Tugas Kenegaraan MRP Belum Selesai

JAYAPURA [PAPOS] – Masa tugas kerja Majelis Rakyat Papua [MRP] akan berakhir bulan Oktober 2010 mendatang. Namun mengingat tugas atau pekerjaan yang menyangkut kenegaraan MRP belum rampung sepenuhnya sehingga jabatan MRP perlu diperpanjang demi kepentingan Negara.

Demikian disampaikan Ketua Komisi A DPR Papua membidangi pemerintahan, Otsus, hukum dan HAM, Ruben Magai, S.IP kepada wartawan ketika ditemui diruang kerjanya, Senin [30/8] pagi.

“Sebagai Ketua Komisi A DPR Papua saya sangat mendukung jabatan MRP diperpanjang oleh Mendagri. Pasalnya sejumlah tugas yang berkaitan dengan kepentingan Negara belum rampung dikerjakan. Apalagi MRP sebagai jabatan lembaga negara dan diakui oleh Negara yang ditetapkan dalam PP Nomor 54 tahun 2004,” jelas Ruben.

Adapun alasan politisi Partai Demokrat mendukung jabatan MRP perlu diperpanjang diantaranya Perdasus soal pengangkatan MRP hingga kini masih dalam rancangan peraturan daerah khusus [Raperdasus]. Termasuk evaluasi otsus harus dilakukan bersama MRP. Pasalnya, sebagai lembaga kultur MRP punya data, bahkan mereka yang memfasilitasi rakyat ke DPRP untuk menyampaikan aspirasi soal kegagalan otsus serta tuntutan masyarakat agar Otsus dievaluasi. Nah, ini yang menjadi pertimbangan dari Komisi A DPRP sehingga pihaknya mendukung sepenuhnya jabatan MRP diperpanjang oleh pemerintah pusat dalam hal ini Kemendagri. “Saat ini telah dibentuk badan khusus evaluasi Otsus oleh DPRP,” imbuhnya.

Bahkan ia tidak sependapat terhadap sorotan yang dialamatkan ke MRP akhir-akhir ini terkait aspirasi masyarakat yang menolak otsus dan meminta Otsus dievaluasi. Ada kesan MRP hanya menciptakan permasalahan. Padahal apa yang dilakukan MRP menurut Ruben adalah tugas mereka sebagai lembaga cultur. Banyak masyarakat yang tidak mengerti apa tugas dari MRP sehingga hanya menyalahkan MRP. Padahal dari sisi UU MRP adalah melaksanakan tugasnya sesuai dengan UU Nomor 21 tahun 2001.

“Jadi keberadaan MRP saat ini sangat dibutuhkan dalam upaya melakukan evaluasi Otsus. MRP punya peranaan dalam memberikan bobot penilaian terhadap perjalanan Otsus di Papua,” terangnya.

Dikatakan jika tidak ada aral melintang, Raperdasus soal keanggotan MRP sesuai agenda kerja DPR Papua, Raperdasus akan ditetapkan menjadi Perdasus pada awal September ini. “Kita harapkan semua elemen masyarakat mendukung keberadaan MRP sebagai lembaga cultur di Papua sehingga sejumlah tugas-tugas kenegaraan ini bisa rampung secepatnya,” imbuhnya. [bela]

Ditulis oleh Bela/Papos
Selasa, 31 Agustus 2010 00:00

Pilkada di Papua Minta Dihentikan

TARI DEMO : Massa ketika memasuki kantor DPRP membawa aspirasi penolakan Pilkada Papua dan mengembalikan Otsus ke Pemerintah pusat
TARI DEMO : Massa ketika memasuki kantor DPRP membawa aspirasi penolakan Pilkada Papua dan mengembalikan Otsus ke Pemerintah pusat

Jayapura [PAPOS]- Ribuan warga Papua mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menghentikan proses Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di semua kabupaten/kota di wilayah provinsi ujung timur Indonesia itu.

“Kami mendesak agar proses Pilkada yang sementara berlangsung di sejumlah kabupaten/kota di Papua agar dihentikan,” demikian salah satu butir tuntutan warga Papua yang dibacakan Pdt John Baransano saat menggelar aksi demonstrasi di Kantor DPRP di Jayapura, Jumat [18/6].

Menurut Baransano, penolakan warga Papua terhadap proses Pilkada karena pemerintah pusat melalui Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi telah menolak surat Keputusan Majelis Rakyat Papua (MRP) No 14 tahun 2009 tentang Bupati, Wakil Bupati, Wali Kota, Wakil wali Kota dan Sekretaris daerah harus orang asli Papua.

Penolakan pemerintah pusat terhadap SK MRP No 14/2009 itu, katanya, mengindikasikan bahwa pemerintah pusat sendiri mengingkari UU No 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua yang justru mengakomodasi hal tersebut.

Selain itu, warga Papua juga menyatakan mengembalikan Otsus ke pemerintah pusat di Jakarta karena menilai kebijakan tersebut telah gagal.

Dalam aksi demonstrasi yang diikuti berbagai elemen rakyat Papua seperti anggota MRP, perwakilan unsur adat, unsur agama, unsur perempuan dan lain-lain, warga Papua menyampaikan delapan butir pernyataan sikap ke DPRP.

Warga Papua memberi batas waktu selama tiga minggu kepada DPRP untuk menindaklanjuti aspirasi atau tuntutan mereka ke pihak-pihak lain yang berkepentingan.

Jika dalam jangka waktu tersebut DPRP tidak memberikan tanggapan, pendemo mengancam akan memobilisasi massa dalam jumlah yang lebih besar lagi.

Massa yang berjumlah ribuan orang tersebut berjalan kaki belasan kilometer dari Kantor MRP di Kota Raja Abepura menuju Kantor DPRP di Kota Jayapura.

Turut dalam rombongan massa antara lain Ketua MRP Agus Alue Alua dan Wakil Ketua II MRP Hanna Hikoyabi dan Ketua Dewan Adat Papua Forkorus Yoboi Sembut.

Aspirasi warga Papua diterima Wakil Ketua I DPRP Yunus Wonda dan Ketua Komisi A DPRP Ruben Magai.

Sementara KPU Pusat telah mengirimkan surat kepada KPU Provinsi Papua, KPU Provinsi Papua Barat, KPU Kabupaten/Kota se-Papua dan Papua Barat pada tanggal,9 Juni 2010 lalu yang isinya Segera melaksanakan dan /atau melanjutkan tahapan penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah paling lama 7 (tujuh) hari setelah menerima surat KPU tersebut.

Dalam butir 3b disebutkan, berkenaan dengan tahapan pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat termasuk tahapan pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten /Kota di wilayah Papua dan Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat, ditegaskan;1).

Untuk pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berlaku ketentuan sebagaiamana dimaksud dalam pasal 12 dan Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001; 2) Untuk pencalonan Bupati dan Wakil Bupati atau Walikota dan Wakil Walikota di kabupaten/kota seluruh Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 dan Pasal 9 dan Pasal 10 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 68 Tahun 2009.

Surat KPU Pusat yang ditandatangani Ketua Prof.DR. H.A Hafiz Anshary AZ,MA itu merupakan tindak lanjut hasil rapat koordinasi antara Komisi Pemilihan Umum, KPU Provinsi Papua, KPU Provinsi Papua Barat, MRP, DPR Papua, DPR Papua Barat, Kementerian Dalam Negeri dengan Kementrian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan.

Dalam tahun ini, ada 19 kabupaten/kota di Provinsi Papua dan Papua Barat yang menyelenggarakan kegiatan Pilkada.

Kapolda Papua Irjen Pol Bekto Suprapto saat kegiatan rakor para Kapolres se-Papua beberapa waktu lalu di Timika telah menginstruksikan ke semua Polres yang daerahnya menyelenggarakan Pilkada agar mempersiapkan diri secara baik menyambut pesta demokrasi rakyat tersebut. [ant/wilpret]

Ditulis oleh Ant/Wilpret/Papos
Sabtu, 19 Juni 2010 00:00

Majelis Rakyat Papua Tuntut Referendum

JAYAPURA – Ribuan masyarakat Papua siang ini, Jumat (18/6/2010), menggelar aksi menuntut referendum di Papua. Aksi ini disampaikan ribuan warga Papua dari berbagai elemen masyarakat di halaman kantor DPR Papua.

Ribuan warga Papua ini, menuntut referendum dengan cara melakukan longmarch sepanjang 20 kilometer dari halaman Kantor Majelis Rakyat Papua menuju kantor DPR Papua.

Dalam aksi longmarch-nya, masa membawa hasil musyawarah besar (Mubes) Majelis Rakyat Papua yang dihasilkan awal Juni lalu.

Hasil Mubes tersebut, berisikan 11 poin di antaranya tutup Freeport, referendum, pelepasan tapol napol, memisahkan diri dari NKRI, tolak operasi khusus (otsus), serta hentikan Pilkada di Papua.

Aksi ribuan warga Papua ini, menggunakan pakaian adat Papua, serta membawa satu buah spanduk warna biru bertuliskan Referendum. Sementara itu, arus lalu lintas di sepanjang jalan kota Jayapura juga lumpuh total.

(teb)

Mubes MRP Minta Referendum Solusi Akhir

JAYAPURA-Kendati hasilnya belum ditetapkan, namun rangkuman sementara menyebutkan, hasil keputusan Mubes MRP antara lain merekomendasikan mengembalikan Otus yang dinilai gagal ke pemerintah pusat, dan minta referendum sebagai solusi akhir. Musyawarah Besar (Mubes) Majelis Rakyat Papua (MRP) dan Masyarakat asli Papua yang berlangsung dua hari (9 s/d 10/6) di kantor MRP Kotaraja, berhasil merangkumkan hasil musyawarah dan diskusi Komisi komisi. Ketua MRP Drs. Agus Alue Alua, M A mengatakan, hari Jumat,( 11/6) kemarin Panitia Mubes sedang merangkumkan hasil musyawarah agar mudah ditindaklanjuti. Keterangan Agus Alua ini di sampaikannya, Jumat (11/6) di ruang kerjanya kantor MRP Kotaraja.

Sementara Senin (14/6) lusa, semua hasil musyawarah di putuskan dan dikerjakan di tingkat Panitia, hari Selasa (15/6) semua draf sudah difinalkan dalam rapat gabungan sedangkan hari berikutnya, Rabu 16/6 semua hasil keputusan musyawarah ditetapkan dan disahkan. Setelah mendapatkan penetapan dan pengesahan lanjutnya, hasil MUBES MRP tersebut akan disampaikan ke Dewan Perwakilan Rakyat Papua ( DPRP) dan oleh DPRP bisa ditetapkan dan akan diserahkan pula kepada DPR Papua Barat, selanjutnya hasil musyawarah diberikan kepada Gubernur Papua dan Papua Barat.DIkatakan, hasil Musyawarah yang telah disahkan dan diputuskan, diserahkan kepada Pemeritah Pusat.

Dalam dua hari kegiatan Mubes MRP dan Masyarakat asli Papua yang datang dari tujuh Dapil di seluruh Tanah Papua, telah mengambil suatu keputusan bersama tentang situasi politik di Tanah Papua, dan keberadaan Otsus Papua yang dianggap gagal dan seluruh peserta Mubes dan komponen Politik yang hadir menyerukan kepada MRP dan DPRP segera mengembalikan Otsus ke pusat.Acara Mubes yang sempat memanas tersebut lebih banyak berkutat pada penyelesaian masalah Politik di Tanah Papua.

Agus Alua dalam keterangannya kepada Bintang Papua menyatakan, semua peserta Mubes sepakat untuk kembalikan Otsus, setelah itu Referendum jadi solusi untuk menjawab semua permasalahan Politik di Tanah Papua, itu aspirasi rakyat Papua.Dijelaskan, sampai sebatas itu MRP akan memfasilitasi aspirasi mereka. “ Ya atau tidak keputusan tentang pengembalian Otsus yang gagal dan referendum itu, semuanya tergantung Pemerintah, MRP hanya menindaklanjuti keputusan Mubes dalam bentuk keputusan MRP,”katanya.

Menurutnya, seluruh rakyat Papua dapat hadir pada Rabu, 16/6 mendatang untuk mendengar sendiri semua hasil keputusan Mubes MRP dan Masyarakat Asli Papua.Sementara itu, Ketu Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Buchtar Tabuni mengatakan, MRP silahkan jalan dengan sikapnya, karena KNPB menilai bahwa MUBES MRP itu hanya suatu luapan kekecewaan sebagai lembaga negara dalam produk UU OTSUS yang sudah dikembalikan oleh masyarakat adat Papua, sebagai pemilik negeri ini pada tanggal 15 Agustus 2005.

Dalam presreleasenya yang diterima Bintang Papua, KNPB berharap agar MRP tidak mengeksploitasi isu Papua Merdeka sebagai komoditi politik atau alat tawar-menawar untuk kekuasaan/jabatan elit politik Papua. Menurutnya, KNPB akan terus mengawal dan memediasi keinginan rakyat Papua yang berada di balik gunung, hutan belantara, rawa, pesisir pantai, di dalam penjara bahkan mereka yang mengasingkan diri di kamp-_kamp pengungsian/ suaka. Agar terus mendorong suatu penyelesaian secara menyeluruh tentang akar masalah status politik Papua, melalui mekanisme hukum internasional. KNPB akan memediasi perjuangan seluruh rakyat Papua dan perjuangan organisasi lainnya untuk mencari solusi penyelesaian masalah Papua secara menyeluruh, bermartabat, terbuka dan bertanggungjawab di masyarakat Papua, pemerinta RI dan du

Tak Akomodir SK MRP, Pusat Dinilai Lecehkan Papua

BIAK [PAPOS] – Forum Solidaritas Masyarakat Adat Papua [FSMAP] kabupaten Biak Numfor dan Supiori menilai, Jika SK MRP nomor 14 tahun 2009 tidak disahkan, berarti Pemerintah Pusat tidak lagi mendengar aspirasi dari masyarakat adat Papua.

Forum solidaritas yang menghimpun sejumlah komponen masyarakat dari Dua Kabupaten ini, (8/6) siang kemarin menyampaikan aspirasinya melalui DPRD kabupaten Biak Numfor agar terus mendesak pemerintah pusat, agar SK MRP yang diperjuangkan demi kepentingan dan hak hak orang Papua itu, segera  diakomodir oleh pemerintah Pusat. “ MRP itu kan lembaga kultural yang mewakili dan memperjuangkan aspirasi masyarakat adat Papua, jadi kalau SK-nya tidak didukung oleh pemerintah Pusat, berarti sama saja, Pemerintah Pusat itu tidak lagi mendengarkan aspirasi dari masyarakat adat Papua,” ujar  coordinator Forum Solidaritas dari berbagai komponen masyarakat ini, Adolof Baransano saat meyampaikan aspirasinya di Aula gedung DPRD Biak Numfor, yang diterima langsung Oleh ketua DPRD kabupaten Biak Numfor dan sejumlah anggota DPRD di kabupaten tersebut.

Diakatakannya, untuk mewujudkan aspirasi masyarakat adat Papua ini, hendaknya seluruh institusi dan kelembagaan seperti DPRP, MRP, Pemerintah Propinsi dan juga pemerintah kabupaten/kota harus menjalin komunukasi Politik secara baik untuk bersama sama memperjuangkan agar SK MRP itu, dapat diberlakukan di tanah Papua.

Ketua DPRD kabupaten Biak Numfor, Nehemia Wospakrik SE.Bsc yang menerima langsung aspirasi masyarakat ini mengatakan, pihaknya tetap menerima aspirasi masyarakat yang diwakili oleh ratusan warga Biak dan Supiori ini, dan berjanji akan tetap mendukung dan mengawal aspirasi masyarakat ini, dan akan segera meneruskannya ke Pemerintah Provinsi Papua, DPRP dan juga MRP, agar kepentingan dan hak hak masyarakat asli Papua yang tercantum didalam SK MRP itu, dapat segera diterapkan didalam penyelenggaraan Pemilukada yang sudah semakin mendesak waktu pelaksanaannya. [cr-54]

Ditulis oleh Cr-54/Papos  
Rabu, 09 Juni 2010 00:00

Ketua MRP: Tingkatkan Otsus Jadi UU Federal

Dari Acara Musyawarah MRP

Jayapura- Kegagalan pemerintah pusat dalam menerapkan Otonomi Khusus (Otsus)  di Tanah Papua harus segera direspon. Salah satunya dengan opsi peningkatan status UU Otsus. Hal itu disampaikan oleh Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP) Agus Alue Alua di sela-sela sambutannya dalam membuka Musyawarah MRP dan Rakyat Asli Papua di Kantor MRP Kotaraja Rabu (09/06) kemarin.

Untuk mengatasi kegagalan Otsus, menurut Agus Alua MRP menyarankan beberapa solusi, seperti mengembalikan Otsus pada pemerintah pusat, merevisi UU Otsus secara menyeluruh maupun meningkatkan status UU Otsus. “Selain revisi Otsus,  kita bisa minta peningkatan UU Otsus menjadi UU Federal dengan sistem “One Nations Two Systems,” tegasnya. Dalam kilas sejarah lahirnya UU Otsus, Agua Alua mengatakan bahwa Otsus merupakan bargaining politik yang ditawarkan pemerintah pusat agar rakyat Papua tidak minta merdeka. “Kita harus pahami bahwa Otsus bukan kemauan murni namun hanya solusi untuk menjawab aspirasi politik rakyat Papua”, tuturnya.Semangat dasar UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus yang diimplementasikan dengan pemberian kewenangan yang besar pada pemerintah provinsi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Papua belum tercapai. “Selama 9 tahun pelaksanaan UU Otsus,pemerintah provinsi belum mengatur satu kebijakan pun yang berpihak pada rakyat Papua”,sambungnya.

Agus Alua menambahkan, terdapat inkonsitensi sikap dari pemerintah pusat dan daerah terhadap pelaksanaan Otsus seperti kehadiran Provinsi Irian Jaya Barat, larangan penggunaan Bendera Bintang Kejora, pembetukan Barisan Merah Putih (BMP) dan segala manuver politiknya, politisasi terhadap SK MRP No 14 tahun 2009,dualisme hukum antara provinsi dan kabupaten menyangkut UU UU No 21 Tahun 2001 tentang Otsus dan UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi dan Pengadilan HAM di tanah Papua.   Agus Alua juga menyinggung kemungkinan digelarnya dialog nasional antara Papua dan Jakarta untuk menyelesaikan masalah yang terjadi secara menyeluruh. “Penyelesaian masalah Papua perlu ditempuh dengan langkah yang bermartabat melalui dialog Jakarta-Papua dengan mediasi pihak internasional yang netral”,tegasnya

Untuk diketahui, Musyawarah MRP dari ketujuh Dapil yang meliputi  kepala burung Papua Barat  dan Papua yang berlangsung, Rabu (9/6) menampilkan beberapa pemateri, materi awal yang dibawakan Wakil Ketua II Frans Wospakrik yang berisi laporan kinerja MRP Tahun 2005- 2010, yang memotret perjalanan lembaga cultural orang asli Papua dalam rangka memberikan perlindungan, pemberdayaan dan keberpihakan penuh kepada orang asli Papua untuk menjadi Tuan di atas Negerinya Sendiri.

Latar belakang diberlakukannya otsus bagi Papua, dianggap sebagai jalan tengah yang adil, meredam  “Aspirasi Merdeka rakyat Papua”, yang  kain kusutnya, sejumlah persoalan Papua yang tak terselesaikan, yang menempatkan orang asli Papua sebagai subjek utama untuk di berdayakan, dilindungi dan terlebih ada rasa keberpihakan.

Frans Wospakrik  dalam  materinya, tentang peran MRP  yang berbasis adat budaya dan pemberdayaan perempuan itu mengungkapkan, Adat dan budaya yang diperankan lembaga MRP, dalam rangka Pemenuhan hak hak warga Negara dimana mereka berada.

Dalam perjalananya hingga tahun 2010 ini, ada aspek aspek Positif yang patut  diberikan penghargaan dan mendukung  lembaga ini, pun diakuipula, bahwa kinerja lembaga ini tidak terlepas dari pandangan negative  akibat kurang terbukanya lembaga cultural ini mensosialisasikan programnya kepada Publik di Papua, hingga tudingan negative kerap muncul.

Diakui, perjalanan MRP selama lima tahun, tidak terlepas dari segala dukungan yang dibutuhkan bagi kelanjutan lembaga ini,  Dukungan SDM dan dana, konkritnya, dua hal utama agar lembaga ini tetap eksis, meski demikian, MRP telah berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, ujar Mantan Rektor UNCEN ini.

Menurutnya, MRP telah berupaya  mendorong agar peraturan Daerah Raperdasi diwujudkan, namun kenyataan yang dihadapi sejumlah perdasus tidak berjalan.  Diakui atau tidak, MRP telah melakukan apa yang meski dilakukannya,  mendorong sejumlah perdasus dalam rangka inisiasi dengan cara melakukan peninjauan dan melihat berbagai pertimbangan terkait keberadaan PT. Freeport dan Tambang Nikel di beberapa daerah di Papua.Hal berikut, dalam rangka pemberdayaan orang asli Papua di lembaga legislative dengan penambahan 11 kursi, serta retrumen Orang asli Papua pada jabatan tertentu di Pemerintahan, serta keputusan MRP No. 14, yang senyatanya terkandung dalam undang undang OTSUS dan telah dijalankan sejak awal MRP hadir pada  tahun 2006.

Bila tudingan negative kerap muncul kepada lembaga  Rakyat Papua ini, Frans Wospakrik tidak memungkiri hal itu. Diakui bahwa tundingan negative kepada MRP, lebih pada kurangnya sosialisasi dan publikasi kerja MRP kepada rakyat Papua, jadi factor penghambat yang tak terelakkan yang turut mempengaruhi kinerja MRP, berikut  MRP dijebak dalam situasi yang menghambat langkahnya dalam hal tidak diberi kewenangan untuk membuat perdasus sebagaimana amanat otsus mengamanatkan hal itu, kefakuman hukum, jadi factor penghambat, ungkapnnya.

Penetapan akan diberlakukannya SK MRP No.14 yang dihasilkan dari Produk Undang undang Otsus Papua, jadi pertentangan berbagai kalangan dan birokrasi Pemerintah  Pusat  dan Gubernur Papua hingga terjadi dualisme Hukum, kata dia, padahal, tugas pembinaan supervisi ada pada pemerintah dan turut mempengaruhi fungsi pengawasan, dan ini tidak diatur baik dalam undang undang Otsus, hingga tidak heran timbul pertanyaan  masyarakat tentang peran MRP  dan pertanyaan seputar dimana  dan kemana Dana Otsus,  inipun belum diatur secara efektif.MRP telah mengambil langkah, tapi dipersalahkan. MRP harus ditingkatkan kapasitasnya dalam menghadapi tantangan secara nasional, internasional dan tantangan gobal.

Sementara penyelesaian masalah Politik Papua, jadi agenda MRP yang tidak dapat dihindari, termasuk juga didalamnya berbagai agenda tentang pemekaran Provinsi Papua yang dinilai MRP terlalu mudahnya rakyat diPapua mengajukan pemekaran langsung kepada Pemerintah Pusat, tanpa melalui pertimbangan MRP, kedepan MRPlah yang akan mengajukan pertimbangan tentang perlu tidaknya suatu daerah di Papua di mekarkan berikut persetujuan pemekaran. “ Menurutnya, tidak ada yang dapat memperhatikan orang Papua, kecuali orang Papua sendiri memperhatikan diri dan eksistensinya.

Frans Wospakrik mengakui, masih banyak hal yang MRP belum lakukan karena terkendala pada kewenangan. “MRP ibarat di tengah Hutan, masih ada perbedaan pandangan antara orang Papua sendiri, dan unsure unsure pembeda pada orang Papua inilah yang harus di hilangkan   Pembahasan materi yang disusul pertanyaan peserta yang menyatakan, perlunya persatuan diantara orang Papua dengan melihat kenyataan bahwa Jakarta tidak punya kemauan dan melecehkan apa yang jadi kompensasi dari pelecehan terhdap anak anak Papua, hingga sampai pada tingkat “ OTSUS Gagal sebab orang Papua merasa tidak jadi bagian dari Negara ini, karena berhadapan dengan sistim yang tidak menghargai kesepakatan kesepakatan yang dibuat, ungkap seorang perwakilan Mahasiswa, yang diperlukan, Kebersamaan orang Papua.

Tanggapan MRP atas pertanyaan peserta yang  seperti dinyatakan  Frans Wospakrik yang menyatakan bahwa, MRP  menampung segala usulan masyarakat, serta melangkah secara tepat dalam menyelesaikan masalah dan bekerja menurut sistim yang sudah diatur.” Mimpi besar kita tentang  rakyat Papua yang sejahtera pada tahun 2026, akankah terwujud”. (cr-10/ven)

Rakyat Papua Jangan Pusing Dengan SK MRP

ASMAT [PAPOS]- Pengusulan PP untuk SK MRP kepada Mendagri yang hingga saat ini belum mendapat respon dari pemerintah pusat tidak perlu harus dipusingkan, yang berakibat terganggunya pelaksanaan Pemilukada di Tanah Papua.

Hal itu dikatakan Dewan Adat Wilayah (DAP) Wilayah V, Salmon Kadam kepada Papua Pos, Sabtu [5/6] menanggapi perjuangan Pansus Pilkada DPRP di Jakarta yang tidak ada hasilnya.

Dia berharap agar rakyat Papua jangan terjebak dalam permainan elit-elit politik, tetapi harus jeli melihat

perubahan politik global yang sedang terjadi.

Menurut Kadam, Otonomi khusus Papua selama 10 tahun tidak berjalan mulus karena dipaksakan, maka keluarnya SK MRP nomor 14 tahun 2009 yang merupakan penjabaran Otsus nomor 21 tahun 2001 tersebut jangan dipaksakan karena akan dipermainkan lagi di Jakarta.

“ Kami DAP membaca sikap pemerintah pusat saat Kongres di Jayapura awal tahun 2000 lalu atau saat pengusulan Otsus untuk Papua seolah-olah terpaksa dibrikan,” ucapnya.

Sehingga MRP seharusnya mengurusi hak-hak dasar orang Papua. “ Jangan tergiur oleh uang otsus dan isu perpecahaan karena alasan politik antar pejabat orang Papua,” tambahnya.

Ia menilai aturan tersebut bukan aspirasi rakyat Papua tetapi aspirasi pejabat gila uang Otsus. “Pejabat pro SK MRP  ingin mengkancing pejabat pro rakyat,” terangnya. Sehingga usulan ini bukan murni dari rakyat Papua.

Kadam juga mengatakan, jika aturan ini disahkan dan diberlakukan atau tidak dalam ajang Pemilukada sekarang tidak ada masalah, sebab urusan politik Papua bukan urusan Indonesia. Sehingga SK MRP dikaitkan dengan politik Papua merdeka, karena urusan politik Papua merdeka itu sejak 27 November 2009 sudah diserahkan kepada pihak Internasional.

“Para pejabat Papua jika mau berbicara berpihak pada orang asli Papua dalam rangka proteksi maka itu omong kosong. Kami (DAP) sudah serahkan agar urusan proteksi kepada orang Papua itu agar diurus oleh Badan Hukum Internasional,” tegasnya.

Menurutnya, salah satu Menteri Luar Negeri dari Negara Pasifik  ykni Inaury sudah menyerahkan kepada pihak

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Amerika Serikat.

Sementara itu Bupati Kabupaten Asma, Yuvensius A Biakai, BA, SH kepada media ini menyayangkan sikap MRP yang ngotot memperjuangkan SK No 14 tersebut. baginya apa yang diperbuat oleh MRP sungguh sangat tidak rasional. Sebab sikap yang ditunjukan dalam SK MRP itu berarti diskriminasi terhadap warga non Papua. Seharusnya MRP bisa masuk dalam koridor tugas dan fungsi mereka, bukannya mengurusi masalah politik.

“Lebih baik MRP mengurus masalah budaya orang Papua yang sudah mulai punah, bagaimana cara mengembalikan adat dan budaya yang sudah mulai punah agar generasi penerus bangsa bisa mengenali budaya asli Papua. Saya rasa ini cuma permainan politik orang MRP saja, kita lihat saja banyak orang Papua yang memimpin suatu kabupaten tetapi hasil akhirnya apa “bui”. Saya tidak mengerti jalan pikiran MRP,”ungkapnya.

Biakai yang merupakan orang asli Papua yang berasal dari Asmat mengingkan MRP melihat kehadiran pendatang di Papua membawa perubahan. Banyak sekali mengalami perubahan dan membantu orang asli Papua. “ Kadang kala orang non Papua mempunyai hati yang tulus untuk membangun Papua dari pada orang Papua asli. Itu yang harus diperhatikan oleh MRP, pintanya.[cr-57]

Ditulis oleh Cr-57/Papos  
Senin, 07 Juni 2010 00:00

Keputusan MRP Dituntut Diakomodir

Technorati Tags: ,,

Puluhan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Forum Lintas Nusantara, Kamis (25/3) kemarin mendatangi kantor DPR Papua

JAYAPURA [PAPOS]- Puluhan mahasiswa dan masyarakat yang tergabung dalam Forum Lintas Nusantara, Kamis (25/3) kemarin mendatangi kantor DPR Papua dengan menggelar unjuk rasa.

Kedatangan puluhan orang dari Forum Lintas Nusantara yang didalamnya tergabung beberapa element organisasi kemasyarakatan mendatangi Gedung DPR Papua, menuntut agar keputusan maupun rekomendasi Majelis Rakyat Papua (MRP) nomor 14 tahun 2009 dapat diakomodir DPRP, Gubernur, KPU maupun MRP sendiri.

Tiba dihalaman Gedung DPRP sekitar pukul 13.30 WIT, puluhan mahasiswa dan masyarakat langsung menggelar orasi yang meminta agar hak-hak dasar orang asli Papua dapat diperhatikan pemerintah, serta mengakomodir Keputusan MRP terkait dengan Kepala Daerah dalam Pemilukada mendatang.

Dengan membawa sejumlah spanduk yang mendesak Gubernur, DPRP, KPU dan MRP menyelesaikan Otsus dengan baik, mendesak seluruh partai politik di Papua dan Papua Barat untuk mengakomodir orang asli Papua sebagai syarat khusus perekrutan calon Bupati dan wakil Bupati maupun Walikota dan Wakil Walikota pada Pemilukada 2010, serta mendesak Presiden SBY untuk mengembalikan hak politik orang Papua.

Sekitar satu jam lamanya, akhirnya para demonstran diterima Sekretaris Komisi E DPRP Kenius Kogoya didampingi Cris Risamasu anggota Komisi D dan anggota Komisi A Harun.

Koordinator Aksi, Maulana mengatakan, Ketetapan MRP nomor 14 tahun 2009 merupakan dasar dari UU Otsus Nomor 21 tahun 2001, dan hal itu haruslah dihargai pemerintah maupun partai politik, guna memproteksi orang asli Papua.

Rekomendasi MRP

JAYAPURA [PAPOS] – Keinginan Majelis Rakyat Papua (MRP) agar dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah pada 21 kabupaten/kota di Provinsi Papua mengacu pada Surat Keputusan (SK) MRP No 14 Tahun 2009, yakni kepala daerah dan wakil kepala daerah harus orang Papua asli, nampaknya sulit dilaksanakan, karena Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua tetap mengacu kepada peraturan yang berlaku yaitu Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah.

Hal itu dijelaskan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua, Benny Sweny, S.Sos usai melakukan pertemuan atau konsultasi dengan Gubernur Papua, Barnabas Suebu, SH di Gedung Negara Dok V Jayapura, Jumat (19/3) kemarin.

Menurut Benny, penegasan yang disampaikan Gubernur dalam pertemuan tertutup itu yakni masalah terbesar dalam pelaksanaan Pemilu kepala daerah di Papua bukan persoalan orang Papua asli atau tidak asli, tetapi lebih kepada penghianatan terhadap demokrasi.

SK MRP Tidak Jadi Keharusan

JAYAPURA [PAPOS]– Kontraversi seputar SK Majelis Rakyat Papua [MRP] tentang pimpinan daerah harus Orang Asli Papua di kabupaten dan kota masih hangat dibicarakan berbagai kalangan masyarakat di Papua. SK dinilai bertentangan dengan tata urutan pembentukan Undang-undang.

Seperti yang disampaikan anggota DPR-RI asal pemilihan Papua, Paskalis Kosay, MM melalui telepon selularnya, Kamis [18/3].

Menurut Paskalis SK MRP Nomor 14 tahun 2009 tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk diterapkan. SK itu sangat bertentangan dengan UU Nomor 10 tahun 2004 tentang tata urutan perundang-undangan. Kecuali telah diatur dalam Perdasus, itu sah karena Perdasus termasuk bagian dari tata urut per UU, sedangkan SK bersifat mengikat kedalam.

“Yang namanya SK tidak termasuk dalam UU. Yang ada adalah UU, Perpu, Kepres, dan Perda. Jadi kalau MRP ingin mengatur pimpinan daerah kabupaten dan kota harus orang asli Papua, maka harus dibuat aturan melalui Perdasus. Ini baru masuk akal. Sedangkan SK sipatnya internal. Keputusan yang dibuat untuk kepentingan internal, bukan untuk kepentingan masyarakat luas,” ujar Paskalis.

Untuk itu, politisi Partai Golkar Papua ini menilai bahwa SK MRP tersebut tidak bisa dilaksanakan secara luas. Olehnya SK itu tidak perlu dihiraukan. Apalagi konsekwensi hukum juga tidak ada,. Artinya, kalau SK tersebut tidak dilaksanakan tidak ada konsekwensi hukumnya atau tidak ada sanksinya. Jadi SK tersebut tidak perlu dipatuhi.

Jadi siapapun dia yang ingin mencalonkan Bupati, waakil Bupati dan walikota dan wakil walikota silahkan saja karena SK itu tidak memiliki dasar hukum. ” Saya cukup prihatin ketika membaca media massa akhir-akhir ini yang menyoroti calon Bupati, wakil Bupati dan walikota dan wakil Bupati harus orang asli Papua. Ini harus diluruskan sehingga masyarakat tidak kebingungan dan masyarakat lebih memahami UU,” katanya.

MR.Kambu : Saya 50:50

Sementara itu Walikota Jayapura, Drs. MR Kambu, M.Si menanggapi SK MRP apa adanya saja, dimana dia mengatakan bahwa Keputusan MRP nomor 42 tahun 2009 tentang pencalonan Kepala Daerah maupun Wakil Kepala Daerah merupakan putra daerah, bisa saja ya dan bisa juga tidak.

Pasalnya menurut mantan asisten Setda Provinsi Papua ini sebagai orang Papua dirinya sangat merespon positif keputusan MRP itu namun secara jabatannya sebagai kepala pemerintahan keputusan tersebut harus didasarkan pada UU yang telah disetujui.

“Secara pribadi saya sangat merespon keputusan itu, tetapi kita harus melihat pada aturan yang berlaku, Papua tidak berdiri sendiri tetapi berdasarkan pada perintah pusat, itu yang harus dipedomani,” ujar Walikota saat ditemui wartawan usai membuka acara pelatihan pendidikan sebaya [Peer Education] kepada kaum muda Persipura Mania di hotel Relat Kamis [18/3] kemarin.

Dikatakan Kambu, jika dilihat berdasarkan kepentingan orang Papua dalam UU 21 nomor 21 tahun 2001 keputusan MRP itu sangat beralasan karena sebagai orang asli Papua yang mendiami tanahnya sendiri sudah sepantasnya keputusan atau peraturan yang berkaitan dengan kepentingan orang Papua menjadi kewenangan daerah dalam hal ini orang Papua sendiri. “Bukan keputusan yang datang dari pusat,” kata Kambu.

Tetapi, lanjut Kambu, keputusan tersebut tidak bisa dilaksanakan begitu saja, mengingat hingga saat ini Papua masih berada dalam keutuhan NKRI dan menjadi tanggung jawab pusat dalam pelaksanaan pembangunan di Papua. Sehingga keputusan MRP itu dikatakan perlu dicermati apakah hanya untuk kepentingan orang Papua saja atau untuk kepentingan yang menyeluruh dalam hal ini Papua dan NKRI.[bela/lina]

Ditulis oleh Bela/Lina/Papos
Jumat, 19 Maret 2010 00:00

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny