MRP Gugat Pengesahan Kantor MRPPB ke PTUN

Jayapura-Majelis Rakyat Papua (MRP) menggugat keputusan Gubernur Papua Barat tentang pengesahan kantor Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB) tertanggal 14 Juni 2011 nomor 161/101/VI.2011 di PTUN.

Gugatan tersebut resmi didaftarakan di PTUN pada pukul 10 pagi 8/9 dengan nomor pendaftaran 38/G.TUN/2011/PTUN.JPR. Hal tersebut disampaikan Tina Kogoya, koordinator tim penggugat dari gabungan anggota MRP dan MRPB dalam jumpa pers Kamis (8/9) di Prima Garden Abepura. Tina mengatakan “atas kesepakatan bersama antara anggota MRP dan MRPB kami mendaftar gugatan di PTUN,”katanya.

Lebih lanjut Tina mengatakan, “sesuai dengan amanat undang-undang otonomi khusus bahwa lembaga MRP adalah lembaga kultur dan lembaga kultur di Papua hanya satu, sehingga kalau belakangan ini kebijakan pemerintah diluar dari rel undang-undang otonomi khusus sperti ini, maka masyarakat papua merasa dirugikan, untuk itu kami yang sementara menduduki lembaga kultur atas kepercayaan masyarakat ini punya hak atas nama masyarakat menggugat guna mencerakan otonomi khusus yang sebenarnya,”katanya.

Ditambakannya lagi “dalam pembahasan tatip, kami sudah sepakati bahwa MRP di Papua satu dan di dalamnya ada tiga pimpinan yaitu ketua, wakil ketua 1 dan wakil ketua 2 kemudian sesuai dengan tatip secara terbuka dan aklamasi sudah adakan pemilihan untuk memili tiga pimpinan dan hal itu sudah terlaksana bahwa dapat terpilih Ibu Ola Woramuri, Timotius Murip dan Herman Saud.

Menurutnya karena MRP sebagai lembaga kultur yang dibentuk sesuai amanat undang-undang otonomi kuhusus satu di Papua.

“Untuk itu kami juga menolak tegas kepentingan sekelompok orang membentuk MRP-MRP baru, kami bukan mengabaikan surat keputusan menteri dalam negeri tetapi, menteri dalam negeri melihat karena ada permintaan pemerintah daerah, sehingga kami berharap pemerintah daerah papua barat secara jeli melihat undang-undang otonomi khusus yang sebenarnya,”katanya. (CR 31/don/l03)

BintangPapua.com, Kamis, 08 September 2011 23:43

Ketua MRP: ‘Cagub Papua Harus Orang Asli Bukan “Gado-Gado”

Timotius Murib, Ketua MRP
Timotius Murib, Ketua MRP

Tanggal 7 Juli barusan diulas tentang siapa orang Asli Papua dan siapa yang bukan asli Papua.Wacana ini berbeda dari siapa orang Papua dan siapa bukan orang Papua. Penambahan kata “asli” memberi penekanan khusus. Dan dalam catatan ini hendak kita tegaskan kembali ukuran yang dinyatakan oleh Ketua MRP baru-baru ini sebagaimana dilansir dalam Tabloid Jubi, SATURDAY, 27 AUGUST 2011 00:12 dengan judul berita: Ketua MRP: ‘Cagub Papua Harus Orang Asli Bukan “Gado-Gado”.

Kita mulai dari kata “Bukan Gado-Gado”. Kalau kita kaitkan pembedaan antara orang Papua dan orang Asli Papua menurut pengertian secara sosiobudaya dan sosiopolitik seperti pernah dikomentari sebelumnya, maka penegasan Ketua MRP ini memutuskan dengan tegas, bahwa yang dimaksud dengan “Orang Asli Papua” ialah:
[info]1. Bapak berasal dari salah satu suku di Tanah Papua;
2. Ibunya berasal dari salah satu suku di Tanah Papua;
3. Ia tidak termasuk yang diterima secara adat oleh salah suku di Papua;
4. Tidak termasuk yang salah satu orang tuanya non-Papua, atau istilah umumnya bukan peranakan.
[/info]
Menurut Murib, yang bukan gado-gado itu menurut ukuran orang Papua ialah yang Asli. Kalau kita berpatokan kepada prinsip ini, maka jelas-jelas Dr. Hon. John Tabo gugur dengan sendirinya, karena secara adat John Tabo sementara ini meminjam marga Tabo, karena ayahnya bukan orang Papua, dan sementara ini juga ia tahu persis masa tuanya bukan dihabiskan di Tanah Papua, tetapi di tanah ayah dan tanah ulayatnya di Tana Toraja.

Kalau ini patokannya, maka JUdicial Review yang dimenangkan Resubun tidak berlaku bagi hukum adat dan kacamata orang Papua. Boleh-boleh saja, sebagai orang yang mencari makan di Tanah Papua, karena telah lama hidup, dilahirkan atau dibesarkan di Tanah ini atau diterima oleh salah-satu suku mencari identitasnya dengan menggugat ke mana saja, tetapi menurut ketegasan ini, jelas Resubun juga gugur demi hukum adat Papua.
[stickyright]Catatan: Hukum Adat Papua di sini dimaksudkan sebagai pandangan, patokan atau penilaian orang Papua terhadap wacana “orang asli Papua”.[/stickyright]
Ini yang ditegaskan oleh Wakil Ketua II MRP: “Kotorok menilai, jangan membuat arti baru atau menafsirkan hal baru dalam aturan baku yang sudah. Sebab dalam UU Otsus Papua adalah keaslian dan bukan campur-campur atau peranakan.”

Kita lanjut ke pokok kedua, “Bagi Cagub Papua, kata Timotius, mama dan bapanya juga harus asli Papua, rambut keriting dan berkulit hitam” demikian kata Murib. Jadi, ada harus dan ada bukan. Yang bukan gado-gado sudah jelas, sekarang yang harus, yaitu “berambut keriting dan berkulit hitam” (ya, sebenarnya warna kulit orang Papua bukan hitam, tetapi cokelat).

Kalau kita lihat pandangan kedua pemimimpin MRP ini terlihat jelas bahwa “seolah-olah UU Otsus itu telah sepenuhnya menjamin keaslian orang Papua itu dalam UU Otsus 21/2001.” Padahal justru tidak. Justru UU Otsus inilah yang dipakai Resubun mengajukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi dan justru berdasarkan UU Otsus itulah dia telah menang. Artinya apa? Itu berarti justru UU Otsus itulah yang perlu diperjelas dan dipertegas dan Perda/ Perdasus Provinsi sehingga penjelasan keaslian orang Papua itu ditegaskan dengan ciri dan garis yang jelas.

Yang jelas orang Papua yang diwakili oleh MRP dengan terus-terang mengatakan orang asli Papua ialah:
[news]
1. Bukan peranakan;
2. Bukan orang asing yang lahir-tinggal di Tanah Papua;
3. Bukan orang yang mengaku diri orang Papua yang berambut lurus dan berkulit bukan cokelat.
[/news]
Barangkali perlu ditambahkan disini, tentu secara hukum adat, bahwa orang asli Papua ialah “Anak yang dilahirkan oleh ayahnya dan ibunya di mana keduanya berasal dari salah-satu suku yang telah ada sejak nenek-moyang. Jadi, bukan sejak Belanda ada, bukan juga sejak Indonesia ada di Tanah Papua.

Kalau ini yang diberlakukan, maka jelas-jelas mendatangkan bahan renungan khusus bagi orang Papua yang telah bersuamikan atau beristerikan non-Papua. Maka jelas nasib anak yang mereka kandung/ lahirkan itu dalam politik West Papua secara otomatis menjadi
1. orang Papua”gado-gado” dan/atau
2. orang “bukan asli Papua”.

Kalau begitu jadinya, maka kita sedang membangun sebuah konstelasi sosial-budaya yang baru, entah itu akan berakhir kepada sebuah happy-ending atau sad-ending, atau unpredictable-ending, kita semua sebagai manusia yang sedang bersosialiassi dengan sesama manusia dalam politik plurailsme, multikulturalisme, demokratisasi yang semakin mengglobal ini akan menyaksikannya. Dan kita semua pasti punya kesimpulan yang beraneka ragam, pro dan kontra, dan ada juga question-mark. Ketegasan pemimpin MRP sebagai satu-satunya wakil rakyat Papua, walaupun tidak memiliki wewenang apapun dalam politik NKRI, barangkali perlu terus dikumamdangkan, toh nantinya ada orang berwenang akan mendengarkannya, kalau bukan di Jakarta, di London juga ada, di Canberra juga ada, di Port Moresby juga ada.
[pmquote]
Tidak perduli Jakarta tidak perduli, orang Papua tidak perlu memperdulikannya. Kita perlu memperdulikan bahwa nasib dan masa depan bangsa dan ras ini sedang menuju kepunahan. Itu pasti walaupun barangkali kita menolak untuk menerimanya sekarang. Dan kita orang Papua sendiri telah mengambil bagian secara aktiv dan pro-aktiv dalam proses pemunahan itu, bukan?[/pmquote]

Pemilihan Lagi, Timotius Murib Pimpin MRP

JAYAPURA – Meski pada akhir Mei 2011 lalu unsur pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) telah dipilih yaitu Dorkas Duaramuri sebagai ketua, Pdt. Herman Saud sebagai wakil ketua I dan Timotius Murib sebagai wakil ketua II, namun Jumat (26/8) kemarin pemilihan unsur pimpinan MRP itu dilakukan lagi alias diulang.
Dalam rapat pleno pemilihan tersebut akhirnya terpilih Timotius Murib sebagai ketua, Hofni Simbiak sebagai wakil ketua I, dan Engelbertha Kotorok sebagai wakil ketua II.

Ketua MRP Sementara Joram Wambrauw menjelaskan, pemilihan ulang unsur pimpinan MRP ini dilakukan menyusul adanya surat dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) RI pada 14 Agustus 2011 dan disusul kembali surat dari Mendagri pada 23 Agustus 2011 terkait pemilihan Ketua MRP Provinsi Papua yang baru.

“Dengan adanya dua surat dari Mendagri itu, maka pemilihan ketua MRP yang lalu dibatalkan dan kemudian dilakukan pemilihan ulang melalui pemungutan suara secara mufakat,” katanya.

Joram menjelaskan, mekanisme yang diatur dalam Peraturan MRP sebelumnya yaitu dalam Peraturan MRP No.1 tahun 2011 diulang lagi dengan Peraturan MRP No.2 Tahun 2011 yang kemudian diperbaharui lagi menjadi Peraturan MRP No.3 Tahun 2011 sehingga mekanismenya dengan mengajukan calon dimulai dari kelompok kerja (pokja) adat , pokja perempuan dan pokja agama.

“Dari masing-masing pokja diajukan sedikitnya 3 (tiga) orang sebagai bakal calon, kemudian hanya 1(satu) orang saja yang diikutkan dalam pemilihan, yang mana dari proses itu maka pokja adat yang keluar sebagai ketua yaitu Timotius Murib, pokja agama sebagai wakil ketua I yaitu Hofni Simbiak, dan pokja perempuan sebagai wakil ketua II yaitu Engelbertha Kotorok,” jelasnya.

Joram juga menjelaskan, dengan dilakukannya pemilihan ketua MRP yang baru, maka para anggota MRP yang berasal dari wilayah Provinsi Papua Barat akan dikembalikan ke daerahnya. “Dengan demikian pemilihan yang lalu luntur dengan sendirinya,” terangnya.

Di tempat yang sama, Timotius Murib selaku Ketua MRP terpilih periode 2011-2016 mengatakan ini tugas berat yang dipercayakan kepada dirinya, oleh sebab itu perlu kerjasama yang baik, sebab ada banyak persoalan yang harus dikerjakan.

Setelah dilantik nanti, dirinya akan melakukan pembenahan dalam berbagai program, baik pendek, menengah maupun panjang.

“Pemilihan gubernur dalam waktu dekat ini harus dilihat keaslian orang tua asli Papua dengan mengacu UU Otsus, sehingga bagi abang-abang atau bapak-bapak yang merasa dirinya gado-gado sebaiknya mengundurkan diri,” tegasnya.

Sementara itu, Koordinator Program The Institut for Civil Strengthening (ICS) Papua, Yusak Reba menilai bahwa pemilihan ketua MRP yang dilakukan oleh anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) jilid II kemarin sore bakal membuat kredibilitas dan komitmen kerja dari anggota MRP itu dipertanyakan.

“Soal pemilihan itu oke-oke saja, namun bagi saya dengan pemilihan ulang seperti ini sudah membuktikan bahwa kinerja dari MRP diragukan. Apakah bisa menjalankan fungsi sebagai pengawal Otsus atau kah tidak,” tuturnya.

Sebab Kata Yusak, dari awal saja sebagian anggota MRP Papua Barat sudah ke provinsinya, hanya karena kepentingan politik, sehingga kinerja mereka sudah bisa dipertanyakan, karena kehadiran mereka ternyata bukan untuk memproteksi hak-hak dasar orang asli, sebagaimana diatur dalam undang-undang Otsus, namun yang dilakukan sudah keluar jauh. “Hal ini harus menjadi catatan bagi anggota MRP di Papua. Jangan sampai hal yang sama lagi terjadi bagi anggota MRP di Papua,” tegasnya.

“Jika selama ini kita katakan Pusat yang tidak melaksanakan Otsus dengan baik di Papua, ternyata orang Papua sendiri yang malah merusak Otsus di Papua, ini bisa terlihat dari lembaga MRP,” sambungnya.
Yusak bahkan mengkritisi persoalan di dalam MRP jilid II kali ini, di mana waktunya hanya terbuang percuma untuk mengurusi persoaln internal MRP. Sementara banyak persoalan hak-hak dasar orang asli Papua yang harus dilihat oleh MRP ternyata banyak yang terlewat.

“Saya tidak persoalkan siapa yang menjadi Ketua MRP, hanya saja saya sangat mengharapkan agar ketua yang baru bisa menyusun agenda yang baik, sehingga MRP ke depan bekerja dengan program yang jelas. Jangan hanya kerja dengan moment saja,” tambahnya.

Yusak juga mengharapkan agar masyarakat asli Papua bisa ikut mengawasi kinerja anggota MRP ke depan. “Saya berharap masyarakat Papua harus ikut mengawal kinerja MRP,sehingga tugas dan tanggungjawabnya bisa dilaksanakan sesuai dengan amanat Otsus,”katanya.(ado/nal/cak/fud)

Sabtu, 27 Agustus 2011 , 05:26:00

DPR Papua Diminta Tentukan Sikap Soal Dualisme MRP

ASPIRASI : Wakil ketua DPRP, Komarudin Watubun,SH.MH bersama ketua komisi C DPRP, Carolus Boli,SE dan anggota komisi C lainnya saat menerima aspirasi pengunjukrasa.

ASPIRASI : Wakil ketua DPRP, Komarudin Watubun,SH.MH bersama ketua komisi C DPRP, Carolus Boli,SE dan anggota komisi C lainnya saat menerima aspirasi pengunjukrasa.
JAYAPURA [PAPOS]- Koalisi Rakyat Papua Bersatu Untuk Keadilan meminta Dewan Pewakilan Rakyat Papua (DPRP) menentukan sikap terkait dualisme Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Majelis Rakyat Papua Barat (MRPB).

“Beberapa waktu lalu unsur pimpinan dari legislatif Papua pernah menyatakan sikap akan bubar atau mundur dari jabatan, jika polemik (dualisme MRP) ini belum terselesaikan dengan baik,” kata Ketua Koalisis Rakyat Papua Bersatu untuk Keadilan (KRPBK) Osama Usman Yogoby, kepada ANTARA di Jayapura, Selasa.

Ancaman mundur atau bubar yang disampaikan oleh pimpinan DPRP tersebut, katanya, apakah hanya sekadar slogan atau “gula-gula politik” untuk menenangkan rakyat Papua yang kini telah terbagi menjadi dua provinsi tersebut. “Apakah sikap tersebut hanya pernyataan sesumbar saja atau hanya `gula-gula politik` saja,” katanya.

Ia mengaku, sebenarnya pihaknya telah menolak adanya MRP jilid II sejak dari masa pemilihan sejumlah anggota untuk masa pengabdian lima tahun mendatang, dengan melakukan berbagai aksi protes kepada DPRP.

Karena KRPBK menilai kinerja dan sejumlah masukan yang dilakukan oleh MRP jilid I pimpinan Almarhum Agus Alua Alue dan kawan-kawan kepada DPRP tidak diindahkan atau tidak dianggap sebagai salah satu pengambil kebijakan adat.

“Sebenarnya kami tidak lagi fokus untuk menyoroti MRP ataupun MRPB, karena sebelumnya kami telah menolak dengan jelas lewat berbagai aksi protes dan unjuk rasa ke DPRP sejak tahun lalu dan awal tahun ini,” katanya.

Untuk itu, awal bulan Juli nanti ia bersama sejumlah perwakilan dari berbagai komponen dan elemen yang peduli pada Papua, termasuk perwakilan berbagai universitas yang ada di Papua melakukan dengar pendapat dengan DPRP terkait aspirasi yang pernah disampaikan oleh pihaknya, termasuk beberapa hasil rekomendasi MRP jilid I. “Kami akan beraudiens dengan DPRP pada awal Juli nanti, untuk tanyakan sejauh mana mereka perjuangkan aspirasi kami,” katanya.

Majelis Rakyat Papua jilid II sebanyak 73 orang dilantik Mendagri pada 12 April lalu, kemudian pada 15 Juni lalu secara tak terduga Gubernur Papua Barat, Abraham O Atururi melantik sejumlah utusan MRP dari Papua Barat menjadi Majelis Rakayat Papua Barat (MRPB) dengan Ketua Vitalis Yumte.Akibatnya, terjadi polemik di tengah masyarakat Papua, karena UU Otsus Papua hanya mengamanatnya saru MRP untuk semua provinsi di Papua.[bel/ant]
Written by Bel/Ant/Papos
Thursday, 30 June 2011 00:00

MRP Papua Barat Nodai Harkat Orang Papua

JAYAPURA – Polemik tentang pembentukan Majelis Rakyat Papua di Papua Barat terus bergulir. Mantan Plt. Kepala Badan Kesbangpol dan Linmas Provinsi Papua, Didi Agus Prihatno selaku pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pemilihan anggota MRP mengaku begitu sedih setelah melihat hasil perjuangannya ternyata banyak disalah tafsirkan.

Meski saat ini dirinya sudah menjabat sebagai Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Papua, tapi apa yang dilakukan oleh anggota MRP di Papua Barat dinilainya sangat menodai harkat dan martabat orang asli Papua.

“Mereka sudah terlanjur mengikuti pemilihan bahkan sudah dilantik dan diangkat sumpah janji di depan Menteri Dalam Negeri, dan sudah ikut menandatangani tata tertib serta ikut pemilihan pimpinan definitif, namun hanya demi kepentingan sesaat, dan dengan waktu yang relatif singkat para anggota MRP di Papua Barat langsung membelok dari sumpah janjinya dan membentuk MRP tandingan di Papua Barat,” katanya.

“Saya melihat harkat dan martabat orang Papua mudah sekali dipengaruhi. Jika begini mana mungkin bisa membela nilai-nilai luhur orang Papua,” sambungnya.

Didi menjelaskan, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004 yang selama ini oleh anggota MRP Papua Barat diklaim sebagai dasar pembentukan, sebenarnya merupakan aturan yang mengatur tentang pembentulan lembaga yang diperintahkan oleh otsus yakni Majelis Rakyat Papua (MRP), dan sesuai dengan Undang-Undang Otsus, yang berkaitan dengan tata cara pemilihan anggota MRP maka akan diatur melalui Perdasi. Jika berkaitan dengan jumlah anggota MRP akan diatur melalui peraturan daerah khusus (Perdasus).

“Nah, pemilihan MRP kali ini mengatur tentang tata cara dan jumlah anggota dari 42 menjadi 75, sehingga lahirlah Perdasus No.4/2010 tentang tata cara pemilihan anggota MRP, yang akhirnya menyukseskan pemilihan anggota MRP jilid II ini,” katanya.

Sekarang timbul persoalan lagi, sebab saat ini MRP ada Provinsi Papua dan Papua Barat, sementara MRP harus ada di dua pemerintahan, maka DPRP Papua Barat kemudian menggelar paripurna khusus, sehingga lahirnya Perdasus No. 5/tahun 2011 tentang berlakunya Perdasus No.4/2010 tentang pemilihan MRP di Papua Barat.
“Sehingga jika melihat dari Perdasus no.4/2010 tentang tata cara pemilihan MRP, maka sudah jelas MRP hanya satu,” jelasnya.

Karena itu, sesuai dengan PP No. 54/2004 dan Otsus, sudah jelas mengamanatkan bahwa pembentukan MRP sesuai dengan Perdasus, dan Perdasus yang diakui di Papua dan Papua Barat, hanya Perdasus no.4/2010 tentang pemilihan MRP, dan sudah jelas mengamanatkan bahwa MRP hanya satu di Papua.

“Jika main sulap-sulap begitu sama saja mengobok-ngobok tantanan peraturan di negara ini, sebab bentuk MRP dengan regulasi mana? Ini kan kepentingan sesaat,” ungkapnya.

Untuk itu Didi menyarankan, agar anggota MRP yang sah, terutama yang baru dilantik di Papua untuk segera melakukan gugatan secara hukum ke pusat soal pembentukan MRP di Papua Barat.

“Pimpinan definitif yang terpilih itu kan dipilih sesuai dengan tata tertib, bahkan yang ikut pemilihan adalah 33 anggota dari Papua Barat. Jadi mereka yang sah. Seharusnya mereka yang melakukan gugatan ke pusat,” tegasnya.

Dijelaskannya, sejak awal pelantikan oleh Menteri Dalam Negeri, di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua, tidak ada juga disinggung oleh Mendagri soal adanya pimpinan MRP di Papua Barat,bahkan dalam berbagai kesepakatan antara Gubernur Papua Barat dan Papua, di kementrian dalam negeri di Jakarta, serta kedua DPR disepakati MRP hanya satu.

“Saya jadi saksi, tidak ada yang namanya dua MRP. Jika ada dua lembaga MRP, maka pasti ada dua SK. Namun ternyata Mendagri saat pelantikan hanya membacakan satu SK. Jadi pembentukan MRP di Papua Barat hanya demi kepentingan sesaat,” pungkasnya.

Sementara itu, Wakil Ketua II DPRP, Komarudin Watubun, menandaskan, pemikiran anggota MRP Papua Barat untuk membentuk MRP Provinsi Papua Barat, didasarkan atas pemikiran mengenai amanat PP 54 Tahun 2004 yang di dalamnya terdapat pasal yang menyatakan tentang provinsi baru bisa membentuk MRP sendiri.

Namun karena adanya berbagai pernyataan yang pada akhirnya hanya membingungkan masyarakat, dan hanya membangun polemik yang berpanjangan, sehingga alangkah baiknya harus diuji materil dari PP 54 itu.

Yang mana untuk memastikan dengan benar bahwa pembentukan MRP Barat itu apakah ada landasan hukum ataukah tidak, guna semua pihak tidak bermain opini bahwa menurut si ‘A’ atau si ‘B’ itu tidak bisa atau itu bisa, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, Komarudin menegaskan, bagi pihak-pihak yang berpolemik selama ini, sebaiknya melihat aturan hukum yang ada, dan selanjutnya menguji materi dari aturan hukum itu ke lembaga-lembaga hukum yang sudah tersedia, apakah ke Mahkamah Konstitusi (MK) ataukah ke Mahkamah Agung (MA).

Sementaraitu, Ketua MRP Provinsi Papua Barat Vitalis Yumte, S.Pd meminta Gubernur Papua dan Ketua DPR Papua agar tidak mengurusi masyarakat yang ada di Provinsi Papua Barat. Sebab, Provinsi Papua Barat memiliki
pemerintahan sendiri termasuk sudah memiliki MRP Provinsi Papua Barat.

Pernyataan tersebut disampaikan Vitalis Yumte saat menggelar jumpa pers, Selasa (21/6) menanggapi pernyataan Gubernur Papua dan DPR Papua yang dilansir beberapa media.

Dikatakan, secara hukum MRP Provinsi Papua Barat sah. Sebab pembentukkannya sesuai Undang-undang nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua vide UU nomor 35

Tahun 2008 dengan PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP. Dimana di setiap provinsi pemekaran dibentuk MRP yang berkedudukan di ibukota provinsi.

Menurutnya, pembentukan MRP Provinsi Papua Barat adalah bentuk kegagalan Pemprov Papua dalam mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua. “Gubernur Papua dan DPR Papua saya lihat tidak serius melaksanakan amanat dalam Undang-Undang Otsus. Buktinya banyak agenda Otsus yang tidak dilaksanakan. Antara lain menyiapkan Perdasi dan Perdasus,” tuturnya.

Makanya, lanjut Vitalis, MRP Provinsi Papua Barat harus ada sendiri supaya serius mengurusi masyarakat yang ada di Papua Barat. Dirinya juga menghimbau orang asli Papua di Papua Barat agar tidak terprovokasi oleh kepentingan politik yang memaksakan MRP Provinsi Papua Barat melanggar konstitusi.

Ditambahkan, MRP Provinsi Papua Barat tidak mau melanggar konstitusi.Khususnya menyangkut orang asli Papua yang disebutkan UU Otsus nomor 21 Tahun 2001 Bab I Pasal 1 Huruf (t). MRP Provinsi Papua Periode lalu
pernah melanggar konstitusi mengenai definisi orang asli Papua. Buktinya saat itu ada calon gubernur yang digugurkan untuk mengikuti Pilgub. Orang asli Papua dalam UU Otsus sangat jelas, termasuk orang yang diterima dan akui oleh masyarakat adat.(cak/nls/fud/sr)

MRP di Papua Barat = Otsus Gagal

Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri yang juga akan maju dalam pemilukada Gubernur Papua Barat saat menghadiri acara penyerahan berkas pertimbangan dan persetujuan MRP terhadap para bakal calon di KPU Papua Barat, Rabu (15/6)
Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri yang juga akan maju dalam pemilukada Gubernur Papua Barat saat menghadiri acara penyerahan berkas pertimbangan dan persetujuan MRP terhadap para bakal calon di KPU Papua Barat, Rabu (15/6)

JAYAPURA – Tanggapan keras terus mengalir terhadap Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat, yang baru saja dilantik oleh Gubernur Papua Barat Abraham O. Ataruri, Rabu (15/6) lalu. Kali ini datangnya dari Koordinator Program The Institute for Civil Strengthening (ICS) Papua, Yusak Reba saat dihubungi oleh Cenderawasih Pos, kemarin.
Menurutnya, sikap elit-elit politik di Papua Barat yang sengaja membentuk MRP di Papua Barat melambangkan sikap yang akan memberikan stigma kepada orang Papua, bahwa undang-undang otonomi khusus di Papua telah gagal.

“Saya menilai ini permainan dari elit politik di Papua Barat, yang sengaja membentuk MRP, tanpa dasar hukum yang kuat, akan meluruskan opini masyarakat Papua, bahwa otsus gagal. Jangan heran masyarakat Papua selalu menolak otsus di Papua,” tegasnya.

Bahkan, Yusak meminta kepada pemerintah pusat dalam hal ini Presiden dan Menteri Dalam Negeri jangan sekali-kali memberikan peluang kepada elit-elit politik yang sengaja mengacaukan pelaksanaan undang-undang otsus di Papua, bahkan pusat harus segera menegur kepada gubernur yang bersangkutan.

“Jika pusat memberikan kesempatan kepada elit-elit politik untuk mengacaukan pelaksanaan otsus di Papua, maka pusat juga ikut dalam perpecahan orang Papua,” terangnya.

Bahkan kata Yusak, sesuai dengan Undang-Undang Otsus No.21/2001, MRP adalah lembaga negara, bukan bawahan dari gubernur, sehingga gubernur tidak pantas melantik pimpinan MRP, seperti yang dilakukan oleh Gubernur Papua Barat, dengan melantik MRP di Papua Barat, bisa terkesan dua kali pelantikan dalam periode yang sama.
“Ini terkesan dua kali pelantikan, ini bisa dikatakan melanggar hukum,” ucapnya.

Yusak menjelaskan, pembentukan MRP di Papua Barat oleh elit-elit politik di Provinsi termuda tersebut membuktikan bahwa elit-elit politik di Provinsi tersebut belum memahami regulasi soal undang-undang otsus secara baik, terutama Undang-undang no.21/2001, serta perubahan UU.no.35/2008, tentang perubahan undang-undang 21.2001, untuk Provinsi Papua Barat, Kata Yusak,jika dibaca dengan baik, tidak ada salah satu pasal yang mengatakan MRP harus ada di Papua Barat.

“Tidak ada landasan hukum yang kuat untuk membentuk MRP di Papua Barat, jadi MRP di Papua Barat ilegal. Pusat harus segera ambil sikap,” terangnya.

Sementara itu, MRP Papua Barat hanya membutuhkan waktu satu hari untuk memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap bakal calon menyangkut syarat keaslian calon sebagai orang asli Papua. Berkas yang diserahkan KPU Papua Rabu (15/6) sekitar pukul 16.00 WIT langsung diserahkan kembali, Jumat (17/6) pukul 09.00 WIT. Dari 33 anggota MRP Papua Barat, sebanyak 24 anggota MRP Papua Barat hadir menyaksikan penyerahan berkas tersebut.

Berkas diserahkan langsung Ketua MRP Papua Barat Vitalis Yumte dan diterima Plt Ketua KPU Papua Barat Philep Wamafma yang juga Devisi Hukum. Ketua MRP Papua Barat didampingi Wakil Ketua I Anike T.H Sabami dan Wakil Ketua II Zainal Abidin Bay. Penyerahan berkas pasangan calon tersebut dihadiri Gubernur Papua Barat Abraham O Atururi dan Wagub Drs Rahimin Katjong, M.Ed dan Muspida Kabupaten Manokwari.
Saat dikonfirmasi usai penyerahan berkas, Vitalis enggan menyampaikan hasil verifikasi yang dilakukannya. Yang jelas pihaknya sudah melakukan tugasnya sesuai yang diamanatkan dalam undang-undang Otsus nomor 21 Tahun 2001 maupun PP 54 Tahun 2004 yakni memberikan pertimbangan dan persetujuan terhadap calon khususnya menyangkut orang Papua asli. Vitalis mengaku akan segera melanjutkan proses pembahasan tugas MRP Papua Barat lainnya.
Setelah menerima berkas dari MRP Papua Barat, KPU Papua Barat, Jumat (17/6) sekitar pukul 14.00 WIT langsung menggelar pleno untuk menetapkan pasangan calon yang sudah mendapatkan pertimbangan dan persetujuan terkait keaslian calon sebagai orang Papua.

Plt Ketua KPU Papua Barat Philep Wamafma yang juga komisioner Devisi Hukum dalam jumpa pers, Jumat (17/6) di Kantor KPU Papua Barat di Jalan SKMA II Basecamp Arfai Distrik Manokwari Selatan langsung membacakan surat keputusan KPU Papua Barat nomor 26 Tahun 2011 tentang penetapan pasangan calon yang memenuhi syarat dan lolos dalam pencalonan untuk mengikuti pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Tahun 2011.
Dalam surat keputusan KPU Papua Barat nomor 26 Tahun 2011 tersebut telah menetapkan empat pasangan sebagai Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Papua Barat Tahun 2011. “Pasangan calon yang sudah kita tetapkan sebagai calon gubernur dan wakil gubernur sudah mendapat pertimbangan dan persetujuan dari MRP Papua Barat,”tuturnya.

Keempat pasangan tersebut antara lain pertama Abraham O Atururi sebagai Calon Gubernur dan Drs Rahimin Katjong, M.Ed sebagai calon wakil gubernur. Kedua, Drs Dominggus Mandacan sebagai calon gubernur dan Origenes Nauw, S.Pd sebagai calon wakil gubernur. Ketiga, George Celcius Auaparay, SH, MM, MH sebagai calon Gubernur dan Hasan Ombaer, SE sebagai calon wakil gubernur. Keempat, DR Wahidin Puarada, M.Si sebagai calon Gubernur dan Ir Herman Donatus Felix Orisoe sebagai calon wakil gubernur.

Dikatakan, pasangan-pasangan calon gubernur yang sudah ditetapkan akan mengikuti proses tahapan selanjutnya sesuai dengan keputusan KPU Provinsi Papua Barat Nomor 25 Tahun 2011. Sesuai dengan jadwal, KPU Papua Barat akan melakukan pencabutan nomor urut, Senin (20/6) di Kantor KPU Papua Barat.(cak/fud/sr)

Pelantikan MRP Papua Barat Menuai Kontroversi

JAYAPURA – Pelantikan unsur pimpinan Majelis Rakyat Papua (MRP) Papua Barat oleh Gubernur Papua Barat, Abraham O Ataruri yang mengatasnamakan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) pada Selasa (14/6) lalu menuai kontroversi.

Gubernur Papua, DR (HC) Barnabas Suebu,S.H dengan tegas tetap menolak pelantikan itu, namun di sisi lain, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua, Lenis Kogoya justru tidak mempersoalkan hal itu.

“Sebenarnya saya sudah membuat pernyataan soal MRP Papua Barat. Jika ada MRP di Papua Barat, maka itu akan megundang persoalan baru, dan bagi saya sebenarnya MRP di Papua Barat itu tidak boleh ada,” katanya kepada wartawan di Gedung Negara, Jayapura, Kamis (16/6) kemarin.

Suebu menegaskan, MRP Papua Barat itu sebenarnya berlawanan dengan undang-undang, sebab tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Otonomi Khusus yang mengatur soal itu. “Tapi ternyata tanpa koordinasi lagi, MRP di Papua Barat sudah dilantik. Dua MRP ini sangat bertentangan dengan otsus, bahkan akan menjadi persoalan nasional dan internasional,” tegasnya.

Sementara Pdt. Ev.Thimotous Idie selaku tokoh agama saat bertandang ke Redaksi Cenderawasih Pos tadi malam menyatakan, jika sampai pemerintah pusat mengakui keberadaan MRP di Papua Barat, maka akan berpeluang menjadi persoalan baru di Papua, bahkan memperkuat pengakuan dunia internasional bahwa otonomi khusus tidak mampu menyelesaikan persoalan di Papua.

“Kita juga sudah menolak keberadaan MRP jilid II saat musyawarah besar di MRP 9 Juni 2010 lalu, kenapa sampai Pemerintah Pusat memaksakan membentuk lagi, ini adalah politik semata yang dimainkan oleh pemerintah,” katanya.

Bahkan dirinya juga dengan terang-terangan menilai pembentukan MRP Papua Barat adalah politik yang dimainkan oleh Gubernur Papua Barat Abraham O. Atururi untuk meloloskan dirinya dalam pemilukada Gubernur Provinsi Papua Barat.

“Stop sudah pemerintah pusat main di Papua, jangan membuat konflik antara orang Papua sendiri,” tukasnya.
Sementara itu, Ketua Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Papua, Lenis Kogoya justru mendukung pembentukan MRP di Papua Barat itu.

“Sesuai dengan Undang-Undang No. 21/2001 tentang otonomi khusus, amandemen UU No.35/2008, serta PP No. 54/2004, sudah jelas memberikan peluang kepada Provinsi Papua Barat untuk membentuk Majelis Rakyat Papua di Papua Barat.

“Sudah jelas tertulis, bahwa MRP dibentuk di ibu kota provinsi. Jadi ada peluang untuk pembentukan MRP di Papua Barat, apalagi gubernur, masyarakat, dan agama di Papua Barat sangat mendukung,” terangnya.

Lenis mengatakan, sebelum terbentuk MRP di Papua Barat, dirinya selaku Ketua LMA Papua sudah lebih dulu berbicara soal persoalan MRP ke Pemerintah Daerah, DPRP serta MRP sendiri, namun tidak digubris. “Kini MRP di Papua Barat sudah dilantik, baru berbagai pihak mulai kaget lalu mengeluarkan statemen macam-macam. Karena MRP sudah lantik, maka jalan saja, sebab undang-undang sudah ada, tinggal kita dukung saja,” ujarnya.

Dirinya juga meminta kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk segera melakukan audit penggunaan dana pemilihan anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) terutama di panitia pemilihan dan komisi pemilihan.

“Saya juga minta oknum pejabat di Papua jangan mengaitkan persoalan MRP Papua Barat dengan referendum, seperti yang pernah dikeluarkan di sejumlah media lokal. Saya minta agar aparat hukum memeriksa mereka yang mengatakan referendum. Jangan memprovokasi masyarakat dengan opini yang tidak benar,” pungkasnya. (cak/fud)

Dorkas Dwaramuri Nahkodai MRP

BERSAMA : Ketua MRP terpilih Debora Dwaramuri bersama Pdt. Herman Saud, Timotius Murib dan Yoram Wamrauw

JAYAPURA[PAPOS]-Setelah melalui rapat pleno pemilihan ketua Majelis Rakyat Papua [MRP] periode 2011-2015 yang cukup alot. Akhirnya Debora Dwaramuri dari unsur perempuan perwakilan Provinsi Papua Barat berhasil menyingkirkan 11 calon ketua MRP. Debora meraih 48 suara, ketua satu Pdt.Herman Saud,MTh dengan 29 suara. Sedangkan wakil ketua ketiga Timotius Murib jumlah 28 suara.

Ketua MRP yang baru, Dorkaa Dwaramuri ketika memberikan keterangan pers, Senin [30/5] kemarin malam di Hotel Matoa mengungkapkan, MRP merupakan lembaga kultur orang Papua sehingga kedepan kapasitas MRP harus ditingkatkan.“MRP merupakan rumah semua rakyat Papua, sehingga harus terbuka kepada semua unsure baik unsure adat, perempuan, adat maupun agama. Sehingga kapasitas MRP harus ditingkatkan,” ujar Debora.

Terutama adat Papua yang merupakan norma rakyat Papua yang mengatur kehidupan masyarakat Papua, jika keluar dari norma adat maka akan terjadi kesalahan besar. Sebagai rumah kultur orang Papua harus terus ditingkatkan. “Lembaga Kultur sebagai kultur orang Papua dan rumah adat Papua karena hanya adat berkaitan erat dengan norma, jika keluar dari adat maka akan kita melakukan masalah,”paparnya.

Sebagai anggota MRP harus mengawal pelaksanaan pembangunan Papua, karena yang perlu diketahui adalah bahwa MRP merupakan rumah rakyat dan rumah orang Papua. Dimana, siapapun yang datang harus diterima baik adat, perempuan maupun agama.

“Karena tujuan dari NKRI adalah bagaimana rakyat Papua sejahterah, kami berusaha membuat agar MRP menjadi rumah rakyat Papua,”tuturnya.

Sebagai ketua MRP yang terpilih untuk masa kepemimpinan lima tahun kedepan, MRP tidak dapat maju apabla hanya dipimpin oleh satu orang saja. Namun, semua anggota MRP harus duduk bersama-sama. Untuk membahas keinginan orang asli Papu, demi meningkatkan taraf hidup orang Papua.

“Langkah awal yang akan saya lakukan bersama-sama dengan anggota MRP yang lain adalah harus saling duduk bersama untuk membahas keinginan orang Papua,”ucapnya.

Sementara menurut ketua sementara MRP Yoram Wamrauw bahwa, MRP merupakan lembaga Negara sehingga adanya persepsi bahwa MRP tidak dapat dipimpin oleh seorang perempuan merupakan persepsi yang salah.

“Sebagai bagian dari lembaga penyelenggara Negara RI harus tunduk pada aturan maupun demokratisasi, maka tidak ada perempuan dengan laki-laki,”tandasnya.

Sehingga harus tunduk pada hukum dasar yang ada dan menjunjung tinggi hak asasi manusia untuk membina masyarakat Papua menuju masa depan yang lebih baik dari masa-masa yang lalu, jadi persepsi mengenai ketua MRP tidak boleh dijabat oleh perempuan merupakan persepsi salah.

“Kita harus tunduk pada tatanan dan hukum yang ada sebagai lembaga Negara, karena perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama, dan harus menjunjung tinggi hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi,”ulasnya.

Terpilihnya Dorkas Dwaramuri sebagai ketua MRP merupakan suatu kemajuan di Papua yang harus dijunjung tinggi dan harus dihargai, karena perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama. Dan terpilihnya perempuan lima tahun kedepan harus tetap dihargai.[tho]

Written by Thoding/Papos
Tuesday, 31 May 2011 00:00

Kesbangpol Belum Terima Salinan Surat Mendagri

Soal Penolakan Pelantikan Hanna Hikoyabi

Jimmy Murafer
JAYAPURA—Mengejutkan memang, meski kabar penolakan pelantikan calon anggota MRP, Hanna Hikoyabi sudah berhembus cukup lama, namun Kesbangpol Provinsi Papua mengaku belum menerima salinan surat dari Mendagri yang isinya menolak pelantikan calon anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Hanna Hikoyabi dan (alm) Agus Alue Alua. Pelaksana Tugas Kepala Kesbangpol Papua, Jimmy Murafer kepada Bintang Papua Kamis (19/05) ketika ditemui di ruangannya mengatakan, juga belum mendapat petunjuk dari Gubernur Papua Barnabas Suebu tentang siapa pengganti kedua orang calon anggota MRP yang tidak dilantik itu. “Keputusan itu sampai sekarang belum sampai di Kesbang, tapi mungkin sudah sampai di Gubernur dan mungkin masih ada di gubernur. Jadi sampai dengan sekarang kami belum mendapat petunjuk dari pak gubernur untuk ibu Hanna,” tandasnya. Kemudian, lanjutnya, menurut Perdasus Nomor 4 tahun 2010, apabila anggota MRP yang sudah dilantik, kemudian ada yang berhalangan tetap, maka diajukan usulan pengganti dan usulan penggantinya itu adalah nomor urut berikutnya.
Murafer menuturkan, anggota MRP yang lolos seleksi administrasi berjumlah 75 orang yang berasal dari Papua dan Papua Barat. Namun ketika berkas-berkasnya diserahkan ke Pusat yang dalam hal ini Presiden, terdapat 2 calon yang berkasnya ditunda.

“Kedua calon ini yaitu Hanna Hikoyabi dan (alm) Agus Alua dianggap telah melakukan suatu tindakan yang dapat mengganggu keamanan Papua dan NKRI sehingga pelantikannya pun ditunda,” jelasnya.

Sebelumnya Mendagri Gamawan Fauzi tak melantik dua calon anggota MRP bersama 73 anggota lainnya pada pertengahan April lalu. Agus Alue Alua tak dilantik sebab meninggal dunia, sementara Mendagri memberi alasan Hanna Hikoyabi tak dilantik menjadi anggota MRP karena tak setia kepada Pancasila dan UUD’45.

Selain itu, penundaan pelantikan karena ditolak oleh Mendagri, kedua calon tersebut tidak dapat disebut PAW karena seseorang di-PAW jika sebelumnya telah dilantik, namun kedua calon ini belum dilantik sehingga sampai saat ini Kesbangpol bersama Biro Hukum masih mencari sebutan yang pas untuk keduanya. (dee/don)

Kesbangpol Belum Terima Salinan Surat Mendagri

Soal Penolakan Pelantikan Hanna Hikoyabi

Jimmy Murafer
JAYAPURA—Mengejutkan memang, meski kabar penolakan pelantikan calon anggota MRP, Hanna Hikoyabi sudah berhembus cukup lama, namun Kesbangpol Provinsi Papua mengaku belum menerima salinan surat dari Mendagri yang isinya menolak pelantikan calon anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) Hanna Hikoyabi dan (alm) Agus Alue Alua. Pelaksana Tugas Kepala Kesbangpol Papua, Jimmy Murafer kepada Bintang Papua Kamis (19/05) ketika ditemui di ruangannya mengatakan, juga belum mendapat petunjuk dari Gubernur Papua Barnabas Suebu tentang siapa pengganti kedua orang calon anggota MRP yang tidak dilantik itu. “Keputusan itu sampai sekarang belum sampai di Kesbang, tapi mungkin sudah sampai di Gubernur dan mungkin masih ada di gubernur. Jadi sampai dengan sekarang kami belum mendapat petunjuk dari pak gubernur untuk ibu Hanna,” tandasnya. Kemudian, lanjutnya, menurut Perdasus Nomor 4 tahun 2010, apabila anggota MRP yang sudah dilantik, kemudian ada yang berhalangan tetap, maka diajukan usulan pengganti dan usulan penggantinya itu adalah nomor urut berikutnya.
Murafer menuturkan, anggota MRP yang lolos seleksi administrasi berjumlah 75 orang yang berasal dari Papua dan Papua Barat. Namun ketika berkas-berkasnya diserahkan ke Pusat yang dalam hal ini Presiden, terdapat 2 calon yang berkasnya ditunda.

“Kedua calon ini yaitu Hanna Hikoyabi dan (alm) Agus Alua dianggap telah melakukan suatu tindakan yang dapat mengganggu keamanan Papua dan NKRI sehingga pelantikannya pun ditunda,” jelasnya.

Sebelumnya Mendagri Gamawan Fauzi tak melantik dua calon anggota MRP bersama 73 anggota lainnya pada pertengahan April lalu. Agus Alue Alua tak dilantik sebab meninggal dunia, sementara Mendagri memberi alasan Hanna Hikoyabi tak dilantik menjadi anggota MRP karena tak setia kepada Pancasila dan UUD’45.

Selain itu, penundaan pelantikan karena ditolak oleh Mendagri, kedua calon tersebut tidak dapat disebut PAW karena seseorang di-PAW jika sebelumnya telah dilantik, namun kedua calon ini belum dilantik sehingga sampai saat ini Kesbangpol bersama Biro Hukum masih mencari sebutan yang pas untuk keduanya. (dee/don)

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny