ULMWP accepts MSG decision and calls for greater support of West Papua

BY: Anonymous 16:00, July 17, 2016, Pacific Loop

The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) remains positive despite the Melanesian Spearhead Group’s (MSG) decision to defer its application for full membership.

ULMWP spokesperson, Benny Wenda, said this could be seen as a delay tactic but ULMWP acknowledges the technical issues highlighted by the leaders and senior officials of the MSG.

The MSG special leaders’ summit on July 14, in the Solomon Islands, had agreed to defer the consideration of the application for full membership by ULMWP until membership criteria and guidelines are further developed.

“We want to thank our Melanesian leaders and the chair and Prime Minister of the Solomon Islands for discussing and facilitating our application for full membership. Though disappointed, we remain optimistic to see our application further discussed in September in Port Vila, Vanuatu,” said Wenda.

“We call on our West Papuan people, our Melanesian and Pacific families, and global supporters to view the current decision of our leaders not as defeat but as progress to improving processes within the MSG.”

Wenda thanked the people of West Papua and the Pacific for the tremendous support, stressing the need for more support within Melanesia and the Pacific as MSG works towards September’s special leaders’ summit in Vanuatu.

“We the ULMWP would not come this far if it wasn’t for the grassroots and Pacific leadership support and we call for more support as we work towards establishing a political voice for our people of West Papua.”

ULMWP secretary general, Octovianus Mote, added that West Papuans are Melanesians and our issues of human rights abuse and self-determination must be rightfully addressed in the Pacific and not on Indonesia’s terms.

(Solomon Islands solidarity for West Papua marching the streets of Honiara during the MSG meet last week.)

Sogavare : Saat Ini Isu Papua Adalah Isu Pasifik

Honiara, Jubi – Manasye Sogavare, Perdana Menteri Kepulauan Solomon yang juga Ketua Melanesia Spearhead Groups saat ini menjadi Ketua Pacific Islands Development Forum (PIDF). Di hari pertama ia menjabat sebagai Ketua PIDF, Sogavare mengundang para pemimpin negara-negara Pasifik yang hadir dalam pertemuan PIDF di Kepulauan Solomon untuk membahas masa depan Bangsa dan Rakyat Papua.

“Masalah Papua saat ini sudah menjadi masalah bukan hanya Melanesia, tapi juga Pasifik, terutama negara-negara di Mikronesia dan Polinesia. Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Papua yang terus terjadi hingga saat ini menjadi kepedulian kami di Pasifik,”

kata Sogavare kepada Jubi, Jumat (17/7/2015) dalam satu wawancara khusus usai melakukan pertemuan dengan para pemimpin Mikronesia dan Polinesia serta kelompok masyarakat Sipil Pasifik di King Solomon Hotel, Honiara. Pertemuan ini dihadiri juga oleh pemimpin United Liberation Movement for West Papua (ULMWP).

Sogavare mengakui, ia telah berkirim surat kepada Presiden Indonesia, Joko Widodo untuk membahas masalah Papua namun permintaan dalam surat tersebut ditolak. Surat tersebut dikirim olehnya dalam kapasitasnya sebagai Ketua Melanesia Spearhead Groups.
“Saya mengirimkan surat untuk dua hal. Pertama adalah untuk membahas masalah Papua dalam kapasitas saya sebagai ketua MSG, sebab Indonesia adalah anggota assosiasi dan Papua adalah pengamat dalam MSG. Kedua adalah meminta agar Indonesia sebagai anggota assosiasi mulai membuka diri untuk membahas masalah Papua di forum MSG. Namun kedua permintaan tersebut tidak mendapatkan respon positif dari Indonesia,” ujar Sogavare.

Sikap pemerintah Indonesia ini menurutnya, menunjukkan bahwa Indonesia tidak memiliki niat positif untuk menyelesaikan masalah hak asasi manusia di Papua. Meskipun pemerintah Indonesia, melalui Menteri Kordinator Politik, Hukum dan Keamanan telah mengundang beberapa Duta Besar negara-negara Pasifik, termasuk Kepulauan Solomon datang ke Papua dan menyaksikan upaya penyelesaian masalah Hak Asasi Manusia yang sedang dilakukan oleh pemerintah, MSG menurut Sogavare adalah forum yang tepat untuk membahas masalah tersebut. Karena baik Indonesia maupun rakyat Papua yang diwakili oleh ULMWP ada dalam forum tersebut.

“Saya mengapresiasi upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia. Namun keputusan kami menerima Indonesia dan ULMWP dalam MSG adalah agar keduanya bisa mulai membahas masalah ini. Itu adalah mandat yang saya pegang sebagai ketua MSG,”

ujar Sogavare.

Sogavare juga mengaku terus menerus menerima laporan tentang pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia kepada rakyat Papua.

“Sebelum pertemuan para pemimpin MSG dilakukan, saya menerima laporan ada 300 lebih rakyat Papua yang ditangkap karena melakukan demonstrasi memberikan dukungan kepada ULMWP. Hari ini saya juga mendapatkan laporan bahwa beberapa mahasiswa Papua di satu kota di Jawa mengalami tindakan represif bukan saja oleh aparat keamanan tapi juga oleh warga masyarakat di kota itu. Bagaimana hal ini bisa terjadi di negara demokrasi seperti Indonesia?”

ungkap Sogavare.

Fakta-fakta ini menurut Ketua PIDF ini, membuat beberapa pemimpin Pasifik menaruh perhatian khusus. Para pemimpin Pasifik, lanjutnya telah sepakat untuk membawa isu Papua ini dalam pertemuan regional Pasifik.

“Para pemimpin Pasifik bertemua hari ini atas undangan saya. Kami membahas masalah bangsa dan rakyat Papua, terutama pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terus menerus terjadi. Ini harus dihentikan dan menjadi tanggungjawab siapapun yang menjadi warga dunia. Bangsa dan rakyat Pasifik menyadari hal ini. Di beberapa negara Pasifik isu Papua sudah menjadi perhatian generasi muda. Maka pemerintah dan masyarakat sipil harus mulai menjalankan tanggungjawabnya,”

jelas Sogavare. (*)

Untuk Masuk Menjadi Anggota Penuh di MSG

JAYAPURA –Jubi –  Dosen Hubungan Internasional FISIP Uncen Jayapura Marinus Yaung menyatakan, United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) mempunyai peluang besar, untuk diterima menjadi anggota tetap (full member) Melanesian Spreadhead Group (MSG).

Demikian ditegaskan Marinus kepada Bintang Papua di Jayapura, Kamis (14/7).

Hal itu, kata Marinus, karena MSG mengundang secara resmi ULMWP untuk hadir pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) MSG pada tanggal 14-16 Juli 2016 di Honiara, ibukota Kepulauan Salomon.

“Itu kan sebuah bentuk pengakuan resmi kepada ULMWP, untuk didengar proposal ULMWP untuk menjadi anggota penuh MSG,” katanya.

Selain itu, juga terkait adanya sejumlah kasus yang terjadi di Papua, antara lain kasus pelanggaran HAM yang luar biasa dan ruang demokrasi masih ditutup rapat oleh militer Indonesia.

Berikutnya yang menjadi peluang tersebut, Tim Pencari Fakta dari Pasific Independen Forum (PIF) masuk ke Papua untuk mencari data-data pelanggaran HAM. Tapi hingga kini pemerintah Indonesia belum mengizinkan.

Juga adanya kesadaran spirit Melanesian Brotherhood atau semangat Persaudaraan Melanesia.

Ini merupakan cikal-bakal berdirinya MSG pada tahun 1929 di Honiara, Salomon Island. Melanesian Brotherhood didirikan tiga negara, yakni Vanuatu, Papua New Guinea (PNG).

MSG Perdana Menteri Salomon Island Manaseh Sogavaereh sempat mengundang Presiden RI Joko Widodo, untuk membahas masalah Papua, juga menjadi satu dasar pertimbangannya, karena pemerintah Indonesia mengabaikan undangan tersebut.

Dikatakan, MSG didukung negara-negara kuat seperti USA, Inggeris, Australia. Kini China mulai masuk dengan menawarkan investasi di bidang ekonomi dan perdagangan yang cukup besar, terutama di PNG, Fiji, Salomon Island dan Vanuatu. Negara-negara ini sebenarnya paling menentukan keanggotaan MSG.

Menurutnya, USA dan Inggris merasa penting mendukung ULMWP ke MSG, supaya kedua negara ini bisa menjaga kepentingan Freeport di Mimika dan Inggeris di British Petroleum di Teluk Bintuni.

Dia menjelaskan, ULMWP bisa menjadi observer dan kini diberi ruang yang besar di MSG untuk mengajukan proposal ulang sekaligus meningkatkan status ULMWP, karena ada dukungan Inggeris dibelakang, karena penasehat utama MSG adalah Inggeris. Bahkan negara-negara MSG adalah bagian dari negara-negara persemakmuran dibawah pemerintahan Ratu Inggeris.

“Jadi saya punya keyakinan penuh USA dan Inggeris berada dibalik pengajuan ULMWP sebagai anggota penuh MSG,” katanya.

Dikatakan, hal ini bukan berarti pemerintah Indonesia kalah diplomasi. Walaupun pemerintah Indonesia sudah kalah diplomasi di Pasific.

“Kita sudah kalah jauh isu -isu Papua di MSG semakin kuat dan semakin mendapat dukungan dari rakyat Melanesia di negara-negara Pasific Selatan, agar ULMWP menjadi anggota tetap MSG,” lanjutnya.

Namun demikian, kata dia, Indonesia bisa melakukan untuk menghentikan ULMWP menjadi anggota MSG adalah mengirim delegasi yang betul-betul bisa melakukan lobby dan diplomasi dalam KTT MSG.

“Pilihlah delegasi yang berakar dan punya massa kuat di Papua itu baru bisa mempengaruhi keputusan negara-negara MSG,” tukasnya.

Disamping diplomasi di luar negeri, tambahnya, pemerintah Indonesia perlu serius menutaskan dan menyelesaikan seluruh kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM.

Dia menuturkan, jika pemerintah tak serius menangani dan menuntaskan kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua, maka peluang ULMWP menjadi anggota tetap MSG makin kuat dan bola liar akan menuju kepada keputusan-keputusan politik yang jauh lebih besar dan bisa jadi menuju ke referendum, jika isu pelanggaran HAM Papua terus-menerus dibiarkan dan tak diselesaikan dengan tuntas.

Dijelaskan, Presiden Joko Widodo melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut B. Pandjaitan telah membentuk Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran di Papua dan Papua Barat mari seriusi itu kerja dengan serius minimal tiga kasus dugaan pelanggaran HAM di Papua dan Papua Barat dibawa ke Pengadilan HAM tak boleh diluar Pengadilan HAM jangan sampai kasus Wasior, Wamena dan Paniai diselesaikan diluar Pengadilan itu justru akan membuat Papua terus membara.

“Dan isu Papua merdeka akan semakin menyala dan berkobar-kobar,” terangnya. (mdc/aj)

Jelang Putusan ULMWP, KNPB Besok Gelar Aksi Serentak

Selasa, 12/07/2016 22:13 WIB

KBR, Jakarta- Sejumlah kelompok di Papua Rabu ini akan menggelar aksi besar-besaran di sejumlah kota di Papua. Aksi ini mendukung Gerakan Pembebasan Papua Barat  ULMWP diterima jadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG).

Sekretaris Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB), Ones Suhuniap, mengatakan akan tetap beraksi meski menghadapi ancaman pembubaran dari Kepolisian. Kata dia, aksi ini akan digelar di antaranya di Manokwari, Jayapura, Timika, dan Yahukimo.

“Aksinya bermacam-macam. Ada yang berbentuk demo turun ke jalan, ada yang panggung terbuka, ada yang pawai, ada yang berbentuk ibadah atau syukuran,” ungkap Ones kepada KBR, Selasa (12/7/2016) malam.

Ones   optimistis ULMWP jadi anggota tetap di MSG. Sebab, mereka telah memenuhi persyaratan, yakni membentuk wadah persatuan seperti ULMWP dan menjadi anggota observer MSG selama setahun terakhir. Selain itu, kata dia, MSG akan berpihak pada Papua karena mereka merupakan saudara satu bangsa Melanesia.

Menanggapi aksi besar-besaran itu  Juru Bicara Polda Papua Patrige Renwarin menegaskan pendemo yang mendukung ULMWP,  tidak diizinkan untuk melakukan aksinya.

“Mereka tidak diizinkan, mereka tidak diberikan surat tanda terima pemberitahuan. Kita juga menjawab surat mereka dengan surat untuk menjelaskan, yang isinya surat penolakan itu, isinya bahwa harus mereka lengkapi persyaratan-persyaratan yang sudah diamanatkan UU no 9 tahun 98, tentunya kan mereka tidak bisa lengkapi hal itu,” ungkap Patrige kepada KBR (12/7/2016).

Juru Bicara Polda Papua Patrige Renwarin melanjutkan, “pasti mereka akan melakukan kegiatan itu tapi belum tahu kegiatannya seperti apa. Kalau di dalam permohonan pemberitahuannya, mereka akan lakukan demo damai dan ibadah. Sudah disampaikan oleh Kapolres Jayapura Kota bahwa sebisa mungkin tidak laksanakan demo. Kalau toh laksanakan ibadah, tentunya pastinya kita akan amankan dan kita juga tidak akan lakukan tindakan-tindakan polisional.”

Patrige menambahkan, komunikasi telah dilakukan oleh Kapolres Jayapura Kota dengan pendemo. Menurutnya, jika ingin melakukan aksi, mereka perlu memenuhi syarat seperti mendaftarkan organisasinya secara resmi ke Kesbangpol terlebih dulu. Jika demo tetap dilakukan, maka kata Patrige, kepolisian akan melokalisir pergerakan massa seperti yang juga telah dilakukannya selama ini.

“Selama ini kita tidak lakukan penangkapan tapi kita ajak mereka baik-baik. Dan mereka mau, mereka menuruti di bawa ke Polres ataupun tempat-tempat lain yang memang tidak mengganggu aktivitas itu yang istilahnya kita pakai istilah dilokalisir. (tidak ditahan?) Tidak pernah ditahan, kecuali mereka melakukan aksi anarkis merusak mobil angkutan yang lewat, kendaraan orang dibakar atau dilemparin, seperti itukan, pasti pidana,” katanya.

Optimistis

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Luhut Panjaitan optimistis ULMWP tidak bakal menjadi anggota penuh dalam KTT Khusus Melanesian Spearhead Group (MSG) yang berlangsung 14-15 Juli di Kepulauan Solomon. Ia beralasan, ULMWP bukan sebuah negara, sehingga memberinya keanggotaan penuh sama dengan melanggar perjanjian pendirian MSG.

Luhut menyatakan, pemerintah melobi anggota MSG untuk menggagalkan upaya ULMWP.

“(Kalau ULMWP diterima?) Ya nggak lah, kan dia bukan negara, kan sudah ada keputusan sebelumnya, yang boleh kan harus negara. (Jadi optimistis?) Ya kita harus hidup optimis. (Pemerintah lakukan lobi?) Semua ada lobi, masak hidup nggak ada lobi, harus ada pendekatan,” kata Luhut di Kemenkopolhukam, Selasa (12/7/2016).

Luhut menambahkan, saat ini perwakilan pemerintah dari Kementerian Luar Negeri dan Kemenkopolhukam telah berada di Kepulauan Solomon untuk mengikuti agenda tersebut. Kata dia, pemerintah mengharapkan bisa diterima menjadi anggota penuh.

“Itu (jadi anggota penuh-red) yang kita harapkan. Tim lagi di sana, kemlu dengan deputi I di sini, ya kita lihat saja,” ujar dia. 

Melanesian Spearhead Group (MSG) menggelar KTT Khusus Rabu ini di Solomon Island. Salah satu agendanya adalah penetapan keanggotaan ULMWP. Jika ULMWP jadi anggota tetap MSG, maka lima anggota MSG bisa membahas isu Papua hingga ke Perserikatan Bangsa-Bangsa. MSG beranggotakan negara Melanesia di Pasifik yakni Fiji, Papua Nugini, Kaledonia Baru, Kepulauan Salomon, dan Vanuatu. 


Editor: Rony Sitanggang

Delegasi ULMWP Tiba di Kepulauan Solomon Jelang KTT MSG

Penulis: Melki Pangaribuan 17:01 WIB | Sabtu, 09 Juli 2016

HONIARA, SATUHARAPAN.COM – Anggota delegasi United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dikabarkan tiba di Honiara, Kepulauan Solomon pada akhir pekan ini, menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Melanesian Spearhead Group (MSG) yang akan dilaksanakan pada minggu depan.

Hal ini dibenarkan oleh Ben Didiomea, salah satu juru kampanye ULMWP di negara Kepulauan Solomon.

“Mereka tiba di Honiara dengan penerbangan terpisah,” kata Ben Didiomea sebagaimana dikutip solomonstarnews.com, hari Jumat (8/7).

KTT MSG awalnya dijadwalkan di Port Vila di Vanuatu pada awal Mei lalu, tapi kemudian dipindahkan ke Port Moresby, Papua Nugini, menjelang akhir Juni.

Namun, kemudian ditunda lagi karena para pemimpin tidak bisa menemukan waktu yang tepat untuk bertemu selama pertemuan Asia Caribbean Pacific (ACP) di Port Moresby.

KTT MSG sekarang akan diadakan kembali bersamaan dengan Pacific Islands Development Forum (PIDF) yang juga dijadwalkan akan diselenggarakan di Honiara, minggu depan juga.

Solomonstarnews.com melaporkan akan ada rencana demonstrasi damai selama KTT MSG minggu depan yang dilaksanakan oleh para pendukung Papua Barat untuk mengecam pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Indonesia terhadap orang Papua.

Sebuah konser musik juga akan dipentaskan untuk mendukung perjuangan ULMWP untuk menentukan nasib sendiri dari Indonesia.

Jaminan dari Ketua MSG

Seperti diberitkan sebelumnya, Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Hon Manasye Sogavare selaku Ketua MSG saat ini, memberikan jaminan peningkatan status keanggotaan ULMWP menjadi anggota penuh di MSG.

Hal itu disampaikan Sogavare ketika bertemu dengan delegasi pemimpin ULMWP di Port Vila, ibu kota negara Kepulauan Solomon, pada hari Kamis (12/5). Mereka meminta dia untuk mempertimbangkan dua isu utama untuk diputuskan oleh MSG.

Isu-isu itu di antaranya MSG memberikan keanggotaan penuh kepada ULMWP, yang saat ini memegang status peninjau (observer) dan mendesak MSG untuk meminta intervensi Perserikatan Bangsa-Bangsa di Papua untuk segera menetralisir apa yang mereka klaim sebagai genosida terhadap kemanusiaan di Papua.

Delegasi menyampaikan apresiasi kepada Perdana Menteri Sogavare karena MSG memberikan Status Observer untuk ULMWP pada saat mengambil posisi kepemimpinan MSG pada bulan Juni 2015.

Namun mereka mengatakan sejak ULMWP diberikan status observer dari MSG, situasi di Papua Barat menjadi tegang, meninggalkan orang-orang pribumi yang sekarang di ambang kepunahan.

Dikatakan situasi ini telah mendorong mereka membawa dua poin petisi untuk dipertimbangkan oleh Perdana Menteri Sogavare sebagai Ketua MSG agar menjadi prioritas MSG untuk segera diatasi.

Perdana Menteri Sogavare mengatakan jumlah genosida yang semakin meningkat di Papua Barat disampaikan kepadanya oleh delegasi dalam pertemuan itu. Dia juga menegaskan sebagai Ketua MSG, ia akan mengizinkan rekannya PM Vanuatu, Menteri Charlot Salwai, untuk mengusulkan dinaikkannya status ULMWP menjadi anggota penuh dan Sogavare akan mendukungnya dalam KTT itu.

Perdana Menteri Vanuatu mengatakan kepada Perdana Menteri Sogavare bahwa ia akan melakukan perjalanan ke Kaledonia Baru minggu depan untuk bertemu dengan Juru Bicara FLNKS, Victor Tutugoro, dalam upaya memperoleh dukungan menjadikan ULMWP sebagai anggota penuh MSG.

Dia mengatakan Indonesia mendapatkan keanggotaan Associate MSG untuk memungkinkan dialog antara Jakarta dan Pemimpin MSG membahas masalah Papua Barat. Namun penolakan Presiden Indonesia Joko Widodo terhadap permintaan untuk bertemu dengan dia mengenai posisi MSG terhadap Papua Barat merupakan indikasi yang jelas bahwa itu memiliki alasan lain untuk bergabung dengan MSG.

Perdana Menteri Sogavare mengatakan penolakan Indonesia terhadap permintaannya untuk dialog memberinya semua alasan untuk membawa masalah ini kembali ke MSG. Dia menambahkan bahwa “Indonesia telah melewati batas sehingga kita perlu mengambil beberapa sikap keras.”

Delegasi pemimpin ULMWP yang bertemu dengan Perdana Menteri Sogavare termasuk Jacob Rumbiak, Andy Ayamiseba dan Edison Waromi, Mama Yosepha Alomang. Delegasi didampingi oleh anggota Asosiasi Free West Papua di Port Vila.

Indonesia Menolak

Di sisi lain, Indonesia dengan tegas menolak keinginan ULMWP dan menyebutnya sebagai kelompok separatis.Menurut Direktur Jenderal Asia Pasifik Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya, tidak benar bahwa ULMWP akan mendapat peningkatan status menjadi anggota penuh.

“ULMWP adalah gerakan separatis di sebuah negara berdaulat. Gerakan itu tidak memiliki legitimasi dan tidak mewakili rakyat Papua,” kata dia pada pertemuan tingkat menteri MSG di Lautoka, Fiji, belum lama ini.

Oleh karena itu, menurut Desra Percaya, dalam pertemuan tingkat menteri di Fiji, MSG hanya mencatat permohonan ULMWP dan membetuk komite untuk membicarakan kriteria keanggotaan. Menurut dia, sejumlah anggota MSG lebih memilih Indonesia sebagai anggota penuh ketimbang ULMWP.

Editor : Eben E. Siadari

MSG, ACP and the (almost) forgotten case of West Papuan independence

By PMC Editor

By Veronika Kusumaryati and Cypri Dale

Two events of highest significance in the context of global history of decolonisation are taking place in the Pacific:

  • The first has been the gathering of 79 nations for the 8th Summit of ACP (the African, Caribbean and Pacific Group of States) heads of state and government in Port Moresby, Papua New Guinea, 30 May-June 1.
  • Secondly, the twice postponed summit meeting of the Melanesian Spearhead Group (MSG) in Honiara, Solomon Islands, to decide on the application of the United Liberation Movement of West Papua (ULMWP) for full membership at the MSG.

These two events raise an important question for both West Papuans and for the international community. Will West Papua have their moment of solidarity from MSG and ACP member states, their brothers and sisters who were once in the same predicament of colonialism, or will West Papua continue to be forgotten?

Interrupted decolonisation
In the third millennial, a last call from the great global decolonisation period of 1960s seems to fade away.

Right after the World War 2, Africa, Asia, Caribbean and the Pacific, which for a long period had been under European colonialism, claimed their rights for a truly modern entity: nation states.

State and non-state actors played their equal roles in the national claims making and state making enterprises.

While big countries fought the Cold War, these newly emerged states attempted to assert their new role in shaping the world politics, through the Non-Aligned Movement and the 1955 Bandung Conference among others.

In the Pacific in particular, the wave of decolonisation swept the region in the 1970s with the plan was set up in the late 1950s and 1960s.

Countries, such as Fiji, the Cook Islands, Nauru, and Tonga received their independence early in the 1970s while in Melanesia decolonisation began with Papua New Guinea in 1975 (followed by the Solomon Islands in 1978 and Vanuatu in 1980).

Not only in terms of the times, many countries in the Pacific also went through different decolonisation processes compared to their African or Asian counterparts.

Violent struggle
For Asian, African and some Caribbean countries they had to go through a rather violent anti-colonial struggle.

This would make so much difference in the regional perception of decolonisation particularly in the case of West Papua, the last colonial outpost of the Dutch government who continues to fight an anti-colonial struggle against Indonesia.

It is easy to chart the failed promise of anti-colonial nationalism as a narrative where many post-colonial nation-states were already predetermined to become failed or fragile states riddled by corruption, or where rule of law may not extend far from the capital city.

But what is evident in this period was the spirit of building a new and better life outside the European model of governance. The establishment of the ACP is a prime example.

As an organisation whose membership consists of newly independent states of Africa, Caribbean and the Pacific, the ACP Group seeks to focus on sustainable development of its member states and participate in the establishing “a new, fairer, and more equitable world order”.

Fairer world
The irony of this dream, however, lies in places that did not become independent during 1960s decolonisation wave, let alone manage to participate in the initiative of sustainable development and in establishing a new, fairer, and more equitable world order.

In this case, West Papua is exemplary. Being promised to have their own state in 1961, West Papua failed to gain their independence as a result of a questionable process of political transfer to Indonesia.

Historical accounts demonstrate that the 1969 referendum, known as the “Act of Free Choice”, occurred under the strict control of the Indonesian military and a weak supervision from the United Nations.

The standard principle of “one man one vote” was violated by the fact that only 1025 of a total 700,000 population, handpicked by Indonesian authorities, voted in the referendum.

Papuans did not have a chance to exercise their right for self-determination. Until today, West Papua remains seeking an international recognition of their nation. And their call rings rightly loud.

Unfinished struggles
West Papua does not give up on their decolonisation agenda after more than 50 years of living with Indonesia.

Indonesia claims that development has brought progress for the life of the Papuans but Papuan experiences tell the opposite. Hazardous development, combined with human rights abuses, land grabbing, intensive resources extractions, and massive migrations that make Papuans becoming a minority in their own land have led to Papuans’ self awareness as “We are in danger ” or “We will lose everything”.

In fact there is a strong feeling that “there is no future with(in) Indonesia”.

Recently, West Papuan anti-colonial movements have transformed themselves into a more consolidated mobilisation involving non-violent and urban-based resistance groups. Their international political lobbying and actions have been more effective thanks to the formation of ULMWP as an umbrella organiSation.

They are seeking internationally facilitated dialogues and negotiations, incorporating not only development and human rights issues, but also the neglected rights for self-determination.

Interestingly, a number of nations in the Pacific, including members of the MSG began to hear Papuans’ cries for help. Despite the pressure from Indonesia and its international allies, those countries exercise their national sovereignty in international politics and show their solidarity for West Papua.

The Papuan struggle, past and present, is a struggle of an almost forgotten nation; accordingly the future of West Papua partly depends on the solidarity of post-colonial African, Caribbean, and Pacific countries.

West Papua’s call for solidarity rings rightly loud. Many countries have heard their cries.

The question is whether they choose to listen or not.  Their choice is not only political, but also an ethical one but certainly it will reflect these countries’ commitment to their own decolonisation agenda.

Veronika Kusumaryati and Cypri Dale are social anthropologists and historians based in Epouto, Indonesia, and Berlin, Germany.

Oposisi Fiji mengecam suap dan campur tangan Indonesia dalam urusan internal Melanesia

Minggu, 03 Juli 2016, salampapua.com

Oposisi Fiji mengecam suap dan campur tangan Indonesia dalam urusan internal Melanesia dan panggilan untuk dukungan bagi rakyat Papua Barat.Front Persatuan untuk Fiji Demokrat (UFDF) menuduh pemerintah Indonesia sengaja menyuap dan mendukung [UFDF Juru Bicara Mick Beddoes] pemerintah Fiji incumbent dalam pemilu mendatang setelah Duta Besar Indonesia, Aidil Chandra Salim, mengatakan dalam sebuah wawancara dengan media bahwa Indonesia pemerintah benar-benar di balik tawaran Commodore Bainimarama untuk menjadi Fiji terpilih sebagai Perdana Menteri.

Dalam sebuah wawancara radio pada tanggal 28 Januari UFDF Juru Bicara Mick Beddoes, mengutuk suap di Indonesia dari Melanesian Spearhead Group (MSG) dengan memberikan setengah juta dolar “dalam pertukaran untuk mengkhianati komitmen MSG kepada orang-orang Papua Barat”.

Dalam Siaran Pers, yang UFDF mengatakan “panggilan untuk Kemerdekaan Papua Barat adalah suatu hal yang tidak hanya kelompok MSG harus mengambil dan dukungan, tetapi para anggota Forum Kepulauan Pasifik termasuk Australia dan Selandia Baru harus bersatu dan mendukung Papua Barat rakyat panggilan untuk kemerdekaan, sama seperti kita semua mencari kemerdekaan kita dari penjajahan beberapa dekade yang lalu. ”

The UFDF mengatakan bahwa hal itu “akan mengajukan protes resmi terhadap campur tangan pemerintah Indonesia dalam politik dalam negeri Fiji serta dalam MSG.”

The UFDF mengatakan “itu bersimpati dengan rakyat Papua Barat dan yakin bahwa setelah pemilu 2014, pemerintah baru dipilih oleh rakyat akan mengembangkan kebijakan yang mendukung dan lebih menarik terhadap upaya rakyat Papua Barat untuk Kemerdekaan.”

UPDATE: 12 Februari 2014Dalam laporan terbaru pengusaha Fiji dan mantan Politikus Kaliopate Tavola mengakui bahwa Fiji digunakan MSG (MSG) misi pencari fakta ke Papua Barat untuk membahas transaksi perdagangan dengan Indonesia.

Duta untuk 2014 Perdagangan Pasifika Kaliopate Tavola mengatakan sementara tujuan misi adalah untuk MSG untuk melihat situasi di Papua Barat, itu juga merupakan kesempatan bagi Fiji untuk mencari kesepakatan bilateral.Kunjungan ini diamanatkan oleh para pemimpin MSG untuk menilai penerapan Koalisi Nasional Papua Barat untuk Pembebasan (WPNCL) untuk menjadi anggota dari MSG.

Kepala koalisi Andy Ayamiseba mengatakan misi pencari fakta jatuh pendek dari mandatnya.”Bagi saya dan Koalisi Papua Barat Nasional untuk Pembebasan (WPNCL), yang disebut MSG kunjungan menteri delegasi ke Indonesia dan Papua Barat adalah konflik kepentingan untuk Fiji dan Kepulauan Solomon,” kata Mr Ayamiseba Vanuatu Daily Post.

Meskipun Mr Tavola tidak memiliki rincian perjanjian bilateral, katanya bantuan bilateral ke Fiji akan berguna, terutama yang berasal dari Indonesia, negara yang memiliki banyak potensi.”Fiji adalah pemimpin delegasi yang pergi menemukan dan terpisah dari mandat MSG. Keuntungan untuk Fiji jelas keuntungan melalui perjanjian bilateral yang dilakukan, serta apa yang akan berasal dari situasi Papua Barat, “katanya.

PNG Surati Jokowi untuk Bahas Isu Papua di Bali

Penulis: Eben E. Siadari 21:14 WIB | Rabu, 22 Juni 2016

SUVA, SATUHARAPAN.COM – Anggota Sub Komite Khusus Regionalisme atau Specialist Sub-Committee on Regionalisme (SSCR) Pacific Islands Forum (PIF), Leonard Louma, mengatakan isu pelanggaran HAM di Papua merupakan salah satu isu prioritas yang akan dibahas dalam pertemuan para pemimpin PIF pada September mendatang.

Namun, Papua Nugini menurut dia, lebih memilih membawa masalah ini ke Bali Democracy Forum (BDF) yang akan diselenggarakan di Bali pada bulan Desember mendatang.

Menurut Leonard Luma yang berasal dari Papua Nugini, Presiden PNG, Peter O Neill, telah menulis surat kepada Presiden Joko Widodo. “Dia telah memberitahu kami bahwa tempat yang tepat untuk mengangkat masalah ini adalah di Bali Democracy Forum,” kata dia, sebagaimana dilansir dari Fiji Times.

Sebelumnya, dalam pertemuan tingkat menteri luar negeri Melanesian Spearhead Group (MSG) di Lautoka, Fiji, pada 16 Juni lalu, Ketua Delegasi RI, Desra Percaya, juga telah mengundang negara anggota MSG –termasuk PNG — untuk hadir di Bali Democracy Forum (BDF) pada 8-9 Desember mendatang. Selama ini, posisi Indonesia memang lebih memilih isu Papua dibicarakan pada forum itu ketimbang di forum MSG maupun PIF.

Leonard Louma juga mengakui bahwa isu Papua merupakan isu prioritas yang diadopsi oleh PIF tahun ini, bersama dengan perubahan iklim, perikanan, kanker serviks dan informasi dan teknologi komunikasi.

“Tahun lalu fokus pada pelanggaran HAM yang terjadi di Papua. Sedangkan pengajuan tahun ini berfokus pada menyoroti masalah ini di panggung internasional seperti di PBB dan Dewan HAM PBB,”

kata dia.

Sebagai catatan, PIF adalah sebuah forum yang beranggotakan negara-negara dan wilayah di Pasifik Selatan. Anggota-anggotanya adalah (anggota penuh) Australia, Cook Islands, Fiji, Kiribati, Marshall Islands, Micronesia, Nauru, Selandia Baru, Niue, Palau, Papua Nugini, dan Samoa. Sedangkan associate member: Kaledonia Baru, French Polynesia, Tokelau, Wallis and Futuna, American Samoa, PBB, Timor Leste, Guam, North Marina Islands, ADB, Commonwealth of Nation dan WCPFC.

Para anggota SSRC yang yang bertemu di Suva pekan lalu menyatakan telah menerima sebanyak 47 proposal isu yang diusulkan untuk dibahas di PIF. Dari 47 proposal, isu pelanggaran HAM Papua dan dan penentuan nasib sendiri menjadi yang mayoritas atau dominan. Isu Papua mencapai 13 proposal, sementara sisanya terdiri dari berbagai macam isu.

Laporan dan rekomendasi dari SSCR akan dibawa ke Forum Officials Committee (FOC) yang akan berlangsung pada 9-10 Agustus mendatang, dan ke Forum Menteri-menteri Luar Negeri PIF pada 12 Agustus. Kedua forum itu akan dilangsungkan di Suva, Fiji.

Laporan dan rekomendasi itu juga akan disampaikan sebagai bagian dari agenda pertemuan pemimpin PIF atau Pacific Islands Forum Leaders, yang akan dituan-rumahi oleh Federated States of Micronesia, pada 7-11 September mendatang.

Berdasarkan penelusuran satuharapan.com dari dokumen yang ada di situs PIF, isu-isu menyangkut Papua yang diusulkan untuk dibahas adalah topik-topik sebagai berikut:

Pertama, Pelanggaran HAM dan Penentuan Nasib Sendiri bagi Penduduk Asli Papua (Human Right Violation and Self Determination for Indigenous People from Papua). Isu ini diangkat oleh .Yoseph Novaris Wogan Apay, yang beralamat di Merauke, Papua.

Proposal ini menyatakan bahwa PIF telah merekomendasikan adanya tim pencari fakta terhadap pelanggaran HAM di Papua. Namun karena pemerintah RI menolaknya, proposal ini meminta PIF membawa masalah ini ke Perserikatan Bangsa-bangsa.

Kedua, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua (Truth and Reconciliation Tribunal for West Papua) , diusulkan oleh West Papua Project, Centre for Peace and Conflict Studies, The University of Sydney.

Proposal ini meminta agar PIF mendorong pemerintah RI membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk Papua.

Ketiga, Mengakui Papua menjadi bagian dari Pacific Islands Forum, diajukan oleh Sisters of St Joseph Justice Network. Proposal ini menyebutkan bahwa tim pencari fakta yang direkomendasikan oleh PIF ke Papua belum juga terlaksana. Proposal ini mendesak agar PIF mendorong pelaksanaannya. Selain itu, diusulkan pula agar representasi rakyat Papua diberi tempat pada pertemuan pemimpin PIF pada September mendatang untuk mendengarkan suara mereka.

Keempat, Penetapan Perwakilan Khusus PBB untuk Menginvestigasi Pelanggaran HAM di Papua (Appointment of UN Special Representative to Investigate Human Rights Violations in West Papua). Proposal ini diajukan oleh Pacific Islands Association of Non-Governmental Organisations (PIANGO).

Kelima, Pelanggaran HAM di Papua (Human Rights Abuses in West Papua), diajukan oleh Dale Hess.

Keenam, Status dan Dukungan HAM bagi Rakyat Papua, (Status and Human Rights Support for West Papua) diajukan oleh Catherine Delahunty, dari Partai Hijau, Selandia Baru.

Ketujuh, Dukungan Terhadap Rakyat Melanesia Papua di PIF dan di PBB (Melanesian Peoples of West Papua – Support at the Pacific Island Forum and at the United Nations), diajukan oleh David Jhonson.

Kedelapan, Papua: Perlunya PIF Mengangkat Isu Ini di PBB (West Papua: the need for the PIF to take the issue to the United Nations), diajukan oleh Dr Jason MacLeod, Coordinator of Pasifika, sebuah LSM berbasis di Vanuatu dan Australia.

Kesembilan, PIF Mengambil Langkah Membawa Isu HAM Papua di UNGA dan UNHRC (The PIF to Take Action on Human Rights in West Papua at the UNGA and the UNHRC), diajukan oleh Komisi Keadilan dan Perdamaian Gereja Katolik Keuskupan Brisbane.

Kesepuluh, West Papua – Cause for Concern, diajukan oleh Australia West Papua Association, Sydney.

Kesebelas, Papua dalam Agenda PBB (West Papua on the United Nations Agenda), diajukan oleh Jane Humpreys.

Keduabelas, Isu HAM di Papua harus Menjadi Prioritas (Human Rights Issues in West Papua to be Prioritised), diajukan oleh Marni Gilbert, West Papua Action Auckland dan Leilani Salesa, Oceania Interrupted .

Ketigabelas, Papua: Perlunya PIF Membawa Isu Ini ke PBB (West Papua: the Need for the PIF to Take the Issue to the United Nations), diajukan oleh Thomas Dick, direktur Further Arts.

Daftar lengkap proposal yang diajukan sebagai agenda isu di PIF dapat dilihat pada link ini.

Editor : Eben E. Siadari

Terlibat Dalam MSG, Pemerintah Indonesia Bisa Digugat Ke MK

Jayapura, Jubi – Sebagai negara pluralis, Indonesia diharapkan tidak terlibat atau masuk dalam kelompok negara yang berbasiskan ras, seperti Kelompok Negara-negara Melanesia (Melanesian Spearhead Group/MSG).

Hal ini dikemukakan kepada media oleh pengamat intelijen Susaningtyas NH Kertopati di Jakarta, Senin (20/6/2016). Nuning menanggapi kehadiran Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI Desra Percaya pada pertemuan tingkat menteri luar negeri MSG yang berlangsung di Lautoka, Fiji, Kamis (16/6/2016).

Dalam pertemuan tingkat menteri MSG ini, United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk pertama kalinya hadir secara resmi dalam sebuah forum MSG. Kehadiran ini diprotes oleh delegasi Indonesia yang dipimpin oleh Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya.

Keberatan Indonesia ini, menurut Desra karena Indonesia beranggapan Papua telah diwakili oleh delegasi Indonesia dalam pertemuan di Lautoka ini.

Melalui saran pers Kementerian Luar Negeri, Jumat (17/6/2016) Indonesia menjelaskan penolakan atas klaim ULMWP yang disebut sebagai gerakan separatis.

“ULMWP adalah gerakan separatis di negara yang berdaulat. Gerakan ini tidak memiliki legitimasi dan tidak mewakili rakyat Papua Barat,” kata Dirjen Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri, Desra Percaya dalam pertemuan Tingkat Menteri Melanesian Spearhead Group (MSG).

Meski sepakat dengan pernyataan Desra ini, Nuning menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang ingin hadir dalam pertemuan tersebut.

“Kehadiran delegasi Indonesia itu bisa dimainkan di tingkat internasional secara sepihak,” ujar Nuning, dikutip beritasatu.com

Ia mengingatkan, politik luar negeri yang spesifik seperti kasus MSG ini bisa digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK), karena tidak konstitusional. Kalau tidak berhati-hati, pemerintah menurutnya bisa melanggar Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.

“Karena melanggar sila ke-3 Pancasila. Pasal itu menyebutkan, hubungan luar negeri dan politik luar negeri didasarkan pada Pancasila, UUD 1945, dan Garis-garis Besar Haluan Negara,”

jelasnya.

Indonesia, lanjut Nuning adalah negara pluralis, sehingga tidak bisa masuk ke organisasi yang dibentuk berdasarkan ras.

“Sebagai bangsa demokratis pluralis terbesar ketiga, jangan sampai kita terjebak dengan politik ras. Kita harus berhati-hati,” tuturnya.

Indonesia telah melobi intens beberapa negara anggota penuh MSG di wilayah ini untuk melawan upaya ULMWP menjadi anggota penuh di MSG. Namun dukungan akar rumput di negara-negara Melanesia untuk penentuan nasib sendiri Papua Barat dan kegiatan diplomasi internasional atas masalah Papua ini semakin kuat. (*)

Legislator Minta Indonesia Buka Diri Investigasi Kasus HAM di Papua

Penulis Suara Papua – Juni 20, 2016

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Sikap pemerintah dalam hal ini Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Republik Indonesia menolak keterlibatan pihak lain dalam proses investigasi kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Papua, menunjukkan upaya menyembunyikan “sesuatu” agar tidak diketahui dunia internasional.

Anggota DPR Papua, Laurenzus Kadepa mengatakan, hal itu akan memperkuat dugaan berbagai pihak terhadap kondisi HAM di Tanah Papua selama ini.

“Jika memang benar di Papua tidak ada masalah, seperti pernyataan Luhut Pandjaitan selama ini, itu justru menguntungkan Indonesia. Tetapi kalau tidak, akan melahirkan pertanyaan-pertanyaan baru terhadap kondisi daerah ini. Jadi, lebih baik ijinkan saja pihak lain investigasi kasus HAM, supaya lebih netral, juga tak ada hal-hal yang tersembunyi,”

tuturnya di Jayapura, Minggu (20/6/2016).

Menurut Kadepa, sebenarnya akan menguntungkan pihak Indonesia sendiri jika tim lain diijinkan investigasi kasus HAM dan tidak menemukan bukti-bukti pelanggaran HAM yang serius dan lain-lain. “Tetapi, kalau dibatasi terus, ya jelas akan memperkuat dugaan-dugaan pelanggaran HAM,” ujarnya.

Kadepa menyampaikan hal ini menanggapi pernyataan Menko Polhukam bahwa Indonesia tidak mau ada yang investigasi kasus HAM di Papua.

“Kenapa Luhut Pandjaitan tidak mau tim independen lain investigasi kasus HAM di Papua? Jika memang benar di Papua tidak ada masalah, seperti pernyataan Luhut selama ini, sebenarnya justru menguntungkan Indonesia,”

imbuh Kadepa.

Sebelumnya, seperti diberitakan media ini, Luhut menyatakan, Indonesia tak mau tim independen lain melakukan investigasi kasus HAM di Tanah Papua. Kata Luhut, penolakan terhadap tim investigasi bentukannya tidak oleh semua orang Papua.

Luhut mengklaim, yang menolak hanya satu dua orang saja. “Yang menolak tidak semua orang kan. Kalau tidak salah hanya Natalius Pigai, sementara Ketua Komnas HAM dan beberapa anggota Komnas HAM lainnya ada dalam tim. Tapi semua orang juga bisa sama-sama, tetapi dangan data, jangan dengan rumor,” ujar Luhut di Wamena, Jumat (17/6/2016).

Pemerintah menurutnya, tidak mau ada orang lain membuat tim independen menginvestigasi Indonesia. Ia juga mengklaim, Indonesia siap lakukan sendiri dengan mengundang Dubes PNG, Fiji, Solomon Island dan New Zealand.

Untuk proses penyelesain kasus-kasus HAM di Papua, Luhut yakin bisa tuntas pada akhir tahun 2016. “Semua kasus selesaikan tahun ini (2016), jika tidak selesai kami selesaikan tahun depan,” ujarnya.

Pewarta: Mary

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny