ULMWP Segera Bentuk Tim Khusus Tangani Krisis Kemanusiaan Nduga

Dari Markas Pusat Pertahanan (MPP) Tentara Revolusi West Papua (TRWP), Gen. WPRA Amunggut Tabi menyerukan kepada United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) ntuk tidak tinggal diam dan hanya memprotes kondisi keamanan dan krisis kemanusiaan di Ndugama dan sekitarnya, dan mendesak agar ULMWP membentuk Tim Khusus untuk menangani Krisis Kemanusiaan Ndugama.

Menurut seruan pesan singkat dinyatakan,

ULMWP tidak bisa tinggal diam. ULMWP tidak hanya sebatas mengutuk atau menyesali atau menyatakan pendapat terhadap kondisi rakyat bangsa Papua, tetapi harus bertindak lebih jauh, membentuk Tim Khusus, entah langsung dari Kantor Pusat di Vanuatu ataupun lewat Biro-Biro yang terkait seperti Biro HAM atau lainnya untuk segera menangani krisis kemanusiaan yang terjadi, dengan mengundang berbagai lembaga kemanusiaan dan wartawan sehingga krisis yang terjadi tidak berkepanjangan

Masih menurut Tabi,

Bangsa Papua dan organisasi perjuangan Papua Merdeka sebenarnya sudah harus tahu saat ini tetang apa yang harus dilakukan oleh masing-masing biro dan lembaga yang sudah lengkap dimiliki oleh bangsa Papua, diakui oleh MSG dan PIF dan sah menurut hukum internasional. Oleh karena itu ULMWP bukan lembaga yang hanya memberikan reaksi terhadap kondisi politik, hal-hal politik saja, tetapi juga mengurus semua aspek kehidupan bangsa Papua.

Dari situ baru bangsa Papua bisa merasakan pentingnya dan manfaat kehadiran ULMWP bagi bangsa Papua. Kalau tidak, apa gunanya? Hanya untuk menggugat Pepera 1969? Hanya untuk menuntut NKRI menyelenggarakan referendum? Tidak!

Menurut perintah yang diturunkan oleh Panglima Tertinggi Komando Revolusi Gen Mathias Wenda, Gen. Tabi menyerukan kepada semua pemimpiin politik Papua Merdeka untuk segera menyambut langkah-langkah militer yang dilakukan oleh para pejuang di Rimba New Guinea secara proaktif dan progressive sehingga perjuangan para gerilyawan tidak sia-sia dan supaya perjuangan para panglima tidak dicap sebagai aksi-aksi kriminal bersenjata tetapi sebagai gerilya perjuangan kemerdekaan West Papua.

Menurut Tabi perlu dibentuk Tim Khusus yang terdiri dari Masyarakat Melanesia dan masyarakat dunia, yang ada di Tanah Papua dan di luar Tanah Papua, melibatkan berbagai lembaga kemanusiaan untuk secara murni turun tangan membantu krisis kemanusiaan.

Lanjut Tabi,

Hal-hal ini wajar. Kita sedang berperang di zaman beradab, era demokrasi dan zaman peradaban modern. Oleh karena itu dampak perang perjuangan yang berakibat penderitaan rakyat sipil harus diakhiri oleh ULMWP, dengan pendekatan kemanusiaan yang tegas dan intervensi politik seingga terjadi dinamika politik yang jelas antara NKRI dan ULMWP.

Kita tidak boleh mau bertanding tetapi lari-lari terus di luar lapangan, sementara para penonton menjadi korban dari pihak lawan. Ini secara moral tidak dapat diterima.

Oleh karena itu, ULMWP perlu melakukan lobi besar-besaran, bukan untuk Papua Merdeka saja, tetapi kali ini secara khusus untuk menghentikan dan menangani krisis kemanusiaan di Nduga secara manusiawi dan beradab.

“Kita ini berperang di era Pascamodern, di abad ke-21, jadi kita harus sadar dan tidak boleh mengulangi kesalahan-kesalahan generasi lalu,” tambah Tabi.

Logika Sesat NKRI: LSM Asing Mendukung Papua Merdeka?

Sama dengan kedaulatan NKRI didukung oleh negara-negara asing, dengan pusat dukungan di London, Canberra, New York dan Wellington, NKRI juga mengembangkan logika sesat dengan mengatakan bahwa “pihak asing yang mendukung penjajahan NKRI di atas tanah dan bangsa Papua juga-lah yang mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua dengan memberikan dana kepada Organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan bangsa Papua.”

Itulah logika sesat yagn menyesatkan. Pertama-tama karene logika NKRI selalu dikembangkan dengan cara “mengkambing-hitamkan” pihak lain sebagai pemicu dan penopang apa saja yang terjadi di Indonesia. Dengarkan di TV, baca di media cetak, dan buktikan sendiri bahwa apapun yang terjadi di wilayah negara kolonial Indonesia, yang selalu disalahkan adalah pihak luar negeri.

Dengan selalu mengkambing-hitamkan pihak asing, terutama Amerika Serikat, NKRI membodohi dirinya sendiri, menyangkal relitas sesungguhnya di lapangan, yang dapat kita buktikan tiap hari lepas hari, bahwa sebenarnya pemicu dan penyubur semua persoalan di Indonesia, termasuk perjuangan Papua Merdeka ialah NKRi sendiri, ialah aparat TNI sendiri, ialah aparat Polisi kolonial Indonesia sendiri, ialah politisi Indonesia sendiri, ialah Presiden Indonesia sendiri.

Apa yang pernah dilakukan, baru saja dilakukan, sedang dilakukan dan akan dilakukan oleh negara bernama Indonesia lewat aparatnya-lah pemicu-nya, mereka-lah penyubur semua kegiatan perjuangan Papua Merdeka.

Contoh yang jelas, orang Papua tidak menganggap kehadiran Belanda sebagai penjaujah di Tanah Papua. Alasannya bukan karena Belanda bukan negara kolonial, tetapi karena apa yang dilakukan Belanda selama berada di Nederland Nieuw Guinea bukan perilaku penjajahan. Yang dilakukan NKRI justru bentuk nyata dari penjajahan.

Bangsa Papua jelas merasakan, tanpa harus belajar tentang definisi kolonialisme, dengan pengalaman sehari-hari, tanpa harus ada dukungan dan penjelasan dari LSM asing, bahwa keberadaan dan pendudukan NKRI di atas tanah dan bangsa Papua ialah bentuk penjajahan abad ke-21, yang harus dihapuskan sesuai dengan banyak Undang-Undang negara di seluruh dunia, termasuk pembukaan UUD 1945 dan pembukaan Undang-Undang Revolusi West Papua (akan segera terbit sebagai hadiah HUT NKRI ke-71).

Kalau dengan sendirinya bangsa Papua merasakan kehadiran dan pendudukan NKRI sebagai sebuah penjajahan di abad ke-21, maka jelas tidak perlu dukungan LSM asing, tidak perlu penjelasan siapapun, tidak perlu Canberra, London, New York, bangsa Papua bergerak sendiri, atas dana sendiri, atas inisiatif sendiri, atas kekuatan sendiri, memperjuangkan kemerdekaannya, untuk berdaulat di atas tanah leluhur kaum Melanesia, dari Sorong sampai Maroke.

Logika Sesat NKRI bahwa LSM asing yang mengobok-oboki, menginspirasi dan menopang Papua Merdeka ialah buktinya nyata NKRI, yang mayoritasnya ialah masyarakat ras Jawa, yang secara kodrat tidak pernah mengakui kesalahannya, mewarnai perilaku politik Indonesia, tidak mau mengakui kesalahannya, tetapi selalu dan setiap saat mencari kesalahan orang lain, mengkambing-hitamkan pihak lain sebagai pemicu dan pemacu, pemupuk dan penopang.

Sama dengan sejarah kejayaan bangsa Jawa, yang hancur karena tidak pernah mengkoreksi kesalahan di dalam dirinya sendiri, karena selalu menyalahkan orang lain, hancur berantakan, demikianlah NKRI akan hancur, karena kehancuran yang terjadi did alam NKRi itu sendiri.

Perjuangan kemerdekaan bangsa Papua di atas tanah leluhurnya bukan karena dipicu dan ditopang oleh pihak asing, tetapi dipicu dan dipacu oleh kenyataan bahwa NKRI sudah sedang hancur. Penjajahan di atas tanah Papua telah nyata dengan hilangnya nyawa orang Papua setiap hari, hancurnya lingkungan alam setiap hari, dan berkurangnya penduduk asli Papua di atas tanah leluhur, di samping kemiskinan, kemelaratan, pembonohan, penyesatan logika, pembiaran, pengisolasian, teror dan intimidasi yang terus-menerus mewarnai kehidupan orang Papua di atas tanah leluhurnya.

Apa yang terjadi di atas tanah Papua ialah bentuk perlawanan bangsa Papua, reaksi langsung terhadap perbuatan NKRI di atas tanah Papua, jadi kita tidak perlu menyalahkan orang asing, LSM asing, negara asing. Manusia yang logis, manusia yang berwawasan, manusia beradab ialah manusia yang tahu mengakui kesalahannya, bukan manusia yang mengembangkan logika sesat, yang pekerjaannya mencari kesalahan pihak lain, yang tidak pernah melihat ke dalam diri sendiri. Apakah orang Papua sama dengan orang NKRI, yang tiap hari mencari kesalahan terus, tanpa melihat kelemahan diri sendiri?

Ribuan Mahasiswa Papua Unjuk Rasa, Protes New York Agreement

TEMPO.CO, Jayapura – Sekitar seribu warga dan mahasiswa yang menamakan diri Komite Nasional Papua Barat (KNPB), menggelar unjuk rasa di ruas jalan utama Sentani-Abepura, Distrik Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, Senin pagi, 15 Agustus 2016.

Dari pemantauan di lapangan, tampak para pendemo itu datang dari berbagai tempat di Jayapura, seperti dari Kelurahan Waena dan Yabansai, Distrik Heram; dan dari Kelurahan Awiyo, Kota Baru; serta Waimohrock, Distrik Abepura.

Mereka datang menggunakan kendaraan roda dua dan empat, bahkan ada yang berjalan kaki. Sebagian meneriakkan yel-yel merdeka. Beberapa demonstran memegang spanduk atau pamflet bertuliskan, “West Papua”.

Pada puncak aksi, para pengunjuk rasa berkumpul di Lingkaran Abepura, sekitar 5-10 meter dari Markas Polsek Abepura yang bersebelahan dengan kantor Distrik Abepura.

Aparat kepolisian dari Polsek Abepura dan Polres Jayapura Kota dibantu Sabhara dan Brimobda Polda Papua mengatur kelancaran arus lalu lintas yang mulai terlihat macet.

“Demo ini perlu pengawalan aparat, takutnya terjadi hal-hal yang tidak diduga,” kata Jein, seorang warga Abepura pada kantor berita Antara.

Aksi unjuk rasa hari ini sudah direncanakan sepekan lalu. Aksi ini bertujuan untuk memperingati 54 Tahun New York Agreement. Perjanjian yang difasilitasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) itu dilakukan antara Indonesia dan Belanda tentang masa depan Papua.

Perjanjian inilah yang memberikan keleluasaan yang lebih besar kepada Indonesia untuk mengontrol Papua Barat (sekarang Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat—) setelah masa transisi singkat di bawah PBB lewat United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) West Guinea.

Bazoka Logo, juru bicara KNPB, menegaskan bahwa New York Agreement adalah akar persoalan politik di Papua, yang juga menjadi salah satu landasan perjuangan pergerakan Papua Merdeka.

“Akar persoalan di Papua itu bukan pembangunan, juga bukan persoalan kesejahteraan dan kemiskinan, tetapi Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang dilakukan tanpa menempatkan orang Papua sebagai subyek,” katanya.

Bazoka menuding Indonesia, Belanda, Amerika Serikat, serta PBB ketika itu, membahas nasib dan masa depan orang Papua tanpa melibatkan mereka.

ANTARA | TABLOID JUBI

Perayaan Kemerdekaan Indonesia Di Papua Pembohongan Publik

Oleh: Ones Suhuniap

Tabloid-WANI — Sejarah telah membuktikan bahwa, orang Papua barat tidak perna ikut terlibat dalam perjuangan kemerdekan indonesia selama 350 tahun. Perjalanan perjuagan indonesia tidak pernah orang Papua ikut terlibat dalam Sumpa pemuda, dalam organisasi perjuagan sampai dengan proklamasi 17 Agustus 1945. Sekalipun bangsa Papua dan Indonesia dijaah oleh satu penjaja yang sama yaitu belanda tetapi pengelolaan administrasi dikelola berbeda.

Hubungan Sejarah Indonesia dan Papua Barat Tidak dapat dipungkiri bahwa pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia sebagai bagian dari wilayah negaranya didasarkan atas alasan sejarah. Sementara aksi pencaplokan itu sendiri kini telah menjadi sejarah yang harus dipelajari dan dipahami untuk dapat memetakan persoalan secara obyektif, yang kemudian dilanjutkan dengan aksi pencarian solusi yang terbaik bagi penyelesaian status politik wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Indonesia. Dalam rangka untuk menggali hubungan sejarah antara Indonesia dan Papua Barat, maka beberapa hal perlu dikemukakan.

  • Pertama, sejarah hidup Indonesia dan Papua Barat.
  • Kedua, sejarah perjuangan Indonesia dan Papua Barat dalam mengusir penjajah.
  • Ketiga, alasan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia.
  • Keempat, sejarah kemerdekaan Papua Barat.
  • Kelima, proses Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969. Keenam, sejarah dalam kekuasaan Orde Baru dan terakhir masa kebangkitan Papua Barat Kedua (Era Reformasi Indonesia).

 

1. Sejarah Hidup Indonesia dan Papua Barat

Dalam sejarah hidup, rakyat Papua Barat telah menunjukkan bahwa mereka mampu untuk mengatur hidupnya sendiri. Hal itu terlihat dari kepemimpinan setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000 tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders).

Untuk beberapa daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, sebagai contoh: seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbay. Selain kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri (tidak dipengaruhi oleh pihak asing), juga sangat nyata di depan mata bahwa antara Papua Barat dan Indonesia mempunyai perbedaan yang sangat jauh.

Bangsa Papua adalah ras Negroid sedangkan bangsa Indonesia pada umumnya adalah ras Mongoloid. Dengan perbedaan ras ini menimbulkan perbedaan yang lainnya, entah perbedaan fisik maupun mental, dan kedua bangsa ini sama sekali tidak pernah mempunyai hubungan apapun dalam sejarah kehidupan di masa silam. Masing-masing hidup sebagai bangsanya sendiri dengan karakteristiknya yang berlainan pula. Sehingga tindakan pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia ini dianggap tindakan menjajah. Hal itu pernah diungkapkan oleh Wakil Ketua Presidium Dewan Papua, Tom Beanal, bahwa:

Pertama, dalam kehidupan sehariannya, moyang kami tidak pernah melihat asap api kebun Indonesia apabila mereka berkebun. Moyang kami tidak pernah bercerita kepada kami bahwa kami punya dendam perang dengan keturunan Soekarno dan soeharto dan moyang bangsa Indonesia. Kami bangsa Papua tahu dan sadar akan diri kami bahwa kami berbeda dengan bangsa Indonesia.

Kedua, Bangsa Papua termasuk ras Negroid mendiami kepulauan Melanesia di Pasifik selatan, karena bangsa Papua berbeda dengan bangsa Indonesia lainnya yang umumnya masuk ras Mongoloid dan Austronosoid yang mendiami kepulauan Melayu dan kepulauan Austronesia.” Dari gambaran di atas, sangatlah jelas, bahwa antara Indonesia dan Papua Barat sama sekali tidak mempunyai hubungan sejarah hidup yang sama yang bisa menyatukan kedua bangsa dalam satu negara yang bernama Indonesia. Alasan bahwa Indonesia dan Papua Barat mempunyai sejarah hidup yang sama sebagai sebuah bangsa pada masa sejarah sema sekali tidak obyektif, sebaliknya menjadi alasan politis untuk mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Hal semacam ini sering dibangun di Indonesia untuk membangun nasionalisme Indonesia bagi orang Papua (meng-Indonesia-kan orang Papua).

 

2. Hubungan Sejarah Perjuangan Indonesia dan Papua Barat

Indonesia (Sabang sampai Amboina) dijajah oleh Belanda selama 350 tahun, sedangkan Papua Barat (Nederland Nieuw-Guinea) dijajah oleh Belanda selama 64 tahun. Walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina.

Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke. Tahun 1908 Indonesia masuk dalam tahap Kebangkitan Nasional (perjuangan otak) yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi perjuangan. Dalam babak perjuangan baru ini banyak organisasi politik-ekonomi yang berdiri di Indonesia, misalnya Boedi Utomo (20 Mei 1908), Serikat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1913),

Perhimpunan Indonesia (1908), Studie Club (1924) dan lainnya. Dalam babakan perjuangan ini, terutama dalam berdirinya organisasi-organisasi perjuangan ini, rakyat Papua Barat sama sekali tidak terlibat atau dilibatkan. Hal ini dikarenakan musuh yang dihadapi waktu itu, yaitu Belanda adalah musuh bangsa Indonesia sendiri, bukan musuh bersama dengan bangsa Papua Barat. Rakyat Papua Barat berasumsi bahwa mereka sama sekali tidak mempunyai musuh yang bersama dengan rakyat Indonesia, karena Belanda adalah musuhnya masing-masing. Rakyat Papua Barat juga tidak mengambil bagian dalam Sumpah Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928. Dalam Sumpah Pemuda ini banyak pemuda di seluruh Indonesia seperti Jong Sumatra Bond, Jong Java, Jong Celebes, Jong Amboina, dan lainnya hadir untuk menyatakan kebulatan tekad sebagai satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air. Tetapi tidak pernah satu pemuda pub dari Papua Barat yang hadir dalam Sumpah Pemuda tersebut. Karena itu, rakyat Papua Barat tidak pernah mengakui satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air yang namanya “Indonesia” itu.

Dalam perjuangan mendekati saat-saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, tidak ada orang Papua Barat yang terlibat atau menyatakan sikap untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tentang tidak ada sangkut-pautnya Papua Barat dalam kemerdekaan Indonesia dinyatakan oleh Mohammad Hatta dalam pertemuan antara wakil-wakil Indonesia dan penguasa perang Jepang di Saigon Vietnam, tanggal 12Agustus 1945. Saat itu Mohammad Hatta menegaskan bahwa “…bangsa Papua adalah ras Negroid, bangsa Melanesia, maka biarlah bangsa Papua menentukan nasibnya sendiri…”.

Sementara Soekarno mengemukakan bahwa bangsa Papua masih primitif sehingga tidak perlu dikaitkan dengan kemerdekaan bangsa Indonesia. Hal yang sama pernah dikemukakan Hatta dalam salah satu persidangan BPUPKI bulan Juli 1945. Ketika Indonesia diproklamasikan, daerah Indonesia yang masuk dalam proklamasi tersebut adalah Indonesia yang masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda, yaitu “Dari Sabang Sampai Amboina”, tidak termasuk kekuasaan Nederland Nieuw-Guinea (Papua Barat).

Karena itu pernyataan berdirinya Negara Indonesia adalah Negara Indonesia yang batas kekuasaan wilayahnya dari Sabang sampai Amboina tanpa Papua Barat.

Tanggal 19 Agustus 1945 (dua hari setelah kemerdekaan Indonesia) Indonesia dibagi dalam delapan buah Propinsi. Salah satu Propinsinya adalah Maluku. Banyak kalangan berasumsi bahwa wilayah Papua Barat masuk dalam wilayah Propinsi Maluku. Padahal secara nyata penguasaan wilayah Papua Barat dalam kekuasaan Propinsi Maluku itu dipikirkan dan direalisasikan sejak pembentukan sebuah Biro Irian pada tanggal 14 Desember 1953 yang bertugas mengadakan penelitian mengenai daerah Indonesia yang bisa dijadikan sebagai jembatan untuk merebut Irian Barat dari tangan Belanda.

Dari hasil penelitian itu, ternyata pilihan jatuh pada wilayah Maluku Utara. Maka dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 1956 tentang pembentukan Propinsi Irian Barat, Soasiu ditetapkan sebagai ibukota Propinsi Irian Barat dengan Gubernur Zainal Abidin Syah (Sultan Tidore) yang dikukuhkan pada 17 Agustus 1956 bersamaan dengan Peresmian Propinsi Irian Barat Perjuangan. Setelah peresmian Propinsi Irian Barat perjuangan, Papua Barat tetap menjadi daerah sengketa antara Indonesia dan Belanda.

Beberapa persitiwa politik dalam memperebutkan Papua Barat oleh kedua bela pihak adalah:

a). Sebelum penandatangan Perjanjian Lingggarjati pemerintah Belanda pernah menyatakan agar Papua Barat dapat menerima status sendiri terhadap Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat menurut jiwa pasal 3 dan 4 Perjanjian tersebut. Jadi di sini Belanda mengadakan pengecualian bagi Papua Barat agar kedudukan hukum wilayah tersebut tidak ditentukan oleh Perjanjian Linggarjati.

b). Dalam Konferensi Meja Bundar yang dilaksanakan di Den Haag Belanda tanggal 23 Agustus-2 November 1945 disepakati bahwa mengenai status quo wilayah Nieuw Guinea tetap berlaku seraya ditentukan bahwa dalam waktu setahun sesudah tanggal penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, masalah kedudukan-kenegaraan Papua Barat akan diselesaikan dengan jalan perundingan antara Republik Indonesia Serikat dan Kerajaan Belanda. Tetapi dalam kesempatan yang sama pula status Papua Barat (Nederland Niew Guinea) secara eksplesit dinyatakan oleh Mohammad Hatta, Ketua Delegasi Indonesia, bahwa “…masalah Irian Barat tidak perlu dipersoalkan karena bangsa Papua berhak menjadi bangsa yang merdeka.”

c). Dalam konferensi para menteri antara Belanda dan Indonesia yang dilaksanakan di Jakarta pada tanggal 25 Maret-1 April dibentuk sebuah panitia gabungan dengan surat Keputusan Para Menteri Uni Indonesia-Nederland No. MCI/C II/1/G.T. Berdasarkan keputusan tersebut, masing-masing pihak mengangkat tiga orang anggota sebelum tanggal 15 April 1950 dengan tugas untuk menyelidiki status Papua Barat secara ilmiah untuk menentukan apakah layak masuk dalam kekuasaan Indonesia atau Nederland. Akhirnya, berdasarkan hasil penyedikan masing-masing pihak tidak ada pihak yang mengalah, sehingga wilayah Papua Barat masih dipertahankan oleh Belanda. Selanjutnya disepakati bahwa penyelesaikan masalah Papua Barat akan diselesaikan kemudian oleh United Nations Commission for Indonesia tanpa batas waktu yang ditentukan.

d). Karena dirasa wilayah Papua Barat dikuasai oleh Belanda, maka sejak tahun 1953 pihak Indonesia membawa masalah Papua Barat ke forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Konferensi Asia Afrika. Setelah semua perjuangan masing-masing pihak mengalami jalan buntu, maka selanjutnya wilayah Papua Barat menjadi daerah sengketa yang diperebutkan oleh Belanda dan Indonesia. Indonesia dan Belanda sama-sama mempunyai ambisi politik yang besar dalam merebut Papua Barat.

 

3. Sejarah Manivesto Politik Papua Barat

Ketika Papua Barat masih menjadi daerah sengketa akibat perebutan wilayah itu antara Indonesia dan Belanda, tuntutan rakyat Papua Barat untuk merdeka sebagai negara merdeka sudah ada jauh sebelum kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Memasuki tahun 1960-an para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik lewat sekolah Polisi dan sebuah sekolah Pamongpraja (Bestuurschool) di Jayapura (Hollandia), dengan mendidik 400 orang antara tahun 1944-1949 mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat.

Selanjutnya atas desakan para politisi dan negarawan Papua Barat yang terdidik, maka pemerintah Belanda membentuk Nieuw Guinea Raad (Dewan Nieuw Guinea).

Beberapa tokoh-tokoh terdidik yang masuk dalam Dewan ini adalah M.W. Kaisiepo dan Mofu (Kepulauan Chouten/Teluk Cenderawasih), Nicolaus Youwe (Hollandia), P. Torey (Ransiki/Manokwari), A.K. Gebze (Merauke), M.B. Ramandey (Waropen), A.S. Onim (Teminabuan), N. Tanggahma (Fakfak), F. Poana (Mimika), Abdullah Arfan (Raja Ampat). Kemudian wakil-wakil dari keturunan Indo-Belanda adalah O de Rijke (mewakili Hollandia) dan H.F.W. Gosewisch (mewakili Manokwari). Setelah melakukan berbagai persiapan disertai dengan perubahan politik yang cepat akibat ketegangan Indonesia dan Belanda, maka dibentuk Komite Nasional yang beranggotakan 21 orang untuk membantu Dewan Nieuw Guinea dalam mempersiapkan kemerdekaan Papua Barat. Komite ini akhirnya dilengkapi dengan 70 orang Papua yang berpendidikan dan berhasil melahirkan Manifesto Politik yang isinya:

MANIFESTO POLITIK PAPUA BARAT

  • Menetukan nama Negara : Papua Barat.
  • Menentukan lagu kebangsaan : Hai Tanahku Papua.
  • Menentukan bendera Negara : Bintang Kejora.
  • Lambang Negara Papua Barat adalah Burung Mambruk
  • Semboyan “One People One Soul”.

Rencana pengibaran bendera Bintang Kejora tanggal 1 November 1961 tidak jadi dilaksanakan karena belum mendapat persetujuan dari Pemerintah Belanda. Tetapi setelah persetujuan dari Komite Nasional, maka Bendera Bintang Kejora dikibarkan pada 1 Desember 1961 di Hollandia, sekaligus “Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat”. Bendera Bintang Kejora dikibarkan di samping bendera Belanda, dan lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dinyanyikan setelah lagu kebangsaan Belanda “Wilhelmus”. Deklarasi kemerdekaan Papua Barat ini disiarkan oleh Radio Belanda dan Australia. Momen inilah yang menjadi Deklarasi Kemerdekaan Papua Barat secara de facto dan de jure sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat.

 

4. Alasan Pencaplokan Papua Barat oleh Indonesia

Walaupun Papua Barat telah mendeklarasikan diri sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tetapi kemerdekaan itu hanya berumur 19 hari, karena tanggal 19 Desember 1961 Presiden Soekarno mengeluarkan Tri Komando Rakyat di Alun-alun Utara Yogyakarta yang isinya:

  • Gagalkan Pembentukan “Negara Boneka Papua” buatan Belanda Kolonial.
  • Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia.
  • Bersiaplah untuk mobilisasi umum guna mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa.

Realisasi dari isi Trikora ini, maka Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1 Tahun 1962 yang memerintahkan kepada Panglima Komando Mandala, Mayor Jendral Soeharto untuk melakukan operasi militer ke wilayah Irian Barat untuk merebut wilayah itu dari tangan Belanda. Akhirnya dilakukan beberapa gelombang Operasi Militer di Papua Barat dengan satuan militer yang diturunkan untuk operasi lewat udara dalam fase infiltrasi seperti Operasi Banten Kedaton, Operasi Garuda, Operasi Serigala, Operasi Kancil, Operasi Naga, Operasi Rajawali, Operasi Lumbung, Operasi Jatayu.

Operasi lewat laut adalah Operasi Show of Rorce, Operasi Cakra, dan Operasi Lumba-lumba. Sedangkan pada fase eksploitasi dilakukan Operasi Jayawijaya dan Operasi Khusus (Opsus). Melalui operasi ini wilayah Papua Barat diduduki, dan dicurigai banyak orang Papua yang telah dibantai pada waktu itu.

Mengapa Soekarno sangat “keras kepala” dalam merebut wilayah Papua Barat untuk memasukannya ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia? Soekarno mempunyai empat alasan utama dalam pencaplokan Papua Barat ke wilayah Indonesia. Keempat alasan itu adalah klaim yang dipegang oleh Indonesia sebagai tindakan pembenaran kekuasaan atas wilayah Papua Barat. Keempat klaim itu adalah:

  1. Papua Barat dianggap sebagai bagian dari kerajaan Majapahit.
  2. Kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung,
  3. Papua Barat, oleh sultan Tidore dan Soekarno diklaim sebagai bagian dari Kesultanan Tidore. Kesultanan Tidore diklaim oleh Soekarno sebagai bagian dari daerah “Indonesia Bagian Timur”. Papua Barat diklaim sebagai bagian dari negara bekas Hindia Belanda.
  4. Soekarno yang anti barat ingin menghalau pengaruh imperialisme barat di Asia Tenggara.

Di samping itu, Soekarno memiliki ambisi hegemoni untuk mengembalikan kejayaan kerajaan Majapahit (ingat: “Ganyang Malaysia”), termasuk Papua Barat yang ketika itu masih dijajah oleh Belanda.

Mungkin juga Soekarno memiliki perasaan curiga, bahwa pemerintah Nederlands Nieuw Guinea di Papua Barat akan merupakan benteng Belanda untuk sewaktu-waktu dapat menghancurkan Negara Indonesia. Hal ini dihubungkan dengan aksi militer Belanda yang kedua (tweede politionele aktie) pada 19-12-1948 untuk menghancurkan negara RI.

 

Indonesia Menklaim Wilayah Papua Barat

1. Klaim atas Kekuasaan Majapahit Kerajaan Majapahit (1293-1520) lahir di Jawa Timur dan memperoleh kejayaannya di bawah raja Hayam Wuruk Rajasanagara (1350-1389)

Ensiklopedi-ensiklopedi di negeri Belanda memuat ringkasan sejarah Majapahit, bahwa “batas kerajaan Majapahit pada jaman Gajah Mada mencakup sebagian besar daerah Indonesia”. Sejarawan Indonesia mengklaim bahwa batas wilayah Majapahit terbentang dari Madagaskar hingga ke pulau Pas (Chili).

Hingga saat ini belum ditemukan bukti-bukti sejarah berupa ceritera tertulis maupun lisan atau benda-benda sejarah lainnya yang dapat digunakan sebagai bahan-bahan ilmiah untuk membuat suatu analisa dengan definisi yang tepat bahwa Papua Barat pernah merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Mengklaim Papua Barat sebagai bagian dari kerajaan Majapahit tentunya sangat meragukan, karena Soekarno tidak memenuhi prinsip-prinsip membuat analisa dan definisi sejarah yang tepat, khususnya sejarah tertulis. Berkaitan dengan kekuasaan wilayah kerajaan Majapahit di Indonesia, secara jelas dijelaskan panjang lebar oleh Prof. Dr. Slamet Muljana, bahwa kekuasaan kerajaan Majapahit, dalam Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 disebutkan bahwa kerajaan Majapahit mempunyai wilayah yang luas sekali, baik di kepulauan Nusantara maupun di semenanjung Melayu.

Pulau-pulau di sebelah timur pulau Jawa yang paling jauh tersebut dalam pupuh 14/15 ialah deretan pulau Ambon dan Maluku, Seram dan Timor; semenajung Melayu disebut nama-nama Langkasuka, Kelantan, Tringgano, Paka, Muara Dingin, Tumasik, Klang, Kedah, Jerai. Demikianlah, wilayah kerajaan Majapahit pada zaman Hayam Wuruk menurut Nagarakretagama meluputi wilayah yang lebih luas dari pada Negara Republik Indonesia sekarang. Hanya Irian yang tidak tersebut sebagai batas yang terjauh di sebelah timur. Boleh dikatakan bahwa batas sebelah timur kerajaan Majapahit ialah kepulauan Maluku. Ini berarti Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan kerajaan Majapahit. Karena itu sudah jelas bahwa Soekarno telah memanipulasikan sejarah.

 

2. Klaim atas Kekuasaan Tidore Di dalam suatu pernyataan yang di lakukan antara sultan Tidore dengan VOC pada tahun 1660, secara sepihak sultan Tidore mengklaim bahwa kepulauan Papua atau pulau-pulau yang termasuk di dalamnya merupakan daerah kesultanan Tidore

Soekarno mengklaim bahwa kesultanan Tidore merupakan “Indonesia Bagian Timur”, maka Papua Barat merupakan bagian daripadanya. Di samping itu, Soekarno mengklaim bahwa raja-raja di kepulauan Raja Ampat di daerah kepala burung, Papua Barat, pernah mengadakan hubungan dengan sultan Tidore. Apakah kedua klaim dari sultan Tidore dan Soekarno dapat dibuktikan secara ilmiah?

Gubernur kepulauan Banda, Keyts melaporkan pada tahun 1678 bahwa dia tidak menemukan bukti adanya kekuasaan Tidore di Papua Barat.Pada tahun 1679 Keyts menulis lagi bahwa sultan Tidore tidak perlu dihiraukan di dalam hal Papua Barat. Menurut laporan dari kapten Thomas Forrest (1775) dan dari Gubernur Ternate (1778) terbukti bahwa kekuasaan sultan Tidore di Papua Barat betul-betul tidak kelihatan.

Pada tanggal 27 Oktober 1814 dibuat sebuah kontrak antara sultan Ternate dan Tidore yang disaksikan oleh residen Inggris, bahwa seluruh kepulauan Papua Barat dan distrik-distrik Mansary, Karandefur, Ambarpura dan Umbarpon pada pesisir Papua Barat (daerah sekitar Kepala Burung) akan dipertimbangkan kemudian sebagai milik sah sultan Tidore. Kontrak ini dibuat di luar ketahuan dan keinginan rakyat Papua Barat. Berbagai penulis melaporkan, bahwa yang diklaim oleh sultan Tidore dengan nama Papua adalah pulau Misol. Bukan daratan Papua seluruhnya. Ketika sultan Tidore mengadakan perjalanan keliling ke Papua Barat pada bulan Maret 1949, rakyat Papua Barat tidak menunjukkan keinginan mereka untuk menjadi bagian dari kesultanan Tidore. Adanya raja-raja di Papua Barat bagian barat, sama sekali tidak dapat dibuktikan dengan teori yang benar. Lahirnya sebutan ‘Raja Ampat’ berasal dari mitos. Raja Ampat berasal dari telur burung Maleo (ayam hutan). Dari telur-telur itu lahirlah anak-anak manusia yang kemudian menjadi raja.

Mitos ini memberikan bukti, bahwa tidak pernah terdapat raja-raja di kepulauan Raja Ampat menurut kenyataan yang sebenarnya. Rakyat Papua Barat pernah mengenal seorang pemimpin armada laut asal Biak: Kurabesi, yang menurut F.C. Kamma, pernah mengadakan penjelajahan sampai ke ujung barat Papua Barat. Kurabesi kemudian kawin dengan putri sultan Tidore. Adanya armada Kurabesi dapat memberikan kesangsian terhadap kehadiran kekuasaan asing di Papua Barat.

Pada tahun 1848 dilakukan suatu kontrak rahasia antara Pemerintah Hindia Belanda (Indonesia jaman Belanda) dengan Sultan Tidore di mana pesisir barat-laut dan barat-daya Papua Barat merupakan daerah teritorial kesultanan Tidore. Hal ini dilakukan dengan harapan untuk mencegah digunakannya Papua Barat sebagai papan-loncat penetrasi Inggris ke kepulauan Maluku. Di dalam hal ini Tidore sesungguhnya hanya merupakan vassal proportion (hubungan antara seorang yang menduduki tanah dengan janji memberikan pelayanan militer kepada tuan tanah) terhadap kedaulatan kekuasaan Belanda, tulis C.S.I.J. Lagerberg. Sultan Tidore diberikan mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda tahun 1861 untuk mengurus perjalanan hongi (hongi-tochten, di dalam bahasa Belanda). Ketika itu banyak pelaut asal Biak yang berhongi (berlayar) sampai ke Tidore. Menurut C.S.I.J.

Lagerberg hongi asal Biak merupakan pembajakan laut, tapi menurut bekas-bekas pelaut Biak, hongi ketika itu merupakan usaha menghalau penjelajah asing. Pengejaran terhadap penjelajah asing itu dilakukan hingga ke Tidore. Untuk menghadapi para penghalau dari Biak, sultan Tidore diberi mandat oleh Pemerintah Hindia Belanda. Jadi, justru yang terjadi ketika itu bukan suatu kekuasaan pemerintahan atas teritorial Papua Barat. Setelah pada tahun 1880-an Jerman dan Inggris secara nyata menjajah Papua New Guinea, maka Belanda juga secara nyata memulai penjajahannya di Papua Barat pada tahun 1898 dengan membentuk dua bagian tertentu di dalam pemerintahan otonomi (zelfbestuursgebied) Tidore, yaitu bagian utara dengan ibukota Manokwari dan bagian selatan dengan ibukota Fakfak.

Jadi, ketika itu daerah pemerintahan Manokwari dan Fakfak berada di bawah keresidenan Tidore. Mengenai manipulasi sejarah berdasarkan kekuasaan Tidore atas wilayah Papua Barat ini, Dr. George Junus Aditjondro menyatakan bahwa: Kita mempertahankan Papua Barat karena Papua Barat adalah bagian dari Hindia Belanda. Itu atas dasar apa? Hanya karena kesultanan Tidore mengklaim bahwa dia menjajah Papua Barat sampai teluk Yotefa mungkin? Maka kemudian, ketika Tidore ditaklukan oleh Belanda, Belanda belum merasa otomatis mendapatkan hak atas penjajahan Tidore? Belanda mundur, Indonesia punya hak atas semua eks-jajahan Tidore? Itu kan suatu mitos. Sejak kapan berbagai daerah di Papua barat takluk kepada Tidore?… Saya kira tidak. Yang ada adalah hubungan vertikal antara Tidore dan Papua Barat, tidak ada kekuasaan Tidore untuk menaklukan Papua Barat.

Atas dasar itu, klaim bahwa Indonesia berhak atas seluruh Hindia Belanda dulu, merupakan imajinasi.” Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Tidore. 3. Klaim atas kekuasaan Hindia Belanda Secara historis penjajahan, Papua Barat sesungguhnya bukan bagian dari Wilayah Republik Indonesia, karena Papua Barat bukan bagian dari Hindia Belanda Pada tanggal 24 agustus 1828 di Lobo, Teluk Triton Kaimana (pantai selatan Papua Barat) diproklamasikan penguasaan Papua Barat oleh Sri Baginda Raja Nederland. Sedangkan di Bogor, 19 Februari 1936 dalam Lembaran Negara Hindia Belanda disepakati tentang pembagian daerah teritorial Hindia Belanda, yaitu sabang sampai Amboina tidak termasuk Papua Barat (Nederland Neiw Guinea).

Juga perlu diingat bahwa walaupun Papua Barat dan Indonesia sama-sama merupakan jajahan Belanda, namun administrasi pemerintahan Papua Barat diurus secara terpisah. Indonesia dijajah oleh Belanda yang kekuasaan kolonialnya dikendalikan dari Batavia (sekarang Jakarta), kekuasaan Batavia inilah yang telah menjalankan penjajahan Belanda atas Indonesia, yaitu mulai dari Sabang sampai Amboina (Hindia Belanda). Kekuasaan Belanda di Papua Barat dikendalikan dari Hollandia (sekarang Port Numbay), dengan batas kekuasaan mulai dari Kepulauan Raja Ampat sampai Merauke (Nederland Nieuw Guinea).

Selain itu saat tertanam dan tercabutnya kaki penjajahan Belanda di Papua Barat tidak bertepatan waktu dengan yang terjadi di Indonesia. Kurun waktunya berbeda, di mana Indonesia dijajah selama tiga setengah abad sedangkan Papua Barat hanya 64 tahun (1898-1962).

Tanggal 24 Agustus 1828, ratu Belanda mengeluarkan pernyataan unilateral bahwa Papua Barat merupakan daerah kekuasaan Belanda. Secara politik praktis, Belanda memulai penjajahannya pada tahun 1898 dengan menanamkan pos pemerintahan pertama di Manokwari (untuk daerah barat Papua Barat) dan di Fakfak (untuk daerah selatan Papua Barat. Tahun 1902, pos pemerintahan lainnya dibuka di Merauke di mana daerah tersebut terlepas dari lingkungan teritorial Fakfak. Tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Papua Barat ke dalam PBB. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Soekarno telah terbukti memanipulasikan sejarah untuk mencaplok Papua Barat. Karena wilayah Papua Barat tidak masuk dalam kekuasaan Hindia Belanda.

 

4. Menghalau Pengaruh Imperialisme Barat di Asia Tenggara

Soekarno mengancam akan memohon dukungan dari pemerintah bekas Uni Sovyet untuk menganeksasi Papua Barat jika pemerintah Belanda tidak bersedia menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada waktu itu sangat takut akan jatuhnya negara Indonesia ke dalam Blok komunis. Soekarno dikenal oleh dunia barat sebagai seorang Presiden yang sangat anti imperialisme barat dan pro Blok Timur. Pemerintah Amerika Serikat ingin mencegah kemungkinan terjadinya perang fisik antara Belanda dan Indonesia. Maka Amerika Serikat memaksa pemerintah Belanda untuk menyerahkan Papua Barat ke tangan Republik Indonesia. Di samping menekan pemerintah Belanda, pemerintah AS berusaha mendekati presiden Soekarno. Soekarno diundang untuk berkunjung ke Washington (Amerika Serikat) pada tahun 1961.

Perjanjian New York Agreement. Tahun 1962 utusan pribadi Presiden John Kennedy yaitu Jaksa Agung Robert Kennedy mengadakan kunjungan balasan ke Indonesia untuk membuktikan keinginan Amerika Serikat tentang dukungan kepada Soekarno di dalam usaha menganeksasi Papua Barat. Untuk mengelabui mata dunia, maka proses pengambil-alihan kekuasaan di Papua Barat dilakukan melalui jalur hukum internasional secara sah dengan dimasukkannya masalah Papua Barat ke dalam agenda Majelis Umum PBB pada tahun 1962. Dari dalam Majelis Umum PBB dibuatlah Perjanjian New York 15 Agustus 1962 yang mengandung “Act of Free Choice” (Pernyataan Bebas Memilih). Act of Free Choice kemudian diterjemahkan oleh pemerintah Republik Indonesia sebagai PEPERA (Pernyataan Pendapat Rakyat) yang dilaksanakan pada tahun 1969.

 

5. Proses Ilegal Pentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969

Penandatanganan New York Agreement (Perjanjian New York) antara Indonesia dan Belanda yang disaksikan oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa, U Thant dan Duta Besar Amerika Serikat untuk PBB, Ellsworht Bunker pada tanggal 15 Agustus 1962.

Beberapa hal pokok dalam perjanjian serta penyimpangannya (kejanggalan) adalah sebagai berikut:

  1. New York Agreement (Perjanjin New York) adalah suatu kesepakatan yang tidak sah, baik secara yuridis maupun moral. Perjanjanjian New York itu membicarakan status tanah dan nasib bangsa Papua Barat, namun di dalam prosesnya tidak pernah melibatkan wakil-wakil resmi bangsa Papua Barat.
  2. Sejak 1 Mei 1963, bertepatan dengan Unites Nations Temporrary Executive Administratins (UNTEA) atau Pemerintahan Sementara PBB di Papua Barat menyerakan kekuasaanya kepada Indonesia, selanjutnya pemerintah Indonesia mulai menempatkan pasukan militernya dalam jumlah besar di seluruh tanah Papua, akibatnya hak-hak politik dan hak asasi manusia dilanggar secara brutal di luar batas-batas kemanusiaan.
  3. Pasal XVIII ayat (d) New York Agreement mengatur bahwa “The eligibility of all adults, male and female, not foreign nationals to participate in the act of self determination to be carried out in accordance whit international practice…”. Aturan ini berarti penentuan nasib sendiri harus dilakukan oleh setiap orang dewasa Papua pria dan wanita yang merupakan penduduk Papua pada saat penandatanganan New York Agreement. Namun hal ini tidak dilaksanakan. Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) 1969 dilaksanakan dengan cara lokal Indonesia, yaitu musyawarah oleh 1025 orang dari total 600.000 orang dewasa laki-laki dan perempuan. Sedangkan dari 1025 orang yang dipilih untuk memilih, hanya 175 orang saja yang menyampaikan atau membaca teks yang telah disiapkan oleh pemerintah Indonesia. Selain itu masyarakat Papua Barat yang ada di luar negeri, yang pada saat penandatangan New York Agreement tidak diberi kesempatan untuk terlibat dalam penentuan nasib sendiri itu. Peserta Musyawara PEPERA 1969
  4. Teror, intimidasi dan pembunuhan dilakukan oleh militer sebelum dan sesaat PEPERA 1969 untuk memenangkan PEPERA 1969 secara sepihak oleh pemerintah dan militer Indonesia. Buktinya adalah Surat Rahasia Komandan Korem 172, Kolonel Blego Soemarto, No.: r-24/1969, yang ditujukan kepada Bupati Merauke selaku anggota Muspida kabupaten Merauke, isi surat tersebut: “Apabila pada masa poling tersebut diperlukan adanya penggantian anggota Demus (dewan musyawarah), penggantiannya dilakukan jauh sebelum MUSAYAWARAH PEPERA. Apabila alasan-alasan secara wajar untuk penggantian itu tidak diperoleh, sedang dilain pihak dianggap mutlak bahwa anggota itu perlu diganti karena akan membahayakan kemenangan PEPERA, harus berani mengambil cara yang ‘tidak wajar’ untuk menyingkirkan anggota yang bersangkutan dari persidangan PEPERA sebelum dimulainya sidang DEMUS PEPERA. …Sebagai kesimpulan dari surat saya ini adalah bahwa PEPERA secara mutlak harus kita menangkan, baik secara wajar atau secara ‘tidak’ wajar.” Mengingat bahwa wilayah kerja komandan Korem 172 termasuk pula kabupaten-kabupaten lain di luar kabupaten Merauke, maka patut diduga keras surat rahasia yang isinya kurang lebih sama juga dikirimkan ke bupati-bupati yang lain.

Pada tahun 1967 Freeport-McMoRan (sebuah perusahaan Amerika Serikat) menandatangani Kontrak Kerja dengan pemerintah Indonesia untuk membuka pertambangan tembaga dan emas di Pegunungan Bintang, Papua Barat. Freeport memulai operasinya pada tahun 1971. Kontrak Kerja kedua ditandatangani pada tanggal 30 Desember 1991.

Kepentingan Amerika Serikat di Papua Barat, yang ditandai dengan adanya penandatanganan Kontrak Kerja antara Freeport dengan pemerintah Republik Indonesia, menjadi realitas. Ini terjadi dua tahun sebelum PEPERA 1969 dilaksanakan di Papua Barat. Di sini terjadi kejanggalan yuridis, karena Papua Barat dari tahun 1962 hingga 1969 dapat dikategorikan sebagai daerah sengketa. Penentuan Pendapat Rakyat tahun 1969 tidak sah karena dilaksanakan dengan sistem “musyawarah” (sistem local Indonesia) yang bertentangan dengan isi dan jiwa New York Agreement, di samping itu PEPERA 1969 dimenangkan oleh Indonesia lewat terror, intimidasi, penangkapan, dan pembunuhan (pelanggaran hukum, HAM dan esensi demokrasi).

Kemenangan PEPERA secara cacat hukum dan moral ini akhirnya disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa lewat Resolusi Nomor 2509 dan diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 7 tahun 1971.

Penulis adalah sekretaris umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Sumber: http://www.tabloid-wani.com/2016/08/perayaan-kemerdekaan-indonesia-di-papua-pembohongan-publik.html?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

 

Papua Dipaksakan ke Dalam Indonesia

Aksi-aksi perjuangan pemisahan diri tidak pernah habis di bumi Cendrawasih,  sejak PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) pada tahun 1969 silam. PEPERA yang merupakan sebuah referendum rakyat Papua dengan pilihan bergabung dengan Indonesia atau berdiri sendiri sebagai sebuah negara berakhir dengan kemenangan pemilih Indonesia. Tidak semua rakyat Papua terlibat referendum tersebut.

Berikut ini sekilas tentang PEPERA  yang dikutip dari “PEPERA 1969 (ACT OF FREE CHOICE) DAN KONSEKUENSI POLITIK BAGI NKRI SAAT INI oleh: Raimondus Arwalembun, S.S”,  (klik disiniuntuk membaca full)

Pada saat itu, penduduk Irian diperkirakan berjumlah 800.000 jiwa, maka setiap 750 jiwa memiliki 1 wakil dalam Dewan Musyawarah Pepera tersebut. Berikut jumlah anggota Dewan Musyawarah Pepera dari tiap-tiap Kabupaten:

  • Kabupaten Jayapura: Jumlah penduduk 81.246 jiwa – jumlah wakil 110;
  • Kabupaten Teluk Cenderawasih: Jumlah penduduk 93.230 – jumlah wakil 130;
  • Kabupaten Manokwari: Jumlah penduduk 53.290 – jumlah wakil 75;
  • Kabupaten Sorong: Jumlah penduduk 86.840 – jumlah wakil 110;
  • Kabupaten Fakfak: Jumlah penduduk 38.917 – jumlah wakil 75;
  • Kabupaten merauke: Jumlah penduduk 141.373 – jumlah wakil 175;
  • Kabupaten Paniai: Jumlah penduduk 156.000 – jumlah wakil 175;
  • Kabupaten Jayawijaya: Jumlah penduduk 165.000 – jumlah wakil 175.

Dari perwakilan di atas maka didapatlah 1025 orang Anggota Dewan Musyawarah Pepera yang akan ikut menentukan nasib Irian Barat dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Setelah DMP dibentuk, maka DMP kemudian mengadakan musyawarah untuk menentukan pilihan, apakah akan bergabung bersama indonesia atau ingin memisahkan diri dari Indonesia.

Hasilnya Pepera yang dilangsungkan di 8 (delapan) Kabupaten tersebut, semuanya memilih dan menetapkan dengan suara bulat bahwa Irian Barat merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Hasil tersebut disepakati dan disetujui dengan membubuhkan tanda tangan semua yang hadir dalam rapat Pepera tersebut. Hasil Pepera ini diumumkan pada tanggal 2 Agustus 1969 dan selanjutnya pada tanggal 8 Agustus 1969 Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Amir Machmud selaku Ketua Pelaksana Pepera melaporkan kepada Presiden. Lalu pada tanggal 16 Agustus 1969, Presiden menyampaikan sebagai laporan pertanggungjawaban tahunan di depan sidang MPR.

Melihat tata cara pelaksanaannya saja sudah menjadi pertanyaan di kepala kita semua, apakah layak sebuah referendum penentuan nasib sebuah bangsa dilakukan dengan diwakili oleh segelintir orang. Banyak pihak yang tidak dilibatkan kala itu, bahkan banyak kepala suku pun tidak mengetahui akan hal itu.

Masyarakat Papua mulai kaget dari tidurnya setelah melihat banjir penduduk dari pulau Jawa yang datang dengan menerapkan suatu pemerintahan yang sama sekali tidak dipahami mereka.

Dengan proses berjalannya waktu, masyarakat Papua mulai sadar akan apa yang sedang terjadi. Dari kesadaran itu lahirlah gerakan-gerakan pemisahan diri yang sampai sekarang ini beranggotakan sebagian besar orang-orang Papua.

Paksaan menjadi Indonesia. Paksaan adalah virus yang tidak akan terobati. Gerakan Papua merdeka tidak akan hilang dari jiwa orang Papua karena bergabung Indonesia bukanlah pilihan mereka, bukan juga pilihan kakek nenek mereka.

Apa yang seharusnya dilakukan Indonesia agar gerakan pemisahan diri dapat terhapus dari bumi Papua adalah membuat bergabungnya Papua ke Indonesia sebagai pilihan orang Papua sendiri. Indonesia tidak boleh merekayasa pilihan orang Papua dengan media dan sejarah palsu. Satu-satunya solusi adalah mengubah system politik militer di Papua dan referendum ulang dengan melibatkan seluruh orang Papua sebagai pemilih-pemilih yang sah.

Jika semua orang Papua bahagia dan memilih bergabung dengan Indonesia, maka masa depan Indonesia akan lebih cerah dan tentunya takkan ada lagi gerakan-gerakan PEMISAHAN DIRI di bumi Papua. Jika sebaliknya, Indonesia harus merelahkan Papua seperti NKRI merelahkan Timor Leste berdiri sendiri sebagai sebuah negara.

Jangan dipaksa!

Argumen NKRI: Pepera Sudah Final?

Argumen NKRI: Pepera Sudah Final? ini sama saja dengan mengatakan kembali kepada Belanda, “Dutch East Indies sudah final” karena itu Indonesia merdeka sebuah kesalahan!

Demikianlah adanya: memang pembagian wilayah penjajahan di antara para penjajah lainnya seperti Belanda, Inggris, Portugis dan Perancis di Asia dan Pasifik telah dilakukan berdasarkan pengakuan dan perjanjian internasional, yaitu sebuah proses hukum dan politik yang “Sudah Final”.  AKAN TETAPI mengapa kok akhirnya “Indonesia Medeka?”, mengapa akhirnya “Malaysia Merdeka?”, mengapa akhirnya “Singapura merdeka dari Malaysia?” dan “mengapa Brunai dilepaskan dari Malaysia dan Singapura?” “Mengapa British Papua dan German New Guinea yang sudah diakui dngan perjanjian internasional yang final kemudian digabungkan lagi ke dalam sebuah negara bernama Papua New Guinea?”

Pertanyaan lebih besar lagi,

  1. Mengapa Amerika Serikat merdeka dari Inggris, padahal sudah ada perjanjian dan pengakuan internasional tentang “New World” itu sebelumnya?
  2. Mengapa Inggris harus keluar lagi dari Uni Eropa, padahal dunia sudah mengakui secara hukum, politik, sebagian ekonomi bahwa United Kingdom adalah anggota dari Uni Eropa?
  3. Mngapa Montenegro merdeka dari uni Serbia-Montenegro, padahal kedua wilayah sudah mengikat perjanjian dan diakui secara internasinal?
  4. Mengapa dan mengapa…..,

Banyak sekali jawaban atas “mengapa…” ini menunjukkan dengan mudah dan gamblang kepada kita bahwa “TIDAK ADA KATA FINAL DALAM POLITIK DAN DIPLOMASI INTERNASIONAL”.  Di dalam perselingkuhan politik NKRI saja kita saksikan “Golkar, PDIP, Demokrat, PKS, dll: sekarang berkoalisi, besok berpisah, besok berpisah, lusa berkoalisi lagi. Jadi, politik lokal, politik nasional dan poltik internasional, semuanya adalah politi. Dan politik itu tidak pernah ada sejarah teman abadi dan musuh abadi. Politik itu yang menyebabkan West Papua dikorbankan. Politik itu yang menyebabkan Papua dan New Guinea dipisahkan. Dan politik pula yang menyebabkan Papua dan New Guinea digabung menjadi satu negara. Politik itu pula-lah yang menyebabkan West Papua harus melepaskan diri dari NKRI.

Pepera Sudah Final adalah Wacana Penyesatan Akal Sehat dan Nalar Manusia Indonesia

Wacana “Pepera Sudah Final” adalah bahasa militer, sikap arogan, menunjukkan perilaku NKRI yang memaksakan kehedak negara terhadap demokratis, yang militeristik dan diktatorial. Sebuah proses politik, sebuah hasil demokrasi tidak pernah dianggap sudah final, karena ia selalu berubah, berkembang, beradaptasi dengan perkembangan terkini, menciptakan kawan dan lawan baru, mencari keseimbangan politik, hukum dan sosial dalam rangka mencari peluang dan mempertahankan kekuasaan.

Kalau Pepera sudah Final, tidak mungkin orang-orang bodoh di Australia, Amerika Serikat, Inggris di sana, tidak mungkin politisi bodoh di dunia barat mendukung perjuangan kemerdekaan West Papua.

Jadi, “Yang bodoh sebenarnya siapa?” dan “Siapa yang membodohi siapa?” Bukanlah ini pendidikan politik yang salah besar?

NKRI membodohi dirinya sendiri, karena dirinya sendiri merdeka dari sebuah perjanjian yang final dilakukan oleh penjajah Belanda tentang Duch East Indies, bukan?

NKRI membodohi dirinya sendiri karena tidak berani mengakui realitas politik global, di mana banyak proses demokrasi sedang berlangsung, dululnya menjadi anggota Uni Eropa bisa berubah menjadi non-Anggota Uni Eropa, bukan?

NKRI sepertinya berlogika di luar logika sehat, bukan?

Apakah ini sesuatu yang membanggakan, atau memalukan? Untuk saya bukan orang Indonesia, jadi paling tidak saya hanya rasa geli dan jijik melihat betapa picik nalar politik NKRI.

Wawancara Khusus Benny Wenda: Kami akan Bawa Papua ke PBB

Penulis: Eben E. Siadari 22:16 WIB | Rabu, 25 Mei 2016

SYDNEY, SATUHARAPAN.COM – Juru Bicara United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), Benny Wenda, menilai tidak ada keseriusan pemerintah Indonesia untuk berdialog dengan rakyat Papua. Oleh karena itu, ia mengatakan pihaknya akan memfokuskan perjuangan membawa masalah Papua ke Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Tujuan akhir adalah terselenggaranya referendum penentuan nasib sendiri di bawah pengawasan lembaga antarbangsa itu.

Hal itu ia ungkapkan dalam wawancara dengan satuharapan.com hari ini (25/5) lewat sambungan telepon. Benny Wenda saat ini tengah berada di Sydney, Australia, dan berharap dapat mengikuti Konferensi Tingkat Tinggi pemimpin Melanesian Spearhead Group (MSG) di Port Moresby, Papua Nugini. KTT itu dijadwalkan mulai 30 Mei hingga 3 Juni 2016, namun belum dipastikan.

Benny Wenda lahir di Lembah Baliem, Papua, 17 Agustus 1974, oleh Indonesia digolongkan sebagai tokoh separatis. Ia kini bermukim di Inggris setelah mendapat suaka pada tahun 2013.

Benny Wenda mengklaim dirinya sebagai salah seorang keturunan pemimpin suku terbesar di Papua dan kedua orang tuanya beserta sebagian keluarga besarnya, merupakan korban pembunuhan militer Indonesia. Ia selalu menyuarakan perlunya rakyat Papua diberi hak menentukan nasib sendiri karena integrasi Papua ke dalam RI lewat Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969 penuh rekayasa.

Setelah Orde Baru jatuh, gerakan referendum dari rakyat Papua yang menuntut pembebasan dari NKRI kembali bangkit. Benny Wenda, sebagaimana dicatat oleh Wikipedia, melalui organisasi Demmak (Dewan Musyawarah Masyarakat Koteka), membawa suara masyarakat Papua. Mereka menuntut pengakuan dan perlindungan adat istiadat, serta kepercayaan, masyarakat suku Papua. Mereka menolak apapun yang ditawarkan pemerintah Indonesia termasuk otonomi khusus.

Dia pernah dipenjarakan pada 6 Juni 2002 di Jayapura, dituduh atas berbagai macam kasus, di antaranya melakukan pengerahan massa untuk membakar kantor polisi, hingga harus dihukum 25 tahun penjara.

Pada 27 Oktober 2002 Benny Wenda berhasil kabur dari penjara dibantu oleh para aktivis, diselundupkan melintasi perbatasan ke Papua Nugini dan kemudian dibantu oleh sekelompok LSM Eropa untuk melakukan perjalanan ke Inggris. Di sana lah ia mendapat suaka politik.

Ke arah mana pergerakan ULMWP dalam memperjuangkan rakyat Papua, dan sejauh mana kemungkinan adanya titik temu dengan pemerintah RI, berikut ini selengkapnya wawancara dengan Benny Wenda.

Satuharapan.com: Pada akhir bulan ini akan ada pertemuan MSG di Port Moresby. Apa yang Anda harapkan dari pertemuan tersebut?

Benny Wenda: Kami harapkan bahwa pertemuan ini sangat penting, special summit, kami harap dalam pertemuan ini akan membahas ULMWP menjadi anggota dengan keanggotaan penuh (full membership). Itu harapan kami.

Apakah Indonesia akan hadir pada KTT itu?

Pasti. Karena mereka juga associate member.

Apakah kemungkinan ada dialog dengan Indonesia di MSG  dalam kaitan dengan yang diperjuangkan ULMWP selama ini?

Dialog melalui permintaan dari ketua MSG sudah disampaikan kepada pemerintah Indonesia. Tetapi ternyata tidak jadi. Ditolak. Dan kedua, ketua MSG sendiri mengusulkan bertemu dengan presiden RI tetapi tidak ada respon. Dan juga rekomendasi Pacific Islands Forum (PIF) untuk diadakannya fact finding misson ke Papua, tidak ada follow up dari pemerintah Indonesia. Sehingga kami menganggap Indonesia tidak ada niat melakukan dialog. Jadi saya pikir tidak mungkin.

Jadi ULMWP lebih fokus menjadi anggota penuh MSG?

Itu kami target.

Jika sudah menjadi full member, apa langkah selanjutnya?

Langkah selanjutnya, akan dibicarakan oleh pemimpin ULMWP dalam diskusi internal. Namun agenda kami yang kami targetkan adalah internationally supervised vote for independence seperti yang sudah dideklarasikan oleh International Parliamentarians for West Papua (IPWP) di London pada 3 Mei kemarin. Jadi kami akan fokus ke sana. Pemerintah Indonesia tidak serius dalam dialog dan kami pikir kami sudahi sampai di situ. Kami harus kembali ke United Nations (UN). Membawanya ke UN.

LIPI sudah memberikan rekomendasi agar ada dialog antara Jakarta dan Papua. Apa pendapat Anda? Format dialog seperti apa yang diinginkan oleh ULMWP?

Saya pikir, dialog nasional yang dirumuskan LIPI lebih ke arah dialog internal antara orang Papua dan Jakarta. Lebih menekankan sisi pembangunan dan kesejahteraan. Tetapi kami mengharapkan masalah ini akan kembali ke UN, itu yang akan jadi fokus kami. Sebelumnya kami akan fokus dulu ke full membership bagi ULMWP di MSG, setelah itu baru kami membicarakan bagaimana berhadapan dengan Indonesia.

Apakah Anda akan berangkat ke Port Moresby?

Pasti, saya akan berusaha pergi. Untuk sementara ini saya tidak bisa masuk, tetapi karena kami (ULMWP) sudah menjadi anggota MSG, pasti saya akan ke sana. (Catatan: Benny Wenda pernah tidak diizinkan masuk ke Papua Nugini, red).

Anda sudah pergi ke berbagai negara untuk mendapatkan dukungan, termasuk ke Ghana dan beberapa negara Afrika. Apa saja dukungan yang Anda terima?

Saya pikir negara-negara ini memiliki sentimen yang sama karena mereka juga lepas dari neokolonialisme. Jadi mereka support kami. Mereka memiliki sentimen yang sama. Mereka simpati pada bangsa Papua. Dan bangsa Papua merupakan bagsa yang ditindas dalam hal ini, dan mereka melihat Papua sebagai koloni, sehingga mereka memberikan dukungan.

Belakangan ini Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan menemui Tokoh Gereja Inggris, Lord Harries di London yang selama ini mendukung kemerdekaan Papua. Apa pendapat Anda?

Saya pikir itu tidak apa-apa. Wajar saja jika demi kepentingan negara Indonesia, ia mewakili bangsa, ia bisa pergi kemana saja.

Editor : Eben E. Siadari

OPM Iginkan Adanya Keadilan

KEEROM – Jubi – Sampai saat ini, Organisasi Papua Merdeka (OPM) menilai Pemerintah belum menjamin keadilan maupun perdamaian bagi rakyat Papua. Untuk itu .TPN- OPM akan menyampaikan kepada Pemerintah Pusat, Provinsi Papua maupun Kabupaten Keerom tentang kebijakan negara dalam pembangunan program percepatan maupun segala bentuk pembangunan yang ada di Papua, sehingga OPM mengiginkan keadilan dan perdamaian di Tanah Papua.

Hal tersebut diungkapkan Panglima Jenderal TPN- OPM Militer 1 Wilayah Mamta, Agustinus Chris

.Untuk itu lanjutnya, OPM akan menekankan kepada pemerintah tentang kedamaian. OPM mengatakan, di Tahun 2015 lalu, OPM telah menyampaikan dekrit kembali kepada undang- undang dasar 1971. dimana Organisasi Papua Merdeka (OPM) merupakan organisasi Induk, yang memiliki sayap pertahanan militer tentara pembebasan yang sedang menduduki di seluruh tanah air. Dan Satu hal yang saya sangat dirindukan oleh OPM adalah keamanan dan keadilan.

Dikatakan, markas Victoria yang didirikan oleh pendidiri OPM yaitu Yakob Pray, dengan tujuan pepera tidak adil. “ Jadi saya katakan tentang OPM bukan suatu gerakan GPK, tapi Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah menuntut keadilan dan kedamaian maupun kemanisme internasional. Jadi TNI, Polri maupun Pemerintah yang mengatakan OPM sebagai GPK tidak benar. Sebab OPM hanya mempertahankan identitas bangsa Papua Barat di negerinya sendiri dan ini merupakan norma dan keadilan, kebenaran dan kejujuran. Maka OPM adalah penentang Pepera,” tegasnya kepada wartawan saat ditemui di wilayah Perbatasan RI- PNG, Kampung Skopro, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Senin (16/5) kemarin.

Dijelaskan, pada tanggal 1 Mei 2016 lalu, terjadi reaksi yang dilakukan oleh rakyat Papua tentang 1 Mei, adalah penyerahan administrasi dari Belanda ke Indonesia. Dengan perjanjian bahwa 1969 akan diadakan pemilihan umum.

“Apakah Papua mau merdeka atau mau bergabung dengan Indonesia. Tetapi pada saat itu, satu suara satu Orang. Namum telah diganti oleh Pemerintah Pusat menjadi bukan satu suara satu Orang, tapi menjadi musyawarah. Musyawarah dalam arti, satu Orang mewakili ribuan orang untuk menentukan nasib. Tapi dalam satu Orang itu, bukan memihak bangsa Papua, tapi memihak bangsa Indonesia,”ujar Agustinus.

Dengan kejadian itu akan menjadi soal pokok bagi rakyat Papua, sehingga berdirinya Organisasi Papua Merdeka (OPM). “ OPM berdiri karena bukan suara satu Orang. Apabila telah terjadi bahwa Tahun 1969 semua mengakui bahwa Orang Papua tetap dengan Indonesia, maka OPM dibawah pendiri OPM Jakob Pray memproklamasikan kemerdekaan negara Papua Barat 1971 di Waris, Kabupaten Keerom. Jadi OPM 1971 dengan 1 Juli 1971 penentang pepera dan menganggap tidak adil,” teganya.

Untuk itu, OPM menyampaikan kepada Pemerintah Pusat, apakah telah berpikir soal ini, karena sebagai negara demokrasi, bahwa pepera 1 suara satu Orang belum menyentuh. Jadi agenda OPM pencabutan, pencucikan, menghabiskan 1969 perlu dihapuskan dari perserikatan bangsa- bangsa, karena itu merupakan tujuan dari gerakan OPM untuk menghapuskan karena menganggap tidak menyentuh hukum dan kemanisme peraturan internasional, mengenai satu suara satu Orang, sehingga pihak OPM menekan dan mempertayakan kepada Pusat,”bebernya.

Apabil pemerintah Pusat tetap mempertahankan bahwa Papua bagian dari NKRI, melalui satu suara satu Orang, maka OPM peryatakan kepada pemerintah Pusat. “ dengan persoalan ini saya akan sampaikan kepada Presiden RI untuk mempertimbangkan hal ini tentang Papua, sebab Papua bukan bangsa Indonesia, Papua adalah Bangsa Melanesia,” ungkap Agustinus.

Ditambahkan, OPM tetap mendukung kedamaian, tetapi OPM berharap agar Pemerintah Daerah Kabupaten Keerom untuk mengambil masyarakat Keerom , baik itu masyarakat dari Skofro, Uskar, Wembi, Yetti yang masih berada di Kemp OPM segera ditarik pulang ke Kampung halamannya masing- masing dan memperhatikan dengan baik. “ Apabila telah ditarik dan tidak diperhatikan, kami OPM tetap mengadakan perlawanan. Saya katakan seperti ini, agar tidak rugi dalam pendidikan dan lain sebagainya, karena Papua Barat bukan urusan dalam negeri, tepi urusan internasional,” tegasnya. (rhy/don)

Partai Buruh Inggris Tegaskan Pembebasan Papua Barat Bagian dari Kebijakannya

Jayapura, Jubi – Jeremy Bernard Corbyn mengatakan sudah saatnya rakyat Papua Barat membuat pilihan mereka sendiri tentang masa depan politik mereka.

Dikutip ABC, Corbyn berbicara tentang penderitaan rakyat Papua Barat dan mendukung dilaksanakannya reformasi demokrasi di Papua, Indonesia. Ia menyampaikan hal ini dalam pertemuan International Parliamentarian for West Papua (IPWP) di London, Inggris, Selasa 3 Mei 2016.

Corbyn adalah politikus Inggris Pemimpin Partai Buruh dan Pemimpin Oposisi. Dia telah menjadi anggota parlemen untuk Islington Utara sejak tahun 1983 dan terpilih sebagai Pemimpin Partai Buruh pada tahun 2015.

Jeremy Corbyn menegaskan dukungannya bagi perjuangan pembebasan Papua Barat. Ia mengatakan ini menjadi bagian dari kebijakan Partai Buruh.

“Ini tentang strategi politik yang membawa penderitaan rakyat Papua Barat kepada pengakuan dunia, memaksanya ke agenda politik, sehingga harus dibawa ke PBB, dan akhirnya memungkinkan rakyat Papua Barat untuk membuat pilihan tentang pemerintah yang mereka inginkan dan masyarakat seperti apa di mana mereka ingin hidup,”

katanya dalam pertemuan.

Pemimpin Partai Buruh ini mengakui bahwa pertemuan kali ini adalah pertemuan yang bersejarah.

Deklarasi London IPWP

Dalam pertemuan ini, anggota parlemen dari beberapa negara Pasifik dan Inggris menyetujui deklarasi di London yang menyerukan pemungutan suara yang diawasi oleh komunitas internasional pada isu kemerdekaan Papua Barat.

Benny Wenda, Menteri Luar Negeri Vanuatu Bruno Leingkone, Perdana Menteri Tonga Akilisi Pohiva dan Menteri Pertanahan Vanuatu Ralph Regenvanu dan beberapa anggota parlemen Pasifik dan Ingggris lainnya adalah penandatangan deklarasi tersebut.

Kelompok ini bertemu di Gedung Parlemen Inggris untuk membahas masa depan provinsi di bagian paling timur Indonesia.

Deklarasi tersebut mengatakan pelanggaran hak asasi manusia masih terus terjadi di Papua Barat yang tidak dapat diterima. Disampaikan oleh Benny Wenda, deklarasi ini memperingatkan dunia bahwa tanpa tindakan internasional masyarakat Papua mempertaruhkan kepunahannya dan menegaskan hak masyarakat asli Papua untuk menentukan nasib sendiri.

Deklarasi tersebut juga menegaskan ‘Act of Free Choice’pada tahun 1969 yang dikenal sebagai Pepera, dilakukan melalui proses yang melanggar prinsip-prinsip kebebasan memilih. (*)

Kenapa Papua Tidak Boleh Merdeka?

15 February 2016, Zely Ariane, Harian Indoprogress

papua
“Kita sebetulnya lebih memperdulikan orang-orang Papua, atau Sumber Daya Alamnya?” –Viktor Mambor, Redaktur Jubi

PAPUA semakin sering dibicarakan. Tetapi hanya bahan mainan, tanpa kesungguhan dan derajat kemendesakan. Papua boleh banjir kebijakan, tetapi kering kejujuran dan penyelesaian.

Satu-satunya wilayah di Indonesia yang tidak diakui kehendak politiknya adalah Papua. Dan Papua adalah salah satu bagian sejarah Indonesia yang gelap dari pengetahuan banyak orang.

Pada 26 Februari 1999, kelompok 100 Papua, dipimpin oleh Tom Beanal, bertemu Presiden B. J. Habibie untuk menegaskan kehendak merdeka. Sebulan sebelumnya, presiden memberikan opsi Referendum pada Timor Leste. Kini Timor Leste sudah merdeka, dan Papua masih terus menuntut kemerdekaan. Tetapi negara sudah menganggapnya final, tanpa pernah ada pertandingan final yang fair. Berbagai kehendak politik orang Papua hanya dianggap angin lalu.

Sebagian orang-orang Papua telah sejak awal menuntut kemerdekaan sebelum diintegrasikan ke wilayah Indonesia—tanpa menghilangkan kenyataan orang-orang yang juga setuju berintegrasi dengan Indonesia. Faktanya, hingga saat ini, Bintang Kejora terus menjadi simbol kekuatan pembebasan orang-orang Papua. Tak sedikit yang rela berkorban hidup demi berkibarnya bendera itu. Tanpa pengakuan ini, selamanya moncong senjata dan ketidakadilan menjadi makanan pokok yang diberikan negara pada Papua.

Dialog selalu digadangkan sebagai solusi. Dialog tidak membunuh, demikian Muridan Widjojo menegaskan. Tetapi kematian datang semakin cepat, baik oleh senjata maupun oleh penyakit-penyakit yang dibiarkan tanpa penanganan sungguh-sungguh.

Syarat dialog tak mau atau dihindari jadi bahan diskusi. Bagaimana mau berdialog jika tidak ada kebebasan di Papua? Bagaimana bisa berdialog bila tidak ada pengakuan bahwa Papua MEMANG memiliki masalah kebangsaan, dan NKRI harga nyawa adalah sumber masalahnya?

Pembebasan beberapa Tapol adalah satu-satunya tindakan berbeda di era pemerintahan ini. Tetapi rehabilitasi tidak ada. Kenapa banyak orang-orang Papua menjadi tahanan politik? Mengapa persoalan politiknya tidak pernah mau dibicarakan? Bukankah disanalah letak kegagalan pendekatan ‘pembangunan’ itu? Bukankah dari sanalah sumber kecurigaan, stigma dan ketakutan terhadap separatisme berasal? Tidakkah bangsa Indonesia, seharusnya, sudah bisa lebih dewasa karena sudah punya pengalaman menangani Aceh dan Timor Leste? Kenapa memelihara paranoia?

Kenapa ‘khawatir’ dengan aspirasi itu dan berpikir: kalau merdeka nanti akan lebih buruk; orang-orang Papua akan berkelahi satu sama lain; orang Papua tidak mampu mengurusi perkara mereka sendiri. Kenapa bertindak sebagai hakim? Kenapa Papua tidak boleh merdeka, jika kenyataannya negara tidak sanggup memenuhi kehendak dan cita-cita orang-orang Papua? Tidakkah orang Papua boleh mencoba peruntungan lainnya? Tidakkah Indonesia merdeka dalam keadaan jauh lebih miskin dari Papua saat ini?

Tapi baiklah jika negara menganggap NKRI harga mati, dan kita begitu sayang Papua berpisah dari Indonesia.

Bila demikian, mengapa meningkatnya kematian dan penyakit yang sudah bisa disembuhkan di Papua tidak mengkhawatirkan banyak orang? Mengapa BPS tidak mendata (percepatan) kematian orang-orang Papua asli? Mengapa lebih banyak orang-orang Papua asli menghuni penjara-penjara Papua? Mengapa lebih banyak orang-orang Papua asli yang tidak bisa sekolah? Mengapa setelah puluhan tahun tidak bertambah signifikan jumlah orang-orang Papua yang menjadi sarjana ahli, selain sarjana-sarjana pemerintahan dan tentara?

Hasil puluhan tahun ‘pembangunan’ di Papua justru menurunnya populasi orang Papua asli yang kini tinggal berjumlah 1.7 juta jiwa, berbanding 1.980 juta jiwa pendatang.

Mengapa para pejabat Papua asli juga tidak banyak yang menganggap persoalan ini mendesak? Mengapa celah-celah di dalam UU Otsus, walau banyak kekurangan di sana sini, tidak digunakan untuk mengatasi kematian, melindungi yang tersisa dan menegakkan keadilan?

Kini, sedikitnya 677.000 hektar hutan telah, sedang, dan akan dialihfungsikan menjadi HPH dan perkebunan, terutama Sawit, serta pertambangan di Sorong, Sorong Selatan, Teluk Wondama, Teluk Bintuni dan Fak Fak. Jumlah itu hanya yang tercatat dan dapat dideteksi. Di Merauke, seluas 2,5 juta hektar sudah diperuntukkan bagi proyek MIFEE (Merauke Integrated Food & Energy Estate) dan 1,2 juta hektar untuk Kawasan Sentra Produksi Pertanian. Belum terhitung jutaan hektar yang sudah lebih dulu diduduki PT. Freeport Indonesia.

Lahan seluas MIFEE diduduki oleh 33 perusahaan. Sementara lahan lainnya diduduki oleh kelompok-kelompok korporasi nasional dan internasional, seperti Musim Mas Group milik Bachtiar Karim; Raja Garuda Mas Group milik Sukanto Tanoto; Sinar Mas Group milik Eka Tjipta Widjaja; Salim Group milik Anthony Salim; Rajawali Group milik Peter Sondakh; Austindo Nusantara Jaya Group (ANJ) milik George Tahija; Perusahaan Kayu Lapis Indonesia; Medco Group; Korindo Group; Tadmax; Pacific Interlink; The Lion Group; Noble Group; Carson Cumberbatch; PTPN II Arso; dan Yong Jing Investment.

Dalam banyak kasus, perusahaan sudah mengantongi izin dan hak pengelolaan tanah hutan tanpa musyawarah dan persetujuan masyarakat. Perusahaan sering menggunakan cara-cara ‘tipu-tipu’ atau intimidasi, melibatkan oknum aparat pemerintah dan keamanan maupun lembaga perantara berasal dari warga setempat. Sangat mudah bagi perusahaan menciptakan konflik dalam masyarakat dengan cara memecah-belah mereka menjadi pro dan kontra demi keuntungan perusahaan (Pusaka: 2015).

Di dalam lansekap inilah pendekatan keamanan dan kesejahteraan terus diulang-ulang sebagai solusi Papua. Setiap pemerintahan menjanjikan dan membuat kebijakan yang menurutnya lebih baik dari pemerintahan sebelumnya.

Lalu dalam hal apa janji Jokowi pada Papua lebih baik dari program-program UP4B (Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat) era SBY? Mantan Deputi Bidang Pengembangan Ekonomi dan Infrastruktur UP4B, Ferrianto H Djais, mengatakan bahwa kesalahan pembangunan di Papua karena tidak seusai dengan kebutuhan masyarakat; fokus infrastruktur tidak melibatkan masyarakat asli sehingga masyarakat Papua hanya jadi penonton.

Pada Maret 1949, Van Eechoud, pejabat Belanda di Papua, menolak laporan memorandum rahasia yang dibuat Komisi Studi Nieuw Guinea tentang potensi ekonomi di Papua. Ia menolak anggapan bahwa secara ekonomis orang Papua belum mampu membangun infrastruktur demi pembangunan ekonomi. Menurutnya orang Papua tidak malas dan bodoh. Banyak orang berpaham dangkal dalam melihat Papua dan tidak memahami persoalan akulturasi yang dihadapi mereka. Pendidikan untuk meningkatkan keterampilan yang paling dibutuhkan, karena mereka juga menginginkan kehidupan yang lebih baik. (Meteray: 2012)

Lima puluh tiga tahun sudah Papua diintegrasikan ke dalam NKRI, bagaimana mungkin pengetahuan sederhana dari pejabat kolonial seperti Eechoud tidak dimiliki pengambil keputusan di negara Indonesia merdeka?

Program-program infrastruktur yang menjadi kebanggaan pemerintah Jokowi telah membuat orang-orang Papua mati rasa. Tentu orang-orang Papua membutuhkan jalan yang menghubungkan antar kampung/distrik/kabupaten/propinsi. Tetapi mengapa jalan-jalan hanya dibangun di jalur-jalur perusahaan? Mengapa jalan-jalan yang sudah ada pun hanya untuk lalu lalang mobil dan truk perusahaan?

Tol laut macam apa yang sedang disiapkan pemerintah agar bisa membawa Mama Mama memasarkan hasil kebun seperti pisang, kasbi, talas dan pinang? Hingga saat ini hasil-hasil kebun masyarakat Teluk Wondama dibawa dengan kapal penumpang biasa ke Manokwari, berganti kapal untuk lanjut ke Biak demi membawa pulang uang beberapa ratus ribu saja—yang habis untuk biaya perjalanan dan ongkos angkut-angkut. Apakah kapal-kapal itu yang disebut tol laut?

Mengapa tak kunjung dibangun pasar bagi Mama Mama Pedagang Asli Papua? Ketika pembangunan 1 pasar saja tak berhasil dalam satu tahun, harus menunggu berapa puluh tahun lagi agar sekolah dan pusat layanan kesehatan berdiri di kampung-kampung? Mengapa 1200 orang begitu cepat datang untuk Ekspedisi NKRI tapi tak ada yang bisa tinggal di kampung untuk mengobati orang?

Mengapa tidak mengakui ada pelanggaran HAM di Tanah Papua? Mengapa tidak punya keinginan melakukan penyelidikan dan peradilan terhadap berbagai pelanggaran HAM yang terjadi di Papua sejak 1960-an? Di empat wilayah saja: Biak, Manokwari, Paniai, dan Sorong, terdapat 749 jenis kejahatan HAM terhadap 312 laki-laki dan 56 perempuan yang berhasil dihimpun. Belum termasuk 4146 korban jiwa lainnya selama operasi militer 1977-1978 di sekitar Wamena, Pegunungan Tengah, Propinsi Papua.

Kejahatan HAM di Papua adalah kenyataan, bukan kendaraan politik untuk minta merdeka, seperti tuduhan jahat Komisi I DPR, Tantowi Yahya. Mengapa Jokowi masih saja diam seribu bahasa atas puluhan ribu pusara tanpa nama itu?

Lalu, masih sajakah Anda tidak rela jika semua ini telah dan sedang mengeraskan perjuangan orang-orang Papua untuk merdeka? Dan tidakkah itu jauh lebih baik ketimbang menunggu hingga punah dari tanahnya sendiri?***

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny