Tokoh Papua tak Akui Kongres Rakyat Papua III

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sejumlah tokoh Papua, antara lain Ramses Ohee, Hems Bonay, dan Umar Askad Sabuku menolak Kongres Rakyat Papua (KRP) III beserta hasil-hasilnya. Mereka menilai forum tersebut hanya permainan sekelompok elit di Dewan Adat Papua yang sama sekali tidak mewakili mayoritas warga Papua dan Papua Barat.

“Kongres di Abepura jangan ditanggapi itu keinginan seluruh warga Papua,” kata Ramses kepada wartawan di Jakarta, Kamis (20/10).

Menurut tokoh adat yang terlibat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 yang memutuskan Papua bergabung dengan Indonesia itu, Papua punya tujuh kesatuan masyarakat adat dan hingga saat ini tidak ada persoalan dengan NKRI.

“Bicara Papua pisah dari NKRI, belum ada sesuatu yang terjadi dari tujuh wilayah adat ini,” kata Ramses yang juga Ketua Umum Barisan Merah Putih.

Hal senada dikemukakan Hems Bonay, putri Gubernur Papua (dulu Irian Jaya) pertama, Elieser Jan Bonay. Menurutnya, KRP III justru mengorbankan banyak rakyat Papua, karena itu ia meminta seluruh rakyat Papua agar tidak terprovokasi dengan hasutan-hasutan yang justru akan menyesatkan mereka.

“Elit politik Papua jangan aspirasi merdeka diproyekkan untuk cari makan, cari hidup.Rakyat tak berdosa jadi korban,” katanya.

Tokoh Papua Barat Umar Askad Sabuku pun menyatakan hal serupa. Ia menegaskan, tidak ada orang Papua yang menyetujui KRP III. “Sudah diberi otsus (otonomi khusus) kita sudah gontok-gontokan, apalagi kalau keluar NKRI. Kami akan jadi negara-negara kecil seperti di Afrika, kami banyak suku,” katanya.

Namun, mereka menyadari bahwa ada persoalan di Papua sehingga isu keluar NKRI masih saja diangkat ke permukaan, dan meminta pemerintah serius menanganinya.

“Pasti ada masalah hingga ada persoalan itu. Ada suatu ketidakpedulian dari pemerintah tentang yang terjadi di Papua. Jangan terlalu cepat disalahkan yang bikin kongres, itu anak-anak kita,” kata Umar.

Menurutnya, pemerintah belum merangkul semua pihak di Papua untuk membicarakan hambatan dalam pembangunan dan pelayanan masyarakat Papua. Umar menambahkan isu Papua keluar dari NKRI bisa jadi diangkat agar pemerintah memberikan perhatian.

“Bicara disintegrasi untuk cari perhatian, ini pasti didengar karena sensitif. Jadi jangan ada pendekaran militer,” katanya. Tokoh muda Papua Frans Ansanay menyatakan salah satu solusi persoalan Papua adalah dengan menjalankan UU Otsus dengan sungguh-sungguh.

“Kalau otsus dilakukan dengan baik maka saya percaya lama kelamaan terjadi perubahan signifikan di Papua dan tak ada peluang orang bicara merdeka,” katanya.

Redaktur: Djibril Muhammad
Sumber: Antara

STMIK AMIKOM

Tokoh Adat Tolak Negara Federasi Papua Barat

JAKARTA – Papua kembali bergejolak menyusul adanya Kongres Papua Barat (KRP) III. Namun tidak semua masyarakat Papua setuju dengan niat mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat.

Ramses Ohee, Umar Askad Sabuku,Hems Bonahay adalah sedikit dari tokoh adat yang secara tegas menolak keinginan tersebut.

“Sejak awal kami sebagai pejuang pembela kemerdekaan Indonesia, putra-putri perintis dan pembela kemerdekaan dan generasi muda Papua menolak gerakan yang bertentangan dengan Pancasila, UUD 1945 dan prinsip-prinsip NKRI,” kata Ramses Ohee di Jakarta, Kamis (20/10/2011).

Dia juga mengatakan tegas menolak keputusan KRP III yang mendeklarasikan Negara Federasi Papua Barat. Pendirian Negara Papua Barat, tambahnya, adalah khayalan dari sekelompok orang di Dewan Adat Papua.

“KRP III hanya permainan sekelompok elit di Dewan Adat Papua yang tidak disetujui oleh mayoritas masyarakat adat Papua dan Papua Barat, adat telah disalahgunakan untuk kepentingan politik,” ungkap pria yang juga pejuang Papua Indonesia.

Ramses mengajak semua komponen masyarakat Papua untuk menjalankan kesantunan dalam berpolitik sesuai dengan nilai-nilai adat Papua yang diwariskan para leluhur. Dia juga berharap, masyarakat Papua menghargai perbedaan pandangan dan menghilangkan rasa curiga.

“Menyelesaikan persoalan Papua haruslah dengan cara dan pola komunikasi yang sesuai dengan aturan hukum yang ada,” cetusnya. (tri) (crl)

 

Source: http://news.okezone.com/read/2011/10/20/340/518157/tokoh-adat-tolak-negara-federasi-papua-barat

Aparat bubarkan Kongres Rakyat Papua

Aparat keamanan membubarkan Kongres Rakyat Papua, mengeluarkan tembakan peringatan, dan menangkap sejumlah orang (19/10).

“Kami tidak bisa membiarkan mereka mendeklarasikan pemerintahan transisi. Itu sudah melanggar hukum dan tak bisa kami biarkan,” kata Komisaris Besar Polisi Wachjono, juru bicara Polda Papua kepada BBC Indonesia.

Wachjono mengatakan polisi telah menangkap beberapa orang, di antaranya Forkorus Yaboisembut, yang disebut Wachjono tokoh penting di balik penyelenggaraan kongres.

Ia mengatakan sempat terjadi saling dorong di arena pertemuan dan aparat berkali-kali mengeluarkan tembakan peringatan.

“Jadi bukan tembakan membabi-buta. Tidak ada korban dalam insiden ini,” ujar Wachjono.

“Yang kami tangkap juga tidak sampai ratusan,” tandasnya.

Sebelumnya Thoha Alhamid dari Dewan Papua mengatakan 200-300 orang ditangkap bersama beberapa panitia.
Ditentang

Putar dengan media player alternatif

Thoha mengatakan mereka ditangkap di akhir pertemuan yang dilaksanakan di sebuah lapangan terbuka di Abepura.

“Sudah ada isu bahwa aparat memang akan membubarkan kongres. Kami juga mendengar bahwa di akhir pertemuan akan ada deklarasi (pemerintah transisi untuk Papua),” jelas Thoha.

Mungkin karena berkembang isu deklarasi, kata Thoha, aparat keamanan bergerak masuk.

Thoha mengatakan ia sudah mendengar isu ini sejak beberapa bulan lalu dan ia menentang kongres ini.

“Sejumlah faksi memang tidak mendukung pelaksanaan kongres. Pertemuan ini dipaksakan,” katanya.

“Kami sudah berbicara dengan banyak pihak dan saya katakan ini bukan platform perjuangan rakyat Papua,” jelas Thoha.

Sebelum kongres digelar panitia penyelenggara mengatakan tema sentral kali ini adalah menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua hari ini dan di masa mendatang.

Tahun ini adalah pelaksanaan yang ketiga. Terakhir kali Kongres Rakyat Papua dilaksanakan pada 2000.

Kongres Rakyat Papua Dibubarkan, Situasi Tegang

Jayapura – Puluhan warga Papua dipukul hingga babak belur oleh petugas kepolisian usai digelarnya Kongres Rakyat Papua ke-III di lapangan Zakeus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura, Rabu sore, 19 Oktober 2011.

Polisi juga mengeluarkan puluhan tembakan ke udara untuk membubarkan massa. Dari pantauan Tempo, sedikitnya empat panser TNI dan tiga mobil baracuda polisi disiagakan di lokasi kejadian.

Polisi membabi buta menembak warga sipil. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini. “Anggota TNI yng disiagakan hanya untuk membantu polisi, saya kurang tahu ada korban jiwa atau tidak,” kata juru bicara Kodam 17 Cenderawasih Papua, Ali Hamdan Bogra.

Ia mengatakan, TNI tidak melakukan penembakan. TNI hanya berjaga bila massa anarkis. “Untuk info lebih jelas baiknya langsung tanya Kapolres, saya kurang tahu apa ada korban atau tidak dalam keributan di Abepura,” ujar dia. Seorang saksi mata, Maria, mengatakan puluhan warga disiksa polisi.

Polisi memalang pintu masuk dan menyandera warga hingga dua jam. Dalam peristiwa ini, Ketua Dewan Adat Papua, Forkorus Yeboisembut, dan tokoh Papua, Edison Waromi, ditahan. Sementara Ketua Panitia Kongres Papua, Selpius Bobi, masih dalam pengejaran.

Kongres Papua digelar dari Senin, 17 Oktober, hingga hari ini. Sejumlah putusan kontroversial dibuat, antara lain Papua merdeka, yang pada akhirnya memicu aksi brutal polisi yang berlangsung hari ini.

Kongres tersebut sempat diwarnai pengibaran bendera Bintang Kejora pada Senin kemarin. “Kami akan proses pelaku, kalau bersalah dan melanggar hukum, tentu tak akan dibiarkan,” kata Imam Setiawan, Kapolres Kota Jayapura.

Hingga petang ini situasi Kota Abepura masih mencekam, sebuah baracuda dengan dua anggota Brimob melepas tembakan ke udara untuk menghalau massa, warga berlarian hingga terjatuh. “Polisi kurang ajar, kami tidak salah, polisi jangan arogan dengan mengusir kami pakai tembakan, memangnya kami ini apa,” kata Paskalis, warga Abepura. JERRY OMONA TEMPOINTERAKTIF

Kongres Rakyat Papua III Diwarnai Bintang Kejora

Pengibaran Bintang Kejora Saat KRP III, 2011
Pengibaran Bintang Kejora Saat KRP III, 2011
JAYAPURA – Kurang lebih lima ratusan warga Papua dari berbagai daerah Senin (17/10) kemarin memadati lapangan sepak bola Zakheus, tepatnya di belakang SMP Paulus, Padang Bulan, Abepura, Jayapura untuk mengikuti Kongres Rakyat Papua (KRP) III.

Meski proses pembukaan berjalan lancar, namun sempat diwarnai pengibaran bendera Bintang Kejora yang dilakukan oleh para penari Sampari saat akan dilakukan pemukulan tifa sebelum prosesi ibadah pembukaan dimulai.

Dari pantauan Cenderawasih Pos di lapangan, sepanjang jalan menuju tempat pelaksanaan KRP III ini dijaga ketat oleh pasukan penjaga tanah Papua (Petapa). Setiap peserta yang akan memasuki lapangan diperiksa secara ketat.

Para Petapa itu menyuruh peserta mengeluarkan barang bawaannya dari dalam tas, tak terkecuali tas para wartawan juga diperiksa secara ketat. Sementara di lapangan tempat berlangsungnya kegiatan, ratusan peserta diarahkan memenuhi kursi yang sudah disiapkan.
Acara ini diawali dengan ibadah pembukaan yang dipimpin oleh Yermias Dimara. Di tengah prosesi ibadah itu, para pimpinan dari 7 wilayah adat di Papua di antaranya Tabi, Lapago, Mepago, Hananim, Saireri, Doberai, dan Bomberai, serta Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yoboisembut diundang maju ke tengah lapangan.

Mereka diarahkan supaya mendoakan tanah Papua serta pemerintah Indonesia yang dinilai banyak membuat kesalahan di wilayah paling timur ini.

“Marilah kita mendoakan para leluhur kita yang berbuat salah. Kita doakan juga pemerintah Indonesia yang sudah banyak berbuat salah di Papua. Biarlah Tuhan mengampuni perbuatan mereka,” ujar Forkorus sembari mengajak peserta kongres berdoa.

Dalam penutupan ibadah tersebut juga ditandai dengan peniupan 3 sangkakala yang dibawakan 3 orang mama yang dituakan. Hal ini sebagai pertanda bahwa pintu langit dan surga akan membuka tabir surya dan mendengar tiap jeritan dan permohonan rakyat Papua.

Usai ibadah, dilanjutkan dengan pemukulan tifa oleh masing-masing tujuh wilayah adat Papua. Sebelum pemukulan tifa, para penari Sampari dari Biak terlebih dahulu menari-nari untuk mengantarkan tifa yang akan dipukul oleh ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut dan para pimpinan wilayah adat lainnya. Pada saat mengantarkan tifa itulah, salah seorang dari rombongan penari itu mengibar-ngibarkan bendera Bintang Kejora yang diikat di sebuah kayu yang panjangnya kurang lebih 2 meter. Tak lama setelah itu, bendera Bintang Kejora itu pun kembali dikemas oleh para penari itu.

Setelah pembukaan yang ditandai dengan pemukulan tifa, Ketua Panitia KRP III, Selpius Bobii langsung membacakan pidato pembukaan Kongres Rakyat Papua III. Ia mengatakan bahwa KRP III ini merupakan sejarah dan pengalaman hidup masa lalu, menentukan masa kini. “Aktivitas hidup masa kini akan menentukan masa depan. Itulah hidup. Aktivitas hidup adalah sejarah. Sejarah adalah aktivitas. Orang yang beraktivitas sedang mengukur sejarah pribadi, golongan atau bangsa,” tuturnya.

“KRP ini juga ditempatkan sebagai pemenuhan Hak Asasi Manusia dalam hukum HAM negara dan pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi dan KRP III ini merupakan bagian dari proses demokrasi di Indonesia dan itu dijamin oleh hukum internasional dan konstitusi negara Indonresia,”ungkapnya.

Sementara itu, Ketua DAP Forkorus usai membuka KRP III mengungkapkan bahwa bangsa Papua tidak berjuang untuk merusak atau menghancurkan NKRI, tetapi berjuang menegakkan hak-hak dasar rakyat Papua, di antaranya hak politik, termasuk hak merdeka sebagai suatu bangsa. Dalam KRP III ini rakyat berkeinginan bahwa pemerintah dan negara-negara lain harus mengerti hal tersebut. “Jika rakyat Papua menjunjung tinggi HAM dan hukum internasional, maka KRP III ini jangan dianggap illegal. Kongres ini dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat,” paparnya.

Dikatakannya, KRP III ini mengagendakan pembicara –pembicara dari gubernur, DPRP, LSM, tokoh agama, tokoh perempuan, tokoh adat , namun tidak ada sesi tanya jawab. “Meraka hanya sampaikan saja, kemudian ada pandangan umum dari 7 wilayah dan juga dari fraksi-fraksi terutama dari PDP, Bepenal, TPN/OPM. Mereka akan memberikan pandangan mereka,” tuturnya.

Setelah acara pembukaan yang berlangsung hingga hampir sore itu, KRP III tersebut akan dilanjutkan hari ini, Selasa (18/10), dengan agenda pemberian materi dari pembicara-pembicara yang telah dijadwalkan.

Sementara itu, terkait aksi mogok yang dilakukan karyawan PT Freeport Indonesia (FI) hingga mengakibatkan beberapa karyawan tewas dan berlanjut dengan aksi rusuh dan sebagian massa meminta untuk dilakukan penutupan perusahaan raksasa tersebut di Timika, menurut Forkorus, hal ini sama sekali tidak dibahas di dalam KRP III yang berlangsung hingga 19 Oktober mendatang.

Ketua Dewan Adat Papua (DAP) Forkorus Yoboisembut mengungkapkan dalam agenda KRP III kali ini berbicara tentang kemerdekaan rakyat Papua dan untuk PTFI tidak dibicarakan, karena ketika berbicara PTFI maka mau dibawa ke mana proses hukumnya, yang mana dirinya masih trauma dengan kasus pembununuhan yang terjadi di depan matanya pada tanggal 9 Agustus 2008 di Hari Ulang Tahun Internasional Day Masyarakat Pribumi sedunia, yang mana masalah tersebut hingga saat ini belum tuntas.

“Apa yang terjadi di PTFI tentang pembunuhan tidak akan pernah tuntas sehingga untuk menyuarakan penutupan PTFI hanyalah sia-sia, untuk itu mendingan rakyat Papua menunggu Papua merdeka dulu baru kemudian kita bersama-sama urus PTFI, karena hukum tidak akan pernah memihak kepada rakyat Papua dan ini memang tidak adil,” tegasnya

Forkorus juga menjelaskan hanya membuang-buang waktu dan tenaga jika tiap hari hanya menyuarakan penutupan PTFI. Hal ini dikarenakan ketika DAP ingin menyelesaikan PTFI dengan jalan adat, DAP pernah terbang ke Jakarta dan hendak bertemu dengan Mufet dan Menteri Pertahanan dan Keamanan, namun sama sekali tidak dipertemukan dengan alasan tidak terjadwalkan. Kemudian DAP mencoba kembali dengan jalan berbicara dengan Kepala BP Migas dan Menteri Pertambangan untuk berbicara tentang hak-hak adat rakyat Papua, namun yang diterima hanyalah marah-marah oleh stafnya.

Terkait TNI/Polri yang bertugas di Timika, Forkorus meminta sebaiknya mereka ditarik saja, karena ini merupakan proyek mereka. “Jika mereka ditarik dan biarkan DAP yang mengaturnya, maka situasi di sana akan damai,” tegas Forkorus.

Sementara itu, dari pantauan Cenderawasih Pos di luar pelaksaan KRP III tampak sejumlah aparat keamanan berjaga-jaga bahkan arus kendaraan dari arah Waena menuju Abepura dan sebaliknya tampak mengalami kemacetan, namun bisa dikendalikan oleh anggota Satuan Lalu Lintas Polsek Abepura Kota.

Selain itu, sebelum dibukanya KRP III tampak sejumlah peserta dari berbagai daerah yang hendak menuju lokasi KRP III dengan berjalan kaki dari arah lingkaran Abepura menuju lokasi sambil bernyanyi dan membawa spanduk. Akibatnya arus kendaraan sekitar pukul 08.30 WIT sempat mengalami kemacetan.

Sedangkan dari pantauan di luar gerbang lokasi KRP III, tampak ratusan lebih peserta ditambah masyarakat yang ingin menyaksikan pembukaan KRP III dan itu bisa terlihat ketika rombongan peserta dan massa yang ingin masuk melalui pintu gerbang lokasi sangat padat.

Aparat keamanan gabungan sebanyak 2.200 personel sebagaimana yang telah disiagakan tampak telah ditempatkan di sejumlah titik-titik yang dianggap rawan, dan di lokasi KRP III hanya dijaga oleh Penjaga Tanah Papua alias Petapa. (ado/nal/fud)

WPNA Rekomendasikan Forkorus Yaboisembut Jadi Presiden

JAYAPURA, KOMPAS.com — Otoritas Nasional Papua Barat (West Papua National Autority/WPNA) merekomendasikan Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut sebagai Presiden Republik Demokratik Papua Barat. Rekomendasi itu mereka sampaikan dalam pandangan politik yang dibacakan oleh Frans Kapisa di tengah-tengah Kongres Rakyat Papua III, Senin (17/10) di Abepura, Papua. Selain itu, mereka juga merekomendasikan Presiden ONPB Edison Waromi sebagai Perdana Menteri.

Kongres Rakyat Papua III dibuka Senin (17/10/2011) di Abepura, Papua oleh Pimpinan Kolektif Papua, seperti Forkorus Yaboisembut dan Edison Waromi. Acara yang dihadiri sekitar 5.000 peserta itu digelar di Lapangan Zakheus, Abepura. Peserta yang hadir berasal dari berbagai wilayah di Papua. Dirjen Otonomi Daerah, jajaran pimpinan tingkat Provinsi Papua, dan beberapa tokoh masyarakat tidak hadir dalam perhelatan akbar itu.

Pandangan yang disampaikan oleh ONPB merupakan salah satu mata acara yang kemudian diajukan karena beberapa narasumber yang dijadwalkan memberi masukan juga tidak hadir. Perwakilan, Tentara Pembebasan Nasional Organisasi Papua Merdeka (TPN-OPM) wilayah Kasuari, Manokwari yang hadir dalam acara tersebut mendukung sikap politik ONPB tersebut.

“Berbagai pandangan dan pikiran-pikiran itu kami tampung semua,” kata Ketua Panitia Kongres, Selfius Bobii.

Menurut Bobii, masih banyak komponen dan elemen lain yang akan menyampaikan pandangan politik mereka, seperti Dewan Adat Papua dan Presidium Dewan Papua.

Kongres Rakyat Papua III sendiri, menurut Bobii masih akan berproses. Kemungkinan kongres tersebut akan mulur hingga Jumat (21/10/2011).

Salah satu penyebabnya adalah, beberapa agenda yang dijadwalkan pada hari pertama kongres belum dapat dilaksanakan. Selain pembukaan yang berjalan lancar dan meriah, acara hari pertama itu diisi dengan pemilihan pimpinan sidang, pembacaan tata tertib dan penyampaian pandangan politik. Meskipun digelar di tengah lapangan, masyarakat mengikuti kongres itu dengan antusias.

Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yaboisembut menyambut baik antusiasme masyarakat itu. Menurut dia, itu bagian dari proses perjuangan masyarakat asli Papua untuk menegakkan hak-hak dasar mereka.

Ia menegaskan, meskipun rakyat Papua berjuang tentang hak-hak dasar mereka, termasuk hak politik, namun mereka tetap menghargai Pemerintah Indonesia. “Perjuangan kami ini bukan perjuangan untuk merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia. Itu sudah prinsip,” kata Yaboisembut.

Ia mengemukakan, Bangsa Papua tidak berjuang untuk merusak atau menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Kami berjuang untuk menegakkan hak-hak dasar kami, termasuk hak politik, termasuk hak merdeka sebagai suatu bangsa,” ungkapnya.

Panitia dan Pimpinan Kolektif Papua, menurut dia, tidak memiliki agenda khusus. Rakyatlah yang akan berproses dalam kongres tersebut. Dan apapun yang nantinya dihasilkan, Yaboisembut berharap, Pemerintah Indonesia mampu menghargainya.

LAPORAN DAN PIDATO PEMBUKAAN KONGRES III BANGSA PAPUA

LAPORAN DAN PIDATO PEMBUKAAN KONGRES III BANGSA PAPUA
by Selpius Bobii on Tuesday, October 18, 2011 at 2:08am
TIM KERJA REKONSILIASI NASIONAL RAKYAT PAPUA BARAT

Sekretariat: Jln Victoria – Jayapura – Papua;
Mobile Phone: 081248723807/082199344025

LAPORAN DAN PIDATO PEMBUKAAN KONGRES III BANGSA PAPUA

Yang terhormat, Kepemimpinan Nasional Papua dan ketua-ketua elemen perjuangan Papua
Yang terhormat, para undangan
Yang terhormat, rakyat bangsa Papua yang kami kasihi

“Syukur bagi-Mu Tuhan, Kau berikan Tanah ku, Kau bri rajin juga, sampaikan maksud-Mu”

Pertama-tama ku panjatkan puji dan syukur kepada Elohim kami, Elohim moyang bangsa Papua atas rahmat, bimbingan dan pertolongan-Nya, maka kami dapat hidup dan berkhtiar menggapai masa depan yang penuh misteri, dan atas bimbingan dan hikmat-Nya pula kami dapat menggelar Kongres 3 Bangsa Papua.

Perkenankan kami menyampaikan pidato pembukaan Kongres 3 bangsa Papua dibawah judul: “SERAKYAT, SEHATI & SETEKAD UNTUK BERUBAH”
Rakyat bangsa Papua bersaksi: “SURGA DUNIA MENGHILANG DIGANTI NERAKA DUNIA; RAKYAT PAPUA RINDUKAN SURGA DUNIA

SEJARAH DAN PENGALAMAN HIDUP MASA LALU, MENENTUKAN MASA KINI; AKTIFITAS HIDUP MASA KINI, AKAN MENENTUKAN MASA DEPAN. ITULAH HIDUP. AKTIFITAS HIDUP ADALAH SEJARAH. SEJARAH ADALAH AKTIFITAS. ORANG YANG BERAKTIFITAS SEDANG MENGUKIR SEJARAH; ENTAH SEJARAH PRIBADI, GOLONGAN ATAU BANGSA.

Rakyat pribumi Papua memiliki segudang pengalaman hidup. Segudang pengalaman hidup itu dikelompokkan ke dalam dua fase besar, yakni: fase pertama, segudang pengalaman hidup sebelum kontak dengan dunia luar; dan fase kedua, segudang pengalaman hidup setelah kontak dengan dunia luar. Masing-masing fase tentu memiliki makna dan nilai tersendiri.

SURGA DUNIA PAPUA PERNAH ADA

Fase pertama, rakyat pribumi Papua memandang sebagai hidup dalam “surga dunia”. Walaupun ada konflik di antara sesama suku atau antar suku, namun ada aturan dan tata cara penyelesaian. Setiap individu harus dan wajib menghormati dan mematuhi norma-norma yang ada. Norma-norma itu memungkinkan terjadinya relasi antara sesama manusia, alam lingkungan dan Yang Transenden (Ilahi), maka kehormanisan hidup itu terjamin dan terjaga.

SURGA DUNIA PAPUA MENGHILANG

Ketika rakyat pribumi Papua kontak dengan dunia luar (fase ke dua), maka secara drastis “Surga Dunia” itu berubah menjadi “neraka dunia”. Perubahan ini dibagi lagi ke dalam dua babak, yakni: pertama, dijaman kolonial, termasuk Belanda; kedua, di jaman neokolonial Indonesia.
Babak pertama ini diawali dengan penyebaran agama modern, disertai juga dengan penguasa Belanda untuk menguasai Tanah Papua. Penguasa Belanda walaupun ada tekanan terhadap rakyat pribumi Papua, namun tekanan itu berangsur-angsur turun dan diganti dengan pendekatan budaya dan pelayanan publik yang amat menyentuh dan memajukan rakyat pribumi saat itu, salah satunya mengorbitkan pemimpin-pemimpin Papua yang sangat handal dan berwibawa.

Tindakan pemberdayaan masyarakat asli Papua oleh penguasa Belanda berpuncak pada penyiapan perangkat Negara Papua Barat yang diawali dengan pembentukan New Guine Raad, pada tanggal 15 April 1961; kemudian melahirkan manifesto politik oleh Komite Nasional Papua (KNP) dalam Kongres Rakyat Papua I pada tanggal 19 Oktober 1961 di Hollandia (kini) Jayapura; Komunike Politik itu dibahas dalam Parlemen Papua (New Guine Raad) pada tanggal 30 Oktober 1961; selanjutkan didaftarkan ke dalam Staad Blad (Peraturan Pemerintah Belanda) dan diumumkan secara resmi pada tanggal 1 Desember 1961.

Namun, stengah de jure Kemerdekaan Kedaulatan Papua itu digagalkan oleh Negara Indonesia melalui TRIKORA yang dikeluarkan oleh presiden RI (Soekarno) pada tanggal 19 Desember 1961.

NERAKA DUNIA PAPUA KINI ADA

Ketika rakyat pribumi Papua dipaksakan masuk ke dalam NKRI, keadaan rakyat pribumi Papua mengalami perubahan total. Multi krisis melanda rakyat pribumi Papua. Rakyat pribumi digiring ke dalam “Neraka Dunia” yang amat menyengsarakan.

Sejarah pencaplokan kemerdekaan kedaulatan Papua melalui infansi militer dan politik, adalah masalah mendasar yang melahirkan dua masalah berikutnya, yakni pelanggaran Hak Asasi Manusia yang kini menuju ke pemusnahan etnis secara perlahan-lahan; dan ketidak-adilan dalam perbagai dimensi kehidupan (pembangunan) yang melahirkan diskriminasi rasial.

Ketika ruang reformasi bergulir di Indonesia bersamaan dengan penggulingan sang diktator “presiden Soeharto” pada tahun 1998, disaat yang bersamaan pula rakyat pribumi Papua mendapatkan ruang untuk menyampaikan aspirasi politiknya yang dikekang bertahun-tahun lamanya.

Akumalasi aspirasi rakyat pribumi Papua itu berpuncak pada Kongres Rakyat Papua II yang digelar antara tanggal 29 Mei s/d 4 Juni 2000 di Gedung Olahraga Cenderwasih Jayapura. Dalam momentum itu rakyat pribumi Papua melahirkan beberapa hal terpenting untuk menata masa depan rakyat pribumi Papua.

Namun, akumulasi kebangkitan rakyat Papua itu ditanggapi dan dijawab oleh Negara Indonesia dengan memberikan Undang-Undang Nomor 21 tahun 2011 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua.
Ketika UU OTSUS Papua diterapkan, rakyat pribumi Papua melakukan gelombang aksi menolak paket politik itu, namun Negara Indonesia memaksakan paket politik itu diberlakukan di tanah Papua. Untuk memuluskan paket politik Undang-undang Otonomi Khusus Papua, maka pemimpin tertinggi rakyat pribumi Papua, mendiang Alh. Theys Hiyo Eluai diculik dan dibunuh karena beliau secara resmi menyatakan sikap Presidium Dewan Papua tentang penolakan “Undang-undang Otonomi Khusus Papua”.

Negara Indonesia berniat untuk membangun Papua dalam dan melalui Otonomi Khusus Papua, namun ternyata di era Otonomi Khusus Papua selama 10 tahun pemerintah belum mampu mengangkat harkat dan martabat orang asli Papua karena tak ada kemauan untuk menjalankan Undang-undang Otonomi Khusus Papua secara sungguh-sungguh.

Belum adanya pemberdayaan, keberpihakan dan perlindungan terhadap hak-hak dasar orang asli Papua di era Undang-undang Otonomi Khusus Papua.

Maka rakyat Papua berpendapat bahwa Undang-undang Otonomi Khusus Papua diterapkan hanya untuk meredam aspirasi politik Papua Merdeka & memperpanjang penindasan. Undang-undang Otonomi Khusus Papua menjadi lambang kejahatan kemanusiaan masyarakat pribumi Papua; karena itu Masyarakat Adat Papua melalui DAP telah mengembalikan UU OTSUS Papua kepada pemiliknya dan sekutunya pada tanggal 12 Agustus 2011 dan melalui Mubes MRP dan orang asli Papua pada Juni 2011.

NERAKA DUNIA PAPUA AKAN BERAKHIR

***

SURGA DUNIA PAPUA KINI DIRINDUKAN

Untuk mengembalikan “Surga Dunia” yang terhilang, maka rakyat di Tanah Papua berencana melakukan temu akbar melalui “Kongres III rakyat Papua untuk membahas berbagai masalah yang sudah dan sedang terjadi di Tanah Papua, sekaligus merumuskan format masa depan Papua yang lebih tepat dan terarah. Kongres ini digelar dibawah THEMA: “MARI KITA MENEGAKKAN HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA DI MASA KINI DAN MASA DEPAN”; Dengan SUB THEMA: “MEMBANGUN PEMAHAMAN SECARA JUJUR, ADIL, DAN MENYELURUH DEMI PENEGAKAN HAK-HAK DASAR ORANG ASLI PAPUA, TERMASUK HAK POLITIK DI MASA DEPAN YANG LEBIH BAIK, MAJU, ADIL, DEMOKRATIS, AMAN, DAMAI, SEJAHTERA DAN BERMARTABAT”.

Partisipasi rakyat di Tanah Papua dan para simpatisan di dalam merumuskan solusi-solusi alternatif yang akan memberikan harapan baru bagi masa depan bangsa Papua.

Kongres Rakyat Papua III (KRP III) adalah bagian dari proses demokratisasi di Indonesia dan itu dijamin oleh Hukum Internasional dan Konstitusi Negara Indonesia.

Kongres Rakyat Papua III juga ditempatkan sebagai pemenuhan Hak Asasi Manusia. Dalam hukum HAM, negara c.q. pemerintah mempunyai kedudukan sebagai pemangku kewajiban. Kewajiban yang diemban negara terdiri atas tiga bentuk, yaitu menghormati, melindungi dan memenuhi.

SURGA DUNIA PAPUA PASTI AKAN TERWUJUD

KAMI SANGAT MEMBUTUHKAN DUKUNGAN SOLIDARITAS DARI SEMUA PIHAK YANG MENJUNJUNG TINGGI NILAI-NILAI DEMOKRASI, HAK ASASI MANUSIA, KEBENARAN, KEJUJURAN DAN KEADILAN DEMI MENYELAMATKAN RAKYAT BANGSA PAPUA DARI BAHAYA GENOCIDE

“SURGA DUNIA PAPUA” PERNAH ADA, NAMUN MENGHILANG
“NERAKA DUNIA PAPUA” KINI ADA, NAMUN AKAN BERAKHIR
“SURGA DUNIA PAPUA” ITU KINI DIRINDUKAN, PASTI AKAN TERWUJUD

“MARI KITA BERTINDAK BERSAMA, UNTUK KEBEBASAN BERSAMA”

KESELAMATAN BAGI JIWA-JIWA YANG TERBELENGGU TIRANI PENINDASAN ADALAH HUKUM TERTINGGI

Demikian Laporan dan Pidato Pembukaan Kongres 3 bangsa Papua.

Port Numbay: Senin, 17 Oktober 2011

Selpius Bobii
(Ketua Panitia KRP III)

Menkopulhukam Tak Akan Hadiri Kongres III

JAYAPURA—Ketua Panitia Kongres Rakyat Papua (KRP) III Selpius Bobii telah mengumumkan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menugaskan Menkopolhukam untuk mewakilinya hadir membuka KRP III sekaligus memberikan bantuan dana.

Namun demikian, Menteri Koodinator Politik, Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto yang dikonfirmasi via sms terkait pernyataan tersebut membantahnya. “Yang jelas pada tanggal tanggal itu Menteri ada di Jakarta semua,” katanya melalui SMS singkatnya. Salah seorang anggota Penjaga Tanah Papua (PETAPA) atau Satgas Papua menyampaikan informasi bahwa KRP III akan diadakan di Lapangan Misi Padang Bulan. Hal ini dikarenakan Boy Eluay menolak pemakaian lapangan makam ayahandanya, Theys Eluay untuk KRP III.

Sementara itu, Ketua Panitia KRP III Selpius Bobii yang dikonfirmasi via ponsel semalam terkait bantahan Menkopolhukam bahwa Presiden SBY tak pernah menugaskan Menteri Koperasi membuka KRP III tak menanggapinya.

Konggres Dinilai Memperuncing Hubungan Papua-Jakarta

Sedangkan Ketua Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB), Vitalis Yumthe, menilai, pelaksanaan Konggres Rakyat Papua III yang berlangsung di Jayapura, akan memperuncing hubungan antara masyarakat adat Papua dengan pemerintah pusat di Jakarta. Dengan demikian, memperuncing kondisi keamanan dan stabilitas Negara, termasuk mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat asli Papua terhadap pemerintahan saat ini.

“Nah jika itu dilaksanakan maka upaya pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan di wilayah Papua akan sedikit terhambat karena kebijakan-kebijakan yang diambil dalam Konggres tersebut,” ujarnya kepada sejumlah wartawan saat di konfirmasi kemarin di Sekretariat MRPB, Hotel Mansinam Beach Manokwari.

Yumthe menegaskan, oleh karena itu, aspirasi-aspirasi yang muncul dalam pelaksanaan konggres sebaiknya di arahkan dalam ranah NKRI.

“Kalau berbicara soal hak warga Negara berkumpul dan menyampaikan pendapat, itu syah-syah saja. Tetapi yang pentingnya diarahkan untuk proses percepatan pembangunan di Papua dalam wadah NKRI. Kalau pelaksanaan konggres mengeluarkan kebijakan untuk referendum, tentunya keluar dari agenda besar pembangunan di wilayah Papua. Kalau agenda konggres tersebut sebelum adanya MRP dan MRPB, wajar dan boleh-boleh saja, tetapi saat ini sudah ada lembaga ini, yang sudah diakui keberadaannya oleh pemerintah pusat, kenapa kita harus bicara di luar arena lagi?,” ujarnya.

Dia juga menyebutkan, sebanarnya para pemimpin masyarakat adat di Papua, harus menyadari bahwa tidak boleh lagi ada gerakan seperti saat ini. “Kalau ini terjadi, maka sebagai anak adat dan anak asli Papua yang diperjuangkan oleh lembaga-lembaga adat yang ada di wilayah ini untuk duduk di lembaga ini, bahwa kita telah keluar dan melakukan perlawanan terhadap Negara,” tegasnya.

Untuk itu, dia ingin mempertanyakan, benarkah perjuangan masyarakat adat Papua dalam Konggres III yang berlangsung di Jayapura saat ini, dapat memberikan kontribusi yang poisitif atau tidak bagi percepatan pembangunan di Papua ke depan? “Pemerintah Pusat kan telah memberikan Otsus bagi Papua, ada MRP yang menjadi wadahnya lembaga adat, agama dan perempuan di Papua. Jika memang ada persoalan seperti itu, marilah kita biacarakan dalam wadah MRP. Jangan kita bicara di luar jalan,” ujarnya.

Dikatakan, jika memang masyarakat adat menilai Otsus ini telah gagal, sebenarnya kegagalan Otsus ini juga dibawah kepemimpinan orang-orang Papua sendiri. “Untuk itu, mari kita akhiri ini semua, sambil terus berupaya untuk menuntut hak-hak kita dalam bingkai NKRI melalui proses pembangunan di semua sektor,” kata Yumthe lagi.

Dikatakan, kegagalan demi kegagalan yang sudah dilakukan oleh pemerintahan saat ini di Papua, baginya, sebagai sebuah proses untuk maju. “Marilah kita bersama-sama berbicara dalam wadah MRP, sehingga segala persoalan yang menjadi pergumulan kita selama ini, dapat diselesaikan oleh pemerintah. Kalau seperti ini, kepada siapa lagi, masyarakat asli Papua ini harus menopang harapan mereka, kalau bukan kepada kita yang telah dipercayakan baik oleh Negara maupun lembaga adat di wilayah ini?,” sebut Yumthe lagi.(mdc/gil/don/L03)

Akhirnya Kongres Digelar di Lapangan

* Yusak Pakage: Jangan Sampai Rakyat jadi Korban

Kongres Rakyat Papua III, 2011
Kongres Rakyat Papua III, 2011

JAYAPURA- Meski tidak diijinkan menggunakan Auditorium Uncen dan GOR Cenderawasih, Panitia Kongres Rakyat Papua III tetap berkomitmen Kongres dilaksanakan sekalipun itu harus , di lapangan. Selpius Bobii, Selaku Ketua KRP III mengatakan, kongres ini akan dibuka hari ini, Senin (17/10) pukul 09.00 WIT di Lapangan Sakeus, depan Asrama Tunas harapan, Padang Bulan. Mengenai pemindahan tempat, adalah karena dua tempat yang diharapkan sebelumnya, yakni GOR Cenderawasih dan Auditorium Uncen tidak mendapat ijin dari pengelolanya. Dalam pembukaan, akan diawali ibadah yang akan dilanjutkan seminar dengan menghadirkan Pemerintah Pusat sebagai Keynot Speaker (pembicara utama), yakni diwakili Ditjen Otonomi Daerah, Kementrian Dalam Negeri. “Tepat jam 9 akan dibuka, apakah besok jam 9 itu dari pusat datang atau tidak, tetap dibuka jam itu,” tegasnya.

Dalam acara pembukaan tersebut, akan dipandu oleh pdt Sim Norotouw, dengan pengkhotbah pdt Yesaya Dimara.

Disinggung tentang format Kongres, menurutnya tidak jauh beda dengan kongres pada umumnya, yaitu diisi dengan seminar, diskusi, dan pleno.

Terkait pembicara yang akan hadir, menurut Selpius sudah ada dari Foker LSM, Septer Manufandu, dari tokoh Gereja, pdt Benny Giyai, pdt Socrates S Yoman, dan pdt Yemima Krey.
Sedangkan dari pemerintah daerah Provinsi Papua maupun Papua Barat, menurutnya hanya diundang untuk hadir saja.”Yang penting ada pemerintah pusat sudah cukup,” tegasnya.
Disinggung tentang hasil kongres yang diharapkan pihak Panitia, Selpius mengatakan bahwa hasil kongres adalah sesuai thema, yakni menegakkan hak-hak dasar orang Papua di masa kini dan masa depan.

“Peserta ini kan dari kampung yang membiayai sendiri. Mereka akan salurkan pendapat, pikiran atas apa yang dia rasakah. Kita hanya menampung dan memfasilitasi saja,” jelasnya.
Dikatakan, bahwa masyarakat tersebut datang, bicara dan memutuskan sendiri atas masalah yang di hadapi di masing-masing daerah asalnya. “Apa yang diputuskan, ke depan mereka sendiri juga yang akan memperjuangkan untuk mewujudkannya,” lanjutnya.
Dalam kesempatan tersebut, ia juga sempat mengungkapkan rasa trimakasihnya kepada Pemerintah Pusat yang telah merestui pelaksanaan KRP III. “Kepada masyarakat, saya juga mengucapkan terimakasih atas partisipasinya sehingga kegiatan ini dapat berlagsung dengan situasi yang kondusif,” ungkapnya

KRP Bicara Kesejahteraan?
Sementara itu, jika sebelumnya Kongres Rakyat Papua (KRP) III mendapatkan berbagai reaksi penolakan, kini giliran dua pihak, yaitu dari Ketua DPD Barisan Komando Garuda Indonesia (BKGI), Richard Kabarek dan koordinator Parlemen Jalanan, Yusak pakage yang sedikit menyatakan harapannya.

Meskipun tidak langsung mendukung pelaksanaan KRP III tersebut, keduanya memberikan masukan kepada panitia pelaksanaan KRP III.

Richard yang keturunan Biak – Jawa, menyatakan Kongres III, hendaknya membicarakan keadaan masyarakat Papua. “Untuk mendapatkan kesejahteraan yang pantas mereka terima,” harapnya kepada wartawan.

Menurutnya, pejabat-pejabat tinggi baik itu dari tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, supaya serius menyikapi situasi-situasi tersebut. “Supaya apa? Tidak ada lagi suatu pergerakan yang membuat masyarakat panik dan bimbang. Apakah betul situasinya seperti ini?,” lanjutnya.
Sebagai generasi muda Ia mengakui adanya kesenjangan pada masyarakat Papua. “Kami bagian dari NKRI, tapi tolong, kami butuh pendidikan, kami butuh kesejahteraan,” akunya.

Ia berharap kepada para pejabat di Provinsi maupun di kabupaten/kota untuk tidak selalu menyalahkan situasi. “Coba koreksi diri sendiri, saya tegaskan ini kepada pejabat-pejabat tinggi. Karena mereka yang membuat kebijakan itu dan merekalah yang membawa aspirasi masyarakat,” tegasnya.

Sehingga ia berharap kepada Pemerintah Pusat, untuk bersama-sama menjalin kerjasama dengan Pemerintah Provinsi hingga Pemerintah Kabupaten. “Agar mereka membuat satu konsep program pembangunan, agar masyarakat di pedalaman pada umumnya bisa merasakan kemajuan dan mereka juga bisa meraakn kesejahteraan itu,” harapnya.

Selain itu, ia juga mengharapkan agar pelaksanaan KRP III, tidak membuat keputusan yang kelak akan merugikan diri sendiri, juga masyarakat banyak. “Mari kita sikapi ini bersama, hakekat suatu kemerdekaan adalah bagaimana rakyat merasakan kesejahteraan. Mudah-mudahakan Kongres ke-3 bisa melihat lebih intensif itu,” lanjutnya.

Sedangkan tanggapan dan harapan dari Yusak Pakage yang mengaku sempat ikut kongres yang ke dua beberapa waktu lalu. “Dalam kongres tahun ini agak beda dengan kongres lalu,” ungkapnya saat menggelar jumpa pers Sabtu (15/10) di Kamkey, Distrik Abepura.

Di kongres ke dua, menurutnya mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Pusat, yakni dikasih dana, tempat juga difasilitasi, serta keamanannya dijamin betul.

“Jadi jalan demokrasi yang betul. Kemudian semua unsure masyarakat bersatu di situ, terus semua agenda jalan lancar sesuai dengan yang direncanakan,” ceritanya.

Pada Kongres III ini, menurutnya kembali pada orang-orang yang pegang mandat kongres itu sendiri. “Jadi sampai saat ini banyak persoalan terjadi, itu mereka semua tanggungjawab. Karena pada mereka rakyat kasih mandat,” tegasnya.

Ia sangat berharap agar pihak yang diberi mandat dapat dipercaya, dengan memberi laporan dengan jujur. Kemudian kami juga harap supaya pada kongres III ini para pemegang mandate harus laporkan kegiatan mereka apa,” jelasnya.

Ia sangat berharap agar tidak menjadikan rakyat sebagai korban. “Sudah isu public bahwa kongres III ini sudah jadi pro kontra, terutama dari TPN PB/OPM, Lambert Pekikir sebagai Ketua Dewan Revolusi Papua Barat sudah menolak. Dengan atas nama TPN/OPM dia menghimbau kepada seluruh masyarakat Papua tidak boleh terpengaruh pada organisasi, kongres, atau bentuk dialog atau apapun. Sehingga jangan sampai nanti rakyat Papua yang jadi korban pro kontra itu,” harapnya.(aj/ven/don/l03)

Polisi & TNI Akan Bubarkan Kongres Rakyat Papua

JAYAPURA – Ratusan Polisi dan TNI akan membubarkan paksa pelaksanaan Kongres Rakyat Papua III di Distrik Abepura, Jayapura, jika kegiatan tersebut menyimpang dan bertentangan dengan NKRI.

Kabid Humas Polda Papua Kombes Wachyono mengatakan pihaknya tidak segan membubarkan massa jika ada bendera Bintang Kejora yang dikibarkan di lokasi.

“Gelar pasukan dari kepolisian dan TNI telah dilakukan. Sekarang kepolisian dibantu TNI sudah membuat pagar betis di titik masuk ke lokasi. Jika ada sesuatau yang terjadi seperti mengibarkan bendera Bintang Kejora dan teriakan ‘Merdeka’ akan dibubarkan paksa,” ujar Wachyono kepada kontributor Sun TV, Minggu malam.

Dia melanjutkan, ratusan personel disiagakan dari Polda Papua dibantu Polres Jayapura, Polresta Jayapura, serta polsek.

Selain itu, polisi juga mendapat bantuan sekira 100 personel TNI dari Batalion 751/BS yang berada di bawah kendali Kodam XVII Cendrawasih.

Pembukaan Kongres Rakyat Papua sedianya dilakukan kemarin, namun karena penjagaan ketat dari polisi dan TNI, kongres baru akan dibuka hari ini dan dilaksanakan hingga tiga hari mendatang.

Berdasarkan pantauan di Lapangan Padang Bulan, Abepura, Jayapura, lokasi digelarnya kongres, ratusan orang sudah memasuki lokasi. Mereka berasal dari Petapa (Pasukan Penjaga Tanah Adat Papua), pasukan Koteka, dan pasukan Papua Barat.

Berdasarkan informasi dari sekretariat panitia kongres ada sekira 80 ribu orang dari Papua dan Papua Barat yang diprediksi menghadiri acara ini.

Namun hingga Senin (17/10/2011), pukul 10.50 WIT acara belum juga dimulai, padahal seharusnya acara dibuka sekira pukul 09.00 WIT.

(Herawati/Sindoradio/ton)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny