MEMBONGKAR AIB PIMPINAN ULMWP DAN PEJUANG PRO NKRI

Ada di ingatan kita, pada 2017 petisi 1.8 juta tanda tangan masuk Komisi Dekolonisasi UN, ada orang Papua perintahkan cabut itu dan dituntut minta maaf dalam waktu 24 jam.

Tuntutan itu disampaikan oleh Oktovianus Mote.Tahun 2019 resolusi PIF keluarkan desak komisioner HAM-UN ke West Papua, ACP adopsi itu, diikuti Belanda, Inggris, Polandia, Spanyol, dan terakhir Uni-Eropa.

Total 108 negara resmi anggota UN desak Komisi HAM PBB ke West Papua. Atas desakan itu, Indonesia dan orang Papua yang dipakai Indonesia seperti: Markus Haluk, Menase Tabuni, Daniel Radongkir, Benny Giyai, Dorman Wandikbo dan Timotius Murip sendiri ke Jenewa tanda tangan MoU jedah Kemanusiaan untuk batalkan kunjungan PBB ke Papua. Negara-negara anggota MSG: Vanuatu, Fiji, Kanaky, dan lainya tegas dukung West Papua masuk full member MSG.

Orang-orang Papua sendiri juga ke sana bawa agenda KTT dan perpecahan ULMWP, atau dualisme ULMWP. Orang – orang seperti Markus Haluk & Daniel Radongkir ini kemarin berhasil membatalkan kunjungan Komisaris Tinggi Dewan HAM PBB ke West Papua. Sekarang mereka juga yang pergi mengelilingi negara – negara MSG untuk menunda atau membatalkan KTT-MSG yang rencananya mau menerima West Papua sebagai full member MSG itu.

Ketika, dukungan internasional menjadi nyata, buat perpecahan dalam tubuh lembaga perjuangan (ULMWP) dengan agenda-agenda tandingan ciptakan dualisme. Kalo lihat cara-cara ini, kita tidak mengerti perjuangan model ini, apakah berjuang untuk Papua merdeka atau berjuang untuk memperbaiki nilai-nilai HAM dan demokrasi di dalam konteks NKRI harga mati. Perjuangan ini dihancurkan oleh orang Papua sendiri dan lebih khususnya anggota ULMWP yang dipakai oleh NKRI atas nama perjuangan itu sendiri. Kesimpulan saya, semua ini terjadi antara agenda dialog Jakarta-Papua vs agenda resolusi ke PBB.

Dialog Jakarta-Papua jelas ikuti konsep resolusi Aceh, sedang Resolusi ke PBB ikuti konsep resolusi Timor Leste. Silahkan Rakyat Papua menilai dan memilih sendiri. Mana yang diuntungkan.

Catatan ini berdasarkan dokumen-dokumen resmi, bisa dibuktikan bila ada yang bantah.

Khawatir Terjadi Disintegrasi

Ketua DPD Forum Komunikasi Putra Putri Penerus Pejuang Pembebasan Irian Barat Drs Izaak Samuel Karubaba didampingi Sekretaris DPP Barisan Merah Putih Nico Mauri, Sekretaris Pemuda Panca Marga Papua Berth ST Wairara dan Penerus Trikora Yonas Nussy ketika membacakan pernyataan sikap politik menolak Kongres Rakyat Papua III di Hamadi Tanjung, Jayapura, Selasa (11/10).
Ketua DPD Forum Komunikasi Putra Putri Penerus Pejuang Pembebasan Irian Barat Drs Izaak Samuel Karubaba didampingi Sekretaris DPP Barisan Merah Putih Nico Mauri, Sekretaris Pemuda Panca Marga Papua Berth ST Wairara dan Penerus Trikora Yonas Nussy ketika membacakan pernyataan sikap politik menolak Kongres Rakyat Papua III di Hamadi Tanjung, Jayapura, Selasa (11/10).
JAYAPURA—Meski Panitia Kongres Rakyat Papua (KRP) III menyampaikan alasan bahwa kegiatan ini dilakukan penuh damai, namun tidak demikian bagi kelompok yang menamakan diri Forum Komunikasi Putra Putri Penerus Pejuang Pembebasan Irian Barat. Mereka mengkhawatir dari Kongres Papua III ini bisa terjadi disintegrasi bangsa dan negara. Pasalnya, KRP III diprediksi membicarakan 3 hal antara lain Trikora, Pepera dan Otsus.

Ketua DPD Forum Komunikasi Putra Putri Penerus Pejuang Pembebasan Irian Barat Drs. Izaak Samuel Karubaba didampingi Sekretaris DPP Barisan Merah Putih Nico Mauri, Sekretaris Pemuda Panca Marga Provinsi Papua Berth ST Wairara dan Penerus Trikora Yonas Nussy ketika membacakan pernyataan sikap politik menolak KRP III di Hamadi Tanjung, Jayapura, Selasa (11/10). Tiga hal yang diprediksi dibicarakan KRP III, masing masing Trikora. Padahal Trikora telah disampaikan 3 hal yakni gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda dan kibarkan bendera merah putih di seluruh dataran Irian Barat serta mobilisasi umum, sedangkan Pepera dikatakan cacat hukum karena tak sesuai Act Free Choice.

Padahal, kata dia, antara pemerintah Belanda dan Indonesia telah membicarakan pelaksanaan Pepera yang nantinya diadakan secara musyawarah dan mufakat sesuai UUD 1945 serta kegagalan Otsus.

Menurut dia, mengamati kondisi politik dan stabilitas di seluruh Tanah Papua yang merupakan daerah integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka Forum Generasi Muda Trikora Papua Republik Indonesia memandang perlu menyikapi beberapa kegiatan yang dilakukan, sengaja maupun tak sengaja yang terkondisikan lewat Dewan Adat Papua (DAP) yang kini mengagendakan digelarnya Kongres Rakyat Papua (KRP) III yang diselenggarakan pada tanggal 16 Oktober 2011 dengan agenda yang jelas – jelas mencederai tatanan kehidupan sesama suku – suku di Papua juga sesama suku dari Nusantara lainnya di Tanah Papua yang selama ini berjuang bersama membangun Tanah Papua sejak 1 Mei 1963 Papua masuk dalam NKRI.

Karena itu, lanjutnya, Forum Komunikasi Generasi Muda Trikora Papua Indonesia menyatakan sikap politik sebagai berikut yang dibacakan Izaak Samuel Karubaba. Pertama, Forum Komunikasi Generasi Muda Trikora Republik Indonesia adalah anak – anak adat Tanah Papua yang tak sepaham dan menolak dengan tegas pelaksanaan KRP III di Jayapura yang dijadwal pada tanggal 16 – 19 Oktober 2011 yang jelas – jelas hanya dapat menghancurkan tatanan kesukuan adat asli Papua juga hanya mementingkan kelompok tertentu, dan merugikan rakyat Papua secara menyeluruh oleh karena itu kami menghimbau agar KRP III perlu dibubarkan secara tegas oleh aparat keamanan TNI / Polri, apabila kegiatan tersebut dipaksakan terlaksana.

Kedua, Forum Komunikasi Generasi Muda Trikora menghimbau kepada semua pihak apabila dalam agenda KRP III masih mempersoalkan masalah Pepera maka hal ini perlu disikapi oleh seluruh komponen anak bangsa untuk mengelar apel siaga Generasi Muda Trikora juga meminta pihak TNI / Polri menindak tegas kepada penyelenggara KRP III dimaksud.

Ketiga, Forum Komunikasi Generasi Muda Trikora Republik Indonesia mempertanyakan Kongres Adat dimaksud diselenggarakan oleh siapa dan kenapa sengaja mengakomodir kelompok tertentu saja sebagai peserta KRP III, sementara jelas – jelas dalam pernyataan Ketua Dewan Adat Papua dalam acara salah satu media di jayapura mendukung salah satu Calon Wakil Gubernur Provinsi Papua yang jelas jelas sampai saat ini belum diakuinya Anak Papua Asli atau tak lewat Konsolidasi Adat dan penetapan Perdasus menyangkut orang asli Papua inikah yang disebut pembohongan publik.

Keempat, menghimbau kepada seluruh lapisan masyarakat untuk tetap menjaga lingkungan kekerabatan serta menjaga keharmonisan diantara sesama suku – suku Asli Papua biar tak terkontaminasi / terprofokasi dengan informasi yang sengaja di hembuskan dengan menjanjikan hal – hal yang kurang bertanggungjawab.

Kelima, Forum Komunikasi Generasi Muda Trikora Republik Indonesia menghimbau kepada seluruh Generasi Muda Adat Papua agar segera satukan barisan dan mengawal pembangunan nasional yang diawali saat ini di seluruh Tanah Papua dengan mempersipakan masyarakat secara menyeluruh menuju pesta demokrasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur 2011 – 2016.

Keenam, menyeruhkan kepada seluruh masyarakat diseluruh Tanah Papua agar memberikan kepercayaan kepada Pemerintah, TNI / Polri agar bertindak tepat cepat guna mengatasi dan mengantisipasi setiap pergerakan yang jelas – jelas mengacaukan stabilitas dan keutuhan NKRI di Tanah Papua, dimana secara de jure dan de facto Papua ( dulu adalah bagian ) mutlak dari pada NKRI yang tidak dapat dipisahkan oleh siapapun.

Terpisah, Ketua Komisi A DPR Papua Ruben Magai S.IP menegaskan, pihaknya menghimbau agar sebelum menggelar KRP III, Panitia mesti menyiapkan sejumlah anggaran untuk akomodasi dan transportasi para peserta. Pasalnya, apabila masalah ini tak dipersiapkan secara baik dikhawatirkan timbul masalah baru di Tanah Papua.

“Pada saat KRP II mantan Presiden Almarhum Gus Dur membantu panitia Rp 1 Miliar. Tapi untuk KRP III ini ada anggaran atau tidak. Ini harus dibicarakan baik baik bukan asal bicara,” katanya.

Selanjutnya, kata dia, KRP III perlu mendapatkan izin dari pemerintah serta melakukan koordinasi bersama pihak keamanan agar kegiatan ini berjalan terkoordinir dan aman. “Jangan sampai terjadi seperti di Timika yang merengut nyawa manusia,” ujarnya.

Terkait pernyataan Panitia KRP III bahwa pemerinta pusat telah menyetujui dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono direncanakan membuka KRP III, menurut Anggota Komisi A DPR Papua dr. Yohanes Sumarto, Panitia KRP III ketika bertemu Deputi I Kemenpolhukam dianggap telah mendapat persetujuan dari pemerintah pusat.

Padahal kenyataannya sesuai penjelasan dari Menkopolhukam Djoko Suyatno yang untuk klarifikasi kebenaran adanya kesediaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuka dan bertindak sebagai keynote speaker KRP III 16-19 Oktober 2011 di Jayapura sebagaimana rilis yang disampaikan Panitia KRP III Selpius Bobii ke pelbagai media massa di Jayapura mengklaim bahwa KRP telah mendapat respon dan dukungan dari pemerintah pusat melalui Deputi I Politik Dalam Negeri Kemenpolhukam KRP III sekaligus akan dibuka oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga bertindak sebagai keynote speaker. Bila berhalangan Presiden akan menugaskan seorang Menteri tak benar seperti apa yang mereka klaim itu.

Menteri mengatakan, tentang KRP III nggak ada perintah Presiden untuk Menteri membuka KRP III. Presiden juga tak menugaskan Menteri. “Mereka itu diterima saja. Nggak ada janji – janji dari Staf saya. Staf nggak bisa memutuskan gitu lho,” kata DJoko Suyatno. (mdc/don/l03)

Rakyat Papua Tidak Memperjuangkan Pemekaran Wilayah

Jubi — Komentar ketua panitia pemekaran provinsi Papua Tengah, Andreas Agalibek beberapa waktu lalu, yang mengatakan rakyat Papua menjadi korban karena memperjuangkan pemekaran provinsi Papua, sehingga pemerintah harus menjawab pengorbanan rakyat dengan memberikan provinsi Papua tengah itu dibantah oleh aktivis dan intelektual muda pengunungan tengah Papua, Dominikus Surabut.

[stickyleft]Akibatnya rakyat Papua Menjadi Korban, NKRI tertipu, atau kena tipu atau memang membiarkan tertipu asal pendudukannya di Tanah Papua paling tidak diperpanjang.
Perilaku tidak jujur kepada diri sendiri merupakan perbuatan manusia sampah, manusia bermental budak, manusia tidak berjatidiri, manusia yang tidak dipakai rakyat Papua, manusia sampah, yang dipungut NKRI dan dipakainya.[/stickyleft]Kepada tabloidjubi.com, melalui pesan singkat (25/08), Dominikus mengatakan pelangaran HAM yang terjadi terhadap orang Papua bukan karena memperjuangkan pemekaran. Dommy mengatakan rakyat Papua menjadi korban karena memperjuangkan agenda hak-hak rakyat Papua sebagai manusia. Rakyat Papua menjadi korban karena memperjuangkan kehidupan yang aman dan damai melalui dialog atau refrendum. Dommy meragukan bila pergorbanan itu akibat memperjuangkan pemekaran provinsi.

“Kekerasan akhir-akhir ini justru menolak pemekaran, minta dialog atau referendum. Dua agenda itu yang menjadi perjuangan rakyat Papua. Rakyat Papua tidak pernah memperjaungkan pemekaran. Perjuangan pemekaran itu hanyalah perjuangan kelompok elite politik yang gila dengan kedudukan dan kekayaan pribadi dan kelompoknya. Rakyat Papua tidak berkepentingan sama sekali dengan pemekaran.” tegas Dominikus.

Menurut Domi, pemekaran itu terjadi karena ada persaingan kepentingan antara elite politik tertentu dengan kaum pemodal domestik dan asing. Elite politik yang kalah bersaing lah yang memperjuangkan pemekaran agar bisa menjadi penguasa lagi. Perjuangan elite politik itu tidaklah sendiri. Di belakang pemekaran itu, menurut Dommy ada sejumlah pemodal yang berkepentingan di Papua. Pemodal yang berkepentingan itu mendorong pemekaran agar kemudian bisa masuk mengekplorasi alam Papua.

Aktivis muda yang berasal dari wilayah pengunungan ini menegaskan bahwa pemekaran tidak berasal dari niat murni Jakarta untuk membangun Papua. Pemekaran hanyalah bagian dari usaha menyukseskan kepentingan politik Jakarta di atas tanah Papua.
“Pemekaran tidak ada niat hukum tetapi semata-mata kepentingan politik Jakarta. Pemerintah memperlihatkan kepetingan melalui pemekaran-pemerkaran yang ada bertentangan dengan UU otonomi khusus.” kata Domi.

Domi menjelaskan, UU Otonomi khusus hanya mengamanatkan satu provinsi, kalaupun ada harus melalui persetujuan MRP. Namun semua ini tidak pernah jalan. Pemerintah malah mengandalkan keputusannya daripada amanat UU otonomi khusus. Menurut Dommy, sikap itulah yang menjadi masalah di Papua maupun Papua Barat. Masalah yang ada belum selesai, pemerintah mulai lagi mau mekarkan Papua tengah. Sikap ini yang akan membuat konflik Papua akan berkepanjangan. Lebih baik pemerintah berhenti lalu memikirkan solusi yang baik, ujar Dommy. (J/17)

THURSDAY, 25 AUGUST 2011 20:40 ADMINISTRATOR

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny