KRP III dan Aparat Sama-Sama Bersalah

JAYAPURA [PAPOS] -Deklarasi Kongres Rakyat Papua III yang mendirikan negara Papua Barat, dan mengakibatkan jatuh korban jiwa mendapatkan sorotan dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

“Deklarasi pembentukan Negara Papua Barat sebagai hasil Kongres Rakyat Papua III adalah makar karena membentuk negara dalam negara,” kata Buchtar Tabuni Ketua KNPB saat menggelar jumpa pers di Jayapura, Kamis (21/10)siang.

Buchtar Tabuni adalah mantan narapidana politik yang dijatuhi hukuman dua tahun penjara, saat itu dia ditangkap di kawasan Expo Waena tahun 2009 lalu ketika KNPB sedang menggelar aksi demo dengan membawa atribut-atribut Papua Merdeka seperti bendera Bintang Kejora. Buchtar dibebaskan pada tanggal 17 Agustus 2011 lalu.

Kata dia, sampai saat ini Papua masih bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga membentuk Negara di dalam Negara adalah Makar.

“Dasar hukum bahwa Papua adalah bagian integral dari NKRI adalah Pasal 2504 deklarasi Perserikatan Bangsa Bangsa. Selama pasal itu masih ada, selama itu juga Papua masih tetap bagian dari NKRI. Sehingga kegiatan apapun seperti deklarasi Negara Papua Barat tetap kegiatan makar, karena NKRI tetap mempertahankan Papua ini berdasarkan pasal 2054 tersebut,” ujarnya.

Untuk itu Buchtar mengajak seluruh rakyat Papua untuk menggugurkan pasal tersebut dengan bukti-bukti sejarah yang salah, bahwa New York Agriment 1962 salah, Penjanjian Roma salah, dan Pepera juga salah, melalui proses hukum internasional.

“Jika pasal 2054 itu sudah digugurkan maka NKRI tidak punya alasan hukum tetap mempertahankan Papua sebagai bagaian dari wilayahnya. Jadi kita bisa deklarasi tanpa harus ada penangkapan, pembunuhan, masuk penjara, karena tidak ada lagi alasan NKRI untuk tetap berada di Papua, kita harus berjuang melalui proses hukum internasional dan politik, “tegasnya.

Terkait korban yang akibat pasca dibubarkan kongres yang mengakibatkan 3 orang meninggal dunia, yaitu Danel Kadepa, Max Yewon dan Yacob Samonsabra, Buchtar mengatakan agar dibentuk tim khusus independen mengusut, yang melibatkan aparat keamanan dan Komnas HAM, karena terkait hilangnya nyawa seseorang. “Karena aparat salah dan panitia juga salah,”ujarnya. [roy]

Written by Roy/Papos
Saturday, 22 October 2011 00:00

Faleomavega : Tindakan Aparat Keamanan Bertentangan Dengan Komitmen SBY

JUBI — Tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan gabungan saat penangkapan peserta Kongres Rakyat Papua III, dianggap bertentangan dengan komitmen pemerintah SBY untuk memecahkan masalah di Papua Barat dengan “cara damai, adil, dan bermartabat.”

Melalui surat yang dikirimkan ke redaksi tabloidjubi.com (Sabtu, 22/10), anggota Kongres AS, Eni Faleomavaega hari ini mengumumkan bahwa ia telah mengirim surat kepada Duta Besar Indonesia untuk AS, Dr Dino Patti Djalal untuk menyampaikan kekhawatiran tentang keamanan dan perawatan Forkorus Yaboisembut dan beberapa orang lainnya yang ditangkap pada pertemuan baru-baru ini, paska Kongres Rakyat Papua di Papua. Faleomavega menyampaikan jika media internasional telah melaporkan jika aparat keamanan gabungan telah menangkap dan memukuli ratusan warga sipil yang menghadiri pertemuan itu.

Dalam surat yang ditembuskan juga kepada Duta Besar AS untuk Indonesia Scot Marciel tersebut, Faleomavega menyebutkan bahwa insiden penangkapan terhadap peserta Kongres Rakyat Papua kemarin adalah pelanggaran serius dan kejahatan terhadap kemanusiaan, terutama mengingat bahwa Pemerintah Indonesia adalah penandatangan kedua perjanjian PBB tentang Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.

Faleomavega juga menyebutkan jika Imam Setiawan, Kepala Kepolisian Resort Kota Jayapura, mungkin telah memainkan peran penting dalam insiden penangkapan dan penembakan tanggal 19 Oktober kemarin yang menyebabkan kematian beberapa warga dan pembunuhan warga Papua lainnya dalam beberapa tahun terakhir.

Faleomavega berpandangan bahwa insiden ini merupakan tindakan TNI dan polisi yang bertentangan dengan komitmen yang dibuat oleh Presiden Yudhoyono untuk memecahkan masalah di Papua Barat dengan “cara damai, adil, dan bermartabat.” (Victor M)

Diberi Gelar ‘Pahlawan’, Peti Jenasah Dibalut BK

Dua Jenasah disemayamkan dan Dibaluti Bendera BK
Dua Jenasah disemayamkan dan Dibaluti Bendera BK

SENTANI– Dua dari tiga korban yang ditemukan tewas di perbukitan belakang Korem 172/PWY pasca pembubaran peserta Kongres III oleh aparat TNI dan Polri, dikuburkan di Waibron, kampoung halaman mereka, Jumat (21/10) kemarin. Keduanya masing-masing-masing-masing, atas nama Yakobus Samonsabra dan Max Asayeuw warga asli Waibron, Distrik Sentani Barat.

Pemakaman korban dilakukan Jumat (21/10), kemarin sore sekitar pukul 03.00 WIT. Isak tangis histeris keluarga korban mewarnai pengantaran jenasah yang akan diserahkan ke para-para adat untuk disemayamkan di Waibron. Sejumlah pelayat yang diantaranya kerabat, masyarakat dan sejumlah pasukan Penjaga Tanah Papua (petapa) juga turut serta mengantarakan ke tempat peristirahatan terakhirnya. Menariknya, dua korban ini mendapat penghargaan sebagai pahlawan penjaga perdamaian Tanah Papua dan dibaluti Bendera Bintang Kejora di atas dua peti jenasah ini.

Proses pemakaman dari keluarga menyerahkan ke pasukan perdamaian tanah papua kemudian diserahkan secara resmi ke para-para adat, karena pasukan penjaga tanah Papua menjaga aset-aset daripara adat untuk mengawal hak-hak dasar yang dimana secara terbukti mereka telah gugur melaksanakan tugas untuk mengamankan jalannya kongres rakyat Papua III.

Kepala keamanan petapa wilayah Mamta Elias Ayakeding menuturkan saat di temui Bintang Papua di para-para adat penyerahan korban kemarin sore menuturkan “Saya sangat sayangkan tindakan aparat kepada pasukan Petapa, mereka ini adalah pasukan perdamaian tanah papua ko bisa di dinuh,”ujar Elias heran. Tambahnya,sedangkan pasukan perdamaian ini mereka tidak bawa apa-apa satu pucuk senjatapun mereka tdak punya, bahkan peluru pun tidak ada,tapi kenapa mereka menjadi korban pengamanan KRP III ini.”tegasnya.

Saat bintang Papua memasuki wilayah Waibron, Jumat sore (21/10) suasana mulai dari jalan Kartosari hingga Waibron Sentani Barat tampak sunyi sepi dan tidak ada terlintas mobil anggkutan umum, kendaran pribadi dan motor bahkan tidak nampak masyarakat yang ada di pingir jalan

Banyak isu-isu yang masyarakat dengarkan terkait kematian korban kongres rakyat papua III (KRP),yang diantaranya penyerangan susulan dan pembakaran pasar baru dan pasar lama yang mengakibatkan seluruh masyarakat yang berada di Sentani tengah dan Sentani Barat was-was.

Sempat aparat kepolisian datang ketempat pemakaman yang di pimpin langsung oleh Kapolres Jayapura AKPB. Mathius Fakhiri. SIK dan dua truk anggota polres sejumlah 30 orang. Mereka hanya mengucapkan belasungkawa sedalam-dalam atas meninggalnya dua korban. Seteah utu kembali, karena rupanya kehadiran aparat di sana tidak diinginkan oleh masyarakat dan keluarga korban.

Menurut ahcmad warga Hawai Sentani yang saat di wawancarai oleh bintang Papua “saya saat ini merasa cemas karena banyak isu yang berkembang di telinga masyarakat, di antaranya akan diadakan pembakaran pasar. saya juga merasa cemas terhadap keluarga saya,karena anak dan cucu saya sering berpergian diluar rumah makanya saya suruh pulang cepat biar tidak terjadi apa-apa diluar sana,harapan kami masyarat Papua itu harus lebih aman dan tentram behubungan masyarakat-masyarakat papua terkenal masyarakat yang penuh dengan rasa cinta damai dan kasi sayang,”katanya. (fer/don/L03)

Penjabat Gubernur Provinsi Papua: Silakan Berpendapat, Tapi Jangan Singgung NKRI

JAYAPURA – Penjabat Gubernur Provinsi Papua, Syamsul Rivai menegaskan, setiap warga Negara Indonesia bebas menyampaikan aspirasi dan berpendapat di depan umum, asalkan sesuai dengan aturan dan UU yang berlaku.

‘’Silahkan berkumpul, mengeluarkan pendapat itu sah-sah saja, tapi jangan menyinggung NKRI, jangan melenceng dari aturan yang berlaku, apalagi mencoba mendirikan negara dalam negara. Jika itu yang terjadi maka akan ditindak tegas,’’ujar Syamsul Rivai kepada wartawan di ruang kerjanya, Jumat 21 Oktober, menyikapi aksi pembubaran paksa Kongres Rakyat Papua III oleh aparat keamanan. Dalam pertemuan menyikapi pasca Kongras III itu, juga hadir Kapolda Papua Irjen Pol BL Tobing,Ketua DPR Papua Drs John Ibo MM, Pangdam XVIII/Cenderawasih Mayjen TNI Erfi Triassunu, tokoh masyarakat, tokoh adat .

Kata dia, NKRI sudah final dan tidak bisa diganggu gugat oleh siapa dan pihak manapun. Dan, bukan hanya aparat keamanan yang bertugas menjaga keutuhan negaranya, tapi juga seluruh rakyatnya. ‘’NKRI wilayahnya dari Sabang sampai Merauke, jika ada yang mencoba mengganggunya, seluruh rakyat Indonesia akan menghadang, dan tentu yang berada di Papua menjadi front pertama yang menghadangnya,’’tegas dia.

Menurut dia, pemerintah sebenarnya sudah sangat toleran dengan pelaksanaan kongres rakyat Papua III, namun, karena sudah melenceng yakni mengibarkan bendera bintang kejora dan mendeklarasikan Negara dan pemerintahannya, tentu, pemerintah tidak tinggal diam. ‘’Pemerintah sangat menghargai kebebasan berpendapat, tapi jika sudah melenceng jauh tidak mungkin diam saja,’’paparnya.

Lanjut Gubernur, langkah aparat gabungan Polisi dan TNI membubarkan paksa kongres, sudah sesuai dengan standar operasional prosedur (SOP). ‘’Mereka yang ditangkap dan saat ini diproses adalah yang diduga memiliki pengaruh dalam kongres, melanggar aturan dan perundang-undangan, jadi tindakan aparat sudah sesuai ketentutan yang berlaku,’’singkatnya.

Mengenai jatuhnya korban jiwa, kata Gubernur, itu hanya ekses dari sebuah penanganan kasus. ‘’Jatuhnya korban yang tidak diinginkan, hanya dinamika lapangan saat penanganan,’’imbuhnya.

Kapolda Papua Irjen Pol BL Tobing yang juga hadir di ruang kerja Gubernur mengatakan, pembubaran paksa kongres, karena sudah melenceng dan mencoba merongrong NKRI. ‘’Kami sudah memberikan toleransi, kongres berjalan tanpa ada surat izin,kemudian hari pertama terjadi pengibaran bintang kejora, lantas kemudian malah mencoba mendirikan sebuah Negara, ini kan jelas melanggar, tentu harus ditindak,’’tandasnya.

Mengenai jumlah korban jiwa mencapai enam orang sesuai dengan klaim Komnas HAM, Kapolda menadaskan, silahkan memberikan keterangan yang sesuai dengan fakta. ‘’Kalau memang ada 6 orang menjadi korban, dan diduga ditembak silahakn serahkan datanya, jangan hanya katanya-katanya. Kalau memang itu ditembak, tunjukan bukti itu dilakukan aparat, nanti oknumnya akan diproses,’’tukasnya.

Enam tersangka kasus Kongres Rakyat Papua (KRP) III tetap diproses hukum. Mereka adalah, Forkorus Yaboisembut, Selpius Bobbi, Edison Gladius Waromi, August Makbrawen Sananay Kraar, Dominikus Sorabut dan Get Wenda

Kapolda Papua menandaskan, ratusan peserta KRP III yang diamankan pada Kamis (20/10) telah dilepas dan dikembalikan kepada masyarakat.

Sementara menurut Wakil Ketua Perwakilan Komnas HAM Papua, Matias Murib, tim Komnas HAM pusat akan turun melakukan investigasi terkait aksi pembubaran dan tewasnya sejumlah warga dan peserta kongres. ‘’Minggu depan, komnas HAM pusat akan turun melakukan penyelidikan,’’ucap dia.

Nama-nama 6 orang korban tewas, James Gobay 25, Yosaphat Yogi (28), Daniel Kadepa (25), Maxsasa Yewi (35), Yacob Samnsabra (53), Pilatus Wetipo (40). Sedangkan yang luka-kula akibat dipukul dan dipopr aparat, Ana Adi (40), Miler Hubi (22), Matias Maidepa (25). (jir/mdc/don/l03)

Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dilindungi UU, Polisi Terlalu Cepat Menuduh Makar

JAYAPURA – Penetapan para Deklarator Negara Federasi Papua Barat yakni ‘Presiden’ Forkorus Yaboisembut dan ‘Perdana Menteri’ Edison Waromi termasuk Ketua Panitia Pelaksana Kongres Rakyat Papua III Selpius Bobi dan beberapa deklarator lainnya sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan makar, menurut salah satu kuasa hukum mereka, Gustav Kawer, SH adalah terlalu premature dan merupakan bukti nyata penegak hukum tidak menjunjung tinggi azas praduga tak bersalah. “Ini negara hukum, saya, media atau polisi sekalipun harus junjung tinggi azas praduga tak bersalah, masih terlalu pagi kalau bilang mereka itu bersalah dan melakukan makar, apa yang mereka sampaikan kemarin di lindungi oleh UU NKRI, sebagai bentuk dari kebebasan menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi, dan itu di lindungi oleh negara sebagai bagian dari Hak Azasi Manusia (HAM), jadi yang bisa mengatakan mereka itu bersalah dan melakukan makar hanyalah Hakim setelah ada keputusan yang incraht (berkekuatan hukum yang tetap), jadi kalau polisi bilang mereka aparat hukum , kami berharap azas hukum juga harus di junjung jangan tergesa – gesa menjustifikasi orang tanpa melalui sebuah proses peradilan”, katanya kepada Bintang Papua Jumat, (21/10) dalam perbincangan per telepon kemarin pagi.

Lebih lanjut Gustav Kawer, SH menambahkan bahwa pasal makar dalam KUHP yang berasal dari bahasa Belanda “unslag” yang berarti ada tindakan perlawanan, menyerang, atau memberontak, sedangkan kemarin mereka sekedar menyampaikan hasil aspirasi dari sekian banyak rakyat yang hadir di tempat itu.

Karena hak menyampaikan pendapat di muka umum secara tertulis maupun lisan telah di atur dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, dan kegiatan KRP III sendiri menurutnya tidak mengganggu ketertiban umum, justru kisruh di picu karena ada upaya paksa dari kepolisian usai deklarasi.

Terkait pernyataan Kapolres Jayapura Kota AKBP Imam Setiawan dalam Juma Pers dengan wartawan Kamis (20/10) sekitar pukul 14.00 WIT di Mapolresta yang menyatakan bahwa Ketua Panitia Penyelenggara KRP III Selpius Bobi yang buron, dibantah oleh Gustav Kawer, menurutnya pemberitaan media yang menyatakan Selpius Bobi buron adalah tidak benar, karena yang bersangkutan Kamis, (20/10) sekitar jam 10.30 yang bersangkutan dengan di dampingi dirinya dan dua orang wartawan anggota AJI Kota Jayapura masing – masing Viktor Mambor dan Lucky Ireeuw telah menyerahkan diri ke Polda Papua.

“Saya dengan Olga Hamadi, Viktor Mambor dan Lucky Ireeuw yang mengantarkan Selpius Bobi ke Polda Papua dan diterima oleh seorang anggota polisi bernama Djafar Yusuf, dimana Selpius langsung di mintai keterangan sebagai saksi, dan sekitar pukul 15.00 WIT akhirnya ia ditetapkan sebagai tersangka”, jelas Gustav Kawer.

Melalui pesan singkatnya, Ketua AJI Jayapura, Viktor Mambor juga membenarkan hal tersebut, sekaligus meluruskan pemberitaan Harian Bintang Papua kemarin yang menyatakan Selpius Bobi masih buron, namun yang sebenarnya pasca bentrokan tersebut, Selpius Bobi menghubungi dirinya, dan ia menyarankan agar yang bersangkutan menyerahkan diri saja, dan Viktor Mambor bersama salah seorang pengurus AJI lainnya Lucky Ireeuw mendampingi yang bersangkutan menyerahkan diri ke Polda Papua dengan melakukan koordinasi sebelumnya dengan kuasa hukum yang akhirnya juga ikut bersama – sama ke Polda Papua.

Tekait statement Kapolres Jayapura Kota AKBP Imam Setiawan yang akan “membabat” habis semua tindakan yang berbau makar karena itu menjadi tugasnya selaku aparat negara, menurut Gustav Kawer pendapat yang masih terbawa emosional, dan tidak akan pernah polisi “membabat” habis ideologi tersebut bila pendekatan yang digunakan pendekatan militeristik dan melihat masyarakat sipil sebagai penjahat yang harus di musnahkan.

“tugas jaga keutuhan NKRI tidak bisa dilaksanakan oleh aparat sendiri dengan kekuatan senjatanya, tapi harus melibatkan semua stake holder yang ada dengan melakukan pendekatan yang persuasif dan pendekatan pembangunan juga, kalau polisi berpikir mereka melaksanakan tugas menjaga keutuhan negara dengan cara – cara represif semata, tidak akan pernah berhasil, jadi harus secara bersama – sama dengan semua pihak”, ujarnya.

Terkait insiden pembubaran paksa KRP III di Lapangan Zakeus Padang Bulan kemarin, tim kuasa hukum meminta segera Komnas HAM Pusat untuk turun mengumpulkan data dan fakta serta melakukan investigasi karena, indikasi awal terjadinya pelanggaran HAM yang dilakukan aparat terhadap warga sipil sangat kental.

“ada penyiksaan beberapa warga sipil yang di tangkap, meskipun mereka tidak melakukan perlawanan, tapi mereka tetap di siksa saat di tangkap, termasuk Pak Forkorus yaboisembut juga mengalami tendangan dan pukulan, semua ini sistematis, ada penanggung jawabnya, jadi jelas ada nuansa pelanggaran HAM, jadi Komnas HAM Pusat harus turun”, katanya.

Dan untuk mengadvokasi Forkorus Yaboisembut cs selaku deklarator Negara Federasi Papua Barat menurut Gustav kawer telah tergabung beberapa LSM yang tergabung dalam Koalisii Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua yang akan mendampingi mereka dalam proses hukum selanjutnya. (amr/don/l03)

‘Kami Mau yang Berdaulat Penuh, Bukan Federasi’

JAYAPURA – Setelah Lambert Pekikir, kini, salah satu Pemimpin Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM), Yakni ‘Jenderal’ Tadius Yogi, menyatakan penolakannya terhadap Kongres Rakyat Papua III dan hasil dari Kongres tersebut yang telah mendeklarasikan berdirinya Negara federasi Papua Barat.

Penegasan ‘Jenderal’ Tadius Yogi tersebut, diungkapkannya ketika dihubungi Bintang Papua, Kamis (20/10) kemarin, dalam sambungan telepon selular tersebut, dengan jelas Tadius Yogi menyampaikan bahwa,”Tidak ada bendera setengah tiang, tidak ada, yang kami inginkan itu adalah bendera di ujung tiang, jadi harus merdeka penuh, kami tidak terima kongres itu, karena kami mau merdeka secara penuh,” ujarnya dari seberang. Tadius Yogi, adalah salah seorang pimpinan TPN/OPM. Dirinya dan kelompoknya menguasai daerah Nabire, Paniai dan sekitarnya, basis kekuasaan pria kelahiran Bogasiba Enarotali tersebut terpusat di Edude, gunung Wede, Enarotali, KV 6069 Badawo, Paniai Timur.

Tadius Yogi yang juga sebagai Komandan Kodap IV, mengungkapkan bahwa, kongres itu adalah keinginan orang yang hanya mau bendera naik setengah tiang, sementara keinginan dirinya dan kelompoknya adalah bendera harus dikibarkan secara penuh diujung tiang,”Itu kongres mereka punya jadi bukan kami punya, karena kami tidak mau dengan kongres, kami menolak kongres itu sejak pertama, hasil kongres itu juga kami tolak, dan kami tidak mengakui hasil itu,” tegasnya lagi.

Pada kesempatan tersebut, ditambahkan juga oleh Juru bicara Makodap IV Paniai, Yamo, bahwa,”Kami ini tetap teguh, sangat percuma perjuangan kami selama 60 tahun kalau hanya untuk nagara federasi, untuk apa itu, jadi kami sangat menolak itu, saya ingin kasih ingat bahwa, proklamasi oleh Tuan Seth Runkorem itu bunyinya, Tanah Papua menjadi satu bangsa dan tanah yang merdeka dan berdaulat secara penuh, jadi bukan federasi,” tandas Yamo.

Penegasan itu semakin memperkuat penolakan yang telah disampaikan oleh Komandan TPN/OPM Wilayah Perbatasan, Lambeth Pekikir, serta ungkapan penolakan dari General TRWP Mathius Wenda, saat diwawancarai PM News beberapa waktu lalu, Kongres yang diklaim sebagai ungkapan suara hati sluruh rakyat Papua ternyata ditolak oleh mereka yang telah berjuang puluhan tahun dan mengorbankan segalanya untuk Tanah ini,”Jangan ada lagi korban, rakyat sudah cukup menderita,” ungkap Lambert Pkikir beberapa waktu lalu. (bom/don/l03)

Ramses Ohee : Negara Federasi Hanya Khayalan

BIAK – Hasil Kongres Rakyat Papua III yang ‘mendeklarasikan’ negara Feredasi Papua Barat mengundang beragam pandangan. Jika sebelumnya seorang Anggota DPR Papua Tonny Infandi menilai negara Federasi Papua Barat bentukan Kongres 3 harus dipandang sebagai bentuk aspirasi rakyat Papua, namun lain halnya dengan Ketua Umum Barisan Merah Putih Papua Ramses Ohee. Ramses lebih tegas mengatakan negara Federasi Papua Barat hanyalah sebuah khayalan yang tidak akan pernah terwujud. Dikatakan hasil Kongres Rakyat Papua (KRP) III dinilai telah mengatasnamakan rakyat Papua atau menyalahgunakan kesucian adat rakyat Papua. Sebab hasil kongres yang telah mendeklarasikan terbentuknya Negara Federasi Papua Barat jelas bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945, dan prinsip-prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Bahkan pembentukan Negara tersebut dinilai sebagai bentuk khayalan sekelompok elite yang berada di Dewan Adat Papua (DAP). “Negara Federasi Papua Barat sebagai KRP III hanya mainan sekelompok elite Dewan Adat Papua. Dan itu jelas khayalan. Serta tidak disetujui mayoritas masyarakat adat Papua dan Papua Barat,” kata Ketua Umum Barisan Merah Putih Papua, Ramses Ohee via telepon yang saat ini berada di Jakarta kepada Bintang Papua, Jumat (21/10).

Kata Ohee, Dewan Adat telah dipermainkan dan disalahgunakan oleh kepentingan politik. Pejuang Papua Indonesia ini juga menolak tegas keputusan KRP III yang mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Pendirian Negara Papua Barat adalah khayalan dari sekelompok orang saja, dan tidak bisa mewakili seluruh rakyat di tanah Papua.

Katanya, pendirian suatu negara dengan Presiden, Perdana Menteri, dan struktur kabinetnya adalah jelas-jelas tindakan makar yang berlawanan dengan tujuan hukum NKRI. Menyelesaikan persoalan Papua harus dengan cara dan pola komunikasi yang sesuai dengan aturan hukum yang ada.

Ia menyadari masih ada persoalan kemiskinan, ketidakadilan, dan ketertinggalan masyarakat Papua saat ini. “Kami mengajak semua komponen masyarakat di Tanah Papua mencari format pembangunan yang tepat dalam menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua,” katanya.

Ramses menghormati dan mendukung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam menata kembali pembangunan Papua di dalam kerangka otonomi khusus. “Kami juga mengharapkan aparatur pemerintah pusat dan di daerah menjalankan otonomi khusus yang konsisten dan menyeluruh,” ujarnya.

Ia menyerukan dukungan penuh bagi komitmen Presiden SBY untuk membangun Papua. “Kini, rakyat Papua menaruh harapan kepada Presiden SBY untuk mendorong perubahan yang lebih baik bagi Papua di dalam wilayah NKRI,” ucap Ramses. (pin/don/l03)

Statement Asia HRW Tentang Tahanan Kongres Papua III

Jum’at, 21 Oktober 2011 04:00:06

Jakarta – Human Rights Watch (HRW), sebuah organisasi pemantau HAM yang bermarkas di New York, meminta Pemerintah RI memperlakukan semua tahanan terkait Kongres Rayat Papua secara manusiawi. Pemerintah juga diminta menjamin penghormatan terhadap hak-hak mereka di muka hukum.

Di dalam siaran pers yang dikirimkan HRW pada Kamis (20/10/2011), disebutkan aparat keamanan Indonesia pada Rabu (19/10) telah menangkap dan menahan sekitar 300 demonstran setelah menutup Kongres Rakyat Papua di Jayapura.

Mereka yang ditahan dan ditangkap, antara lain Forkorus Yoboisembut, Ketua Dewan Adat Papua, Selphius Bobii, seorang aktivis media sosial dan penyelenggara kongres, dan Edison Waromi, presiden Otoritas
Nasional Papua Barat, serta istri dan anak.

“Pasukan keamanan tidak harus menggunakan kekerasan yang tidak perlu dalam memadamkan demonstrasi damai,” kata Elaine Pearson, wakil direktur Asia Human Rights Watch.

“Polisi harus memastikan semua orang yang ditahan diperlakukan dengan baik dan memiliki akses ke pengacara.”

Human Rights Watch sebelumnya telah mendokumentasikan penyiksaan dan perlakuan buruk terhadap tahanan politik oleh polisi dan penjaga penjara di Papua, dan kegagalan pemerintah Indonesia untuk menahan
mereka yang bertanggung jawab.

Human Rights Watch mengatakan pasukan keamanan Indonesia harus mematuhi Prinsip-Prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekerasan dan Senjata Api, yang menyerukan kepada aparat penegak hukum, termasuk anggota angkatan bersenjata, untuk menerapkan cara-cara nirkekerasan sebelum beralih ke penggunaan kekuatan dan hanya sebanding dengan keseriusan pelanggaran.

(tw/lrn)

Dua Mayat Ditemukan di Lokasi Bentrok Kongres Papua

Metrotvnews.com, Jayapura: Seharai setelah bentrok di Kongres Papua III, Kamis (20/10) hari ini, warga menemukan dua mayat di Pegunungan Padang Bulan, sekitar 500 meter dari lokasi Kongres Papua dilaksanakan.

Dua mayat itu ditemukan sekitar pukul 09.30 WIT. Sontak, warga di sekitar Lapangan Sakeus, tempat bentrok warga dan polisi dalam Kongres Papua kemarin, heboh. Warga kemudian melaporkan temua mayat itu ke aparat keamanan terdekat.

Polisi dan TNI yang datang ke lokasi langsung mengamankan kedua mayat tersebut ke Rumah Sakit Umum Daerah Dok II Jayapura. Salah satu korban tewas dipastikan bernama Yosafat Yogi.

Sejak kemarin keluarga korban berusaha mencari Yogi. Namun, pencarian itu berujung sia-sia. Keluarga korban kaget setelah menemukan jenazah Yogi sudah terbujur kaku di atas gunung.

Korban tewas lainnya adalah seorang anggota petapa penjaga tanah Papua. Ini teridentifikasi dari baju seragam yang digunakan. Penyebab kematian kedua korban masih belum diketahui. Saat ini kedua jenazah masih disemayamkan di RSUD Dok II.

Dalam bentrok antara warga dan polisi kemarin, kurang lebih 300 orang ditangkap. Kini mereka masih dalam pemeriksaan Polda Papua. (Ricardo Hutahaean/**)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny