Jayapura, Tabloid-Wani — Meski dikawal secara ketat aparat keamanan yang diterjunkan dari Polda Papua, aksi demo yang dilakukan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) tetap berjalan.
Di Abepura, seluruh anggota KNPB saat ini sudah dikumpulkan untuk berunjukrasa persis di sekitaran lampu merah Abepura sehingga menimbulkan kemacetan panjang kendaraan yang hendak menuju ke pusat kota Jayapura dari arah Sentani.
“Angkat bendera kalian tinggi-tinggi, mulut kita dibungkam jadi biar bendera yang berbicara. Ini tanah kita, jangant takut,” ucap salah seorang yang ditugaskan memberikan orasi.
Dari pantauan, massa KNPB yang berkumpul di Abepura datang dari sekitaran Tanah Hitam, Abe Pantai, Kotaraja dan sebagian juga datang dari Expo Waena dan Perumnas III.
Massa KNPB berniat bergerak menuju Kantor DPRP Papua untuk menyampaikan aspirasinya. Mereka menolak tim penyelesaian pelanggaran HAM oleh Pemerintah Indonesia yang dibentuk Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan.
KNPB juga mendesak ULMWP segera diterima sebagai anggota penuh di blok regional negara-negara pasifik (MSG).
“Referendum harga mati,” teriak salah seorang demonstran.
Hingga berita ini diturunkan, aparat kepolisian masih berjaga-jaga di sekitaran demonstran dan tidak mengijinkan massa KNPB bergerak menuju Kantor DPRP.
Jayapura, (KM)—Salah satu Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univesitas Cendrawasih (FISIP Uncen) Papua, Frans Kapisa, mengatakan, perjuangan masalah Papua adalah bukan masalah indonesia, tetapi masalah dunia Internasional dan Negara-negara Forum Pasifik.
“dengan adanya masalah ini, dikomitmen bahwa perjuangan Papua dilakukan secara bermartabat. Jangan kita berjuang dengan menggunakan kekerasan diatas tanah ini. Sebab, kebenaran adalah jalan menuju sebuah kemenangan,”kata Frans dalam orasi yang disampaikan di hadapan masa aksi, Rabu, (13/04/16).
Menurutnya, dengan melihat perjuangan Papua dinilai hampir mengakhir kebebasan atas tindakan kolonial indonesia.
Lanjutnya, dengan melakukan aksi demo damai yang dimotori dar Komite Nasional Papua Barat (KNPB) guna mendukung ULMWP agar terdaftar sebagai anggota penuh di MSG pada konfrensi 3 Mei mendatang.
“hal ini sudah menunjukan bahwa kemerderkaan ialah hak segala bangsa dan penjajahan diatas dunia di hapuskan,”katanya, yang juga diakui sebagai Aktivis Papua.
Ia menilai, konflik yang terjadi di tanah Papua bukan konflik perpanjangan persolan menyangkut Otsus dan kesejahtraan ekonomi di papua. Tetapi, menyangkut status politik, yakni penentuan nasib sendiri.
“Untuk itu, Papua akan terlihat adanya udara segara ketika Papua termasuk anggota Penuh di MSG,”tegasnya.
Ia berharap, 3 Mei 2016 mendatang Papua akan terdaftar menjadikan salah satu anggota penuh di MSG itu sudah pasti.
“maka, perlu ada dinamika aksi atau dukungan dari seluruh rakyat papua untuk regalitasi dalam forum MSG nanti,”harapnya.
Sementaraitu, salah satu Atlet Bola Kaki,penjaga gawang dari Tim Mutiara Hitam, Jayapura, Eneko Pahabol, mengatakan, “saya juga mewakili teman-teman atlet di Papua juga sangat mendukung ULMWP agar Papua masuk sebagai anggota penuh di MSG.
Kata dia, satu hal yang menjadi dosa terbesar ialah orang sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tapi tidak dilakukan. Itu sudah menjadi dosa terbesar.
“maka, apa yang dinilai di Papua kalau itu benar, yah harus dilakukan. Jangan tunggu dan menunggu,”tegasnya.
The chairman of the Melanesian Spearhead Group has defended his criticism of Indonesia over its alleged failure to engage with the region over West Papua.
Manasseh Sogavare, who is also Solomon Islands Prime Minister, recently claimed that Indonesia joined the MSG for the purpose of protecting its own interests, rather than discussing human rights in West Papua.
It drew a sharp rebuke from Jakarta where the Director General for Asia, Pacific and Africa, Desra Percaya, said Mr Sogavare’s claims were not based on reality.
Desra Percaya from Indonesia’s Ministry of Foreign Affairs Photo: UN
He also said Mr Sogavare’s statements violated the basic principles of sovereignty and non-interference, as contained in the MSG Establishing Agreement.
However the MSG Chair’s Special Envoy on West Papua, Rex Stephen Horoi, said the chair would like to remind Jakarta that one of the key overarching principles of the group is the principle of decolonisation of Melanesia.
“This is a fundamental principle that binds the Melanesian countries and all MSG members together,” he said.
“In this principle, MSG stands for its defense and promotion of independence as the inalienable right of indigenous peoples of Melanesia.”
Mr Sogavare also sought to remind Jakarta that the United Liberation Movement for West Papua was also a part of the MSG, with observer status.
He claimed the refusal of Indonesia’s government so far to discuss West Papua with him showcases Jakarta’s intention of not engaging in dialogue about the serious allegations of human rights issues.
The MSG chair has reiterated his offer to the Indonesian President, Joko Widodo, to discuss matters of common interest within the space provided by the MSG.
Kabar Mapegaa – Yogyakarta (KM)—Pemerintah Kepulauan Solomon mengatakan ULMWP ingin menjauhkan dari advokasi dan melangka ke pembangunan bangsa.
Sekjen ULMWP, Octo Mote, mengatakan Papua Barat mendapatkan dukungan internasional untuk mendorong pemerintahan sendiri,maka mereka perlu dilibatkan dalam pembangunan bangsa.
Tuan Mote, sekarang ada di Honiara untuk menghadiri KTT MSG. Dia mengatakan, Organisasi harus mengambil bagian dalam pembangunan ekonomi, pelatihan perawatan yang profesional pada kesehatan dan membantu orang mempersiapkan, menghadapi dampak-dampak pada perubahan iklim.
Lanjut lagi, Mote, kami akan mencari bantuan, dalam hal ini dari negara-negara pulau kecil khsusnya dari ACP.
Perdana Menteri Salomon, Manasye Sogavare, mengatakan ini langkah positif karena bisa meyakinkan Jakarta bahwa West Papua serius menjaga diri-sendiri dan mengembangkan sumber daya alam mereka.
Sebagai bagian dari kepercayaan pada MSG solidaritas, Papua Barat tidak bisa salah jika menyelaraskan politik dan ekonomi, tutup Sogavare.
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Tanpa banyak menarik perhatian pemberitaan media mainstream Jakarta, sebanyak 20 uskup Gereja Katolik Papua Nugini dan Kepulauan Solomon mengunjungi Jayapura akhir pekan lalu. Di antara mereka yang datang, adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat dan Uskup Agung Honiara, Solomon Islands, Adrian Smith.
Media Australia, abc.net.au, yang pertama kali melaporkan adanya kunjungan itu, tidak menyebutkan kapan persisnya para uskup menginjakkan kaki di Papua. Namun menurut Markus Haluk, tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang turut menghadiri misa yang diadakan para uskup itu, rombongan uskup tiba di Jayapura pada hari Jumat 8 April pukul 09:00. Mereka pulang pada hari Sabtu pukul 14:00.
“Sebanyak 20 uskup, tiga dari Solomon Island dan 17 dari Papua Nugini. Selain itu ada 2 pastor imam dan dua suster,” kata Markus Haluk lewat pesan singkat kepada satuharapan.com.
Di antara agenda mereka adalah mengunjungi STFT Fajar Timur, RS Katolik Dian Harapan, pertemuan dengan uskup-uskup Papua dan misa bersama.
Para aktivis setempat mengatakan kunjungan para uskup itu terkesan mendadak dan tidak diumumkan secara luas. Bis dan personel militer dilaporkan mengangkut dan mendampingi mereka selama kunjungan ke Papua.
Frederika Korain, aktivis dan pengacara di Papua, mengatakan kunjungan para uskup itu sama sekali tak terduga.
“Merupakan kejutan besar bagi kami, karena sudah puluhan tahun tidak ada delegasi sebesar itu datang ke tanah kami,” kata dia, kepada abc.net. au.
Ia menambahkan, dirinya baru mengetahui adanya kunjungan itu pada hari pertama mereka tiba di Papua, pada sore hari. Info tersebut ia dapatkan dari pelajar yang bertemu dengan para uskup.
“Mereka datang dari perbatasan Papua Nugini dengan mengendarai bis militer, dikawal oleh personel militer, beberapa di antara mereka berseragam, yang lainnya tidak,” kata Frederika.
Para aktivis yang mendengar adanya kunjungan itu, segera mencoba berbagai cara untuk datang dan menemui mereka. Namun, kata Frederika, pengawal oleh personel militer sangat ketat dan ia menilai kunjungan para uskup ke Papua agak tertutup.
Sebuah kelompok perempuan Katolik di Papua mengatakan, kunjungan para uskup dari negara-negara Pasifik Selatan ini adalah semacam misi pencarian fakta (fact finding).
Apakah mereka dapat menemukan fakta yang sebenarnya di Papua?
“Saya pikir mereka tidak akan mendapatkan gambaran yang akurat tentang kehidupan di Jayapura. Mereka tidak punya waktu bertemu dengan penduduk biasa,” kata Frederika.
Kendati demikian, kedatangan para uskup itu tetap mendapat apresiasi. Kedatangan mereka diharapkan dapat memberi mereka gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi di Papua.
“Kami mendapat pernyataan yang jelas, khususnya dari presiden Bishop Conference, yang bertemu dengan Uskup Agung Jayapura. Bahwa mereka akan datang lagi dan ingin mendengarkan apa yang terjadi di sini (Papua),” kata Frederika.
Menurut Markus Haluk, pertemuan ini adalah inisiatif dari para uskup Kepulauan Solomon dan Papua Nugini. Hanya saja mereka diantar dan dijemput dengan mobil bis Kodam 17 Cendrawasih.
“Tanggapan saya, kami menyambut baik kunjungan bersejarah uskup Solomon dan Papua Nugini. Sudah saatnya uskup-uskup Melanesia dari Papua Nugini dan Solomon mendengar, melihat langsung, tangisan penderitaan umat pribumi Katolik (Kristen) Melanesia di West Papua,” kata Markus Haluk.
“Sudah waktunya para uskup Melanesia dan Oceania, Australia, Selandia Baru, Asia, Eropa, Uni Eropa, AS bahkan Bapa Suci Paus Fransiskus, mendoakan kami guna menyelamatkan umat Tuhan di Melanesia, Papua Barat yang sedang menuju kepunahan,” kata dia.
Sebelum ini, Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, telah membuka kembali mata dunia internasional atas pelanggaran HAM di Papua dengan terungkapnya laporan yang disajikan sebuah tim pencari fakta yang mereka kirim ke Papua.
Dalam laporan itu dikatakan warga Papua dipukuli, diintimidasi, disiksa, diculik bahkan dibunuh di Papua.
Isi laporan ini dihimpun oleh Shadow Human Rights Fact Finding Mission to West Papua yang dibentuk oleh Brisbane Catholic Justice and Peace Commission, menyusul kunjungan mereka ke Papua pada bulan Februari.
Laporan itu mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.
Laporan itu juga membandingkannya dengan sebuah genosida dalam gerak lambat dan menyatakan bahwa “orang (pemerintah) Indonesia ingin mengganti agama Kristen dengan Islam”.
Penulis laporan tersebut, Suster Susan Connelly dari Kesusteran Josephite, berangkat ke Papua didampingi oleh oleh executive officer Komisi Perdamaian dan Keadilan Keuskupan Agung Brisbane, Peter Arndt.
Selama misi pencarian fakta, mereka mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong.
Belum diketahui apakah isi laporan mereka akan menjadi sikap resmi Gereja Katolik.
TNI Amati Sikap Gereja Katolik
Berkaitan dengan kunjungan para uskup tersebut, menurut Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, pemerintah pusat khususnya TNI, selalu berusaha mengamati sikap dan posisi gereja, dalam konstelasi konflik di Papua.
Hanya saja, kata Adriana, dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, Senin (11/4), di Papua jumlah gereja banyak. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan satu kesimpulan mengenai posisi mereka dalam menyikapi keinginan sementara kalangan rakyat Papua yang menuntut ingin menentukan nasib sendiri (self determination).
Menurut Adriana, sikap Gereja Katolik lebih dapat dibaca antara lain karena hirarki organisasinya yang jelas.
“Gereja di Papua kan banyak. Saya melihat Katolik lebih mudah membacanya,” tutur dia.
Sikap Gereja Katolik selama ini, kata Adriana, adalah fokus pada misi kemanusiaan. Itu sebabnya, kata Adriana, Gereja Katolik sangat menentang pelanggaran HAM di Papua.
Namun, ia menambahkan, dalam hal perjuangan untuk menentukan nasib sendiri atau merdeka di kalangan rakyat Papua, sikap Gereja Katolik sudah disampaikan oleh Paus Fransiskus kepada Duta Besar Indonesia untuk Vatikan.
Menurut Adriana, Paus mengatakan kepada Dubes, bahwa Gereja Katolik tetap mendukung Papua sebagai bagian dari NKRI. Namun di sisi lain, pemerintah pusat harus memperhatikan Papua secara serius.
“Paus sudah menyampaikan kepad Dubes kita bahwa Vatikan mendukung Indonesia, Papua di dalam Indonsia, tetapi tolong perhatikan Papua,” tutur Adriana, menirukan pesan Paus.
Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari Gereja Katolik tentang hal ini.
Di luar Katolik, diakui oleh Adriana, banyak juga gereja yang pro-kemerdekaan. “Jemaatnya juga banyak dan mereka mendukung adanya dialog. Dan mereka sudah sampai pada tuntutan yang konkret. Mereka umumnya bicara tentang hal yang sama. Apalagi kalau bicara tentang pelanggaran HAM, suaranya sama,” kata Adriana
“Dari TNI yang paling dikahwatirkan memang posisi gereja Katolik. Kalau sudah diasumsikan bahwa mereka pro kepada merdeka, itu yang paling ditakuti tentara. Sejauh ini belum. Posisi gereja membela kemanusiaan, bukan pro kemerdekaan.”
Laporan lengkap dari hasil kunjungan para uskup ini, menurut radionz.co.nz diharapkan rampung pada akhir bulan ini.
Radio NZ – The chairman of the Melanesian Spearhead Group, Manasseh Sogavare, says the regional body is pushing for an urgent intervention by the United Nations in West Papua.
Manasseh Sogavare Photo: RNZI
Mr Sogavare, who is the prime minister of Solomon Islands, has also declared his country’s support for the United Liberation Movement for West Papua’s bid to be a full member of the MSG.
Mr Sogavare has just been in Port Vila where he met with his Vanuatu counterpart Charlot Salwai whose proposal to give the Liberation Movement full membership at the MSG is to be discussed at an upcoming MSG leaders summit in Papua New Guinea.
Since the West Papuans were granted observer status in the MSG last year, Mr Sogavare said the situation in Indonesia’s Papua region had become more tense, leaving the indigenous people on the “brink of extinction”.
United Liberation Movement for West Papua members Mama Yosepha Alomang, Edison Waromi, Andy Ayamiseba and Jacob Rumbiak with the Solomon Islands prime minister Manasseh Sogavare (centre), Photo: MSG
Crossing the line
Indonesia was granted MSG associate member status last year in a bid to foster dialogue with Jakarta on West Papua.
However, in a statement, Mr Sogavare censured Jakarta for rebuffing his his request for dialogue on Papua.
‘Indonesia has crossed the line so we need to take some tough stance,” he said.
A recent surge in Indonesian diplomatic overtures to Pacific Islands countries is increasingly seen as being about countering the growing regional support for West Papuan self-determination aspirations.
The Indonesian President Joko Widodo’s refusal to meet with Mr Sogavare in his capacity as the MSG chair has been proffered as grounds for the Melanesian states to “take the matter up to the next notch which is the United Nations”.
Mr Sogavare said as well as the membership bid, the MSG summit would address the group’s pursuit of UN action on what he called “genocides committed against humanity in West Papua by Indonesia”.
While Solomon Islands, Vanuatu and New Caledonia’s Kanaks have signalled support for West Papua’s membership bid, it remains uncertain where the other two full MSG members – Fiji and PNG – stand.
Governments of both countries have closer ties with Indonesia than the others, and Jakarta has recently said that it has support of the Fiji and PNG for its own bid for full MSG membership.
March, 2016: Fiji Prime Minister Frank Bainimarama receives a 5 million US dollar cheque from Indonesia’s Coordinating Political, Legal and Security Affairs Minister Luhut Pandjaitan. Photo: Fiji Sun
Vanuatu appeared to counter that when prime minister Salwai suggested Indonesia should be stripped of its membership status within the MSG.
The West Papua issue continues to be a stern test of MSG unity.
Confusion over director-general’s appointment
The upcoming MSG leaders summit was already shadowed by division among the members of the appointment of a new director-general.
Last month Papua New Guinea and Vanuatu objected to confirmation by the MSG chairman that the Fiji diplomat Amena Yauvoli had been selected for the role, which has been vacant since last year.
Earlier, it came as a surprise to other MSG members that the Fiji Foreign Minister Ratu Inoke Kubuabola announced Mr Yauvoli’s appointment to media, when the formal selection process was still underway.
Jakarta’s outreach to Melanesia: Indonesia’s Foreign Minister Retno Marsudi in talks with her PNG counterpart Rimbink Pato (right). Photo: Supplied
The MSG summit, originally scheduled for the first week of May in Vanuatu, was supposed to be when the leaders deliberated on the director-general’s appointment.
Vanuatu had put forward its own nomination for the role, its ambassador to the European Union Roy Mickey-Joy, and insisted that the selection be finalised at the summit.
At the last minute,the summit was postponed, amid reports that Fiji’s prime minister Frank Bainimarama opted instead to attend the Queen’s birthday celebrations in Britain.
The MSG chairman said the summit would now be held next month, in Port Moresby.
Papua New Guinea’s capital, Port Moresby Photo: RNZI / Johnny Blades
Mr Sogavare has also now indicated that he despite his earlier statements, he would allow the formal appointment of a director-general to proceed as originally planned, with a decision to be reached at the summit.
The other priority item on the summit’s agenda is the formal application for full membership by the United Liberation Movement for West Papua.
Penulis: Eben E. Siadari 00:34 WIB | Rabu, 20 April 2016
PORT VILA, SATUHARAPAN.COM – Sebuah pukulan baru menerpa upaya diplomasi Indonesia di forum negara-negara Pasifik Selatan (Melanesian Spearhead Group atau MSG). Pukulan itu datang dari salah satu anggota MSG, yaitu Vanuatu, yang mengumumkan dukungannya terhadap United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) untuk menjadi anggota penuh MSG. Padahal, Indonesia selama ini tidak mengakui keberadaan ULMWP sebagai perwakilan rakyat Papua.
Pada saat yang sama, Vanuatu juga mengumumkan sikapnya untuk meminta MSG menanggalkan status Indonesia sebagai associate member. Padahal, Indonesia kini tengah melobi negara-negara anggota MSG untuk memperoleh keanggotaan penuh.
Sikap Vanuatu ini muncul pada hari Selasa (19/4) ketika Dewan Menteri negara itu menginstruksikan pemerintahnya untuk membawa usulan agar ULMWP ditetapkan menjadi anggota tetap MSG pada KTT mendatang di ibu kota Vanuatu, Port Vila, 6 Mei 2016.
Menurut radionz.co.nz, media yang intens memberitakan pandangan negara-negara Pasifik Selatan terhadap isu-isu regional, pada Selasa (119/4) Dewan Menteri Vanuatu menginstruksikan pemerintahnya untuk mengusulkan agar Indonesia tak lagi menjadi associate member MSG. Itu berarti, Menkopolhulam, Luhut Binsar Pandjaitan, masih harus berupaya lebih keras melobi negara-negara Melanesia lainnya agar dapat meloloskan upaya diplomasi mengegolkan Indonesia sebagai anggota penuh MSG. Kerja keras itu harus dilakukan setelah turnya baru-baru ini ke beberapa negara di kawasan itu, diklaim telah memenangkan dukungan dari Papua Nugini dan Fiji.
Pemerintah Vanuatu selama ini dikenal sebagai pendukung paling setia bagi penentuan nasib sendiri rakyat Papua.
Konflik di Dalam MSG
Pada saat yang sama, Dewan Menteri Vanuatu juga mengumumkan sikap yang bagi sementara kalangan dilihat sebagai merebaknya konflik di antara sesama anggota MSG.
Dewan Menteri Vanuatu menegaskan tidak akan menerima penunjukan Amena Yauvoli dari Fiji sebagai Direktur Jenderal MSG yang baru, yang telah diumumkan oleh Ketua MSG, Manasye Sogavare, yang juga Perdana Menteri Solomon, belum lama ini.
Perdana Menteri Vanuatu, Charlot Salwai, menyatakan keberatan atas keputusan Sogavare dan ia mengatakan masalah penunjukan itu akan diselesaikan pada pertemuan para pemimpin MSG bulan depan di Port Vila.
Sogavare membantah klaim Vanuatu yang mengatakan penunjukan Dirjen MSG dibuat di luar aturan MSG. Menurut dia, menyusul pengunduran diri Peter Forau yang tiba-tiba sebagai Dirjen MSG tahun lalu, adalah hal yang mendesak menunjuk seseorang untuk yang posisi penting tersebut.
Sementara itu, pemerintah Vanuatu sendiri telah merencanakan untuk mencalonkan duta besar negara itu untuk Uni Eropa, Roy Mickey-Joy, untuk posisi Direktur Jenderal MSG.
Saat ini, menurut radionz.co.nz, Mickey-Joy dan para pemohon lain dapat mencari upaya judicial review terhadap keputusan pengangkatan Dirjen yang telah diumumkan oleh ketua. Apakah upaya ini akan diambil, yang jelas pertentangan antara Vanuatu dan PM Solomon mengenai hal ini, menambah dimensi baru bagi perdebatan di MSG.
Perebutan pengaruh antara pemerintah Indonesia dan kelompok pendukung kemerdekaan Papua di kawasan Pasifik terus berlanjut menyusul unjuk rasa ratusan orang di Papua yang menuntut agar diakui oleh sebuah blok regional di kawasan Pasifik, Rabu (13/04).
Sementara Indonesia terus mendesak agar statusnya di organisasi Melanesian Spearhead Group, MSG, meningkat dari anggota asosiatif menjadi anggota penuh, kata seorang anggota DPR.
MSG, adalah sebuah blok regional di kawasan Pasifik, yang meliputi Fiji, Vanuatu, Papua Nugini dan kepulauan Solomon. Organisasi dibentuk pertama kali pada 1988.
Semula sebagai observer (peninjau), Indonesia diterima sebagai anggota asosiatif MSG pada KTT ke-20 di Honiara, Kepulauan Solomon pada Juni 2015 lalu, tetapi selalu diprotes oleh organisasi Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat (ULMWP).
Para uskup dari negara-negara Melanesia (Papua Nugini dan Kepulauan Solomon) saat misa di dalam Gereja Katedral, Jayapura. (Foto: Markus Haluk)
JAYAPURA, SATUHARAPAN.COM – Tanpa banyak menarik perhatian pemberitaan media mainstream Jakarta, sebanyak 20 uskup Gereja Katolik Papua Nugini dan Kepulauan Solomon mengunjungi Jayapura akhir pekan lalu. Di antara mereka yang datang, adalah Uskup Agung Port Moresby, John Ribat dan Uskup Agung Honiara, Solomon Islands, Adrian Smith.
Media Australia, abc.net.au, yang pertama kali melaporkan adanya kunjungan itu, tidak menyebutkan kapan persisnya para uskup menginjakkan kaki di Papua. Namun menurut Markus Haluk, tokoh United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) yang turut menghadiri misa yang diadakan para uskup itu, rombongan uskup tiba di Jayapura pada hari Jumat 8 April pukul 09:00. Mereka pulang pada hari Sabtu pukul 14:00.
“Sebanyak 20 uskup, tiga dari Solomon Island dan 17 dari Papua Nugini. Selain itu ada 2 pastor imam dan dua suster,” kata Markus Haluk lewat pesan singkat kepada satuharapan.com.
Di antara agenda mereka adalah mengunjungi STFT Fajar Timur, RS Katolik Dian Harapan, pertemuan dengan uskup-uskup Papua dan misa bersama.
Para aktivis setempat mengatakan kunjungan para uskup itu terkesan mendadak dan tidak diumumkan secara luas. Bis dan personel militer dilaporkan mengangkut dan mendampingi mereka selama kunjungan ke Papua.
Frederika Korain, aktivis dan pengacara di Papua, mengatakan kunjungan para uskup itu sama sekali tak terduga.
“Merupakan kejutan besar bagi kami, karena sudah puluhan tahun tidak ada delegasi sebesar itu datang ke tanah kami,” kata dia, kepada abc.net. au.
Ia menambahkan, dirinya baru mengetahui adanya kunjungan itu pada hari pertama mereka tiba di Papua, pada sore hari. Info tersebut ia dapatkan dari pelajar yang bertemu dengan para uskup.
“Mereka datang dari perbatasan Papua Nugini dengan mengendarai bis militer, dikawal oleh personel militer, beberapa di antara mereka berseragam, yang lainnya tidak,” kata Frederika.
Para aktivis yang mendengar adanya kunjungan itu, segera mencoba berbagai cara untuk datang dan menemui mereka. Namun, kata Frederika, pengawal oleh personel militer sangat ketat dan ia menilai kunjungan para uskup ke Papua agak tertutup.
Sebuah kelompok perempuan Katolik di Papua mengatakan, kunjungan para uskup dari negara-negara Pasifik Selatan ini adalah semacam misi pencarian fakta (fact finding).
Apakah mereka dapat menemukan fakta yang sebenarnya di Papua?
“Saya pikir mereka tidak akan mendapatkan gambaran yang akurat tentang kehidupan di Jayapura. Mereka tidak punya waktu bertemu dengan penduduk biasa,” kata Frederika.
Kendati demikian, kedatangan para uskup itu tetap mendapat apresiasi. Kedatangan mereka diharapkan dapat memberi mereka gambaran yang lebih jelas tentang apa yang terjadi di Papua.
“Kami mendapat pernyataan yang jelas, khususnya dari presiden Bishop Conference, yang bertemu dengan Uskup Agung Jayapura. Bahwa mereka akan datang lagi dan ingin mendengarkan apa yang terjadi di sini (Papua),” kata Frederika.
Menurut Markus Haluk, pertemuan ini adalah inisiatif dari para uskup Kepulauan Solomon dan Papua Nugini. Hanya saja mereka diantar dan dijemput dengan mobil bis Kodam 17 Cendrawasih.
“Tanggapan saya, kami menyambut baik kunjungan bersejarah uskup Solomon dan Papua Nugini. Sudah saatnya uskup-uskup Melanesia dari Papua Nugini dan Solomon mendengar, melihat langsung, tangisan penderitaan umat pribumi Katolik (Kristen) Melanesia di West Papua,” kata Markus Haluk.
“Sudah waktunya para uskup Melanesia dan Oceania, Australia, Selandia Baru, Asia, Eropa, Uni Eropa, AS bahkan Bapa Suci Paus Fransiskus, mendoakan kami guna menyelamatkan umat Tuhan di Melanesia, Papua Barat yang sedang menuju kepunahan,” kata dia.
Sebelum ini, Gereja Katolik Keuskupan Brisbane, telah membuka kembali mata dunia internasional atas pelanggaran HAM di Papua dengan terungkapnya laporan yang disajikan sebuah tim pencari fakta yang mereka kirim ke Papua.
Dalam laporan itu dikatakan warga Papua dipukuli, diintimidasi, disiksa, diculik bahkan dibunuh di Papua.
Isi laporan ini dihimpun oleh Shadow Human Rights Fact Finding Mission to West Papua yang dibentuk oleh Brisbane Catholic Justice and Peace Commission, menyusul kunjungan mereka ke Papua pada bulan Februari.
Laporan itu mendokumentasikan berbagai diskriminasi ekonomi, sosial dan agama di Papua, termasuk bagaimana penguasaan tanah telah lebih menguntungkan perusahaan multinasional sedangkan warga Papua dikecualikan dari kepemilikan dan pekerjaan.
Laporan itu juga membandingkannya dengan sebuah genosida dalam gerak lambat dan menyatakan bahwa “orang (pemerintah) Indonesia ingin mengganti agama Kristen dengan Islam”.
Penulis laporan tersebut, Suster Susan Connelly dari Kesusteran Josephite, berangkat ke Papua didampingi oleh oleh executive officer Komisi Perdamaian dan Keadilan Keuskupan Agung Brisbane, Peter Arndt.
Selama misi pencarian fakta, mereka mewawancarai lebih dari 250 tokoh masyarakat di Jayapura, Merauke, Timika dan Sorong.
Belum diketahui apakah isi laporan mereka akan menjadi sikap resmi Gereja Katolik.
TNI Amati Sikap Gereja Katolik
Berkaitan dengan kunjungan para uskup tersebut, menurut Ketua Tim Kajian Papua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adriana Elisabeth, pemerintah pusat khususnya TNI, selalu berusaha mengamati sikap dan posisi gereja, dalam konstelasi konflik di Papua.
Hanya saja, kata Adriana, dalam wawancara khusus dengan satuharapan.com, Senin (11/4), di Papua jumlah gereja banyak. Oleh karena itu sulit untuk mendapatkan satu kesimpulan mengenai posisi mereka dalam menyikapi keinginan sementara kalangan rakyat Papua yang menuntut ingin menentukan nasib sendiri (self determination).
Menurut Adriana, sikap Gereja Katolik lebih dapat dibaca antara lain karena hirarki organisasinya yang jelas.
“Gereja di Papua kan banyak. Saya melihat Katolik lebih mudah membacanya,” tutur dia.
Sikap Gereja Katolik selama ini, kata Adriana, adalah fokus pada misi kemanusiaan. Itu sebabnya, kata Adriana, Gereja Katolik sangat menentang pelanggaran HAM di Papua.
Namun, ia menambahkan, dalam hal perjuangan untuk menentukan nasib sendiri atau merdeka di kalangan rakyat Papua, sikap Gereja Katolik sudah disampaikan oleh Paus Fransiskus kepada Duta Besar Indonesia untuk Vatikan.
Menurut Adriana, Paus mengatakan kepada Dubes, bahwa Gereja Katolik tetap mendukung Papua sebagai bagian dari NKRI. Namun di sisi lain, pemerintah pusat harus memperhatikan Papua secara serius.
“Paus sudah menyampaikan kepad Dubes kita bahwa Vatikan mendukung Indonesia, Papua di dalam Indonsia, tetapi tolong perhatikan Papua,” tutur Adriana, menirukan pesan Paus.
Sejauh ini belum ada pernyataan resmi dari Gereja Katolik tentang hal ini.
Di luar Katolik, diakui oleh Adriana, banyak juga gereja yang pro-kemerdekaan. “Jemaatnya juga banyak dan mereka mendukung adanya dialog. Dan mereka sudah sampai pada tuntutan yang konkret. Mereka umumnya bicara tentang hal yang sama. Apalagi kalau bicara tentang pelanggaran HAM, suaranya sama,” kata Adriana
“Dari TNI yang paling dikahwatirkan memang posisi gereja Katolik. Kalau sudah diasumsikan bahwa mereka pro kepada merdeka, itu yang paling ditakuti tentara. Sejauh ini belum. Posisi gereja membela kemanusiaan, bukan pro kemerdekaan.”
Laporan lengkap dari hasil kunjungan para uskup ini, menurut radionz.co.nz diharapkan rampung pada akhir bulan ini.
Penulis: Eben E. Siadari 09:02 WIB | Rabu, 13 April 2016
Radio NZ – Indonesia’s Co-ordinating Political, Legal and Security Affairs minister says Jakarta has won the backing of Fiji and Papua New Guinea for its push to be a full member of the Melanesian Spearhead Group.
Luhut Binsar Pandjaitan toured the MSG countries last week and says Indonesia should have a larger presence in the South Pacific as parts of the archipelago share the same cultural values with Melanesia.
The Antara news agency says the minister was told by Fiji’s foreign minister, Ratu Inoke Kubuabola, that his government would support Indonesia boosting its status from associate to full membership.
Indonesia’s government minister Luhut Pandjaitan presents post-cyclone reconstruction aid to Fiji PM Frank Bainimarama. Photo: Fiji Sun
PNG’s foreign minister Rimbink Pato also showed his support for Indonesia being a full member.
Mr Pandjaitan says being a full member will strengthen Indonesia’s position in the MSG.
Following his Melanesia tour, the minister said he would propose assigning a Foreign Ministry official to engage with Pacific neighbours and advance Indonesia’s commitment to resolving complicated issues surrounding West Papua.
He says Indonesia needs to maintain good relations with the MSG countries because those nations have influence.
Mr Pandjaitan says if the MSG countries get the wrong information about Indonesia they will end up taking it to the United Nations.