Majelis Rakyat Papua Protes DPRP

Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, S.H., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey menyampaikam keterangan terkait DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8). JAYAPURA – Keputusan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus, pada rapat paripurna V DPRP masa sidang II tahun 2014 di Gedung DPRP, Jayapura Kamis (21/8) malam, menuai protes keras dari MRP.

Protes itu disampaikan Ketua Panitia Musyawarah DPRP Yoram Wambrauw, SH., didampingi Sekretaris Pokja Adat MRP Aristackus Marey kepada wartawan di Kantor MRP, Kotaraja, Jumat (22/8) petang.

Menurut Yoram Wambrauw, tindakan DPRP mensahkan Raperdasus 14 Kursi Otsus dan 3 Raperdasus lainnya menjadi Perdasus merupakan suatu keprihatinan yang sangat mendalam. Padahal hal ini sangat hakiki atau mendasar bahwa Gubernur dan DPRP ternyata mensahkan beberapa Raperdasus menjadi Perdasus dengan mengabaikan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang berlaku yakni tak melalui pertimbangan dan persetujuan MRP sebagai salah-satu unsur penyelenggara pemerintah di Papua dalam rangka Otsus Papua yang mempunyai tugas dan fungsi pokok bagaimana MRP harus dalam pelbagai aspek memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua benar-benar terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya.

Adapun Raperdasus yang disahkan menjadi Perdasus masing-masing Reperdasus tentang keanggotaan DPRP yang ditetapkan melalui mekanisme pengangkatan atau Raperdasus 14 Kursi Otsus, Reperdasus tentang program strategis pembangunan ekonomi dan kelembagaan kampung. Reperdasus tentang penanganan khusus terhadap komunitas adat terpencil, Reperdasus tentang tata cara pemberian pertimbangan Gubernur terhadap perjanjian internasional.

Menurut Yoram Wambrauw, adalah menjadi sebuah hak konstitusional berdasarkan kewenangan atributif didalam UU No. 21 tahun 2001 atau UU Otsus Papua bahwa MRP mempunyai kewenangan antara lain memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus yang diajukan Gubernur atau DPRP.

Klausal ini adalah sebuah klausal yang secara yuridis konstitusional formal merupakan kewenangan atributif yang tak boleh dilanggar oleh siapapun,” tegas Yoram Wambrauw.

Karena itu, tutur Yoram Wambrauw, proses pengesahan 4 Perdasus tersebut adalah sebuah hal yang bertentangan dengan hukum dan dapat batal demi hukum, karena melanggar UU Otsus pasal 21 ayat 1 huruf c dan Peraturan Pemerintah No.54 tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 64 tahun 2008 tentang MRP dan tata cara pelaksanaan tugas dan wewenang termasuk tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan Raperdasus terhadap oleh MRP. Juga bertentangan dengan Perdasus No.4 tahun 2008 tentang pelaksanaan tugas dan wewenang MRP serta bertentangan dengan Perdasus No. 10 tahun 2010 tentang tata cara pembentukan Perdasus yang dibuat oleh DPRP dan bertentangan dengan Perturan MRP No. 3 tahun 2011 tentang tata tertib MRP tentang tata cara pemberian pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus.

“Artinya dari aspek hukum yuridis formal ini DPRP dan Gubernur dalam hal ini karena jabatan secara kelembagaan sudah melakukan pelanggaran hukum yang sangat serius,” ujar Yoram Wambrauw, seraya menambahkan, padahal kita sedang berproses bagaimana memperkuat UU Otsus Plus”.

Yoram Wambrauw mengutarakan, proses pembentukan Otsus Plus adalah perluasan kewenangan dan pendalaman tentang kewenangan itu sendiri dan penguatan-penguatan terhadap lembaga penyelenggaraan pemerintahan di daerah Gubernur, DPRP, MRP, Bupati/Walikota dan seluruh penyelenggara pemerintah di Tanah Papua baik di Provinsi Papua dan Papua Barat adalah menjadi sebuah realitas hukum bahwa kekhususan di Papua menurut UU Otsus jo UU No. 35 tahun 2008 yang kemudian dikukuhkan dalam putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 8 PUU tahun 2010 bahwa kekhususan Otsus di Papua ada 4 hal.

Pertama, adanya peraturan MRP yang mempunyai kewenangan tertentu sebagaimana diatur dalam UU Otsus ini. Kedua, adanya DPRP yang mempunyai nomenklatur yang berbeda dengan DPRD Provinsi diseluruh Indonesia.

Ketiga, adanya pengangkatan anggota DPRP diluar pemilihan di Provinsi Papua yang berbeda dengan Provinsi lain.

Keempat, adanya Perdasus yang menurut MK merupakan kekhususan di Tanah Papua. Kelima, adanya Gubernur dan Wagub orang asli Papua. “Lima hal ini yang menjadi ciri khusus tentang eksistensi Otsus di Tanah Papua,” tukas Yoram Wambrauw.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, ketika kekhususan ini diabaikan oleh penyelenggara pemerintah itu sendiri sangat tak etis karena mengabaikan aturan-aturan hukum dan berbuat segala sesuatu hanya karena waktu.

Barangkali DPRP mendorong ini untuk segera diproses karena waktunya akan berakhir. Padahal Raperdasus 14 Kursi itu sudah diajukan tahun 2010 lalu,” ujar Yoram Wambrauw.

Yoram Wambrauw menerangkan, keprihatinan dengan proses disahkan Raperdasus menjadi Perdasus bahwa MRP kemudian diabaikan dan tak dihargai untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap Raperdasus. Padahal kehadiran MRP adalah dalam rangka melindungi hak-hak dasar orang asli Papua.

“MRP ada untuk memastikan bahwa hak-hak dasar orang asli Papua akan terjaga, terlindungi dan ditegakkan sebagaimana mestinya. Manakala proses-proses ini tak melibatkan MRP, maka menjadi pertanyaan apakah memang proses regulasi ini akan memberikan jaminan hukum bagi orang asli Papua atau tidak karena belum dipertimbangan dan disetujui MRP.

Disisi lain, tambah Yoram Wambrauw, keprihatinan ini juga menyangkut prosedur yang ditempuh bahwa pada 13 Agustus lalu menurut Perdasus No. 4 tahun 2008 bahwa Raperdasus 14 Kursi itu disampaikan secara tertulis dan dilampiri dengan naskah draft Raperdasus dari DPRP ke MRP.

Tapi nyatanya yang selama ini berlangsung adalah DPRP hanya menyuruh Anggota dan Stafnya datang draft-draft itu diisi dalam map dan diserahkan begitu saja,” lanjutnya .

Dikatakan Yoram Wambrauw, MRP mempunyai batas waktu membahas itu selama 30 hari. Kalau 30 hari kedepan tak memberikan pertimbangan dan persetujuan lalu dianggap disetujui. Padahal ini masih dalam rentang waktu untuk bisa dibahas, sementara masih dalam proses untuk dibahas oleh MRP, tapi keburu disahkan DPRP.

Dijelaskan Yoram Wambrauw, inilah beberapa hal yang menjadi keprihatinan bersama bahwa ternyata pada sisi ini ingin untuk menguatkan UU Otsus dalam rangka perlindungan, pemberdayaan, keberpihakan kepada orang asli Papua. Tapi pada sisi lain proses-proses yang dilakukan secara faktual tak menujukan adanya konsitensi dan adanya keberpihakan kepada orang asli Papua.

Apa sanksi yang bisa ditujukan kepada DPRP, karena telah melampaui kewenangan MRP, ujar Yoram Wambrauw, MRP tak mempunyai sanksi, tapi yang jelas bahwa dari aspek hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan memang bisa MRP yang melakukan gugatan. Namun masyarakat bisa melakukan gugatan, ketika memandang bahwa proses yang dilakukan tak sah. Bisa sah kalau dari aspek hukum kewenangan MRP diabaikan dalam proses ini berarti itu batal demi hukum. “Artinya 4 Perdasus ini tak bisa diundangkan, tak boleh diundangkan dan tak boleh dilaksanakan,” jelas Yoram Wambrauw. (Mdc/don/l03/par)

Sabtu, 23 Agustus 2014 09:05, BinPa

MRP Kecewa Pusat Hapus Pasal Sakral di Otsus Plus

Ketua MRP Matias MuribJAYAPURA — Ketua MRP Matias Murib mengaku kecewa atas hasil harmonisasi yang dilakukan oleh Kementerian dan Lembaga terhadap Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Otonomi Khusus di Tanah Papua (Otsus) Plus, karena menurutnya pusat telah menghapus pasal yang sangat sakral dalam rancangan peraturan tersebut.

“Kemudian setelah kita pelajari, sangat mengecewakan, kenapa sangat mengecewakan karena hasil-hasil yang telah kita berikan pembobotan dari Undang-undang nomor 21 tahun 2001 ternyata dari pemerintah pusat menganggap sebagai pasal-pasal krusial,”

ucapnya kepada wartawan di Kantor Gubernur Papua pada Senin (18/08) siang.

Menurutnya, disitu ada 21 pasal yang mana, ia anggap sangat sakral bagi orang Papua terutama bagi orang asli Papua. “Orang asli Papua secara fisik sudah sangat jelas yakni hitam dan keriting, kemudian MRP harus satu karena ini merupakan lembaga kultur,” tuturnya.

Hal-hal yang sakral seperti itu jika harus dirubah atau justru ditiadakan, ucap Murib, sebagai rakyat Papua ia merasa dilecehkan, oleh karena itu, pada tanggal 13 Agustus 2014 Gubernur bersama Ketua DPR Papua mengembalikan kembali draft itu.

Karena tidak sesuai aspirasi masyarakat Papua yakni disampaikan oleh masyarakat Papua sebanyak 383 oleh masyarakat dari Papua dan Papua Barat, sebagaimana implementasi Otsus selama 12 tahun,” imbuhnya.

“Oleh karena itu, saya merasa pemerintah pusat sangat melecehkan kami. Pelecehan itu terbukti pada 299 pasal yang tidak mengakomodir pasal-pasal tentang perekonomian, kesehatan, pendidikan dan kesehatan semua ditiadakan,”

sambungnya.

Kalau baca lengkap sebagaiaman hasil harmonisasi, ungkap Murib, justru Otsus Plus Jadi minus dari undang-undang 21 tahun 2001 dan itu sebagai pelecehan dan itu kurang ajar. “Tidak boleh begitu, kesejahteraan masyarakat Papua merupakan juga kebanggaan Indonesia,” cetusnya.

Oleh karena itu, ditegaskan Murib, permintaan itu harus diterima pusat. Tetapi karena hasil 299 pasal yang telah dikembalikan itu, pihaknya merasa sangat kecewa dan itu juga reaksi yang ditunjukkan Gubernur. “Kami tidak rakus dengan jabatan seperti ketua MRP, DPRP maupun Gubernur sehingga kami kembalikan,” tuturnya.

Oleh karena itu, Murib berharap draft undang-undang Otsus yang ke-14 ini sebagaimana yang telah diserahkan dapat diakomodir dengan baik supaya kalau masyarakat Papua sejahtera, menjadi kebanggaan negara ini.

Kemudian jika kita dilecehkan seperti, kapan kami disejahterahkan. Dimana rakyat Papua, hal ini membuat kita minta merdeka seperti ini, kami berharap pemerintah Pusat memahami keinginan rakyat Papua.

Ditegaskan Murib, dari 236 pasal yang telah diajukan, Papua bukan minta uang, karena menurutnya uang sudah cukup banyak, dan dari rancangan yang diajukan pihaknya minta kewenangan. “Kalau kewenangan itu sudah diberikan kepada kami, undang-undang nomor 21 tahun 2001 atau UU Otsus Plus menjadi Panglima di Tanah Papua,” imbuh Murib.

Sebelumnya pada Tanggal 13 Agustus 2014, tim asistensi dari Papua dan Papua Barat, termasuk Gubernur Papua, Ketua MRP dan Ketua DPRP Papua menerima hasil harmonisasi Dari Kementerian dalam Negeri. (ds/don/l03)

Selasa, 19 Agustus 2014 15:22, BinPa

Marinus: DPRP dan MRP Lembaga Paling Memalukan

Marinus YaungJAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional dan Sosial Politik Univeritas Cenderawasih, Marinus Yaung, mengatakan, pernyataan Yan Mandenas bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemerintahan Papua hanya numpang lewat di DPPRP, Itu benar-benar merupakan bukti bahwa di lembaga DPRP dan MRP tidak ubahnya sebuah lembaga yang sangat memalukan. Karena telah ditipu dan dikerjain habis-habisan oleh Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Provinsi Papua.

Sangat disayangkan karena katanya anggota DPRP dan MRP adalah orang-orang Papua yang cerdas dan pintar, tetapi mudahnya meloloskan suatu RUU tersebut yang notabenenya RUU dimaksud tidak sesuai proses legislasi dalam sistem hukum tata negara Indonesia.

Mana mungkin suatu RUU yang tidak memiliki draft akademik, tidak memiliki landasan filosofis, landasan historis dan landasan yuridis yang menjadi fondasi dasar suatu RUU yang seharusnya dijelaskan awalnya dalam draft akademik.

“Ini bisa dengan mudahnya dimasukkan dalam sidang Paripurna dewan,” ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampung FISIP Uncen Waena, Kamis, (23/1).
Menurutnya, seharusnya RUU Pemerintahan Papua yang tidak memiliki draft akademik, harusnya pula dilengkapi dengan Daftar Inventaris Masalah (DIM) tapi ini tidak dilakukan, dan harusnya terlebih dahulu dibahas dalam rapat-rapat komisi, rapat-rapat fraksi atau harusnya DPRP membentuk Panja khusus yang menangani RUU Pemerintahan Papua tersebut.

Tapi sayangnya langsung dibawa kedalam sidang Paripurna dewan tanpa draft akademik dan DIM. Ini benar-benar bukan pembelajaran hukum dan sistem pemerintahan yang baik. Tetapi catatan penting disini buat DPRP bahwa lembaga DPRP dan semua rakyat Papua, bahwa telah ditipu oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Papua.

Mengapa demikian? RUU Pemerintahan Papua karena sudah DPRP maka akan sampai ke Jakarta di meja Presiden SBY sudah dalam bentuk RUU Pemerintahan Papua atas inisiatif rakyat Papua. Karena salah satu poin penting dan mendasar dalam proses legislasi adalah suatu RUU ini berasal dari mana atau atas inisiatif siapa? Sehingga benar-benar kita orang Papua dibohongi, karena ketika RUU Pemerintahan Papua sampai di tangan Presiden SBY dan Presiden SBY akan tahu bahwa RUU atau PP adalah merupakan inisiatif atau kemauan rakyat Papua.

“Saya akhirnya jadi teringat kembali kisah perjanjian New York Tahun 1962, suatu perjanjian yang tidak melibatkan orang Papua didalamnya, tapi dianggap telah melibatkan orang asli Papua,” tandasnya.

Suatu perjanjian New York yang sampai dengan hari ini menimbulkan masalah kemanusiaan di Papua yang tak kunjung selesai. Dengan demikian apakah RUU Pemerintahan Papua yang tidak melibatkan masyarakat Papua dalam proses pembahasannya, tetapi dianggap sudah melibatkan masyarakat Papua, dan pastinya akan bernasib sama dengan New York Agreement, sama dalam pengertian akan semakin sama dalam pengertian akan semakin menambah kompleksitas masalah Papua dan menimbulkan konflik kemanusiaan yang lebih besar lagi di Papua tanpa akhir penyelesaiannya?.

“Seharusnya DPRP tidak terburu-buru ikut dalam permainan politik Pemda Provinsi Papua yang mengejar tayang RUU Pemerintahan Pemerintahan Papua ini. Sangat memalukan melihat DPRP dan MRP begitu tidak berdaya menghadapi manuver politik Pemerintah Pusat melalui staf khusus Presiden SBY. Sungguh tragis betul nasib rakyat Papua saat ini,”

pungkasnya.(Nls/don/l03)

Jum’at, 24 Januari 2014 11:00, BinPa

Enhanced by Zemanta

MRP Ajak Semua Pihak Mendorong Draf Otsus Plus

Ketua MRP Papua , Timotius Murib
Ketua MRP Papua , Timotius Murib

Ketua MRP Papua , Timotius MuribJAYAPURA – Ketua MRP Papua , Timotius Murib mengatakan, dengan bertambahnya pasal demi pasal dalam rancangan undang-undang Otsus Plus, maka itu semakin memberikan bobot terhadap draf undang-undang tersebut. Karena itu ketika nantinya disahkan menjadi sebuah undang-undang Pemerintahan Papua MRP yakin segala hal terkait hak-hak masyarakat asli Papua selama 12 tahun implentasi Otsus Papua yang tak terakomodir saat itu, dapat diakomodir dalam undang-undang Otsus Plus atau undang-undang Pemerintahan Papua.

Menurut Ketua MRP, penyerahan draf Otsus Plus diserahkan ke Mendagri 22 Januari 2013, setelah ditetapkan DPR RI menjadi undang-undang Pemerintahan Papua, maka semua aturan Pemerintahan sektoral yang selama ini diberlakukan di kedua Provinsi Papua itu harus taat dibawah Panglima Otsus Plus atau undang-undang Pemerintahan Papua.

Sebagai representasi masyarakat asli Papua di MRP, Ketua MRP menagaskan pentingnya membangun komitmen diantara para pemimpin tingkat Kepala Daerah untuk konsisten menjalankan undang-undang Otsus Plus atau Pemerintahan Papua itu ketika resmi diberlakukan di Tanah Papua, siapaun kepala daerah dan pemimpin harus tunduk dan taat serta dituntut komitmennya untuk menjalankan Undang-undang ini, ujar Murib kepada Wartawan di Ruang Kerjanya, Senin( 20/1).

Ketika Undang-undang itu disahkan, maka otomatis Provinsi Papua tak diberlakukan Undang undang sektoral lainnya. MRP lanjut Murib akan mengelar Pleno istimewa dalam rangka membangun komitmen implementasi Undang undang Pemerintahan Papua itu diawal pelaksanaannya MRP akan mengiringi terus bahkan ketika undang-undang ini ternyata tak diimplementasikan, maka pleno istimewa referendum diambil sebagai solusi terakhir. “ MRP akan gelar Pleno meminta referendum”, ujar Murib.

MRP mengajak semua kepala daerah bergandengantangan mendorong draf Otsus Plus yang akan jadi payung hukum di Papua, siapapun wajib melaksanakannya. (ven/don/l03)

Selasa, 21 Januari 2014 02:41, BinPa

Hasil Rapat Dengar Pendapat MRP dengan Orang Asli Papua Diserahkan ke Gubernur

Ketua MRP Timotius Murib ketika menyerahkan Hasil Rapat Dengar Pendapat dengan Orang Asli Papua untuk evaluasi Otsus Papua dan Papua Barat kepada Gubernur Papua Lukas Enembe di Kantor Gubernur Papua, Jayapura, Jumat. JAYAPURA — Hasil Rapat Dengar Pendapat MRP dan MRP Provinsi Papua Barat dengan Orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam rangka evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, tanggal 25-27 Juli 2013, akhirnya disampaikan kepada pihak-pihak yang berkompeten pada Minggu lalu.

Pihak-pihak berkompeten yang dimaksud adalah Presiden RI, Ketua DPR RI, Ketua DPD RI, Gubernur Provinsi Papua, Gubernur Provinsi Papua Barat, Ketua DPR Papua dan Ketua DPR Papua Barat.

Di samping itu, juga telah disampaikan kepada Mendagri dan Menkopolhukam.

Perlu dijelaskan bahwa Dokumen Hasil Rapat Dengar Pendapat tersebut yang ditujukan kepada Presiden RI dan kepada Mendagri serta kepada Menkopolhukam disampaikan pada tanggal 7 Oktober 20013, sedangkan Dokumen Hasil Rapat Pendapat MRP dan MRP Provisi Papua Barat dengan Orang Asli Papua dan Papua Barat dalam rangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang ditujukan kepada Ketua DPR RI dan Ketua DPD RI disampaikan pada tanggal 8 Oktober 2013. Kemudian, untuk Gubernur Papua dan Ketua DPRP disampaikan pada tanggal 10 Oktober 2013 dan untuk Gubernur Provinsi Papua Barat dan DPR Papua Barat disampaikan tanggal 12 Oktober 2013.

Penyampaian Hasil Rapat Dengar Pendapat kepada pihak-pihak tersebut di atas, dilakukan oleh MRP sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) huruf e Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2008 dan Keputusan MRP Nomor 6 Tahun 20013 tentang Penetapan Hasil Rapat Dengar Pendapat dengan Orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Dalam Rangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat, tanggal 25-27 Juli 2013.

Sebagaimana diketahui, dalam Keputusan MRP Nomor 6 Tahun 2013, tanggal 12 Agustus 2013, tersebut di atas secara tegas dinyatakan sebagai berikut. Diktum Pertama: Mengesahkan Hasil Rapat Dengar Pendapat Majelis Rakyat Papua dengan Orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, dalam Rangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat sebagaimana dirumuskan dalam Laporan Hasil Rapat Dengar Pendapat tersebut dan tercantum dalam Lampiran Keputusan ini.

Diktum Kedua: Merekomendasikan kepada Presiden RI, DPR RI, DPD RI, Gubernur Provinsi Papua dan Gubernur Provinsi Papua Barat, DPRP dan DPR PB, untuk memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan menindaklanjuti Hasil Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA Keputusan ini. Dan terakhir Diktum Ketiga: Memerintahkan penyampaian Hasil Rapat Dengar Pendapat sebagaimana dimaksud pada Diktum PERTAMA kepada pihak berkompeten sebagaimana dimaksud pada diktum KEDUA, paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal penetapan ini.

Perlu ditambahkan bahwa dokumen yang disampaikan kepada pihak-pihak berkompeten tersebut di atas terdiri atas: pertama, Keputusan MRP Nomor 6 Tahun 2013 dengan lampirannya yaitu Naskah Laporan Hasil Rapat Dengar Pendapat MRP bersama MRP Provinsi Papua Barat dengan Orang Asli Papua di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat dalam Rangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat; kedua, Dokumen pendukung berupa hasil proceding yang terdiri atas empat buku, masing-masing diberi judul sebagai berikut: (1) Implementasi Otonomi Khusus Papua Dan Papua Barat Dalam Pengalaman Empirik Orang Asli Papua Laporan Hasil Evaluasi Otonomi Khusus Papua Dan Papua Barat, (2) Otonomi Khusus Papua Dan Papua Barat Dalam Demensi Keberlakuan, Yuridis Normatif, Yuridis Sosiologis Dan Yuridis Filosofis (Daftar Inventarisasi Masalah Undang-Undang Otonomi Khusus), (3) Pergulatan Orang Asli Papua Dalam Kekuasaan Otonomi Khusus Papua Dan Papua Barat (Risalah Rapat Dengar Pendapat Dalam Rangka Evaluasi Otonomi Khusus Papua Dan Papua Barat), dan (4) Implementasi Otonomi Khusus Papua Dan Papua Barat Dalam Pandangan Cendekiawan Orang Asli Papua (Kumpulan Makalah Pada Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat).

Seperti dikemukakan pada acara Penutupan Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Otonomi Khusus, tanggal 27 Juli 2013, dan sesuai pula dengan semangat Undang-undang Otonomi khusus yang menganut prinsip akuntabilitas, maka hasil proseding yang terdiri dari empat buku tersebut di atas akan kami publikasikan dan akan diberikan pula kepada para peserta Rapat Dengar Pendapat Evaluasi Otonomi Khusus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, tanggal 25-27 Juli 2013.(Mdc/don/l03/@dv)

Kamis, 17 Oktober 2013 06:54, BintangPapua.com

Tak Ada Urusan Kelompok Bintang Kejora/Merah Putih

Tak Ada Urusan Kelompok Bintang Kejora/Merah Putih.

JAYAPURA-  Rapat  Dengar Pendapat Evaluasi Otsus  Perspektif Orang Asli Papua  bagi Provinsi Papua dan Papua Barat, yang difasilitasi MRP,  dipastikan dilaksanakan tanggal 25-27 Juli dan akan dihadiri utusan dari  40 Kabupaten di dua provinsi di Tanah Papua.

Ketua Tim  Rapat Dengar Pendapat, Yakobus Dumupa menyatakan, sebagian peserta sudah berdatangan dan dipastikan seluruh perwakilan sesuai undangan menyatakan diri hadir,  termasuk 14 narasumber yang akan hadir dan menyampaikan penilaian mereka terhadap implementasi Otsus Papua dalam 14 bidang.

Yakobus Dumupa menegaskan, dalam Rapat Dengar Pendapat yang diselenggarakan MRP ini tak terkait ideologi tertentu.  Evaluasi Otsus ini juga tidak ada urusannya dengan kelompok ideologi tertentu,  seperti kelompok Bintang  Kejora  (BK) atau merah putih.

 

Menurut dia, kita harus melihat evaluasi Otsus  perspektif Orang Asli Papua ini dalam konteks kita sebagai orang  Papua, bukan kita sebagai orang yang punya ideologi tertentu, tidak demikian. Karena itu,  selaku  Ketua Tim Rapat Dengar Pendapat MRP ini menghimbau kepada semua masyarakat Papua untuk dapat melihat evaluasi yang akan dilaksanakan ini sebagai evaluasi dari kita sebagai orang  Papua tanpa peduli ideologi apapun.” Jangan evaluasi ini dikaitkan dengan Ideologi tertentu”, tegasnya.

 

Sangat Disayangkan Selama 12 Tahun Otsus Baru  Dievaluasi

Sementara itu Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik Universitas Cenderawasih Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, rencana evaluasi Otsus Papua oleh MRP pada 25-27 Juli 2013 sesuai ketentuan UU Otsus, namun hal itu sangat disayangkan, karena setelah 12 tahun baru dilaksanakan ketentuan pasal 78 UU Otsus Papua dimaksud.

Diakuinya, memang MRP terlambat lahir di Tanah Papua, karena ada ketakutan Jakarta kepada MRP sebagai lembaga super body yang merupakan perwujudkan kelembagaan dari gerakan kebangkitan nasionalisme Papua.  MRP dipandang juga sebagai simbol perlawanan terhadap kedaulatan Indonesia di Papua karena dengan membentuk MRP sama saja dengan membentuk Negara dalam Negara.

Kecurigaan Jakarta yang cukup besar terhadap lembaga kultural ini, yang membuat MRP kehilangan power sama sekali dalam trias politikal kekuasaan model sistem politik lokal Papua. Tapi lepas dari hal kegiatan evaluasi UU Otsus tahun 2013 ini jangan sampai dimaksudkan untuk memberikan dasar konstitusional kepada lahirnya UU Otsus Plus atau Undang-Undang Pemerintahan Papua.

Menurutnya, jika tujuannya Otsus Plus/Pemerintahan Papua untuk memberikan dasar hukum yang kuat terhadap UU Otsus Plus , dirinya berpikir bahwa MRP sudah terseret kedalam kepentingan politik  dan ekonomi pemerintahan pusat.

“Evaluasi Otsus kalau boleh tidak dimaksudkan untuk memberikan penguatan terhadap proses legislasi UU Otsus plus, tetapi lebih kepada pertanggungjawaban UU Otsus Papua kepada rakyat Papua, dan harus meminta pendapat umum rakyat Papua terhadap kelangsungan UU Otsus Papua ini,” ungkapnya kepada Bintang Papua di kediamannya, Selasa, (23/7).

Dijelaskannya, secara hukum internasional, tidak ada salahnya kalau diakhir dari evaluasi UU Otsus ini, MRP mengusulkan kepada DPRP untuk menggelar referendum terhadap UU Otsus. Karena DPRP memiliki hak konstitusi untuk melaksanakan referendum terhadap UU Otsus.

Dari hasil referendum itulah DPRP akan menyampaikan hasilnya kepada pemerintah pusat melalui DPR RI. Pasalnya, jika dilihat hasil referendum akan memberikan gambaran kepada pemerintah pusat apa sesungguhnya yang orang Papua inginkan atau harapkan tentang UU Otsus Papua dimaksud. Bahwa apakah akan terus dilaksanakan atau harus diganti dengan UU Otsus Plus atau UU Pemerintahan Papua atau pendapat masyarakat Papua tentang pilihan politik yang lain.

Untuk itu, dirinya mendorong dan menghimbau kepada MRP untuk mempertimbangkan akhir dari evaluasi Otsus ini, karena lembaga kultural ini harus melakukan dua langkah penting. Pertama, mengusulkan digelarnya referendum di Tanah Papua terhadap UU Otsus Papua. Kedua, merekomendasikan hasil evaluasi Otsus ini menjadi agenda utama dalam dialog damai Papua dengan Jakarta yang sedang dipersiapkan oleh Jaringan Damai Papua dalam menghentikan dan menyelesaikan konflik dan kekerasan di Papua.

“Dialog damai ini belum disetujui Jakarta karena kecurigaan terhadap agenda dialog. Saya pikir melalui hasl evaluasi Otsus ini bisa dijadikan salah satu agenda utama dalam dialog damai,” pungkasnya.(Ven/Nls/Don/l03)

Satu Tanah, Satu Hati, Satu Budaya

MRP Papua dan Papua Barat Sepakat Join Sistim Bahas Hak Orang Papua

JAYAPURA – Majelis Rakyat Papua dan Papua Barat bersepakat menyatukan hati, bersatu menyelesaikan masalah- masalah di Tanah Papua dengan memperjuangkan hak hak orang asli Papua di bawah motto, “ Satu Tanah, Satu Hati dan Satu Budaya”.
Deklarasi penyatuan persepsi MRP Papua dan Papua Barat itu dilakukan dalam sebuah kesempatan rapat tim kerja evaluasi Otsus Papua perspektif masyarakat asli Papua yang digelar di Kantor MRP Papua, Kamis( 11/7) .

Penyatuan persepsi bersama untuk kedua MRP ini dilakukan dalam rangka mengikat dua lembaga kultural masyarakat asli Papua ini dengan menerapkan Join Sistim dari dua lembaga MRP ini yang dinilai sebagai panggilan dan menjadi moment yang harus dilakukan untuk kepentingan melindungi hak hak dasar orang orang Papua di atas Tanah Papua.

Join Sistim ini dibuat ketika MRP Papua memutuskan memperjuangkan hak dasar yang sesungguhnya sama dengan apa yang dilakukan MRP Papua Barat dengan sebutan , Join sistim. Ini sesungguhnya tak berbeda dengan apa yang diinginkan MRP Papua.

Join Sistim merupakan sebuah alat untuk menyatukan persepsi, menyatukan pandangan. Dengan Pertemuan kali ini kedua MRP menyatakan melegalkan semua persepsi untuk membela hak dasar orang asli Papua, selain itu Join Sistim juga merupakan sebuah alat menyatukan visi, pandangan kedua lembaga kultural ini. “Join Sitim ini dilegalkan bersama,” ungkap Wakil Ketua MRP Papua Barat, Zainal Abidin Bay. Hal sama juga dikemukakan Ketua MRP Papua, Timotius Murib bahwa Join Sistim merupakan penyatuaan persepsi dimana dua lembaga ini akan bersatu, duduk bersama membahas kepentingan masyarakat asli Papua.

Menurut Murib, mekanisme Otsus Plus yang akan dibahas juga dalam evaluasi Otsus perspektif orang asli Papua sebagaimana tertuang dalam Undang undang Otsus 21 pasal 77 dan 78 mengamanatkan kepada MRP untuk mendengarkan aspirasi masyarakat Papua. Dalam rangka itu MRP Papua dan Papua Barat melakukan rapat guna menyatukan persepsi untuk mengundang perwakilan orang asli Papua di 29 kabupaten dan Kota di Papua dan 11 Kabupaten dan Kota di Papua Barat serta 33 anggota MRPPB dan 37 anggota MRP Papua untuk lakukan rapat dengar pendapat dari masyarakat , dimana kedua MRP telah mengundang 118 masyarakat asli Papua dari masing masing daerah berjumlah tiga orang. Mereka hadir untuk menyampaikan semua persoalan implementasi Otsus selama 12 tahun di Tanah Papua.

“ Untuk itu kami semua anggota MRP Papua dan Papua Barat untuk sama sama lakukan dengar pendapat dengan masyarakat yang direncanakan tanggal 25- 27 Juli 2013 mendatang di Hotel Sahit Entrop. Untuk itu MRPPB DAN MRP Papua sudah bersepakat untuk membicarakan hak hak dasar orang asli papua kedepan untuk lebih baik,” jar Murib.

Hak hak dasar orang asli Papua itu diantaranya hak ulayat, kekayaan alam pertumbuhan penduduk orang asli Papua dan sebagainya terkait hak dasarnya. (ven/don/l03/@dv)

Artikel asli dipublikasikan di Binpa, Minggu, 14 Juli 2013 15:38

Enhanced by Zemanta

Kantor Free West Papua di Inggris “Patahkan” Klaim Masalah Papua Sudah Selesai

Walikota Oxford, Moh Niaz Abbasi, di dampingi Benny Wenda, Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxord, Elise Benjamin saat membuka kantor Perwakilan Papua Merdeka di Oxford. Foto: freewestpapua.org
Walikota Oxford, Moh Niaz Abbasi, di dampingi Benny Wenda, Andrew Smith, dan mantan Walikota Oxord, Elise Benjamin saat membuka kantor Perwakilan Papua Merdeka di Oxford. Foto: freewestpapua.org

Jayapura  — Sekretaris Pokja Adat Majelis Rakyat Papua (MRP), Yakobus Dumupa melalui Siaran Pers yang dikirimkan kepadawww.majalahselangkah.com, Minggu, (26/05/13) mengatakan pembukaan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris adalah puncak gunung es dari aspirasi dan perjuangan kemerdekaan orang Papua.

“Bahwa masalah Papua yang berkaitan dengan status wilayah Papua dalam kekuasaan NKRI belum selesai. Sampai sekarang mayoritas rakyat Papua belum menerima hasil Pepera tahun 1969, yang mereka nilai penuh rekayasa, cacat hukum dan moral yang merugikan masa depan orang Papua. Jika orang Papua menerima hasil Pepera tahun 1969, maka saya kira tidak mungkin orang Papua memperjuangkan kemerdekaannya lepas dari kekuasaan NKRI dan tidak mungkin pula adanya pembukaan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris,”

kata Dumupa.

Ia juga mengatakan dibukanya kantor kampanye Free West Papua di Oxford, Inggris mematahkan klaim banyak pihak yang selalu mengatakan bahwa masalah Papua sudah selesai.

Menurutnya,

“Sejumlah pihak yang selama ini rajin mengklaim dan berkampanye bahwa sudah tidak ada lagi orang Papua yang memperjuangkan kemerdekaanya, namun nampaknya meleset dan boleh jadi pembukaan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris adalah puncak gunung es dari aspirasi dan perjuangan kemerdekaan orang Papua,”.

Ia menyarankan supaya pemerintah Indonesia tidak kebakaran jenggot dengan pembukaan kantorFree West Papua di Oxford, Inggris. Tetapi pemerintah Indonesia membuka diri untuk membicarakan akar permasalahan di Papua.

“Saya menyarankan supaya pemerintah Indonesia tidak kebakaran jenggot dengan pembukaan kantor Free West Papua di Oxford, Inggris. Tetapi,  sebaiknya pemerintah Indonesia membuka diri untuk membicarakan akar masalah Papua dengan cara-cara yang terhormat dan bermartabat. Tidak mungkin masalah Papua selesai dengan cara kekerasan dan pemaksaan penerapan sejumlah kebijakan yang justru memperumit permasalahan di Papua,”

Tulis Dumupa dalam siaran pers itu.

Sebelumnya, diberitakan media ini bahwa Benny Wenda bersama para simpatisan secara bebas membuka kantor Free West Papua di Oxford pada 26 April 2013 lalu dengan dihadiri Wali Kota Oxford, Mohammad Niaz Abbasi; anggota Parlemen Inggris, Andrew Smith; dan mantan Walikota Oxford, Elise Benjamin. (AE/MS)

Minggu, 26 Mei 2013 23:27,MS

MRP Tolak Pemekaran Provinsi Tabi

JAYAPURA [PAPOS] – Majelis Rakyat Papua [MRP] secara tegas menolak usulan pembentukan daerah otonom baru [DOB] Provinsi Tabi yang diusulkan oleh tokoh-tokoh 5 kabupaten/kota se-Tanah Tabi, bahkan tim pemekaran telah terbentuk baru-baru ini.

“Adanya aspirasi pemekaran provinsi bukan satu-satunya obat untuk membunuh penyakit orang Papua atau bukan solusi menyejahterakan orang asli Papua. Karena itu, usulan pemekaran terutama Provinsi Tabi saya tolak secara tegas,” ungkap Ketua MRP, Timotius Murib kepada Papua Pos, Jumat (23/3) kemarin.

Dikatakannya, pemekaran Provinsi Tabi Ibarat guntur tanpa kilat, hujan tanpa guntur. “Kami merasa lucu adanya permintaan pemekaran ini, sebab selama dua tahun terakhir ini tidak pernah masuk proposal untuk pengusulan pemekaran provinsi,” ujarnya.

Timotius mengungkapkan, yang terpenting di daerah Provinsi Papua bagaimana pihak pemerintah provinsi baik itu gubernur maupun para bupati bisa mengalokasikan dana Otsus ke masing-masing daerah atau ke tingkat kampung karena dana Otsus di Papua cukup besar. Bagaimana pengalokasian dan bagaimana para bupati bisa mengelola dana Otsus itu dengan baik.

Ia juga mengingatkan para bupati maupun gubernur tidak boleh sekali-kali memberikan informasi yang salah atau menjanjikan kepada masyarakat bahwa pemekaran itu merupakan salah satu solusi untuk menyejahterakan masyarakat. “Kalau salah memberikan informasi dan tidak terbukti maka konsekensinya sangat besar kepada masyarakat,” tukasnya.

Karena itu, dirinya berharap agar ke depan para pejabat di Papua benar-benar menghimpun aspirasi untuk dijadikan suatu masukan atau aspirasi yang penting dalam rangka penyelenggara pembangunan secara benar sesuai dengan aspirasi masyarakat tersebut.

Ia kembali menegaskan, tetap tidak mengijinkan pemekaran provinsi di Papua ini. Ia mempertanyakan apa tujuan pemekaran itu. “Kalau terjadi pemekaran, Papua ini mau dikemanakan, sebab dari sekian ratus negara di dunia, sekarang Indonesia mulai didoakan khususnya di daerah Papua dan Kalimantan karena oksigen di Papua sangat besar. Kalau ada pemekaran, Papua akan kehilangan oksigan karena semua hutan ditebas habis,” jelasnya.

Untuk itu, tegas dia, pemekaran provinsi harus distop dan tidak boleh lagi berbicara soal pemekaran. “Jangan karena mendengar pemimpin di Provinsi Papua ini orang gunung, tiba-tiba meminta untuk dilakukan pemekaran. Itu tidak boleh terjadi,”  tegasnya.

Timotius mengemukakan bahwa, pisau di daerah Provinsi Papua ini sudah dipegang oleh wilayah Saireri. Wilayah Tabi juga sudah pernah pegang pisau sehingga pada kesempatan ini harus diberikan kepada Lukas Enembe dan Klemen Tinal selaku anak Lapago dari pegunungan.

“Jadi, jangan ada muncul pemekaran sana sini, karena yang menjadi korban adalah rakyat hanya demi kepentingan politik. Mari kita jalankan dana Otsus ini dengan baik, sehingga kesejahteraan rakyat itu ada,” ajak Timotius.

DPRP Tak Setuju

Komisi A DPR Papua pun tak setuju dengan ide pemekaran Provinsi Tabi. Ruben Magay, Ketua Komisi A DPR Papua meminta berbagai pihak untuk menghentikan upaya membentuk provinsi baru di Papua.

Permintaan tersebut disampaikan Ruben menyusul maraknya aspirasi untuk memekarkan provinsi baru, termasuk Provinsi Tabi.

“Stop dengan berbagai upaya membentuk provinsi baru termasuk Provinsi Tabi, maupun Papua Tengah, dan Teluk Cenderawasih,” ucap Ruben saat ditemui di ruang Komisi A DPR Papua, Jumat (22/3) kemarin.

Menurut Ruben, upaya untuk membentuk provinsi baru sebagai buah dari kekecewaan pihak-pihak tertentu, bukan datang dari keinginan rakyat.

“Untuk saat ini, hanya ada Provinsi Papua, jadi kalau ada upaya untuk memekarkan provinsi baru lebih baik dihentikan,” tegasnya.

Menurut Ruben, untuk membentuk provinsi baru ada banyak indicator seperti jumlah penduduk, wilayah, dan berbagai sarana yang ada.

Pasalnya, semua ini berkaitan dengan biaya dari pemerintah pusat dan kabupaten. ”Kalau dipaksakan tentu pemerintah pusat akan pikir-pikir, jadi tidak mudah memekarkan satu provinsi,” ucapnya.

Politisi Partai Demokrat ini mengatakan yang penting saat ini adalah penyiapan sumebdaya manusia, berbagai sarana dan sarana di kabupaten induk termasuk meningkatkan anggaran.

Menurut Ruben, jika hal tersebut sudah terpenuhi baru bisa berbicara soal pemekaran kabupaten ataupun provinsi. ”Apalah artinya satu kabupaten atau provinsi dimekarkan baru sumberdaya manusia tidak siap. Pertanyaannya pemekaran untuk siapa,” ujarnya.

Ruben melihat selama ini banyak terjadi pemekaran kabupaten, tapi pembangunan tak berjalan maksimal karena belum siapnya infrastruktur maupun sumber daya manusia.

“Banyak kabupaten pemekaran yang sebagian besar dana APBDnya digunakan untuk biaya trasportasi, sementara pendidikan, kesehatan tak dilaksanakan sepenuhnya,” jelas Ruben.

Sementara pengamat hukum dari Fakultas Hukum Uncen, Martinus Solossa, SH, MH menyatakan sulit untuk memekarkan Provinsi Tabi sebab kabupaten-kabupaten yang hendak dimekarkan berada dalam Provinsi Papua.

Yang bisa dilakukan, adalah merubah nama Provinsi Papua menjadi Provinsi Tabi. “Sulit untuk mewujudkan pemekaran Provinsi Tabi, kalau yang dimekarkan menjadi provinsi baru adalah Kabupaten Sarmi, Mamberamo Raya itu bisa, sementara Kota Jayapura, Kabupaten Jayapura, dan Keerom jelas tidak bisa sebab kabupaten-kabupaten ini langsung berada di dalam wilayah Provinsi Papua,” jelas Solossa. [loy/frm]

Sabtu, 23 Maret 2013 01:19, Papuapos.com

Masih Pagi Tabi Dimekarkan

JAYAPURA [PAPOS]-Terkait dengan adanya wacana pemekaran provinsi Tabi, Ketua Pokja Adat MRP Demas Tokoro mengatakan, Tabi itu wilayah adat, kalau Tabi dimekarkan jadi provinsi bagaimana dengan wilayah adat yang lain ? bisa-bisa wilayah adat yang lain pun minta dimekarkan.

“Di Papua ini ada 7 wilayah adat, salah satunya Tabi. Terkait dengan wacana pemekaran provinsi Tabi, bisa-bisa saja, lalu ibukota provinsi Papua ini di kemanakan ? karena ada diwilayah Tabi. Jadi menurut saya masih pagi sekali kalau Tabi mau di mekarkan jadi sebuah provinsi,” katanya.

Kecuali menurutnya, bila yang lain sudah dimekarkan dan sudah maju, baru bisa dimekarkan, karena ibukota provinsi ada di Tabi, kalau ibu nya dimekarkan bagaimana dengan yang lain.

“Butuh waktu yang panjang untuk di mekarkan, karena ini tidak mudah. Jadi belum saatnya untuk dimekarkan, masih terlalu pagi,” tandasnya.(nkn)

Minggu, 17 Maret 2013 22:47, Ditulis oleh Nkn/Papos

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny