Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.


Merauke, dari kolonisasi,rusa hingga program transmigrasi

Merauke
Hutan tropis Merauke Papua Selatan berubah fungsi jadi lahan persawahan dan perkebunan tebu- Jubi/https://x.com/Dandhy_Laksono/status


More Read
Para ketua BEM di Uncen menyatakan sikap menolak program transmigrasi ke Tanah Papua. – Jubi/Aida Ulim
BEM Uncen minta Prabowo hentikan program transmigrasi ke Papua
Transmigrasi ke Tanah Papua: Solusi atau masalah baru?
Sampai kapan nelayan Indonesia bebas dari tahanan penjara PNG dan Australia
Kisah Merauke dari masa kolonial Belanda, transmigrasi hingga food estate
Fiji, Papua Nugini gagal membawa misi hak asasi manusia PBB ke Papua
Jayapura, Jubi – Program transmigrasi di tanah Papua sebenarnya dimulai sejak zaman Belanda dengan nama program kolonisasi.  Kala itu pemindahan penduduk dari luar Papua untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan produk pertanian lainnya. Selain itu untuk membuka areal persawahan di Merauke yang dikenal dengan julukan Kota Rusa.
Meskipun rusa sendiri bukan hewan asli (endemi) yang hidup di habitat savanna dan hutan eucalyptus atau dalam bahasa Marind disebut kayu bush atau hutan bush.

“ Jenis Rusa Cervus timorensia dahulu dimasukkan ke daerah Merauke oleh Belanda pada 1928. Sejak itu populasi rusa telah berkembang biak luar biasa. Kini sudah meliputi hampir sebagian besar daratan Selatan Papua,”demikian ditulis Ronald pericz,  Prof Dr Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya.(halaman 100-101)

Pemerintah Belanda selanjutnya mengeluarkan aturan soal perburuan,  karena populasi hewan asal Pulau Timor ini sudah semakin langka dan termasuk hewan yang dilindungi. Hingga kini banyak rusa yang masih diburu sehingga banyak yang masuk ke wilayah Papua New Guinea terutama di wilayah Trans Fly di Daru, PNG.

Sedangkan program kolonisasi pemerintah Belanda.  Di Merauke itu  dimulai sejak 1902 selanjutnya pada 1902 penempatan warga Jawa dan orang-orang Timor di permukiman Kuprik, pada 1910 ditempatkan lagi orang-orang Jawa di lokasi Spadem dan Mopah Lama.

banner 400×130
Selanjutnya pada 1943 pemerintah Belanda melakukan penelitian (survey) di areal dekat Sungai Digoel dan Sungai Bian sampai ke Muting. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir pemerintah Belanda berupaya untuk membuka areal yang direncanakan untuk mendatangkan orang-orang Jawa dan ditempatkan di sekitar Merauke.

Program transmingrasi  di Provinsi Irian Jaya menurut Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti dan M Hamdan Basyar dalam artikelnya berjudul “ Dampak Sosial Politik dan Keamanan Transmigrasi di Irian Jaya” mengatakan program transmigrasi di Irian Jaya dimulai tahun 1964 memiliki dampak positif maupun negatif  terhadap provinsi yang kini telah dimekarkan menjadi enam provinsi itu.

Hasil positifnya,  telah memberikan sumbangan bagi pengadaan pangan untuk penduduk perkotaan. “Program ini juga dinilai berhasil meningkatkan pendapatan sebagian besar transmigran dari Jawa dan di beberapa daerah telah memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja di Irian Jaya kala itu.”

Walau demikian Ikrar Nusa Bhakti juga mengaku adanya dampak negatif dari program transmigrasi.  Antara lain menciptakan situasi tegang, khususnya antara penduduk transmigran dan penduduk asli. Program ini juga menjadi penyebab tak langsung bagi orang Irian (Orang Asli Papua) untuk menyeberang ke negara tetangga PNG. Menyebabkan situasi tegang dalam hubungan Indonesia dan PNG khususnya sampai akhir 1980 an.

“Bahkan sebagian kecil orang di luar Indonesia memandang program transmigrasi sebagai “Kolonisasi”, Jawanisasi, Islamisasi, Impeialisme Budaya, Militerisasi dan Alienasi Tanah” demikian tulis Prof Irkrar Nusa Bhakti dan kawan kawan.

Transmigrasi sendiri menurut Ikrar Nusa Bhakti adalah perpindahan penduduk dari pulau-pulau yang padat penduduknya, Jawa, Bali, Lombok ke daerah pertanian dan perkebunan baru yang dibuka oleh pemerintah Indonesia di daerah daerah yang kurang padat penduduknya.

Selanjutnya Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi menjadi dua kategori transmigrasi yaitu ‘transmigrasi umum dan transmigrasi swakarsa”

Pola-pola transmigrasi di tanah Papua

Meskipun Prof Dr Ikrar Nusa Bhakti membagi pola transmigrasi hanya dua saja,  tetapi sebenarnya di tanah Papua sejak masih menjadi Provinsi Irian Jaya.  Terbagi dalam lima pola transmigrasi yang dikutip dari buku berjudul, “Otonomi dan Lingkungan Hidup, Prospek Pengelolaan Hidup di Jawa, Papua, Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Bali Nusa Tenggara, dan Maluku Pada Era Otonomi Daerah Semakin Buruk atau Baik?.”

1. Pola Tanaman Pangan : Hampir sebagian besar program (lebih dari 90 persen) Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) di Irian Jaya kala itu adalah pola tanaman pangan terutama padi. Pada pola ini setiap Kepala Keluarga (KK) transmigran memperoleh lahan pertanian seluar dua (2) hektar dengan perincian 0,5 lahan pekarangan dan 0,5 lahan usaha I serta lahan usaha II seluah 1 hektar masih berupa hutan.

2. Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR Trans) : Pola PIR ini telah dikembangkan di Irian Jaya waktu itu adalah pola PIR Trans Kelapa Sawir di Kabupaten Manokwari (PIR Trans Prafi) sebanyak 5 UPT dan 5 UPT di Kabupaten Jayapura (PIR Trans Arso). PT Perkebunan II sebagai perusahaan inti. Kondisi lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan pola perkebunan tidak harus lahan datar, namun bisa pula lahan bergelombang yang bisa digunakan. Setiap KK transmigrasi pola PIR mendapatkan lahan seluas 3 Hektar terdiri dari 0,25 Hektar lahan pekarangan, lahan pangan 0.75 Hektar, dan 2 Hektar lahan plasma yang dikembangkan (kelapa sawit).

3. Pola Nelayan (Trans Nelayan) : Pola trans nelayan ini dikembangkan pada 1 UPT di Wimro, Kecamatan Bintuni (sekarang Kab Bintuni, Papua Barat), Sedangkan di Kabupaten Sorong terutama warga Waigeo (sekarang Kab Raja Ampat) telah menyiapkan lahan seluar 10.000 hektar. Sedangkan di Biak Numfor direncanakan ditempat trans nelayan sebanyak 100 KK terdiri dari 60 persen trans lokal dan trans umum atau trans daerah asal (transdasal).

4. Pola Hutan Tanaman Industri (HTI Trans) : HTI yang dikembangkan disini yaitu komoditi varietas sagu unggul di lokasi UPT Aranday I dan Arandy II di Kabupaten Manokwari (sekarang Prov Papua Barat).

5. Pola Jasa dan Industri ( Trans Jastri) : Pola ini dikembangkan di Kabupaten Biak Numfor di lokasi UPT Moibaken. Industri yang dikembangkan adalah pemanfaatan galian C , dan industry dasar kayu (meubel dan kusen).

Semasa Jenderal (Purn) Hendro Priyono menjadi Menteri Transmigrasi dan PPH, ia  membuat program transmigrasi yang disebut , Transmigrasi Bhineka Tunggal Ika (Trans Bhintuka) di Provinsi Irian Jaya dan Daerah Istimewah Aceh (NAD sekarang). Pola ini menurut Hendro Priyono kala itu untu mengatasi Disintegrasi Bangsa di kedua wilayah ini semasa Orde Baru.

Terlepas dari pro dan kontra sebenarnya dari semua program transmigrasi yang telah dilaksanakan di tanah Papua sejak zaman Belanda sampai Indonesia. Terutama pola transmigrasi tanaman pangan yang telah mengubah sebuah hutan tropis menjadi lokasi permukiman dan juga areal persawahan termasuk pola PIR Trans.

Apalagi sekarang ditambah pula dengan Perkebunan Kelapa Sawit dan juga areal baru Food Estate jelas akan merobah bentangan alam dan lingkungan hidup ke depan.

Para pakar dan aktivis lingkungan hidup telah mengingatkan,  pembabatan hutan dapat pula mengakibatkan hilangnya siklus energi. Sehingga dapat menggangu kegiatan pertanian itu sendiri. Ini akan membuat banyak kegiatan pertanian di daerah tropis hanya memberikan hasil panen yang baik selama 2-3 tahun dan beberapa kali panen saja. Tanpa adanya input (berupa pupuk dan pestisida) kegiatan pertanian di daerah daerah tropis akan terhenti.

Peladang berpindah pindah sebenarnya suatu pola pemanfaatan lahan tropis yang sesuai dengan keadaan ini.

Hal ini sesuai  dengan pendapat antropolog Prof Dr Budhisantoso dari FISIP Universitas Indonesia,  bahwa etos kerja dan moralitas sosial melekat pda semua kelompok masyarakat termasuk kelompok peramu dan pemburu yang dianggap sebagai awal pengembangan pola pola adaptasi manusia terhadap lingkungannya.

Begitupula dengan masyarakat peladang, dalam pernyataan Prof Dr Budhisantoso pada artikel berjudul “Rekayasa Soslal Budaya Kembangkan Etos Kerja” (Kompas, 8/5/1998).

Celakanya lagi menurut antropolog dari Universitas Indonesia itu,  semua kelompok masyarakat termasuk kalangan  peramu dan pemburu seringkali dituduh sebagai perambah hutan. “Padahal etos kerja mereka sangat kuat untuk mencapai hasil sebaik mungkin tanpa harus merusak lingkungan hidup.

” Karena itu mereka dipaksa meninggalkan pola pola pengolahan sumber daya alam dan lingkungan yang selama ini mereka hayati untuk berpindah profesi sebagai petani menetap dengan etos kerja dan moralitas yang belum tentu mereka pahami.” (*)

New Catholic report tells stories of murder, kidnapping and torture in West Papua

Pacific horror: A new Catholic report has shown allegations of recent military and police intimidation, beatings and torture, kidnapping and murder in the country.
Pacific horror: A new Catholic report has shown allegations of recent military and police intimidation, beatings and torture, kidnapping and murder in the country.

ALLEGATIONS of recent military and police intimidation, beatings and torture, kidnapping and murder in West Papua, have been documented in a new Church report.

The report documents Muslims being radicalised in the once predominantly Christian Papuan provinces, and “very active” Muslim militias that burn down Papuan houses.

The report was compiled by the Brisbane Catholic Justice and Peace Commission’s Shadow Human Rights Fact Finding Mission to West Papua, following a visit to West Papua last month.

It has not yet been publicly released, nor comment sought from Indonesian authorities.

The report documents religious, social and economic discrimination including how the carve up of land for major development has benefited multinationals and excluded Papuans from ownership and jobs.

It refers to a slow motion genocide happening 250km north of Australia and states that “the Indonesians want to replace the Christian religion with Islam”.

The report author Josephite Sister Susan Connelly was accompanied to West Papua by Brisbane archdiocese’s Catholic Justice and Peace Commission executive officer Peter Arndt.

During their fact-finding mission they interviewed more than 250 community leaders in Jayapura, Merauke, Timika and Sorong.

Sr Connelly, a respected human rights advocate, likened her visit to West Papua to “stepping back twenty years when I first went to East Timor”.

“The same oppressive security presence everywhere, the same suspicion, bewilderment, frustration and sadness,” she said.

“The same fear. The same seemingly groundless hope.

“A man took my hands in his and said, ‘We are in danger’. That simple statement sums up for me the experience of the whole visit.

“The Papuan people have lost so much, and are facing erasure as a people, merely preserved as oddities of the past or artifacts to be photographed for tourist brochures.

“They realise that their land is considered more valuable than they are.”

The fact-finding team heard many accounts of alleged military and police brutality and murder.

“There is clear evidence of ongoing violence, intimidation and harassment by the Indonesian security forces,” Mr Arndt said on his return to Brisbane.

“That is especially the case for Papuans expressing their support for particular political points of view.

“Authorities want to close down any Papuan efforts to promote discussion about self-determination, and they have applied a military response to deal with the irrepressible desire of a large number of Papuans to promote their cause for freedom.”

Based on his interviews across West Papua, Mr Arndt (pictured) identified the instigators of alleged human rights violations as members of the Indonesian army including Kopassus, police including a special counter insurgency unit, Detachment 88, and Indonesia’s intelligence agency, BIN.

“Even demonstrations about social issues such as access to education get broken up by authorities,” he said.

The fact-finding team heard many examples of how the Indonesian Government pushed economic development, but ignored human rights.

“The Government has carved up the land and given it for exploitation to some 50 multinational companies,” the report said.

“The procedure is that the local government invites companies to come and gives permits.

“People are usually shocked when the companies come to sign a MoU (memorandum of understanding) with them, showing them the permit and the map.

“If the villagers don’t agree to the proposal, the company goes back to the local government and returns with the police.”

Troubling times: A group holds a Free West Papua protest in Melbourne.
Troubling times: A group holds a Free West Papua protest in Melbourne.

In the 1970s, ethnic Papuans accounted for 96 per cent of the population.

Today they are a minority 48 per cent, because of the rapid migration of Indonesians from other more populated islands such as Java.

The report found that Papuans were now marginalised economically at the expense of immigrants, the majority of whom are Muslims.

The report said there was “a movement for Muslims from Indonesia to replace Papuans in every sector”.

“The Indonesians want to replace the Christian religion with Islam. Many mosques are being built everywhere. They want Papua to be a Javanese Malay nation,” the report said.

“Radicalisation is happening in Papua, with some militias very active near the border with PNG.

“They burn down the Papuan houses. They are recruited as illegal loggers. Their camps and logging are well protected by the military.

“The military are certainly killing the people, and closed access to opportunity to Papuans in all areas of life constitutes a slow motion genocide.

“The general opinion encountered was that Indonesia is a total failure regarding Papua and is just another coloniser.

“The Indonesian Government does not give opportunities to Papuan people or protect them.

“It was said that most Church leaders try to deal with the problems one by one, but the whole picture should be looked at as a series of policies designed to overcome the Papuan people.

“In every sector of government the system is composed of Indonesian tactics to destroy the Papuans.

“Beatings and torture are used, but also the economic aspects of lack of opportunity, the sidelining of the indigenous peoples, the taking over of land by companies … are part of the plan.”

Accusations in the report

  • A young, wealthy businessman poisoned in 2015. He had financially supported building an office for the National Committee for West Papua, an independence-oriented group. He also funded Papuans being sent to international conferences.
  • A Papuan woman activist arrested in 2015 by police for holding a prayer service in support of an international conference in London. She and her group were interrogated for five hours.
  • In January this year, 27 Papuan palm oil workers were allegedly tortured by the Indonesian army’s special force Kopassus. The men had previously complained to their company bosses after they had not been paid for two months.
  • A man aged 35 who used to work for Papua’s Freeport gold mine was kidnapped in 2015, killed, and his body thrown on the street. There was no sign of torture and the police told his family that it was an accident.
  • Police and military broke up community activities such as prayer meetings.
  • In September 2015, 18-year-old Daniel Bowgow was killed. His father was a local prayer meeting leader.
  • People reported they couldn’t move freely at night to search for food for fear of being kidnapped. The military and police use Papuan informers to let them know of people’s movements.

By Mark Bowling

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny