Melanesian Anglicans co-launch group advocating West Papua freedom

Posted on: March 26, 2015 12:30 PM

[The Anglican Church of Melanesia] A one day consultation to discuss and highlight issues concerning West Papua’s struggle for freedom and independence from Indonesia on Friday 20th March 2015, led to the formation of the “Solomon Islands Solidarity for West Papua Freedom”.

The consultation was jointly organized and hosted by the Pacific Council of Churches (PCC) and the Anglican Church of Melanesia (ACOM) and was held at the Melanesia Haus, St. Barnabas Cathedral grounds, in Honiara.

The consultation was a follow up of a workshop held in June 2014 on the theme:Rethinking the Household of God in the Solomon Islands: Training on Stewardship and Leadership, and was facilitated by Mr. Aisake Casimira of PCC and Mr. Sirino Rakabi of the Ecumenical Centre for Research, Education and Advocacy (ECREA), from Fiji.

Representatives and leaders from all the SICA [Solomon Islands Christian Association] and SIFGA [Solomon Islands Full Gospel Association] member churches, various civil society organizations and groups including Forum Solomon Islands International (FSII), Free West Papua Movement in the Solomon Islands, S.I. Grassroots for West Papua, ACOM’s Commission for Justice, Reconciliation and Peace (CJRP), ACOM Mothers Union, Young Women’s Parliamentary Group, Voice Blo Mere, and, the Development Services Exchange (DSE) representing the NGO’s in the country, attended the consultation.

Membership of the “Solomon Islands Solidarity for West Papua Freedom” comprises of representatives of the churches, organizations and groups that were present during the consultation.

The consultation also reiterated its support for the call made by the Churches in the country in a press release issued in Honiara in June 2014 to“…actively support the political independence struggle of the people of West Papua” and to “…commit to advocating their inherent right to gainful political self-determination and true freedom”.

Consequently, a committee was set up to administer and execute planned programmes and activities in the lead up to the Melanesian Spearhead Group (MSG) meeting to be held in Honiara in July 2015, as well as to formulate strategies for ongoing advocacy campaigns in the Solomon Islands as well as regionally and internationally, for the freedom of West Papua.

The Terms of Reference (TOR) for this committee include the following:

1. That the SI government support West Papua’s application to be a member of the MSG;

2. That the SI government makes a clear stand in favour of West Papua;

3. That strategies are made for ongoing advocacy towards freedom for West Papua; and,

4. That submissions are made to the SI government and other national, regional and international bodies on West Papua issues.

Biblically, the underlying principle for the position of the consultation is drawn from the narrative in Exodus 3: 7 – 8 in which God told Moses to go and tell Pharaoh to release [God’s] people from slavery so that they can go and worship [God] freely.

“This consultation affirms that it is morally and ethically wrong to remain silent when our brothers and sisters from West Papua are suffering from suppression and human rights atrocities under an oppressive colonial ruler at our very own doorstep. The Melanesian Region, the Pacific and the World at large need to speak out against Indonesian oppression of West Papua and call upon their leaders and government to ‘let God’s people and nation of West Papua go’.”

Internasionalisasi Aspirasi Papua Merdeka Tidak Bisa Dihindari

JAKARTA, SATUHARAPAN.COM – Pemerintah Indonesia selama ini berusaha untuk menolak dan menghindari internasionalisasi masalah Papua. Padahal, pada kenyataannya masalah Papua termasuk aspirasi untuk merdeka sudah menjadi masalah internasional sejak lama. Oleh karena itu sulit menghindari sorotan dunia internasional atas masalah ini.

Hal ini dikatakan oleh Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Kumolo, dalam wawancara dengan satuharapan.com di Jakarta (24/2).

“Internasinalisasi masalah Papua sudah ada sejak dahulu bahkan persoalaan Papua bukan persoalaan nasional tetapi persoalaan internasional,” kata Cahyo, yang banyak melakukan kajian tentang Papua.

Menurut dia, masalah integrasi Papua ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berawal dari Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Status Papua dilaksankan sesuai dengan perundingan antara pihak Indonesia dan pihak Belanda. Hal itu sudah menunjukkan adanya dimensi internasional masalah Papua.

Lalu peristiwa Trikora, yang kemudian memicu konflik Indonesia dan Belanda yang dimediasi oleh Amerika Serikat,  juga menunjukkan dimensi internasional masalah Papua.

“Ketika beberapa tokoh OPM melarikan diri ke luar negeri, ke Belanda, Papua Nugini dan Australia, itu sudah mulai menciptakan benih-benih proses internasionalisasi mengenai Papua yang kemudian bermuara pada pembentukan Parlemen Internasional untuk Papua Barat (International Parliementarians for West Papua) di Inggris pada tahun 2008. Kemudian KTT Melanesian Spearhead Group (MSG) pada 2015, itu juga merupakan bagian dari internasionalisasi masalah Papua,” kata Cahyo.

Ia mengakui ada perbedaan pendapat mengenai kadar internasionalisasi masalah Papua saat ini.  “Ada yang bilang belum ada apa-apa, karena negara di Pasifik masih terlalu kecil dan ada juga yang berpendapat ini adalah masalah yang serius,” kata dia.

Namun, menurut Cahyo,  MSG  merupakan kelompok beranggotakan negara-negara yang merdeka. Anggota MSG sendiri merupakan bagian dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Isu ini bisa saja dibawa ke forum yang lebih tinggi,” kata Cahyo.

“Meskipun MSG hanya bagian dari Pasifik Selatan, saya menduga mereka memiliki jaringan yang kuat dengan negara yang besar seperti Australia, Amerika Serikat. Kita tidak boleh menyepelekan mereka dan kita tidak boleh memandang mereka tidak memiliki kekuatan politik,” kata Cahyo.

Editor : Eben E. Siadari

Gen. TRWP Mathias Wenda: Syukur Bagimu Ya, Tuhan bangsa dan Tanah Papua

United Liberation Movement for West Papua

Dari Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua (MPP-TRWP), atas nama Gen. TRWP Mathias Wenda, dengan ini kami mengucapkan

SYUKUR BAGIMU TUHAN!

karena bangsa Papua kini secara resmi, oleh negera-negara merdeka dan berdaulat di Kepulauan Melanesia di muka Bumi telah mengakui secara resmi bahwa

  1. Orang Papua ras Melanesia bukan sekedar kategorisasi antropologi dan sosial, tetapi adalah sebuah identitas dan realitas sosial-politik pula;
  2. Orang Papua ras Melanesia diterimak sebagai bagian dari Keluarga Besar rumpun ras Melanesia di kawasan Pasifik Selatan; dan
  3. Maka dengan demikian, kini Indonesia dan West Papua duduk di meja MSG sebagai dua bangsa yang sederajad, dua bangsa yang duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, memiliki hak bicara dan hak berpendapat yang sama di dalam sebuah forum negara-negara bangsa di kawasan Pasifik Selatan.

Sebagaimana di berbagai berita di dalam negeri maupun di luar negeri, yang telah terjadi di Vanuatu ialah sebuah “mujizat”, dan oleh karena itu tidak dapat dikleim oleh manusia siapapun, kelompok manapun, organisasi apapun, karena yang terjadi ialah sebuah mujizat karena Allah Pencipta, Pelindung dan Tuhan bangsa Papua menyertai dan turun tangan dalam pertemuan ini. Terbukti Perdana Menteri Solomon Islands sebagai seorang “single iighter” dalam pertemuan ini telah berdiri kokoh membela harkat dan martabatnya sendiri sesuai ciptaan dan kodrat Sang Ilahi sebagai seorang Melanesia, mengabaikan sokongan dan manuver politik penuh muslihat dan tipu daya dari NKRI lewat Presiden Joko Widodo maupun lewat Menteri Luar Negeri-nya.

Perdana Menteri Solomon Islands yang dikira NKRI telah dikantongi NKRI ternyata tidak lupa kodratnya sebagai seorang Melanesia.

Peristiwa ini mari kita sebut sebagai sebuah “Peperangan antara KEBENARAN menentang tipu muslihat” yang berasal dari Iblis, sang penjarah, pencuri dan pembunuh itu, bapa segala pendusta itu.

Atas kemenangan “KEBENARAN” ini, maka kami segenap pejuang kemerdekaan West Papua di Rimba Raya New Guiean menyampaikan

SYUKUR BAGIMU TUHAN!

 

 

 

 

Demikian pernyataan ini kami sampaikan kepada semua pihak untuk disyukuri dan dirayakan bersama.

Dikeluarkan di: Markas Pusat Pertahanan Tentara Revolusi West Papua

Pada Tanggal: 29 Juni 2015

Hormat kami,

A.n. Panglima Tertinggi Komando Revolusi,

 

 

 

Amunggut Tabi, Lt. Gen. TRWP

BRN: A.001076

 

West Papua – Press coverage – End Arbitrary Arrests

Press coverage

Responsible for the article below are author and publication. The
contribution does not necessarily mirror the views of Watch Indonesia!

AMNESTY INTERNATIONAL
PUBLIC STATEMENT

Index: ASA 21/1851/2015
11 June 2015

Indonesia: End mass arbitrary arrests of peaceful protesters in Papua
Amnesty International calls on the Indonesian authorities to end arbitrary arrests of Papuan political activists solely for exercising their rights to freedom of peaceful assembly and expression in the country’s Papua region. Anyone who remains detained solelyfor the peaceful exercise of their human rights must be immediately and unconditionallyreleased. Hundreds of Papuan activists, mostly members and supporters of the West Papua National Committee (Komite Nasional Papua Barat, KNPB), were arrested after the organization called for a series of peaceful demonstrations. These demonstrations were held in May 2015, in support of an application by a Papuan pro-independence umbrella group, the United Liberation Movement for West Papua (ULMWP), to join the Melanesian Spearhead Group (MSG), a sub-Pacific intergovernmental organization.

In West Papua province, the Manokwari district police arrested at least 70 KNPB activists on 20 May during a peaceful rally in which police also beat some protesters with rifle butts. Three men were subsequently charged with incitement to conduct acts against the law or incitement to violence under Article 160 of Indonesia’s Criminal Code. On the same day in Sorong, police arrested two KNPB activists while they tried to distribute flyers
detailing the planned demonstration in the city.

In Papua province, also on 20 May, six KNPB activists were arrested in Sentani district while distributing flyers about a planned demonstration the following day. The same day, three more Papuan activists were arrested in Biak district when they tried to notify the district police of the planned demonstrations. The three men were charged with incitement to conduct acts against the law or incitement to violence. On 21 May, the police arrested 20 and 27 KNPB activists in Biak Numfor and Sentani, respectively, during peaceful demonstrations.

Between 26 May and 3 June, at least another 90 Papuan activists in Wamena, Jayapura,
Nabire, Yahukimo, Jayawijaya and Sentani were arrested. Police have claimed that the arrests took place because the groups did not have permission to hold protests or rallies, and because they believed the KNPB was affiliated with the armed Free Papua Movement (OPM).

Amnesty International is concerned that there will be further arrests in the weeks preceding the next MSG Summit between 24 and 26 June 2015, which will address ULMWP’s application to join the MSG.

While most of those activists who were arrested have been released without charge, these arbitrary arrests highlight the ongoing repressive environment faced by political activists in the Papuan region. The arbitrary arrests and suppression on the rights tofreedom of peaceful assembly and expression in Papua once again highlight the failure of the Indonesian government to make a distinction between armed groups and peaceful activists who may support Papuan independence, and between peaceful expression of opinion and acts of physical violence.

The arrests are a setback after hope that the human rights situation in the Papua regionwould improve following President Joko Widodo’s visit to the region in early May. During the visit, the president granted clemency to and released five political activists convicted and imprisoned following forced confessions and unfair trials based, and pledged to grant clemency or an amnesty to other political activists detained throughout the country. He also announced that the authorities were lifting restrictions on foreign journalists, allowing them to access Papua, travel freely and report on the region.

Amnesty International takes no position on the political status of any province of Indonesia, including calls for independence. However, Amnesty International considers that the right to freedom of expression protects the right to peacefully advocate independence or any other political solutions that do not involve incitement to discrimination, hostility or violence.

Amnesty International recognizes that the Indonesian government has the duty to maintain public order on its territory. However, it must ensure that any restrictions on freedom of expression and peaceful assembly are in accordance with Indonesia’s obligations under international human rights law, including the International Covenant on Civil and Political Rights to which Indonesia is a State party. Further, both under Indonesian and international law, groups organizing public protests are only required to inform the police of peaceful demonstrations, not to seek approval or permission. However, these regulations are constantly ignored by the security forces in Papua who continue to unlawfully restrict various forms of peaceful protest against the state by students, political groups and human rights NGOs. In some cases, security forces have used excessive force against peaceful protesters but this has not been investigated and no suspected perpetrator has been brought to justice.

Background

The United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) is an umbrella organization established in December 2014 and formed of different factions of the Papuan independence movement.

The Melanesian Spearhead Group (MSG) is an intergovernmental organization, founded as a political gathering in 1983, composed of the four Melanesian states of Fiji, Papua New Guinea, Solomon Islands and Vanuatu, and the Kanak and Socialist National Liberation Front (FLNKS) of New Caledonia. Indonesia is an observing member.

**************************************************
Watch Indonesia! e.V.
Für Demokratie, Menschenrechte und Umwelt in Indonesien und Osttimor
Urbanstr. 114 Tel./Fax +49-30-698 179 38
10967 Berlin e-mail: watchindonesia@watchindonesia.org
http://www.watchindonesia.org

Jika Ingin Jadi Anggota MSG, Indonesia Harus Ikuti Proses

Bendera Negara-Negara MSG [TabloidJubi.com]
Bendera Negara-Negara MSG [TabloidJubi.com]
Jayapura, Jubi – Menjelang pertemuan puncak Melanesia Spearhead Group (MSG) yang akan dilakukan 18-24 Juni nanti, para pemimpin negara-negara anggota MSG mulai mengisyaratkan posisi mereka terhadap aplikasi rakyat Papua Barat yang diwakili United Liberation Movement of West Papua (ULMWP).

Vanuatu dan Front Pembebasan Kanak (FLNKS) mendukung aplikasi Papua Barat. Sedangkan Papua Nugini (PNG) dan Fiji tampaknya semakin jelas berseberangan dengan Vanuatu dan FLNKS. Kepulauan Solomon, menjadi satu-satunya negara anggota MSG yang belum mengisyaratkan posisi mereka.

PNG dan Fiji mendukung keinginan Indonesia untuk menjadi assosiate member di MSG. Selain itu, Indonesia juga mengajukan lima provinsinya yakni Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Papua dan Papua Barat sebagai anggota di MSG.

Keinginan Indonesia ini ditentang oleh Vanuatu. Perdana Menteri (PM) Vanuatu, Joe Natuman, melalui juru bicaranya, Kiery Manassah kepada Jubi, Selasa (9/6/2015) mengungkapkan Indonesia benar-benar berusaha keras melobi PNG dan Fiji.

“Baru-baru ini ketika kami pergi ke Jepang untuk pertemuan PALM, PM O’Neill mengatakan kepada PM Natuman bahwa mereka berpikir untuk mendukung Indonesia menjadi assosiate member di MSG,” kata Manassah.

Vanuatu, lanjut Manassah, melihat telah terjadi pergeseran isu tentang Papua Barat ini.

“Sebab kesepakatan dari Noumea dan Papua New Guinea, MSG harus membahas aplikasi Papua Barat. Bukan membahas keinginan Indonesia menjadi assosiate member di MSG,” ujar Manassah.

Lagipula, MSG adalah sebuah organisasi regional yang memiliki aturan untuk keanggotaan.

“Jika Indonesia ingin menjadi anggota MSG, mereka harus mengikuti proses yang sama, sesuai aturan yang ditetapkan oleh MSG,” Manassah menegaskan.

Derrick Manuari, anggota Parlemen Kepulauan Solomon meminta negaranya mendudukan masalah Papua Barat sesuai mandat MSG. Manuari mengatakan isu Papua Barat bukan isu kedaulatan, tapi isu solidaritas sesama bangsa Melanesia. Ia mencontohkan FLNKS yang keanggotaannya dalam MSG tidak melibatkan Perancis yang masih menguasai bangsa Kanak di Kaledonia Baru.

“Para pemimpin MSG harus melihat kembali mengapa MSG didirikan. MSG didirikan untuk membebaskan bangsa Melanesia dari penjajahan,” ujar Manuari. (Victor Mambor)

Source: TabloidJubi.com, Diposkan oleh : Victor Mambor on June 9, 2015 at 11:13:03 WP []

Terima Demo KNPB, DPRP Dukung MSG

JAYAPURA — Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) menyatakan mendukung sepenuhnya United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) membawa West Papua menuju Melanesia Spearhead Group (MSG) atau gabungan negara-negara rumpun Melanesia, ketika menerima aspirasi rakyat Papua yang disampaikan Komite Nasional Papua Barat (KNPB) menyusul ratusan orang yang menggelar aksi demo damai di Halaman Kantor DPRP, Jayapura, Kamis (21/5).

Ketika memasuki Halaman Kantor DPRP, massa pendemo mengibarkan bendera Bintang Kejora lambang perjuangan ‘bangsa’ Papua Barat serta membentang spanduk. Massa pendemo menggelar demo simpatik sekaligus mendapat pendampingan dari aparat Polresta Jayapura dan Polda Papua.

Ketua Komisi I DPRP Elvis Tabuni, SE., yang didampingi sejumlah Anggota DPRP antara lain Nasson Utti, SE., Kusmanto, Natan Pahabol, Matea Mamayao, Januarius Dou menjelaskan, pihaknya mendukung sepenuhnya ULMWP membawa West Papua menuju MSG, yang sedang berlangsung di Port Villa, Vanuatu.
Menurut Elvis Tabuni, pihaknya juga menyampaikan terimah kasih kepada rakyat Papua Barat terkait aspirasi yang menuntut agar pemerintah Indonesia membuka ruang demokrasi termasuk membuka akses bagi jurnalis asing dan lembaga-lembaga internasional ke Papua.

“Kami segera menyampaikan aspirasi rakyat Papua kepada pemerintah pusat, untuk ditindaklanjuti,” ujarnya.

Setelah menyampaikan sejumlah orasi, Jubir Nasional DPP KNPB Bazoka Logo didampingi Sekretaris Umum DPP KNPB Agus Kosay menyerahkan aspirasi rakyat Papua kepada Ketua Badan Komite ULMWP Romario. Selanjutnya ia menyerahkan kepada Elvis Tabuni sebagai bagian dari aspirasi rakyat bangsa Papua untuk menindaklanjuti dalam lembaga legislatif.

“Atas nama Allah orang Papua, atas nama tulang putih yang gugur demi tanah ini, atas nama mereka yang ada di hutan –belantara, yang ada di Pulau-Pulau, di gunung, yang ada dibalik jeruji besi di Indonesia, kami menyerahkan aspirasi ini,”

tandas Romario.

Romario mengutarakan, pihaknya menuntut pemerintah segera membuka ruang demokrasi dan akses jurnalis asing ke Papua. “Rakyat Papua secara resmi mengundang jurnalis asing dan lembaga-lembaga internasional ke Papua,” katanya.

Bazoka Logo menyampaikan pihaknya melakukan dukungan Papua Barat masuk MSG yang tengah melakukan uji materi termasuk bagaimana caranya bergabung dengan MSG.

“Kami juga minta DPRP menyampaikan kepada pemerintah NKRI memberikan kebebasan bagi masyarakat yang hendak menyampaikan aspirasi,”

tegas Logo.

Diutarakan Bazoka Logo, pihaknya juga minta kepada Kapolda dan Pangdam agar membebaskan sejumlah anggota KNPB, yang ditangkap aparat dibeberapa wilayah di Papua seperti Manokwari, Nabire dan Biak.

“Kalau memang NKRI menjunjung tinggi demokrasi segera membebaskan mereka, yang ditahan karena mengumandangkan demokrasi dan HAM di Papua,” kata Logo. Dari 75 orang yang ditahan 73 orang telah dibebaskan, 2 orang masih ditahan.

Usai aksi demo damai, massa pendemo kembali ke rumah masing-masing menumpang sejumlah truk yang difasilitasi Satlantas Polresta Jayapura. (Mdc/don/l03)

Sumber: Terima Demo KNPB, DPRP Dukung MSG, Jum’at, 22 Mei 2015 08:39

Dukung ULMWP Masuk MSG, AMP Kibarkan Bintang Kejora Di Yogyakarta

Massa AMP saat Kibarkan Bendera di Yogyakarta (Dok.AMP)
Massa AMP saat Kibarkan Bendera di Yogyakarta (Dok.AMP)

Yogyakarta,21/05/2015- Ratusan massa mahasiswa Papua yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua [AMP], hari ini (Kamis,21/05-red) kembali menggelar aksi damai di kota Yogyakarta. Dalam aksinya kali ini, mahasiswa Papua yang datang dari berbagai kota di Jawa Tengah dan D.I Yogyakarta ini menuntut kepada pemerintah Indonesia dibawa rezim Jokowi-JK, agar tidak ikut campur dalam upaya pendaftaran West Papua sebagai anggota Melanesia Sperhead Group (MSG) yang sedang diupayakan oleh organisasi perjuangan Papua United Liberation Movement For West Papua (ULMWP), yang merupakan organisasi representatif bangsa Papua.

Aksi yang digelar oleh ratusan mahasiswa Papua ini, dimulai dari Asrama Mahasiswa Papua “Kamasan I” yang terletak di Jl.Kusumanegara, dan diakhiri di Titik Nol KM kota Yogyakarta. Dalam pernyataannya lewat orasi dan spanduk yang dibawa massa aksi, AMP menyatakan dukungannya kepada ULMWP untuk menjadi anggota MSG,

“kami Aliansi Mahasiswa Papua menyatakan dukungan kami kepada ULMWP untuk menjadi bagian dari MSG, sebab kami bangsa Papua adalah bagian rumpun Melanesia, sehingga tidak ada alasan untuk tidak menerima ULMWP menjadi anggota MSG”,

teriak koordinator lapangan lewat pengeras suara, saat long march.

Dalam aksi kali ini juga, AMP menyatakan sikap, mengutuk tindakan anti demokrasi yang dilakukan oleh militer Indonesia (TNI-Polri) yang ada di Papua, dimana militer Indonesia dengan semena-mena membubarkan dan mengkap puluhan aktivis Papua, saat menggelar aksi yang sama, di sejumlah kota di Papua.

“Kami dengan tegas mengutuk tindakan aparat militer Indonesia yang anti terhadap demokrasi, dimana militer Indonesia dikabarkan telah membubarkan aksi damai yang dilakukan oleh rakyat Papua, serta menangkap puluhan aktivis, hanya kamrena menyuarakan aspirasinya, Indonesia mengklaim dirinya sebagai negara Demokrasi, namun nyatanya, Indonesia tidak mampu menunjukan itu di Papua, sehingga Indonesia sangat tidak pantas menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi”,

tegas sala satu orator dalam aksi kali ini.

Aksi ini mendapat pengawalan ketat dari satuan Brimob Polda DIY dan juga dari Polresta kota Yogyakarta. Meskipun aksi terpantau mendapatkan pengawalan yang sangat ketat, sebelum membacakan pernyataan sikap, massa Aliansi Mahasiswa Papua [AMP] dengan semangat yang menggebu-gebu, mengibarkan Bendera BINTANG KEJORA, ditengah-tengah Titik Nol KM, kota Yogyakarta, aparat kepolisian yang ada dilokasi seakan-akan terhipnotis, sehingga tidak dapat berbuat apa-apa, ketika bendera Bintang Kejora dikibarkan oleh massa aksi selama kurang lebih 7 menit, ketika bendera duturunkan, barulah terlihat para intel mulai merapat ke barisan massa aksi, seakan-akan mereka baru sadar bahwa ada pengibaran bendera Bintang Kejora. Video Pengibaran Bendera Dapat Di Lihat Di Sini 

Namun aparat dan Intel yang berusaha untuk masuk ke barisan massa tidaka dapat masuk, dikarenakan massa aksi yang telah melakukan bordir  dengan sangat ketat. Setelah itu, barulah Koordinator umum aksi, membacakan pernyataan sikap, dan kemudian aksi diakhiri dengan doa, kemudian massa aksi kembali melakukan long march menuju asrama Kamasan, dengan kawalan ketat aparat.

O’Neill Berharap Gubernur Enembe dan Atururi Berpartisipasi di MSG

Jayapura, Jubi – Perdana Menteri Papua Nugini (PNG), Peter O’Neill berharap Gubernur Papua Lukas Enembe dan Gubernur Papua Barat, Abraham Atururi bisa mewakili rakyat Papua dalam forum-forum Melanesia Spearhead Group (MSG).

Berbicara di Lowy Institute, Sydney hari Jumat (15/5/2015) pekan lalu, O’Neill menegaskan orang yang sah untuk mewakili rakyat West Papua saat ini adalah pemimpin yang dipilih dan itu adalah gubernur di provinsi Papua dan Papua Barat.

“Kami ingin suara yang satu di MSG untuk Papua Barat. Namun banyak kelompok yang mewakili berbagai kepentingan. Satu-satunya orang yang sah untuk mewakili rakyat West Papua saat ini adalah pemimpin yang dipilih dan itu adalah gubernur provinsi,”

kata O’Neill dalam forum tersebut.

Diwawancarai usai forum tersebut oleh ABC, O’Neill berharap bisa melakukan pendekatan yang sama dengan yang pernah dilakukan untuk Front de Libération Nationale Kanak et Socialiste (FLNKS), kelompok pro kemerdekaan Kanaki di Kaledonia baru.

“Karena itu kami ingin pemimpin yang representatif, yang dipilih oleh orang West Papua untuk datang dan berpartisipasi dalam forum MSG,” kata O’Neill.

Namun O’Neill mengaku hingga saat ini PNG tidak bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di Papua Barat.

“Kami tidak memiliki hubungan langsung dengan masalah ini, selain persoalan masyarakat di perbatasan. Karena itu hal ini sangat penting dan saya pikir ini adalah langkah besar yang dilakukan oleh presiden Indonesia untuk membuka peluang proses ini dimulai. Saya pikir kita harus mengambil keuntungan dari peluang ini dan dialog dengan mereka harus terus dilakukan dan melihat bagaimana kelanjutannya,”

lanjut O’Neill. (Victor Mambor)

Diposkan oleh : Victor Mambor on May 18, 2015 at 12:26:24 WP [Editor : -]
Sumber : TabloidJubi.com

Menlu Kilman: Bantuan Indonesia Tidak Ubah Sikap Vanuatu Pada Masalah Papua

Menteri Luar Negeri Vanuatu, Sato Kilman. Foto: UN.org

Jakarta, Jubi – Pemerintah Vanuatu mengatakan bantuan pemerintah Indonesia untuk korban topan tropis Pam di Vanuatu, tidak akan mengubah sikap pemerintah Vanuatu terkait tawaran Papua Barat untuk menjadi anggota Melanesian Spearhead Group (MSG).

Radio New Zealand, Kamis, 09 April 2015 melaporkan, Menteri Luar Negeri Vanuatu, Sato Kilman mengatakan, dirinya secara pribadi telah menerima sumbangan bantuan dari delegasi Indonesia pada Selasa, 7 April lalu. Namun, bantuan tersebut ada hubungannya dengan masalah Papua Barat.

“Dalam pandangan saya, itu tidak ada hubungannya dengan masalah Papua Barat, Vanuatu memiliki hubungan diplomatik dengan Jakarta dan ini adalah masalah kemanusiaan dan siapa pun yang memiliki hati untuk bisa memberi dan menyumbangkan ke Vanuatu untuk membantu rekonstruksi ini. Ini adalah hal yang menyambut untuk Vanuatu,”

kata Sato Kilman seperti dikutip Radio New Zealand, Kamis.

Kendati demikian, Menteri Luar Negeri mengatakan pada tahap ini, Vanuatu akan menyambut bantuan dari negara manapun.

Sato Kilman adalah Perdana Menteri Vanuatu pada tahun 2012 ketika pemerintah kontroversial ditempa membuat perjanjian kerjasama dengan Jakarta, meskipun konfigurasi selanjutnya pemerintah telah mundur dari hubungan kerjasama yang lebih erat tersebut.

Gerakan Persatuan Pembebasan untuk Papua Barat (United Liberation Movement for West Papua) yang menawarkan untuk menjadi keanggotaan akan dipertimbangkan di MSG oleh pemimpin tertinggi di Kepulauan Solomon akhir tahun ini.

Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui Menteri Luar Negeri Retno Marsudi melalui keterangan persnya pada Minggu (5/4/2015), mengirim bantuan berupa kebutuhan pokok terhadap korban Topan Pam di Vanuatu.

“Bantuan kemanusiaan yang dikirim berupa bahan makanan, paket untuk ibu dan anak, obat-obatan, tenda posko dan keluarga, selimut, genset listrik, tempat tidur lipat, serta perangkat kebersihan pribadi dan kesehatan lingkungan (sekitar 40 ton),”

kata Menlu RI, Retno Marsudi melalaui keterangan persnya, Minggu (5/4/2015).

Pemerintah Indoensia mengirim bantuan senilai USD$2 juta atau setara Rp25 miliar. Ia diserahkan secara simbolis oleh Duta Besar RI untuk Australia yang merangkap Vanuatu, Nadjib Riphat Kesoema, pada Selasa kemarin kepada Menteri Perubahan Iklim, James Bule. (Yuliana Lantipo)

  on April 9, 2015 at 13:41:17 WP,Jubi

Status Keanggotaan Papua di MSG Belum Diputuskan

JAYAPURA – Pengamat Hukum Internasional, Sosial Politik dan HAM FISIP Uncen Jayapura, Marinus Yaung, mengatakan, masalah Papua di MSG menjadi isu politik bersama yang diperjuangkan untuk dicari solusi terbaik oleh semua negara anggota MSG.

Dijelaskannya, sampai saat ini belum ada keputusan tentang Proposal Papua yang diajukan ULMWP untuk menjadi anggota MSG, karena Vanuatu, sebagai tempat Kantor Sekretariat MSD dan sebagian besar negara-negara Pasifik Selatan dilanda bencana alam, yang menyebabkan masalah keanggotaan Papua di MSG yang seharusnya diputuskan pada 23 atau 24 Maret 2015 ini, belum diputuskan statusnya.

Namun, menurut hematnya, dengan diplomasi dolar yang dilakukan Menteri Luar Negeri Indonesia ke MSG, bisa disimpulkan bahwa diplomasi darurat ini tidak akan mampu menghentikan semakin menguatnya internasionalisasi isu Papua di MSG.

“Seberapa besar jumlah uang yang dikeluarkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan pembangunan di negara-negara anggota MSG, tidak akan berpengaruh kuat terhadap penghentian bergulirnya bola liar isu Papua di Pasifik Selatan,”

ungkapnya kepada Bintang Papua di Kampus FISIP Uncen Waena, Selasa, (24/3).

Baginya, Pemerintah Indonesia tidak perlu panik dan ketakutan terhadap internasionalisasi isu Papua di MSG. Ketakutan yang berlebihan terhadap perkembangan politik Papua merdeka di Papua dan di dunia internasional, karena hanya akan membuat Pemerintah Presiden Jokowi terus mengambil kebijakan-kebijakan strategis yang karena tidak dikalkulasikan dengan baik maka kebijakan tersebut akan menjadi blunder politik yang merugikan Pemerintah Presiden Jokowi sendiri.

Kebijakan diplomasi ‘Santa Claus’ atau kebijakan bagi-bagi uang ke MSG adalah salah satu contoh blunder politik dalam kebijakan luar negeri Presiden Jokowi. Jangan Pemerintah terus bertahan dengan pola pikir sesaat, yakni kasih uang banyak maka masalah Papua selesai. Pemerintah Pusat harus melihat masalah Papua sebagai masalah yang sangat urgent dan mendesak untuk diselesaikan agar Papua tidak menjadi Timor Leste kedua. Pilihan pendekatan yang tepatlah yang akan menghentikan internasionalisasi isu Papua.

Pilihan pendekatan dialog damai Papua-Jakarta yang digagaskan oleh Jaringan Damai Papua (JDP) merupakan salah satu pilihan pendekatan yang ditawarkan masyarakat Papua untuk menciptakan Papua Tanah Damai. Itu kata kuncinya, barulah kita lihat apakah internasionalisasi isu Papua masih terus berlanjut atau tidak selama belum ada kedamaian dan keadilan di Papua, masalah Papua akan tetap menjadi masalah utama dalam hubungan diplomatik Indonesia dengan Negara-negara sahabat yang sedang konsen dengan isu Papua.

“Selama pendekatan militer dan kekerasan masih terus dikedepankan dalam penyelesaian Papua, maka internasionalisasi isu Papua akan terus berproses, bahkan bisa sampai bermuara ke siding majelis PBB, maka dialog Papua menjadi pilihan pendekatan terbaik yang harus segera direspon oleh Presiden Jokowi. Kecurigaan bahwa dialog Papua bermakna politik, itu hanya kecurigaan yang diopinikan oleh orang-orang yang tidak mau Papua damai,”

jelasnya.

Lanjutnya, pendekatan dialog juga sudah mendapat tempat sebagai salah satu opsi penyelesaian masalah Papua yang didiskusikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dengan kepala Negara-negara MSG, disamping RUU Otsus Plus.

“Dialog Papua tidak akan membunuh siapapun dan tidak merugikan siapapun di Papua, merupakan bahasa negosiasi yang digunakan untuk memenangkan pertarungan diplomasi di Pasifik Selatan. Apakah nanti opsi Dialog Damai Papua-Jakarta akan dipertimbangkan MSG, kita menunggu saja perkembangan akhir hasil diplomasi Indonesia ke MSG,”

pungkasnya. (nls/don/l03)

Source, Jubi, Rabu, 25 Maret 2015 00:14

Up ↑

Wantok COFFEE

Organic Arabica - Papua Single Origins

MAMA Minimart

MAMA Stap, na Yumi Stap!

PT Kimarek Aruwam Agorik

Just another WordPress.com site

Wantok Coffee News

Melanesia Foods and Beverages News

Perempuan Papua

Melahirkan, Merawat dan Menyambut

UUDS ULMWP

for a Free and Independent West Papua

UUDS ULMWP 2020

Memagari untuk Membebaskan Tanah dan Bangsa Papua!

Melanesia Spirit & Nature News

Promoting the Melanesian Way Conservation

Kotokay

The Roof of the Melanesian Elders

Eight Plus One Ministry

To Spread the Gospel, from Melanesia to Indonesia!

Koteka

This is My Origin and My Destiny