JAYAPURA – Polemik tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua di Papua Barat terus bergulir. Mantan Plt. Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Papua, Didi Agus Prihatno selaku pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilihan anggota MRP mengaku begitu sedih setelah melihat hasil perjuangannya ternyata banyak disalah tafsirkan.
Meski saat ini dirinya sudah menjabat sebagai Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Papua, tapi apa yang dilakukan oleh anggota MRP di Papua Barat dinilainya sangat menodai harkat dan martabat orang asli Papua.
“Mereka sudah terlanjur mengikuti pemilihan bahkan sudah dilantik dan diangkat sumpah janji di depan Menteri Dalam Negeri, dan sudah ikut menandatangani tata tertib serta ikut pemilihan pimpinan definitif, namun hanya demi kepentingan sesaat, dan dengan waktu yang relatif singkat para anggota MRP di Papua Barat langsung membelok dari sumpah janjinya dan membentuk MRP tandingan di Papua Barat,” katanya.
“Saya melihat harkat dan martabat orang Papua mudah sekali dipengaruhi. Jika begini mana mungkin bisa membela nilai-nilai luhur orang Papua,” sambungnya.
Didi menjelaskan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004 yang selama ini oleh anggota MRP Papua Barat diklaim sebagai dasar pembentukan, sebenarnya merupakan aturan yang mengatur tentang pembentulan lembaga yang diperintahkan oleh otsus yakni Majelis Rakyat Papua (MRP), dan sesuai dengan Undang-Undang Otsus, yang berkaitan dengan tata cara pemilihan anggota MRP maka akan diatur melalui Perdasi. Jika berkaitan dengan jumlah anggota MRP akan diatur melalui peraturan daerah khusus (Perdasus).
“Nah, pemilihan MRP kali ini mengatur tentang tata cara dan jumlah anggota dari 42 menjadi 75, sehingga lahirlah Perdasus No.4/2010 tentang tata cara pemilihan anggota MRP, yang akhirnya menyukseskan pemilihan anggota MRP jilid II ini,” katanya.
Sekarang timbul persoalan lagi, sebab saat ini MRP ada Provinsi Papua dan Papua Barat, sementara MRP harus ada di dua pemerintahan, maka DPRP Papua Barat kemudian menggelar paripurna khusus, sehingga lahirnya Perdasus No. 5/tahun 2011 tentang berlakunya Perdasus No.4/2010 tentang pemilihan MRP di Papua Barat.
“Sehingga jika melihat dari Perdasus no.4/2010 tentang tata cara pemilihan MRP, maka sudah jelas MRP hanya satu,” jelasnya.
Karena itu, sesuai dengan PP No. 54/2004 dan Otsus, sudah jelas mengamanatkan bahwa pembentukan MRP sesuai dengan Perdasus, dan Perdasus yang diakui di Papua dan Papua Barat, hanya Perdasus no.4/2010 tentang pemilihan MRP, dan sudah jelas mengamanatkan bahwa MRP hanya satu di Papua.
“Jika main sulap-sulap begitu sama saja mengobok-ngobok tantanan peraturan di negara ini, sebab bentuk MRP dengan regulasi mana? Ini kan kepentingan sesaat,” ungkapnya.
Untuk itu Didi menyarankan, agar anggota MRP yang sah, terutama yang baru dilantik di Papua untuk segera melakukan gugatan secara hukum ke pusat soal pembentukan MRP di Papua Barat.
“Pimpinan definitif yang terpilih itu kan dipilih sesuai dengan tata tertib, bahkan yang ikut pemilihan adalah 33 anggota dari Papua Barat. Jadi mereka yang sah. Seharusnya mereka yang melakukan gugatan ke pusat,” tegasnya.
Dijelaskannya, sejak awal pelantikan oleh Menteri Dalam Negeri, di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua, tidak ada juga disinggung oleh Mendagri soal adanya pimpinan MRP di Papua Barat,bahkan dalam berbagai kesepakatan antara Gubernur Papua Barat dan Papua, di kementrian dalam negeri di Jakarta, serta kedua DPR disepakati MRP hanya satu.
“Saya jadi saksi, tidak ada yang namanya dua MRP. Jika ada dua lembaga MRP, maka pasti ada dua SK. Namun ternyata Mendagri saat pelantikan hanya membacakan satu SK. Jadi pembentukan MRP di Papua Barat hanya demi kepentingan sesaat,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua II DPRP, Komarudin Watubun, menandaskan, pemikiran anggota MRP Papua Barat untuk membentuk MRP Provinsi Papua Barat, didasarkan atas pemikiran mengenai amanat PP 54 Tahun 2004 yang di dalamnya terdapat pasal yang menyatakan tentang provinsi baru bisa membentuk MRP sendiri.
Namun karena adanya berbagai pernyataan yang pada akhirnya hanya membingungkan masyarakat, dan hanya membangun polemik yang berpanjangan, sehingga alangkah baiknya harus diuji materil dari PP 54 itu.
Yang mana untuk memastikan dengan benar bahwa pembentukan MRP Barat itu apakah ada landasan hukum ataukah tidak, guna semua pihak tidak bermain opini bahwa menurut si ‘A’ atau si ‘B’ itu tidak bisa atau itu bisa, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, Komarudin menegaskan, bagi pihak-pihak yang berpolemik selama ini, sebaiknya melihat aturan hukum yang ada, dan selanjutnya menguji materi dari aturan hukum itu ke lembaga-lembaga hukum yang sudah tersedia, apakah ke Mahkamah Konstitusi (MK) ataukah ke Mahkamah Agung (MA).
Sementaraitu, Ketua MRP Provinsi Papua Barat Vitalis Yumte, S.Pd meminta Gubernur Papua dan Ketua DPR Papua agar tidak mengurusi masyarakat yang ada di Provinsi Papua Barat. Sebab, Provinsi Papua Barat memiliki
pemerintahan sendiri termasuk sudah memiliki MRP Provinsi Papua Barat.
Pernyataan tersebut disampaikan Vitalis Yumte saat menggelar jumpa pers, Selasa (21/6) menanggapi pernyataan Gubernur Papua dan DPR Papua yang dilansir beberapa media.
Dikatakan, secara hukum MRP Provinsi Papua Barat sah. Sebab pembentukkannya sesuai Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua vide UU nomor 35
Tahun 2008 dengan PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP. Dimana di setiap provinsi pemekaran dibentuk MRP yang berkedudukan di ibukota provinsi.
Menurutnya, pembentukan MRP Provinsi Papua Barat adalah bentuk kegagalan Pemprov Papua dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. “Gubernur Papua dan DPR Papua saya lihat tidak serius melaksanakan amanat dalam Undang-Undang Otsus. Buktinya banyak agenda Otsus yang tidak dilaksanakan. Antara lain menyiapkan Perdasi dan Perdasus,” tuturnya.
Makanya, lanjut Vitalis, MRP Provinsi Papua Barat harus ada sendiri supaya serius mengurusi masyarakat yang ada di Papua Barat. Dirinya juga menghimbau orang asli Papua di Papua Barat agar tidak terprovokasi oleh kepentingan politik yang memaksakan MRP Provinsi Papua Barat melanggar konstitusi.
Ditambahkan, MRP Provinsi Papua Barat tidak mau melanggar konstitusi.Khususnya menyangkut orang asli Papua yang disebutkan UU Otsus nomor 21 Tahun 2001 Bab I Pasal 1 Huruf (t). MRP Provinsi Papua Periode lalu
pernah melanggar konstitusi mengenai definisi orang asli Papua. Buktinya saat itu ada calon gubernur yang digugurkan untuk mengikuti Pilgub. Orang asli Papua dalam UU Otsus sangat jelas, termasuk orang yang diterima dan akui oleh masyarakat adat.(cak/nls/fud/sr)